Dendam Si Anak Haram 16
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Ha-ha-ha-ha, bukan pinceng yang minta melainkan Kwan Bu sendiri yang mengembalikan ini namanya nasib, nasib pinceng belum semestinya mati, dan nasib buruk bagi Loan Khi Tosu dan Ho-Sim Pek-Mo. Kwan Bu, perhatikanlah baik-baik ilmu pedang Tiat-beng-kiamsut yang telah pinceng sempurnakan!"
Kwee Cin, Siang Hwi dan Giok Lan ketiganya adalah orang-orang muda yang telah belajar ilmu silat dan kepandaian mereka pun tidak rendah, Akan tetapi kini pandang mata mereka menjadi silau karena melihat sinar pedang merah seperti darah bergulung-gulung dengan indahnya, seperti penari selendang merah, seperti seekor naga yang mengeluarkan semburan-semburan kilat! Kwan Bu sendiri berdiri melongo. Dia sudah mempelajari ilmu pedang dari Suhunya dan mengenal ilmu pedang itu yang disesuaikan dengan keadaan pedang Toat-Beng-Kiam, akan tetapi ia melihat bagian-bagian yang aneh dan yang belum pernah ia pelajari. Bagian-bagian ini mengandung daya serang yang amat hebat sehingga mengerikan dan sesuai dengan nama pedang Toat-Beng-Kiam (Pedang Pecabut Nyawa) karena setiap gerakan pedang itu adalah gerakan maut bagi lawan!
Pat-Jiu Lo-Koai bukanlah seorang yang masih mudah dikuasai nafsunya. Sama sekali bukan, Maka dalam pertempuran ini, biarpun kedua lawannya adalah orang-orang sakti yang tingkat kepandaiannya tidak kalah banyak olehnya, namun ia tetap tidak bernafsu untuk membunuh dua orang lawan itu, Permainan pedangnya dapat mengatasi senjata-senjata kedua orang lawannya dan otomatis pedangnya itu hanya membalas sesuai dengan serangan lawan, Makin hebat lawan menggunakan senjata menyerangnya, pedangnya akan menangkis dilanjutkan dengan serangan yang makin hebat pula. Sebaliknya, serangan lawan yang kendur dibalasnya dengan serangan yang kendur pula. Setelah kurang lebih satu jam sinar merah yang bergulung-gulung itu menggulung dan menghimpit Lian Khi Tosu dan Ho-Sim Pek-Mo berikut senjata mereka, tiba-tiba Pat-Jiu Lo-Koai tertawa dan berkata,
"Kalian pergilah... kalian pergilah..."
Ucapan ini disusul berkelebatnya pedang, terdengar bunyi nyaring sekali, lalu tampak tongkat bambi dan kedua buah roda mencelat dan patah-patah disusul robohnya Ho-Sim Pek-Mo dan Loan Khi Tosu. Loan Khi Tosu cepat meloncat bangun dengan wajah pucat dan baju robek berdarah yang keluar dari luka di dada kanannya. wakil ketua Bu-Tong-Pai ini menoleh ke arah tubuh Ho-Sim Pek-Mo yang rebah miring tak bergerak lagi karena kakek pengawal ini telah tewas seketika dengan pelipis berlubang! Loan Khi Tosu menarik napas panjang, membungkuk dan mengempit jenazah Ho-Sim Pek-Mo, kemudian memandang kepada Pat-Jiu Lo-Koai, membungkuk dan berkata,
"Engkau hebat sekali, Pat-Jiu Lo-Koai, Akan tetapi mulai detik ini engkau telah menanam Bibit permusuhan dengan Bu-Tong-Pai yang hanya akan dapat diputuskan oleh ketua Bu-Tong-Pai. Engkau tunggu sajalah, tentu ketua kami akan mencarimu,"
"Ha-ha-ha, kalau Thian Khi Tosu sebagai ketua Bu-Tong-Pai berpemandangan sepicik engkau, Loan Khi Tosu, biarlah pinceng menantinya di tempat kediamanku di puncak Pek-hong-san,"
Loan Khi Tosu mengangguk, kemudian berkelebat pergi membawa mayat Ho-Sim Pek-Mo, Kwee Cin, Giok Lan dan Siang Hwi menjadi girang sekali dan amat kagum terhadap Hwesio itu, Akan tetapi tidak demikian dengan Kwan Bu yang memandang khawatir sekali dan karena tubuhnya sendiri masih lemah, ia berkata kepada Kwee Cin,
"Saudara Kwee, kau tolong Suhu..?"
Kwee Cin terkejut dan merasa heran, akan tetapi ia segera meloncat maju ketika menengok kearah Hwesio tua itu dan melihat Hwesio itu terhuyug lalu roboh, Cepat memeluk tubuh yang gendut itu dan ternyata Pat-Jiu Lo-Koai telah pingsan dalam rangkulannya! Kwee Cin lalu merebahkan tubuh itu perlahan-lahan di atas tanah, dan mereka semua memandang dengan gelisah ketika Kwan Bu memeriksa tubuh gurunya. Pemuda itu menghela napas dan berkata, suaranya terharu.
"Suhu terluka oleh hawa beracun yang disedotnya dari tubuhku, karena tadi hawa beracun itu belum keluar semua dari lengannya ketika ia bertanding menghadapi lawan tangguh dan terpaksa menggunakan sinkang racun itu menjalar dan melukai dadanya, Akan tetapi aku percaya akan kekuatan tubuh Suhu, Saudara Kwee Cin, tolong kau pondong Suhu dan nanti kita mencari kereta, kita harus cepat membawa Suhu ke Pek-hong-san,"
Demikianlah, dengan sikap tenang namun cepat Kwan Bu lalu memimpin rombongan kecil itu menuju ke puncak Pek-hong-san, Tepat seperti dugaan dan harapannya, kakek itu hanya pingsan selama sehari kemudian siuman kembali, Selama dalam perjalanan Pat-Jiu Lo-Koai duduk bersila dalam kereta dengan tekun mengobati dirinya sendiri yang kini terluka lebih parah daripada yang dialami Kwan Bu sebelum pemuda itu dia sembuhkan. karena kesehatan Kwan Bu belum pulih benar dan tubuhnya masih amat lemah, pula dia harus beristirahat selama sebulan seperti yang dikatakan Suhunya, maka dalam perjalanan ini diapun duduk sekereta dengan gurunya, Adapun Giok Lan dan Siang Hwi menunggang kuda dan Kwee Cin mengendarai kuda yang ditarik oleh dua ekor kuda itu.
Giok Lan dan Kwan Bu yang membawa bekal cukup banyak, dapat membeli kereta dan kuda dengan mudah, Perjalanan itu dilakukan dengan sunyi karena mereka semua merasa prihatin melihat keadaan Pat-Jiu Lo-Koai yang mereka kini anggap sebagai guru mereka, Akan tetapi, Pat-Jiu Lo-Koai sendiri yang terluka di dalam kereta, selalu tersenyum, dan bahkan dia bercakap-cakap dengan muridnya tentang ilmu pedangnya yang dia mainkan ketika menghadapi dua orang lawan sakti itu. kakek ini menurunkan ilmu pedang itu kepada Kwan Bu yang mendengarkan dengan penuh perhatian sehingga ketika mereka semua tiba di Pek-hong-san, Kwan Bu telah hafal dengan sempurna akan ilmu pedang Toat-Beng-Kiam-sut yang hebat luar biasa itu.
"Kwee-koko, sesungguhnyalah aku merasa bangga dan bahagia sekali mendengar pernyataan cinta kasihmu, terutama ketika pertama kali kau mengaku akan hal itu di depan orang banyak, di depan para murid Bu-Tong-Pai, Wanita mana yang takkan bangga dan bahagia mendengar pernyataan cinta dari seorang pria seperti engkau, koko? Engkau seorang yang gagah perkasa dan berbudi, yang sudah berkali-kali kau buktikan dalam membela aku dan kakakku"
"Kalau begitu... engkau sudi menerima kasihku dan sudi pula membalasnya, moi-moi?"
Giok Lan menghela napas panjang,
"Ahhh, koko, betapa akan mudahnya membalas perasaan cinta kasih seorang pemuda seperti engkau yang dapat dipercaya dan tentu amat murni cinta kasihnya, Akan tetapi, sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, kurasa amatlah penting untuk kuketahui, koko, bahwa sesungguhnya, seperti telah kukatakkan kepadamu tempo hari, bahwa aku mencinta... maksudku pernah jatuh cinta... kepada kakakku Kwan Bu."
Kwee Cin tersenyum.
"Dan akupun sudah menjawab bahwa akupun mencinta Kwan Bu! Hanya bedanya. kalau engkau mencintainya sebagai adik, aku mencintainya sebagai sahabat,"
Giok Lan menggeleng kepalanya,
"Bukan demikian maksudku, koko. Memang sekarang aku mencintainya sebagai kakak seayah, akan tetapi sebelum hal itu kami ketahui, aku mencintainya sebagai seorang wanita mencinta seorang pria, Aku tadinya mengharapkan menjadi isterinya, bukan adiknya,"
Kwee Cin mengangkat alisnya, kemudian menghela napas dan bertanya,
"Lan-moi, mengapa engkau menceritakan rahasia hati seperti itu kepadaku?"
"Karena, hubungan kasih sayang antara seorang pria dan seorang wanita baru dapat dipertahankan keutuhannya, baru dapat dijauhkan dari pada syak-wasangka yang bukan-bukan apabila di sana tidak ada tersembunyi rahasia apa-apa dibalik cinta kasih mereka, cinta kasih akan hancur lebur apabila dikotori oleh ketidakpercayaan karena adanya hal yang dirahasiakan, sehingga timbullah kecurigaan, cemburu, dan kekecewaan, Menjatuhkan hati cinta kepada seseorang berarti menerima orang itu menjadi pilihan hatinya, dan dalam menerima itu kita tidak boleh membuta, harus menerima dengan mata terbuka, dan disamping kebaikan-kebaikan yang ada pada diri orang itu sehingga membangkitkan cinta kasih kita harus pula kita membuka mata terhadap cacat-cacatnya, Hanya cacat yang telah kita ketahui dan kita terima sajalah yang takkan menimbulkan kekecewaan dan bahkan dapat menjadi pupuk cintakasih."
Kwee Cin membelalakan matanya dan memandang kagum,
"Wahai, moi-moi... alangkah luas pandanganmu tentang cinta kasih!"
Giok Lan tersenyum manis,
"Bukan karena pengalaman, koko, melainkan karena bacaan yang kupetik dari kitab-kitab. Aku belum ada pengalaman sama sekali dalam cinta, karena ketika... ketika aku mencinta Bu-koko sebagai seorang wanita terhadap pria, dia tidak atau belum membalas cinta kasihku, Sekarang tentu saja lain lagi, diantara kami telah ada ikatan cinta kasih, yaitu cinta kasih antara kakak dan adik,"
Kwee Cin mengangguk-angguk.
"Wawasanmu tadi tepat sekalli, moi-moi, Memang cinta itu membuat mata seperti buta, sehingga mata tidak dapat melihat atau menemukan keburukan orang yang dicintainya, Maka adalah baik sekali untuk mengetahui atau mendapatkan cacat-cacat itu dengan mata terbuka, kemudian menganggap bahwa cacat-cacat itu malah menambah daya tarik orang yang dicintainya, ltulah cinta!"
Giok Lan mengangguk,
"Memang ada baiknya kita mengerti akan hal itu sehingga tidak akan beratlah punggungnya apabila cinta kasih mengalami kegagalan, Lebih baik memasuki dunia cinta dengan mata terbukavdan hati penuh kesadaran bahwa cinta dapat mendatangkan madu maupun empedu, dari pada masuk secara membuta sehingga menjadi mabok kemanisan atau mati kesakitan!"
"Aduh, Lan-moi, kata-katamu mengusir semua keraguan hatiku dan kini aku pun hendak membuat pengakuan Lan-moi. Selama hidupku, sebelum bertemu denganmu, aku hanya pernah mencintai seorang wanita, cinta yang gagal karena hanya sepihak, dari pihakku. Aku pernah menaruh hati cinta kepada"
Kepada..."
"Kepada Siang Hwi, bukan?"
"Eh, bagaimana kau bisa tahu?"
Giok Lan tersenyum.
"Tentu saja aku sudah tahu, Siang Hwi dan aku telah membuka semua rahasia hati kami, engkau mencinta Siang Hwi akan tetapi semenjak dahulu, sejak Kwan Bu masih menjadi kacung di keluarga Bu, sebenarnya Siang Hwi telah mencinta kakakku itu, cinta yang diselubungi banyak hal yang menjadi penghalang sehingga cinta itu dapat mencipta diri menjadi kebencian, benci karena cinta tidak mendapat kesempatan untuk menjadi raja yang berkuasa. Sejak dahulu Siang Hwi yang kau cinta itu mencinta Kwan Bu sehingga tidak dapat membalas cinta kasihmu, Sama pula dengan aku, Dahulu aku mencinta Kwan Bu dengan sia-sia karena semenjak menjadi kacung keluarga Bu, Kwan Bu telah mencinta Siang Hwi! Nasib kita sama, Kwee-koko, Cinta kasih tidak mungkin hanya datang dari sepihak, Tak mungkin bertepuk sebelah tangan!"
"Jadi... engkau tidak marah dan tidak kecewa bahwa aku pernah mencinta orang lain?"
Tanya Kwee Cin, memandang penuh harapan, Giok Lan menggeleng kepala.
"Aku tidak sepicik itu, koko. Jangankan baru jatuh cinta kepada Siang Hwi yang merupakan hal sewajarnya karena pemuda mana yang tidak akan jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Siang Hwi? Andai kata engkau pernah jatuh cinta kepada seribu orang gadis, akupun tidak perduli karena hal itu merupakan hak setiap orang manusia! Mencinta bukanlah berdosa. Mencinta timbul karena rasa simpati yang terhadap lawan jenis. Pelanggaran susila barulah merupakan dosa karena pelanggaran susila timbul karena dorongan nafsu semata. Tidak, aku tidak kecewa mendengar bahwa engkau pernah mencinta gadis lain, koko."
"Jadi... kalau begitu... kau... kau sudi menerima cintaku, sudi membalas kasih sayangku, moi-moi?"
Gadis itu mengangguk dengan pandang mata penuh kepasrahan, dengan pandang mata mesra sehingga Kwee Cin tak dapat menahan kebahagiaan hatinya, menyambar kedua tangan gadis itu, digenggamnya erat-erat dan wajahnya menyinarkan kebahagiaan berseri-seri yang mengharukan hati Giok Lan.
"Terimakasih, moi-moi... terimakasih..."
"Kwan Bu mengapa engkau selalu menjauhkan diri dariku? Seolah-olah hendak menghindari pertemuan berdua? Apakah...?"
"Aku masih giat berlatih, nona. Suhu masih belum sembuh benar dan setiap hari masih harus memulihkan kesehatannya dan bersemadhi dalam pondoknya. Aku harus berlatih dan bersiap-siap menghadapi serbuan musuh yang kurasa akan datang mencari Suhu!"
"Bu-Tong-Pai?"
Kwan Bu mengangguk.
"Dan tokoh Bu-Tong-Pai adalah lawan yang berat?"
"Ah, Kwan Bu, lupakanlah sebentar urusan itu! Aku ingin sekali bicara denganmu tentang urusan kita berdua..?"
"Apakah yang akan dibicarakan, nona? Orang seperti aku tidak berharga untuk..?"
"Kwan Bu, hentikanlah suara mengejek itu. Ataukah engkau sengaja hendak menusuk perasaanku?"
"Tidak sama sekali, nona..!"
Siang Hwi mengerutkan keningnya. Hatinya tidak senang mendengar sebutan "Nona"
Akan tetapi sebagai seorang wanita ia merasa malu untuk mengungkapkan isi hatinya begitu saja, apa lagi Kwan Bu kelihatannya, seolah-olah mundur dan menghindarkan diri.
"Kwan Bu, engkau selalu berusaha menghindariku. Ada apakah? Apakah engkau masih merasa sakit hati terhadap sikapku dahulu? Engkau masih merasa sakit hati karena dahulu dianggap sebagai kacungku? Kuanggap sebagai seorang rendah? Kuanggap sebagai seorang anak haram dan kuhinakan? Tidak percayakah kau bahwa aku merasa menyesal sekali kalau teringat akan itu semua, Kwan Bu? Tidak maukah engkau memaafkan semua kesalahanku itu...?"
Suara Siang Hwi perlahan perlahan putus dan akhirnya dengan susah payah gadis yang keras hati ini menahan isaknya. Hampir saja Kwan Bu tidak dapat menahan hatinya yang penuh keharuan. Kalau menurutkan dorongan hatinya, ingin ia menjatuhkan diri berlutut dan memeluk gadis itu, mohon ampun bahwa sikapnya telah menyakitkan hati Siang Hwi. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan kalau Siang Hwi tidak mau menyatakan cinta kasih kepadanya, yang masih amat diragukan karena dianggapnya tidak mungkin, dia akan selalu menahan diri dan menahan perasaannya.
"Tidak ada yang harus dimaafkan, nona. Semua sikapmu yang dahulu sudah sewajarnya, aku berterimakasih sekali atas pembelaanmu padaku di depan para tokoh Bu-Tong-Pai, dan aku amat menyesal kalau teringat akan kekurang-ajaranku dahulu terhadapmu, nona. Aku amat tidak sopan dan kurang ajar sehingga Semua sikapmu terhadapku dahulu adalah sudah pantas!"
"Kwan Bu...!"
Siang Hwi merasa jantungnya seperti ditusuk.
"Engkau selamanya amat baik kepadaku. selalu merendahkan diri, engkau tidak pernah kurang ajar..!"
"Dosaku padamu tak perlu ditutup, nona. Sampai mati aku tidak akan pernah melupakannya. Dua kali aku telah... telah memeluk dan menciummu. sungguh perbuatan yang amat kurang ajar dan..."
"Kwan Bu, aku tidak menganggapnya sebagai perbuatan kurang ajar, bahkan... bahkan... sebaliknya, aku... aku merasa bahagia akan perbuatanmu itu... aku malah suka sekali..! Wajah gadis itu jadi merah seperti udang direbus dan ia tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Jantung Kwan Bu berdebar keras! Biarpun hal ini bukan merupakan pengakuan cinta gadis itu, akan tetapi sudah mendekati! Gadis ini menyatakan bahwa dia merasa suka dan bahagia ketika ia peluk dan cium! Akan tetapi pernyataan ini menimbulkan rasa penasaran di hati Kwan Bu! Benarkah merasa suka dan bahagia? kenyataanya dahulu tidak sama dengan ucapan Siang Hwi!
"Tak perlu nona berpura-pura. Dahulu nona menuduhku yang bukan-bukan sehingga hampir saja aku dibunuh oleh kedua Suhengmu dan oleh Ayahmu. Mengapa nona dahulu menyatakan bahwa aku berkurang ajar dan memaksamu? Kenapa?"
Sekarang mangertilah Siang Hwi. Diam-diam pemuda ini merasa sakit sekali oleh peristiwa itu. pertama kali, ketika Kwan Bu menurunkan ilmu memperlancar jalan darah sehingga ia tertidur dan pemuda itu memeluknya kemudian muncul Liu Kong dan Siang Hwi lalu menuduh Kwan Bu memaksanya dan berkurang ajar! kedua kalinya, ketika Kwan Bu menolongnya terbebas dari ancaman mengerikan di tangan Ma Chiang yang hendak memperkosanya. Setelah terbebas, Kwan Bu manciumnya dan ia merasa bahagia sekali, akan tetapi muncul Ayahnya dan dalam bingung, jengah dan malu Siang Hwi telah menampar muka Kwan Bu.
"Kwan Bu, apakah engkau tidak mengerti? Apakah engkau tidak dapat menduga mengenai sikapku seperti itu...?"
"Hemm..., arti satu-satunya bahwa engkau merasa marah dan menganggap aku kurang ajar, sama sekali tidak membayangkan bahwa engkau... suka dan bahagia nona.."
"Kwan Bu...!!"
Kwan Bu dan Siang Hwi meloncat berdiri dengan kaget mendengar panggilan ini dan muncullah Kwee Cin dan Giok Lan. Wajah dua orang muda ini tegang sekali. Sebelum Kwan Bu atau Siang Hwi sempat bertanya, Kwee Cin sudah berkata cepat dan gugup.
"Suhu... tahu-tahu sedang bertanding dengan seorang Tosu lihai... Suhu terdesak hebat..?"
"Ah. Suhu masih belum sembuh..."
Kwan Bu berkata dan cepat meloncat, pergi ke pondok Suhunya yang berada agak jauh dari tempat ia berlatih pedang itu. Siang Hwi dan dua orang muda yang membawa kabar itu cepat meloncat pula menyusul, ketika mereka tiba di depan pondok Pat-Jiu Lo-Koai, mereka berdiri tertegun memandang ke arah dua orang kakek yang bertanding dengan hebatnya itu. Tosu yang menjadi lawan Pat-Jiu Lo-Koai di bawah sinar bulan tampak amat cepat dan gesit gerakannya itu adalah seorang Tosu tua yang usianya tentu tujuh puluh tahun lebih. Sikapnya gagah, keren dan agung. Pakaiannya serba putih rapi dan bersih.
Di punggungnya terdapat gagang pedang yang dihias ronce kuning. Empat orang muda itu tidak mengenal siapa adanya Tosu yang amat lihai itu, dan mereka memandang dengan gelisah karena jelas tampak betapa Pat-Jiu Lo-Koai yang masih tertawa-tawa itu sesungguhnya terdesak hebat. Dua orang kakek ini bertanding dengan tangan kosong, kadang-kadang gerakan mereka cepat tak dapat diikuti pandangan mata, kadang-kadang lambat sekali namun dari gerakan tangan yang lambat ini menyambar angin pukulan yang dapat dirasakan oleh empat orang muda yang menonton di pinggiran. Ketika Pat-Jiu Lo-Koai mengirim pukulan dengan tangan kanan dari samping mengarah ke lambung, Kakek lawannya itu menangkis dan tangkisan ini membuat Pat-Jiu Lo-Koai terhuyung tiga langkah ke belakang, Hwesio gendut ini tertawa.
"Ha-ha-ha. Thian Khi Tosu, engkau Tosu tua bau apek makin tua makin hebat!"
"Pat-Jiu Lo-Koai, tak parlu banyak kelakuan lagi. Malam ini harus diputuskan siapa yang berhak disebut pemenang. Jaga serangan Pinto!"
Tosu itu sudah menerjang ka depan, gerakannya cepat dan mangandung kekuatan dahsyat. Pat-Jiu Lo-Koai yang masih tersenyum lebar itu menyambut dengan kedua lengan dilanjutkan Kembali dua pasang lengan bertumbukan dan akibatnya tubuh Pat-Jiu Lo-Koai terlempar dan bergulingan di atas tanah seperti sebuah bola ditendang. Hwesio gendut ini sudah bangun berdiri lagi sambil tertawa-tawa, seolah-olah tidak merasakan hebatnya benturan tenaga sinkang tadi, akan tetapi darah mangalir kaluar dari ujung Bibirnya! melihat keadaan lawannya. Tosu itu menerjang maju lagi dengan maksud mengirim pukulan tarakhir mengalahkan Hwesio gendut yang keras kepala itu, akan tetapi tiba-tiba bayangan Kwan Bu berkelebat dan pemuda ini sudah berdiri di depan Suhunya. mawakili Suhunya mendorong kedua lengan menangkis.
"Dessss...!!"
Dorongan Kakek yang ternyata ketua Bu-Tong-Pai itu luar biasa kuatnya sehingga tubuh Kwan Bu terdorong mundur sampai dua meter! Akan tetapi pemuda ini tetap dalam keadaan berdiri tegak memasang kuda-kuda. sedangkan kuda-kuda ketua Bu-Tong-Pai itu tanpa dapat ditahannya lagi menjadi tergempur dan ia melangkah mundur dua langkah. Tosu itu memandang dengan mata terbelalak dan kening berkerut. Kwan Bu sudah berlutut di depan Suhunya dan berkata.
"Mohon Suhu sudi memaafkan teecu atas kelancangan teecu. Akan tetapi Suhu sedang sakit, belum kuat betul, mana bisa teecu melihat saja Suhu menghadapi lawan berat. Harap ijinkan teecu mewakili Suhu."
Pat-Jiu Lo-Koai tertawa.
"Ha-ha-ha... dasar bintang Bu-Tong-Pai yang agak suram, maka sebelum dapat mengalahkan pinceng, muncul muridku. Aku setuju, Kwan Bu. akan tetapi engkau berhati-hatilah, Tosu bau ini benar-benar memiliki sinkang yang amat kuat!"
Satelah berkata demikian, Pat-Jiu Lo-Koai sudah pergi menjauh dan duduk bersila di bawah sebatang pohon. meramkan mata tidak memperdulikan apa-apa lagi. Ketika Kwan Bu hendak menghadapi Thian Khi Tosu, tiba-tiba tangannya disentuh orang. la menoleh dan melihat Siang Hwi yang memegang tangannya dengan muka pucat dan mata basah air mata.
"Kwan Bu. hati-hatilah... !"
Kwan Bu tersenyum, mengangguk dan malepaskan tangannya, Siang Hwi mundur kembali dan berdiri dengan kaki lemas. Giok Lan merangkulnya dan berbisik.
"Tenanglah Cici, dia takkan kalah..."
Akan tetapi ucapan ini bukan hanya untuk menghibur Siang Hwi, melainkan juga untuk menghibur hati Giok Lan sendiri yang berdebar gelisah. Ketika bersama telah menyaksikan Pat-Jiu Lo-Koai sendiri yang sakti terdesak dan kalah oleh Tosu tua yang lihai itu.
"Orang muda. engkau siapakah dan apa maksudmu menghadapi Pinto?"
Tosu tua itu menegur Kwan Bu, masih terlongong menyaksikan bahwa orang yang mampu menangkis pukulannya sehingga kuda-kuda tergempur tadi ternyata hanya seorang pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tiga tahun! Kwan Bu memberi hormat, merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk agak dalam.
"Locianpwe, teecu adalah murid termuda dari Suhu Pat-Jiu Lo-Koai dan terpaksa sekali teecu memberanikan diri menggantikan Suhu karena Suhu dalam keadaan sakit sehingga tidak semestinya melakukan pertandingan berat, teecu mendengar bahwa locianpwa Thian Khi Tosu adalah ketua Bu-Tong-Pai, maka besar harapan teecu bahwa Locianpwe tentu memiliki cukup rasa keadilan, tidak mendesak seorang lawan yang sedang sakit dan mangalahkan muridnya yang menggantikan untuk mati di tangan Locianpwe sebagai pembalasan budi terhadap guru. Syukur kalau Locianpwe memiliki kebijaksanaan untuk tidak melanjutkan pertandingan yang berbahaya ini."
Thian Khi Tosu tertegun, bukan hanya ucapan yang keluar dari mulut pemuda ini melainkan terutama sekali karena ia dapat menduga bahwa inilah pemuda yang bernama Kwan Bu, yang telah menggegerkan anak murid Bu-Tong-Pai.
"Apakah namamu Kwan Bu?"
"Tidak salah dugaan Locianpwe"
Kakek itu mengelus jenggotnya yang panjang, lalu matanya memandang ke arah Giok Lan dan Siang Hwi. Tiba-tiba ia bertanya.
"Mana gadis yang bernama Bu Siang Hwi yang terhitung masih cucu murid Pinto?"
Siang Hwi terkejut, betapapun juga, Ayahnya adalah anak murid Bu-Tong-Pai, dan Kakek ini adalah ketua Bu-Tong-Pai. Andaikata Ayahnya masih hidup dan bertemu dengan Kakek ini, tentu Ayahnya akan menjatuhkan diri berlutut penuh penghormatan. Serta merta iapun menjatuhkan diri berlutut di tempat ia berdiri menghadap Kakek itu dari berkata.
"Teecu Bu Siang Hwi manghaturkan hormat kepada Locianpwe."
Kakek itu mengangguk-angguk, kemudian memandang ke arah Kwee Cin dan berkata,
"Yang mana murid Bu Keng Liong bernama Kwee Cin?"
Kwee Cin tarkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut,
"Teecu Kwee Cin... murid yang berdosa...!"
Kembali Kakek ini memandang penuh perhatian, kemudian ia mengalihkan pandangan kepada Siang Hwi dan bertanya, suaranya tenang,
"Bu Siang Hwi, benarkah engkau mencintai Kwan Bu?"
Pertanyaan ini membuat Siang Hwi dan Kwan Bu terkejut. Siang Hwi memandang Kakek itu dengan mata terbelalak, kemudian menundukkan muka, tidak kuasa manjawab. Dia adalah seorang wanita. seorang gadis terhormat, bagaimana mungkin ia dapat mengaku tentang cinta kasihnya secara terbuka dan didengarkan orang lain seperti itu?.
"Bu Siang Hwi! Benarkah engkau mencinta Kwan Bu? Jawablah!"
Kembali terdengar pertanyaan aneh dari ketua Bu-Tong-Pai itu. Dengan jantung berdebar sampai mencekik leher sehingga sukar sekali mengeluarkan suara. Siang Hwi menjawab,
"Be.. benar... Locianpwe!"
"Hemmmmm... dan engkau Kwee Cin. Benarkah engkau mencinta gadis adik Kwan Bu?"
"Benar sekali, Locianpwe!"
Giok Lan mengerling tajam kearah Kwee Cin dan merenggut dengan sikap menegur mendengar jawaban penuh gairah itu.
"Hemm... hemmm... Pat-Jiu Lo-Koai tidak berbohong kalau begitu. Dengarlah engkau, Kwan Bu. Tadi, gurumu dan Pinto telah membuat perjanjian. Gurumu itu mengajukan permintaan agar dua orang murid Bu-Tong-Pai, yaitu Siang Hwi dan Kwee Cin dibebaskan bahkan minta doa restuku untuk dijodohkan dengan engkau dan adikmu. Sebaliknya, Pinto menghendaki agar kalian berempat menjadi tawanan Pinto untuk menebus Semua kekacauan yang telah kalian lakukan selama ini. kami berdebat dan akhirnya sepakat untuk memutuskannya dalam pertandingan. Siapa menang, dia berhak menentukan dan yang kalah harus menurut, Pinto sudah berjanji dan takkan dapat menarik kembali janji Pinto, maka menyingkirlah engkau dan biarlah Suhumu maju melanjutkan pertandingan melawan Pinto."
"Maafkan teecu. Suhu sedang sakit karena terkena racun ketika mengobati teecu. Pula, sebagai ketua Bu-Tong-Pai, teecu merasa yakin bahwa Locianpwe tidak akan berpandangan picik dan dangkal. Mengenai urusan teecu berempat, teecu rasa hanyalah akibat dari kesalah-pahaman belaka. teecu sendiri sama sekali bukan seorang yang memusuhi kaum pejuang yang menantang kekuasaan Kaisar lalim. sungguhpun teecu juga bukan tergolong seorang pejuang. teecu lebih condong dengan sikap yang diambil mendiang Bu Taihiap mengenai perang saudara itu.. Juga saudara Kwee Cin sama sekali bukanlah seorang murid Bu-Tong-Pai yang murtad atau menyeleweng. Perbuatan yang dilakukannya seolah-olah dia menyeleweng, sesungguhnya hanya demi menolong teecu dan adik perempuan teecu."
Dengan singkat Kwan Bu lalu menceritakan Semua kasalah-pahaman sehingga dia dicap sebagai kaum penentang kaum pejuang seperti Suhengnya Phoa Siok Lun yang menjadi kaki tangan Kaisar. kemudian ia menceritakan pula tentang sepak-terjang Kwee Cin.
"Demikianlah Locianpwe. Harap Locianpwe sudi menggunakan kebijaksanaan dan manghentikan pertentangan yang tidak manguntungkan ini."
Selama mendengarkan penuturan Kwan Bu, ketua Bu-Tong-Pai itu mengelus janggot sambil memandang wajah empat orang muda itu bergantian penuh selidik. Kini ia manghela napas panjang dan berkata,
"Ucapan yang keluar dari mulut seorang ketua merupakan ikatan yang tak mungkin dapat dilepas lagi. Pinto sudah barjanji dengan Pat-Jiu Lo-Koai untuk bertanding. Kalau dia menang, barulah Pinto akan manghabiskan semua pertentangan, bahkan akan memberi doa restu kepada kedua orang murid Bu-Tong-Pai yang memperoleh jodoh. Sebaliknya, kalau dia kalah, kalian berempat harus ikut bersama Pinto ke Bu-Tong-Pai untuk mendapat pengadilan di sana."
"Kalau begitu, terpaksa teecu memberanikan diri mewakili Suhu dan menghadapi Locianpwe."
"Bagus! Memang ingin Pinto menyaksikan sampai di mana kelihaianmu yang telah menggegerkan dunia kang-ouw. Engkau hendak menggunakan senjata atau bertangan kosong seperti Suhumu?"
Kwan Bu berlaku cerdik. Tadi ia telah menyaksikan kehebatan tenaga sinkang Kakek ini, bahkan gurunya sendiri pun telah memesannya agar berhati-hati terhadap tenaga sinkang lawan, maka ia lalu melepaskan pedangnya dan berkelebatlah sinar merah ketika Toat-bang-kiam yang telanjang berada di tangannya.
"Teecu menggunakan pedang pusaka Suhu!"
"Siancai... Toat-Beng-Kiam! pedang yang baik akan tetapi terlalu banyak minum darah manusia! Baiklah, orang muda, kita main-main sebentar dengan pedang! Tosu tua itu menggerakkan tangan dan telah mencabut pedang yang gagangnya beronce kuning itu. Tampak sinar putih berkelebat dan pedang putih di tangannya telah melintang di depan dada mengkilap tertimpa sinar bulan.
"Maafkan kelancangan teecu...!"
Kwan Bu berkata kemudian tubuhnya mencelat ke depan didahului sinar marah yang menyilaukan mata.
"Kiamsut yang hebat!"
Ketua Bu-Tong-Pai itu berseru dan cepat menggerakkan pedangnya, sama sekali tidak berani memandang ringan biarpun pemuda yang menjadi lawannya itu masih amat muda.
Siang Hwi, Giok Lan dan Kwee Cin menonton dengan jantung seolah-olah berhenti berdetak. Mereka merasa gelisah dan juga terharu karena Kwan Bu sekali ini berjuang untuk mereka semua! Berjuang dengan pedang merahnya untuk mempertahankan cinta kasih mereka! Adapun lawan yang dihadapinya sedemikian lihainya. Mata mereka menjadi silau melihat gulungan sinar merah dan putih itu saling belit, saling desak, dan saling himpit. Hanya kadang-kadang saja mereka dapat melihat tubuh Kakek itu atau tubuh Kwan Bu yang seringkali lenyap diselimuti gulungan kedua sinar yang kadang-kadang berkelebat panjang-panjang seperti pelangi kadang-kadang membentuk lingkaran-lingkaran lebar. Thian Khi Tosu kagum bukan main. Dia sendiri adalah ketua sebuah partai persilatan besar yang sudah amat terkenal karena kelihaian kiam-hoatnya,
Akan tetapi kini menghadapi ilmu pedang yang dimainkan Kwan Bu, ia menjadi kagum dan juga terkejut. Kiam-sut yang diamainkan pemuda ini luar biasa anehnya. akan tetapi amat kuat dan amat sukar dilawan, banyak memiliki jurus-jurus yang luar biasa, mengandung gerakan pedang yang dahsyat sehingga sinarnya seolah-olah merupakan senjata tersendiri yang runcing dan tajam! Terpaksa Kakek ini harus menjaga namanya sendiri juga nama Bu-Tong-Pai, mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan ilmu pedangnya yang paling lihai untuk mengimbangi kelihaian pedang lawan. Kakek ini maklum bahwa satu-satunya keuntungan darinya adalah tenaga sinkang, akan tetapi kemenangan ini tidak amat menentukan karena tentu saja dia kalah cepat dan kalah napas malawan seorang muda yang pantas menjadi cucunya!
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan seluruh pengarahan tenaganya, Kakek itu mulai mendesak Kwan Bu yang benar-benar harus mengakui bahwa selamanya baru satu kali ini ia menemui lawan tanding yang amat hebat. Kwan Bu melawan mati-matian, namun tetap saja terdesak dan sungguhpun hal ini sukar dilihat oleh tiga orang muda yang menonton, namun mereka dapat menduganya melihat betapa sinar merah menjadi makin sempit dan kecil sedangkan sinar putih menjadi makin lebar dan besar menekan. Otomatis tanpa dikomando karena isi hati mereka sama, Siang Hwi, Kwee Cin dan Giok Lan meraba gagang pedang mereka. Tantu saja mereka itu sama sekali tidak akan dapat membantu dalam pertandingan tingkat tinggi itu, akan tetapi isi hati yang khawatir membuat mereka meraba gagang senjata.
Gerakan mereka ini tidak terlepas dari pandang mata Thian Khi Tosu dan tiba-tiba Kakek ini menghela napas. Mengertilah ia bahwa kalau dia menang, berarti dia akan merusak kebahagiaan empat orang muda. Thian Khi Tosu adalah seorang Kakek yang bijaksana dan berbudi. Kalau tidak demikian, ini tak mungkin ia bisa menjadi ketua sebuah perkumpulan besar seperti Bu-Tong-Pai. Timbul rasa kasihan di hatinya dan ia menjadi serba salah. Kalau dia membiarkan dirinya kalah. Akan jatuhlah nama Bu-Tong-Pai kalau ketuanya sampai kalah malawan seorang pemuda! Kalau saja Pat-Jiu Lo-Koai bukan apa-apa karena memang Hwesio gendut itu lihai bukan main, Tadipun kalau Kakek gundul itu tidak sedang terluka dan sakit, belum tentu dia dapat mendesaknya.
Kalau dia memaksa diri dan mendapat kemenangan, berarti dia akan menghancurkan kebahagiaan empat orang muda ini! Kwan Bu juga makin gelisah. Dia harus menang. Apapun yang terjadi, dia harus menang! Bukan hanya demi Siang Hwi, akan tetapi juga demi kabahagiaan adiknya dan Kwee Cin. la merasa girang bahwa ia telah mempelajari Toat-Beng-Kiamsut dari Suhunya karena kalau dia tidak mempergunakan ilmu pedang itu, agaknya sudah sejak tadi ia roboh oleh ketua Bu-Tong-Pai yang lihai luar biasa itu. Tiba-tiba sinar pedang putih itu menyambar dan membelit ke arah kedua kakinya. Kwan Bu cepat menggunakan pedangnya menangkis dan membuyarkan gulungan sinar putih yang mengancam kakinya, kemudian ia meloncat ke belakang, terus sengaja menjatuhkan diri di atas tanah.
Bergulingan dan tangan kirinya bergerak. Tiga belas batang jarum telah dilepasnya barturut-turut sambil bergulingan itu kearah tiga belas jalan darah di tubuh Kakek lawannya. Dia tidak mengharapkan serangan jarumnya terhadap kakek lihai itu berhasil, akan tetapi bukan itulah maksudnya. Dia ingin agar Kakek itu menjadi sibuk dan lengah karena menghindarkan jarum-jarum itu agar ada bagian yang "terbuka"
Karena pertahanan Kakek itu kuat bukan main. Dan akalnya ini berhasil. Ketua Bu-Tong-Pai itu terkejut melihat jarum-jarum itu, akan tetapi tentu saja ia tidak khawatir dan cepat pedangnya diputar menangkis runtuh tiga belas batang jarum dengan beruntun. Akan tetapi saat itu. Kwan Bu telah menerjang dan pedangnya berubah menjadi sinar merah yang meluncur cepat sekali.
"Siancai...!"
Thian Hhi Tosu berseru keras saking kagum dan kagetnya.
"Trangg... cring...!"
Bunga api berhamburan dan tiba-tiba gulungan sinar marah dan sinar putih itu lenyap. Kwan Bu dan Kakek itu sudah berdiri berhadapan dalam jarak empat lima meter. Pundak pemuda itu terluka, bajunya robek dan berlepotan darah.
"Kwan Bu...!!"
Siang Hwi menjerit dan hendak lari menghampiri, akan tetapi tangannya dipegang Kwee Cin yang berbisik.
"Jangan dulu... lukanya tidak parah..?"
Siang Hwi hanya memandang dengan muka pucat, demikian pula Kwee Cin dan Giok Lan memandang dengan muka pucat. Pertandingan itu terlalu menegangkan dan mereka tidak mengerti mengapa dua orang itu berhenti bertanding, tidak mengerti pula bagaiman kesudahannya. Hanya melihat luka di pundak Kwan Bu, agaknya pemuda itu kalah! Kwan Bu menjura dan berkata.
"Locianpwe yang lihai luar biasa, teecu tidak mampu melawan Locianpwe...!"
Kakek itu menghela napas yang agak terengah-engah, lalu tersenyum pahit,
"Engkau tidak mengecewakan menjadi murid Pat-Jiu Lo-Koai dan telah mewarisi ilmu pedang yang kelak akan menjagoi di dunia kang-auw. Orang muda, engkau tidak kalah."
"Locianpwe, teecu telah terluka di pundak oleh ujung pedang Locianpwe yang seperti kilat itu,"
"Orang muda, pedang Toat-Beng-Kiam di tanganmu juga telah membabat putus ronce-ronce kuning yang manghias gagang telah lenyap. pedang merupakan nyawa kedua bagi seorang ahli pedang. Karena itu, lenyapnya ronce-ronce pedangku lebih berat dari pada terlukamu. Pat-Jiu Lo-Koai, Pinto mengaku kalah dan biarlah Pinto habiskan semua pertentangan dan Pinto mengharapkan kelak dapat membatalkan pantangan minum arak untuk minum arak pangantin, nah, sampai jumpa!"
Tubuh Kakek itu berkelebat lenyap dari tempat itu meninggalkan empat orang muda yang melongo saking heran, kagum dan juga gembira, kemudian mereka itu perlahan-lahan menoleh. Kwan Bu berpandangan dengan Siang Hwi, Kwee Cin berpandangan dengan Giok Lan. Dan kedua orang gadis itu menangis tanpa suara, hanya air mata mereka yang bertetesan keluar mambasahi pipi.
"Kwan Bu, engkau terluka..."
Siang Hwi manghampiri dan berbisik, rapat meneliti pundak pemuda itu,
"Tidak seberapa, nona. Hanya luka kecil..."
Ucapan yang dingin, ini membuat Siang Hwi tersentak mundur dan memandang Kwan Bu dengan mata terbelalak. Pada saat itu terdengar suara tertawa.
"Ha-ha-ha, sungguh lucu sekali ketua Bu-Tong-Pai! Dan sungguh beruntung nasib kalian, Thian Khi Tosu tadi telah bertanya kepada dua orang cucu muridnya, akan tetapi pihak lain belum ditanya. Eh, Kwan Bu, engkau muridku. Katakanlah, apakah engkau mencinta Siang Hwi?"
Kwan Bu menunduk dan berkata, suaranya seperti orang terharu dan berduka.
"Sudah sejak dahulu teecu mencintainya, Suhu,"
"Ha-ha, bagus dan engkau Giok Lan, engkau adik muridku dan sudah menjadi muridku pula. Apakah engkau mencinta Kwee Cin?"
Giok Lan mangerling kapada Kwan Bu, lalu menjawab dan kini memandang wajah Kwee Cin dengan berseri,
"Dahulu sih tidak, Suhu, Akan tetapi sekarang... ah, karena dia berkali-kali mengaku cinta, karena dia baik sekali, teecu... yah... begitulah..,"
"Eh-ah, bocah tidak genah!"
Pat-Jiu Lo-Koai yang sekarang sudah berdiri manghampiri dan mencela.
"Begitu, begitu... bagaimana?"
Giok Lan tersenyum dengan muka merah,
"Ia, begitu, sama seperti dia terhadap teecu!"
Ia menuding kearah muka Kwee Cin yang menjadi merah sekali."
"Wah-wah, engkau mengajak pinceng berteka-teki? Sama seperti dia? maksudmu engkau juga mencinta Kwee Cin?"
Giok Lan mengangguk-angguk seperti seekor ayam makan padi sambil menggigit Bibirnya, membuat Kwee Cin menjadi gemas hatinya dan mengancam dalam hati bahwa kelak kalau ada kesempatan, dialah yang akan manggigit Bibir itu! Tanpa bicara, Kwee Cin memegang tangan Giok Lan, mereka bergandeng tangan dan melangkah pasti kekiri, dipandang oleh Pat-Jiu Lo-Koai yang tertawa lebar. Ketika Kakek ini melihat Kwan Bu dan Siang Hwi juga berjalan perlahan melangkah pergi, Siang Hwi kelihatan masih khawatir menyentuh pundak Kwan Bu yang terluka.
"Ha-ha-ha-ha...!"
Pat-Jiu Lo-Koai tertawa dan duduk lagi bersila, masih tertawa-tawa sehingga perutnya yang gendut itu bargoyang-goyang. Kwan Bu mangajak Siang Hwi duduk di bawah pohon. Sunyi sekali di situ, hawanya sejuk dan sinar bulan redup menghijau. Kwan Bu membiarkan Siang Hwi merawat lukanya. Kemudian berkata lirih.
"Nona...!"
Terdengar isak tertahan dari Siang Hwi dan tangan yang merawat pundaknya itu menggigit.
"Kwan Bu, kasihanilah aku... jangan engkau menyebut nona lagi kepadaku."
Kwan Bu menelan ludah, memandang wajah ayu yang menengadah, dekat sekali dengan mukanya,
"Hwi-moi...!"
"Kwan Bu..., yakinkah engkau akan perasaan hatiku...?"
"Engkau belum menjawab... pertanyaanku, Dahulu, ketika aku memeluk dan menciummu. mengapa engkau menuduhku yang bukan-bukan, menuduhku berlaku kurang ajar dan memaksamu... kemudian kau katakan bahwa engkau... suka dan berbahagia sekali akan perbuatanku itu... ah, apakah maksudmu, nona... ah, moi-moi...?"
Pundak itu sudah dibalut dan dengan sikap manja, Siang Hwi merangkul leher pemuda itu.
"Engkau masih tidak mengerti? Karena..., karena sejak dahulu, sejak kita masih kanak-kanak, sejak engkau kami jadikan bahan untuk berlatih tiam-hoat, sejak engkau membuka baju dan membiarkan tubuhmu menjadi korban latihan kami, sejak itu aku... sudah... mencintaimu, akan tetapi... ah, engkau selalu merendahkan diri, sehingga aku makin tinggi hati, Aku mencintaimu, merindukanmu, karena itu, aku... aku merasa bahagia ketika kau memelukku, akan tetapi... ketika terlihat orang lain, karena kau selalu merendahkan diri, menekan keyakinan dan kesan mendalam bahwa engkau adalah seorang bujang dan aku majikanmu... karena aku menjadi tinggi hati aku menjadi malu dan... dan mengingkari isi hatiku sendiri, Akan tetapi, engkau sudi memaafkan aku, bukan? Kwan Bu, aku selalu akan menyesal kalau teringat akan perlakuanku terhadapmu... maafkan aku...!"
"Cukup, Siang Hwi kekasihku, kita tanam yang sudah-sudah dan kita berjanji takkan lagi menyinggung hal yang lalu. Kau berjanji?"
"Aku berjanji."
"Perjanjian harus disahkan..?"
Bisik Kwan Bu dan karena mereka sudah berangkulan sejak tadi, sedikit saja menundukkan mukanya, Bibir mereka bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra dan lama, seolah-olah telah melekat dan takkan berpisah lagi.
Dibagian lain dari puncak itu, dengan malu-malu dan canggung, Kwee Cin mencium pula Giok Lan. Kecanggungan mereka yang sama sekali belum berpengalaman itu mendatangkan kegelisahan hati dan memancing suara ketawa mereka, ketawa yang ditahan dan saling cubitan dan senda gurau. Adapun di tengah-tengah puncak, diantara dua pasang orang muda yang sedang memadu asmara itu, Pat-Jiu Lo-Koai duduk tertawa, tertawa bebas lepas yang gemanya mengalun di seluruh permukaan puncak bukit Pek hong san.
TAMAT
ardi4n, 6 Mei jam 1:03pm
http://indozone.net/literatures/literature/1717
Kisah Pendekar Bongkok Karya Kho Ping Hoo Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo