Kisah Tiga Naga Sakti 1
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
"Ghukk"..! Gerrrr"".. hukk-hukkk"
Anjing kurus kering penuh kudis itu menyalak-nyalak, matanya yang merah dan jalang melotor, lidahnya terjulur dan meneteskan air liur, kelihatan marah sekali dan siap menerkam dua orang anak laki-laki yang berdiri menghadang di depannya. Dua orang anak laki-laki yang juga kurus kering, entah siapa yang lebih kurus antara anjing itu dan mereka. Karena tubuh bagian atas kedua orang anak itu tidak berbaju, maka nam-pak pula tulang-tulang iga menonjol dibungkus kulit, sekurus anjing itu pula. Hanya bedanya, kalau anjing itu kelihatan liar dan jalang, adalah dua orang bocah itu kelihatan marah namun juga membayangkan perasaan takut.
Di belakang dua orang anak laki-laki itu nampak seorang anak perempuan yang berusia paling banyak lima tahun, hanya lebih muda satu dua tahun dibandingkan dengan dua orang bocah laki-laki itu. Anak perempuan inipun kurus kering dan pucat, pakaiannya kotor dan cabik-cabik, dia menangis ketakutan sambil duduk di atas tanah memegang seekor ayam yang telah mati. Bangkai ayam ini dipegangnya erat-erat bagaikan seorang yang kikir memegang kantong uangnya, bahkan lebih lagi, seperti seorang ibu melindungi anaknya dari ancaman bahaya!
Anjing itu menyalak-nyalak lagi dengan ganasnya. Suara gerengannya menambah seram keadaan dan suasana di sekeliling tempat itu. Mereka berada di sebuah jalan raya yang sunyi, dan di kanan kiri jalan nampak puing rumah-rumah yang telah hancur tidak nampak seorangpun manusia kecuali tiga orang anak kecil dan seekor anjing yang agaknya saling memperebutkan bangkai ayam yang dipegang oleh anak perempuan itu.
"Hsssttf! Pergi kau, anjing gila!"
Bentak seorang di antara dua bocah yang berdiri dengan tangan terkepal itu.
"Hieeeehhhh! Pergi kau, binatang jahat!"
Bentak anak ke dua.
Anjing itu terkejut mendengar bentakan mereka, nampak ragu-ragu, akan tetapi ketika matanya menatap ke arah bangkai ayam di dalam pelukan anak perempuan itu, dia menggereng lagi dan tiba-tiba dia menyerbu, hendak menerobos di antara dua orang anak kecil yang seolah-olah merupakan "pengawal"
Atau "penjaga"
Itu dan merampas bangkai ayam dari tangan anak perempuan tadi. Anak perempuan itu menjerit ketakutan melihat anjing yang menyalak-nyalak dan menggereng itu kini menyerbu. Dia bangkit berdiri dan kedua kakinya menggigil.
Akan tetapi, dua orang anak laki-laki yang usianya paling banyak tujuh tahun itu, menjadi marah dan mereka berdua menyambut serbuan anjing dengan kaki tangan mereka yang kurus dan kecil itu digerakkan, memukul, menyepak dan membetot ekor binatang itu. Anjing itu meraung marah dan membuka mulut hendak menggigit. Dengan gerakan ganas, dia membuka moncongnya dan mengigit ke arah tangan yang membetot ekornya. Pegangan pada ekor itu terlepas, anak yang bertahi lalat di dahinya cepat menarik tangannya agar jangan tergigit. Bocah ke dua menyepak perut binatang itu.
"Bukk! Kainggg!!"
Anjing itu marah karena kesakitan, dia menggigit ke arah kaki yang menendangnya tadi dan berhasil mengigit celana yang sudah compang-camping itu.
"Breeettt!"
Anak itu tertolong oleh keadaan celananya sendiri yang sudah robek sebelumnya. Gigitan anjing itu hanya mengenai celananya yang robek sehingga celana itu makin lebar robeknya. Ketika anjing itu hendak menyerbu lagi, sebelum giginya yang runcing kuat itu dapat dibenamkanya ke dalam kulit pembungkus tulang kaki anak-anak itu, tiba-tiba nampak sinar hitam berkelebat menyambar. Sinar kecil yang ternyata adalah sebutir batu kerikil dan yang menyambar tepat mengenai kepala anjing kurus itu.
"Trakkk nguuukkk!"
Anjing itu terguling, mengeluarkan raung terakhir dan roboh dengan kepala pecah, tewas seketika.
Dua orang anak laki-laki itu bersikap acuh tak acuh terhadap seorang kakek tua yang tadi menyambit anjing itu. Mereka kini menghampiri anak perempuan yang masih memegang bangkai ayam dan yang didekapnya dengan ketat di dadanya yang tipis. Sepasang matanya yang sayu mcmandang terbelalak kepada mereka berdua dan tiba-tiba terdengar suaranya yang nyaring.
"Jangan ambil ayamku jangan ambil, aku lapar..."
Suara ini setengah bermohon dan setengah menegur.
"Siapa yang hendak mengambil ayammu? Kau makanlah, aku tidak sudi merampas makanan milik anak perempuan!"
Kata seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat kecil di dahinya, di tengah-tengah.
"Kami telah menolongmu, sebaliknya kamu menuduh kami hendak merampas ayammu. Memang anak perempuan tidak tahu terima kasih!"
Kata anak laki-laki ke dua yang berwajah tampan sambil bersungut-sungut.
Anak perempuan itu memandang dengan sepasang matanya yang bening dan lebar, kelihatan amat lebar besar karena Wajahnya yang kurus sekali dan pucat itu sehingga mukanya seolah-olah dipenuhi oleh kedua matanya itu. Kemudian tiba-tiba dia tersenyum dan mengulurkan kedua tangannya yang memegang bangkai ayam itu kepada mereka.
"Marilah, kita bagi bertiga!"
Katanya.
Dua orang anak laki-laki itu saling pandang dan merekapun tersenyum. Anak yang bertahi lalat di dahinya itu lain mcnerima bangkai ayam dan mencabuti semua bulu bulunya, dibantu oleh temannya yang tampan wajahnya dan oleh anak perempuan itu pula. Mereka bertiga bekerja sambil tertawa ha-ha-hi-hi penuh kegembiraan, dan terkekeh geli melihat betapa kepala ayam itu bergerak-gerak mengangguk-angguk seperti membenarkan semua perbuatan mereka. Setelah semua bulu ayam dibersihkan, mereka lalu menggabung tenaga mereka untuk menarik kedua kaki ayam, merobek kulit daging bangkai ayam itu, membaginya tanpa berebutan lalu mereka makan daging ayam itu mentah-mentah!
Kakek yang tadi menyambit anjing, kini berdiri seperti patung menyaksikan ini semua, mula-mula terbelalak, wajahnya berobah pucat, kemudian dia memejamkan matanya untuk beberapa saat lamanya. Jantungnya terasa seperti ditusuk-tusuk ketika dia menyaksikan betapa lahapnya tiga mulut manusia kecil itu mengunyah daging ayam mentah.
Sudah terlampau banyak yang disaksikannya selama beberapa bulan ini. Peristiwa demi peristiwa yang makin menekan perasaan hatinya. Korban-korban perang yang amat mengerikan dan menyedihkan. Ketika dia memejamkan mata dengan alis berkerut, dia melihat cahaya kemerahan membayang di depan kedua matanya yang terpejam. Warna merah, warna api, warna perang!
Perang! Kata ini, diucapkan dalam bahasa apapun, merupakan kutukan hebat bagi setiap bangsa, merupakan bencana yang paling mengerikan dan menyedihkan bagi setiap orang manusia! Siapakah orangnya yang tidak ngeri melihat perang, kengerian yang menimbulkan kebencian dan kemuakan terhadap perang? Siapakah yang suka akan perang, kecuali mereka yang memang mempergunakan perang sebagai jembatan untuk mencapai idam-idaman hati mereka yang penuh kekotoran? Biarpun mungkin ada orang yang tidak mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri dalam perang, setidak-tidaknya dia akan merasa ngeri apabila dia mengingat bahwa perang dapat membinasakan seluruh harta bendanya, seluruh keluarganya, isteri, anak, handai taulan dan orang-orang yang paling dia cinta di dalam dunia ini.
Perang menimbulkan bunuh membunuh antara manusia, kekacauan, pengkhianatan, kekejaman, perbuatan-perbuatan yang tidak patut dilakukan oleh manusia yang berakal budi dan yang merganggap dirinya sebagai mahluk semulia-mulianya di permukaan bumi ini. Perang diliputi oleh nafsu merusak semata, nafsu membunuh dan membinasakan yang hidup dan yang indah. Semua perbuatan keji tidak ada yang diharamkan, semata-mata karena terdorong oleh nafsu ingin menang! Tidak ada seorang pun yang ingat bahwa kemenangan adalah sesuatu yang hampa, bahwa kemenangan menimbulkan dendam permusuhan, dan bahwa kesenangan karena menang perang menimbulkan penyesalan, penderitaan, dan kebosanan!
Memang, perang adalah kutukan dan bencana bagi setiap orang manusia, dan pada umumnya perang dibenci oleh rakyat, semenjak jaman dahulu sehingga sekarang.
Seperti juga semua negara di dunia ini, semenjak dahulu Tiongkok selalu dilanda perang yang tiada lain menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan kepada rakyat. Pada sekitar tahun 755 M, selama kurang lebih delapan tahun, di waktu Kaisar Hian Tiong menjadi raja, rakyat telah menderita karena timbulnya perang yang tiada hentinya. Kaisar mengangkat seorang Suku Bangsa Tartar bernama An Lu San menjadi seorang panglima besar yang diberi kekuasaan penuh di Propinsi Ho-pei. Akan tetapi, panglima ini setelah memiliki kekuasaan besar dan mengepalai banyak tentara, lalu memberontak, memimpin limabelas laksa tentara memukul dan menyerbu ke arah selatan. Kaisar Hian Tiong terpaksa lari mengungsi ke Propinsi Se-cuan karena bala tentaranya tidak dapat menahan serbuan yang dilakukan serentak dan tak disangka-sangka ini.
Semenjak peristiwa itu, perang terus berkobar. Akhirnya, berkat perlawanan rakyat jugalah maka pemberontak-pemberontak itu dapat dipukul mundur, padahal ketika terjadi perang, rakyat pula yang harus menderita paling hebat. Kaisar sendiri dan para pembesar di waktu perang dan biarpun mereka harus mengungsi, tetap saja dalam keadaan aman terjaga, dan tidak kekurangan! Bahkan di dalam pengungsian, para pembesar itu masih menikmati hiburan-hiburan yang disajikan oleh pembesar-pembesar setempat! Kesenangan-kesenangan yang mereka nikmati di waktu darah rakyat masih belum kering membasahi bumi!
Sampai pada saat Kaisar Hian Tong diganti oleh Kaisar Su Tiong, perang masih merajalela. Kini perang itu ditimbulkan oleh pemberontak-pemberontak yang pimpinannya telah diganti pula oleh pemberontak Sie Se Ming.
Di dalam peperangan yang ditimbulkan oleh pemberontakan-pemberontakan ini, siapapun yang bersalah dalam hal ini, baik fihak kaisar maupun fihak pemberontak, yang sudah pasti adalah bahwa rakyatlah yang menderita karenanya. Para tentara yang memberontak itu melakukan segala macam kejahatan, seperti biasa dilakukan oleh bala tentara fihak yang menang perang di bagian dunia manapun juga. Perkampungan dibakar, dirampok, penduduk dibunuhi karena setiap orang mereka curigai dan mereka tuduh sebagai anggauta-anggauta barisan gerilya yang dilakukan oleh para pemuda kampung setempat yang mereka anggap membantu musuh. Laki-laki dibunuhi secara kejam, wanita-wanita diganggu dan diperkosa, anak-anak kecil dibunuh pula dengan cara yang amat kejam dan di luar, batas perikemanusiaan. Di dalam perang, iblis dan setan berpesta-pora dan hasil keindahan seni alam diinjak-injak hancur, sedikitpun tidak ada harganya lagi. Begitu perang berkuasa, nafsu dendam dan kebencian menguasai manusia sehingga manusia yang tadinya merupakan mahluk yang setinggi-tingginya, berubah menjadi mahluk yang serendah-rendahnya, tidak ada harganya lagi! Dalam perang, nyawa seekor ayam jauh lebih berharga dari pada nyawa seorang manusia. Ayam dibunuh untuk dimanfaatkan dagingnya, namun manusia yang dianggap musuh dibunuh begitu sajal Ratusan, ribuan, laksaan, jutaan!
Terutama sekali di dusun-dusun yang dilalui oleh rombongan kaum pemberontak di bawah pimpinan An Lu San ketika mereka menyerbu ke selatan, segala macam kekejaman yang sukar dibayangkan manusia normal, terjadilah. Dusun-dusun yang dilalui itu dibakar habis dan entah berapa puluh atau ratus ribu jiwa orang-orang kampung dibinasakan oleh bala tentara pemberontak itu. Dan oleh karena yang dirampok bukan hanya harta benda yang berada di dalam rumab, melainkan juga hasil sawah ladang disikat habis untuk dijadikan persediaan ransum bagi barisan pemberontak yang berjumlah besar itu, maka keadaan dusun-dusun itu ludes sama sekali. Bahkan sawah ladang yang tidak sempat mereka rampok, mereka bakar habis dengan dalih agar merugikan fihak musuh.
Hal ini membuat rakyat selain menderita karena kekejaman mereka, juga menderita ancaman bahaya kelaparan karena kehabisan makanan sebelum sawah ladang mereka yang dibakar itu sempat menghasilkan panen baru. Belum lagi wabah yang mengerikan timbul sebagai akibat dari mayat-mayat manusia yang membusuk karena tidak sempat dikubur sebagaimana mestinya itu. Sisa orang-orang yang berhasil menyelamatkan diri dari tangan maut yang menjangkau nyawa mereka melalui pedang tombak dan golok para pemberontak, kini diancam oleh tangan maut yang mencengkeram perut mereka sendiri yang kosong, orang-orang yang mati kelaparan menggeletak di mana-mana. Sementara itu, kaisar dan para pembesar masih sempat berpesta pora merayakan "kemenangan"
Mereka atas fihak pemberontak yang mengundurkan diri!
Kakek tua yang usianya tentu sudah mendekati tujuh puluh tahun, yang berjenggot panjang dan bertubuh tinggi kurus namun masih nampak kuat itu, kini membuka mata mengelus jenggotnya. Sambil memandang ke arah tiga orang anak kecil yang sedang melahap daging bangkai ayam mentah itu. Tanpa disadarinya, kedua mata kakek ini menjadi basah. Melihat mayat mayat manusia berserakan tidaklah begitu menusuk perasaannya karena betapapun juga, mereka itu telah mati dan telah terbebas dari pada penderitaan jasmani. Akan tetapi, melihat. anak-anak kecil yang masih hidup demikian menderita, sungguh membuat hati terasa perih. Anak-anak yang masih bersih dan murni, yang dalam usia sekecil itu layaknya masih bermain-main dan membenan kan diri dalam kebahagiaan dan keriangan, kini harus menderita kelaparan, memperebutkan bangkai ayam dengan seekor anjing kelaparan!
Kakek tua itu membayangkan apa yang dilihatnya beberapa hari yang lalu dan dia bergidik, kembali dia memejamkan matanya. Namun, apa yang dilihatnya beberapa hari yang lalu itu makin jelas membayang ketika dia memejamkan matanya.
Ada seorang dusun yang menjadi gila kalena penderitaannya dan karena rasa lapar yang mematahkan jiwanya. Keluarga petani tua ini telah habis binasa menjadi korban para memberontak, dan kini dia sendiri hampir binasa karena kelaparan. Dia berlari ke sana ke mari menangis di antara suara ketawanya yang mengerikan. Tubuhnya kurus kering, kelihatan begitu ringan, akan tetapi kedua kakinya seperti tidak bertenaga lagi sehingga tubuhnya terhuyung ke sana-sini. Pakaiannya compang-camping setengah telanjang, dan mulutnya menjerit-jerit diantara keluhan yang terdengar setengah tertawa setengah menangis.
"Lapar-lapar!"
Akan tetapi, siapakah yang dapat menolongnya? Semua orang berkeadaan sama, bahkan banyak pula yang lebih buruk keadaanya dari pada kakek gila itu, karena mereka sudah rebah di atas tanah atau di lantai gubuk bobroknya, rebah tidak berdaya untuk bangkit kembali, tinggal menanti datangnya maut menjemputnya dan membebaskan mereka dari penderitaan itu.
Orang gila itu lari ke sawah yang masih kosong. Dia menjatuhkan diri di atas tanah, menangis meraung-raung, makin lama makin lemah, dan tiba-tiba matanya menjadi liar, dicengkeramnya tanah lembek itu lalu dimakannya! "Tanah tanah.... dari engkaulah segala makanan lezat terjadi ibu tanah kalau anak-anakmu enak dimakan dan mengenyangkan perut, mengapa engkau tidak....?"
Biarpun dia merasa betapa kasar dan tidak enak rasa tanah itu di dalam mulutnya, namun dia memaksanya dan menelannya mema-suki perutnya. Akhirnya dia terkulai lemas dan ketika kakek berjengeot panjang itu lari menghampiri, dia mendapatkan kenyataan bahwa orang gila itu telah manti!
Kejadian seperti itu masih belum hebat. Bahkan ada orang-orang tua yang membunuh anak-anak mereka sendiri dengan melemparkannya ke dalam sungai oleh karena sudah tidak kuasa lagi memeliharanya. Hal seperti ini bukan dongeng kosong belaka! Sayang, betapa baiknya kalau hanya dongeng. Celakanya, hal seperti itu sungguh-sungguh terjadi! Dalam kelaparan dan penderitaan itu, orang menjadi mata gelap dan pertimbangan akal budinya sudah rusak. Tekanan penderitaan menimbulkan kejahatan-kejahatan yang tidak segan-segan dilakukan oleh seorang yang tadinya hidup secara baik-baik dan terhormat. Rampok dan curi terjadi di mana-mana. Gadis-gadis dijual oleh ayah ibunya sendiri, ditukarkan dengan beras yang dapat menghidupkan adik-adik para gadis itu.
Kejam, ganas, mengerikan! Demikianlah perang. Di manapun dia merajalela, selalu menda-tangkan kebinasaan dan menimbulkan pelbagai kengerian yang tidak layak pula terjadi di atas dunia yang telah dikuasai oleh manusia. Akan tetapi mengapa kita masih saja mau dipermainkan oleh sekelompok orang-orang di dunia ini, sekelompok orang-orang yang demi mencapai ambisi mereka, tidak segan-segan membujuk rakyat dengan pelbagai dalih agar rakyat suka berperang? Dalih kebangsaan, dalih kehormatan,dan segala macam dalih muluk-muluk lain yang pada hakekatnya hanya menjadi selubung dari ambisi. Mereka, hanya menjadi slogan kosong untuk membujuk rakyat agar mereka suka mempertaruhkan nyawa dan ke-selamatan keluarga demi mencapai ambisi se-kelompok orang itu? Mengapa? Mengapa kita tidak mau menyatakan dengan bulat-bulat! Terkutuklah perang! Dan terkutuk pula orang-orang yang dengan sengaja menyalakan api peperangan! Mampuslah orang-orang yang gila perang, pergilah ke neraka jahanam! Kami, manusia di seluruh dunia, tidak membutuhkan kalian dan tidak membutuhkan perang. di permukaan bumi yang kami kasihi ini!
"Terkutuklah perang!"
Kakek yang berjenggot panjang itu berseru keras sambil mengepal tinjunya.
Tiga orang anak itu terkejut mendengar seruan kakek itu. Mereka serentak menengok dan melihat kakek itu kini melangkah maju meng hampiri mereka. Anak laki laki berwajah tampan itu cepat meloncat bangun dan mengepalkan kedua tinjunya yang kecil sambil memandang kakek itu dan membentak.
"Jangan kau mencoba untuk merampok makanan kami!"
Dia berdiri dengan sikap gagah dan agaknya siap hendak sungguh-sungguh melwan kakek itu apabila dia berani merampas daging ayam yang sedang mereka makan!
Anak-laki-laki yang bertaru lalat ditengah dahinya segera mencela kawannya.
"Ah, jangan! Dia tidak akan mengganggu kita. Dialah yang tadi membunuh anjing itu. Kakek yang baik, kalau engkau juga merasa lapar, marilah kuberi sedikit dari bagian daging ayamku."
Dia lalu mengulurkan tangan yang memegang daging mentah.
"Aihhh anak-anak aihhh, kasihan sekali kalian!"
Kakek itu menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang merasa amat terharu.
"Aku tidak lapar dan tidak akan mengganggu kalian. Akan tetapi, anak-anak yang baik, jangan kalian makan daging mentah itu. Ayam ini telah mati karena sakit, maka kalau dimakan mentah-mentah akan membahayakan kesehatan. Kalian akan jatuh sakit."
Ketiga orang anak kecil itu memanding kepadanya dan mulut mereka tersenyum, mata mereka memandang terbelalak dan seolah-olah sinar mata mereka berkata.
"Apa artinya jatuh sakit? Tidak akan lebih menyakitkan dari pada perut yang perih karena lapar!"
Kakek itu mengerti akan perasaan hati dan pikiran mereka, maka dia lalu membuat api dan menyuruh mereka itu memanggang daging ayam di atas api. Anak-anak itu segera menurut dan memanggang daging ayam itu, karena memang daging itu alot sekali dan lebih enak kalau dipanggang dan dimakan matang.
Sementara itu, kakek tadi lalu menggali lubang, kemudian menyeret bangkai anjing yang pecah kepalanya untuk dikubur.
"Kalau tidak dikubur, dia akan membusuk dan akan menimbulkan penyakit,"
Katanya.
Akan tetapi sebelum dia menimbun kembali lubang itu dengan tanah, tiba-tika datang dua orang wanita tua yang berteriak-teriak.
"jangan dikubur dia, jangan!!"
Mereka berlari menghampiri dan ketika kakek itu, memandang dengan heran, dua orang wanita tua itu dengan girang sekali lalu menubruk bangkai anjing itu dan membawanya lari sambil berseru kegirangan, seolah-olah anak-anak kecil kclaparan yang diberi makanan enak.
Kakek itu menggelengkan kepalanya dengan sedih.
"Ya Tuhan, semoga jangan terjadi lagi perang."
Doanya dengan lirih.
Setelah semua daging ayam yang terpanggang tanpa bumbu itu habis dimakan oleh ketiga orang anak itu, kakek berjenggot panjang itu lalu duduk mendekati mereka dan bertanya.
"Apakah kalian bertiga bersaudara?"
Mereka bertiga memandang kepada kakek itu dengan mata yang bcsar-besar karena wajab mereka kurus-kurus, lalu mereka menggeleng kepala.
"Kami hanya sekampung "
Kata anak laki-laki yang bertahi lalat di tengah dahinya. Melihat tiga orang anak itu membungkam selanjutnya dan kelihatan bercuriga kepadanya, kakek itu menarik napas panjang. Dia maklum bahwa dalam keadaan seperti itu, tiga orang anak ini menjadi orang-orang yang penuh curiga. Penderitaan yang bertubi-tubi membuat mereka harus menjaga diri dan tidak percaya lagi kepada orang lain, seperti seekor anjing yang selalu curiga kepada orang asing.
"Anak-anak yang baik, ketahuilah bahwa aku bukanlah seorang di antara mereka yang suka berperang. Aku seorang pertapa dan aku merasa kasihan melihat kalian, aku berniat untuk menolong kalian. Siapakah kalian ini dan di mana keluarga kalian?"
Pertanyaah yang dikeluarkan dengan halus ini melenyapkan kecurigaan mereka dan anak perempuan itu setelah menatap wajah kakek itu beberapa saat lamanya, lalu menukar pandang mata dengan dua orang anak laki-laki tadi, kemudian tersenyum.
"Kakek yang aneh""
"'Kenapa kaukatakan aku aneh?"
Kakek itu mengelus jenggotnya.
"Engkau membantu kami membunuh anjing, engkau tidak mau ikut makan, dan engkau hendak menguburkan anjing itu. Bukankah itu aneh namanya?"
Kata anak perempuan itu dari si kakek menghela napas. Betapa keadaan telah merobah pendapat seseorang. Dalam keadaan akibat perang seperti itu. Sikapnya yang wajar dianggap aneh, dan mungkin dua orang wanita tua yang melarikan bangkai anjing tadi tidak aneh lagi bagi mereka bertiga ini!
"Hemm, mungkin kau benar. Nah, ceritakanlah siapa kalian."
"Nimaku Eng, she Kui. Aku aku tidak tahu siapa mereka ini, hanya mereka berdua ini kutemui di tempat ini."
"Di manakah rumahmu dan siapa orang tuamu, Kui Eng?
Ditanya demikian, Kui Eng tiba-tiba menangis. Dari kedua matanya yang lebar itu mengalir beberapa butir air mata, akan tetapi tidak banyak karena air matanya sudah dikuras habis dalam waktu beberapa bulan ini.
"Ayah dan semua orang dalam rumah telah dibunuh, rumah kami dibakar dan ibuku dibawa lari penjahat""
Kui Eng menjawab sambil megap-megap dan menangis makin sedih. Kakek itu merangkulnya dengan hati terharu, mengelus rambutnya karena dia tidak tahu bagaimana harus menghibur anak yang kehilangan segala-galanya itu.
"Ayahnya dahulu adalah kepala kampung kami,"
Tiba-tiba anak yang tampan itu berkata.
Kakek itu memandang kepadanya. Wajah anak laki-laki itu tampan sekali dan matanya bersinar penuh kecerdasan.
"Dan engkau sendiri siapakah, anak?"
"Aku bernama Bun Hong, ayahku adalah Tan-wangwe (hartawan Tan) di dusun ini, keluargakupun telah habis binasa oleh setan-setan itu!"
Sambil berkata demikian, kedua tangan anak ini dikepalkan dan matanya memancar-kan cahaya penuh dendam!
"Dan dia ini, saudaramukah dia?"
Kakek itu bertanya sambil menuding ke arah anak laki-laki yang bertahi lalat di dahinya.
"Bukan,"
Jawab Bun Hong.
"kami bertiga tidak saling mengenal, akan tetapi dahulu aku pernah melihat anak perempuan ini di gedung kepala kampung kami."
"Siapakah engkau, nak? Apakah engkau juga anak dari dusun ini dan di mana pula keluargamu?"
Tanya kakek itu kepada anak ketiga.
Anak itu menggeleng-geleng kepalanya dan kedua matanya menjadi basah ketika dia mendengar pertanyaan itu.
"Ayahku adalah seorang petani di dusun sebelah selatan sana dan namaku adalah Gan Beng Han. Ayahku tewas dalam pertempuran melawan barisan pemberontak, karena ayahku ikut dalam gerakan gerilya membantu pasukan pemerintah. Sedangkan lbuku dan adik perempuanku, entah pergi ke mana. Mungkin saja mengungsi dengan orang-orang lain ketika setan-setan itu datang menyerbu. Rumah kami sudah dibakar habis, aku hidup sebatangkara."
Anak yang bernama Beng Han itu menundukkan mukanya.
"Setan-setan itu kurang ajarsekali! Bahkan semua padi dan gandum kami dirampok habis. Yang tidak dapat mereka bawa, mereka bakar!"
Kata Bun Hong dengan suara gemas.
"Aku ingin membunuh mereka itu, iblis-iblis keparat itu, seorang demi seorang...! Kui Eng berkata dan sepasang matanya yang lebar bersinar-sinar, kedua tangannya yang kecil kurus dikepal dan mukanya diarahkan keangkasa.
"Aihh, anak-anak yang baik, kalian bertiga hanyalah sebagian di antara ribuan orang anak-anak yang menjadi korban perang. Secara kebetulan sekali kalian berjumpa dengan aku dan membuat hatiku tertarik, maka kalau kalian suka, marilah kalian ikut bersamaku ke gunung."
"Ke gunung? Mau apa?"
Kui Eng bertanya, kini sepasang mata yang jernih itu ditujukan ke arah wajah kakek itu dengan pandang mata heran dan penuh selidik.
"Mau apa? Ha-ha-ha, pertanyaanmu memang tepat, mau apa, ya? Apa sih artinya hidup ini? Mengapa hidup selalu dipenuhi dengan penderitaan dan kesengsaraan, dogan suka duka, senang snsah, puas kecewa? Ha-ha, anak baik, kalau kalian suka, aku akan mengajarkan ilmu silat kepada kalian karena aku yang tua bangka ini tidak mempunyai apa-apa lagi untuk diberikan kepada kalian selain ilmu silat."
Tan Bun Hong memandang dengan wajah gembira sekali. Dia melonjak kegirangan.
"Belajar silat? Ah, aku suka sekali! Kalau aku bisa silat, tentu akan kuhajar semua setan yang dulu pernah menyerbu ke sini!"
Akan tetapi Gan Beng Han memandang kepada kakek itu dan dia lalu menggeleng kepalanya perlahan tanpa menjawab.
"Eh, mengapa, nak? Apakah kau tidak suka belajar ilmu silat?"
"Bukan tidak suka, kakek yang baik. Tentu saja aku suka belajar silat dan menjadi seorang yang berguna kelak. Akan tetapi, kalau kami bertiga ikut dengan engkau orang tua, kami harus makan."
"Tentu saja kalian harus makanl"
Kikek itu berseru heran.
"Itulah sukarnya, kakek yang baik! Kami bertiga tidak punya apa-apa, hanya mempunyai tiga buah mulut dan tiga buah perut yang setiap hari harus diisi. Melihat pakaianmu, engkau adalah seorang kakek yang tidak kaya sedangkan kalau kami ikut bersamamu, selain pelajaran silat, engkau pun harus memberi sedikitnya tiga mangkok nasi setiap hari kepada kami. Bagaimana engkau akan kuat memelihara kami?"
"Ha-ha-ha-ha!"
Kakek itu memegang jenggotnya dan tertawa bergelak, wajahnya yang sudah keriputan itu nampak be sen ketika dia memandang ke atas dan pundaknya serta perutnya yang kempis itu terguncang-guncang dalam tawanya. Diam-diam dia memuji anak laki laki yang mempunyai tahi lalat kecil di tengah dahinya itu. Bocah ini kelak akan menjadi seorang pemuda yang berpemandangan luas, pikirnya.
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Beng Han, hal itu tidak perlu kaukhawatirkan, karena aku percaya bahwa kalian bertiga tentulah bukan anak-anak pemalas yang hanya pandai makan, akan tetapi tidak mau bekerja seperti watak babi, kalian tidak mau dipersamakan dengan babi-babi, bukan?"
Tiba-tiba Kui Eng bangkit berdiri dan memandang marah. Tinjunya dikepal dan kaki kanannya dibanting.
"Siapa berani menyebutku babi?"
"Aku bukan babi!"
Bun Hong juga berseru dan memandang marah.
"Kami tentu saja mau bekerja, kakek, akan tetapi engkau yang juga miskin ini dapat memberi pekerjaan apakah kepada kami?"
Beng Han bertanya sambil menatap tajam wajah keriputan itu.
Kembali kakek itu tertawa. Baru saat ini semenjak berbulan-bulan dia merasa gembira, karena dari sikap dan kata-kata tiga orang anak ini, dia sudah dapat membayangkan watak masing-masing. Selama berbulan ini, dia menyaksikan akibat-akibat perang yang menyayat hati dan menyedihkan dan kini, berhadapan dengan tiga orang calon manusia yang masih murni ini, dia menyaksikan keindahan yang amat menggembirakan hatinya. Dia melihat betapa Kui Eng memiliki kekerasan hati dan keangkuhan, sifat yang baik untuk melindungi dirinya sebagai seorang wanita. Bun Hong memiliki kegembiraan dan kejenakaan, juga agak angkuh dan manja, mungkin karena tadinya dia putera seorang hartawan Sebaliknya, yang amat mengagumkan hati kakek itu adalah sikap dan ucapan Beng Han karena dia dapat melihat banwa anak petani miskin ini kelak tentu akan menjadi seorang yang bijaksana, rendah hati, dan berpemandangan luas.
"Anak-anak, Tuhan adalah Maha Murah dan Maha Adil. Tanah subur terbentang luas, menanti digarap. Kita telah dikurniai tangan kaki dan akal budi. Maka kalau kita menggarap tanah itu, apakah tidak akan menghasilkan makanan yang kita butuhkan? Betapapun besarnya kurnia Tuhan, namun tanpa kita kerjakan dan kita usahakan, bagaimana ada makanan dapat berloncatan sendiri memasuki perut kita?"
Bun Hong tertawa.
"Heh-heh, betapa lucunya!"
Dia terkekeh-kekeh membayangkan ada makanan dapat bcrloncatan memasuki mulut mereka.
"Hanya katak hidup saja yang dapat meloncat masuk ke mulut yang selalu ternganga, heh-heh!"
"Ihh!"
Kui Eng bergidik jijik dan ngeri.
"Segala macam pekerjaan kalau kita lakukan dengan tekun dan rajin, pasti akan berhasil baik, anak-anak. Maka, hayolah ikut bersamaku. Mari kita bekerja!"
Ajakan ini mengandung suara penuh harapan dan kegembiraan yang mendorong hati tiga orang anak itu, maka tanpa diperintah untuk kedua kalinya, mereka lalu bangkit dan mengikuti kakek itu keluar dari dusun yang telah hancur itu, berjalan menuju ke arah barat di mana nampak menjulang tinggi puncak Pe-gunungan Kwi-hoa-san. Perjalanan yang lambat dan berat, apa lagi karena setiap kali melihat ada mayat manusia bekas korban perang, biarpun mayat itu sudar nembusuk dan hampir tak tertahankan baunya oloh tiga orang anak itu, tetap saja kakek itu berhenti dan menguburnya lebih dulu, dibantu tiga orang anak yang kini telah menjadi muridnya.
Perang memang merupakan malapetaka yang mengerikan dan menyedihkan. Malapetaka yang telah terjadi semenjak sejarah berkembang sampai pada jaman ini dan pasti akan selalu terulang kembali di seluruh dunia selama manusia belum menyadari bahwa perang adalah akibat dari keadaan diri kita pribadi. Perang yang terjadi di sudut dunia yang lain, biarpun amat jauh dari tempat kita tinggal, tidak terlepas dari keadaan kita sebagai manusia karena sesungguhnya keadaan kitalah yang menimbulkan perang, di manapun malapetaka itu terjadi.
Apakah yang menimbulkan perang? Perang adalah konflik, perang adalah pertentangan antara dua kelompok atau lebih, yaitu kelom pok yang dapat saja merupakan bangsa, kelompok suku, kelompok agama, kelompok aliran kepercayaan, kelompok aliran politik, atau kelompok-kelompok yang mengekor dan dipengaruhi oleh para pemimpin yang mempergunakan kelompok itu untuk mencapai cita-cita atau tujuannya.
Konflik terjadi karena masing-masing kelompok mempertahankan kebenarannya. Dan kebenaran yang dipertahankan sesungguhnya hanyalah pengejaran terhadap sesuatu yang menyenangkan diri pribadi belaka. Konflik antara kelompok ini mencerminkan konflik antar manusia dan konflik antar manusia terjadi karena adanya konflik dalam batin setiap manusia. Dan seperti telah kita ketahui tadi, konflik terjadi apabila kita mengejar sesuatu yang kita anggap menyenangkan, yang kita selimuti dengan kata indah dan megah. Kebenaran!
Apakah sesungguhnya sesuatu yang kita kejar-kejar itu? Sesuatu yang kita kejar tentu saja adalah sesuatu yang belum ada, yang belum terjadi, yang belum berada di dalam tangan kita. Kita selalu mengejar sesuatu yang lain dari pada yang telah ada. Kita selalu ingin yang BEGITU, karena kita tidak menghargai lagi yang BEGINI. Yang begitu adalah ambisi, adalah tujuan. Sebaliknya yang begini adalah fakta hidup, keadaan kita yang nyata. Pengejaran akan yang begitu tentu saja membuat yang begini menjadi hilang artinya, hilang keindahannya. Dan PENGEJARAN itulah yang menimbulkan konflik antara yang begini dan yang begitu. Pengejaran itulah, yang menimbulkan konflik, tidak hanya konflik dalam batin sendiri, melainkan mencuat ke luar menjadi konflik antar manusia dan membesar lagi menjadi konflik antar kelompok, antar. Pengejaran akan sesuatu yang dianggap lebih menyenangkan dari pada yang sudah ada yang kita anggap kebenaran, mengakibatkan bentrokan terjadi, masing-masing pibak mempertahankan "kebenaran"
Sendiri-sendiri dan terjadilah perang! Jadi, sumber dari segala bencana, termasuk perang, berada di dalam diri sendiri! Kita dapat melihat ini dengan jelas, seperti juga melihat bahwa sumber dari segala keindahan dan kebahagiaan juga sudah berada di dalam diri sendiri!
Apapun yang dikejarnya, baik berupa harta benda, kedudukan, kemuliaan, nama besar, kehormatan, dan sebagainya, sesungguhnya berdasarkan pada keinginan untuk menyenangkan diri pribadi. Harta benda, kedudukan, kemuliaan, nama besar dan sebagainya itu tidaklah buruk dan keadaannya merupakan suatu kewajaran, akan tetapi PENGEJARANNYA terhadap semua itulah yang berbahaya, yang menimbulkan perang!
Kui Eng adalah puteri tunggal dari kepala kampung Hong yang yaitu dusun di mana kakek itu menemukan tiga orang anak itu. Kepala kampung itu bernama Kui Lok. Seperti ratusan dusun dan kampung yang lain, yang dilalui oleh barisan pemberontak yang menyerbu, kampung Hong-yang tidak terlepas dari malapetaka. Barisan pemberontak menyerbu seperti air bah mengamuk, dan selama semalam suntuk terjadilah segala kengerian yang mungkin dilakukan oleh manusia-manusia yang berubah menjadi iblis karena terdorong oleh hawa perang yang isinya hanya membunuh atau dibunuh itu. Pembunuhan keji, perampokan dan perkosaan. Jerit-jerit menyayat hati membubung ke angkasa tanpa ada yang memperddlikan agaknya. Hanya pohon-pohoa di dalam kampung dan yang tidak ikut terbakar itu yang menjadi saksi mati akan terjadinya semua kemaksiatan dan kekejian itu.
Kui Lok tidak diampuni oleh para pemberontak. Dia diseret dan digantung di luar rumahnya, sedangkan harianya dirampok habis, rumahnya dibakar dan isterinyu nyonya Kui Lok yang masih muda, belum tigapuluh tahuh usianya, berwajah cantik dan bertubuh ramping, dilarikan oleh seorang laki-laki bernama Bu Pok Seng yang menjadi seorang perwira dalam barisan pemberontak itu.
Memang sukar dimengerti bagaimana puteri kepala kampung itu, Kui Eng yang baru berusia lima tahun, dapat lolos dari maut. Memang belum tiba saatnya anak itu tewas agaknya, karena di dalam keributan yang mengerikan itu, Kui Eng yang ketakutan melarikan diri dan agaknya para penjahat yang sedang "pesta pora"
Itu kurang memperhatikan dan tidak tertarik kepada seorang anak kecil yang, berlarian seorang diri.
Bu Pok Seng adalah seorang penjahat dan tadinya dia menjadi kepala perampok. Dia masih muda, usianya baru tigapuluh tahun lebih dan ilmu silatnya cukup tinggi. Ketika terjadi pemberontakan, Bu Pok Seng melihat kesempatan baik untuk mengumpulkan harta dan mengejar kedudukan, maka dia lalu membawa anak buahnya untuk menggabungkan diri sebagai barisan pemberontak di utara. Tentu saja penggabungannya ini sama sekali bukan karena dia mendukung gerakan pemberontakan itu, melainkan hanya untuk "membonceng"
Pemberontakan itu demi mencapai pengejarannya sendiri dan betapa banyaknya orang-orang seperti Bu Pok Seng ini bermunculan pada setiap kali terjadi pergolakan, orang-orang yang pandai mempergunakan kesempatan. Baik mengejar harta, kedudukan atau yang lain-lain.
Selama beberapa bulan saja semenjak mengikuti gerakan pemberontak, Bu Pok Seng telah berhasil mengumpulkan barang-parang berharga terdiri dari emas permata yang dirampoknya dari tempat-tempat yang diserup oleh pemberontak. Ketika dusun Hong-yang diserbu pada malam hari itu. Bu Pok Seng juga ikut bersorak-sorak seperti kawan-kawannya dan sebagai seorang yang cerdik, dia cepat memasuki rumah kepala kampung bersama kawan-kawannya, karena dia tahu bahwa kepala kampung merupakan orang terkaya di dalam kampungnya dan memang pada jaman itu adalah benar.
Mula-mula Bu Pok Seng juga tidak mau kalah oleh kawan-kawannya, mengumpulkan harta yang paling ringan namun paling berharga sebanyak-banyaknya, akan tetapi ketika dia dan kawan-kawannya menyerbu kamar kepala kampung dan kawan-kawannya menyeret kepala kampung itu ke luar unluk digantung hidup-hidup di depan rumahnyu, dan melihat nyonya rumah menjerit-jerit dan pingsan, dia cepat menyambar pinggang nyonya rumah yang muda dan cantik itu. Jantung Bu Pok Seng ber-debar keras ketika dia melihat nyonya rumah ini. Sudah banyak dia melihat wanita, dan sudah banyak pula dia seperti juga kawan-kawannya memperkosa wanita-wanita cantik di sepanjang jalan yang mereka lalui, akan tetapi baru sekarang dia terpesona melihat wanita seperti isteri kepala kampung itu. Dia menendang roboh dua orang kawannya yang hendak ikut mempermainkan wanita yang dipondongnya.
"Yang ini milikku!"
Hardiknya sehingga kawan-kawannya terkejut lalu tertawa-tawa Bu Pok Seng tidak lagi memperdulikan barang-barang berharga yang tadi dikumpulkannya. Dia memandang lagi wajah wanita yang pingsan itu dan jantungnya makin berdebar. Melihat kecantikan wanita ini, dia tidak menghendaki yang lain lagi. Satu-satunya keinginannya adalah berdua bersama wanita ini! Maka Bu Pok Seng lalu membawa lari tubuh wanita muda itu, keluar dari dusun yang mulai terbakar. Tidak ada seorangpun yang memperhatikan perbuatannya itu oleh karena memang sudah menjadi pemandangan yang tidak aneh lagi apa bila ada anggauta-anggauta pemberontak yang melarikan wanita ke sudut yang sunyi!
Akan tetapi, ketika Bu Pok Seng merebahkan tubuh itu di atas tanah di belakang sebuah rumah. dan melihat wajah itu ditimpa sinar lampu di belakang rumah itu, terjadi hal aneh di dalam hatinya. Semula niatnya untuk memperkosa wanita ini seperti yang pernah dia lakukan pada waktu-waktu yang lalu, lenyap seperti awan tipis ditiup angin. Timbul rasa kasihan kepada wanita ini. Dia sudah meraba-raba pakaian nyonya muda itu dan biasanya, dalam ketidaksabarannya, dia akan merenggut dan merobek pakaian itu. Akan tetapi kini dia menarik kembali tangannya dan ditatapnya wajah yang cantik itu, lalu dengan hati hati dia mendekatkan mukanya dan diciumnya dahi wanita cantik itu. Ciuman mesra yang dilakukan sepenuh hati, bukan ciuman penuh rangsangan birahi seperti yang biasa dia lakukan terhadap wanita-wanita tawanannya.
Akan tetapi ciuman itu cukup untuk membuat nyonya Kui Lok sadar dari pingsannya. Dia terkejut dan bangkit duduk, lalu teringat akan semuanya dan melihat Bu Pok Seng berlutut di depannya, dia menjerit.
"Jangan takut. Aku aku tidak akan mengganggumu, aku cinta padamu, sayang. Sungguh, aku sayang sekali padamu. Mari kau ikut bersamaku."
"Tidak tidak!"
Nyonya itu menggeleng kepala, matanya terbelalak lebar seperti mata seekor kelinci melihat harimau. Mata itu memang indah sekali, merupakan bagian tercantik dari nyonya itu.
"Hemm, apakah kau lebih senang terjatuh ke tangan mereka dan diperkosa beramai-ramai sampai mati?"
Kata Bu Pok Seng dan pada saat itu, tidak jauh dari situ terdengar ierit ketakutan seorang wanita, disusul suara ketawa menyeramkan dari beberapa orang laki-laki, dan tak lama kemudian terdengar jerit wanita di lain tempat. Wajah nyonya itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil.
"Nah, kau lebih senang terjatuh ke tangati mereka?"
"Tidak.... tidak.... ohhh.... ampunkan aku..."
Nyonya itu berkata dengan suara gemetar.
"Kalau begitu, percayalah kepadaku. Aku Bu Pok Seng akan melindungimu, sayang,"
Kata bekas kepala perampok itu.
"Mari cepat kita pergi dari sini dan agar bisa cepat melarikan diri, sebaiknya kau kupondong."
Tanpa menanti jawaban, Bu Pok Seng memondong tubuh itu dan lari secepatnya menyelinap di dalam kegelapan malam, makin lama makin jauh meninggalkan dusun Hong yang sehingga api yang membakar dusun itu tidak nampak lagi dan jerit tangis di antara gelak tawa itu pun tidak terdengar lagi.
Nyonya Kui Lok adalah seorang wanita yang lemah dan melihat kenyataan betapa suami dan seluruh keluarganya telah tewas, rumahnya telah habis dimakan api, hatinya hancur dan semangatnya seakan-akan telah meninggalkan tubuhnya. Dia merasa berat sekali untuk menerima bijukan Bu Pok Seng dan sebetulnya dia ingin ikut mati saja bersama suami dan anaknya. Akan tetapi dia tidak mempunyai cukup keberanian untuk membunuh diri dan terutama sekali melihat Bu Pok Seng amat sayang kepadanya, melindunginya dan bersikap amat ramah dan baik, tidak pernah mengganggu dan mencoba untuk memperkosanya pula karena laki-laki inipun masih muda dan tidak buruk rupanya, akhirnya dia tidak dapat menolak lagi dan menyerahkan dirinya bukan karena ancaman atau paksaan.
Bu Pok Seng merasa girang sekali. Selama hidupnya, biasanya dia hanya memperoleh wanita secara paksa saja. Wanita-wanita yang pernah berada dalam pelukannya adalah wanita-wanita yang terpaksa melayaninya karena diancam. Dan baru sekarang ini Bu Pok Seng dilayani oleh seorang wanita bukan karena dipaksa, padahal biasanya dia hanya mungkin memperoleh pelayanan seperti itu dari seorang wanita pelacur saja. Akan tetapi, nyonya Kui Lok bukan pelacur, melainkan seorang wanita baik-baik, seorang wanita terhormat, bekas isteri kepala kampung, yang cantik, lemah lembut, halus dan terpelajar! Dan wanita itu kini menyerahkan hati dan tubuh kepadanya dengan suka rela!
Bu Pok Seng lalu menjual semua barang-barang berharga hasil perampokan, mempergunakan uang itu sebagai modal. Dia membuka sebuah rumah penginapan di kota Kauw-ciu dan hidup sebagai "orang baik"
Bersama isterinya yang cantik dan tang amat dicintanya. Nyonya muda ini akhirnya terhibur juga hatinya karena ternyata bahwa "suami"
Barunya ini amat mencintanya, bahkan sama sekali tidak tampak lagi tanda-tanda kekejaman dan kejahatan Bu Pok Seng yang kini telah berubah sama sekali itu! Bu Pok Seng kini, berkat cintanya terhadap isterinya, berubah menjadi seorang suami yang bersikap halus dan apapun yang dikatakan oleh isterinya diturutinya belaka sehingga lambat laun wanita itu dapat menuntun suaminya untuk hidup sebagai seorang terhormat dan sopan. Berkat bantuan isterinya, rumah penginapan itu memperoleh kemajuan dan bekas kepala rampok itu merasa beiapa hidupnya amat berbahagia!
Bagi nyonya Kui Lok sendiri, pada bulan-bulan pertama memang dia seringkali termenung dan berduka, teringat kepada puterinya yang dianggapnya tentu telah tewas pula bersama suaminya, seperti yang dikatakan penuh keyakinan oleh suami barunya. Akan tetapi, dua tahun kemudian, ketika dia melahirkan seorang anak perempuan, keturunan suaminya yang baru, hatinya terhibur dan terobatlah luka karena kehilangan puterinya itu. Apa lagi ketika ternyata bahwa wajah anaknya ini mirip benar dengan wajah Kui Eng, hatinya makin terhibur dan mulailah nyonya muda ini menikmati hidupnya, keadaan hidup yang sama sekali baru dan berbeda dari pada ketika dia masih menjadi nyonya Kui Lok, nyonya seorang kepala kampung Akan tetapi dia tidak lagi merasa kurang berbahagia, apalagi karena ternyata bahwa suami barunya ini sungguh-sungguh amat mencintanya, jauh lebih besar cinta kasih suaminya ini dari pada suaminya yang dahulu. Suaminya yang dahulu masih mengambil beberapa selir, sedangkan Bu Pok Seng sama sekali tidak mau menengok kepada wanita lain. Di samping tu, dibandingkan dengan Kui Lok, Bu Pok Seng ini lebih muda dan lebih kuat tubuhnya, lebih jantan karena Bu Pok Seng adalah seorang pria yang sejak kecilnya menghadapi kekerasan sehingga dia merupakan seorang pria yang memiliki kegagahan, tidak seperti Kui Lok yang agak lemah.
Demikian keadaan keluarga Kui Eng yang menjadi korban keganasan perang. Tentu saja seperti juga ibunya yang roenganggap dia tentu telah tewas, Kui Eng sendiri juga menganggap bahwa ibunya yang dilarikan penjahat itu tentu telah tewas pula seperti ayahnya.
Bagaimanakah keadaan keluarga dua orang anak yang ditemukan oleh kakek itu? Keluarga Tan Bun Hong memang sudak habis sama sekali. Ayah bundanya dibunuh pemberontak, bahkan tidak ada pelayan yang lolos. Satu-satunya orang yang lolos adalah Bun Hong sendiri dan hal itupun terjadi secara kebetulan karena ketika para pemberontak menyerbu rumahnya, anak ini kebetulan sedang berada di luar rumah. Baru saja oleh ayahnya Bun Hong dibelikan beberapa belas ekor ikan emas dari utara, ikan emas yang matanya melotot besar dan amat disukanya sehingga malam-malampun anak ini diam-diam melihat ikan-ikannya yang dilepas di dalam kolam ikan di taman bunga. Ketika terjadi penyerbuan anak ini menjadi ketakutan dan melarikan diri dari taman itu ke dalam kegelapan malam sehingga dia terbebas dari raaut Akan tetapi seluruh keluarganya, sampai semua pelayan, terbunuh dan seluruh rumah dan isinya habis dan sisanya terbakar.
Lalu apa yang terjadi dengan keluarga anak yang bernama Gan Beng Han? Seperti yang diceritakan oleh anak itu kepada kakek yang menjadi gurunya, ayah Gan Beng Han mati terbunuh oleh pemberontak sebagai seorang anggauta pasukan gerilya. Ketika hal tu terjadi dan dusun mereka kacau-balau dan geger oleh serbuan para pemberontak, Beng Han dan ibunya berpencar dan anak itu melarikan diri memasuki hutan di luar dusun, sedangkan ibunya menggendong Beng Lian, adik perempuan Beng Han, melarikan diri ke selatan.
Dapat dibayangkan betapa hancur, duka dan bingungnya hati wanita ini ketika dia melarikan diri, keluar masuk hutan sambil menggendong Beng Lian. Dia sudah mendengar akan kematian suaminya, dan kini dia kehilnngan puteranya yang lari entah ke mana. Tidak mungkin dia mencari puteranya, karena kem-bali ke dusunnya berarti mencari kematian dan dia harus menyelamatkan puterinya yang masih kecil. Sambil menangis Ong Siok Nio, demikanlah nama ibu Beng Han menggendong puterinya dan terisak-isak dia ke selatan. Di selatan, di sebuah dusun, tinggal seorang pamannya dan ke sanalah dia bermaksud pergi mengungsi.
Perjalanan itu amat jauh, sedikitnya akan makan waktu tiga empat hari, sedangkan dia tidak membawa bekal apa-apa maka dapat di bayangkan betapa sengsaranya keadaan nyonya muda ini. Biarpun dia melakukan perjalanan jauh seperti ini, perjalanan yang tidak pernah berhenti sehingga kedua kakinya menjadi amat nyeri dan bengkak-bengkak. Dia tidak berani berhenti seolah-olah ada setan mengejar di belakang tubuhnya, setan kengerian yang selalu membayang didepan matanya peristiwa yang terjadi itu, malapetaka mengerikan yang menimpa dusunnya. Kadang-kadang dia berjalan sambil menangis, akan tetapi kalau teringat bahwa suara tangisnya mungkin terdengar orang jahat atau pemberontak, dibungkamnya mulutnya sendiri dan biarpun air matanya bercucuran, namun tidak ada suara dari mulutnya.
Tubuhnya sudah lemas sekali ketika pada keesokan harinya dia berjalan di tengah hutan setelah semalam suntuk dia berjalan tersaruk-saruk di tempat gelap tak pernah berhenti sebentarpun. Beng Lian yang tadinya tertidur dalam gendongannya, kini terbangun,
"Sssttt tidurlah, nak""
Bisik ibu itu ketika Beng Lian mulai rewel karena tentu saja anak itu merasa lelah dan juga lapar. Tiba-tiba Siok Nio mengeluarkan jerit tertahan karena dari belakang batang-batang pohon, dari atas pohon pula, berloncatan keluar serombongan orang laki-laki berwajah menyeramkan, bertubuh kokoh kuat dan bersikap kasar menakutkan. Belasan orang itu mengepungnya sambil menyeringai dan mata mereka melahap tubuh Siok Nio yang memang masih muda, ramping dan padat.
"Ha-ha-ha, sungguh baik sekali nasib kita!"
Seorang diantara mereka tertawa.
"Sepagi ini ada yang mengantar hidangan! Hemm sungguh merupakan sarapan pagi yang sedap! Heh-heh!"
"Hushh! Jangan bicira sembarangan, serahkan kepada twako (kakak besar) untuk memutuskannya!"
Cela orang ke dua.
Di antara belasan orang itu muncullah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan bercambang bauk, matanya lebar dan kemerahan. Dia terkekeh dan menyeringai lebar, memperlihatkan gigi yang besar-besar dan agak kotor dan rusak, lalu dia melangkah maju memandang Siok Nio seperti seorang pedagang sapi sedang menaksir seekor sapi yang hendak dibelinya!
"Hemm, mulus biarpun wanita dusun. Heh-heh! Manis, kalau kau dapat menyenangkan hatiku dan mencocoki, kau boleh kujadikan isteriku!"
Melihat wajah-wajah yang menyeramkan itu, Siok Nio menjadi ketakutan. Seluruh tubuhnya menggigil, mukanya menjadi pucat sekali dan dia hampir pingsan. Din tidak dapat mengeluarkan suara lagi dia hanya bisa menangis. Akan tetapi Beng Lian, biarpun baru berusia empat tahun, agaknya dapat membedakan orang baik dan jahat, karena tiba tiba saja anak ini menjerit-jerit dalam gendongan ibunya.
Menyaksikan anak yanp menjerit-jerit dan meronta-ronta itu, para anggauta perampok kasar itu menjadi marah. Seorang di antara mereka menghardik.
"Bocah setan ini sebaiknya dihancurkan kepalanya agar jangan banyak membikin bising!"
Tanganya yang besar dan berbulu diulur untuk menangkap leher Beng Lian. Siok Nio mendekap anaknya dan melangkah mundur, akan tetapi anggauta perampok itu terkekeh dan mengejar maju. Tangannya dengan cepat menyambar, akan tetapi sebelum tangan itu menyentuh leher Beng Lian, tiba-tiba tubuhnya terpelanting, kedua tangannya mencekik lehernya sendiri dan matanya terbelalak, lalu ia roboh berdebuk. Kiranya sebatang jarum telah menancap di lehernya, membuat perampok itu pingsan dengan kedua tangan masih mencekik lehernya sendiri.
"Perampok-perampok jahat jangan mengganggu orang!"
Terdengar bentakan hahis dan tahu-tahu di situ telah muncul seorang nikouw (pendeta wanita) yang berkepala gundul halus dan berjubah putih bersih. Mengherankan sekali bagaimana di dalam hutan belukar itu nikouw ini dapat menjaga pakaiannya dalam keadaan demikian putih bersih. Biarpun sikap nikouw itu lemah lembut, namun dan pandang matanya memancarkan sinar penuh wibawa.
Para perampok itu berjumlah belasan orang, rata-rata bertubuh kuat dan bersikap ganas. Tentu saja mereka tidak takut menghadapi seorang nikouw tua yang usianya tentu sudah enampuluh tahunan, bertubuh kurus lemah itu.
Maka dengan marah sekali melihat seorang kawannya roboh, mereka mencabut senjata mereka, yaitu golok dan pedang, lalu mereka maju menerjang nikouw tua ini seolah-olah hendak berlomba membacok mati nikouw yang berani merobohkan seorang kawan mereka itu. Siok Nio merasa ngeri melihat kilatan senjata tajam dan dia memejamkan maianya, tidak mau melihat nikouw tua itu koyak-koyak badannya oleh belasan golok dan pedang itu.
Akan tetapi, dengan tenang saja nikouw tua itu menggerakkan kedua tangannya dan dan setiap tangannya menyambar keluar tiga sinar putih yang kecil. Enam orang perampok menjerit kesakitan dan roboh pingsan karena jalan darah mereka tertusuk jarum-jarum halus yang beterbangan tadi. Sisa para perampok yang menyaksikan kelihaian nikouw itu, maklum bahwa mereka berhadapan dengan orang sakti. Sekali gerakan saja nikouw itu mampu merobohkan enam orang kawan mereka! Tentu saja mereka itu tahu diri dan dengan muka pucat mereka lalu menyeret kawan-kawan mereka yang terluka dan melankan diri tunggang-langgang dari tempat itu!
Penggunaan jarum halus sebagai senjata rahasia itu memang amat hebat. Nikouw itu telah mewansi ilmu melempar jarum yang disebut Cai-li-toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa dari Winita Pandai). Menurut dongeug, ilmu ini asal mulanya dimiliki oleh seorang siu-li (dayang pelayan kaisar) yang cantik ratusan tahun yang lalu. Pada suatu malam, siu-li ini masih belum tidur dan sambil duduk menyulam dia menjaga didepan kamar kaisar yang telah tidur. Pada malam hari itu, muncullah belasan orang yang berilmu tinggi, belasan orang yang diutus oleh musuh kaisar untuk membunuh kaisar di dalam kamarnya. Belasan orang yang berilmu tinggi itu berhasil melampaui penjagaan para pengawal, bahkan telah berhasil membunuh beberapa orang pengawal. Siu-li yang sedang menyulam itu tahu akan kedatangan mereka dan tanpa bergerak pindah dari tempat dia duduk, dia telah mempergunakan Ilmu Cai-li-toat-beng-ciam itu, menyambit-nyambitkan jarum jarum halusnya dan merobohkan belasan Orang itu Ketika para pengawal mengumpulkan mayat-mayat para penjahat itu, siu-li cantik ini masih tenang-tenang saja melanjutkan pekerjaannya menyulam!
Maka, melihat betapa nikouw tua itu dalam sekejap mata saja merobohkan tujuh orang teman mereka, para perampok itu menjadi ketakutan dan melarikan diri. Nikouw itu tidak mengejar, hanya tersenyum dan dia lalu meng hampiri Siok Nio yang masih duduk di atas tanah sambil menangis dan mendekap anaknya.
"Toanio, siapakah engkau dan mengapa engkau berada di dalam hutan liar ini berdua dengan
(Lanjut ke Jilid 02)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
anakmu?"
Sambil menangis, Siok Nio lalu menceritakan pengalamannya, tentang malapetaka yang menimpa kampungnya dan yang mengakibatkan tewasnya suami dan puteranya dan yang menghancurkan seluruh rumah tangganya. Dia tentu saja menganggap bahwa puteranya juga tewas seperti suaminya, karena apakah daya seorang anak laki laki berusia enam tujuh tahun seperti Beng Han?
Nikouw itu menarik napas panjanu, lalu berkata.
"Omitohud! Telah banyak pinni (saya) mendengar tentang kerusakan ini. Semoga Tuhan segera membebaskan kita dari keadaan yang amat buruk ini."
Dia lalu menatap wajah wanita muda yang masih menangis terisak-isak itu, dan ketika dia bertcmu pandang dengan sepasang mata kecil yang bening dari Beng Lian, wajah nikouw itu bersinar.
Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo