Kisah Tiga Naga Sakti 10
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
"Lo-enghiong, aku bersedia untuk ikut bersamamu menyambut tantangan mereka. Akan tetapi aku tidak berani berjanji untuk melawan mereka sebelum aku yakin betul akan keadaan mereka,"
Katanya dengan jujur.
Pek-bi Lojin maklum akan isi hati dara itu, maka dia mengangguk-angguk dan berkata.
"Memang seharusnya dalam segala hal kita berlaku hati-hati dan teliti, lihiap. Baiklah kau hanya ikut saja dan melihat keadaan mereka terlebih dulu."
Demikianlah, kakek itu lalu memerintahkan anak buah perampok untuk menyediakan dua ekor kuda yang baik. Setelah dua ekor kuda itu tersedia, Pek-bi Lojin dan Kui Eng berangkat meninggalkan tempat itu, menunggang kuda menuju ke Bukit Ma-kun-san. Biarpun mereka melarikan kuda dengan cepat, namun bukit itu tidak dapat dicapai dalam perjalanan satu hari. Terpaksa mereka harus bermalam di tengah jalan. Akan tetapi ternyata Pek-bi Lojin adalah seorang tokoh tua yang amat terkenal di daerah itu sehingga mudah saja bagi mereka berdua untuk mencari tempat bermalam di dalam hutan. Semua kaum liok-lim di daerah itu menganggap Pek-bi Lojin sebagai tokoh tua yang disegani, maka ketika melihat Pek-bi Lojin datang bersama seorang gadis yang cantik dan gagah, mereka menyambutnya dengan penuh kehormatan dan dua orang yang dianggap sebagai tamu agung itu diberi tempat bermalam yang layak dan disuguhi hidangan yang istimewa pula. Diam-diam Kui Eng kagum juga melihat pengaruh kakek itu di kalangan kaum liok-lim.
Pada keesokan harinya, Pek-bi Lojin dan Kui Eng melanjutkan perjalanan mereka dan menjelang tengah hari, sampailah mereka di kaki Bukit Ma-kun-san. Selagi mereka menahan kuda dan memandang ke atas, mereka melihat dari atas bukit turun serombongan orang berkuda dan setelah dekat, Kui Eng melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang memakai pakaian seragam dan ada gambar kipas hitam terbuka di baju bagian dada mereka. Maka dia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah para anggauta Kipas Hitam. Dugaannya memang benar.Setelah rombongan itu tiba di depan mereka, seorang di antara mereka yang memimpin rombongan itu meloncat turun dari atas kuda, menjura kepada Pek-bi Lojin sambil berkata.
"Ketua kami telah tahu akan kunjungan ji-wi, maka mengutus kami untuk menyambut dan mengantar ji-wi ke atas bukit"
Kui Eng kagum juga melihat kelihaian gerombolan ini yang telah tahu sebelumnya bahwa mereka berdua telah datang dan hendak naik ke bukit itu. Memang gerombolan Kipas Hitam mempunyai banyak anak buah yang disebar di mana-mana sebagai penyelidik maka sebelum mereka berdua tiba di tempat itu, para penyelidik telah lebih dulu memberi laporan ke sarang mereka sehingga ketua mereka dapat mempersiapkan penyambutan. Dengan sikap tenang dan gagah Pek-bi Lojin dan Kui Eng mengikuti para penyambut itu mendaki Bukit Ma-kun-san yang tidak berapa tinggi itu.
Di atas lereng bawah puncak nampak beberapa bangunan dari kayu yang kokoh kuat dan di depan bangunan-bangunan itu kelihatan orang-orang berkelompok sambil melihat kedatangan kedua orang tamu. Setelah tiba dekat, ternyata bahwa tiga orang ketua Hek-san-pang sendiri telah berdiri di situ menyambut kedatangan Pek-bi Lojin. Kakek ini segera melompat turun dari atas kuda, diturut oleh Kui Eng, kemudian mereka berdua melangkah maju sementara kuda mereka diurus oleh beberapa orang anak buah Hek-san-pang.
"Pek-bi Lojin, ternyata betul-betul engkau seorang tua yang gagah, berani datang memenuhi undangan kami!"
Kata Can Kok, saudara tertua dari tiga orang ketua Hek-san-pang itu. Orang ini tubuhnya kate dan mukanya hitam. Melihat tubuh yang pendek kecil itu, dengan lagak seperti seorang sasterawan sedang mengebut-ngebutkan sebuah kipas berwarna hitam yang lebar seolah-olah tubuhnya kegerahan, benar-benar membuat orang memandang rendah. Begini saja orang tertua dari Hek-san-pangcu? Pek-bi Lojin sudah berbisik kepadanya bahwa si kate muka hitam itu adalah Can Kok, dan berbisik pula bahwa dua orang yang lain adalah Can An dan Can Sam.
Akan tetapi Kui Eng tidak mengeluarkan kata-kata, hanya matanya saja memandang penuh perhatian dan penuh selidik. Can Kok bermuka hitam, bertubuh kate akan tetapi kepalanyabesar. Sepasang lengannya yang pendek itu nampak kuat dan berisi, sedangkan sepasang matanya tajam mengerling ke arah Kui Eng, membayangkan kekurangajaran dan kecabulan. Namun Kui Eng tidak perduli dan pura-pura tidak tahu. Dia sudah memperhatikan orang ke dua, yaitu Can An. Ji-pangcu (ketua ke dua) ini tubuhnya juga pendek kate seperti kakaknya, akan tetapi mukanya putih dan kedua matanya bersinar-sinar menunjukkan kecerdikannya. Bibirnya selalu tersenyum dan sikapnya angkuh sekali. Juga Can An memegang sebuah kipas hitam yang lebar dan terbuka.
Orang ke tiga sungguh berbeda dengan kedua orang kakaknya. Can Sam ini tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya membayangkan kesabaran, akan tetapi sepasang matanya berpengaruh sekali, sungguhpun terdapat tanda tanda kejujuran dan kebodohan pada wajahnya. Cara tokoh ke tiga ini membawa kipasnya membuat hati Kui Eng tercekat karena kipas itu tertutup dan dijepit pada gagangnya oleh kedua jari tangannya, bagaikan orang menjepit. Dari cara memegang kipas ini saja mudah diduga bahwa orang ke tiga ini tentulah seorang ahli totok jalan darah yang lihai.
Sesungguhnya orang ke tiga ini bukanlah adik kandung dari dua orang kate itu. Dia hanyalah seorang anak angkat dari orang tua kedua orang saudara Can itu dan diberi nami Sam dan memakai nama keturunan Can pula. Ilmu silat dari Can Sam memang lihai sekali dan bahkan tidak berada di bawah tingkat kepandaian dua orang kakaknya. Wataknya pendiam dan agak bodoh dan dalam segala hal, dia hanya menurut saja kepada dua orang kakaknya.
Setelah mendengar kata-kata sambutan dari Can Kok, Pek-bi Lojin lalu menjura dan menjawab.
"Sam-wi pangcu (tiga orang saudara ketua), kalau aku yan.g tua tidak memenuhi undangan kalian, tentu aku akan disebut pengecut. Sam-wi dengan jujur dan secara jantan telah mengirim tantangan kepadaku untuk mengadakan pibu, tanpa mengikut sertakan kawan-kawan atau anak buah kita. Hal ini memang amat baik untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul sehingga pertentangan tidak sampai menjadi berlarut-larut. Siapa merasa lemah dia harus tunduk. Karena tantangan pibu ini sam-wi lakukan dengan jujur, maka tentu saja aku tidak dapat menolaknya."
Jawaban dari Pek-bi Loiin itu mengandung sindiran bahwa dia tidak membawa anak buah dan tidak menghendaki pengeroyokan atau lain perbuatan curang dalam pertandingan yang akan diadakan nanti.
Tiba-tiba Can Kok tertawa mengejek dan berkata sambil menunjuk ke bawah bukit.
"Pek-bi Lojin, kau pandai bicara dan pandai mengejek, akan tetapi kau sendiri bukanlah seorang manusia yang jujur! Mengapa engkau membawa anak buah sebanyak itu yang kini berada di kaki bukit?"
Pek-bi Lojin terkejut dan menengok, demikian pula Kui Eng memandang dan memang benar, di bawah bukit itu terdapat serombongan orang yang memegang senjata dan sedang mendaki bukit sambil berteriak-teriak.
"Jangan kalian menyangka yang bukan-bukan! Mereka itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan aku!"
Kata Pek-bi Lojin setelah memperhatikan orang-orang di bawah itu. Dan pada saat itu seorang anggauta Kipas Hitam datang memberi laporan bahwa penduduk dusun San-lin-jung telah datang menyerbu
Can Kok tertawa mengejek dan berkata "Biarkan mereka naik. Hendak kulihat mereka itu ingin berbuat apa terhadap kita!"
Rombongan orang dusun itu dipimpin oleh seorang laki-laki tua yang memegang tombak, akan tetapi melihat keadaan napasnya yang terengah-engah ketika mendaki bukit itu, dapat diketahui bahwa dia adalah seorang biasa saja yang tidak memiliki kepandaian silat. Maka diam-diam Kui Eng merasa heran sekali mengapa orang seperti itu berani mati naik dan menyerbu sarang Hek-san-pang yang terkenal ganas dan kejam.
"Gerombolan Kipas Hitam! Hayo kalian kembalikan puterikul"
Orang tua itu berteriak sambil mengacung-acungkan tombaknya ke atas, diikuti oleh teriakan orang-orang dusun yang menuntut dikembalikannya puteri jung-cu (kepala dusun) mereka itu.
Can Kok si cebol yang berkepala besar dan bermuka hitam itu mengeluarkan suara menghina.
"Gak-hu (ayah mertua) mengapa bersikap seperti ini? Puterimu telah menjadi isteriku yang sah dan kami berdua sudah saling mencinta, mengapa gak-hu mendadak menimbulkan keributan? Tidak malukah kalau terdengar orang luar? Kami sedang menerima tamu, maka harap gak-hu suka kembali saja ke dusun. Besuk aku akan mengirim emas kawin yang telah kujanjikan kepada gak-hu!"
"Perampok hina! Siapa sudi menjadi mertuamu? Hayo kaukembalikan puteriku. Apa kau-kira di dunia ini tidak ada lagi pengadilan maka kau berani menculik anak gadis orang di siang hari?"
Teriak kepala dusun itu dengan mata mendelik saking marahnya.
"Sekali lagi, kuminta supaya kau pulang dan membawa kembali orang-orangmu ini!"
Can Kok berkata dan suaranya mulai mengandung ancaman, sedangkan tangan yang memegang kipas hitam itu mulai bergerak-gerak.
"Anjing rendah! Manusia berhati iblis! Kembalikan anakku"".. kembalikan"".
"
Kepala dusun itu tetap berteriak-teriak dan memaki-maki.
Tiba-tiba tubuh Can Kok melayang dan kipasnya dikebutkan ke arah kepala orang tua itu. Kalau kipasnya mengenai kepala kakek itu, tentu kepala itu akan pecah! Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan halus.
"Kejam! Lepas tangan!"
"Tringgg""!!"
Kipas itu terpukul ke samping oleh. sebatang pedang yang menangkis dengari cepat sekali.
"Ehh"..!"
Can Kok meloncat mundur dengan kaget dan juga marah karena ada orang berani mencampuri urusannya dan menangkis kipasnya. Lebih marah lagi hatinya ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa yang menangkis kipasnya dengan pedang itu adalah dara cantik yang tadi datang bersama Pek-bi Lojin. Kui Eng tadinya merasa ragu-ragu untuk membantu Pek-bi Lojin, oleh karena dia masih belum yakin betul akan kejahatan gerombolan Kipas Hitam. Akan tetapi ketika rombongan orang dusun itu datang menyerbu dan mendengar percakapan yang terjadi antara Can Kok dan kepala dusun, mengertilah dia bahwa gerombolan Kipas Hitam benar benar merupakan gerombolan penjahat yang kejam dan ganas. Mereka itu agaknya telah menculik dan memaksa puteri kepala dusun untuk menjadi isteri Can Kok. Bukan main marahnya hati gadis itu dan ketika dia melihat gerakan tangan Can Kok, dia telah bersiap sedia sehingga dapat menangkis dan menolong nyawa kepala dusun ketiga diserang oleh Can Kok yang berhati kejam itu.
"Aha...! Kiranya Pek-bi Lojin membawa seorang pembantu yang boleh juga kepandaiannya. Bagus, bagus!"
Can Kok berkata mengejek.
""Orang she Can,"
Kata Kui Eng dengan sikap garang.
""Tadinya aku masih ragu-ragu mendengar dari Pek-bi Lojin bahwa kalian adalah orang-orang jahat yang berhati busuk. Tidak tahunya kalian benar-benar amat jahat sehingga tidak malu-malu untuk menculik anak gadis orang. Sekarang tidak saja aku datang untuk membantu Pek-bi Lojin, akan tetapi juga untuk mewakili jung-cu ini minta kembali anak gadisnya!"
Can Kok membelalakkan matanya dengan marah. sekali, kipas di tangan kanannya dikibaskan dengan cepat di depan dadanya.
"Gadis itu telah menjadi isteriku, orang lain tidak boleh mencampuri urusan ini!"
"Keparat mesum! Kalau begitu aku harus membunuhmu!"
Teriak Kui Eng yang tidak dapat lagi menahan kemarahannya.
Dara ini sudah bergerak maju dan menyerang dengan hebat, mengelebatkan pedangnya yang mengeluarkan sinar menyilaukan mata. Can Kok cepat menutup kipasnya dan kini dia menggunakan kipas itu sebagai senjatanya Kipas di tangan Can Kok itu bukanlah kipas biasa. Gagangnya teibuat dari pada baja aseli dan ujung gagang kipas itu runcing sehingga kalau kipas itu ditutup merupakan dua batang senjata runcing yang dimainkan secara luar biasa. Memang inilah kelihaian tiga orang ketua Perkumpulan Kipas Hitam itu, dan permainan kipas mereka sebagai senjata ampuh memang amat terkenal. Kepandaian tunggal ini mereka pelajari dari suhu mereka dan selama mereka menjagoi di kalangan liok-lim jarang mereka menemukan tandingan.
Akan tetapi sekali ini Can Kok bertemu dengan Kui Eng, murid Lui Sian Lojin yang belasan tahun yang lalu pernah mengobrak-abrik sarang mereka, bahkan yang pernah membunuh susiok mereka. Setelah bertempur selama duapuluh jurus lebih, Kui Eng mulai dapat menekan permainan kipas lawannya dengan gerakan pedangnya, Melihat hal ini Can An dan Can Sam melangkah maju hendak mengeroyok.
"Apakah kalian hendak bertempur seeara keroyokan? Masih ada aku di sini!"
Pek-bi Lojin berseru.
Can Sam memandang dengan muka merah dan merasa ragu-ragu untuk maju. Akan tetapi Can An lalu mengebutkan kipasnya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang Pek-bi Lojin dengan hebat. Kakek itupun cepat menggerakkan goloknya menangkis dan sebentar saja mereka telah bertempur dengan seru dan mati-matian. Melihat ini, Can Sam lalu melompat maju, membantu Can An dan mengeroyok Pek-bi Lojin. Namun kakek yang gagah perkasa ini tidak menjadi gentar, melainkan memutar goloknya secara cepat dan hebat untuk melindungi tubuhnya dan juga untuk membalas serangan dua orang lawannya.
Sementara itu, kepala dusun dan para penduduk dusun yang menyerbu ke atas bukit, ketika melihat betapa secara tiba-tiba dan tak terduga terdapat seorang gadis muda cantik membantu mereka dan kini bahkan bertempur melawan Can Kok yang menculik puteri kepala dusun itu, semua berdiri menonton sambil tentu saja mengharapkan kemenangan di fihak dara itu. Mereka sudah bersiap sedia untuk membantu dan berkelahi mati-matian apabila anggauta Kipas Hitam turun tangan mengeroyok.
Melihat pertempuran antara tiga orang ketua gerombolan melawan Pek-bi Lojin dan Kui Eng, orang-orang dusun itu merasa tidak berdaya untuk membantu oleh karena setelah lima orang itu bertanding, bayangan mereka lenyap dan menjadi suram tertutup oleh berkelebatnya senjata-senjata mereka yang sinarnya bergulung-gulung sehingga sukarlah untuk membedakan mana kawan dan mana lawan. Oleh karena itu, mereka hanya menonton saja dengan mata kabur dan kagum.
Biarpun ilmu kepandaiannya tinggi, namun Can Kok tidak kuat juga menghadapi ilmu pedang dan kegesitan tubuh Kui Eng yang sengaja melompat ke sana-sini mempermainkan lawannya yang menjadi lelah dan pening karena harus berputaran mengejar bayangan dan yang gerakannya amat lincah dan cepat itu.
"Robohlah!"
Tiba-tiba Can Kok berseru keras sambil membuka kipasnya. Ketika dia mengebut, dari ujung kipasnya itu menyambar keluar tiga sinar hitam ke arah dada Kui Eng. Itulah tiga batang jarum hitam yang amat berbahaya. Namun, Kui Eng telah mendengar dari Pek-bi Lojin akan kelihaian dan kecurangan ketua Kipas Hitam itu mempergunakan jarum jarum rahasia yang disembunyikan di dalam kipas. Maka begitu dia melihat sinar hitam menyambar cepat dia mempergunakan pedangnya yang diputar dengan kecepatan kilat untuk menangkis. Terdengar suara nyaring halus dan tiga batang jarum itu tersampok runtuh semua.
"Heeeiiikkk!!"
Can Kok berseru pula sambil menggerakkan kipas. Kini terbang menyambar enam jarum, tiga meluncur ke arah leher dan yang tiga batang lagi menyambar ke arah paha Kui Eng. Serangan ini demikian cepatnya dan tak terduga-duga, malah disusul dengan pukulan kipas ke arah dada itu sehingga Kui Eng tidak sempat pula untuk menangkis semua serangan yang datang dengan berbareng itu. Dia maklum bahwa untuk menghindarkan ancaman maut itu dia harus mengandalkan ginkangnya.
"Haiiiitttt"".!"
Dara itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke atas dengan cepat sekali bagaikan seekor burung walet menyambar ke atas. Sambil melompat, digerakkannya kedua kakinya sehingga tubuhnya melayang ke depan dan melewati atas kepala Can Kok dan semua serangan itu dapat dielakkannya sekaligus!
Can Kok terkejut bukan main. Cepat dia nemutar kakinya dan untung bahwa dia memutar tubuhnya cepat-cepat karena pada saat itu Kui Eng sudah membalasnya dengan menyerang secara bertubi-tubi. Dengan gemas sekali karena lawannya mempergunakan senjata-senjata rahasia, kini Kui Eng mengeluarkan jurus-jurus ilmu pedangnya yang paling lebat, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan, apa lagi untukmengeluarkan senjata rahasia, bahkan untuk bernapaspun Can Kok merasa tidak sempat. Demikian cepat dan gencarnya datangnya serangan dari dara itu sehingga ujung pedang itu seolah-olah telah berubah menjadi belasan batang! Mata Can Kok menjuling karena bingung menghadapi kecepatan ini, dia berusaha untuk memutar kipas menangkis.
"Brettl!!"
Pedang Kui Eng membabat di tengah-tengah. kipas sehingga kipas itu pecah dan ujung pedang yang membabat kipas itu masih terus meluncur ke bawah, mengancam tangan yang memegang gagang kipas!
"Crook..."! Aughhh..."!!"
Can Kok menjerit kesakitan, kipasnya terlempar dan tangannya terbacok hampir putus!
Can Kok hendak melompat mundur , akan tetapi sebuah tendangan kaki kiri Kui Eng dengan cepat mengenai dadanya sehingga dia roboh terguling tak sadarkan diri. Dalam gemasnya, Kui Eng melompat maju hendak membunuh orang jahat itu, akan tetapi tiba-tiba dari samping menyambar pukulan yang hebat hingga terpaksa dia membuang diri untuk menghindarkan diri sambil memutar pedangnya membacok ke arah penyerangnya.
"Trangggg....!"
Pedangnya bertemu dengan gagang kipas yang dipergunakan oleh Cin Sam untuk menyerangnya tadi ketika orang ini berusaha menolong kakaknya. Biarpun Can Sam tidak berhasil melukai Kui Eng, akan tetapi dia telah berhasil menolong nyawa kakaknya dengan serangannya tadi.
Ternyata bahwa dengan pengeroyokan mereka berdua, Can An dan Can Sam berhasil mendesak Pek-bi Lojin sehingga kakek yang gagah perkasa ini merasa kewalahan juga. Dia hanya memutar-mutar goloknya untuk melindungi dirinya tanpa kuasa membalas sedikitpun juga. Namun berkat ilmu goloknya yang lihai, kedua saudara Can itu belum mendapat kesempatan untuk merobohkannya karena golok yang diputar itu seolah-olah membentuk suatu dinding baja yang luar biasa kokohnya. Kemudian mereka mendengar pekik Can Kok sehingga Can Sam segera meloncat dan berhasil menghindarkan Can Kok dari bahaya maut. Kini Kui Eng bertanding melawan Can Sam yang tidak kalah lihainya dibandingkan dengan orang pertama dari ketua Hek-san-pang itu, bahkan tenaga lwee-kang dari si tinggi kurus ini luar biasa kuatnya.
Setelah ditinggalkan oleh Can Sam dan hanya menghadapi seorang lawan saja, Pek-bi Lojin memperlihatkan keunggulannya. Goloknya menyambar-nyambar bagaikan halilintar di atas kepala Can An sehingga si kate ini menjadi bingung dan terdesak hebat pertempuran seorang lawan seorang ini terjadi dengan lebih seru lagi karena mereka melakukan serangan mati-matian dan mengerahkan tenaga dan kepandaian seadanya untuk merobohkan lawan.
Setelah kini hanya menghadapi Can An seorang, Pek-bi Lojin memperlihatkan kehebatannya. Goloknya menyambar dan tiba-tiba ketika kipas lawan menyambar ke arah kepalanya, dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah. Itulah Tee-tong-to!
"Wuuuttt....... crakkk! Aduhhh......!"
Can An menjerit dan paha kirinya hampir putus terbabat golok Pek-bi Lojin. Akan tetapi pada saat itu, Pek-bi Lojin juga memekik kesakitan, karena ketika roboh, Can An menyambitkan kipasnya yang mengenai pundak dan menancap di pundak kakek itu. Inilah kepandaian istimewa dari Can An. Sambitannya di lakukan pada saat dia terpelanting roboh sehingga sama sekali tidak diduga oleh lawan dan tenaga sambilannya ini kuat sekali. Berbareng dengan robohnya Can An dan Pek-bi Lojin, kawanan Kipas Hitam menyerbu dan Can Sam yang sudah merasa bingung dan kewalahan menghadapi pedang Kui Eng yang amat lihai itu cepat melompat mundur.
Melihat kawanan perampok Kipas Hitam maju, orang-orang dusun menjadi nekat dan bersorak gemuruh lalu maju pula dan menyerang dengan senjata mereka secara membabi-buta! Kui Eng maklum bahwa orang-orang dusun itu sama sekali bukanlah lawan kawanan penjahat Kipas Hitam yang pandai ilmu silat, maka dengan sekali lompatan saja dia telah tiba di dekat tubuh Can An, menyeret rubuh ketua ke dua ini dan dilemparkannya ke dekat tubuh Can Kok, kemudian sambil menodongkan pedangnya dia membentak nyaring.
"Tahan semua senjata! Can Sam, kalau kau tidak perintahkan anak buahmu mundur, kedua orang kakakmu ini akan kubunuh lebih dulu!"
Kui Eng menempelkan pedangnya secara bergantian di leher Can Kok dan Can An yang nasih merintih-rintih kesakitan. Melihat ini Can Sam terkejut sekali.
"Jangan bunuh mereka"".!"
Teriaknya dan dia lalu memberi tanda dengan suitan nyaring sehingga semua anak buahnya lalu mengundurkan diri dan memandang kepada ketua mereka dengan bingung dan khawatir.
"Can Sam, kita sudah berjanji untuk berkelahi dengan jujur tanpa ada pengeroyokan. Kalau kau memang laki-laki yang gagah, apabila engkau masih penasaran, marilah kau maju dan kaulawan aku sampai penentuan terakhir! Akan tetapi kalau kau hendak melakukan pengeroyokan dengan anak buahmu, aku akan membunuh kedua orang saudaramu ini, kemudian akan kubasmi habis seluruh anak buahmu!"
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara keras dan nyaring, dengan sikap yang gagah sehingga kawanan Kipas Hitam menjadi ketakutan. Melihat ini, Kui Eng makin berani dan semangatnya bernyala-nyala.
"Dengarlah, hai kalian para anggauta Kipas Hitam. Aku adalah Kui Eng, murid terkasih dari suhu Lui Sian Lojin yang dulu pernah memberi hajaran kepada kalian! Setelah mendapat ampun dari suhu, ternyata sekarang kalian melakukan kejahatan lagi. Maka, sekali lagi sekarang aku memberi ampun kepada kalian asalkan kalian suka membebaskan puteri kepala dusun itu dan membubarkan perkumpulan Kipas Hitam yang jahat ini. Berjanjilah!"
Can Sam sebetulnya adalah seorang yang tidak suka melakukan kejahatan dan dia hanya terbawa-bawa saja oleh kedua orang kakak angkatnya. Kini melihat betapa kedua orang kakaknya telah dirobohkan, maka habislah semangatnya untuk melawan dan dia tidak tahu harus berbuat apa. Melihat kegagahan Kui Eng dan mendengar bahwa Kui Eng adalah murid Lui Sian Lojin, maka dia dan kawan-kawannya menjadi gentar, maka dia lalu menjawab.
"Baiklah, lihiap. Kami menurut dan harap lihiap mengampuni jiwa kedua orang kakakku."
"Bebaskan puteri kepala dusun itu!"
Perintah Kui Eng dan beberapa orang anak buah Kipas Hitam cepat memasuki pondok dan tak lama kemudian mereka mengiringkan seorang wanita muda yang cantik dan ketika wanita ini melihat ayahnya, dia lari menubruk dan mereka berdua bertangis-tangisan.
"Sekarang kalian semua harus bubar dan meninggalkan bukit ini. Kalau lain kali aku bertemu dengan seorang di antara kalian dan melihat kalian berani melakukan kejahatan lagi, jangan menyesal apa bila aku terpaksa-berlaku kejam!"
Can Sam lalu memberi perintah dan semua anak buah Kipas Hitam lalu bubar turun gunung, cerai-berai dan lari mencari tempat baru. Sementara itu, beberapa orang dusun lalu menolong Pek-bi Lojin yang hanya terluka kulit dan dagingnya saja di bagian pundak dan tidak membahayakan keselamatan nyawanya.
Kemudian, barulah Kui Eng membebaskan Can Kok dan Can An, membiarkan Can Sam dan beberapa orang kawannya menolong mereka dan membawanya turun gunung. Orang-orang dusun dengan dikepalai oleh lurah mereka lalu membakari semua pondok gerombolan yang telah ditinggalkan oleh para penghuninya itu.
Kemudian beramai-ramai turun gunung, mengiringkan Kui Eng dan memanggul tubuh Pek-bi Lojin yang terluka. Kui Eng dipuji-puji dan dihormati sebagai seorang pahlawan dan namanya menjadi bahan sanjungan setiap orang. Oleh karena sepak terjangnya yang gagah perkasa dan pakaiannya yang berwarna hijau itu, maka orang-orang kampung memberi julukan Ceng-liong Lihiap (Pendekar Wanita Naga Hijau) kepadanya. Dia disebut naga karena sepak terjangnya tiada ubahnya seekor naga sakti yang mengamuk dan membasmi orang-orang jahat.
Pek-bi Lojin juga menerima penghormatan dan perawatan dari para penduduk dusun. Kakek ini menghaturkan banyak terima kasih kepada Kui Eng yang dijawab oleh dara perkasa itu dengari merendahkan diri. Setelah berpamit dari Pek-bi Lojin, Kui Eng lalu meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanannya.
Kui Eng merasa bimbang sekali karena dia tidak tahu harus pergi kemana. Menurut keinginan hatinya, dia hendak menyusul Ang Min Tek ke kota raja karena bayangan pemuda pelajar itu selalu teringat olehnya. Akan tetapi dia merasa berduka kalau teringat akan ibunya. Setelah sedemikian lamanya dia merantau, belum juga dia dapat mencari jejak ibunya. Maka dia lalu mengambil keputusan untuk menuju ke kota raja dengan jalan memutar dari barat, agar dia dapat melalui tempat-tempat yang belum pernah didatanginya untuk mencari-cari jejak ibunya, dan juga untuk meluaskan pengalamannya.
Kini tiba giliran Gan Beng Han yang perlu kita ikuti perjalanannya. Seperti telah kita ketahui, murid pertama dari Lui Sian Lojin ini merasa berduka sekali setelah dia ditinggalkan oleh sute dan sumoinya. Dia merasa bersedih karena sikap Kui Eng yang ternyata tidak mencintainya seperti yang dia dengar dari penuturan Beng Lian adiknya. Dan dia merasa khawatir karena sutenya, Bun Hong pergi seorang diri ke kota raja. Dia maklum akan keberanian Bun Hong, keberanian yang kadang-kadang terlalu sehingga meninggalkan kehati-hatian yang mungkin sutenya itu dapat terancam bahaya. Oleh karena itu, dia lalu berangkat meninggalkan ibu dan adiknya untuk menyusul Bun Hong ke kota raja.
Di sepanjang perjalanan itu dia selalu teringat kepada Kui Eng dan dengan segala kekuatan batinnya dia menindas perasaan sedih dan kecewa di dalam hatinya. Lagu cinta memang selalu mengandung nada-nada sedih dan kecewa, di samping nada-nada bahagia gembira, mengandung sorga dan juga neraka. Mengapa?
Cinta..."""
dari manakah anda datang tiba-tiba saja
melalui mata memandang cinta memenuhi hati mencipta sorga teramat indah
mengintai di balik senyum si dia
menyelinap di dalam gairah membara..."
Cinta..."""
ke manakah anda pergi
membawa segala keindahan mimpi
melempar hati ke dasar neraka
penuh kecewa dan duka nestapa
hilanglah semua harapan lenyaplah segala gairah yang ada hanya pedih merana...""
Beng Han teringat betapa bahagia hidupnya beberapa saat yang lalu, ketika dia masih dekat dengan sumoinya, dengan dara yang di cintainya. Dan tiba-tiba saja, dalam waktu sedetik semenjak dia tahu bahwa Kui Eng tida mencintanya, seakan-akan hancurlah segala-galanya dan kehidupan berubah menjadi derita dan siksa hati.
Mengapa demikian? Mengapa cinta hanya menjadi semacam permainan antara suka dan duka? Antara sorga dan neraka? Dan lebih banyak dukanya dari pada sukanya yang dibawa oleh cinta? Mengapa cinta tidak dapat kekal? Mengapa selalu timbul saja konflik bahkan sampai dengan perpecahan di antara orang-orang yang tadinya mengaku saling mencinta. Mengapa pula cinta menghancurkan hati orang yang tidak menerima balasan cinta, mendatangkan derita batin bagi orang yang mencinta sefihak saja? Mengapa?
Kita sudah terlalu mengotori kata "cinta"
Dengan berbagai penafsiran sehingga cinta yang sejati menjadi suram dan tidak nampak lagi. Yang biasa menempel di bibir kita sebagai cinta kasih, sebagai cinta suci dan sebagainya, yang menjadi kembang bibir di antara pria dan wanita, di antara sahabat, di antara orang tua dan anak, di antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan para dewanya, antara manusia dengan kebangsaannya, negaranya, dan sebagainya, kata "cinta"
Yang kita obral dau yang dengan mudah sekali kita ucapkan itu, sesmgguhnya patut kita selidiki lagi apakah semua itu benar-benar cinta!
Tidak mungkin menyelidiki pernyataan cinta orang lain, akan tetapi sudah jelas bahwa kita dapat menyelidiki pernyataan cinta kita sendiri dan mari kita sama menjenguk dan menyelami!
Si suami berkata kepada isterinya, atau isteri kepadi suaminya.
"Aku cinta padamu", akan tetapi di dalam pernyataan cinta ini biasanya terkandung sebab dan pamrih. Aku cinta padamu karena engkaupun cinta padaku, atau aku cinta padamu karena engkau memuaskan hatiku, melayaniku, menyenangkan hatiku. Jadi pada hakekatnya, cinta macam ini adalah suatu jual beli saja. Kita membeli dengan cinta untuk mendapatkan kesenangan! Marilah, kita bersikap jujur dan meneliti diri sendiri.
Tidakkah demikian keadaannya?Dan kalam pada suatu waktu, si dia yang kita cinta karena pelayanannya itu, baik sex, sikap manis, uang, atau apa saja, menolak untuk memberi pelayanan itu, maka kitapun menjadi marah! Dan cintapun kabur entah ke mana! Cinta seperti itu sifatnya hanya merupakan jembatan untuk penyeberangan kita ke arah kesenangan! Cinta seperti itu membuat kita ingin menguasai, memiliki, dimiliki, memberi, diberi, dan terutama sekali mengikat dia yang kita cinta itu kepada kita, menjadi milik kita dengan hak penuh dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun juga! Dan kalau pada suatu waktu dia yang kita cinta itu bermanis-manis dengan pria atau wanita lain, marahlah kita, dan perceraianpun terjadilah, cinta kita seperti itu hanya merupakan api yang dihidupkan dengan bahan bakar berupa kesenangan untuk diri kita sendiri.
Api itu masih bernyala selama bahan bakarnya masih ada. Kita masih mencinta selama dia yang kita cinta itu masih mendatangkan kesenangan, akan tetapi kalau bahan bakar itu habis, cintapun padamlah, bahkan kadang-kadang, sebagai akibat akibat cemburu dan sebagainya.
"cinta"
Kita itu malah bisa saja berubah menjadi "benci"! Apakah yang demikian itu benar-benar cinta sejati?
Sama halnya dengan cinta kita terhadap sahabat. Sahabat yang sudah seribu kali melakukan hal yang menyenangkan hati kita, kita cinta, akan tetapi satu kali saja dia melakukan hal tidak menyenangkan, maka cinta kita luntur, mungkin berubah menjadi benci. Cinta antara sahabat macam inipun pada dasarnya hanyalah digerakkan oleh nafsu ingin menyenangkan diri kita sendiri saja.
Demikian pula pengakuan cinta kita terhadap orang tua atau anak, terhadap Tuhan, pada dewa, terhadap bangsa, negara dan sebagainya. Pernahkah kita meneropong apa yang menjadi dasar dari pada perasaan cinta kita itu? Apa bila dibaliknya bersembunyi pamrih atau sebab karena kita ingin senang, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin, maka itu hanyalah jual beli saja dan karenanya palsu adanya.
Dan sudahlah pasti bahwa cinta yang seperti itu hanya mendatangkan konflik, seperti kesenangan macam apapun, mendatangkan puas kecewa, suka duka, tawa dan tangis. Karena cinta seperti itu pada hakekatnya hanyalah pengejaran kesenangan belaka, dan seperti setiap bentuk pengejaran kesenangan, kalau terdapat membosankan dan kalau tidak terdapat menimbulkan kecewa.
Cinta bukanlah sex semata, Cinta bukanlah kewajiban beiaka, Cinta bukanlah pengorbanan saja. Cinta bukanlah ini atau itu. Cinta tidak mungkin dapat digambarkan karena yang dapat digambarkan itu hanyalah benda mati, Cinta adalah hidup. Yang mengatakan bahwa cinta itu begitu atau begini hanya merupakan orang-orang yang sombong, dan pernyataan itu hanya merupakan pendapat-pendapat belaka Cinta bukanlah pendapat, karena setiap muncul pendapat, sudah pasti ada pendapat lain yang akan menentangnya. Cinta seperti kebenaran.
Tak dapat dimiliki, tidak dapat dipupuk, tidak dapat dipelajari, akan tetapi meliputi seluruh alam mayapada. Kita dapit mengenal apa yang BUKAN cinta, dan kalau yang BUKAN cinta itu kita buang semua, tiada yang ketinggalan, maka barulah terbuka kemungkinan kita mengenal apa yang kita namakan CINTA KASIH. Benci bukan cinta, cemburu bukan cinta, keinginan menyenangkan diri sendiri bukan cinta. Jelas bahwa kemarahan, iri hati, dengki, tamak, permusuhan, semua ini merupakan awan-awan gelap yang menutupi dai menyembunyikan sinar dari cinta kasih.
Bukan berarti bahwa kita harus menolak kesenangan. Sama sekali tidak! Kesenangan adalah wajar. Akan tetapi yang berbahaya adalah PENGEJARAN terhadap kesenangan itulah! Kesenangan akan muncul sepenuhnya, dengan indahnya, tanpa pengejaran, di mana ada cinta kasih, dan mungkin sudah tidak tepat pula dinamakan kesenangan. Tanpa cinta kasih, sex merupakan alat pemuas nafsu berahi belaka dan pengejarannya mendatangkan hal-hal yang kotor dan jahat. Akan tetapi, segala sesuatu, juga sex berubah menjadi lain sama sekali dalam sinar cinta kasih. Segala sesuatu yang kita lakukan akan bersih dan indah, karena sudah bebas dari pamrih menyenangkan diri yang bukan lain hanyalah pelampiasan nafsu-nafsu belaka, yang kasar dan yang halus, yang badaniah dan yang rohaniah.
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gan Beng Han adalah seorang pemuda yang gagah. Namun diapun masih terlihat oleh arus yang mengguncangkan kehidupan seluruh manusia di dunia ini, yaitu arus pementingan diri sendiri, pengejaran kesenangan diri pribadi. Oleh karena itu, kecewa dan berdukalah hatinya karena Kui Eng tidak membalas cinta kasihnya! Dia bukan berduka UNTUK orang yang dicinta! Melainkan berduka UNTUK diri sendiri yang tidak memperoleh apa yang diinginkannya. Akan tetapi, diam-diam Beng Han juga merasa kasihan kepada Bun Hong karena menurut cerita Beng Lian, Kui Eng mengaku pula bahwa dia tidak mencinta kepada pemuda itu, padahal dia maklum bahwa sutenya itu juga jatuh cinta kepada Kui Eng seperti dia pula.
Dia merasa kasihan dan juga terharu mengingat akan pengorbanan sutenya yang sengaja menjauhkan diri dan mengalah kepadanya, dan dia dapat membayangkan betapa hancur dan kecewa pula hati sutenya itu. Beng Han tersenyum sedih, mentertawakan diri sendiri. Dia dan sutenya menjadi korban asmara, dan orang yang membuat mereka kecewa dan berduka itu bukan lain adalah sumoi mereka sendiri! Betapa menyedihkan. Padahal mereka bertiga adalah saudara-saudara seperguruan yang sejak kecil hidup bersama dengan penuh keakraban dan kesetiakawanan. Dia merasa menyesal mengapa cinta begitu usil, menggoda hati dia dan sutenya sehingga tiga orang saudara seperguruan yang tadinya begitu akrab kini menjadi cerai-berai.
Beng Han teringat akan adiknya dan dia merasa girang bahwa Beng Lian telah mendapatkan seorang calon suami seperti Yap Yu Tek yang gagah perkasa. Diam-diam dia berdoa semoga nasib adiknya itu lebih baik dari pada nasibnya!
Begitulah kita manusia selalu melemparkan sepala kegagalan yang kita hadapi kepada NASIB! Semenjak kecil kita dilolohi kata "nasib"
Ini sehingga kita selalu mengatakan bahwa nasib kita sedang mujur, nasib kita sedang buruk dan sebagainya. Apakah "nasib"
Itu? Ada yang menghubungkannya dengan "kehendak Tuhan". Jadi kehendak Tuhankah bahwa kita harus celaka atau kita harus beruntung? Jadi kita ini apa? Benda-benda mati? Kita selalu menggunakan kata "nasib"
Untuk menghibur, untuk menutupi penyesalan kita, kekecewaan kita, juga untuk menutupi iri hati kita.
Kita tidak berani membuka mata memandang kelemahan kita sendiri, hati yang penuh dengan kecewa dan iri ini. Kecewa kalau kita rugi dan iri kalau melihat orang lain untung. Lalu kita menutupinya dengan kata-kata "sudah nasibku"
Atau "sudah nasib dia". Seperti keadaan Beng Han itu. Nasibkah yang menentukan sampai dia kecewa? Nasibkah yang membuat dia berduka? Betapa menggelikan, namun sungguh, kalau kita mau membuka mata, kita sendiri setiap saat bermain-main dengan kata nasib ini, baik melalui mulut ataupun hanya dibisikkan di dalam hati saja.
Dan ketahyulan yang dungu dan picik ini kita pelihara semenjak kita kecil sampai akhirnya kita tunduk dan menghambakan diri kepada NASIB! Seolah olah kita tidak kuasa atas diri kita sendiri, atas kelakuan kita sendiri, melainkan diatur oleh nasib. Padahal, seperti dapat kita lihat dari keadaan Beng Han, Tidak ada permainan nasib di situ, yang ada hanyalah permainan dirinya sendiri. Dia mengharapkan sesuatu, mengharapkan cinta Kui Eng harapannya tidak tercapai, dia kecewa dan berduka. Eh, kenapa dia mengatakan nasibnya buruk? Kalau dia tidak mengejar sesuatu, dia tidak akan kecewa, dan tidak akan ada pula yang dinamakan nasib buruk. Jadi nasib berada di tangan kita sendiri!
Beng Han yang sedang dirundung kepedihan hati itu mengharap agar pertunangan adiknya tidak akan mengalami gangguan. Akan tetapi, ketika dia mengenangkan pertunangan adiknya, teringatlah dia akan ucapan ibunya bahwa pernikahan adiknya itu tidak akan dapat dilangsungkan sebelum dia yang menjadi kakaknya itu menikah lebih dulu! Beng Han menghela napas berat. Selain Kui Eng, gadis manakah yang akan dapat menawan hatinya?
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali dia sudah memasuki sebuah dusun yang besar dan cukup ramai. Dusun Kiong-nam-teng ini memang memiliki daerah yang subur dan para petani di dusun itu dapat hidup cukup lumayan karena hasil sawah ladang mereka selalu baik. Karena baiknya hasil bumi ini, maka dusun itu makin lama makin ramai, dan perdagangan berjalan dengan lancar. Ketika Beng Han masuk ke dalam dusun, dia merasa heran mengapa pada hari itu tidak nampak seorangpun di sawah yang subur itu. Ketika dia memasuki dusun dan melewati rumah-rumah penduduknya, dia melihat para petani duduk berkelompok di depan rumah seperti sedang membicaiakan sesuatu yang amat penting dengan wajah penuh kekhawatiran dan kemarahan. Beng Han merasa heran dan ingin sekali tahu apa yang terjadi, akan tetapi dia sebagai seorang asing merasa kurang sopan untuk bertanya-tanya karena tidak baik mencampuri urusan orang lain.
Akan tetapi karena dia dapat menduga bahwa tentu telah terjadi atau akan terjadi sesuatu yang hebat hingga orang-orang dusun itu tidak pergi ke sawah pada hari itu, maka dia mengambil keputusan untuk berdiam di dusun itu dan melihat apakah gerangan yang terjadi. Setelah matahari naik tinggi, tiba-tiba para penghuni dusun itu keluar dari rumah dan mereka menuju kesebuah tempat terbuka di sudut dusun, berkumpul di situ. Tak lama kemudian, dari jurusan timur datang serombongan orang yang kedua tangannya terbelenggu seperti orang-orang tawanan dan mereka diiringkan oleh dua orang. Yang seorang berpakaian seperti seorang tosu dan yang seorang lagi berpakaian seperti seorang perwira tinggi.
Melihat ini Beng Han tidak dapat menahan keinginan tahunya lebih lama lagi, maka dia lalu mendekati seseorang petani tua dan berbisik kepadanya.
"
Lopek, sebetulnya apakah yang sedang terjadi? Siapakah mereka yang ditawan itu dan siapa pula tosu dan perwira itu?"
Dia mengira bahwa tawanan-tawanan itu tentulah penjahat-penjahat yang tertangkap.
Kakek petani itu menarik napas panjang, lalu menjawab dengan bisikan pula.
"Kongcu, agaknya kongcu adalah seorang pendatang dari jauh maka tidak tahu akan artinya semua ini. Perwira dan tosu itu adalah utusan-utusan dari kerajaan dan mereka datang untuk memberi hukuman kepada kepala dusun kami dan semua petugas yang memerintah dusun kami,"
Beng Han menduga bahwa kepala dusun beserta para pembantunya itu tentu telah melakukan semacam kejahatan maka akan dihukum oleh utusan dari kota raja. Akan tetapi kalau demikian halnya, kiranya para penduduk itu tidak akan kelihatan berduka, bahkan sepatutnya bergirang.
"Kejahatan apakah yang telah mereka lakukan?"
Tanyanya penasaran.
"Kejahatan?"
Kakek itu mengulang perkataan itu dengan muka sedih.
"Bukan kejahatan yang mereka lakukan, bahkan karena mereka melakukan kebaikan, maka sekarang mereka akan menerima hukuman!"
Tentu saja Beng Han terkejut dan terheran sekali mendengar ini dan dia memandang kepada kakek itu dengan mata terbelalak.
"Aneh sekali!"
Katanya dengan agak keras sehingga banyak orang menoleh dan memandang kepadanya.
"Bagaimana orang yang melakukan kebaikan dijatuhi hukuman?"
"Ssttt.... jangan keras-keras, kongcu, kalau terdengar oleh mereka, kita akan dihukum pula, Kepala dusun kami adalah seorang berhati mulia yang membela kami dan dengan diam-diam dia mengurangi pemungutan pajak sawah dan di dalam pelaporannya dia memperkecil jumlah dan luas sawah ladang kami. Akan tetapi celaka, perbuatannya yang hendak menolong kami itu diketahui oleh pembesar-pembesar atasannya sehingga sekarang datang dua orang utusan dari kota raja untuk menjatuhkan hukuman kepada dia dan para pembantunya.
"
Beng Han merasa penasaran dan juga timbul rasa kasihan terhadap para petugas yang biarpun melakukan penyelewengan tehadap tugasnya akan tetapi bukan untuk dimakan sendiri melainkan untuk meringankan beban rakyat yang dipimpinnya itu.
"Hukuman apakah yang akan dijatuhkan kepada mereka?"
"Entahlah, akan tetapi kami mendengar bahwa kepala dusun akan dijatuhi hukuman limapuluh kali cambukan sedangkan para pembantunya tigapuluh kali."
Sementara itu, rombongan orang yang dibelenggu itu telah sampai di tengah lapangan. Mereka terdiri dari tujuh orang laki-laki yang sudah berusia empatpuluh tahun lebih, dan mereka semua menundukkan muka, kemudian terdengar bentakan si perwira dan mereka bertujuh segera menjatuhkan diri berlutut di atas lapangan.
Perwira tinggi besar tadi menggiring mereka lalu memandang kepada semua orang dusun yang berkumpul dan berdiri di sekeliling tempat itu. Kemudian dia berkata dengan suara lantang.
"Kalian lihatlah baik-baik! Tujuh orang ini telah melakukan kecurangan dan mencatut hasil negara, mereka adalah pengkhianat-pengkhianat yang merugikan Negara. Menurut patut,mereka harus dihukum mati! Akan tetapi, Thio taijin yang berwenang dalam urusan ini telah memperlihatkan kebesaran dan kemurahan hatinya dan hanya menjatuhi hukuman cambuk saja. Biarlah hukuman ini menjadi contoh bagi semua orang yang berani membangkang dan melakukan kecurangan dalam hal pembayaran pajak!"
Setelah berkata demikian perwira itu lalu memberi tanda kepada seorang tentara untuk melaksanakan tugasnya. Baju kepala dusun dan para pembantunya ditanggalkan hingga tubuh atas mereka menjadi telanjang. Tujuh orang anggauta tentara yang menjadi algojo sudah siap dengan cambuk masing-masing di tangan kanan, menanti tanda.
Perwira tinggi itu mengangkat tangan kanan ke atas dan terdengarlah bunyi cambuk berdetak-detak memekakkan telinga seperti serombongan penggembala sedang membunyikan cambuk mereka untuk menggiring kerbau-kerbau ke kandang. Akan tetapi segera terdengar suara pekik dan rintihan kesakitan. Mana orang-orang tua dapat menahan cambukan yang dilakukan dengan sekuat tenaga itu? Baru sepuluh kali cambukan saja pada punggung yang telanjang sehingga kulit punggung terkelupas, dua orang di antara mereka telah menjadi lemas dan roboh pingsan!
Beng Han tidak dapat mengendalikan perasaan hatinya lebih lama lagi. Hatinya lebih condong kepada kepala dusun dan para pembantunya yang oleh kakek dusun tadi diceritakan sebagai orang-orang yang berhati mulia dan membela para penghuni dusun, dan yang kini menerima hukuman berat. Dia tahu bahwa orang-orang dusun yang bertubuh lemah ini, apa lagi di antara mereka banyak yang sudah tua, kalau menerima hukuman cambuk seperti itu lebih lama dan dibiarkan saja tentu tidak akan kuat dan akan tewas.
Dengan bentakan marah pemuda ini melompat, sekali bergerak dia telah berada di depan seorang algojo yang melaksanakan tugas menghukum itu dan sekali tangannya meraih, cambuk itu telah dirampasnya. Algojo yang bertubuh tinggi besar itu terkejut, marah dan hendak memukul, akan tetapi Beng Han menampar dan tangannya menyambar kepala orang itu. Si algojo terpelanting dan bergulingan di atas tanah sambil memegangi kepalanya dan meraung-raung karena kepalanya terasa nyeri sekali seperti terpukul besi saja!
Perwira tinggi besar dan tosu yang mengawal para hukuman itu bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka itu adalah jagoan-jagoan utama di antara kaki tangan Thio-thaikam yang sedang bertugas memeriksa dan menghukum kepala kampung di dusun Kiong-nam-teng itu karena kepala dusun ini terlalu membela rakyatnya. Perwira tinggi besar itu bukan lain adalah Bong Kak Im, kakak dari Bong Kak Liong.
Perwira ini lihai bukan main dan dalam deretan para pembantu Thio-thaikam, dia adalah termasuk jago nomer dua. Adapun Bong Kak Im dan Bong Kak Liong itu adalah tokoh-tokoh dari Hoa-san-pai yang telah memiliki tingkat ilmu kepandaian yarig tinggi sekali, akan tetapi sayang bahwa keduanya adalah murid-murid murtad yang telah melakukan penyelewengan sehingga mereka diusir dan tidak diakui lagi oleh partai persilatan Hoa-san-pai yang terkenal. Kedua kakak beradik ini tentu saja tidak akan berani bersikap sewenang-wenang karena mereka selalu diawasi oleh bekas perguruan silat mereka. Akan tetapi, semenjak mereka memperoleh kedudukan, terpakai oleh Thio thaikam dan menjadi perwira-perwira kepercayaan pembesar itu, tentu saja kedudukan mereka menjadi kuat, berkuasa dan terlindung sehingga selanjutnya Hoa-san-pai sama sekali tidak berani mencampuri urusan mereka! Siapa yang berani menentang dua orang perwira Bong yang menjadi kepercayaan Thio-thaikam itu? Salah-salah bisa dicap pemberontak dan dibasmi oleh pasukan pemerintah!
Adapun tosu yang ikut menjalankan tugas menghukum kepala dusun itu bukan lain adalah Tek Po Tosu, kakek yang amat lihai dan menjadi pelindung atau pembantu utama dari Thio-thaikam. Tek Po Tosu ini adalah seorang murid yang telah tidak diakui lagi oleh partai persilatan Kong-thong-pai di lereng Pegunungan Kun-lun. Seperti halnya kedua orang saudara Bong itu, setelah dia menjadi kepercayaan Thio-thaikam, tidak ada lagi orang yang berani menentangnya dan Kong-thong-pai terpaksa pura pura tidak mengenal tosu ini. Perwira Bong Kak Im merasa marah sekali melihat munculnya seorang pemuda gagah dan tampan dan yang lancang sekali berani menyerang algojo yang sedang menjalankan pekerjaannya.
"Bangsat rendah, apakah engkau hendak memberontak?"
Bentaknya sambil melangkah maju menghampiri Beng Han.
"Perwira kejam, jangan kau menggunakan kedudukan untuk menyiksa orang baik-baik!"
Beng Han balas membentak dan menentang pandang mata mengancam dari perwira itu dengan berani.
Kedua bola mata Bong Kak Im yang besar itu berputaran mendengar ucapan pemuda itu "Bocah gila! Tidak tahukah engkau bahwa kau sedang berhadapan dengan seorang perwira dari kota raja? Kau tidak tahu siapa aku, hah?"
"Tentu saja aku tahu siapa adanya orang macam engkau ini,"
Jawab Beng Han marah.
"Engkau adalah seorang perwira bayaran yang kejam dan ganas, yang menganggap bahwa di dunia ini tidak ada orang lain yang akan berani menentangmu! Engkau mengandalkan kedudukan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata! Akan tetapi aku, Gan Beng Han, sama sekali tidak takut kepada seorang manusia iblis macam engkau!"
"Kurang ajar!"
Bong Kak Im yang selamanya dihormati orang itu tentu saja menjadi marah bukan main. Sambil membentak, dia sudah menerjang maju, memukul dengan tangan kanannya.
(Lanjut ke Jilid 11)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
Pukulannya kuat dan cepat sekali datangnya.
Akan tetapi Beng Han sudah bersiap sedia. Cepat dia mengelak dan membalas dengan serangan yang cepat pula. Diam-diam Bong Kak Im terkejut dan menangkis pukulan pemuda itu. Tadinya Bong Kak Im memandang rendah pemuda ini yang dianggapnya seorang pemuda biasa saja yang tahu akan sedikit ilmu silat dan hendak kegagah-gagahan seperti pendekar. Akan tetapi begitu melihat gerakan Beng Han ketika mengelak dari pukulannya dan balas menyerang, tahulah dia bahwa pemuda ini bukanlah orang yang boleh dipandang ringan begitu saja. Kini timbul dugaannya bahwa agaknya pemuda inilah yang menjadi tulang punggung sehingga lurah dan para petugas di dusun itu berani membangkang perintah. Agaknya pemuda inilah yang mendatangkan keberanian dalam hati mereka yang menganggap telah mempunyai seorang jagoan yang pandai.
"Bagus! Kiranya engkau ini agaknya yang berdiri di belakang mereka!"
Bentaknya dan kini Bong Kak lm mengeluarkan teriakan keras sekali dan tiba-tiba dia telah mencabut keluar sepasang senjatanya yang luar biasa dahsyatnya dan yang mengerikan hati orang-orang yang melihatnya. Sepasang senjata itu adalah sepasang kapak besar dan tajam sekali sehingga ketika dia menggerakkan sepasang senjata itu, nampak sinar berkilauan menyilaukan mata. Sepasang senjata itu diputar-putar, mengeluarkan suara mengaung bagaikan auman harimau yang marah dan Bong Kak Im sengaja mainkan kedua buah senjata itu selain untuk memamerkan ilmu kepandaiannya yang hebat, juga untuk menggetarkan hati lawannya.
Orang-orang dusun yang melihat perwira itu memutar-mutar sepasang senjata yang demikian mengerikan, tak terasa lagi mengeluarkan suara ketakutan dan mereka mundur menjauh. Hal ini membuat hati Bong Kak Im bangga bukan main. Akan tetapi, Beng Han hanya tersenyum tenang dan pemuda inipun lalu mencabut pedangnya dan menghadapi lawan dengan pedang melintang depan dada.
Sikap pemuda ini yang ternyata tidak gentar melihat sepasang kapaknya, bahkan men cabut pedang dan menantang tanpa kata, kemarahan Bong Kak Im menjadi makin berkobar. Dia mengeluarkan seruan keras seperti biruang menggeram, lalu menerjang sambil mengobat-abitkan sepasang kapaknya, menyerang ke arah kepala dan pinggang Beng Han. Agaknya, sekali bacok saja oleh kapak yang lebar dan tajam itu, kepala pasti akan terbelah dan pinggang akan putus! Beng Han memiliki ketenangan dan kewaspadaan, dia tidak menjadi gentar menghadapi serangan sepasang senjata yang amat kuat dan ganas itu, seperti seekor naga sakti muncul dari tengah samudera, Beng Han menghadapi sepasang kapak lawan dengan elakan dan tangkisan yang teratur dan rapi sekali. Langkah-langkah kakinya tegap dan tetap, gerakannya kokoh kuat dan tangkisannya disertai
tenaga yang dahsyat.
Bong Kak Ini merasa heran sekali oleh karena setiap kali kapaknya kena tertangkis, dia merasa tangannya tergetar. Bukan main hebatnya tenaga pemuda ini yang mampu menggetarkan tangannya. Padahal, kapaknya telah dia gerakkan dengan pengerahan sinkang, dan jarang ada orang yang mampu menangkis kapaknya itu, apa lagi kalau tangkisan itu hanya dilakukan dengan sebatang pedang, senjata yang ringan. Hal ini membuktikan bahwa pemuda yang dihadapinya ini benar-benar bukan orang sembarangan saja dan dia makin merasa heran, akan tetapi juga merasa penasaran sekali. Malu sekali rasanya kalau sampai dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini, apa lagi pertempuran itu ditonton oleh banyak penghuni dusun, apa lagi oleh lurah dan para pembantunya, yang tentu akan girang sekali kalau sampai dia kalah. Maka dia lalu mengeluarkan geraman-geraman hebat bagaikan seekor harimau marah. Bong Kak Im mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk merobohkan pemuda itu.
Di lain fihak, Beng Han juga terkejut bukan main menyaksikan kelihaian lawannya. Dia tidak pernah menduga bahwa perwira yang menjadi utusan Thio-taijin ini sedemikian tangguhnya. Diam-diam dia mengeluh karena kalau di kota raja terdapat banyak perwira yang setangguh ini, maka pasti Bun Hong akan mengalami bencana besar. Baru saja dia membagi pikirannya teringat akan bahaya yang mengancam Bun Hong, hampir saja lambungnya terobek oleh ujung kapak yang menyambar.
"Trangggg""..!"
Untung dia masih dapat menangkis dan tangannya kesemutan ketika pedang itu bertemu dengan kapak secara keras sekali.
Beng Han lalu mencurahkan seluruh perhatiannya dan memainkan pedangnya sebaik mungkin. Dia maklum bahwa lawannya ini tangguh bukan main. Untuk dapat menjatuhkan lawan yang jelas memiliki ilmu kepandaian yang tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaiannya sendiri, dia harus menyerangnya dengan serangan-serangan maut dan kalau perlu menewaskannya, karena kalau tidak, tentu dia sendiri yang akan celaka. Maka Beng Han lalu mengubah gerakan pedangnya yang kini lenyap bentuknya, berubah menjadi segulung sinar terang yang menyambar-nyambar ganas.
Sinar pedangnya berkelebat bagaikan kilat menyambar dan mencari lowongan di antara gulungan sinar dua batang kapak itu, sehingga Bong Kak Im terpaksa harus berlaku hati-hati dan melakukan perlawanan sambil mundur karena ujung pedang lawannya itu beberapa kali hampir saja menusuk lehernya! Pertandingan menjadi makin seru dan hebat, semua mata para penonton yang terdiri dari orang-orang biasa itu menjadi kabur dan silau oleh sinar-sinar senjata dan mereka merasa ngeri mendengar bunyi berdesing-desing dan mengaung-ngaung, apa lagi ditambah dengan sambaran angin yang bersuitan.
Tek Po Tosu kehilangan sabarnya ketika melihat betapa Bong Kak Im belum juga dapat merobohkan pengacau itu, bahkan mendesakpun tidak mampu. Tosu ini lalu melompat dan mengirim serangan dengan kebutan ujung lengan bajunya ke arah leher Beng Han. Pemuda ini terkejut sekali karena kebutan lengan baju itu mengandung tenaga sinkang yang amat besar. Dia cepat menangkis dengan sampokan tangan kirinya yang dikerahkan dengan tenaga sinkang sekuatnya dan kebutan ujung lengan baju itu terpental. Terkejutlah Tek Po Tosu dan kini mengertilah dia mengapa Bong Kak Im tidak mampu mendesak pemuda ini karena memang pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Jelas pemuda ini bukan pemuda dusun itu. Dia merasa terheran, karena dari mana datangnya seorang pemuda yang demikian lihainya?
Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo