Dendam Si Anak Haram 9
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Singggg...!!"
Golok itu berubah menjadi sinar terang menyambar ke arah leher Kwan Bu yang tepat mengelak. Pantas Giok Lam terdesak, pikir Kwan Bu. kiranya Hwesio ini memang memiliki tenaga yang amat besar dan goloknya lihai sekali.
Ketika golok menyambar lewat, Kwan Bu yang mengelak dan tubuhnya menjadi rendah dengan kedua lutut ditekuk, tiba-tiba mengirim tendangan ke arah Iutut kiri dan pergelangan tangan kanan. Dua tendangan susul menyusul yang amat cepat dan kalau mengenai sasaran tentu akan melumpuhkan dan melucuti lawan. Namun, Hwesio itu ternyata tidak selemah kedua Orang pembantunya tadi. Tendangan ke arah lutut dapat ia elakkan dan tendangan ke arah pergelangan tangannya ia sambut dengan bacokan golok yang ia balikkan ke bawah! Tentu saja Kwan Bu tidak membiarkan kakinya terbacok dan ia menarik kembali kakinya lalu melangkah ke kiri dua tindak. Melihat betapa Kwan Bu menghadapi Hwesio itu dengan tangan kosong saja, Giok Lam menjadi khawatir dan ia cepat menerjang maju dengan goloknya. Hwesio itu marah, membentak keras dan menangkis sambil mengarahkan goloknya.
"Trangggg...!! Aihhhhh...!!"
Golok rampasan di tangan Giok Lam mencelat dan sudah patah menjadi dua dan pemuda itu memekik sambil melompat mundur. Kwan Bu marah, cepat menubruk maju dan dengan pukulan jarak jauh itu menghantam ke arah dada Hwesio itu. Merasa betapa angin pukulan yang dahsyat menyambar, Hwesio itu terkejut dan berusaha menangkis. Inilah salahnya. Kalau ia mengelak, mungkin ia terhindar. Akan tetapi ia menangkis dengan lengan kirinya.
"Krekkk...!l"
Lengan kiri Hwesio itu yang dua kali lebih besar dari tangan Kwan Bu, seketika patah tulangnya.
"Aduhhh...!"
Hwesio itu kaget dan marah, mencelat mundur sambil menyambitkan goloknya ke arah Kwan Bu.
"Twako, awas...!"
Teriak Giok Lam. Akan tetapi tanpa diperingatkan sekalipun Kwan Bu sudah tahu akan datangnya bahaya. Ia tidak mengelak, melainkan miringkan tubuhnya dan tangan kanannya menyambar goloknya itu yang kini sudah berhasil pindah ke tangannya. Hwesio itu memandang dengan mata terbelalak, dan sekarang ia benar-benar menjadi gentar. Terdengar ia memekik keras dan tubuhnya sudah melayang ke naik atas, maksudnya hendak melarikan diri melalui langit-langit kamar itu karena di situpun terdapat jalan rahasia. Kwan Bu dapat menduga akan hal ini, maka ia cepat menggerakkan tangannya itu dan golok besarnya itu sudah meluncur cepat sekali ke atas, mengejar tubuh siHwesio.
"Crattt...!"
Golok itu menusuk punggung si Hwesio cabul, menembus ke dada dan terus menancap tiang penglari sehingga tubuh tinggi besar itu kini terpaku oleh goloknya sendiri di atas langit-langit! Darah menyemprot dan hujan dari atas. tubuh itu berkelojotan kaki tangannya, lehernya mengeluarkan suara seperti babi disembelih.
Kwan Bu membuang muka, tidak mau memandang lagi dan ia berpaling ke arah Giok Lam. Sepasang mata Kwan Bu terbelalak dan mukanya menjadi merah. Giok Lam telah membebaskan gadis baju hijau itu yang kini telah berdiri berpelukkan dengan Giok Lam! Gadis baju hijau itu, yang pakaiannya robek-robek sehingga tampak sebagian dadanya, kini menangis dan menyandarkan muka di dada Giok Lam, sedangkan pemuda itu mengelus-eluskan rambut si gadis baju hijau dan berusaha membereskan letak pakaian si gadis baju hijau yang terbuka! Celaka, pikir Kwan Bu. Apakah Giok Lam juga seorang pemuda yang mata keranjang? akan tetapi, Giok Lam tidak memaksa gadis itu, tidak seperti si Hwesio jahanam, maka iapun membuang muka dan hendak keluar dari kamar agar tidak "Mengganggu"
Giok Lam, akan tetapi ia mendengar si baju hijau itu berbisik,
"Untung engkau keburu datang, Cici..."
"Ssstttt! Sudahlah, jangan banyak cakap. Mari kita keluar dari sini dan kita tolong wanita-wanita lain yang disekap di neraka ini!"
Giok Lam melepaskan si baju hijau dan berkata kepada Kwan Bu yang sudah sampai di pintu.
"Eh, Bu-Twako, bagaimana dengan dua ekor kerbau tadi?"
Kwan Bu masih bengong di pintu dan masih membuang muka. Ia hampir tak percaya akan pendengarannya sendiri tadi. Giok Lam disebut "Cici"
Oleh si baju hijau? Kini mendengar pertanyaan Giok Lam ia menjadi gugup.
"Suu... sudah... roboh... mungkin pingsan...!"
"Eh, kau kenapa? Hayo cepat kita periksa dan tolong wanita-wanita lain,"
Wanita baju hijau itu agaknya sudah dapat menekan kelegaan hatinya. Pakaiannya sudah rapi lagi dan ia sudah memegang sebatang pedang, yaitu pedangnya yang tadinya terampas oleh si Hwesio tinggi besar ketika ia meloncat turun dan terjebak.
Wajahnya yang cantik menjadi beringas dan sekiranya di situ masih ada anak buah si Hwesio cabul, tentu akan jadi korban senjatanya semua. akan tetapi ketika mereka bertiga akan memasuki kamar kedua di mana tadi kedua orang Hwesio itu dirobohkan kwan Bu, ternyata bahwa tubuh mereka sudah hancur lebur, dicacah seperti daging bakso oleh kedua orang wanita yang menjadi korban. adapun dua orang wanita itu, yang telah melampiaskan kebencian mereka terhadap dua tubuh Hwesio yang sudah tak berdaya, kini telah membunuh diri dengan dua batang pedang milik dua orang Hwesio yang sebelumnya telah mereka pakai untuk mencacah tubuh mereka. Dua orang wanita itu telah membunuh diri di atas pembaringan. kamar itu banjir darah dan amat mengerikan!
"Kita bebaskan wanita-wanita di kamar tahanan! Mari ikut aku."
Wanita baju hijau itu berkata. Mereka bertiga lalu menuruni anak tangga kedua dan di dalam ruangan di bawah tanah mereka menemukan tujuh orang wanita muda yang dikeram di dalam kamar.
Wajah mereka pucat-pucat dan sebagian dari mereka menangis sedih. Tujuh orang wanita muda itu lalu diajak keluar dan setelah tiga orang gagah itu melakukan pemeriksaan, ternyata bahwa penghuni kuil itu memang hanya ada empat orang Hwesio yang kesemuanya telah tewas. Si baju hijau lalu mengumpulkan perhiasan-perhiasan dan benda berharga, membagi-bagikannya di antara tujuh orang wanita itu. kemudian mereka keluar dari dalam kuil yang lalu dibakar oleh si wanita baju hijau, Kwan Bu yang masih terheran-heran kadang-kadang memandang Giok Lam dengan pandang mata bodoh dan bingung, mendiamkan saja semua perbuatan si baju hijau agaknya memang seorang wanita kang-ouw yang biasa melakukan perbuatan-perbuatan seperti itu.
Juga Giok Lam hanya membantu dan beberapa kali menyatakan kagumnya. Ketika kuil itu terbakar menggegerkan seluruh penduduk kota Sian-Hu, tiga orang gagah yang mengawal tujuh orang wanita bekas tahanan itu telah berada jauh di luar kota. Mereka berhenti di jalan simpangan yang sunyi di luar kota, berhenti mengaso dan untuk bercakap-cakap. Wanita baju hijau itu menceritakan pengalamannya. Dia ini adalah seorang pendekar wanita terkenal yang dengan julukan Cheng I Lihiap (pendekar Wanita Baju Hijau) seorang murid Kun-Lun-Pai yang pandai. Sudah banyak perbuatan hebat ia lakukan di dunia kang-ouw sehingga namanya terkenal juga. Akan tetapi sekali ini, dalam penyerbuannya terhadap kuil di Ban-Lok-Tang, bukan hanya bermaksud membasmi penjahat cabul berkedok Hwesio, melainkan juga untuk membalas sakit hatinya.
"Tong Hak Hosiang, ketua kuil itu adalah musuh besarku,"
Demikian antara lain ia bercerita.
"Ketika aku masih kecil, Hwesio palsu itu pernah mengganggu keluargaku. Ayah Ibu melawan, akan tetapi Ibu tewas dan Ayah terluka. Semenjak itu, dia adalah musuh besarku dan malam ini dengan bantuan jiwi (tuan berdua) yang amat berharga akhirnya aku berhasil juga!"
Dua titik air mata menuruni sepasang pipi yang kemerahan itu.
"Jadi semenjak dahulu dia sudah menjadi Hwesio dan bernama Tong Hak Hosiang? Apakah dahulu dia bukan seorang perampok?"
Mendengar betapa pemuda yang ia saksikan kelihaiannya itu bertanya dengan nada kecewa, wanita baju hijau menjawab cepat.
"Tidak pernah Tong Hak Hosiang dikabarkan menjadi perampok. Dia penjahat cabul dan mengumpulkan kekayaan dengan jalan menipu orang-orang yang percaya akan tahyul di kuil itu."
"Kalau begitu bukan dia..?"
Kwan Bu mengeluarkan ucapan ini lirih, seperti bicara kepada diri sendiri.
"Bu-Twako, siapa sih orang yang kau cari-cari itu?"
Tanya Giok Lam. Kwan Bu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala. Wanita baju hijau itu kini sudah berdiri dan menjura kepada Kwan Bu dan Giok Lam.
"Sekarang saya mohon diri untuk pergi mengantar perempuan-perempuan ini pulang ke kampung masing-masing. Saya tidak akan melupakan nama Bhe Kwan Bu yang gagah dan nama Phoa Giok Lam yang manis budi. semoga jiwi dapat hidup bahagia."
Tujuh orang wanita itupun berlutut menghaturkan terima kasih kepada Kwan Bu dan Giok Lam sehingga dua orang ini sibuk menolak penghormatan itu. Kemudian mereka berdua berdiri memandang rombongan wanita yang dikawal Cheng I Lihiap sampai bayangan mereka lenyap. Tanpa sengaja mereka itu berpaling dan saling memandang. Sampai lama mereka saling pandang, tidak mampu membuka suara. Malam telah berganti pagi, cuaca remang-remang namun mereka masih dapat melihat sinar mata masing-masing yang seperti hendak menjenguk hati. Jantung Kwan Bu berdebar.
"Kau... kau..."?"
Suaranya gemetar. Giok Lam tersenyum.
"Aku...mengapa!"
Lalu pemuda tampan ini membuang muka dan mengomel "Eh, Twako, kenapa engkau menjadi begini aneh sikapmu? Pandang matamu seperti itu! Ahhh, jangan-jangan setelah menyaksikan wanita-wanita telanjang, engkau ketularan watak Tong Hak Hosiang...!"
Kwan Bu tertawa. Teringat ia bahwa Giok Lam tadi belum tahu akan terbukanya rahasia. Biarlah ia pura-pura tidak tahu!
"Dan engkau sendiri, Lam-te? Bagaimana perasaanmu?"
Di dalam hatinya Kwan Bu menduga-duga siapa gerangan nama sebenarnya dari "Pemuda"
Ini. Hemm, pandai benar memilih nama samaran memakai "Lam"
Yang berarti anak laki-laki.
"Huh, Bagiku tidak ada perubahan apa-apa. Eh, Twako hebat sekali kepandaianmu. Baru sekarang aku percaya. Kau mengalahkan Hwesio cabul itu dengan tangan kosong belaka sedangkan aku dengan golokku amat sukar mengatasinya! Twako, kau ajarilah aku beberapa pukulan lihai!"
Kwan Bu yang kini mengerti bahwa Giok Lam adalah seorang wanita, menarik napas panjang dan ia tahu bahwa ia harus meninggalkan Giok Lam. Tak mungkin ia melakukan perjalanan bersama seorang gadis, biarpun gadis itu menyamar sebagai pria. Pendapat ini membuat hatinya berduka sekali. Sukar sekali ia menyatakan pendapat hatinya ini melalui mulut. Kembali ia menghela napas panjang lalu berkata.
"Lam-te, harap jangan terlalu memujiku. Kepandaianmu sendiri sudah amat lihai. Biarlah lain kali, kalau ada nasib baik, akan bertemu kembali denganmu dan kita bicara tentang ilmu silat. Sekarang, engkau maklum sendiri bahwa aku sedang mencari seorang musuh besarku, Lam-te. Sebelum aku menemukan musuh besarku itu, aku merupakan seorang yang hidupnya terikat kewajiban. Maafkan aku, Lam-te, agaknya... kita harus saling berpisah di Sini..?"
"Eh eh Bu-Twako! Agaknya engkau tidak suka ya berdekatan dengan aku? Begitu ketemu terus berpamit ingin berpisahan. Apakah aku sudah menjemukan hatimu Twako?"
Kwan Bu makin gugup.
"Ah,.. ahh... tidak begitu, Lam-te! Hanya sayang jalan hidup kita bersimpang. Aku mempunyai urusan pribadi yang amat penting dan harus kuselesaikan lebih dulu"
"Hemmm, kau ini benar-benar seorang sahabat yang tidak dapat membedakan mana sahabat baik mana bukan! Tidak dapat mengenal budi! Tanpa menengok kebodohan sendiri, malam tadi aku sengaja mencarimu dengan maksud membantumu, agaknya karena kau melihat betapa tenagaku tidak ada gunanya, maka kau ingin memisahkan diri, menganggap aku hanya seorang penghalang belaka. Bukankah begitu, Bu-Twako yang lihai?"
Kwan Bu makin bingung dan diam-diam hatinya berdebar keras. Mengapa pemuda... ah, gadis ini amat memperhatikannya? Mengapa pula bahkan telah membela dan membantunya dalam penyerbuannya di kuil Ban-Lok-Tang? Tanpa disadarinya, karena pertanyaan-pertanyaan ini mendesak hatinya, mulutnya bertanya,
"Lam-te, mengapa... mengapa engkau begini baik terhadap diriku? Mengapa engkau suka membantuku dan begini memperhatikan diriku?"
Giok Lam memandang tajam dan dengan hati berdebar, juga geli. Kwan Bu melihat betapa sepasang pipi yang halus itu menjadi merah. Ah, mengapa matanya seperti buta? Jelas bahwa "Pemuda"
Ini adalah seorang gadis yang cantik. Kalau seorang pria mana mungkin begini tampan? Kalau saja ia tidak mendengar si baju hijau yang lebih tajam matanya itu menyebut "Cici"
Kepada Giok Lam, tentu ia masih belum mengerti!
"Karena aku suka kepadamu, Twako. karena kau sudah kuanggap seorang sahabatku, yang baik, dan karena kau amat lihai sehingga aku ingin sekali memetik beberapa ilmu darimu. Maka harap kau jangan sungkan lagi Twako. Katakanlah, siapa musuh besar yang kau cari itu? Apakah dia seorang Hwesio maka engkau menyelidiki keadaan Tong Hak Hosiang?"
Kwan Bu tidak melihat adanya jalan untuk menghindari pertanyaan ini. Pula, pemuda atau gadis ini benar-benar ingin menolong setulus hatinya, megapa ia tidak berterus terang saja?
"Sungguh, Lam-te. Aku berterima kasih sekali atas kebaikanmu. Aku hanya tidak ingin merepotkan engkau saja. Musuh besarku itu adalah seseorang yang tidak kukenal, juga tidak kuketahui nama ataupun wajahnya. Aku hanya tahu bahwa dia berusia enam puluh tahun yang pandai main golok, dan jarum. Keadaan Tong Hak Hosiang hampir sama dengannya, hanya bedanya, menurut penuturan Cheng I Lihiap tadi, sejak dahulu Tong Hak Hosiang adalah seorang Hwesio. Adapun musuh besarku ini sejak dahulu adalah seorang perampok besar. Maka kini jelas bahwa bukan Tong Hak Hosiang musuh besarku. Aku masih mempunyai pandangan lain, yaitu kepala rampok di Hek-Kwi-San yang katanya pandai main golok dan jarum."
"Sin-To Hek-Kwi...?"
Kwan Bu memandang penuh selidik.
"Begitulah julukannya! Bagaiamana kau bisa tahu, Lam-te?"
Giok Lam menggeleng-geleng kepala.
"Aku sudah banyak merantau dan nama besar Sin-To Hek-Kwi sudah sampai di mana-mana. Siapakah yang tidak mengenal kepala rampok Hek-Kwi-San itu? Akan tetapi, Twako, sungguh-sulit urusanmu itu. Apakah kau yakin benar bahwa Sin-To Hek-Kwi itu musuh besarmu?"
"Tidak bisa yakin, Lam-te. Akan tetapi aku harus mencari terus sampai dapat. Tidak banyak kukira kakek yang mempunyai banyak keahlian golok dan jarum dan yang dua puluh tahun yang lalu menjadi kepala rampok. Aku akan menyelidiki ke Hek-kwi san."
"Sungguh sukar. Siapa bilang tidak banyak yang pandai main golok dan jarum? Aku sendiri sejak kecil belajar golok dan jarum. Jangan-jangan Ayahku itu musuh besarmu, Twako!"
"Ah, jangan bergurau, Lam-te. Musuh besarku adalah seorang perampok sedangkan Ayahmu tentulah seorang kaya raya dan terhormat."
Giok Lam tersenyum.
"Memang aku hanya main-main, Twako. Ayah adalah seorang yang baik sekali, seorang hartawan yang suka melakukan derma dan tidak pernah mengganggu orang. Dan tentang penyelidikan ke Hek-Kwi-San, aku akan ikut, Twako. Kebetulan sekali aku banyak tahu akan daerah pegunungan itu sehingga kalau kiranya kau tidak memandang terlalu rendah tenagaku, aku dapat membantumu."
Menghadapi seorang gadis yang begini keras kepala, bagaimana Kwan Bu mampu menolaknya? kalau ia berkeras menolak, tentu ia akan menjadi marah dan membencinya, dan kalau ia berterus terang menyatakan bahwa ia sudah tahu akan rahasia penyamarannya, tentu ia akan tersinggung dan akan marah-marah pula. Dan dia sendiri tidak menghendaki gadis yang menarik hatinya ini marah-marah, apalagi benci kepadanya.
"Baiklah kalau begitu, sebenarnya terima kasih atas kebaikanmu, Lam-te. Semoga kelak aku dapat membalas budimu."
Giok Lam memperlebar senyumnya, kelihatan girang dan gembira sekali seperti seorang kanak-kanak dipenuhi permintaannya.
"Kalau hendak membalas budi mengapa tunggu sampai kelak? Sekarangpun bisa dimulai, Twako, yaitu pertama jangan pamit minta berpisahan lagi dan kedua ajarkan aku satu dua macam ilmu yang lihai!"
Kwan Bu tertawa dan tahulah ia bahwa hidup di samping gadis ini dunia akan selalu tampak cemerlang, hatinya akan selalu gembira. Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Hek-Kwi-San dan di sepanjang perjalanan Kwan Bu memberi bimbingan ilmu silat kepada gadis itu. Ia mendapat kenyataan bahwa sungguhpun gerakan gadis itu cukup gesit dan ringan namun dasar ilmu silatnya tidaklah amat tinggi. llmu golok yang dimilikinya juga tidak bersumber pada ilmu golok partai persilatan besar, melainkan campuran dan penuh tipu daya yang biasanya hanya dipergunakan golongan sesat di dunia kang-ouw. Namun tentu saja ia tidak mencela, bimbingan di mana perlu untuk memperkuat sesuatu jurus yang dimainkan gadis itu. Ia selalu berpura-pura tidak tahu bahwa Giok Lam adalah seorang gadis.
"Lam-te, kau ini aneh sekali! Mengapa setiap bermalam di penginapan selalu harus menyewa dua kamar? Apa sih halangannya kita tidur sekamar?"
Kwan Bu sengaja bertanya untuk menggoda temannya ini ketika untuk ketiga kalinya mereka bermalam di losmen dan seperti biasa Giok Lam menyewa dua buah kamar untuk mereka. Dengan hati geli Kwan Bu melihat betapa sepasang mata yang tajam itu menjadi bingung dan sepasang pipi itu menjadi kemerahan. Giok Lam dengan lagak bergurau lalu menjawab.
"Sejak kecil aku tidak dapat tidur dengan orang lain. sekamar, apalagi sepembaringan! Aku tidak dapat mendengar orang mendengkur."
"Akan tetapi aku bukan tukang ngorok!"
Bantah Kwan Bu. Giok Lam menahan ketawanya dan tanpa ia sadari sikap seperti inipun hanya dimiliki wanita-wanita muda sehingga Kwan Bu menjadi makin geli hatinya.
"Aku tahu, Twako. Orang selihai engkau mana bisa mengorok kalau tidur? Jasmani kita yang sudah terlatih takkan dapat tidur senyenyak itu, betapapun lelahnya. Aku hanya main-main, maksudku, aku tidak dapat tidur kalau berdekatan dengan orang lain."
"Hemm, barangkali keringatku berbau terlalu busuk sehingga kau tidak boleh tidur denganku!"
Kwan Bu melanjutkan godaannya. Cuping hidung mancung yang tipis itu bergerak sedikit.
"Sama sekali tidak, Twako. Keringatmu tidak berbau busuk. akan tetapi... ah, sudahlah, kuminta pengertianmu bahwa sejak kecil aku tidak biasa tidur berteman sehingga kalau tidur berteman pasti semalam suntuk aku tidak akan bisa pulas. Apakah engkau menghendaki aku tersiksa dan tidak bisa tidur semalaman?"
Kwan Bu menjadi kasihan dan tidak ingin menggoda terus. Demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke Hek-Kwi-San dan di sepanjang jalan, hati Kwan Bu makin terpikat dan tertarik, merasa betapa gadis yang menyamar pria ini amat baik terhadap dirinya, merasa betapa gembira hatinya.
"Sumoi haruskah aku bersumpah untuk meyakinkan hatimu bahwa aku mencintaimu?"
Dengan suara bernada sedih dan pandang mata penuh kasih sayang Siok Lun berkata kepada Bi Hwa. Mereka duduk di luar hutan, di bawah pohon besar. Tempat itu amat sunyi dan setelah ucapan Siok Lun itu terlewat dibawa angin, keadaan makin sunyi. Akhirnya terdengar jawaban gadis itu, suaranya halus akan tetapi mengandung penuh tegur dan sesal,
"Suheng, mengapa engkau mengejar-ngejarku? Sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku tidak ingin bicara tentang itu, bahwa sedikitpun tidak ada dalam pikiranku untuk mengenang soal cinta. Akan tetapi karena kau mendesak terus, biarlah kau ketahui pendapatku tentang cintamu. Suheng, akupun bukan seorang buta dan akupun telah tahu sejak lama bahwa engkau mencintaiku. Akan tetapi, sejak perbuatanmu di Pek-Hong-san terhadap aku... seperti itukah kelakuan seseorang yang mencinta? Begitu tega dan keji untuk memperkosa? Untung ada Sute yang muncul, kalau tidak... ah aku akan menjadi benci sekali kepadamu."
"Aah, Sumoi, aku sudah menyatakan penjelasanku, aku sudah berkali-kali minta maaf. Perbuatanku itu hanya terdorong oleh nafsu, Sumoi Akan tetapi percayalah. nafsu itu terhadap dirimu sama sekali tidak mengotorkan cinta kasihku. Aku tidak berniat menghinamu, tidak berniat mencemaskanmu, melainkan berniat mencintamu, menyenangkan hatimu. Sumoi, aku bersumpah takkan mengulang lagi perbuatan itu, dan aku telah merasa menyesal."
Bi Hwa menundukkan mukanya, termenung. Harus ia akui di dalam hati bahwa karena semenjak kecil ia belajar bersama Suhengnya ini, hatinya juga tertarik apalagi Siok Lun adalah seorang pemuda yang tampan, pandai mengambil hati, juga memiliki kepandaian tinggi. Ia tahu bahwa Suhengnya ini mencintainya, iapun agaknya merasa bahagia kalau menjadi isteri Suhengnya ini. Akan tetapi ada hal-hal yang masih menggelisahkan dan meragukan hatinya. Ia tahu pula akan kenakalan Suhengnya yang suka bermain-main dengan wanita penduduk daerah Pek-hong-san. Ia tahu bahwa banyak wanita muda tergila-gila kepada Suhengnya yang dalam hal ini tidaklah sealim Sutenya, yaitu Bhe Kwan Bu. Kalau terkenang kepada Kwan Bu dan terbayang wajah Sutenya itu,
Terbayang sifatnya yang sopan pendiam sebagai seorang pendekar tulen, timbul perasaan kagum dan mesra di hatinya. Apalagi karena ia tahu benar dalam hal ilmu silat, Kwan Bu biarpun merupakan murid termuda, namun agaknya mendapat kemajuan yang paling pesat. Dibandingkan dengan Siok Lun. Kwan Bu menang dalam banyak hal, hanya kalah dalam kepandaian merayu hati! Seperti telah diceritakan di bagian depan, Liem Bi Hwa adalah puteri seorang sasterawan yang tewas oleh perampok yang menyerbu kampungnya, demikian pula Ibunya tewas dalam malapetaka itu. Sejak kecil Bi Hwa ikut Pat-Jiu Lo-Koai menjadi muridnya. Anak ini pendiam, namun peristiwa pahit itu membentuk sebuah tekad di dalam hatinya. Sekarang, menghadapi rayuan Siok Lun, diam-diam ia mempertimbangkan rugi untungnya. kemudian dengan suara tetap ia berkata.
"Suheng, aku maafkan engkau dan akupun percaya penuh akan cinta kasihmu. Aku seorang sebatang kara, kini menerima perasaan cinta kasihmu, betapa hatiku tidak akan gembira? Akan tetapi, Suheng. sebaiknya kita jangan membicarakan tentang ikatan jodoh terlebih dulu sebelum sakit hati dan penasaran hatiku terangkat. kuharap engkau akan dapat membuktikan cintamu dengan bantuan nyata terhadap kandungan hatiku ini."
Girang bukan main hati Siok Lun. Sudah lama ia tergila-gila kepada Sumoinya sendiri dan kini ia "Mendapat hati."
Ia memegang tangan gadis itu, meremas-remas jari-jari halus itu dan berkata, suaranya sungguh-sungguh,
"Sumoi, percayalah, aku akan melakukan apa saja untukmu! Penasaran hati yang kau kandung itu adalah karena kematian orang tuamu bukan?"
"Hanya sebagian saja,"
Jawab Bi Hwa dan membiarkan saja tangannya dibelai.
"Ayah bundaku mati oleh perampok-perampok yang tidak kukenal, akan tetapi tekadku setelah aku tamat berguru, aku akan membasmi semua perampok yang ada! Di samping itu, sejak kecil aku hidup dalam keadaan miskin dan hina, maka aku bercita-cita untuk hidup mulia, terhormat, dan kaya raya!"
Siok Lun tertawa gembira.
"Cocok... Siapa orangnya tidak bercita-cita seperti engkau, Sumoi? Tentang pembasmian para perampok, jangan khawatir, aku akan membantumu. Tentang cita-cita yang lain, amatlah cocok dengan isi hatiku, Sumoi. Ayahku sendiri seorang hartawan yang cukup kaya raya, akan tetapi akupun belum puas kalau belum bisa memperoleh kedudukan tinggi. Sekarang ini kerajaan sedang diganggu banyak orang jahat di dunia kang-ouw, maka sudah menjadi kewajiban kita dan merupakan kesempatan amat baik pula untuk membantu kerajaan sehingga sekali tepuk kita memperoleh dua ekor lalat. Pertama kita dapat membasmi perampok dan membalas sakit hatimu, kedua kita akan berjasa dan memperoleh kedudukan di kerajaan."
Wajah yang cantik itu berseri.
"ltulah yang kucita-citakan, Suheng."
Siok Lun menarik tubuh Sumoinya, memeluk dan meciumnya mesra, dan sekali ini Bi Hwa tidak menolak, bahkan membalas pernyataan kasih sayang itu.
"Tenangkan dan senangkan hatimu, Sumoi karena semua cita-cita itu akan terkabul. Akan kulaksanakan
(Lanjut ke Jilid 09)
Dendam Si Anak Haram (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
kesemuanya, demi cintaku kepadamu."
Tak lama kemudian, dua orang kakak beradik seperguruan yang kini menjadi dua orang yang saling mencinta itu meloncat bangun sambil melepaskan pelukan masing-masing. Pendengaran telinga mereka yang tajam terlatih itu mendengar derap kaki banyak kuda mendatangi dari depan.
"Hemmm. siapakah mereka yang berani mengganggu kita!"
Siok Lun mengomel dengan hati kecewa dan marah. Ia merasa terganggu sekali dan kemarahannya sudah ia siapkan untuk ditumpahkan kepada para penunggang kuda!
"Suheng, sabarlah. Mereka tidak mengganggu, bahkan tidak tahu kita berada di sini. Lagipula, apanya sih terganggu?"
"Orang sedang nikmat-nikmat..."
"lhh. Suheng! Apakah memang dunia akan kiamat ini hari? Besok-besok masih banyak hari bagi kita berdua."
"Ha-ha, dewiku, kau benar! Biarlah mereka itu didenda dengan dua ekor kuda, kebetulan ada yang datang mengantar kuda, kita membutuhkan dua ekor kuda yang baik untuk melanjutkan perjalanan."
"Wah, celaka! Apa kau ingin menjadi perampok?"
Bi Hwa memandang terbelalak. Akan tetapi Siok Lun tersenyum.
"Untuk membeli seratus ekor kuda aku masih mampu, perlu apa merampok? Ini hanya untuk menghajar mereka yang sudah berani lewat di sini mengganggu kita."
Bi Hwa tidak sempat membantah lagi karena rombongan berkuda itu sudah datang dekat dari depan.
Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wah, rupanya sebuah barisan!"
Siok Lun berseru kecelik, dan memang dugaanya itu benar belaka.
Di sebelah depan rombongan itu tampak dua orang kakek berpakaian gemerlapan dan indah, di samping seorang pemuda yang gagah dan tampan pula. Di belakang mereka ada barisan berkuda terdiri dari tiga puluh orang lebih. Sebuah bendera besar bersulam benang emas bertuliskan huruf-huruf besar BARISAN PENGAWAL KERAJAAN. Mereka ini bukan lain adalah barisan pengawal yang dikepalai oleh Gin-Sang-Kwi Lu Mo Kok, kakek berpakaian benang emas yang tubuhnya bongkok, yang kelihatannya tidak mengesankan namun sesungguhnya adalah tokoh pengawal kerajaan nomor satu! Adapun kakek kedua adalah seorang Hwesio berjubah kuning emas yang memegang tongkat kepala ular emas, dia ini bukan lain adalah Kim I Lohan, pengawal tingkat dua. Pemuda adalah Liu Kong yang kini sudah berpakaian seperti seorang pengawal dan menjadi pembantu Lu Mo Kok.
Seperti kita ketahui, pengawal-pengawal tingkat tinggi ini pernah bentrok dengan Kwan Bu, kemudian malah bertempur melawan serbuan para pemberontak anti Kaisar yang datang hendak menolong Bu Keng Liong pendekar Tian-cu bersama puterinya yang tertawan. Karena dalam keributan ini Sam-Tho-Eng Ma Chiang, pengawal tingkat dua telah tewas di tangan Kwan Bu, hal ini membuat para pengawal menjadi marah sekali. Kematian seorang Panglima pengawal kerajaan berarti meruntuhkan pamor mereka. Maka kini barisan pengawal itu mulai mengadakan "Pembersihan"
Dan terutama sekali yang menjadi sasaran adalah rombongan pemberontak atau anti Kaisar yang dipimpin oleh Bu Keng Liong, Ya Keng Cu, Ya Thian Cu, Yo Ciat dan yang lain-lain yang pernah bentrok dengan mereka itu. Melihat seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik menghadang di tengah jalan dekat hutan,
Gin-Sang-Kwi menjadi curiga dan ia menahan kendali kudanya sambil memberi isarat kepada anak buahnya untuk berhenti. Kemudian, dengan tenang ia menjalankan kudanya perlahan ke depan mengenali dua orang muda itu, diikuti oleh Kom l Lohan dan Liu Kong yang juga menjalankan kuda mereka perlahan-lahan. Ketika Siok Lun segera mengenali barisan ini dan diam-diam pikirannya yang cerdik mendapat akal. Inilah kesempatan yang amat baik baginya untuk mencari jasa dan pahala. Bukankah barisan pengawal kerajaan merupakan barisan yang paling berpengaruh? Apalagi ketika ia membaca huruf huruf di bendera itu, hatinya berdebar. Ia lalu memandang ke arah Gin-Sang-Kwi penuh perhatian dan penuh pertanyaan di dalam hati. Seperti itukah yang disebut Panglima pengawal kerajaan?
"Hai, orang muda. Siapakah engkau dan apa maksudmu menghadang barisan kami? Tidak dapatkah engkau membaca bendera ini?"
Kim I Lohan sudah menegur Siok Lun dengan suara parau nyaring.
"Wah, kalau yang memegang tongkat kepala ular ini cukup gagah, akan tetapi mengapa seorang Panglima berpakaian seorang Hwesio dan kepalanya gundul?"
Demikian pikir Siok Lun. Ia lalu menjura dan tersenyum.
"Tentu saja saya dapat membaca dan mengerti bahwa barisan ini adalah barisan pengawal kerajaan. Justeru karena itulah saya sengaja menghadang karena ingin bicara dengan pemimpinnya, kalau rombongan lain tanpa bertanya tentu sudah dari tadi aku turun tangan memberi hajaran!"
Bi Hwa sampai kaget mendengar ucapan Suhengnya ini, akan tetapi ia bersikap tenang sungguhpun hatinya tegang. Bagaimana sih Suhengnya atau juga kekasihnya ini? Berani main-main seperti itu terhadap rombongan barisan pengawal kerajaan?
"Orang muda, apa maksudmu!?"
Kini Gin-Sang-Kwi Lu Mo Kok yang menegur dan diam-diam Siok Lun dapat mengukur bahwa kakek bongkok ini lebih berbahaya dari pada si Hwesio, di dalam suaranya terkandung khi-kang yang kuat sekali. Kembali ia menjura, kali ini kepada Lu Mo Kok sambil berkata,
"Agaknya Lo-Ciangkun (Panglima tua) adalah pemimpin barisan ini?"
"Benar, katakanlah apa maksudmu."
"Tadi saya bersama Sumoi saya ini sedang enak-enak mengaso di sini, dan kedua ekor kuda kami sedang makan rumput. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda barisan Lo-Ciangkun sehingga dua ekor kuda kami kaget dan melarikan diri entah ke mana. Kalau rombongan lain melakukan hal ini tentu kami tidak mau terima, akan tetapi setelah kami tahu bahwa yang datang adalah barisan pengawal, maka kami hanya ingin bertanya, apa maksudnya Lo-Ciangkun memimpin barisan pengawal? Bukankah barisan pengawal itu tugasnya mengawal dan menjaga keselamatan raja di Istana? Ataukah hendak maju perang? Kalau maju perang, melawan siapa?"
Kini Liu Kong yang membentak dengan hati tidak sabar. Melihat sepasang orang muda ini yang tampan dan cantik, juga sikap mereka yang gagah, diam-diam ia merasa kagum dan suka. Akan tetapi siapa kira sikap pemuda itu amat sombong dan lancang, dan Liu Kong tidak menghendaki kedua orang itu celaka di tangan rombongan pengawal. Maka ia mendahului dua orang tokoh pengawal itu dan membentak,
"Wah, engkau ini apakah sudah bosan hidup? Mengapa begini lancang dan mencampuri sebuah urusan barisan pengawal? Lekas pergilah dan jangan mengganggu, kalau sampai kami hilang sabar, kalian akan kehilangan kepala!"
Siok Lun mengerling ke arah Bi Hwa sambil tersenyum. Gadis itu tersenyum dan tampaklah kecantikan Bi Hwa makin gemilang.
"Wah, Sumoi, yang ini galak benar! Agaknya karena masih muda dan baru saja menduduki pangkat."
Merah kedua telinga Liu Kong mendengar ini. Ia merasa tersindir, karena memang baru saja ia memakai pakaian perwira di tubuhnya ini. Betapapun juga, dia bukanlah seorang yang suka bertindak sewenang-wenang tanpa sebab, setelah bertahun-tahun digembleng wataknya oleh pamannya, Bu Keng Liong yang juga menjadi gurunya. Ia menahan kemarahan dan berkata lagi.
"Katakanlah, kami bertugas membasmi perampok-perampok dan pemberontak-pemberontak! Kalau kalian bukan perampok atau pemberontak, lebih baik lekas pergi."
Tiba-tiba Siok Lun tertawa terbahak sambil memegangi perutnya, diturut oleh Bi Hwa yang sesugguhnya belum mengerti apa yang ditertawakan Suhengnya itu.
"Ha-ha-ha-ha!"
"Wuuuutttt...!"
Ujung tongkat Kim I Lohan menyambar ke arah kepala Siok Lun yang bergerak-gerak tertawa. Akan tetapi dengan gerakan gesit dan mudah saja Siok Lun sudah mengelak sehingga sinar tongkat itu menyambar lewat. Hal ini mengejutkan hati Kim I Lohan dan Gin-Sang-Kwi, karena serangan tadi tiba-tiba datangnya dan amat hebat, sukar di elakkan oleh sembarang orang. Namun pemuda tampan itu sambil tertawa bergelak mampu mengelakkan amat mudahnya, masih sambil tertawa!
"Eh, orang muda, sebetulnya apa maksudmu tertawa-tawa? Apakah engkau sengaja hendak menghina kami!"
Gin-Sang-Kwi bertanya, siap dengan senjatanya yang hebat, yaitu sebuah kipas perak yang sudah ia keluarkan dan dipergunakan untuk mengebut-ngebut dadanya, mengusir panas.
"Tidak sekali-kali saya bermaksud menghina. Hanya merasa geli sekali mengapa Lo-Ciangkun rnembawa-bawa sekian banyak pengawal hanya untuk membasmi para perampok saja! Apakah para pengawal kerajaan demikian tiada gunanya sehingga untuk membasmi perampok saja harus datang berbondong-bondong?"
"Bocah Sombong"
Terdengar bentakan marah dan seorang pengawal sudah meloncat turun dari kudanya dan langsung lari ke depan.
"Tai Ciangkun, perkenankan hamba membunuh bocah sombong ini!"
Pengawal ini masih muda dan tinggi besar serta memiliki kepandaian tinggi karena mereka semua adalah barisan pilihan.
Lu Mo Kok yang berjuluk Gin-Sang-Kwi (Setan Berkipas Perak) adalah pengawal nomor satu di Istana. Tentu saja ia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali dan melihat gerakan Siok Lun ketika menghindarkan diri dari sambaran tongkat Kim I Lohan tadi saja sudah menilai tingkat kepandaian pemuda itu dan tahulah dia bahwa pengawal muda yang menjadi anak buahnya ini tidak akan mampu melawan pemuda itu. Akan tetapi sebagai pengawal kelas satu dari Istana, ia cukup cerdik. Ia ingin melihat sampai di mana kepandaian Siok Lun, dan dari sebuah pertempuran ia akan dapat meneliti dan mencari kelemahan lawan. Untuk itu, tidak mengapa mengorbankan seorang anak buah untuk dikalahkan lawan. Maka ia mengangguk.
Pengawal itu masih muda. Usianya belum tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan bertenaga kuat. Tadi ketika melihat Bi Hwa, jantungnya sudah berdebar karena sekaligus ia jatuh hati kepada gadis yang cantik jelita dan kelihatan gagah perkasa itu. Sebagai seorang bawahan, tentu saja ia kalah muka oleh para pemimpin, maka untuk menonjolkan diri agar dikagumi gadis jelita itu, ia telah mengajukan diri untuk menandingi pemuda yang berani bersikap kurang ajar dan sombong terhadap komandan-komandannya. Kini, setelah mendapat perkenan, ia melangkah maju, membusungkan dada dan matanya mengerling tajam ke arah Bi Hwa, kerling seorang pria yang berlagak terhadap seorang wanita. kemudian ia menghadapi Siok Lun yang masih tersenyum-senyum dan berkata.
"Sobat, ucapanmu itu sungguh sombong, biarpun kau hendak mengatakan bahwa kau tidak menghina. Seolah-olah hanya engkau sendiri seorang laki-laki yang gagah perkasa. Coba kau hadapi kedua kepalanku kalau memang kepandaianmu sehebat mulutmul"
Siok Lun memandang pengawal muda ini lalu tersenyum. Hatinya merasa geli. Sebagai seorang pemuda yang sudah banyak mengenal wanita dan tahu akan keadaan seseorang yang tergila-gila, ia tahu bahwa pengawal muda ini tertarik kepada Sumoinya. Ia tidak menjadi cemburu, karena ia yakin bahwa bagi Sumoinya, seorang pengawal seperti ini sama sekali tidak ada artinya. Maka ia sengaja berkata kepada Sumoinya.
"Sumoi, kau wakililah aku melayani pengawal cilik ini."
Kemudian ia berkata ditujukan kepada Gin-Sang-Kwi dengan suara mengandung ejekan.
"Lo-Ciangkun saya hendak membuktikan kepada Lo-Ciangkun sekalian betapa tidak ada gunanya membawa-bawa barisan pengawal yang tidak ada kemampuan. Aku dan Sumoiku ini bisanmembasmi para perampok hanya berdua saja. Nah, Sumoi, mulailah."
Bi Hwa juga bukan seorang wanita bodoh. Tadinya ia terkejut dan merasa heran menyaksikan Suhengnya seolah-olah hendak mencari perkara dan permusuhan dengan para pengawal Istana. padahal bukankah cita-cita mereka berdua itu selain hendak membasmi perampok-perampok sebagai pelaksanaan membalas dendamnya, juga hendak membantu pemerintah agar mereka memperoleh kedudukan tinggi? Kini, setelah mengikuti kata-kata dan sikap Suhengnya, dia dapat menduga bahwa Suhengnya hanya ingin mendemonstrasikan kepandaiannya agar mendatangkan kesan di hati para pengawal. Maka ia tersenyum manis dan melangkah maju menghadapi pengawal muda itu yang hatinya seperti ditarik-tarik oleh senyum dan kerling mata yang demikian manisnya.
"Apakah engkau seorang pengawal Istana? Kabarnya pengawal-pengawal Istana memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Biarlah aku hendak mencoba-mencoba. Silakan maju, hendak kulihat sampai di mana kehebatan kaki tangan seorang pengawal Istana!"
Pengawal muda itu makin pening, karena jantungnya makin berdebar-debar keras mendengar suara merdu itu. Ia menjadi ragu-ragu. Haruskah ia menghajar wanita cantik yang telah menjatuhkan hatinya ini? Tadinya ia ingin mengalahkan Siok Lun agar dikagumi wanita ini, siapa tahu kini wanita itu malah yang hendak maju melawannya!
"Ah, aku seorang pengawal Istana yang gagah perkasa. Mana mungkin aku disuruh melawan seorang gadis muda yang lemah?"
Gin-Sang-Kwi bermata tajam. Iapun melihat betapa ketika melangkah maju tadi, gerakan kaki Bhi Hwa amat mantap dan tubuhnya ringan, tanda bahwa gadis muda itupun memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, apalagi mengingat bahwa gadis itu adalah Sumoi dari pemuda tampan yang lihai ini. Maka ia menjadi tidak sabar menyaksikan sikap anak buahnya yang jelas hendak mengambil hati wanita itu. Ia membentak.
"Orang telah menentangmu, mau tunggu apalagi? Hayo coba kalahkan nona ini!"
Pengawal muda itu terkejut dan ia cepat memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, kedua kakinya dipentang di kanan kiri, kedua lutut ditekuk, merupakan kuda-kuda yang disebut Pasangan Menunggang Kuda, lengan kiri ditekuk dengan tangan terbuka di depan dada, tangan kanan dikepal merapat pinggang.
"Aku sudah siap. Majulah, nona!"
Katanya dengan sikap gagah. Namun Bi Hwa tersenyum, sama sekali tidak memasang kuda-kuda dan menjawab.
"Engkau yang hendak mencbba kepandaian kami, bukan? Nah, kau kalahkan aku kalau memang mampu!"
Merah wajah pengawal muda itu, namun karena khawatir ditegur lagi oleh komandannya ia berkata lagi.
"Baik, nona bersiaplah!"
Maksudnya tentu saja ingin memberi kesempatan kepada nona itu untuk memasang kuda-kuda agar dapat menghadapi serangannya dengan baik. Akan tetapi nona itu hanya tersenyum dan berkata,
"Sudah sejak tadi aku siap, engkau bicara terus-terusan dan tidak lekas menyerang, mau tunggu apalagi sih?"
Pengawal muda itu menjadi makin gugup karena wanita muda yang cantik jelita itu seolah-olah hendak "Memberi angin"
Kepada komandannya untuk menegurnya. Maka tanpa menanti teguran itu ia cepat merobah kedudukan kuda-kudanya dengan melangkahkan kaki kiri ke depan dengan lutut ditekuk sedangkan kaki kanan lurus mendoyong ke belakang, tangannya yang amat kuat mencengkeram pundak Bi Hwa, mulutnya berseru.
"Sambutlah serangan ini!"
Cengkeraman itu amat cepat dan kuat sehingga tidak boleh dipandang ringan. Namun hati Gin-Sang-Kwi mendongkol sekali karena serangan seperti itu jelas membuktikan betapa anak buahnya ini masih segan-segan dan tidak menyerang dengan sungguh-sungguh. Hal ini membuktikan bahwa kalau anak buahnya itu tidak memandang rendah si gadis cantik, tentu mempunyai hati tidak tega yang timbul dari rasa sayang! Bi Hwa adalah murid Pat-Jiu Lo-Koai, tingkat kepandaiannya amat tinggi. Melihat serangan seperti ini ia tersenyum saja. Selain ia tahu akan akal Suhengnya untuk mendemonstrasikan kepandaian mencari kesan baik sehingga tentu saja ia tidak boleh mencelakai pengawal itu,
Juga hatinya menjadi lunak karena lawan ini agaknya tidak tega untuk menyerang sungguh-sungguh kepadanya. Maka ia berlaku tenang. tidak terburu-buru mengelak, hanya setelah tangan yang mencengkeram itu sudah dekat, ia miringkan pundaknya sehingga cengkeraman itu luput. Pengawal itu memang jatuh hati, akan tetapi pada dasarnya dia seorang mata keranjang, bukan cinta yang murni, melainkan cinta nafsu seorang pria yang tergila-gila kepada seorang wanita cantik. Pula, sebagai seorang pengawal, entah sudah berapa banyak ia mempermainkan wanita, baik secara halus maupun kasar. Kini melihat cengkeramannya luput dan tangannya lewat di depan dada nona itu, timbullah niatnya untuk mempergunakan kesempatan ini meremas dada Bi Hwa! Dengan gerakan pergelangan tangannya, jari-jari tangan yang luput mencengkeram pundak itu kini membalik dan hendak meremas dada.
Bi Hwa mengeluarkan suara mendengus lirih dari hidungnya. Tangan kirinya bergerak ke atas seperti orang menangkis, padahal ia diam-diam menggunakan sebuah jari telunjuknya menotok pergelangan tangan lawan, membarengi selagi tangan itu meremas dadanya yang agaknya seperti ia biarkan saja. Pengawal itu sudah kegirangan karena kalau serangan kedua ini berhasil, selain ia dapat menikmati rabaan tangannya pada dada. juga berarti ia sudah membikin malu lawan dan dapat dianggap menang dalam gebrakan pertama. Akan tetapi segera terdengar keluhan kaget dan nyeri ketika tiba-tiba jari tangannya yang kiri itu seketika menjadi kaku tanpa ia ketahui apa sebabnya, hanya merasa betapa setelah mendekati dada jari-jari tangannya tak dapat ia gerakkan lagi! Biarpun hanya sebentar tangannya kaku dan lumpuh, namun ia kaget sekali dan meloncat mundur melangkah lebar.
"Hemm, hanya begitu saja kemampuanmu?"
Gin-Sang-Kwi membentak marah. Pengawal itu terkejut dan tahulah ia, atau dapat menduga bahwa tangannya yang kaku itu tentu saja disebabkan oleh si gadis manis. Dan dia kini kembali ditegur komandannya. Karena malu dan takut, ia lalu mengeluarkan seruan keras dan kini tubuhnya menubruk ke depan, tangan kiri memukul ke arah muka Bi Hwa. Namun pukulan yang amat keras dan cepat ini hanya pancingan belaka karena lengan belakangnya yang sungguh-sungguh menyerang, yaitu dengan gerak cepat meraih pinggang untuk dipeluknya! Bi Hwa tentu saja dapat mengikuti semua gerakan ini dan tahu pula akan siasat lawan. la mendahului dengan memutar tubuhnya ke kanan menghindarkan pukulan ke arah muka dengan mengibaskan tangan kanan dari samping menyampok tangan kiri lawan,
Sedangkan tangan kirinya menyambar tangan kanan yang memeluk pinggangnya dengan sebuah totokan pula pada telapak tangan lawan. Selain ini iapun membarengi dengan tendangan dengan ujung kaki mengarah lutut. Gerakannya cepat bukan main, sukar diikuti pandangan mata. dan tahu-tahu pengawal muda itu menjerit keras karena telapak tangan yang tertotok itu terasa nyeri sekali, rasa nyeri yang terus menusuk sampai ke jantung, seolah-olah ada jarum beracun yang menjalar dari telapak tangannya terus sampai ke dalam dada. Dan pada saat yang sama, hanya seperempat detik selisihnya, tiba-tiba kakinya menjadi lumpuh karena sambungan lututnya tepat sekali kena dicium ujung sepatu Bi Hwa. Tanpa dapat dicegahnya lagi, pengawal muda itu jatuh berlutut di depan kaki Bi Hwa!
"Eh, eh, aku bukan puteri Istana, mengapa engkau memberi penghormatan secara berlebihan? Aku tidak bisa menerimanya!"
Kata Bi Hwa mengejek. Siok Lun tertawa dan berkata kepada Gin-Sang-Kwi yang menjadi merah mukanya,
"Lo-Ciangkun, tidak tepatkah kata-kataku bahwa Lo-Ciangkun membuang tenaga sia-sia saja membawa anak buah ini?"
"Menjemukan... menjemukan...!"
Kata Gin-Sang-Kwi dan sekali kakinya bergerak, terdengar suara "Dukk!"
Dan tubuh pengawal muda itu terpental dalam keadaan pingsan.
"Urus dia!"
Katanya dan pengawal-pengawal lainnya cepat menolong teman yang sialan itu. Baik Siok Lun maupun Bi Hwa terkejut dan kagum. Tendangan kakek bongkok itu membikin si pengawal pingsan, akan tetapi sekaligus juga menyembuhkan lutut yang tadi tercium ujung sepatu Bi Hwa. Hal ini saja membuktikan bahwa kakek inipun seorang ahli totok yang ampuh sekali kepandaian nya.
"Kalian berdua tentu mempunyai maksud tersembunyi maka berani berlagak di depan kami. orang-orang gagah tidak akan melakukan hal-hal yang tersembunyi. Lebih baik kalian mengaku agar kami dapat mengambil keputusan turun tangan. Siapakah kalian ini, dari golongan mana dan apa hendak kalian mengacau barisan pengawal yang kami pimpin?"
Ucapan si bongkok ini berwibawa, sesuai dengan kedudukannya sebagai pengawal nomor satu dari Istana. Siok Lun menjawab, suaranya gagah dan sikapnya tenang, bahkan senyumnya masih belum meninggalkan wajahnya yang tampan.
"Saya bernama Phoa Siok Lun, dan ini adalah Sumoi saya bernama Liem Bi Hwa. Kami adalah perantau-perantau dan seperti saya katakan tadi, kami sedang duduk bercakap-cakap ketika rombongan Lo-Ciangkun lewat sehingga kuda kami lari entah ke mana. Karena tertarik, kami lalu menemui Lo-Ciangkun untuk sekedar bercakap-cakap. Kiranya Lo-Ciangkun sedang memipin barisan untuk membasmi perampok-perampok. Hal ini sungguh kebetulan sekali karena kamipun merupakan tukang membasmi perampok-perampok. Hanya sekali lagi saya nyatakan bahwa membasmi perampok tidak perlu membawa barisan besar seperti ini yang hanya akan memperlambat perjalanan dan memusingkan belaka."
"Hemm, kalian berdua ini orang-orang muda yang memiliki sedikit kepandaian namun bersikap sombong. Apa yang kami lakukan tidak ada hubunganya dengan kalian. Kalau memang kalian memandang rendah kami, mari kita cbba-coba!"
Setelah berkata demikian, Gin-Sang-Kwi menggerakkan kipasnya, dibuka dengan suara,
"Greeekkk!"
Yang nyaring sekali dan ketika daun kipas terbuka, ada angin menyambar keras.
"Omitbhud, orang-orang muda memang seperti burung yang baru belajar terbang, tidak tahu luasnya lautan tingginya awan!"
Kata Kim I Lohan dan kakek gundul inipun menggerakkan Kim-coa-pang di tangannya sehingga terdengar suara,
"Wuuuttt"
Dan angin pukulan tongkat yang berat itu menyambar-nyambar.
"Hemm, jiwi Lo-Ciangkun (bapak Panglima berdua! memiliki senjata, kamipun mempunyai senjata! Sumoi, mari kita layani dua orang terhormat ini bermain-main sebentar untuk membuktikan bahwa kita tidaklah berlagak dan bersombong diri!"
Sambil berkata demikian, Siok Lun memberi kedipan mata kepada Bi Hwa yang mengerti bahwa Suhengnya ingin memperlihatkan kelihaian agar dapat menarik hati Panglima-Panglima pengawal Istana ini, karena sesungguhnya, mereka itu dapat dijadikan jembatan yang baik agar cita-cita mereka tercapai.
"Singgg...!"
Dua sinar terang berkelebat dan tahu-tahu kakak beradik seperguruan itu telah berdiri tegak dengan pedang yang berkilauan di tangan kanan, sedangkan tangan kiri ditekuk di depan dada dengan jari terbuka miring. Sikap mereka sungguh indah dan sedap dipandang.
"Silakan, jiwi Lo-Ciangkun. Kami berdua kakak beradik siap melayani jiwi bermain-main."
Kata Siok Lun sikap dan kata-katanya halus namun mengandung tantangan. Melihat sikap dua orang muda itu, biarpun tidak terang-terangan hendak memasuki barisan pengawal, bahkan tadipun gadis lihai itu tidak menewaskan anggauta pengawal, Gin-Sang-Kwi yang sudah banyak pengalaman tetap menjadi curiga. Boleh jadi kedua orang muda ini bukan musuh, bukan golongan yang anti Kaisar, namun juga dapat dikatakan bahwa mereka itu merupakan golongan kawan. Sebagai seorang tokoh yang tinggi ilmunya, tentu saja dia dan Kim I Lohan menjadi penasaran ditantang oleh dua orang muda itu.
"Bagus sekali, kalian dua orang muda sombong, boleh maju!"
Kata Gin-San-Kwi yang sudah membuka daun kipasnya dan mengembangkannya di depan dada. Juga Kim I Lohan sudah memasang kuda-kuda, melintangkan tongkatnya yang berkepala ular emas itu siap menanti serangan.
"Sumoi, kedua Lo-Ciangkun ini mau mengalah, mari kita mulai!"
Kata Siok Lun dan bagaikan dua ekor burung garuda menyambar, mereka itu sudah berkelebat, maju, didahului sinar putih bagaikan kilat menyambar ke arah dua orang komandan atau Panglima pengawal itu. Siok Lun yang dapat menduga bahwa si kakek bongkok bersenjata kipas itu adalah lawan yang paling kuat, sudah menerjang. Gin-San-Kwi dengan pedangnya, membuat gerakan menusuk ke arah mata dengan cadangan mengurat ke bawah dari leher ke pusar lawan! Juga Bi Hwa tidak mau kalah cepat dari Suhengnya. Dalam hal ini, ilmu gerak cepat memang Bi Hwa istimewa sekali.
Tubuhnya ringan dan gerakannya cepat bukan main, sigap dan gesit seperti burung walet, kini ia sudah menyerang Kim I Lohan dengan bacokan ke arah ubun-ubun kepala gundul itu dari atas ke bawah dibarengi dengan tendangan ke arah pusar dari bawah ke atas! Menyaksikan gerakan pertama yang amat hebat dan yang merupakan serbuan dahsyat ini, baik Gin-San-Kwi maupun Kim ILohan tidak berani memandang rendah. Sebagai orang-orang yang sudah tinggi ilmu silatnya dan yang sudah puluhan tahun pengalaman mereka dalam pertempuran-pertempuran, maka kini tahulah mereka bahwa dua orang muda ini benar-benar lihai dan tentu murid~murid orang sakti. Gin-San-Kwi sudah cepat mengelak dengan kepala dimiringkan. Ketika pedang Siok Lun menggurat dari atas ke bawah, ia menangkis pedang itu dengan tulang kipasnya.
"Cringg...!"
Pedang Siok Lun terpental, akan tetapi terpental hanya untuk membuat gerakan melingkar dan tahu-tahu ujung pedang sudah menusuk ke arah lambung si kakek bongkok. Gerakan ini indah, cepat dan tidak terduga-duga sama sekali.
"Bagus!"
Gin-San-Kwi berseru kaget dan cepat ia menggeser kaki merobah kedudukan sambil menyampok dengan kipasnya. Namun Siok Lun yang hendak mendemanstrasikan ilmunya yang hebat, yang ia pelajari dari si manusia sakti Pat-Jiu Lo-Koai, telah menghujamkan serangan-serangan berbahaya, sehingga kakek bongkok itu tidak mendapatkan kesepatan untuk membalas sama sekali. Sampai sepuluh jurus Siok Lun terus menerjang dan mengurung si kakek bongkok dengan gulungan sinar pedangnya yang amat cepat dan kuat.
Bi Hwa juga mengimbangi Suhengnya. Gadis lihai ini dapat menduga bahwa awannya, seorang Hwesio yang bersenjata tongkat seberat itu, tentu merupakan lawan yang amat tangguh dan sukar dikalahkan, baik dengan kekuatan maupun dengan desakan ilmu pedangnya. Karena itu, gadis cerdik ini mengandalkan kecepatan gerakannya, mengandalkan ginkangnya. Ia menerjang dengan cara menyambar-nyambar seperti seekor burung, hanya menggunakan ujung pedangnya untuk menyerang bagian-bagian tubuh lawan yang lemah, namun begitu dielakkan atau ditangkis, ia tidak melanjutkan serangannya melainkan berkelebat cepat untuk melakukan serangan dari lain jurusan. apalagi kalau tongkat itu menangkis, gadis cerdik ini sama sekali tidak membiarkan pedangnya kena di hantam tongkat.
Dia dapat menduga bahwa tongkat itu tentu merupakan senjata berat yang ampuh, dan untuk mengadu tenaga, ia tahu bahwa ia bukanlah tandingan Hwesio yang ilmu tongkatnya jelas menunjukan ilmu silat Siauw-Lim-Pai itu. Dan memang jitu sekali perhitungan Bi Hwa. Kim I Lohan menjadi kewalahan menghadapi gerakan yang luar biasa cepatnya itu sehingga tidak mendapat kesempatan untuk membalas pula. Maka dengan menggereng marah Hwesio ini lalu memutar tongkat Kim-coa-pang di sekeliling tubuhnya sehingga tubuhnya bagai terlindung ileh benteng baja yang kuat! Sementara itu, Liu Kong yang tingkat kepandaiannya tidak setinggi tingkat mereka yang sedang bertanding namun sejak kecil telah dibimbing oleh Bu Keng Liong yang gagah perkasa, berdiri dengan mata terbelalak kagum.
Pemuda ini biarpun baru saja mendapatkan kedudukan diantara para pengawal Istana, namun karena ia adalah putera mendiang Liu Ti yang sudah terkenal dan disegani di kalangan para pengawal, maka Liu Kong juga mempunyai pengaruh yang besar. Apalagi ketika para tokoh Panglima pengawal melihat bahwa pemuda ini amat cerdik, seperti Ayahnya, pandai mengatur siasat, dalam menghadapi para pemberontak, maka ia lebih disegani lagi oleh Gin-San-Kwi lalu diajak bersama-sama membasmi para pemberontak sebagai seorang penasehat dan pengatur siasar. Kini, melihat dua orang muda yang memiliki ilmu pedang sedemikian tangguhnya, ilmu silat sedemikian lihainya, Liu Kong yang dapat mengikuti pertandingan itu dengan matanya yang terlatih, menjadi kagum dan cepat-cepat ia mengambil keputusan. Ia melompat maju dan berseru keras.
"Harap cuwi menahan senjata!"
Seruannya cukup nyaring dan karena dua orang murid Pat-Jiu Lo-Koai tidak berniat memusuhi para pengawal, maka sambil tersenyum Siok Lun meloncat mundur diikuti oleh Sumoinya. Mereka ini sudah menyimpan pedang dengan gerakan yang mengagumkan, seolah-olah pedang mereka bermata dan bisa kembali sendiri ke sarungnya.
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo