Ceritasilat Novel Online

Dendam Si Anak Haram 3


Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Ha-ha-ha-ha, bocah, apakah Bu Keng Liong menggunakan engkau untuk menyelamatkan diri? Ha-ha-ha, kalau dia memang takut, lebih baik serahkan anak Liu Tiu itu kepada Pinto dan habis perkara. Pinto pun bukan orang yang suka mencari permusuhan dengan Bu Taihiap!"

   "Engkau keliru besar, Totiang. Sudah kukatakkan tadi bahwa Bu Taihiap bukan lawanmu, maka jangan kau paksa jika tidak ingin kusebut pengecut dari penakut paling besar di dunia ini. aku datang karena kehendakku sendiri, mengapa nama Bu Taihiap dibawa-bawa? Dia menantimu dengan pedang di tangan, dia tidak pernah takut, akan tetapi engkaulah yang beraninya hanya melawan orang yang kepandaiannya lebih rendah daripadamu, Cih, tak bermalu!!!"

   Sesabar-sabarnya manusia ada batasannya. Ya Keng Cu bukan seorang dewa, melainkan seorang manusia biasa. Mulailah ia "terbakar"

   Oleh ucapan-ucapan Kwan Bu, matanya mengeluarkan sinar berapi,

   "Budak cilik! Jagalah baik-baik mulutmu yang kurang ajar! Kalau Pinto tidak ingat bahwa engkau masih seorang kanak-kanak, lehermu sudah kupenggal sejak tadi!"

   "Nah-nah, apa kataku tadi? Beranimu hanyalah mengancam kanak-kanak!"

   "Keparat! Kalau Bu Taihiap bukan lawanku, siapa yang akan melawan Pinto? Engkaukah? Ha-ha-ha-ha!"

   "Beberapa tahun lagi baru aku akan melawanmu! Akan tetapi sekarang, kalau engkau bisa menandingi guruku. barulah engkau berhak memakai julukan Koai-kiam dan tidak akan kusebut pengecut lagi. Lawanlah dulu guruku, kalau engkau menang, baru kau boleh ganggu keluarga Bu, aku tidak banyak omong lagi!"

   Hati pendeta itu sudah kena dibakar. Ia marah dan penasaran, mendengar ini lalu tertawa.

   "Ha-ha-ha, baru bisa sedikit ilmu menotok kau sudah sombong menganggap gurumu dewa? Ha-ha, bocah, kau bermulut lancang, mungkin belum pernah menyaksikan ilmu yang sebenarnya. Nah, kau lihat baik-baik, apakah gurumu sanggup melakukan seperti ini?"

   Baru saja habis Tosu itu berkata, tubuhnya sudah berkelebat melayang ke arah sebatang pohon besar,

   Lalu tampak sinar terang kemerahan menyambar-nyambar di sekeliling pohon seakan-akan pohon itu terbakar sinar merah. Tak lama kemudian sinar merah lenyap, tubuh pendeta itu sudah berada di depannya, Kwan Bu berhenti bernapas saking kaget dan herannya melihat betapa pohon itu telah berubah bentuknya! Pohon itu kini telah menjadi bulat bentuknya. Semua daun dan ranting telah terbabat rapi dan kini di bawah pohon tampak bertebaran daun dan ranting. Bahkan ketika Tosu itu sudah kembali di tempatnya, masih ada beberapa helai daun yang melayang-layang belum sampai ke tanah! Pucat wajah Kwan Bu, akan tetapi kesuraman malam menyembunyikan perubahan warna mukanya. Ia menduga tepat. Ilmu pedang kakek ini hebat luar biasa dan kalau bertanding melawan kakek ini, majikannya bisa celaka. Maka ia lalu tertawa,

   "Hahaha, permainan kanak-kanak macam itu boleh saja kau pakai untuk menakut-nakuti orang lain, akan tetapi tentu hanya ditertawai guruku."

   "Bocah! Siapa gurumu? Panggil dia ke sini biar kupenggal lehernya dalam sepuluh jurus!"

   Bentak si Tosu yang tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi.

   "Kuberitahu juga, tentu engkau tidak mengenalnya. Namanya terlalu besar untuk dikenal sembarangan tokoh seperti Totiang."

   Hampir saja tangan Tosu itu bergerak menampar kepala Kwan Bu saking marahnya. Dia dikatakan tokoh sembarangan!"

   Padahal ia amat terkenal di dunia kang-ouw dan tidak ada tokoh besar yang tidak dikenalnya, sedikitnya mengenai nama. Melihat kemarahan Tosu itu memuncak, Kwan Bu yang cerdik tidak mau menggoda lagi dan melanjutkan.

   "Guruku seorang Hwesio."

   Anak ini tahu bahwa Hwesio dan Tosu tidak pernah akur, maka ia sengaja menyebut nama Hwesio agar membuat si Tosu menjadi makin penasaran. Yang penting, pikirnya Tosu ini tidak akan menyerbu rumah majikannya!

   "Hemm, seorang keledai gundul, ya? Bagus, siapa julukannya?"

   Karena memang tidak punya guru. Kwan Bu tentu saja tidak dapat menyebutkan julukannya, akan tetapi ia tidak kekurangan akal dan berkata lagi.

   "Tak perlu menyebut nama, guruku dalam beberapa hari ini akan datang ke sini. Kau tunggulah saja kalau beliau sudah datang, boleh memusuhi Bu Taihiap."

   Anak ini mengarang cerita begitu dengan maksud agar majikannya mendapat waktu dan kesempatan untuk mencari akal menghadapi lawan berat ini.

   "Bocah! Kalau kau tidak menyebutkan nama gurumu, Pinto tidak akan melayanimu lagi!"

   Tosu itu kini menengok ke arah rumah tinggal Bu Taihiap dan hati Kwan Bu menjadi gelisah. Saking cemasnya kalau-kalau Tosu ini benar-benar tidak melayaninya dan meninggalkannya menerjang ke dalam rumah, ia berkata cepat-cepat dan gagap.

   "Guruku bukan manusia sembarangan. Beliau setengah dewa... berlengan delapan...!"

   Tentu saja ini hanyalah bual dan gertakan seorang kanak-kanak. akan tetapi sungguh di luar dugaan Kwan Bu, Tosu tua

   (Lanjut ke Jilid 03)

   Dendam Si Anak Haram (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   itu menjadi pucat dan agaknya menjadi kusut sekali. Sejenak Tosu itu termanggu kaget, kemudian membentak,

   "Dia...? Tak mungkin! Bocah kecil, kau berani membohong, ya? Kau pantas dipukul"!"

   Tosu itu melangkah maju dan membuat gerakan hendak menampar.

   "Ha-ha, sejak kapan seorang Tosu tua Bangka hendak memukul seorang anak kecil?"

   Suara ini parau dan besar sekali namun tanah di sekitar pekarangan itu serasa tergetar-getar seperti ada gempa bumi, Kwan Bu cepat menengok sambil memutar tubuh ke belakang dan... kiranya disitu telah berdiri seorang Hwesio tua yang berkepala gundul dan amat gendut perutnya, persis seperti arca yang sering ia lihat dalam kelenteng! Hwesio tua ini bertangan kosong, kepalanya gundul pelontos. bahkan tubuh atas tidak memakai baju.

   "Pat-Jiu Lo-Koai...!!"

   Si Tosu berseru dengan suara kaget sekali. Dan Kwan Bu yang mendengar ini menjadi kaget juga girang. Agaknya di dunia ini memang ada Orang yang berjuluk Pat-Jiu Lo-Koai (Kakek Aneh Berlengan Delapan), jadi cocok dengan kata-katanya tadi bahwa gurunya berlengan delapan. Pantas saja Tosu ini kaget, dan mengapakah Tosu itu kaget mendengar nama seorang Hwesio yang kelihatan lucu ini? Ia cepat mundur dan minggir sambil menonton dengan mata terbelalak dan penuh perhatian.

   "Pat-Jiu Lo-Koai, jadi benarkah engkau guru bocah ini?"

   "Ha-ha-ha, semua orang di dunia adalah murid pinceng (aku), termasuk engkau sendiri, Ya Keng Cu!"

   Kwan Bu mendengar ini menjadi geli hatinya. Eh, kiranya Hwesio ini tidak bohong, karena biasanya seorang Hwesio disebut Suhu (guru) oleh semua orang, jadi tidaklah terlalu salah kalau Hwesio itu dianggap guru olehnya!

   "Pat-Jiu Lo-Koai, jalan kita bersimpang harap kau orang tua jangan mencampuri urusanku dengan keluarga Bu."

   "Eh, Tosu yang sama tuanya dengan pinceng, kau dengarlah. Pinceng juga minta agar engkau jangan mencampuri urusan Bu Keng Liong dengan anak keponakannya itu. Nah kau tidak mencampuri urusan mereka, pinceng tidak mencampuri urusanmu. Bukankah adil itu?"

   "Wah, adil. Adil sekali itu!!"

   Kwan Bu bersorak girang, merasa mendapat kawan.

   "Pat-Jiu Lo-Koai, kalau begitu kau sengaja menantangku!"

   Sambil berkata demikian, Tosu itu menggerakan tangan kanannya dan tampaklah sinar kemerahan ketika pedangnya tercabut. Kwan Bu menjadi khawatir lagi. Ah, kalau sampai terjadi pertempuran, mana bisa Hwesio gendut ini menang? Dia memandang dengan hati berdebar-debar. Akan tetapi Hwesio itu hanya tertawa, lalu menggunakan tangan mengelus-elus kepalanya yang gundul licin.

   "Hah-hah, kepalaku baru saja dicukur licin, mana bisa kau hendak tolong aku mencukurnya kelimis seperti pohon itu? aha, Tosu kau terlalu baik hati!"

   Diejek demikian, Koai-Kiam Tojin yang sudah mengenal siapa adanya Hwesio di depannya, berseru keras dan menerjang maju. Pedangnya berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung. Untuk kedua kalinya selama hidupnya Kwan Bu menyaksikan pertandingan.

   Pertandingan pertama antara kedua majikannya melawan tujuh orang Sin-To Chit-Hiap dianggapnya merupakan pertandingan yang hebat dan amat cepat, akan tetapi pertandingan sekali ini membuat ia benar-benar melongo, karena ia seperti melihat kilat menyambar-nyambar dan angin menderu-deru di sekeliling tempat itu. Ia tidak bisa melihat bagaimana jalannya pertandingan karena sama sekali tidak melihat dua orang itu. Hanya tampak gulungan sinar pedang merah menyelimuti mereka berdua sehingga anak ini hanya berdiri terpaku di tempatnya dengan mata terbelalak menahan napas. Lewat sepuluh menit, tiba-tiba gulungan itu pecah menjadi dua dan tahu-tahu tubuh si Tosu sudah mencelat dan berdiri jauh. Pedangnya kini telah berada di tangan si Hwesio gendut yang tertawa-tawa lalu melontarkan pedang ke arah Tosu itu sambil berkata,

   "Permainan bagus sekali. apakah masih ada lagi, Totiang?"

   Tosu itu marah bukan main, menerima pedangnya, lalu menjura dan berkata.

   "Sepuluh tahun lagi Pinto datang untuk membunuh anak Liu Ti di rumah ini, boleh Lo-Suhu datang menghalangi!"

   "Ha-ha-ha, cukup kelak kuwakilkan pada muridku, Tosu bandel!"

   Ya Keng Cu memandang kepada Kwan Bu dengan melotot, kemudian tubuhnya berkelebat dan ia lenyap dari situ. Hwesio itu tertawa lagi, mengelus-elus perutnya yang gendut, kemudian membalikkan tubuhnya dan dengan langkah lebar meninggalkan pekarangan itu.

   "Lo-Suhu... tunggu...!"

   Kwan Bu memanggil dan mengejar, akan tetapi Hwesio itu berjalan terus tanpa memperdulikannya. Betapapun cepatnya Kwan Bu mengejar, tetap saja ia tidak mampu menyusul dan setibanya di bawah dinding pekarangan, tubuh Hwesio itu tiba-tiba mencelat ke atas dan lenyap di luar dinding, Kwan Bu berlari-lari melalu pintu dinding dan terus ia berlari keluar. Tidak dilihatnya ke mana perginya Hwesio itu, maka ia berlari terus mencari-cari. Tiba-tiba dari jauh ia melihat bayangan Hwesio itu berjalan seenaknya menuju ke selatan kota. Ia terus mengejar sambil memanggil-manggil.

   "Lo-Suhu... tunggu", teecu (murid) mohon menjadi murid Lo-Suhu...!"

   Namun Hwesio itu terus berjalan sampai di luar kota sebelah selatan kemudian tiba-tiba lenyap. Kwan Bu terus mengejar. Terengah-engah, dan jatuh bangun karena jalanan gelap. Namun ia tidak perduli, terus ia berlari-lari ke depan. Bayangan Hwesio itu kadang-kadang Nampak, kadang-kadang lenyap. Benar-benar seperti setan, akan tetapi setiap kali tampak oleh Kwan Bu, anak ini terus berteriak-teriak memanggil dan menyatakan ingin menjadi muridnya. Hwesio gendut itu tetap tidak pernah menengok dan berjalan terus, bahkan kadang-kadang menghilang.

   Sampai malam terganti pagi, Kwan Bu masih terus mengejar-ngejar bayangan Hwesio itu. Tubuhnya sudah lelah sekali, akan tetapi ia tidak perduli! Ia harus menjadi murid Hwesio sakti itu. Harus! Biar sampai mati mengejar, lebih baik mati kalau tidak bisa menjadi muridnya, karena ia tahu bahwa selama hidupnya belum tentu dapat bertemu dengan seorang guru yang sakti seperti Hwesio itu. Sampai tengah hari, Hwesio itu masih tampak berjalan di depan, menuju sebuah gunung, mulai mendaki gunung. Melihat ini sungguh mengecilkan hati. Tubuh sudah lelah seperti itu, bagaimana harus mendaki gunung lagi? Namun Kwan Bu adalah seorang anak yang sejak kecil sudah banyak mengalami tekanan batin, sudah pandai menyimpan perasaan dan karenanya tekadnya kuat sekali. Ia mengejar terus dan tiba-tiba bayangan Hwesio di lereng gunung itu lenyap!

   Kwan Bu mendaki terus dengan susah payah, tidak mungkin Hwesio itu menghilang, pikirnya. Tentu di atas sana terdapat kuilnya. Sepatunya sudah mulai hancur batu-batu runcing rnenggerogoti telapak kakinya. Lututnya terasa tak bertulang lagi, akan tetapi ia tidak mau berhenti sama sekali. Sampai matahari turun ke barat, Hwesio itu tidak tampak lagi dan mulailah hati anak itu khawatir. Ingin ia menangis, ingin ia menjerit-jerit karena kecewa dan menyesal, akan tetapi ia menekan perasaan ini dan mendaki terus. Ia harus menemukan Hwesio itu atau kalau perlu mati dalam usahanya! Setelah melalui dan naik turun beberapa anak bukit di lereng-lereng gunung itu, mencari ke mana, akhirnya cuaca menjadi demikian gelapnya sehingga tidak memungkinkan dia maju lagi. Banyak terdapat jurang-jurang di situ dan di dalam gelap, mana mungkin maju? Pula, kedua kakinya sudah tidak dapat ia gerakkan lagi.

   Semalam dan sehari ia berjalan dan berlari tanpa henti. Ia masih berusaha mengangkat kaki, akan tetapi tak dapat dan setelah mengeluarkan keluhan panjang, tubuh anak ini terguling ke atas tanah dalam keadaan pingsan! atau boleh jadi juga tertidur karena saking lelahya. Pada keesikan harinya, sinar matahari yang hangat membangunkannya. Ia merasa tubuhnya sakit-sakit perutnya lapar, akan tetapi ia tidak menghiraukan semua itu. Pertama-tama yang dilakukan adalah bangkit duduk dan memandang ke sekeliling dengan pandang mata mencari-cari. Mencari bayangan Hwesio itu! Namun lereng gunung itu sunyi sekali, tidak ada seorang pun manusia. Ia bangkit berdiri, kakinya sakit-sakit akan tetapi dapat digerakkan dan mulailah mendaki lagi sambil berpegangan pada batu-batu besar.

   Sampai lewat tengah hari ia masih mendaki, keringatnya sudah membasahi seluruh tubuh dan perutnya amat lapar, serasa kulit perut menempel kulit punggung saking kosongnya, kedua kakinya seperti tak bertulang lagi. Ia tidak putus harapan, hanya hampir putus tenaga. Sore hampir tiba dan tidak tampak bayangan Hwesio itu. Ketika Kwan Bu dengan pengerahan tenaga seadanya mendaki lagi sebuah puncak kecil dengan hati lebih berat daripada kakinya karena sedari itu tak juga ia melihat bayangan Hwesio yang dikejarnya, tiba-tiba ia hampir berseru kegirangan karena dari puncak kecil itu ia melihat bayangan Hwesio gendut yang dicari-carinya! akan tetapi Hwesio itu berada di tempat jauh di bawah dan jalan menuju Hwesio itu hanya melalui sebuah jurang yang terjal sekali. Namun Kwan Bu tidak perduli.

   "Lo-Suhu...!!"

   Ia berteriak girang lalu turun dan mulailah ia merangkak menuruni jurang yang amat terjal dan sukar itu. Hanya berpegang kepada ujung-ujung batu gunung atau pohon-pohon yang tumbuh di situ, atau menginjak benda-benda yang sama pula, Amat sukar, licin dan kaki tangannya sudah mulai baret-baret terkena batu yang tajam, akan tetapi ia turun terus tidak perdulikan itu semua, kadang-kadang menengok ke bawah dan bayangan Hwesio yang berdiri termenung jauh di bawah itu menambah semangatnya.

   Akan tetapi, kekuatan yang timbul dari kegembiraan hati itu tidaklah dapat bertahan lama karena memang tubuhnya sudah terlalu lelah, perutnya terlalu lapar dan urat-urat di tubuhnya terlalu banyak dipergunakan, melewati ukuran. Setelah merayap turun kira-kira lima puluh meter, tiba-tiba kakinya terpeleset. Ia bergantung dengan tangannya saja pada sebuah akar pohon. Celaka baginya akar itu sudah lapuk dan tak dapat ditahan lagi, tubuhnya melayang jatuh ke bawah, ke tempat yang dalamnya tidak kurang dari tiga ratus meter! Orang lain mungkin akan mengeluarkan pekik mengerikan kalau terjatuh seperti ini, atau pingsan, akan tetapi Kwan bu benar-benar seorang anak yang luar biasa. Ia tidak menjerit, bahkan ia menekan rasa ngerinya, menggunakan akalnya, kaki tangannya bergerak terutama tangannya menjangkau sedapat mungkin ke arah lereng jurang.

   Tiba-tiba ia merasa kedua tangannya seakan-akan hendak terlepas dari tubuh, pundaknya serasa patah, akan tetapi tubuhnya tidak melayang turun lagi. Kiranya ia telah jatuh tersangkut pada sebatang pohon kecil dan kedua tangannya berhasil mencengkeram ranting-rantig pohon itu. Tubuhnya sakit-sakit, terutama pundak dan lengannya, akan tetapi ia selamat... untuk sementara. Berapa lama ia dapat bertahan? Selagi ia meramkan mata untuk mengusir kepeningan kepalanya, tiba-tiba ia mendengar tertawa, ia membuka mata dan... Tahu-tahu Hwesio gendut itu sudah berada di situ, berdiri di pangkal pohon yang berada di sebelah bawahnya, ada dua puluh meter jaraknya antara dia dan Hwesio gendut di bawah.

   "Ha-ha-ha, bocah bandel. Mengapa kau mengejar-ngejar pinceng sampai begini macam?"

   "Lo-Suhu...!"

   Kata Kwan Bu dan ia sendiri merasa heran mendengar semuanya, begitu ringan, begitu kosong, seperti bukan suaranya sendiri, suara orang yang berada di ambang pintu kematian, hampir kelaparan, hampir kehabisan tenaga.

   "Lo-Suhu... teecu mohon... sudilah kiranya Suhu menerima teecu menjadi murid..?"

   "Mau apa menjadi murid pinceng? Pinceng tidak bisa apa-apa!"

   "Teecu... teecu ingin belajar ilmu silat..?

   "Ha-ha-ha, anak goblok kalau belajar ilmu silat saja sampai ditempuh seperti ini! apa sih untungnya pandai silat? Mau apa kau belajar silat?"

   "Agar teecu dapat membasmi orang-Orang jahat!"

   Jawab Kwan Bu tidak ragu-ragu lagi. Kembali Hwesio itu tertawa, kemudian berkata.

   "Pinceng sih tidak perduli engkau mau menggunakan ilmu silat untuk membasmi kejahatan atau tidak. Bukan urusan pinceng itu, ha-ha-ha! Sudah bulatkah hatimu menjadi murid pinceng?"

   "Sudah, Lo-Suhu. Mohon diterima..."

   "Haa, diterima sih mudah, akan tetapi kalau memang sudah bulat tekadmu, kau boleh meloncat dari tempatmu itu ke sini. Aku tidak mau menolongmu kalau kau salah loncat dan mati terbanting di bawah sana. Beranikah?"

   Kwan Bu sudah tidak memikirkan hal-hal lain lagi. Apalagi hanya meloncat, biar mati sekalipun ia tidak takut.

   "Baik, Lo-Suhu!"

   Katanya dengan keberanian penuh, ia lalu meloncat dari atas pohon kecil itu ke arah tempat Hwesio gendut. Tubuhnya melayang bagaikan sebuah batu cepat sekali dan tentu tubuh itu akan terbanting hancur kalau saja Hwesio itu tidak mengangkat kaki dan... menerima tubuhnya dengan gerakan kaki menendang. akan tetapi anehnya tubuh itu berhenti meluncur dan tahu-tahu ia sudah berdiri di depan Hwesio itu. Cepat ia menjatuhkan diri berlutut dan mengangguk-angguk delapan kali sambil menyebut,

   "Suhu..!"

   Hwesio itu kembali tertawa.

   "Semangatmu dan keberanianmu lebih besar dari pada dua orang muridku. Sebetulnya pinceng sudah merasa terlalu banyak dengan dua muridku, akan tetapi melihat semangatmu, biarlah pinceng menambah seorang lagi. Mudah-mudahan kau tidak mengecewakan hati pinceng. Hayo, pegang tanganku dan ikutlah!"

   Kwan Bu girang bukan main.

   Ia berusaha berdiri dan memegang tangan Hwesio gendut yang menjadi gurunya itu dan... ia hanya memeramkan mata saking ngerinya menyaksikan betapa pohon-pohon beterbangan lewat di kanan kirinya. Kedua kakinya terangkat dan ia seperti terbang saja dengan kecepatan yang amat luar biasa. Gurunya telah membawanya berlari cepat seperti terbang! Pada keesokan harinya setelah malam kedatangan Ya Keng Cu yang gagal itu, Bu Taihiap terheran-heran karena Tosu itu semalam tidak muncul. Selagi ia terheran-heran dan menduga-duga, ia mendapat laporan dari Ciok Kim yang menangis dan mengatakan bahwa puteranya Kwan Bu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas, tidak meninggalkan pesan, bahkan pakaiannya pun tidak dibawa. Penuh kekhawatiran, akan tetapi ia dihibur oleh Bu Keng Liong yang tahu akan watak Kwan Bu yang penuh keberanian dan aneh.

   "Jangan khawatir, aku melihat puteramu itu bukan anak sembarangan. Anak seperti dia tidak akan mengalami malapetaka. Percayalah. mungkin sekali dia mencari guru yang sakti."

   Ciok Kim terhibur dan membenarkan dugaan ini. akan tetapi yang masih menduga-duga adalah Bu Taihiap. Adakah hubungan antara tidak munculnya Tosu itu dan Ienyapnya Kwan Bu? Di sudut hatinya, ia mendapat dugaan bahwa agaknya ketidakmunculan Tosu itu adalah karena perbuatan Kwan Bu yang entah telah melakukan apa dan entah sekarang pergi ke mana. Isterinya pun terheran-heran, akan tetapi Liu Kong segera berkata.

   "Agaknya Tosu jahat itu suka kepadanya dan mengambilnya murid. Kelak bocah itu tentu akan datang dan memusuhi kita."

   "Kwan Bu? Hemm... aku tidak takut, biarpun dia menjadi murid Tosu jahat itu,"

   Kata Siang Hwi. adapun Kwee Cin diam saja, hanya diam-diam ia mengharap agar kelak Kwan Bu tidak menjadi orang jahat seperti Tosu itu.

   "Sumoi, begitu kejamkah hatimu? Tidak sedikitkah kau menaruh kasihan terhadap seorang pria yang tergila-gila kepadamu ini? Sumoi, bertahun-tahun aku menahan diri, sehingga tamat pelajaran kita. Waktu berpisah sudah dekat, tidak maukah engkau membalas cinta padaku?"

   Gadis itu mengerutkan keningnya, lalu membalikkan tubuh membelakangi pemuda itu untuk menyembunyikan dua titik air mata yang meloncat keluar dan mengalir di pipinya.

   "Suheng sudah berulang pula kukatakan kepadamu, kita ini kakak beradik seperguruan, dan kini bukan waktunya bicara tentang perjodohan. Mengapa kau begini mendesak?"

   "Hemm, Sumoi apakah engkau lebih condong memilih Sute daripada aku? Bocah tolol itu? Kau mencintai dia?"

   Gadis itu membalikkan tubuhnya memandang marah, mukanya yang manis kemerahan menambah kejelitaannya.

   "Twa-Suheng! Kau terlalu menuduh yang bukan-bukan! Pula, kau tidak semestinya menyebut Sute tolol. Kepandaiannya tidak di sebelah bawah kita!"

   "Ha-ha-ha! Mungkin karena ia hanya hampir sepuluh tahun setiap hari melatih jarum-jarum terkutuk itu, ia menjadi ahli menyambit jarum yang yang jarang ada keduanya. Akan tetapi dalam hal ilmu pedang, belum tentu ia dapat menangkan aku! Di samping itu, dia tidak terpelajar seperti aku, dia miskin tidak seperti aku, dan tentang wajah, hemm... apakah aku kalah olehnya, Sumoi? Jawablah, adik manis, sungguh aku cinta..?"

   "Sudahlah, Jemu aku mendengarnya!"

   Kata gadis itu sambil membalikan tubuhnya lari membelakangi pemuda itu. Gadis itu usianya kurang lebih dua puluh tahun, wajahnya manis dan tubuhnya langsing padat berisi. Karena pakaiannya serba ringkas seperti biasa pakaian seirang ahli silat, maka pakaiannya itu tidak banyak menyembunyikan lengkung-lekuk tubuhnya yang menggairahkan. Di balik kecantikannya jelas tampak sifat gagah seorang pendekar wanita. Sebatang pedang tergantung di punggung dengan gagang terhias ronce-ronce merah. Inilah Liem Bi Hwa murid kedua dari Pat-Jiu Lo-Koai, seorang gadis yatim piatu yang tidak mempunyai keluarga lagi karena keluarganya tewas semua ketika perampok mengganas di dusunnya.

   Dia puteri seorang sasterawan miskin dan biarpun ia berusia Sembilan tahun ketika Pat-Jiu Lo-Koai membawanya ke puncak gunung dan dijadikan muridnya, namun Bi Hwa sudah pandai tentang sastera. Hwesio gendut ini melihat bakat baik pada diri Bi Hwa maka diambilnya sebagai murid kedua. Murid pertamanya adalah si pemuda itu, pemuda berusia dua puluh tiga tahun, bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan gagah. Pakaiannya mewah dan pedang yang tergantung di pinggangnya amat indah. Pemuda ini adalah Phoa Siok Lun, putera Phoa wangwe (hartawan Phoa) yang tinggal di Kam-Sin-Hu. Dia belajar setahun lebih dulu dari Bhi Hwa dan semenjak Bhi Hwa menjadi adik seperguruannya, ia selalu bersikap manis kepada gadis ini. Ia dibekali banyak uang emas oleh Ayahnya, maka ia dapat hidup mewah dan royal,

   Dan selalu membelikan pakaian untuk Sumoinya dari pedagang keliling yang lewat di dusun-dusun yang terletak di kaki gunung itu. akan tetapi rasa sayang sebagai saudara seperguruan ini makin lama tumbuh menjadi cinta kasih seorang pria terhadap wanita. Seperti kita ketahui, Pat-jiu Lo-kiai mengambil Kwan Bu sebagai murid pula, murid ketiga, sungguhpun dalam usia ia lebih tua setahun dari pada Bi Hwa, namun karena ia murid ketiga, ia menyebut Suci (kakak seperguruan) kepada gadis itu yang menyebutnya Sute (adik seperguruan). Demikianlah, pagi hari itu terulang kembali adegan-adegan yang sering terjadi antara Siok Lun dan Bhi Hwa, yaitu pernyataan cinta kasih pemuda ini kepada Sumoinya. Sesungguhnya secara diam-diam di dalam hatinya Bi Hwa juga tertarik dan suka kepada twa Suhengnya yang tampan gagah dan kaya raya.

   Akan tetapi karena Suheng ini terlalu mendesak dan selalu memperlihatkan sikap hendak mencumbu rayu. Gadis itu menjadi kesal hatinya dan merasa tersinggung, merasa tidak dihargai. Berbeda dengan sikap Sutenya, Kwan Bu yang selalu ramah tamah dan sopan terhadap dirinya. Suhengnya ini tidak ragu-ragu kadang-kadang menyentuh tangannya, memandang ke arahnya seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat! Siok Lun memandang tubuh Sumoinya yang membelakanginya. Tubuh yang terbungkus pakaian dengan ketat, yang memperlihatkan bagian-bagian belakang tubuh yang indah dan padat. Alangkah bedanya dengan wanita-wanita yang kadang-kadang diperolehnya di dusun-dusun di kaki gunung. Tidak pernah ia mendapatkan wanita yang kulit lehernya begini putih kuning dan halus, rambut yang begitu halus dan hitam, yang mengikat mayang di dekat telinga.

   Siok Lun memang seorang pemuda yang tak dapat mengekang nafsu. Karena gurunya lebih sering bertapa daripada memperhatikan murid-muridnya, karena gurunya seorang aneh yang tak pernah memberi pendidikan ahlak, maka pemuda ini seenaknya saja mencari hiburan, bermain-main dengan wanita-wanita di dusun-dusun, mempergunakan pengaruh uangnya, ketampanannya, juga kadang-kadang kepandaiannya. Kini, setelah menjadi hamba dari pada nafsu birahinya sendiri, melihat tubuh Sumoinya dari belakang. membuat nafsunya berkobar dan tak dapat lagi ia menahannya, membuat pikiran yang jernih menjadi keruh. Ia memandang ke kanan kiri. Sunyi di situ. Gurunya sedang Samadhi, adapun Kwan Bu kalau tidak berlatih pedang tentu berlatih main jarum yang menjemukan itu. Setelah mendapat kenyataan bahwa sekelilingnya sunyi, ia memangil.

   "Sumoi...!"

   Ketika Sumoinya membuat gerakan menengok, saat itulah ia menggerakan tangannya menotok. Kalau ia tidak memanggil dulu. belum tentu ia akan dapat menotok Sumoinya yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Akan tetapi karena dipanggil dan menengok, maka perhatian gadis itu terpecah sehingga ia dapat ditotok roboh dalam keadaan lemas! Siok Lun menerima tubuh yang hendak roboh itu, lalu dipondong dan diciumilah mulut yang setengah terbuka dan tak berdaya itu penuh nafsu sambil membawa lari menuju ke hutan di lereng gunung!

   "Suheng! Suci mengapa?"

   Bagaikan disambar halilintar, Siok Lun melompat bangun. Ia baru saja merebahkan Bi Hwa di atas tanah yang penuh rumput hijau. Ia membalik dan ternyata Kwan Bu telah berdiri di hadapannya. Siok Lun menjadi pucat mukanya.

   "Entah..., entah mengapa dia... pingsan agaknya, aku sedang berusaha menyadarkannya..?"

   Siek Lun cepat berlutut di dekat tubuh Bi Hwa, membelakangi Kwan Bu dan cepat sekali ia meraba jalan darah Sumoinya sehingga terbebas dari totokannya. Bi Hwa meloncat bangun sambil terisak. Tangannya yang kiri mengusap-usap Bibirnya seakan-akan hendak rnenghapus sesuatu dari Bibirnya. Kalau ia teringat tadi betapa mulutnya diciumi begitu rupa oleh mulut Suhengnya, ingin rasanya ia menjerit dan mencabut pedang untuk menyerang Siok Lun. akan tetapi, dia seorang gadis yang dapat berpikir panjang. Kalau ia membuka rahasia perbuatan Siok Lun, tentu akan hebat akibatnya. Maka ia hanya menangis. menutupi muka dengan kedua tangannya.

   "Suci, kenapakah engkau menangis? apakah yang menyusahkan hatimu, Suci?"

   Kwan Bu bertanya, suaranya halus dan tenang. Pemuda ini sekarang telah menjadi seorang dewasa berusia dua puluh satu tahun, bertubuh tegap dadanya bidang, wajahnya tampan dan wataknya pendiam. Dia tidak pernah bicara dengan siapa juga tentang dendam keluarganya, akan tetapi kelirulah dugaan orang kalau dia melupakannya. Setiap malam terbayang wajah Ibunya yang bermata satu. Dan dikeluarkannyalah sebatang jarum dari saku bajunya. Karena jarum inilah maka Kwan Bu yang digembleng ilmu silat oleh Pat-Jiu Lo-Koai, berlatih siang malam mempergunakan senjata rahasia jarum. Mendengar pertanyaan Kwan Bu, Bi Hwa dapat menekan perasaan marahnya dan berkata,

   "Sute, kalau kuingat betapa sudah sepuluh tahun kita tinggal disini... dan tiba-tiba harus berpisah seperti yang Suhu katakan tidak akan lama lagi... ah, hati siapa yang tidak menjadi terharu dan duka?"

   Sambil berkata begini, tanpa melihat kepada Siok Lun, ia pergi meninggalkan dua orang pemuda itu. Siok Lun menarik napas lega, terang-terangan ia menarik napas di depan Sutenya lalu berkata,

   "Ah, betapapun sudah memiliki ilmu yang tinggi, wanita tetap lemah hatinya... aih, ini mengingatkan aku akan adikku. Ha-ha-ha, di antara segala wanita di dunia ini, kiranya tidak ada yang seperti adik perempuanku. Sama sekali tidak lemah, sebaliknya, keras seperti baja. Ha-ha-ha!"

   Siok Lun tertawa gembira. Kwan Bu tidak suka melihat Suhengnya menertawakan Bi Hwa. Akan tetapi tidak memperlihatkannya di wajahnya ia hanya berkata.

   "Suheng, kau tentu tidak dapat merasakan kedukaan Sumoi seperti aku."

   "Eh, bagaimana maksudmu, Sute?"

   "Suheng adalah seorang putera hartawan yang memiliki keluarga kaya, sehingga kalau Suheng turun gunung, ada tempat yang Suheng datangi dan ada tujuan tertentu dalam perjalanan Suheng turun gunung. Akan tetapi tidak demikian dengan Sumoi. Dia tidak punya apa-apa, keluarga pun tidak, sehingga baginya Suhu seolah-olah pengganti orang tua dan kita seperti saudara-saudaranya. Kini dia harus meninggalkan semua ini, bagaimana tidak berduka?"

   Di dalam hatinya, Siok Lun mentertawakan Sutenya ini. Engkau tahu apa, pikirnya dan kembali hatinya lega bahwa Sumoinya tadi tidak membuka rahasia. Dia tidak takut menghadapi Sutenya, akan tetapi kalau dikeroyok dengan Sumoinya, hemm... berat juga! Apalagi kalau Suhunya marah dan turun tangan pula.

   "Sute, engkau sendiri kalau sudah turun gunung hendak ke mana? Kalau tidak punya tujuan tertentu, mari kau ikut saja bersamaku, Sute. Rumahku besar sekali, Ayah seorang pedagang besar yang kaya raya. Tentu Ayah dapat memberi pekerjaan untukmu!"

   "Terima kasih Suheng. Aku... aku mempunyai urusan penting yang harus kuselesaikan."

   "Dendam?"

   Kwan Bu kaget dan memandang wajah Suhengnya.

   
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bagaimana kau bisa tahu?"

   Siok Lun tersenyum,

   "Seringkali aku dan Sumoi membicarakan engkau. Dan Suhu pernah kelepasan bicara kepada Sumoi, katanya engkau adalah seorang anak yang keras hati dan sekali mendendam, sampai mati pun akan kau usahakan pembalasannya. Betulkah, Sute?"

   Agar Suhengnya ini tidak membujuknya lagi agar ikut bersamanya, Kwan Bu mengangguk dan menjawab singkat.

   "Betul, Suheng. aku harus mencari musuh besar yang membasmi keluargaku."

   "Wah, katakan kepadaku siapa orangnya, Sute. Jangan khawatir, aku akan membantumu memenggal batang lehernya!"

   Siok Lun berkata penuh semangat. Kwan Bu tersenyum. Suhengnya ini orangnya memang peramah sekali, dan pandai bersikap menyenangkan hati.

   "Terima kasih, Suheng. Soalnya, aku sendiri belum tahu siapa orangnya."

   "Hahhh..?"

   Siok Lun terbelalak memandang.

   "Habis bagaimana kau bisa...?"

   "Aku hanya tahu bahwa ia pandai silat, pandai mainkan golok dan pandai pula menggunakan jarum sebagai senjata rahasia."

   "Namanya?"

   "Aku tidak tahu."

   "Wah-wah, Sute, bagaiana kau akan bisa mencarinya? Di dunia ini banyak sekali yang pandai main golok dan jarum. Heee, nanti dulu! Kau tahu? Ayahku sendiri pun seorang ahli golok yang pandai melempar jarum!"

   "Ah, Suheng jangan main-main. Musuh besarku ini seorang kepala perampok yang ganas dan liar. Ayahmu adalah seorang hartawan yang terhormat, mana bisa dibanding-bandingkan?"

   "Aku hanya main-main Sute. Akan tetapi, kalau kau tidak dapat ikut bersamaku, sewaktu-waktu mampirlah ke rumah kami di Kam-Sin-Hu. Asal kau Tanya saja disana rumah gedung keluarga Phoa wangwe, tak ada yang tidak tahu."

   Kwan Bu mengangguk-angguk.

   "Sekali waktu aku akan singgah dirumahmu, Suheng?"

   Tiba-tiba kedua orang muda itu membalikkan tubuh dan segera berlutut di depan Hwesio gendut yang sudah tua sekali, Pat-Jiu Lo-Koai guru mereka. Biar pun gerakkan Hwesio gendut itu sama sekali tidak bersuara,

   Namun kedua orang muridnya dapat mengetahui kedatangannya, hal ini saja sudah cukup membuktikan betapa hebat ilmu kepandaian dua orang muda ini. Memang Pat-Jiu Lo-Koai kakek aneh ini mempunyai cara mengajar yang luar biasa. Ia menggembleng siang-malam dan khusus ilmu silat dan segala kepandaian yang mengenai hal itu. Dia tidak mengajar yang lain-lain bahkan lwekang dan siulian pun ia ajarkan dengan tujuan khusus untuk kemajuan ilmu silat. sedikitpun ia tidak mengajarkan filsalat ilmu kebatinan, pendeknya, ia hanya mencurahkan penggemblengan jasmaniah belaka, sama sekali tidak memperdulikan pendidikan batin. Memang dia seorang ahli silat yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali, maka dalam waktu sepuluh tahun saja, tiga orang muridnya telah mewarisi ilmu kepandaiannya yang hebat-hebat.

   "Suhu...!"

   Siok Lun dan Kwan Bu berlutut didepan kaki guru mereka. Pat-Jiu Lo-Koai si kakek aneh berlengan delapan itu tertawa dan menggaruk-garuk perutnya yang gendut dan tak tertutup pakaian.

   "Ha-ha-ha, kalian tidak lekas pergi, masih menanti apa lagi? Bhi Hwa sudah pergi sejak tadi, ha-ha-ha! Lekas pergi, Pinceng tidak bisa mengajarkan apa-apa lagi sekarang, sudah habis terkuras oleh kalian!"

   Yang paling menarik perhatian Siok Lun hanya ketika mendengar Bi Hwa sudah pergi. Maka cepat ia berlutut, mengangguk-angguk delapan kali dan berkata.

   "Suhu, teecu mohon pamit, hendak menyusul Sumoi."

   Belum juga kakek itu menjawab, Siok Lun sudah berkelebat cepat sekali dan lenyap dari depan gurunya. Hwesio itu tertawa bergelak dan kembali mengelus-elus perutnya.

   "Ha-ha-ha, dasar orang muda. Akan tetapi kuharap mereka dapat berjodoh, akan baik sekali bagi Bi Hwa...! Omitohud, kau masih di sini Kwan Bu?"

   Kwan Bu berlutut mengangguk-angguk kepala sebelum menjawab,

   "Suhu, setelah sepuluh tahun menerima budi Suhu yang amat besar, bagaimana sekarang teecu bisa meninggalkan Suhu? Suhu sudah tua, kalau semua murid pergi, siapa yang akan melayani Suhu? Biarlah teecu tinggal di sini melayani Suhu untuk membalas budi Suhu yang amat besar."

   Hwesio itu tidak tertawa lagi, menghela napas panjang.

   "Hehh... kau keras hati, berkemauan besar, kenal budi, dan pandai menyimpan perasaan. Kalau dahulu pinceng mempunyai watak sepertimu, kiranya pinceng tidak akan seperti sekarang ini, menjadi orang gelandangan yang tidak karuan, hanya pandai membanggakan nama kosong melompong! Nama besar itu banyak ruginya dari pada untungnya. Nama besar yang disanjung-sanjung orang dapat membuat si pemilik nama menjadi besar kepala, sombong dan bangga, merasa pandai sendiri, hebat sendiri, dan karenanya menimbulkan sifat-sifat kepandiran dan sifat angin-anginan. Belum lagi bahayanya dari pihak yang merasa iri, yang setiap saat berusaha untuk merobohkannya atau mengalahkannya. Hah, nama kosong!"

   "Semua wejangan Suhu teecu catat dalam hati,"

   Kata Kwan Bu.

   "Hahh...? Aku tidak memberi wejangan, hanya menceritakan keadaanku. Ahh, engkau murid yang baik, Kwan Bu, murid yang paling baik! Karena itu, dan karena pinceng hendak mengangkat engkau sebagai wakil, maka kau terimalah ini!"

   "Toat-Beng-Kiam...!"

   Kwan Bu berseru kaget dan girang. Tanpa dapat diikuti pandang mata tahu-tahu tangan Suhunya telah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kemerahan, merah darah! Inilah pedang Toat-Beng-Kiam (Pedang Pencabut Nyawa) milik Suhunya. yang amat dipuja-puja Suhunya, dan pernah Suhunya bercerita kepada semua muridnya bahwa pedang ini turun temurun dari nenek moyang gurunya dan merupakan pedang tanda kekuasaan.

   "Kalian boleh saja membantah dan mendurhakai aku yang menjadi guru kalian, akan tetapi sekali-kali kalian tidak boleh membantah terhadap pedang ini. Siapa pemegang pedang, dialah pengganti guru besar yang menciptakan ilmu-ilmu kita dan siapa menentangnya, dia akan mati di ujung Toat-Beng-Kiam!"

   Dan kini gurunya hendak menyerahkan pedang itu kepadanya!

   "Suhu apakah teecu... cukup berharga untuk.. memiliki Toat-Beng-Kiam?"

   Ia bertanya meragu, masih belum berani menerima pedang pusaka itu.

   "Mengapa tidak berharga? Kau kira pinceng tidak tahu akan keadaanmu? Ha-ha-ha, muridku, engkau, di samping semua sifat-sifat baik, masih rendah hati pula! Nah, kau terimalah dan wakili aku untuk menghadapi Tosu bau, Koai-Kiam-Tojin Ya-Keng-Cu itu. Kami berjanji bertemu di rumah Bu Keng Liong. Terimalah!"

   Sebelum menerima pedang keramat itu, Kwan Bu mengangguk-anggukan kepala dan berkata,

   "Teecu Bhe Kwan Bu mendapat kehormatan menerima dan memiliki Toat-Beng-Kiam yang keramat, semoga teecu dapat menjunjung tinggi sifat-sifat kegagahan yang diutamakan pedang ini dan kalau teecu melanggar, semoga roh-roh para Couwsu mengutuk dan menghukum teecu...!"

   Hwesio gendut itu tertawa bergelak dengan gembira sekali. Kwan Bu yang menerima pedang melihat bahwa pedang itu terbuat daripada logam merah yang aneh. Tipis sekali pedang itu dan lemas, dapat digulung seperti sehelai sabuk kulit!

   "Nah, pergilah sekarang juga, jangan sampai terlambat agar Tosu bau itu tidak mengira bahwa pinceng takut. Pinceng karena malas dan memang dahulu sudah pinceng janjikan akan mengirim wakil seorang murid."

   Kwan Bu lalu bermohon diri dan berangkat meninggalkan puncak gunung dimana ia belajar ilmu sampai sepuluh tahun lamanya. Pakaiannya dari kain tebal sederhana dan buntalannya pun hanya terdapat sesetel pakaian yang butut pula penuh tambalan. Memang Kwan Bu seorang miskin, Suhunya tidak punya apa-apa pula, bahkan baju sehelai pun tidak punya.

   Maka selama berada di puncak gunung Kwan Bu menjual kelebihan sayur-mayur dan buah-buahan yang ditanam untuk membeli atau ditukar dengan pakaian sekedar untuk menutupi tubuhnya. Ia tidak iri sama sekali melihat pakaian Siok Lun yang serba indah, karena sebagai pelayan rumah keluarga Bu, sudah biasa ia melihat anak-anak lain berpakaian indah tanpa merasa iri. Bahkan ia girang melihat pakaian Bi Hwa terjamin dengan adanya Siok Lun yang suka membelikan pakaian untuk gadis ini. Kalau tidak ada Siok Lun, tentu Bi Hwa terpaksa harus berpakaian kasar dan sederhana seperti dia! Kwan Bu melakukan perjalanan seorang diri, kemudian menduga-duga ke mana perginya Bi Hwa dan apakah dapat disusul oleh Siok Lun. Ia tahu bahwa dua orang muda itu saling mencinta, dan seperti gurunya,

   Iapun hanya dapat mengharap semoga mereka itu dapat terangkap menjadi jodoh yang cocok dan bahagia. Kalau orang melihat pemuda ini, tentu sedikitpun tidak menduga bahwa pemuda ini adalah murid Pat-Jiu Lo-Koai, bahkan yang telah mewarisi Toat-Beng-Kiam yang berarti bahwa ia menjadi murid kepala sekarang, wakil gurunya! Takkan ada yang mengira bahwa dia seorang yang bukan hanya pandai ilmu silat, bahkan memiliki kesaktian yang tinggi. Berbeda dengan Siok Lun yang menggantungkan pedang pemberian Ayahnya di pinggang dan berpakaian seperti seorang pendekar, bahkan Bi Hwa juga menggantungkan pedang di pungung, Kwan Bu ini menyembunyikan pedang pusakanya yang dapat digulung, dipakai sebagai sebuah sabuk di pinggangnya, terbungkus sebuah sarung kulit sehingga kelihatan persis sebuah kulit.

   Rumah gedung keluarga Bu di kota Kian-cu dihias indah. Di pekarangan depan yang luas itu ditaruh banyak meja kursi dan suasananya amat meriah karena ada beberapa rombongan musik yang meramaikan suasana perayaan pesta. Apakah yang dirayakan keluarga Bu? Pesta itu diadakan untuk merayakan hari she-jit (ulang tahun) Bu Keng Liong, karena pendekar sekarang telah genap berusia enam puluh tahun. Juga sebagai perayaan gembira bahwa selama ini tidak ada lagi datang gangguan musuh, kehidupan mereka amat tenteram dan tiga orang muda yang belajar silat kini sudah tamat pula. Liu Kong sudah menjadi pemuda betubuh tinggi besar dan kokoh kuat,

   Berwajah gagah perkasa dan pakaiannya juga indah serba biru dengan pedang tergantung di pinggang kiri. Sekali pandang saja, tidak akan orang meragu bahwa pemuda tinggi besar murid Bu Taihiap tentulah seorang pemuda yang amat lihai ilmu silatnya. Dan memang begitulah, Liu Kong berwajah tampan gagah dan angkuh ini amat hebat kepandaiannya, jarang ada orang muda yang dapat menandinginya, terutama dalam hal tenaga dan ilmu silat tangan kosong. Kwee Cin juga telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun, ia lebih tampan dari pada Liu Kong, lebih pendiam, akan tetapi tubuhnya tetap kecil kurus tidak segagah Suhengnya. Namun jangan memandang rendah tubuhnya yang kecil kurus itu karena sesungguhnya Kwee Cin inilah yang telah berhasil mewarisi ilmu silat yang berdasarkan tenaga dalam dari gurunya.

   Dialah seorang pemuda ahli lweekeh (tenaga dalam) yang amat tangguh dan dibanggakan oleh gurunya. Pakaiannya juga indah, sungguh pun tidak semewah Liu Kong, dan sebatang pedang tergantung pula di pinggang. Bagaimana dengan Bu Siang Hwi? Dia seorang dara yang cantik jelita! Cantik jelita dan menjadi makin manja karena ia tahu bahwa kedua Suhengnya telah tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya! Secara diam-diam kedua orang Suhengnya berlomba untuk merebut hatinya dengan cara-cara mereka sendiri! Liu Kong dengan cara yang terang-terangan dan kadang-kadang kasar, sebaliknya Kwee Cin dengan halus dan tidak berterang, melainkan tersembunyi di antara kata-kata dan sikap serta pandang matanya.

   Namun sudah amat jelas bagi Siang Hwi bahwa kedua orang Suheng ini amat mengharapkan balasan cintanya dan masih menahan-nahan karena di dalam perlombaan mereka itu, Siang Hwi mendapatkan perasaan yang amat nikmat dan membanggakan! Kalau Liu Kong merupakan seorang ahli gwakang tenaga luar yang dahsyat sedangkan Kwee Cin mempunyai keahlian sebagai seorang ahli lweekeh, adalah Siang Hwi menuruni ilmu pedang Ibunya yang diperkuat oleh gemblengan Ayahnya, yaitu siang-kiam-hoat (ilmu pedang berpasangan) dalam hal memainkan sepasang pedang yang kini terpasang di punggungnya, Siang Hwi telah jauh melampaui permainan Ibunya sendiri! Demikianlah besar sekali hati Bu Keng Liong melihat tiga orang muridnya. Biarpun mereka belum dapat mencapai tingkatnya namun mereka boleh dibanggakan.

   Setelah kini mereka menjadi dewasa dengan memiliki kepandaian yang lumayan, hati Bu Taihiap tidak lah begitu khawatir lagi. Anak-anak ini telah pandai menjaga diri sendiri sekarang, dan karena selama sepuluh tahun tidak pernah terjadi sesuatu, maka ia anggap bahwa kini tidak ada bahaya mengancam. Hanya hal yang menyusahkan hatinya, yaitu lenyapnya Kwan Bu. Sampai sepuluh tahun anak ini lenyap dan sampai kini tidak ada beritanya bersamaan dengan lenyapnya Koai-Kiam-Tojin yang juga tak pernah muncul kembali, Bu Keng Liong suami isteri bukan hanya mengkhawatirkan keadaan Kwan Bu semata, melainkan terutama sekali menyusahkan keadaan Ciok Kim, Ibu Kwan Bu. Sepeninggal anak itu, Ciok Kim makin tahun menjadi makin payah keadaannya. Payah lahir batin, seakan-akan nyonya ini mati sekerat demi sekerat, digerogoti penderitaan batin dari dalam.

   Tubuhnya menjadi kurus dan pucat, dan juga wataknya tidak normal lagi, tidak waras. Kadang-kadang tertawa sendiri membisik-bisikan nama Kwan Bu, kadang-kadang menangis sedih. Akan tetapi ia masih tetap melakukan semua pekerjaan rumah dengan rajin. Keadaan Ciok Kim inilah yang menyusahkan keluarga itu. Sudah tidak kurang banyaknya usaha Bu Taihiap suami isteri untuk mengobati dan menghibur Ciok Kim, namun sia-sia dan akhirnya mendiamkannya saja. Mereka tidak tega untuk mengusir pergi Ciok Kim yang sengsara, maka mereka mendiamkan saja perempuan itu yang dianggapnya seperti bayangan saja. Memang sukar mengurus orang tidak waras. Diberi pakaian bersih dan baik, malah dibikin kotor dan dirobek sana sini. Rambutnya selalu awut-awutan. Mula-mula ditegur dan dicela. Akan tetapi karena terus-menerus begitu, akhirnya didiamkan saja.

   Bu Keng Liong dan isterinya sudah berdandan rapi dan menyambut para tamu dengan duduk di bagian agak dalam. Di bagian luar berdiri tiga orang muda yang membuat semua mata orang kagum. Yaitu bukan lain adalah Liu Kong, Kwee Cin dan Bu Siang Hwi. Diam-diam para tamu memuji dan mengatakan bahwa Bu Keng Liong yang terkenal sebagai Pendekar Besar Bu itu memang patut sekali mempunyai tiga orang murid seperti itu. Apalagi puterinya, Bu Siang Hwi, benar-benar membuat mata para pria tidak perduli muda maupun tua, melotot dan seperti orang kelaparan melihat nasi putih dan panggang ayam! Diam-diam ludah ditelan, jantung serasa pepat menggeletak di bawah kaki Bu Siang Hwi yang dalam kesempatan itu menggunakan pakaian serba merah jambon,

   Ikat pinggang berwarna kuning emas, ikat rambut atau pitanya berwarna biru muda sama dengan warna sepatunya yang bersulam benang emas. Gagang siang-kiam tampak tersembul di belakang punggung. Sungguh manis dan juga gagah! Membuat hati para pria mengilar akan tetapi juga gentar! Seperti melihat seekor burung yang berbulu indah berpelatuk runcing, hati ingin sekali tangan mengelus bulu indah akan tetapi takut dipatuk! Setelah tempat itu penuh tamu yang berdatangan untuk memberi selamat kepada Bu Taihiap dan mendoakan panjang umur sambil menyerahkan barang-barang sumbangan dan tanda mata yang kini bertumpuk-tumpuk di atas meja, Bu Taihiap lalu bangkit berdiri, menghaturkan selamat datang dan terima kasih pada para tamu dan mempersilahkan mereka untuk menikmati hidangan.

   Pada saat itu, dari luar masuklah seorang pemuda yang berpakaian sederhana. Ia meragu sebentar, akan tetapi seorang pelayan yang berjaga di luar cepat mempersilahkannya masuk. Pelayan-pelayan Bu Taihiap terdidik untuk menerima tamu-tamu dari golongan apapun juga, tidak pandang pakaian karena Bu Taihiap maklum bahwa banyak tokoh kang-ouw yang pakaiannya tidak karuan. Pemuda ini bukan lain adalah Kwan Bu. Tentu saja pelayan-pelayan tidak ada yang mengenal mukanya yang sudah banyak berubah dari dulu, sepuluh tahun yang lalu. Kwan Bu kebetulan datang di Kian-cu, mendengar bahwa keluarga Bu mengadakan perayaan pesta ulang tahun. Ketika melihat tempat itu penuh tamu, sebagai seorang yang tahu diri, Kwan Bu tidak masuk begitu saja memperkenalkan diri karena hal ini akan mengganggu jalannya upacara atau pesta.

   Maka ia masuk dan duduk di antara para tamu, tidak memperkenalkan diri karena selain menjaga agar tidak mengganggu juga mencari-cari kalau-kalau di antara para tamu terdapat Tosu yang dimaksudkan gurunya, yaitu Koai-Kiam-Tojin Ya Keng Cu. Ia mengambil keputusan untuk menekan rasa rindunya kepada Ibunya, dan menanti sampai pesta bubar, barulah ia masuk menemui keluarga Bu dan Ibunya. Dari tempat duduknya di antara para tamu, Kwan Bu dengan girang melihat betapa bekas majikannya itu bertambah gemuk dan sehat, juga Bu Hujin kelihatan sehat gembira. Kemudian ia mengerling kearah Siang Hwi dan pandang matanya berseri-seri gembira. Tidak salah dugaanya dahulu, nona majikannya itu benar-benar menjadi seorang dara yang cantik jelita!

   "Dia hebat ya?"

   Bisik seorang tamu muda yang duduk di sebelahnya. Agaknya tamu ini melihat pandang matanya yang tertuju kepada nona itu.

   "Hee...? Dia, ya, tentu saja. Dia hebat sekali,"

   Kata Kwan Bu dengan muka menjadi kemerahan. Tolol, pikirnya, kenapa aku tidak menjaga diri sampai ketahuan orang lain kekagumanku kepada Siang Hwi,

   "Hebat...!"

   Kata pula pemuda itu mengangguk-angguk.

   "Bagaikan setangkai bunga merah jambon yang menggairahkan, akan tetapi hati-hati kawan, durinya runcing bukan main... ha-ha!"

   Mau tidak mau Kwan Bu tersenyum. Pemuda ini seorang yang periang, seperti Suhengnya, pikirnya.

   "Dan lebih berbahaya lagi adalah kedua ekor kumbang!"

   "Hee? Dua ekor kumbang?"

   Kwan Bu tidak mengerti. Orang muda itu mengarahkan dagunya ke arah dua orang pemuda yang duduk dekat Siang Hwi.

   "Ya, dua ekor kumbang muda itu yang selalu berterbangan mengitari kembang mawar. Berbahaya kalau menyengat!"

   Orang itu menyeringai dengan hati kecut, agaknya mengiri melihat Liu Kong dan Kwee Cin. Kwan Bu tentu saja sekali pandang mengenal Liu Kong. Memang gagah dan tampan. Hebat pemuda itu, pikirnya. Dan Kwee Cin...! Bibir Kwan Bu tersenyum, Kwee Cin yang baik hati. Masih sekurus dulu, sungguh pun wajahnya yang agak pucat kini mengandung sinar kehijauan, sinar wajah seorang ahli lweekeh. Ia kagum dan ingin sekali ia merangkul, menepuk pundak, dan beramah tamah dengan mereka, terutama kwee Cin.

   Tiga orang ini duduk di dekat meja di mana di pasang lilin merah sebanyak enam puluh buah menyala. Meja ini dihias dengan kembang-kembang dan di belakang meja ini tertumpuk barang-barang hadiah dari para tamu. Tiga orang muda itu seolah-olah menjaga meja itu yang memang tanda penting dalam acara ulang tahun itu, karena enam puluh batang lilin itu diumpamakan enam puluh tahun yang dilalui Bu Taihiap. Hidup enam puluh tahun dalam gilang-gemilang seperti lilin itu. Lilin-lilin harus dijaga jangan sampai ada yang padam, dan nanti akan ditiup oleh Bu Taihiap sendiri. Pada saat itu, selagi para tamu minum-minum gembira, dari luar muncul lima orang laki-laki. Dua di antara mereka adalah orang-orang berusia kurang lebih empat puluh tahun yang membawa golok besar pada punggung mereka dan yang tiga orang adalah kakek-kakek yang aneh.

   Melihat munculnya orang ini, Bu Taihiap memandang dan jantungnya berdebar tegang. Kiranya setelah sepuluh tahun tiada berita, kini secara tiba-tiba, justru pada saat keluarganya merayakan pesta ulang tahunnya, Tosu itu datang kembali! Tidak seorang diri, malah bersama empat orang temannya. Bu Keng Liong tentu saja mengenal mereka itu dan inilah yang membuat hatinya berdebar tegang dan gelisah. Dua orang bergolok itu tidak ada artinya, mereka hanyalah dua di antara Sin-To Chit-Hiap dan menurut taksirannya, seorang di antara murid-muridnya saja mampu menandingi mereka. Akan tetapi yang membuat ia kaget adalah tiga orang kakek itu. Yang seorang adalah Koai-Kiam-Tojin Ya Keng Cu yang sudah ia ketahui kelihaian nya sepuluh tahun yang lalu. Seorang lagi adalah Tosu lain yang tubuhnya bongkok,

   Tangannya panjang hampir sampai ke tanah, rambutnya riap-riapan dan mukanya seperti tengkorak. Dia dapat menduga bahwa agaknya inilah yang mempunyai julukan Sin-jiu Kim-wan (Lutung Emas Bertangan Sakti) karena rambut yang riap-riapan itu diikat oleh gelang emas. Ia pernah mendengar nama tokoh tua ini yang namanya tidak berada di sebelah bawah nama besar Koai-Kiam-Tojin! adapun orang ketiga juga seorang kakek, pakaiannya seperti petani, tubuhnya kurus tinggi mukanya juga panjang buruk sekali, di pundaknya tampak tersembul gagang pedang, Ia tidak tahu siapa orang ini, akan tetapi dapat menduga bahwa orang inipun bukan orang sembarangan! Rombongan lawan yang datang kali ini benar-benar amat berat! Namun dengan muka tersenyum tenang ia cepat bangkit berdiri menyambut, menjura dan berkata.

   "Ah, kiranya Totiang dan Cuwi Enghiong (tuan-tuan yang gagah) yang datang berkunjung. Silahkan duduk!"

   Lima orang itu membalas hormatnya, akan tetapi sikap mereka kaku dan Ya Keng Cu segera berkata, suaranya nyaring sekali.

   "Bu Sicu, maafkan kalau kami menggangu, Sungguh Pinto tidak tahu bahwa hari ini Sicu sedang merayakan hari shejit. Selamat ulang tahun. Bu Sicu!"

   "Terima kasih Totiang!"

   "Kami datang bukan karena perayaan yang Sicu adakan, melainkan untuk urusan sepuluh tahun yang lalu. Pinto telah berjanji dengan orang untuk datang lagi sepuluh tahun, dan tidak perduli orang itu muncul atau tidak, sekali ini kami harap Bu Sicu suka menyerahkan bocah bernama Liu Kong itu kepada kami agar pestanya tidak terganggu. Harap Sicu suka maafkan."

   Ucapan itu cukup sopan dan beraturan, akan tetapi terdengar tegas dan jelas menyatakan bahwa Tosu ini tidak suka dibantah lagi. Bu Taihiap mengerti apapun yang terjadi, tidak nanti ia dapat menyerahkan Liu Kong begitu saja, bukan hanya karena Liu Kong telah menjadi muridnya dan keponakan isterinya, akan tetapi terutama sekali karena ia tidak melihat adanya alasan mengapa Liu Kong harus terbawa-bawa dalam urusan pertikaian politik itu.

   "Totiang, sunguh saya harus menyatakan maaf sebesarnya. Seperti yang telah saya katakan sepuluh tahun yang lalu, yang berurusan dengan golongan Totiang sekalian adalah mendiang Liu Ti, adapun anaknya, sejak kapan dianggap musuh? apakah dosanya? Tidak, selama tidak ada alasan yang cukup adil, tidak nanti saya dapat membiarkan anak itu diganggu."

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini