Ceritasilat Novel Online

Dendam Si Anak Haram 5


Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Dia anak yang baik sekali... aku kelak akan mati meram kalau anak kita mendapatkan suami seperti Kwan Bu..?"

   Terdengar suara Bu Keng Liong. Wajah Kwan Bu mendadak menjadi merah dan jantungnya berdebar keras. Tak salahkah pendengarannya? Betapa mungkin dia sebagai bujang hendak dijodohkan dengan nona majikannya? Mungkin atau tidak, kalau hal itu terjadi, ia seperti kejatuhan bulan! Sejak masih kecil ia amat mengagumi dan menyukai Siang Hwi!

   "Betapa mungkin?"

   Terdengar suara nyonya Bu yang seakan-akan mewakili hati Kwan Bu sendiri yang membantahnya.

   "Betapa mungkin anak kita yang tunggal itu kita jodohkan dengan seorang anak... haram?"

   Wajah Kwan Bu yang merah menjadi pucat, mulutnya menggetar dan ia menundukkan mukanya. Namun di balik rasa perih di hatinya, ia menjadi tegang, mengharapkan bahwa percakapan selanjutnya akan menjelaskan tentang "Kebenarannya"

   Itu. Bu Taihiap menghela napas panjang.

   "ltulah soalnya, apalagi setelah Kong-ji (anak Kong) yang lancang mulut memakinya di depan umum. Aahhh, anak kita sudah cukup dewasa, tahun ini sudah berusia Sembilan belas tahun! Pandanganku tidak ada lain selain Kong-ji dan Cin ji, dan anaknya Siang Hwi sendiri masih bingung dalam memilih. Kedua orang anak itu memiliki kebaikan masing-masing. Cin ji peramah, halus dan periang. Kong-ji sebaliknya kaku, kasar, namun jujur dan memiliki sifat berani dan gagah. Ahhh, susahnya mempunyai anak perempuan..."

   "Mengapa susah-susah? Kita pilih di antara mereka, tentukan perjodohan dan habis perkara..?"

   "Aaahhh... mana bisa begitu? Biarkan Siang Hwi sendiri yang memilih. Dia anak keras hati, kalau kita yang memilihkan dan kelak tidak kebetulan, tentu dia akan terus menerus menyalahkan kita..."

   Kwan Bu tidak mau melanjutkan pendengarannya. Ia berkelebat pergi dari situ. Hatinya bingung. Bagaimana mungkin ia menjumpai Siang Hwi? Karena ragu-ragu dan bingung, ia lalu menyelinap ke dalam taman bunga yang cukup luas dari keluarga Bu. Malam itu bulan mulai muncul. Cahayanya menyinari dalam taman, membuat tempat itu menjadi cahaya keemasan dan menjadi amat indah! Teringat Kwan Bu betapa dahulu ia setiap hari membersihkan taman ini, dan di balik pohon bunga itu ia dahulu suka mengintai apabila Siang Hwi, Liu Kong dan Kwee Cin berlatih silat.

   "Kwan Bu..?"

   Kwan Bu terkejut. Karena ia tadi melamun di bawah pohon, mengenangkan masa lalu, ia sampai tidak tahu bahwa Siag Hwi telah berada di belakangnya, mendengar suara ini, ia cepat bangkit, memutar tubuhnya menghadapi gadis itu dengan hati girang.

   "Nona Siang Hwi...!"

   Ia berkata sambil menjura sebagai tanda penghormatan.

   "Eh, Kwan Bu kau... kau sekarang bukan menjadi pelayan kami lagi, karena itu tak perlulah kau merendahkan diri. Kau sebut saja namaku, tidak perlu pakai nona-nonaan segala macam! Kau telah menjadi seorang yang gagah perkasa, berarti kita segolongan. Kau telah menolong dan membersihkan muka keluarga kami, berarti kau sahabat."

   Berdebar jantung Kwan Bu. Sikap Siang Hwi amat polos dan jujur, dan betapa tidak akan girang hatinya kalau nona ini menganggapnya sebagai seorang sahabat? Akan tetapi Kwan Bu rendah diri. Rasa rendah diri masih melekat di hatinya karena sejak kecil ia menjadi pelayan nona ini. Apalagi kalau teringat akan "julukan"

   Yang diberikan nona dan Suheng-Suhengnya kepadanya, yaitu anak haram! Betapa mungkin ia duduk sejajar berdiri setingkat dengan Bu Siang Hwi?

   "Maaf Siocia (nona), aku... aku hanya seorang anak haram yang rendah..., Ibu dan aku adalah pelayan di sini..?"

   "Hushh! Engkau masih hendak membantahku?"

   Kwan Bu tersenyum pahit.

   "Hemmm"

   Bisiknya di hati.

   "engkau mengangkat aku menjadi sahabat setelah menghina dengan sebutan anak haram, karena kini sikapmu tetap memerintah dan tinggi hati seperti seorang majikan!"

   Karena ia mempunyai niat di hatinya untuk meminta keterangan kepada gadis ini akan keharamannya, maka ia tidak perdulikan sikap itu dan menjura lagi sambil berkata,

   "Siocia, sesungguhnya amat kebetulan sekali saya dapat berjumpa dengan nona di sini, karena ada suatu permohonan dariku yang ingin kusampaikan kepada nona dengan harapan semoga nona tidak akan menolak permohonanku itu."

   Siang Hwi memandang wajah bekas pelayan ini dan diam-diam ia merasa kagum. Baru tampak jelas olehnya kini betapa wajah yang tertimpa sinar bulan itu amatlah tampan dan gagah, betapa sepasang mata itu tajam penuh semangat dan wibawa, betapa tarikan mulut itu membayangkan ketenangan dan kebesaran, namun lekuk dagu itu membayangkan sifat jantan yang mengagumkan. Jelas bahwa Kwan Bu tidak kalah dalam hal ketampanan dan kegagahan daripada kedua orang Suhengnya. Apalagi kalau diingat akan kelihaian ilmu silatnya, benar-benar seorang pria pilihan yang sukar dicari bandingannya. Sayangnya, anak haram dia!

   "Engkau? Permohonan? Hi hik!"

   Siang Hwi menutupi mulutnya ketika terkekeh geli.

   "Permohonon apa sih? Aneh-aneh saja kau ini."

   Kwan Bu menghela napas panjang. Sikap yang ramah dan seperti bersahabat dari nona ini malah menggelisahkan hatinya, karena tidak wajar, tidak seperti biasanya.

   "Nona, aku pernah mendengar nona mengatakan kepada dua orang tuan muda bahwa Ibuku tidak pernah mempunyai suami. Karena aku merasa penasaran dan Thai-ya (tuan besar) tidak menjelaskannya kepadaku, maka saya mohon, sudilah nona memberi penjelasan tentang keberadaanku sebagai anak haram!"

   Berubah wajah Siang Hwi, agak kaget dia dan kini ia memandang wajah itu penuh perhatian.

   "Kwan Bu, apakah engkau merasa sakit hati dengan sebutan itu?"

   Kwan Bu menggeleng kepala dan menjawab sungguh-sungguh.

   "Tidak sama sekali nona. Apa sebabnya sakit hati kalau memang kenyataanya demikian? Nah, karena ingin mendengar kenyataanya, saya mohon bantuan nona."

   Siang Hwi menghela napas lalu menjatuhkan diri di atas bangku tak jauh dari situ. Kwan Bu mengikuti gerak-gerik nona ini, sejak melangkah sejauh empat langkah ke bangku dan ketika menjatuhkan diri. Ia kagum. Siang Hwi dalam pakaiannya yang lemah gemulai, piggangnya yang ramping melekuk ke kanan ke kiri seperti akan patah, tubuh yang membayangkan kelemasan dan kekuatan, amatlah menarik hati. Cara gadis itu menggerakkan kepala untuk memindahkan rambut panjang dari depan dada meloncati pundak ke punggung setelah duduk di bangku, cara gadis itu menengok ke arahnya dan memandangnya dari sudut mata, semua gerakkan yang amat manis menggairahkan, wajah tanpa dibuat-buat, mendebarkan jantungnya,

   "Tidak baik membuka-buka rahasia orang, Kwan Bu."

   "Hemm, kau bilang tidak baik membuka rahasia orang, Kenapa kau ceritakan kepada Liu Kong dan Kwee Cin?"

   Demikian kata hatinya, akan tetapi mulutnya berkata halus,

   "Kalau nona ceritakan kepada saya, berarti tidak membuka rahasia orang, nona!"

   "Hemmm, aku mau menceritakan hal itu akan tetapi..., setelah kau suka pula memenuhi permintaanku,"

   "Permintaan nona?"

   Kwan Bu terheran.

   "Permintaan apakah?"

   "Menurut penuturan Ayah, seorang yang lihainya sudah kuat, dapat membantu orang lain melancarakan jalan darah dan memperkuat sinkang orang lain itu. Ayah telah membantuku dan kedua orang Suhengku, akan tetapi ternyata bahwa tingkat kepandaian Ayah kiranya masih amat jauh kalau dibandingkan dengan tingkat mu. Maka, aku minta kepadamu, sukalah engkau membantuku dalam hal ini, menggunakan sinkangmu untuk membantuku memperoleh kemajuan."

   Untung bahwa sinar bulan memang kemerahan sehingga menyembunyikan warna merah yang menjalar di seluruh permukaan wajah Kwan Bu. Dengan sikap likat dan malu-malu ia memandang wajah gadis itu, kemudian berkata,

   "Siocia, bagaimana saya berani melakukan hal itu? Nona... tentu... mengerti hal itu... hanya dapat di lakukan..?

   "Aahhh, Kwan Bu, kenapa kau bicara seperti seorang kakek-kakek yang terlalu banyak peraturan? Orang-orang yang tergolong pendekar-pendekar seperti kita ini perlu lagikah terikat oleh segala tata cara malu-malu? Asal batin kita bersih saja, apalagi halangannya? Aku tahu, untuk menyalurkan Sinkang nmnnbantuku, kita harus mengadu telapak tangan. Apakah kau pikir tanganku terlalu kotor untuk menempel di tanganmu!"

   Sambil berkata demikian, gadis ini bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri Kwan Bu sampai mereka berdiri berhadapan. Siang Hwi memandang dengan sinar mata menentang dan marah. Baru sekali ini mereka berdiri berhadapan begitu dekat, Kwan Bu mendapat kenyataan bahwa gadis itu tingginya hanya sampai di dagunya. Akan tetapi heran sekali ia mengapa dahulu ia selalu memandang gadis ini dengan perasaan seolah-olah gadis ini lebih tinggi dari padanya.

   "Bukan begitu, nona. Bahkan ada cara lain yang lebih tepat lagi, yaitu dengan menempelkan telapak tangan di punggung...!"

   "Nah, lebih baik lagi kalau begitu! Kita tidak perlu duduk berhadapan! Mengapa masih ragu-ragu? Ataukah... eh, barangkali engkau tidak mau membantuku?"

   "Tentu saja aku mau, nona..?"

   "Nah, tunggu apalagi? Marilah, lebih baik di lian-bu-thia (ruangan belajar silat) agar tidak terganggu orang lain."

   "Tidak baik kalau dilakukan di dalam bangunan yang hawanya tidak segar, nona. Kita dapat lakukan itu di dalam taman ini."

   "Bagus! Kau baik sekali, Kwan Bu. Terima kasih ya? Mari kita mulai. Di sana saja, di sana rumputnya lebih tebal dan bersih."

   Dengan hati girang dan wajah berseri-seri Siang Hwi lalu menyambar tangan Kwan Bu, menariknya berlari-lari ke tengah taman menuju ke lapangan rumput yang hijau bersih dan segar. Merasa! tangan yang halus lunak dan hangat itu menggenggam tangannya, jantungya berdebar.

   "Hemm, pantas saja kau bersikap begini baik, bersahabat dan ramah. Kiranya mengandung maksud ini", pikirnya. Dan ia tidak dapat menolak. Bukan hanya karena ia ingin membantu nona yang disukanya sejak kecil ini, juga di samping ini ia ingin mendengar nona ini nanti membuka rahasia yang menyelubungi dirinya. Rahasia tentang Ibunya, tentang Ayahnya. Dengan sikap gembira sekali Siang Hwi lalu duduk bersila di atas rumput.

   "Lekas-lekas kau lakukan itu!"

   Katanya, seakan-akan tidak mau menanti lebih lama lagi dan tidak ingin

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Dendam Si Anak Haram (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   membuang waktu. Kwan Bu lalu duduk pula di depan Siang Hwi.

   "Maaf, nona. Sebelum saya lakukan Hoa-khi khai-hiat (Pindahkan Hawa Membuka darah), lebih dulu saya harus mengetahui dan mengukur sampai di mana tingkat nona dalam sinkang. Maka harap nona suka mendorong kedua tanganku dan mengerahkan seluruh tenaga sinkangmu."

   Siang Hwi menurut. Melihat pemuda itu sudah melonjorkan kedua tangan dengan telapak tangan menghadapnya, ia lalu mendorongkan kedua tangan pula, menggunakan telapak tangan Kwan Bu sambil mengerahkan sinkang. Kalau ia tidak yakin bahwa pemuda itu amat lihai, tentu ia tidak berani melakukan hal ini karena hal ini amat berbahaya. Tenaga sinkangnya dapat menyerang terus sampai ke jantung pemuda itu! Mereka beradu telapak tangan, dan Kwan Bu mendapat kenyataan bahwa tenaga sinkang gadis itu cukup kuat, dapat mendorong hampir sampai siku lengannya.

   "Cukup, nona."

   Katanya. Mereka melepas tangan dan kini Kwan Bu memutar, duduk bersila di belakang Siang Hwi.

   "Kau duduk tenang dan diam nona, kendurkan seluruh urat syaraf, simpan tenaga dan jangan sekali-kali melakukan perlawanan. Buka semua jalan darahmu."

   Siang Hwi merasa betapa punggungnya bagian atas, di bawah tengkuk dan bagian bawah, di belakang pusar disentuh oleh telapak tangan Kwan Bu. Ia merasa geli sedikit, namun mempertahankan diri agar tidak tertawa. Betapapun juga, ia mengkirik. Belum pernah bagian-bagian tubuh ini disentuh orang, apalagi oleh seorang laki-laki muda seperti Kwan Bu! Ia mencurahkan seluruh perhatiannya. Akan tetapi sampai lama tidak terjadi sesuatu. Telapak tangan yang menyentuhnya dengan halus itu tidak mengeluarkan hawa sakti, bahkan agak menggigil.

   "Eh, kenapa masih belum terasa apa-apa!"

   Tanyanya heran. Kwan Bu makin gugup. Sebetulnya, ketika duduk menempelkan kedua tangan, ia berada dekat sekali di belakang tubuh Siang Hwi. Biar pun tangannya tidak langsung menyentuh kulit punggung. Terhalang pakaian, namun ia merasa betapa kulit punggung halus lunak dan hangat. Ditambah lagi bau semerbak harum dari rambut dan tubuh gadis itu. Kwan Bu seperti orang kehilangan semangat. Tubuhnya menggigil dan tidak kuasa menyatukan pikiran, apalagi mengerahkan sinkang. Jantungnya berdebar, tangannya menggigil dan napasnya agak terengah. Kini mendengar pertanyaan gadis itu, baru ia sadar akan keadaan dirinya dan cepat-cepat ia menindas perasaanya dan menjawab, suaranya agak menggetar.

   "Sabar dan tenanglah, nona. Saya belum siap...!"

   Dengan pengerahan tenaga batinnya, Akhirya Kwan Bu berhasil juga menindas perasaanya yang tidak karuan itu, menjadi tenang dan mulailah ia mengalirkan sinkang melalui punggung Siang Hwi. Tubuh gadis itu tergetar, tanda bahwa hawa sakti telah memasuki tubuhnya. Siang Hwi terkejut sekali. Hawa panas sekali memasuki tubuhnya dari punggung, terutama dari belakang pusar. Hawa panas ini seperti badai memasuki tubuhnya. Hampir saja ia tidak kuat menahan, hendak melawan dan menolak dengan sinkangnya sendiri.

   Akan tetapi ia tahu bahwa kalau ia melakukan hal ini, dia atau Kwan Bu akan terserang bahaya besar, maka ia memaksa diri menerima hawa panas ini yang mengalir masuk, menyelinap ke seluruh bagian tubuh yang menjadi tergetar hebat. Dengan hati penuh kekaguman ia merasa betapa kuatnya hawa sakti ini, Dan betapa hawa panas mendobrak dan mendorong, membuka jalan darah dan berputaran di sekitar pusar. Makin lama, hawa yang panas dan kuat itu menjadi hangat dan nyaman. Begitu nyaman rasanya sehingga ia tidak tahu lagi betapa lamanya Kwan Bu menyalurkan sinkang. Ia seperti terayun-ayun di antara gelombang tinggi, nikmat dan nyaman sekali seperti orang setengah tidur. Ia tidak tahu betapa Kwan Bu yang menyalurkan tenaga sinkang sampai sejam lebih, kini mulai pucat dan lelah, peluh memenuhi leher dan dahinya.

   Juga Siang Hwi tidak mengetahui bahwa kini Kwan Bu sudah menghentikan Hoan-khi khai-hiat ini, dan sudah melepaskan kedua tangan dari punggungnya. Bukan hanya tidak tahu, bahkan tiba-tiba tubuh Siang Hwi yang tadinya duduk bersila itu menjadi lemas dan terguling ke belakang perlahan-lahan, napasnya teratur dan kini ia rebah terlentang di atas pangkuan Kwan Bu karena gadis ini tertidur! Kwan Bu tersenyum, geli mellihat keadaan gadis ini. Ia merasa girang karena maklum bahwa bantuannya telah berhasil. Sayangnya bahwa gadis ini tidak dapat menahan diri, begitu terpengaruh rasa nikmat sehingga tertidur. Hal ini mengurangi keuntungan yang diterimanya, karena biarpun jalan darahnya telah terbuka dan ia kini akan dapat menyalurkan sinkang lebih leluasa dan kuat, namun ia tidak dapat menggunakan bantuan hawa sakti Kwan Bu untuk berlatih.

   Kalau ia tidak tidur, tentu tadi ia dapat mengimbangi gerakan hawa sakti itu untuk disatukan dengan hawa sakti di tubuhnya sendiri dan berlatih menggerakkan tenaga mujijat itu di sekeliling tubuhnya. Akan tetapi Kwan Bu tidak berani bergerak, tidak tega mengganggu gadis yang tetidur begitu nyenyaknya. Bahkan ia tadi telah menjaga kepala gadis itu dengan lengannya sehingga kepala itu kini rebah di atas dadanya, Kwan Bu masih tersenyum dan ia menunduk, memandang wajah Siang Hwi yang berada di atas dada. Dan ia terpesona! Bulan telah bersinar sepenuhnya dan kini cahaya menimpa wajah Siang Hwi tanpa terhalang sesuatu. Wajah itu tampak cantik jelita dan bercahaya. Kulit muka yang putih kemerahan dan halus itu kini terselimut cahaya keemasan. Matanya tertutup. Bulu mata yang hitam lentik dan panjang menimbulkan bayang-bayang gelap di bawah mata.

   Tarikan napas halus keluar masuk hidung yang kecil mungil dan mancung. Dan mulut itu...! Kwan Bu tak dapat melepaskan pandang matanya dari mulut yang berada dekat itu. Gadis itu tersenyum dalam tidurnya. Senyum dengan Bibir seperti mentertawakan, mulut setengah terbuka sehingga tampak deretan ujung gigi yang putih seperti mutiara. Kwan Bu seperti mendadak menjadi gila! Bibir yang dekat itu dalam pandang matanya begitu penuh tantangan, penuh rangsangan. Seakan-akan mulut itu berubah menjadi buah apel merah dalam pandang mata seorang yang kelaparan dan kehausan. Kwan Bu seorang pemuda yang sudah cukup dewasa, dua puluh satu tahun usianya. Namun baru sekali ini selama hidupnya ia memangku seorang wanita, bahkan baru kali ini ia berdekatan, sempat memandang wajah wanita sampai sepuasnya tanpa terganggu.

   Sucinya, Bi Hwa, juga cantik jelita dan menarik. Akan tetapi mereka itu tidak pernah berdekatan seperti ini paling dekat hanya di waktu sama-sama berlatih silat. Daya tarik alamiah antara pria dan wanita memang hebat sekali. Betapapun teguh dan kokoh kuat batin Kwan Bu, sekali ini daya tarik itu menyeretnya sedemikian rupa sehingga membuat ia roboh tidak berdaya, membuat ia lemah lunglai dan menyerah kepada getaran kasih asmara yang tak terlawankan itu. Dia seperti seorang yang sudah kehilangan kesadarannya, bagaikan terbuai dalam alam mimpi. Dia sendiri tidak sadar dan tidak tahu apa yang mendorongnya saat itu sehingga tiba-tiba namun perlahan sekali, ia menunduk, membungkuk dan mendekatkan mukanya dengan wajah yang menggairahkan dan merangsangnya itu.

   Tanpa ia sadari mengapa ia mampu dan berani melakukan hal yang langka itu, tahu-tahu ia sudah mendekatkan Bibir dan mencium mulut yang setengah terbuka itu. Mencium mesra dan lembut, sepenuh perasaan cinta kasih yang mendadak timbul di hatinya, penuh rasa sayang dan penuh nafsu. Bagaikan dalam mimpi Kwan Bu merasa betapa mulut yang dicium itu menyambutnya, betapa Bibir itu bergerak, betapa napas itu terengah dan betapa kedua lengan Siang Hwi tiba-tiba saja bergerak merangkul lehernya! Akan tetapi hanya beberapa detik saja, karena tiba-tiba Siang Hwi meronta sehingga terlepas dari pelukan, mencelat mundur dan masih duduk di atas rumput, hanya semeter di depannya, membelalakan mata dan menudingkan telunjuk ke arah dadanya sambil berkata.

   "Kenapa...? Kenapa kau... mencium aku...?"

   Kwan Bu kini sadar, kesadaran yang datangnya seperti sambaran petir,membuat matanya terbelalak, mukanya pucat dan kepalanya pening, jantungnya berdebar penuh kegelisahan dan kekagetan. Apa yang telah ia lakukan? Celaka! ia telah melakukan sesuatu yang amat hebat! Penghinaan yang tiada taranya! Ia tadi telah menjadi gila, telah berobah menjadi iblis? Pada saat itu, sesosok bayangan hitam menerjang dari belakang, langsung menghantam punggung Kwan Bu dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga dahsyat.

   "Kau anak haram kurang ajar!"

   Bentak bayangan itu. Kwan Bu mengenal suara Liu Kong dan tahu bahwa pemuda itu memukul punggungnya, akan tetapi ia masih terlampau kaget akan kenyataan bahwa ia telah mencium nona majikannya, maka ia seperti tidak perdulikan, hanya mengerahkan sedikit tenaga sinkang melindungi punggung.

   "Bukkk!!"

   Tangan Liu Kong seperti memukul karet yang keras dan membalik, bahkan lengannya terasa sakit dan tubuhnya terhuyung tiga langkah ke belakang, sedangkan tubuh Kwan Bu sama sekali tidak bergeming.

   "Liu Kongcu (tuan muda Liu), aku tidak mau bermusuh denganmu...!"

   Kata Kwan Bu sambil menengok ke belakang.

   "Kau... Kau...!"

   Siang Hwi yang kini menjadi makin jengah dan malu melihat munculnya Liu Kong yang ia duga tentu tadi melihat betapa ia dipangku Kwan Bu dan... dicium mulutnya, apalagi kalau ia teringat betapa tadi merasa bahagia sekali dalam beberapa detik, betapa ia membalas ciuman bahkan merangkul. Tak dapat lagi ia menahan kemarahannya karena malu, meloncat ke depan, tangannya menampar.

   "Plakl Plak!"

   Dua kali pipi Kwan Bu ditempiling. Pemuda ini tidak melawan, bahkan tidak mengerahkan tenaga sehingga pipinya yang kiri menjadi matang biru dan ujung mulutnya berdarah. Ia terhuyung mundur. Pada saat itu Liu Kong yang sudah mencabut pedang, menerjangnya.

   "Trang...!"

   Pedang Liu Kong tertangkis dari samping dan ternyata Kwee Cin yang menangkis pedang ini.

   "Twa-Suheng! Jangan... mengapa kau menyerang Kwan Bu? Engkau bukan lawannya, dan ada urusan dapat didamaikan, perlu apa memakai kekerasan?"

   "Sute! Jangan turut campur! Aku harus bunuh anak haram biadab ini."

   "Ah, Suheng. Dia telah menyelamatkan nyawamu, bahkan menyelamatkan kita semua."

   "Siapa sudi dibantu anak haram? Lebih baik aku mati!"

   "Suheng, jangan kira bahwa aku tidak tahu persoalannya. Engkau dibutakan perasaan cemburu. Kalau memang Sumoi memilih Kwan Bu, hal itu sudah selayaknya. Dia sepuluh kali lebih berharga dari pada kita berdua. Mengapa kau menjadi iri hati?"

   "Keparat, tutup mulutmu, Sute! Kau kira aku sendiri tidak tahu bahwa engkau tergila-gila kepada Sumoi dan merasa tidak akan menang bersaing denganku, kau lah yang menjadi iri hati kepadaku, dan kini berpihak kepada anak haram ini."

   "Suheng!!"

   "Sute, kau mau apa? Sumoi calon milikku, karena itu aku tidak rela anak haram ini kurang ajar kepadanya. Kau mau membelanya?"

   Dua orang kakak adik seperguruan ini dengan pedang di tangan saling berhadapan, agaknya tak dapat dicegah lagi akan terjadi pertempuran antara saudara. Kwan Bu maklum akan tegangnya keadaan, maka ia melangkah maju melerai.

   "Liu Kongcu dan Kwee Kongcu, sudahlah. Tidak ada hal yang perlu diributkan. Tidak terjadi apa-apa disini. Bu-Siocia hanya... akan ku tanyai tentang riwayatku... hanya salah paham...!"

   "Keparat, kau anak haram!"

   Liu Kong menusukkan pedangnya dengan gerakan kilat. Namun Kwan Bu miringkan tubuh dan sekali tangannya bergerak menampar lengan yang memegang pedang, Liu Kong mengeluh, lengannya seperti lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangannya.

   "Kwan Bu, berani kau memukul Suheng!"

   Lihat pedang! Kwee Cin yang tadinya cekcok dengan Suhengnya melihat kini Suhengnya dikalahkan Kwan Bu, menjadi marah dan timbul kesetiaannya, lalu menyerang Kwan Bu dengan pedangnya. Kwan Bu kagum dan senang sekali melihat kesetiaan Kwee Cin. Ia mengelak dan sampai lima kali ia membiarkan Kwee Cin menyerangnya. Pada serangan keenam kalinya, ia mengelak sambil meloncat ke atas, kemudian sekali ia mencengkeram, ia telah berhasil merampas pedang dari tangan Kwee Cin lalu melayang turun dan berkata,

   "Kwee Kongcu, tahan...!"

   Pada saat itu, terdengar bentakan Bu Keng Liong.

   "Apa yang terjadi di sini?"

   Kwan Bu melepaskan pedang Kwee Cin lalu menghadapi majikannya, menjura dalam dan berkata.

   "Mohon Thai-ya sudi memaafkan hamba yang hanya membikin ribut dan membikin repot saja."

   Bu Keng Liong menyapu keadaan di situ dengan pandang matanya. Ia melihat puterinya berdiri dengan muka pucat, bahkan ada dua titik air mata di pipi anaknya itu. Liu Kong membungkuk untuk mengambil pedangnya, demikian pula Kwee Cin. Jelas bahwa telah terjadi pertandingan dan mungkin tiga orang muridnya ini telah mengeroyok Kwan Bu dan tentu saja mereka telah menderita kekalahan. Teringat akan sikap Liu Kong di pesta siang tadi, ia menduga bahwa tentu Kwan Bu menerima penghinaan. Ia menjadi marah dan membentak,

   "Liu Kong! Kwee Cin! Apa yang kalian lakukan di sini?"

   "Suhu, teecu tadi melihat Kwan Bu berada di sini dengan Sumoi dan...!"

   "Anak haram ini kurang ajar terhadap Sumoi, Suhu!"

   Sambung Liu Kong dengan suara marah. Bu Keng Liong terkejut. Di dalam hatinya ia tidak percaya. Kwan Bu yang begini rendah hati berani kurang ajar? Tidak mungkin.

   "Suhu, dia berani memangku Sumoi!"

   Kata pula Liu Kong. Makin kagetlah Bu Keng Liong. Ah, sampai begitu jauh? Ataukah puterinya itu telah menjatuhkan hatinya, telah jatuh cinta kepada Kwan Bu? Kalau memang demikian, tidak aneh. Kwan Bu lihai sekali dan tampan, gagah mengagumkan. Sayang anak haram, seperti yang dikatakan isterinya. Ia menoleh ke arah puterinya yang berdiri menundukkan muka dan memandang kepada Kwan Bu yang juga menundukkan muka, di dalam hatinya dia agak lega bahwa laporan Liu Kong hanya pada taraf mengaku dan memeluk. Agaknya Liu kong dan Kwee Cin tidak melihat ketika ia menciumnya tadi!

   "Kwan Bu, aku percaya bahwa engkau adalah seorang laki-laki jantan yang tidak akan mengingkari perbuatan sendiri. Apakah yang terjadi antara engkau dan Siang Hwi?"

   Kaki gadis itu sudah menggigil. Ia amat dimanja Ayahnya, terutama Ibunya, akan tetapi ia juga amat takut kepada Ayahnya yang amat keras. Kalau Ayahnya tahu ia minta bantuan Kwan Bu dalam memperkuat sinkangnya, hal ini saja sudah akan membuat Ayahnya marah. Apa lagi... dia harus mengakui bahwa tadi ia tertidur di atas pangkuan Kwan Bu. kesalahan Kwan Bu hanya bahwa di dalam tidurnya, pemuda itu telah menciumnya!

   "Mohon beribu maaf Thai-ya. Tanpa sengaja hamba berjumpa dengan Siocia di sini dan... dan... hamba membantunya memperkuat sinkangnya dengan cara Hoan-khi-khai-hiat kemudian..."

   Siang Hwi yang amat khawatir kalau-kalau pemuda itu menceritakan semuanya sehingga ia tertidur di atas pangkuan Kwan Bu dan takut kalau Ayahnya akan marah, ditambah rasa malu karena tadi terlihat oleh Kwee Cin dan Liu Kong, cepat-cepat memotong.

   "Dia bohong, Ayah!"

   
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bu Keng Liong mengerutkan kening, memandang bergantian kepada Kwan Bu dan Siang Hwi, kemudian pandang matanya berhenti menatap wajah puterinya penuh selidik. Khawatir kalau-kalau didahului oleh Kwan Bu, Siang Hwi segera berkata, kini suaranya lantang karena ia sudah berhasil menekan perasaan hatinya yang terguncang.

   "Dia sengaja mencari aku untuk bertanya tentang riwayat Ibunya, Ayah. Kemudian ia membujukku katanya ia dapat membantuku memperkuat sinkang dengan menyalurkan hawa sakti dari tubuhnya. Aku percaya dan aku lalu disuruh duduk bersila di sini, dia bersila di belakangku. Mula-mula memang ia menyalurkan hawa saktinya melalui punggung, dan memang harus diakui bahwa aku menerima bantuannya menerobos semua jalan darah yang masih tertutup. Akan tetapi... tiba-tiba ia merangkul dan memelukku dari belakang... pada saat itu muncul Liu-Suheng!"

   Mendengar ini, Kwee Cin sendiri yang biasanya merasa suka kepada Kwan Bu bahkan peristiwa siang tadi membuatnya merasa kagum sekali, kini mengerutkan kening dan memandang dengan mata marah dan menyesal. Marah karena Siang Hwi adalah Sumoinya yang ia cintai sepenuh hati, dan menyesal mengapa seorang pemuda gagah seperti Kwan Bu itu setelah memiliki kepandaian tinggi menjadi berubah dan suka mengganggu wanita! Adapun Liu Kong yang memang benci kepada Kwan Bu, kini menjadi merah mukanya. Liu Kong memang membenci Kwan Bu karena munculnya Kwan Bu siang tadi benar-benar membuat ia kehilangan muka. Pemuda ini memiliki sifat yang berani dan tidak takut mati di samping merasa bahwa ia adalah murid pertama Bu Taihiap maka tentu saja merupakan seorang pendekar muda yang sudah tinggi sekali tingkatnya.

   la tahu bahwa siang tadi Kwan Bu telah menolongnya dari bahaya maut, akan tetapi berbareng menyeretnya ke dalam lumpur, jelas tampak oleh banyak orang betapa Liu Kong tidak berdaya dan betapa hebat sepak terjang Kwan Bu, betapa kalau tidak ada anak haram itu dia sudah akan tertawan musuh! Semua ini sudah membuat hatinya tidak senang, apalagi sekarang ia melihat betapa Kwan Bu berani main gila dan hendak berbuat tidak sopan kepada Siang Hwi, Sumoi yang dicintainya. Rasa iri hati dan cemburu menambah besar kebenciannya dan kalau di situ tidak ada Suhunya, tentu ia sudah menerjang lagi mati-matian biarpun ia maklum bahwa ia bukanlah lawan Kwan Bu yang amat lihai itu. Keterangan Siang Hwi itu membuat Bu Keng Liong memutar tubuh memandang Kwan Bu dengan kening berkerut.

   Sebaliknya, Kwan Bu tersenyum, senyum pahit. Ia maklum mengapa Siang Hwi membohong seperti itu. Namun ia tidak marah. Ia tahu bahwa bukan semata-mata Siang Hwi membohong untuk memfitnahnya. Tidak sama sekali. Ia tahu bahwa gadis itu takut dan ingin membersihkan dirinya dalam peristiwa adegan di atas rumput yang dipergoki oleh Liu Kong dan Kwee Cin tadi. Betapapun juga, Siang Hwi tidak menceritakan Ayahnya tentang ciumannya tadi. Ia memang sudah merasa berdosa, karena itu ia bersedia menerima tanggung jawab dan akibatnya. Karena tadi telah mencuri ciuman, yang ia anggap suatu dosa yang besar, suatu penghinaan hebat, maka kini ia tidak merasa sakit hati mendengar tuduhan Siang Hwi yang sebenarnya merupakan fitnah ini.

   "Kwan Bu, bagaimana keteranganmu tentang ini?"

   Setelah keadaan hening sampai lama menyambut penuturan Siang Hwi tadi, akhirnya Bu Keng Liong bertanya, suaranya halus namun tegas dan dingin. Kwan Bu menundukkan mukanya menghela napas panjang lalu berkata,

   "Semua yang dikatakan Siocia, benar belaka, Thai-ya. Memang hamba bersalah dan tidak perlu hamba sembunyikan lagi. Hamba siap menerima hukuman dari Thai-ya dan Siocia, dan terus terang saja hamba nyatakan di sini bahwa hamba jatuh cinta kepada Siocia, agaknya sejak dahulu. Hamba tahu bahwa tidak selayaknya dan adalah sebuah dosa besar bagi seorang pelayan untuk mencintai nona majikannya. Hamba tadi membantu Siocia dalam memperkuat sinkang dan... dan terjadilah apa yang Siocia ceritakan. Hamba siap menanti hukuman!"

   Setelah berkata demikian, Kwan Bu berlutut di depan Bu Keng Liong. Pendekar ini mengelus-elus jenggotnya. Ucapan Kwan Bu menusuk perasaan keadilannya. Berdosakah seorang pelayan mencinta nona majikannya? Tentu saja tidak, akan tetapi dosa Kwan Bu bukan terletak dalam hal mencinta Siang Hwi, melainkan berani berbuat kurang ajar, memeluk di luar kehendak gadis itu. Namun, mengingat akan jasa-jasa Kwan Bu, pula karena peristiwa memalukan itu tidak diketahui orang lain, tidak perlu dibicarakan pula.

   "Bangunlah, Kwan Bu. Engkau tahu telah melakukan perbuatan yang tidak patut, dan kau sudah mengaku serta menyesali perbuatan sendiri. Hal itu cukuplah, tidak ada hukuman yang lebih tepat dan berhasil dari pada hukuman yang timbul akibat perbuatannya, merupakan penyesalan yang akan menjadi obat sehingga perbuatan buruk itu takkan terulang lagi. Betapapun juga, engkau tentu mengerti bahwa besok pagi kau harus membawa Ibumu pergi dari sini."

   "Hamba tahu, dan tidak besok pagi, Thai-ya, malam ini juga hamba harus pergi bersama-sama...

   "

   "Kwan Bu...! Kwan Bu...!"

   Yang berteriak ini adalah Bhe Ciok Kim yang bangun dari tidurnya dan mencari puteranya.

   "Selamat tinggal, Thai-ya dan budi Thai-ya terhadap Ibu dan hamba, takkan hamba lupakan selamanya. Selamat tinggal, Siocia dan... harap Siocia sudi memaafkan kelancanganku tadi...!"

   Tanpa menanti jawaban, Kwan Bu berkelebat lenyap, memasuki kamar Ibunya. Ia mengumpulkan pakaian Ibunya, melompat keluar dan berkelebat lenyap di tengah malam meninggalkan gedung keluarga Bu di mana sejak kecil ia tinggal di situ. Setelah Kwan Bu pergi meninggalkan taman bunga tadi, Bu Keng Liong masih berdiri dan berkali-kali menarik napas panjang.

   "Sayang...!"

   Akhirnya ia berkata perlahan.

   "Sayang Pat-Jiu Lo-Koai yang sakti itu hanya memperhatikan kulit, tidak memperdulikan isi."

   Siang Hwi, Liu Kong, dan Kwee Cin masih berdiri di situ menghadap Bu Taihiap. Tiga orang muda ini dengan gejolak perasaan masing-masing mendengarkan.

   "Kalian bertiga tidak boleh mendendam kepadanya, karena betapapun juga, Kwan Bu telah berjasa besar terhadap keluarga kita. Bahkan kalian harus melihatnya sebagai contoh betapa kepandaian hanyalah merupakan kulit atau pakaian belaka, hanya alat untuk mencapai tujuan. Adapun yang menentukan tujuan adalah batin manusia. Karena itulah yang terpenting dari segalanya adalah melatih batin sehingga tetap bersih, karena batin yang bersih tentu akan melahirkan perbuatan-perbuatan yang bersih pula. Sebaliknya, batin yang kotor tentu akan menimbulkan perbuatan-perbuatan kotor. Ilmu pengetahuan dan kepandaian yang hanya merupakan alat, akan menjadi bersih atau kotor, sesuai dengan keadaan batinnya. Kwan Bu telah menerima gemblengan ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi sayang, agaknya Pat-Jiu Lo-Koai yang terkenal sakti seperti dewa itu tidak memperdulikan pendidikan batin sehingga pemuda yang memiliki ilmu tinggi itu mudah terseret gelombang nafsunya. Mudah-mudahan saja pengalaman akan menjadi guru baginya dan akan merobahnya, sehingga dapat diharapkan dari kepandaiannya yang tinggi itu akan timbul perbuatan-perbuatan gagah perkasa dan adil."

   Mendengarkan wejangan Bu Taihiap, hanya Kwee Cin saja yang menerimanya dengan wajar, sesuai yang diinginkan gurunya.

   Hal ini adalah karena Kwee Cin tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Kwan Bu. Pemuda ini mengangguk-angguk dan membenarkan wejangan Suhunya. Akan tetapi berbeda dengan penerimaan Liu Kong. Pemuda ini sudah mempunyai pendapat sendiri terhadap diri Kwan Bu. Sungguh pun mulutnya tidak berani membantah Suhunya atau pamannya, namun di hati ia tidak setuju. Tak mungkin ia tidak mendendam kepada Kwan Bu yang telah menyeretnya ke dalam lumpur kehinaan siang tadi, yang telah mengecilkannya menjadi seorang yang tidak berarti. Kemudian, betapa Kwan Bu hendak merampas hati Siang Hwi. Wanita yang dicintainya sepenuh jiwaraga! Ia membenci Kwan Bu, dan selamanya tidak akan dapat menjadi sahabat. Apa lagi dengan adanya kenyataan bahwa Kwan Bu adalah seorang anak haram!

   Betapapun mungkin dia, putera dari pahlawan kerajaan besar Liu Ti, yang menjadi orang kepercayaan Kaisar sendiri, seorang bangsawan besar, dapat bersahabat dengan seorang bujang pelayan yang terlahir sebagai anak haram pula! Atau siokhunya (pamannya) terlampau berat untuk ditaati. Lain pula yang berkecamuk di hati Siang Hwi. Hati dara ini seperti dilanda badai. Ia masih tidak dapat mempergunakan pikirannya dengan baik karena hatinya masih bergelora. Ia tahu betul bahwa ia tertidur di atas pangkuang Kwan Bu tanpa ia sengaja, juga bukan kesalahan Kwan Bu. Adapun tentang ciuman itu... masih berdebar jantungnya kalau ia kenangkan. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami hal seperti itu, bahkan dalam mimpi pun tak pernah! Ia tidak tahu apakah ia membenci Kwan Bu atau tidak dengan perbuatannya itu.

   Yang jelas, ia bisa mati saking malu kalau diketahui orang lain bahwa ia telah dicium mulutnya begitu mesra oleh Kwan Bu dan terutama sekali bahwa ia seperti dalam mimpi membalas ciuman itu dan merangkul leher Kwan Bu, walaupun hanya beberapa detik lamanya. Memalukan! Ah, ia tadi telah menjatuhkan fitnah kepada Kwan Bu, akan tetapi... hanya itulah jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari pada aib dan dari pada kemarahan Ayahnya. Ia tidak tahu, tidak bisa berpikir lagi, hanya girang bahwa ia telah bebas dari pada ancaman keadaan yang memalukan. Dengan mengorbankan nama baik Kwan Bu. Biarlah, bukankah Kwan Bu memang sudah ditempel oleh aib dan noda? Anak haram, kalau hanya ditambah sedikit perbuatan kurang ajar terhadap seorang gadis, tidaklah menambah noda namanya.

   "Kwan Bu..., ehh...Siauw Hiap (pendekar muda)... kau... kau tolonglah...!"

   Kwan Bu menghentikan langkahnya, memutar tubuh memandang orang yang memanggil-manggil dan kini berlari datang mengejarnya itu. Ia mengenal orang itu. Thio Sam, seorang pelayan tua di gedung Bu Taihiap, seorang tukang kebun. Tentu saja mengenalnya, karena Thio Sam ini adalah rekannya, sama-sama menjadi pelayan di gedung keluarga Bu.

   "Eh, Thio lopek (paman tua Thio), ada apakah?"

   Tanyanya heran. Ia mengingat-ingat dan merasa bahwa tidak ada urusan apa-apa lagi antara dia dengan keluarga Bu, apalagi dengan tukang kebunnya ini. Beberapa hari yang lalu, malam-malam ia meninggalkan gedung keluarga Bu dan mengajak Ibunya ke kuil Kwan-im-bio, di luar kota Kwi-cun, di sana ia dahulu dilahirkan dan dibesarkan sampai ia dibawa oleh Ibunya ke rumah keluarga Bu. Cheng In Nikouw, ketua kuil itu telah meninggal dunia, akan tetapi ketuanya yang baru adalah seorang nikouw dari kuil itu juga dan menerima kedatangannya dengan girang.

   Ketika Kwan Bu menitipkan Ibunya, para nikouw suka menerima dengan senang hati, apa lagi hanya untuk sementara waktu. Tentu saja Kwan Bu yang kini sudah menjadi laki-laki dewasa, tidak mungkin dapat tinggal di kuil itu dan memang bukan kehendak Kwan Bu untuk tinggal di situ. Ia harus pergi mencari musuh besar keluarga Ibunya, dan ia datang ke kuil itu hanya untuk menitipkan Ibunya. Setelah ia melihat Ibunya agak terhibur dan tidak bingung lagi, perlahan-lahan ia menceritakan Ibunya akan maksud hatinya mencari musuh besar. Ibunya girang dan suka ditinggalkan di kuil. Maka berangkatlah ia meninggalkan Ibunya di kuil, sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Thio Sam yang mengejarnya dan yang datang-datang minta tolong kepadanya.

   "Ah, kasihan sekali, kalau tidak kau tolong, siapa lagi yang akan dapat menyelamatkan mereka?"

   Kwan Bu terkejut. Ia hanya mengkhawatirkan keadaan Siang Hwi. Ada terjadi apakah?

   "Lopek lekas ceritakan, apa yang terjadi?"

   Thio Sam, tukang kebun keluarga Bu itu lalu bercerita dan Kwan Bu mendengarkan dengan penuh perhatian. Apakah sesungguhnya yang terjadi pada keluarga Bu? Memang terjadi hal yang amat penting dan hebat setelah Kwan Bu pergi meninggalkan gedung itu bersama Ibunya pada malam hari itu. Terjadinya tepat pada kesokan harinya setelah Kwan Bu pergi. Pagi hari itu, sepasukan tentara terdiri dari tiga puluh orang lebih dipimpin oleh seorang perwira yang tinggi kurus, datang mengunjungi gedung keluarga Bu, mengiringkan tiga orang yang sikapnya aneh akan tetapi pakaiannya mewah. Tiga orang ini sudah tua semua. Yang seorang bertubuh bongkok akan tetapi pakaiannya paling indah diantara mereka bertiga. Pakaian yang dihias benang emas, juga topinya dihias benang emas.

   Pendeknya pakaian seorang pembesar Istana Kaisar! Orang kedua juga berpakaian indah dengan topi hias bulu burung garuda, berwajah kurus seperti tikus kelaparan, dengan mulut meruncing ke depan dan kumis jarang. Orang ketiga adalah seorang Hwesio, akan tetapi jubahnya amat indah, terbuat dari pada Sutera halus berwarna kuning dengan pinggiran terhias benang emas, tongkat panjangnya, tongkat Hwesio, pada kepalanya terukir kepala ular terbuat daripada emas murni! Usia mereka sudah lima puluh tahun lebih dan melihat sikap perwira dan anak buahnya terhadap mereka yang amat menghormat, dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang penting di Kota Raja. Hal ini memang tidak keliru karena sesungguhnya tiga orang ini adalah tiga diantara jagoan-jagoan pengawal Istana yang semua berjumlah tujuh orang.

   "Di mana Bu Keng Liong? Suruh dia keluar menemui kami!"

   Demikian kata perwira pasukan dengan lagak sombong kepada para pelayan yang ketakutan melihat datangnya pasukan ini memenuhi pekarangan depan yang bersih dan kotor bekas pesta kemarin. Thio Sam, pelayan yang tertua dan setia, lebih tabah hatinya. Ia maju memberi hormat dan berkata,

   "Bu Thai-ya masih tidur, akan tetapi akan saya laporkan ke dalam. Cuwi (tuan sekalian) ini siapa dan dari manakah? Agar saya dapat laporkan kepada Thai-ya dengan betul..?

   "Hah, pelayan cerewet! Katakan saja kami dari Kota Raja, dari Istana! Hayo cepat!"

   Bentak perwira itu. Para pelayan menjadi makin ketakutan dan segera mereka lari masuk ke dalam gedung, didahului Thio Sam bahwa ada rombongan tamu dari Istana datang,

   Bu Keng Liong merasa heran dan cepat-cepat membereskan pakaian lalu melangkah keluar. Melihat keadaan pasukan itu, ia mengerti bahwa itulah pasukan pengawal kerajaan, dengan tanda sehelai bulu yang menghias topi mereka. Ada keperluan apakah sepasukan pengawal Istana dengan pemimpin mereka seorang perwira datang ke sini? Dan tiga orang itu. Ia tidak mengenal mereka, namun dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang yang berilmu tinggi dan jelas merupakan petugas-petugas Istana pula, melihat dari keadaan pakaian mereka. Bu Keng Liong pernah mendegar akan adanya Busu-Busu (pengawal Kaisar) yang berilmu tinggi dan tidak berpakaian seperti prajurit. Apakah tiga orang ini busu Istana? Ia maju dan mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap hormat sambil berkata.

   "Cuwi siapakah dan ada keperluan apa minta bertemu dengan saya?"

   "Eh, engkau inikah yang bernama Bu Keng Liong?"

   Si perwira yang tinggi kurus melangkah maju dan bertanya sambil menudingkan telunjuknya ke arah dada Bu Taihiap. Pendekar ini mengerutkan keningnya, akan tetapi ia tetap bersikap tenang dan sabar. Sudah banyak ia mendengar tentang lagak para petugas kerajaan, dari yang besar sampai yang kecil, kesemuanya adalah tukang korup pencuri kekayaan Negara dan pemeras serta penindas rakyat jelata. Agaknya perwira kecil ini tidak terkecuali maka bersikap begini galak seolah-olah dialah yang menjadi Kaisar!

   "Benar, akulah orangnya yang bernama Bu Keng Liong,"

   Jawab pendekar ini dengan sikap tidak begitu menghormat lagi karena betapapun juga hatinya merasa mendongkol oleh sikap yang tidak sopan dari si perwira.

   "Bagus! Engkau menyerahlah, Bu Keng Liong, dari pada harus menggunakan kekerasan menangkapmu!"

   Berdiri alis Bu Keng Liong. Sesabar-sabarnya pendekar ini, dia adalah seorang gagah yang tidak mau dihina begitu saja. Ia mengangkat dada, memandang tajam dan suaranya tegas dan bengis ketika ia membentak.

   "Ciangkun! Engkau ini seorang perwira akan tetapi mengapa begini tidak tahu aturan? Biarpun engkau seorang perwira atau pembesar sekalipun, tidak berhak untuk menangkap orang begitu saja tanpa alasan! Aku Bu Keng Liong selamanya tidak pernah berurusan dengan kerajaan, tidak pernah melakukan pelanggaran ataupun kejahatan! Karena itu, bagaimana aku harus menyerah begitu saja untuk ditangkap? Apakah untuk menangkapku engkau punya perintah dari Kaisar? Mana surat perintah itu?"

   Perwira itu kesima. Selama ia menjadi perwira siapa saja didatanginya untuk ditangkap, siang-siang sudah menggigil lututnya dan menyerah begitu saja tanpa membantah. Ia sudah terlalu biasa diturut kehendaknya oleh rakyat yang tidak ada seorang pun berani membantah dan melawanya. Biasanya, ia bilang hitam,bilang putih-putih! Akan tetapi sekarang, dia dibantah dengan ucapan yang berani dan memang benar! Karena itu ia kesima dan tidak dapat menjawab.

   "Heh-heh-heh, untuk menangkap seorang komplotan pemberontak memang tidak perlu ada surat perintah langsung dari Sribaginda!"

   Tiba-tiba tedengar kakek bongkok berkata sambil mengebut-ngebut tubuhnya dengan sebuah kipas. Kipas ini terbuat dari Sutera putih yang diberi lukisan gunung dan sungai, serta dihias dengan tulisan indah. Gagangnya terbuat daripada perak murni, putih mengkilap dan diukir-ukir indah pula, dengan kedua ujung gagang meruncing. Bu Keng Liong mengerutkan kening dan kini menghadapi tiga orang kakek itu yang berdiri tenang dan tersenyum-senyum. Ia maklum bahwa mereka ini sengaja datang untuk mencari keributan. Namun ia tahu gelagat dan tidak bersikap sembrono. Ia menjura dengan hormat dan bertanya.

   "Sebelum kita bicara tentang itu, bolehkah saya mengetahui siapa gerangan sam-wi (tuan bertiga) ini?"

   Kembali si bongkok tertawa sehingga matanya yang sipit menjadi makin sipit seperti dipejamkan.

   "Ha-ha-ha. Bu Keng Liong. Engkau yang terkenal sebagai seorang tokoh kang-ouw yang sudah ulung. Masa tidak mengenal kami? kami adalah tiga orang busu dari kerajaan, dan keadaan kami saja sudah cukup menjadi bukti bahwa Sribaginda sudah menyetujui akan penangkapan atas dirimu. Kau pandang aku baik-baik dan kalau masih belum dapat kau mengenalku sudahlah, mungkin kau yang terlalu picik."

   Bu Keng Liong memandang penuh perhatian. Tiba-tiba perhatiannya tertarik akan kipas itu. Kipas bergagang perak! Ah, tentu saja! Biarpun ia belum pernah berjumpa dengan orangnya, namun nama besar busu kerajaan ini sudah pernah didengarnya. Namanya Lu Mo Kok, dengan julukan Gin-San-Kwi (Iblis Kipas Perak), seorang diantara Busu-Busu kelas satu di kerajaan.

   "Ah, kalau tidak salah, tuan ini adalah busu Lu Mo Kok yang berjuluk Gin-San-Kwi!"

   "Ha-ha-ha-ha, ternyata matamu masih belum buta, Bu Keng Liong! Karena engkau mengenalku, biarlah kuperkenalkan kedua orang temanku ini. Mereka berdua juga Busu-Busu kerajaan, saudaraku ini adalah, Sam-to-eng (Garuda Berkepala Tiga), Ma Chiang (Kakek Berbaju Emas) yang terkenal dengan julukannya Kim-coa-pang (Tongkat Ular Emas)."

   Diam-diam Bu Keng Liong terkejut bukan main. Dia pernah mendengar pula nama julukan dua orang ini yang tidak kalah terkenalnya daripada julukan si bongkok. Tiga orang ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi sekali dan sudah terkenal kejam menurunkan tangan maut apabila berhadapan dengan para tokoh anti Kaisar. Akan tetapi pendekar ini dapat bersikap tenang karena tadi ia bahwa ia dituduh komplotan pemberontak dan tentu saja hal ini sama sekali tidak benar, bahkan baru kemarin hampir saja keluarganya terbasmi oleh kaum anti Kaisar! Ia tersenyum kata berkata.

   "Ah kiranya sam-wi adalah Busu-Busu kerajaan yang terkenal di dunia kang-ouw. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa sepagi ini sam-wi sudah datang mengunjungi pondok kami yang butut. Hendaknya sam-wi suka menjelaskan, apakah sesungguhnya maksud kedatangan cuwi sekalian ini?"

   Tiba-tiba sikap Gin-San-Kwi Lu Mo Kok berubah bengis matanya yang sipit melotot dan suaranya ketus.

   "Bu Keng Liong, tidak perlu banyak cakap lagi. Berlututlah dan menyerahlah!"

   Hilang kesabaran Bu Taihiap. Ia mengangkat dada, menentang pandang kakek bongkok itu dan menjawab.

   "Lu-Busu tadi aku dituduh komplotan pemberontak. Alangkah menggelikan dan itu hanyalah fiktif belaka. Harap kalian tidak begitu bodoh melakukan tindakan sembrono dan selidikilah dahulu perkaranya sebelum menjatuhkan fitnah keji."

   "Ha-ha-ha, Bu Keng Liong. Engkau hendak menyangkal? Sudah jelas sekali, bukankah kemarin engkau merayakan pesta shejitmu dan bukanlah di sini datang buronan kami? beranikah engkau menyangkal bahwa Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu Ban-Eng-Kiam Yo Ciat dan Koai-Kiam-Tojin Ya Keng Cu datang ke sini?"

   Bu Keng Liong menjawab, suaranya masih marah,

   "Tidak kusangkal! Mereka itu memang datang ke sini bersama dua orang sahabat mereka yang lain."

   "Hemm! Kalau mereka itu bukan komplotanmu, mau apa mereka datang. Tentu telah kau undang mereka,"

   Kata pula Lu Mo Kok.

   "Siapa mengundang mereka? Mereka datang dengan maksud hendak menangkap dan membunuh keponakanku, Liu Kong putera Liu Ti yang tentu kalian telah mengenalnya. Kami melawan dan hampir terjadi bentrokan senjata."

   "Ha-ha-ha! Bu Keng Liong, tidak perlu kau berusaha menipu kami. apa kau kira kami tidak mempunyai mata-mata? Keponakanmu itu tidak mereka tangkap, bahkan tidak terjadi pertandingan antara kalian dengan mereka, bukankah engkau sudah bersahabat dengan mereka dan permusuhan dihabiskan? Justru karena inilah kami datang untuk menangkapmu dan membujuk Liu Kong ke Kota Raja. Kami tidak menghendaki putera Liu Ti sahabat kami itu kau seret menjadi anggota pemberontak!"

   Pada saat itu, dari dalam muncul berlarian nyonya Bu bersama Siang Hwi, Kwee Cin dan Liu Kong. Ucapan terakhir Lu Mo Kok ini terdengar oleh mereka ini dan Liu Kong segera melompat ke depan, pedangnya sudah tercabut melintang di depan dada. Sikapnya gagah ketika ia menghadapi tiga orang kakek itu sambil berkata.

   "Siapa menyebut nama mendiang Ayahku? Akulah Liu Kong putera Liu Ti, kalau cuwi datang untuk berurusan dengan Liu Kong, harap tidak menyangkut orang lain, akulah orangnya!"

   Tiga orang kakek itu saling pandang dan tersenyum dengan muka berseri.

   "Omitohud...!"

   Kim I Lohan berseru sambil menggerak-gerakan tongkatnya. Sungguh tidak kecewa Liu-Sicu yang gagah perkasa?"

   Lu Mo Kok melangkah maju menghampiri Liu Kong lalu berkata,

   "Orang muda, ketahuilah bahwa mendiang Ayahmu adalah sahabat dan rekan kami, karena itu, kewajibanmulah sebagai puteranya meneruskan perjuangannya membela negara, membasmi para pemberontak dan pengkhianat. Marilah kau ikut bersama kami dan roh Ayahmu tentu akan berbahagia menyaksikan putera tunggalnya dapat menjunjung tinggi nama orang tua, hidup sebagai seorang pahlawan di Kota Raja."

   Mendengar ini, Liu Kong ragu-ragu dan menyarungkan pedangnya, kemudian mengangkat kedua tangan depan dada.

   "Ah, kiranya sam-wi adalah sahabat-sahabat dan rekan-rekan mendiang Ayah? Kalau sam-wi datang tidak bermaksud buruk kepada saya, tentu saja saya tidak memusuhi sam-wi. Terimalah hormat saya seorang muda yang bodoh."

   "Kong-ji...!"

   Bu Keng Liong membentak.

   "Ingatlah kau bahwa kau adalah muridku dan kau sudah berjanji untuk tidak mengikatkan diri kepada permusuhan kerajaan."

   Berubah wajah Liu Kong mendengar teguran pamannya ini dan ia melangkah mundur lagi. Wajahnya keruh dan pandang matanya ragu-ragu, agaknya ia tidak tahu bagaimana harus mengambil keputusan. Ia takut dan taat kepada pamannya yang juga menjadi gurunya. Sebaliknya ia tertarik kepada para busu dari Kota Raja ini. Bukankah mereka adalah rekan-rekan Ayahnya? Dan tentu saja ingin menjadi seperti Ayahnya!

   "Ha-ha-ha, sekarang kelihatanlah belangnya Bu Keng Liong! Engkau melarang putera sahabat kami melanjutkan kegagahan Ayahnya. Ini berarti engkau berpihak kepada para pemberontak, Bu Keng Liong, engkau menyerahlah dan ikut bersama-sama kami ke Kota Raja!"

   "Aku tidak sudi menjadi kaki tangan siapapun juga!"

   Bu Taihiap membentak marah. Isterinya juga sudah meloncat di sampingnya, siap dengan senjata pedang di tangan. Kwee Cin juga telah mencabut senjata, demikian pula Siang Hwi. Hanya Liu Kong yang berdiri bingung.

   "Bagus! Dasar berjiwa pemberontak. Kalian hendak melawan? Ha-ha-ha!"

   Lu Mo Kok sudah menerjang maju menggerakan kipasnya yang tadi ia pakai mengebut tubuhnya. Terdengar desir angin keras ketika gagang kipas itu menotok ke arah leher Bu Keng Liong. Pendekar ini sudah siap, cepat mengelak ke kiri. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ujung kipas itu bagaikan bermata, terus mengikuti dan mengancam lehernya. Ia terpaksa menggulungkan dirinya ke atas tanah, terus bergulingan sampai jauh baru melompat ke atas sambil mencabut pedang. Sementara itu, nyonya Bu yang tadi melihat suaminya terancam bahaya, sudah menerjang Lu Mo Kok dengan pedangnya. Akan tetapi hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan ketika kipas di tangan Lu Mo Kok menangkisnya.

   "Ha-ha-ha, benar-benar berani melawan?"

   Si Iblis Berkipas Perak itu tertawa mengejek, suami-isteri Bu cepat menerjangnya dan dalam sekejap mata saja ia sudah dikeroyok suami isteri ini. Siang Hwi dan Kwee Cin cepat menerjang maju untuk membantu guru mereka. Akan tetapi tiba-tiba pedang Kwee Cin terbentur dengan sebatang tongkat dan tangannya menjadi setengah lumpuh. Kiranya pedangnya ditangkis oleh tongkat di tangan Hwesio berjubah emas. Terpaksa ia melayani Hwesio ini sambil memutar pedangnya dengan cepat.

   "Aduh-aduh... cantik jelita! Tentu engkau ini puteri Bu Keng Liong yang tersohor. Bagus, nona manis, memang engkau cocok sekali untuk bermain-main dengan aku, ha-ha-ha!"

   Melihat bahwa Sam-Tho-Eng Ma Chiang menghadangnya, Siang Hwi marah sekali, apalagi mendengar ucapan yang tidak sopan itu. Pedangnya berkelebat menjadi sepasang naga bermain-main di angkasa.

   "Bagus sekali! Wah engkau makin cantik seperti bidadari menari!"

   Siang Hwi marah. Siang-kiam di tangannya bergerak makin cepat, akan tetapi ternyata dengan mudah dapat di elakkan oleh Ma Chiang yang memiliki sinkang istimewa sehingga seolah-olah tubuhnya menjadi sehelai bulu yang ringan sekali.

   la melayani Siang Hwi sambil tertawa-tawa mengejek dan kadang-kadang ia menggunakan tangannya yang nakal itu untuk menepuk pundak, mengelus dagu, dan mencoba untuk menyentuh dada Siang Hwi makin marah, mukanya menjadi merah sekali, matanya seperti mengeluarkan api dan pedangnya merupakan cengkeraman maut. Pertandingan berjalan dengan amat serunya, akan tetapi hanyalah Lu Mo Kok yang dikeroyok suami isteri Bu itu saja yang dapat bertanding dengan ramai dan berimbang keadaannya. Dua pertandingan yang lain hanya merupakan main-main belaka karena Kwee Cin dan Siang Hwi sama sekali bukanlah lawan dua orang busu yang berilmu tinggi itu. Liu Kong menjadi kebingungan.

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini