Kisah Tiga Naga Sakti 11
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
"Tahan dulu!"
Seru Tek Po Tosu dengan nyaring sambil mencabut siang-kiamnya, yaitu sepasang pedang yang mengeluarkan sinar berkeredepan, meloncat ketengah medan pertempuran dan menahan kedua orang yang sedang bertanding itu dengan sepasang pedangnya. Bong Kak Im melompat ke belakang dan juga Beng Han tidak mau mengejar. Dia berdiri melintangkan pedang di depan dada dan memandang tajam kepada tosu yang lihai sekali itu.
"Orang muda, sebetulnya apakah kehendakmu membuat kekacauan ini?"
Tanya Tek Po Tosu dengan suara halus.
Melihat sikap orang yang halus dan melihat pula bahwa yang dihadapinya adalah seorang berpakaian pendeta atau pertapa, maka Beng Han juga menjawab dengan sikap sopan.
"Totiang, sebagai seorang pendeta tentu totiang tahu betul tentang perikemanusiaan. Saya datang mencampuri urusan ini tiada lain karena terdorong oleh rasa perikemanusiaan. Pembesar atasan telah melakukan pemerasan terhadap rakyat kecil, terutama para petani miskin dengan memasang tarip pajak yang mencekik leher. Itu namanya perbuatan yang melanggar perikemanusian. Kemudian, kepala dusun ini dan para pembantunya yang menurutkan dorongan perikemanusiaan pula, membantu para petani miskin dan meringankan beban pajak mereka, akan tetapi perbuatan yang baik ini bahkan mendapatkan hukuman kejam dari perwira ini. Apakah saya yang dididik untuk mengabdi prikemanusiaan dan membela keadilan harus mendiamkan saja hal seperti ini terjadi?"
Tek Po Tosu tersenyum mengejek.
"Orang muda, jangan engkau mencoba untuk memberi pelajaran kepada pinto tentang perikemanusiaan yang palsu. Ketahuilah bahwa setiap negara mempunyai peraturan masing-masing dan rakyat jelata harus mentaatinya. Kalau ada yang tidak mentaati undang-undang itu berarti memberontak. Engkau yang digerakkan oleh hatimu yang lemah, kalau engkau membela kepala dusun ini dan melawan kami, berarti pula bahwa engkaupun memberontak, karena pada saat ini kami mewakili pemerintah melaksanakan hukum, yang telah ditentukan oleh pemerintah. Orang muda. apakah engkau ingin dianggap pemberontak?"
Beng Han tersenyum mengejek dan pandangannya terhadap tosu itu seketika berubah. Kiranya pendeta ini bukan mengurus soal-soal kebatinan dan perikemanusiaan, melainkan mengurus soal-soal keduniawian dan bahkan menjadi kaki tangan penindas rakyat! "Totiang semua ucapan totiang itu merupakan lagu lama bagiku! Memang alasan itulah merupakan perisai bagi para petugas dalam melakukan kekejaman mereka. Memberontak! Orang-orang lemah diinjak-injak, orang-orang miskin diperas, dicekik lehernya, orang baik baik dicambuki dan disiksa, kalau perlu dibunuh. Dan kalau mereka itu melawan? Mudah saja, lalu dicap pemberontak! Hemm. bagus, bagus! Akan tetapi aku tidak takut dicap pemberontak dan selama aku masih hidup, kekejaman macam ini tidak boleh berlangsung di depan mataku!"
"Pemberontak hina bosan hidup!"
Bong Kak Im sudah membentak dan menyerang lagi dengan sepasang kapaknya. Beng Han segera menangkis dan balas menyerang. Segera terjadi pertempuran yane amat hebat di antara k dua orang yang lihai ini.
Tek Po Tosu maklum akan kelihaian pemuda ini, maka dia tidak mau tinggal diam dan cepat menggerakkan siang-kiamnya untuk mengeroyok, ilmu kepandaian tosu ini masih lebih tinggi dari pada kepandaian Bong Kak Im, maka tentu saja Beng Han merasa repot dan terdesak sekali ketika kedua orang lawannya itu maju bersama. Menghadapi satu lawan satu saja tidak akan mudah baginya untuk memperoleh kemenangan, apalagi kini dikeroyok dua dan tosu itu ternyata memang amat lihai sekali.
Akan tetapi, tidak percuma Lui Sian Lojin menggembleng pemuda ini dengan ilmu silat tinggi. Kakek sakti itu telah pula menciptakan semacam ilmu pedang khusus untuk menghadapi pengeroyokan lawan yang lebih kuat. ilmu pedang ini disebut Dewa Berpayung Menolak Hujan. Pedangnya diputar cepat sekali membentuk dinding baja bundar seperti payung yang melindungi reluruh tubuhnya dari serangan kedua orang lawannya yang amat tangguh itu. Jurus ini mengandalkan kecekatan dan juga kekuatan pergelangan tangan karena pedang itu diputar seperti kitiran angin cepatnya.
Betapapun juga. ilmu silat Tek Po Tosu dan Bong Kak Im sudah mencapai tingkat yang tinggi, maka dengan kerja sama mereka, empat buah senjata di kedua tangan mereka merupakan bahaya maut yang mengancam nyawa Beng Han. Oleh karena itu, biarpun jurus yang dipergunakannya amat hebat dan untuk sementara dapat membendung serangan kedua orang lawannya, sampai berapa lamakah dia akan sanggup mempertahankan diri tanpa dapat membalas sedikitpun juga? Sepasang kapak di tangan Bong Kak Im menyambar-nyambar dengan kekuatan besar sekali, sedangkan sepasang pedang tosu itu selalu mencoba untuk menerobos pertahanan pedangnya dengan gerakan gesit dan tenaga sinkang yang kadang-kadang menggetarkan pedangnya dan membuat gerakannya menjadi kacau.
Tek Po Tosu merasa penasaran dan malu karena dengan mengeroyok dua, belum juga dia dan perwira itu dapat merobohkan lawan, padahal mereka telah bertempur puluhan jurus lamanya! Jarang dia menjumpai lawan yang dapat bertahan bertempur melawannya sampai sekian lamanya, apa lagi kalau dikeroyok dua bersama Bong Kak Im yang bukan orang sembarangan pula.
"Haiiihhh".!!"
Tek Po Tosu yang merasa penasaran sekali mengeluarkan lengking panjang dan dia mendesak makin hebat dengan pedang di tangan kirinya, sedangkan pedang di tangan kanannya lalu dia simpan dan sebagai gantinya tangan kanannya mengeluarkan senjata rahasianya yang amat terkenal karena kelihaiannya. Senjata ini merupakan sehelai saputangan yang kedua ujungnya disatukan sehingga mirip bandringan, dan di dalamnya diisi dengan jarum-jarum. Apa bila saputangan itu dikebutkan, maka jarum-jarum halus itu beterbangan menyambar ke arah lawan. Kelihaian senjata rahasia ini adalah karena sambitan dengan saputangan yang merupakan bandringan ini sukar sekali diduga oleh lawan ke mana arah jarum-jarum itu menyerang. Apa bila jarum-jarum itu disambitkan biasa dengan tangan, maka gerakan tangan akan dapat dilihat dan diduga ke mana jarum-jarum diarahkan, sedangkan sapu tangan ini digerakkan oleh pergelangan tangan sehingga sukar diikuti oleh mata lawan.
Beng Han belum tahu senjata apakah yang dikeluarkan oleh lawannya itu, dan tahu-tahu tosu itu telah membentak.
"Robohlah!"
Saputangannya dikebutkan dan pedang di tangan kiri tosu itu mendahului dengan serangan kilat sehingga Beng Han yang pada saat itu sedang mengelak cepat dari sambaran kapak Bong Kak Im, terpaksa harus menangkis pedang yang menyambar ke arah dadanya itu.
"Tranggg""..!"
Bunga api berpijar dan sinar bunga api yang berpijar dari pertemuan kedua pedang itu bercampur dengan sinar-sinar hijau yang tiba-tiba keluar dari saputangan yang dikebutkan oleh tosu itu.
Beng Han terkejut bukan main. Dia sedang menangkis pedang dan pandang matanya silau oleh bunga api yang bercampur sinar-sinar hijau itu. Akan tetapi tahulah dia bahwa itu adalah senjata rahasia musuh, maka cepat dia berseru keras sambil melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran senjata-senjata jarum kecil itu. Akan tetapi, sebatang di antara jarum-jarum itu masih menancap di pundak kirinya dan karena tepat mengenai urat besar, Beng Han merasa betapa seluruh lengan kirinya menjadi lumpuh!
Kesempatan ini dipergunakan oleh Bong Kak Im yang menyerang dengan menggerakkan sepasang kapaknya, menyambar ke arah kepala dan dada Beng Han, dibarengi bentakan menyeramkan dari perwira itu. Beng Han sedang terlentang dalam bergulingan tadi dan melihat datangnya sepasang kapak yang amat hebat dan cepat, agaknya pemuda itu takkan tertolong lagi kalau tidak kepalanya pecah tentu dadanya akan berantakan!
Akan tetapi Beng Han memiliki ketabahan dan ketenangan yang luar biasa sehingga biarpun nyawanya telah bergantung kepada sehelai rambut dan keadaannya berbahaya sekali, dia tidak pernah kehilangan akal. Kalau dia merasa ngeri dan takut tentu dia akan menjadi bingung dan hal ini akan melenyapkan nyawanya. Namun, murid pertama dari Liu Sian Lojin ini tidak menjadi bingung atau kehilangan akal. Ketika dia melihat datangnya serangan maut, melihat betapa kapak itu datangnya tidak berbareng, yaitu yang di tangan kanan datangnya lebih dulu menghantam kepalanya dan kapak kiri yang kedua menyusul ke arah dada, cepat sekali pemuda itu menggerakkan kepalanya, miring sehingga dengan suara keras kapak itu lewat dekat sekali dengan telinganya dan menancap di atas tanah. Dan pada saat itu juga Beng Han melakukan gerakan nekat, yaitu dengan pedangnya dia menusuk ke arah tangan kiri Bong Kak Im untuk mendahului lawan itu yang menggunakan kapaknya menghantam ke arah dadanya.
"Hehh"".!!"
Bong Kak In terkejut bukan main. Kalau serangan kapak kirinya itu dia teruskan, sebelum kapak mengenai dada lawan, tentu lebih dulu pergelangan tangan akan tertusuk pedang, maka dia cepat menarik kembali tangan kirinya, akan tetapi dia melepaskan kapaknya sehingga senjata ini terus meluncur ke bawah, ke arah dada Beng Han! Sekali ini pemuda itu terkejut bukan main karena serangan lawan ini sungguh tak pernah disangkanya. Tadinya dia mempunyai perhitungan bahwa dengan serangan balasan itu, tentu lawannya akan menarik kembali tangan bersama kapaknya, tidak tahunya perwira ini melanjutkan serangannya dengan melepaskan kapak itu yang terus menghunjam ke arah dadanya sambil menarik tangan untuk menghindarkan tangan itu dari tusukan pedang.
Beng Han berseru keras sekali, melengking panjang dan nyaring sambil menggulingkan tubuhnya, akan tetapi tidak cukup cepat untuk dapat menghindarkan tubuhnya sama sekali dari serangan itu, karena ketika tubuhnya bergulingan, kapak itu masih berhasil menyerempet dan melukai bahu kanannya. Bahu kanannya robek dan terluka, mengucurkan banyak darah!
Beng Han melompat berdiri dan biarpun dia merasa betapa bahu kanannya perih dan nyeri sekali, akan tetapi dia tidak pernah mau melepaskan pedangnya dan cepat dia menyerang Tek Po Tosu yang berada di dekatnya. Tangan kiri Beng Han tidak dapat digerakkan dan masih lumpuh, sedangkan darah tidak hentinya mencucur dari bahu kanannya, sehingga para penduduk dusun yang menyaksikan pertempuran itu dan yang tadi sudah memejamkan mata ketika melihat Beng Han diserang dengan kapak oleh perwira itu, kini merasa terharu dan kasihan sekali.
"Ha ha, orang muda, bersiaplah untuk binasa!"
Tek Po Tosu tertawa bergelak lalu menyerang dengan ganas, sedangkan Bong Kak Im telah mengambil kembali kapaknya dari atas tanah. Melihat hal ini, Beng Han maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat melawan terus, karena kalau dia terus melawan, berarti dia mencari mati. Biarpun andaikata dia masih akan dapat mempertahankan diri terhadap serangan dua orang tangguh itu, tetap saja dia akan roboh karena kehabisan darah. Tubuhnya sudah mulai terasa lemas dan kepalanya terasa pening.
"Maaf. saudara-saudara petani, sekali ini siauwte tidak dapat membela kalian!"
Serunya dengan hati kecewa dan melompat jauh. Kedua orang itu tidak mengejar, hanya tertawa bergelak saja karena mereka merasa gentar untuk mengejar pemuda yang lihai itu, apa lagi karena mereka menyaksikan betapa ilmu ginkang pemuda itu ketika melompat jauh amat hebat dan sebentar saja Beng Han telah lenyap dari pandang mata mereka. Kedua orang kepercayaan Thio-thaikam ini melanjutkan pelaksanaan hukuman yang tertunda itu dengan cepat dan segera meninggalkan dusun Kiong-nam-teng karena mereka khawatir kalau kalau pemuda kosen itu datang lagi membawa kawan-kawan yang pandai.
Dengan kepala terasa pening, tubuhnya lemas, dan bahu kanannya terasa nyeri dan panas sekali, Beng Han terus berlari memasuki hutan di luar dusun itu. Larinya mulai terhuyung dan akhirnya dia roboh di atas tanah bertilamkan rumput hijau. Yang terasa berat bukanlah luka di bahu kanan itu, karena biarpun luka itu mengeluarkan banyak darah, akan tetapi tidak berbahaya bagi tubuh Beng Han yang amat kuat. Akan tetapi, ternyata bahwa jarum rahasia yang menancap di pundak kirinya dan yang membuat seluruh lengan kirinya menjadi lumpuh itu mengandung racun yang jahat. Inilah yang membuat kepalanya menjadi pening dan tubuhnya lemas sehingga dia terguling dan roboh pingsan.
Ketika Gan Beng Han membuka kedua matanya, dia memandang ke kanan kiri dengan bingung. Seperti dalam mimpi saja ketika dia melihat seorang gadis berpakaian serba putih berlutut di dekat tubuhnya yang rebah di atas rumput. Beng Lian kah gadis ini? Dia memandang penuh perhatian. Kepusingannya masih menekan berat pada kepalanya, membuat pandang matanya kurang terang. Bukan, bukan adiknya, akan tetapi seorang gadis yang amat cantik dan yang sama sekali asing baginya. Cantik sekali seperti bidadari. Ah, bidadarikah dia ini? Sudah matikah dia maka bertemu dengan bidadari?
"Bidadari yang mulia, sudah matikah aku?"
Tanyanya dengan suara berbisik sehingga wanita itu harus mendekatkan kepalanya untuk dapat mendengar gerakan bibirnya. Tercium oleh Beng Han keharuman rambut yang panjang hitam itu. Wajah dara itu menjadi merah karena jengah mendengar bisikan Bong Han yang menyebutnya bidadari itu.
"Taihiap, kau terluka parah. Mari kuantar ke pondok suhu agar supaya engkau memperoleh perawatan yang baik."
Katanya.
Kini sadarlah Beng Han bahwa dia bukan sedang mimpi, juga bukan telah mati, dan bahwa dara itu bukan seorang bidadari melainkan seorang manusia, seorang dara yang cantik jelita dan yang hendak menolongnya. Dia tersenyum dan mencoba bangun duduk. Kepalanya berdenyut-denyut dan cepat dia memegangi kepala sambil mengeluh.
"Mari, taihiap, kalau terlambat aku khawatir mereka itu
akan datang ke sini "
Beng Han maklum akan kekhawatiran dara ini, maka dia lalu bangun dan berdiri, akan tetapi hampir saja dia terguling lagi kalau dara itu tidak cepat-cepat menyambar dan memegang lengannya. Kepalanya terasa berdenyut denyut dan tanah yang dipijaknya seakan-akan berubah menjadi gelombang lautan atau tiba-tiba ada gempa bumi besar sehingga seluruh tempat di sekelilingnya menjadi berputaran.
"Mari kubantu, taihiap. Tidak jauh pondok suhu dari sini,"
Kata gadis itu dengan suara halus.
"Terima kasih""..terima kasih"".
"
Bisik Beng Han dan dengan tersaruk-saruk dia melangkah lagi beberapa tindak, akan tetapi kembai dia menahan langkahnya dan menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Dara itu berlutut di sebelahnya.
"Bagaimana, taihiap, tidak kuatkah kau".?"
Tanyanya penuh kecemasan.
"Kepalaku"".. ah, kepalaku""."
Beng Han mengeluh sambil memejamkan matanya karena kalau mata itu dibukanya, dia merasa makin pening melihat segala sesuatu berputar-putar di depan matanya itu. Bahkan wajah dara yang sedang berusaha menolongnya itupun tidak dapat dia lihat dengan jelas, dan hal ini mengesalkan hatinya benar. Tiba-tiba dia merasa betapa jari-jari tangan yang halus dan lunak memijit-mijit kepalanya. Sentuhan ini mengurangi denyutan di dalam kepalanya.
"Enak"". enak dan nyaman sekali""."
Bisiknya dan makin asyiklah kedua tangan gadis itu memijit-mijit kepalanya.
"Taihiap, kita harus lekas pergi dari sini. Kalau kedua orang keparat itu lewat di sini kau akan mendapat celaka,"
Bisik gadis itu. Teringatlah Beng Han kepada dua orang lawannya yang tangguh. Maka dia lalu berdiri lagi dan berkata perlahan.
"Marilah, bawalah aku ke mana saja, aku percaya kepadamu"" "
Dan dia lalu memaksa dirinya melangkah maju, berpegang pada tangan dan pundak orang yang menolongnya itu, tidak ingat sama sekai bahwa orang itu adalah seorang dara yang muda dan cantik sekali!
"Kasihan"". lenganmu penuh darah"".."
Dia mendengar dara itu berkata perlahan dan suaranya seperti orang menahan isak. Beng Han diam saja, hanya berjalan terhuyung-huyung dan dipapah oleh dara itu. Dia memejamkan matanya, menurut saja ke manapun dia dibawa oleh penolongnya.
"Kasihan, pemuda gagah yang malang"""."
Kata gadis itu pula perlahan.
"Apa""..apa katamu"""..?"
Beng Han bertanya sambil membuka matanya dan mencoba untuk memandang wajah orang yang berjalan didekatnya itu, akan tetapi dia hanya melihat bayang-bayang saja.
"Wajahmu pucat sekali""."
Kata gadis itu, akan tetapi Beng Han tidak dapat mendengarnya lagi lanjutan kata-kata itu karena tiba-tiba dia mengeluh dan roboh pingsan dalam pelukan gadis itu yang cepat menyambut tubuhnya yang terguling. Dia tidak tahu betapa gadis itu dengan sigapnya lalu memondong tubuhnya dan berlari menuju ke sebuah pondok kecil di tengah hutan. Melihat tenaga dan kesigapan gadis itu dapat dimengerti bahwa sedikitnya dia tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang lumayan juga.
Beng Han siuman kembali dari pingsannya. Panca indranya bekerja kembali, kesadarannya yang tadi entah melayang ke mana sekarang telah berkumpul kembali. Dia tidak membuka matanya, takut kalau-kalau dia akan merasa pening lagi, dan dia tetap rebah terlentang mengumpulkan kesadaran dan ingatannya. Dia masih merasa bingung. Tiba-tiba suara yang tadinya hanya merupakan bisikan-bisikan dari jauh itu makin terdengar nyata.
""".. jarum itu tepat mengenai urat besar dan racun dari jarum itu telah mengotorkan darahnya. Untung sekali tubuhnya kuat sehingga dalam tubuhnya terdapat daya penolak yang cukup kuat,"
Terdengar suara orang yang diucapkan dengan lemah-lembut, seperti suara orang yang telah lanjut usianya dan tenang batinnya.
"Dia memang gagah dan berbudi, patut kita rawat dan kita tolong sampai sembuh betul. Harap saja totiang sudi menolongnya sedapat mungkin,"
Kata suara orang lain.
"Pinto akan berusaha sedapat mungkin, dan pinto yakin bahwa dia akan sembuh kembali, walaupun akan makan waktu yang agak lama."
Kata suara lemah lembut tadi.
Beng Han membuka matanya dengan perlahan.
"Dia siuman kembali""!"
Tiba-tiba terdengar suara yang merdu dan halus, suara yang membuat Beng Han teringat akan semua peristiwa yang dialaminya, karena suara inilah yang tadinya merupakan teka-teki baginya.
Ketika dia siuman tadi, suara ini seperti terngiang-ngiang di dalam rongga telinganya, membuat dia memutar-mutar otak untuk mengingatnya, akan tetapi tidak juga dia dapat mengingat siapa orang itu atau suara siapakah yang menggema di dalam telinganya itu. Kini setelah suara itu terdengar oleh telinganya, teringatlah dia bahwa suara yang halus merdu itu adalah suara orang yang telah menolongnya! Dia membuka matanya dan pertama-tama yang dilihatnya adalah wajah seorang tua yang berpakaian seperti seorang tosu.
Pendeta ini sudah tua sekali, rambut dan jenggotnya sudah putih semua dan wajahnya membayangkan ketenangan dan kebijaksanaan, Beng Han mengalihkan pandang matanya dan kini dia mulai mencari-cari dengan pandang matanya yang sudah terang kembali. Dia melihat wajah kepala dusun yang mendapat hukuman dari dua orang utusan Thio-thaikam dan yang telah dibelanya itu, akan tetapi dia tidak memperdulikan pandang mata penuh kagum dan terima kasih dari orang tua ini, dan segera dia melayangkan pandang matanya ke arah lain, mencari-cari. Beberapa buah wajah orang yang dikenalnya sebagai pembantu-pembantu kepala dusun itu dilewatinya saja dan akhirnya bertemulah dia dengan wajah yang dicari-carinya.
Wajah seorang dara yang memiliki sepasang mata yang indah sekali, membayangkan kemesraan dan kehalusan, wajah vang manis dan bersih, wajah seorang bidadari! Pandang mata Beng Han menatap wajah itu dan perlahan-lahan bibirnya tersenyum. Tiba-tiba wajah cantik itu menjadi merah sampai ke telinganya dan mata yang halus lembut sinarnya itu menunduk malu, mengerling dari bawah, akan tetapi mulut yang kecil itu tersenyum manis.
"Terima kasih"".."
Beng Han berbisik.
"Taihiap,"
Kata kepala dusun itu dengan suara hoimat.
"kami merasa bersyukur sekali melihat bahwa taihiap dapat disembuhkan kembali. Kegagahan taihiap yang telah berani mengorbankan diri untuk membela kami, sungguh mengagumkan hati, dan kami berterima kasih sekali kepadamu."
Beng Han menarik napas panjang.
"Sayalah yang harus menghaturkan terima kasih karena kenyataannya...".. ah, bukan saya yang menolong cuwi, akan tetapi bahkan sebaliknya cu-wi yang telah menolong saya."
Pemuda itu merasa kecewa sekali. Tadinya dia hendak menolong penduduk dusun dari perbuatan sewenang-wenang, akan tetapi kenyataannya, dia malah terluka dan kini sebaliknya penduduk dusunlah yang menolongnya.
"Taihiap tidak perlu kecewa."
Kata tosu yang suaranya halus itu.
"agaknya taihiap tidak tahu siapa adanya dua orang yang taihiap lawan itu. Mereka adalah jago-jago nomor satu dari Thio-thaikam. Tosu itu adalah Tek Po Tosu yang menjadi penasihat dan pengawal pribadi Thio-thaikam, sedangkan perwira itu adalah jagonya yang bernama Bong Kak lm. Kepandaian mereka itu lihai bukan main. akan tetapi, dengan seorang diri saja taihiap dapat bertahan menghadapi mereka, sungguh kegagahan itu jarang terdapat!"
"Totiang terlalu memuji. Sebaliknya siapakah totiang yang telah menolong saya?"
Tosu itu tersenyum ramah.
"Tidak ada sebutan menolong dalam hal ini, taihiap. Pinto adalah seorang yang mengerti akan soal pengobatan, maka sudah sepatutnyalah kalau pinto merawat dan mengobati setiap orang yang menderita sakit. Pinto disebut Bin Ho Tojin, dan yang menemukan taihiap di dalam hutan lalu membawa taihiap ke sini adalah murid pinto yang bernama Giok Hong, atau juga puteri dari kepala dusun Yo ini "
Terkejutlah Beng Han mendengar penjelasan ini. Tidak tahunya dara yang seperti bidadari itu, yang telah menolongnya dan membawanya ke sini, adalah murid seorang berilmu dan puteri dari kepala dusun itu sendiri "Ah, kalau begitu saya telah menerima budi cu-wi""."
Dia hendak bangkit duduk dan menghaturkan terima kasih, akan tetapi tubuhnya terasa lemas sekali sehingga terpaksa di rebah lagi.
"Harap jangan banyak bergerak, taihiap,"
Kata Bin Ho Tojin.
"Ketahuilah bahwa kau telah rebah dan pingsan selama lima hari. Taihiap harus banyak beristirahat dan minum obat yang pinto sediakan untuk membersihkan darahmu dari racun."
Beng Han hanya dapat mengangguk dan sambil mengerling ke arah Giok Hong yang masih berdiri di sudut, dia berbisik lagi.
"Terimakasih"".."
Setelah itu, dia memejamkan mata lagi karena merasa betapa pandang matanya berkunang. Tanpa terasa dia jatuh pulas karena pengaruh obat yang didekatkan di bawah hidungnya oleh Bin Ho Tojin.
Ketika pada keesokan harinya dia terjaga dari tidurnya, dia merasa heran sekali melihat Giok Hong telah berada di kamar itu dan duduk di atas sebuah bangku dekat pembaringannya.
""". kau"".. nona"".?"
Beng Han berkata dengan hati heran dan tercengang.
Giok Hong mengangguk sambil tersenyum manis.
"Engkau sudah berangsur sembuh, taihiap, akan tetapi belum boleh banyak bergerak."
Suara itu! Teringatlah Beng Han akan bidadari itu! Kesan ini sukar dihilangkan dari dalam ingatannya maka tanpa disadarinya dia lalu berkata.
"Ah, engkaulah orangnya yang menolongku itu"".."
Kulit muka yang putih halus itu berobah merah.
"Taihiap, harap jangan disebut-sebut lagi hal itu, hanya membuat aku merasa malu saja."
Beng Han diam saja dan memandang tajam kepada wajah yang manis itu. Dia merasa heran sekali mengapa seorang dara muda yang demikian cantik jelita, puteri kepala dusun, mengawaninya seorang diri saja di dalam kamar. Bukankah hal ini amat janggal dan tidak sopan?
"Nona, siapakah yang menyuruh engkau menjagaku di sini?"
Dara itu memandang dengan sepasang matanya yang bersinar lembut, lalu menjawab perlahan.
"Mengapa? Aku sendiri yang menghendakinya."
"Kau"""?"
"Ayah dan suhu sudah memperkenankannya."
Beng Han terdiam. Aneh sekali, pikirnya. Mengapa kepala dusun itu membiarkan anak daranya menjaga di situ seorang diri saja, sekamar dengan dia, seorang pemuda asing?
"Nona, engkau sungguh baik budi dan engkau membuat aku merasa sangat tidak, enak"".."
"Mengapa? Tidak sukakah kau kujaga, taihiap?"
"Bukan, sama sekali bukan demikian, nona. Akan tetapi, aku merasa berhutang budi kepadamu. Engkau sudah menolongku, menolong"
Nyawaku dan sekarang engkau menjagaku pula.
"Apakah artinya semua ini dibandingkan dengan apa yang telah kau lakukan untuk kami sedusun?"
"Ah, aku tidak melakukan apa-apa, nona. Bahkan usahaku untuk menghindarkan mereka dari hukuman saja telah gagal."
"Akan tetapi engkau telah memperlihatkan kegagahan, memperlihatkan pengorbanan besar, taihiap. Kami sedusun tidak akan dapat melupakan perbuatanmu yang gagah dan mulia itu."
"Ah, kalian telah terlalu melebih-lebihkan...".."
Kata Beng Han. Kemudian tiba-tiba dia teringat betapa ketika dara ini menolongnya dia berjalan dengan bantuan nona ini yang dirangkulnya. Tiba-tiba Beng Han merasa malu kepada diri sendiri. Dia ingin sekali tahu apakah yang terjadi selanjutnya setelah dia pingsan, maka dia lalu menatap wajah yang cantik itu dan berkata dengan, gagap karena dia sendiri merasa malu.
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
""ketika engkau menolongku dan aku pingsan... selanjutnya bagaimanakah? Harap kau suka menceritakan nona."
Giok Hong adalah seorang dara yang terpelajar, berwatak halus, dan jujur. Kini mendengar pertanyaan pemuda itu, wajahnya menjadi makin merah dan dia tidak berani menatap mata Beng Han. Dengan terpaksa dia menjawab, suaranya agak gagap.
"Kau pingsan dan ketika itu.. aku khawatir kalau-kalau mereka datang, maka"".. terpaksa"". aku lalu memondongmu dan membawamu lari ke sini"".."
Terbelalak kedua mata Beng Han memandangnya, bukan terheran karena perbuatan itu yang agaknya kurang patut dilakukan oleh seorang gadis, akan tetapi terheran karena bagaimana seorang gadis lemah lembut seperti Giok Hong ini kuat memondong tubuhnya, bahkan membawanya lari? Kemudian dia teringat akan kata-kata Bin Ho Tojin bahwa gadis ini adalah murid tosu itu, maka dia lalu berkata.
"Ah, nona, sebagai murid Bin Ho totiang, tentu lihai sekali ilmu silatmu!"
Giok Hong menarik napas panjang.
"Kalau ilmu silatku selihai kepandaianmu, mana akan kudiamkan saja dua orang keparat itu melakukan keganasan di dusunku?"
Gadis itu lalu menuturkan riwayatnya secara singkat
Ternyata bahwa Yo Giok Hong adalah puteri tunggal dari Yo-chungcu, kepala dusun Kiong-nam-teng itu. Yo-chungcu terkenal sebagai seorang kepala dusun yang budiman dan dia bersikap sebagai seorang ayah terhadap orang-orang dusun sehingga dia amat dihormat dan dikasihi oleh para penghuni dusun itu. Beberapa tahun yang lalu, dusun itu di serang wabah penyakit yang mengerikan sehingga banyak jatuh korban. Yo-chungcu amat bingung menghadapi keadaan ini, terutama sekali ketika isterinya sendiri menjadi korban dan meninggal karena terserang penyakit itu. Bahkananak tunggalnya, Yo Giok Hong yang ketika itu berusia sebelas iahun, terserang pula oleh penyakit itu.
Kebetulan sekali, seorang ahli pengobatan yang menjalankan dharma bakti dalam perantauannya, menolong sesama manusia yang menderita penyakit, tiba di dusun itu. Orang ini adalah Bin Ho Tojin yang setelah melihat keadaan di dalam dusun itu segera menggulung lengan baju dan memberikan pertolongan. Bun Ho Tojin adalah murid ahli pengobatan yang bertapa di lereng Go-bi-san dan kepandaiannya dalam hal ilmu pengobatan memang amat tinggi. Semenjak dia datang, orang-orang yang menderita sakit dapat disembuhkan dan setelah dia membagi-bagi obat kepada mereka yang belum terserang penyakit, semua orang menjadi sehat dan wabah itu lenyap dan pergi dari dusun itu.
Di antara mereka yang tertolong olehnya adalah Giok Hong yang menjadi sembuh. Untuk menyatakan terima kasihnya, juga melihat betapa lihainya tosu penolong dusunnya itu, Yo-chungcu lalu menyerahkan puteri tunggalnya itu untuk menjadi murid Bun Ho Tojin. Perbuatan kepala dusun ini sebetulnya bukan semata karena memikirkan ke pentingannya sendiri, akan tetapi terutama sekali karena bermaksud untuk mengikat tosu itu supaya tinggal di dusunnya sehingga keselamatan penduduk dusun Kiong-nam-teng akan terjamin.
Demikianlah, maka Giok Hong menjadi murid Bin Ho Tojin yang merasa suka kepada anak yang memiliki dasar kehalusan budi itu. Dia melatih ilmu pengobatan dan ilmu silat kepada dara itu dan biarpun Giok Hong telah memiliki ilmu kepandaian silat yang tidak boleh dibilang lemah namun dia tetap bersikap lemah lembut dan gerak-geriknya tetap halus. Akan tetapi, sesungguhnya Bin Ho Tojin lebih pandai dalam hal ilmu pengobatan dari pada ilmu silat, sungguhpun kepandaiannya sudah cukup tinggi kalau hanya untuk menjaga diri dan menghadapi penjahat-penjahat biasa saja!
Mendengar penuturan singkat ini. Beng Han merasa makin kagum kepada Giok Hong. Kiranya dara cantik jelita ini selain memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan sehingga kuat memondong dan membawanya lari, juga tentu amat hebat kepandaiannya dalam hal ilmu pengobatan. Kini dia tidak merasa begitu heran lagi mengapa ayah dan guru gadis itu membiarkan Giok Hong berjaga di situ sendirian saja, karena mengingat ilmu silatnya, Giok Hong boleh dikata seorang pendekar wanita yang memang dalam hal hubungan dengan pria tidaklah terlalu terikat oleh peraturan sopan santun yang kaku dan sebagai seorang ahli pengobatan maka pantaslah kalau seorang perawat menjaga si sakit.
Racun yang terbawa oleh jarum Tek Po Tosu yang menancap tepat di urat pundak Beng Han amat berbahaya. Kalau saja Beng Han tidak memiliki tubuh yang kuat dan sin-kang yang kuat pula, dan tidak keburu tertolong oleh Bin Ho Tojin yang pandai, tentu pemuda ini akan tewas atau setidaknya menjadi lumpuh seluruh lengan kirinya. Betapapun juga, dia harus menjalani perawatan yang penuh ketelitian dari Bin Ho-Tojin dan Giok Hong sampai beberapa bulan lamanya, barulah racun itu lambat-laun dapat dibersihkan dari tubuhnya. Sebetulnya, betapapun jahat racun jarum dari tosu itu, kalau tidak secara kebetulan mengenai urat besar dan kemudian setelah terluka Beng Han masih terus melakukan perlawanan dan menggunakan tenaga, kiranya akibatnya juga tidak sedemikian parahnya. Ujung jarum yang diolesi racun kemudian mengenai urat pundak yang besar, membuat racun itu langsung memasuki darah dan inilah yang membutuhkan waktu lama untuk penyembuhannya karena racun itu harus dicuci bersih dari jalan darah di tubuhnya.
Karena Giok Hong setiap hari merawatnya, maka hubungannya dengan dara itu menjadi baik dan akrab sekali. Dan para penduduk dusun yang berterima kasih dan kagum kepadanya, kadang kadang datang berkunjung ke pondok Bin Ho Tojinuntukmenengok Beng Han. Akan tetapi, perawatan Beng Han di pondok tosu itu amat dirahasiakan dan sama sekali para penduduk tidak boleh membicarakan dengan orang luar, karena kalau sampai terdengar dan diketahui oleh Thio-thaikam, tentu pembesar itu tidak akan mendiamkannya saja. Hal ini pula yang memaksa Beng Han harus tinggal bersembunyi dan tidak keluar dari pondok kecuali kalau malam. Dia bukannya takut ketahuan akan tetapi dia tidak mau membuat dusun itu mengalami bencana karena dia seorang.
Pada suatu hari, Yo-chungcu mengunjunginya dan pada wajah kepala dusun ini terlihat tanda bahwa dia mempunyai suatu maksud tertentu yang hendak dibicarakannya. Hal ini di ketahui oleh Beng Han dan pemuda ini menduga-duga ketika dia mempersilakan tamunya duduk.
""Gan-taihiap,"
Kata kepala dusun itu setelah mengambil tempat duduk.
"aku hendak menyampaikan maksud hatiku yang telah lama terpendam. Harap saja engkau suka memaafkan apabila merasa terhina dengan maksud hati yang keluar dengan tulus dan jujur ini."
Beng Han merasa tidak enak mendengar ini Kesehatannya telah pulih kembali dan dalam beberapa hari lagi dia sudah akan dapat melanjutkan perjalanannya oleh karena dia amat mengkhawatirkan keadaan sutenya yang telah lama mendahuluinya ke kota raja itu. Dia tidak mau memusingkan diri dengan menduga-duga, maka jawabnya tenang,
"Yo-Iopek, janganlah lopek bersikap sungkan dan katakanlah saja apa gerangan maksud hati lopek itu."
"Gan-taihiap, engkau tentu .maklum sudah bahwa aku dan seluruh penduduk dusun Kiong-nam-teng amat berterima kasih kepadamu dan bahwa kami suka sekali kepada taihiap yang gagah perkasa. Oleh karena itu, sudah lama sekali terkandung niat di hatiku, apabila engkau tidak merasa terhina dan dapat menerima, aku akan merasa berbahagia sekali untuk menjodohkan puteri tunggalku dengan taihiap."
Beng Han tercengang bukan kepalang. Wajahnya berobah merah sekali, dan jantungnya berdebar.
"Nona"".. Giok Hong"""?"
"Ya, puteriku Giok Hong biarpun bodoh dan buruk, akan tetapi aku yakin dia akan menjadi seorang isteri yang baik oleh karena, dia amat kagum dan suka kepadamu, taihiap."
Untuk beberapa saat lamanya Beng Han tidak mampu mengeluarkan kata-kata untuk menjawab pernyataan Yo-chungcu tadi. Dia menjadi bingung karena sesungguhnya dia tidak pernah menyangka akan hal itu. Dia merasa suka sekali kepada Giok Hong yang lemah lembut dan halus budi pekertinya itu juga memiliki hati yang mulia, akan tetapi tentang perjodohan dengan gadis itu, dia sama sekali belum pernah memikirkannya apa lagi mengharapkannya. Kini, menghadapi ""pinangan"
Dari ayah dara itu, terbayanglah wajah Kui Eng di pelupuk matanya dan hatinya menjadi berduka. Dia mencinta Kui Eng. dan terhadap Giok Hong, biarpun gadis ini manis, cantik jelita, dan berbudi luhur, namun dia hanya suka dan kagum saja. Benar-benarkah gadis ini suka kepadanya, cinta kepadanya?
"Yo-lopek, mohon maaf sebanyaknya""..dalam hal ini saya""..sama sekali belum pernah memikirkannya""."
Jelas nampak perubahan pada muka Yo-chungcu yang menjadi kecewa.
"Taihiap, apakah barangkali taihiap telah mempunyai isteri atau tunangan?"
Tanyanya hati-hati dan khawatir. Beng Han menggelengkan kepala menyangkal tanpa dapat mengeluarkan suara karena hatinya masih terguncang.
"Kalau begitu, mungkin taihiap tidak suka kepada puteriku""".."
"Lopek, harap jangan terburu nafsu mengambil kesimpulan. Perjodohan bukanlah hal yang remeh dan sederhana, yang boleh diputuskan dengan tiba-tiba tanpa dipikir masak-masak. Terus terang saja, lopek, jarang saya menjumpai seorang gadis sebaik puterimu. Bahkan, saya merasa terlalu rendah dan tidak pantas untuk menjadi jodohnya"".."
"Jangan kau terlampau merendahkan diri, taihiap,"
Kata Yo-chungcu yang menjadi bersinar kembali wajahnya, seolah-olah timbul harapan baru dalam hatinya mendengar ucapan pemuda itu.
Beng Han menarik napas panjang.
"Sebenarnya, Yo-lopek, dalam hal perjodohan saya tidak mempunyai kekuasaan, karena urusan perjodohan adalah urusan orang tua. Maka, harap lopek suka memaafkan. Sesungguhnya, saya tidak berani memutuskan dan saya hanya menyerahkan urusan perjodohan dalam tangan ibu saya."
Setelah berpikir beberapa lama sambil mengelus jenggotnya, orang tua itu juga menarik napas panjang berkali-kali, menekan kekecewaan hatinya, akan tetapi dia lalu memandang wajah pemuda itu dengan jujur dan berkata.
"Benar sekali pendapatmu itu, taihiap. Biarlah, kita tunda saja dulu urusan ini dan biarlah kelak setelah taihiap bertemu dengan ibumu, harap suka membicarakannya dan suka memberi kabar lebih lanjut."
"Baiklah, lopek. Dan saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi kecintaan lopek dan atas penghormatan yang lopek berikan kepada saya sehingga lopek sudi mengusulkan perjodohan itu. Kelak akan saya sampaikan kepada ibu dan biarlah urusan ini kelak dibicarakan lagi,"
Kata Beng Han dengan hati lega karena sesungguhnya amat berat baginya untuk menolak kebaikan orang dan mengecewakan hati kepala dusun yang amat baik dan yang telah menolongnya ini.
"Sekarang ada urusan lain yang penting sekali hendak kusampaikan, taihiap. Urusan penting dan gawat sekali."
Melihat wajah kepala dusun itu demikian serius dan suaranya juga mengandung kesungguhan dan kecemasan, Beng Han terkejut dan memandang penuh perhatian.
"Apakah yang terjadi, lopek?"
"Menurut berita yang sampai kepadaku, dan yang boleh dipercaya, kini telah timbul gejala-gejala pemberontakan dari kaum tani terhadap peraturan pajak yang amat mencekik leher itu. Kami di dusun Kiong-nam-teng juga telah siap siaga, menanti saatnya tiba. Memang keadaan pemerintah yang dikuasai oleh Thio-thaikam dan orang-orang kebiri lainnya sungguh amat buruk dan menindas rakyat. Kami hanya mengharapkan bantuan orang-orang gagah seperti taihiap. Alangkah baiknya apabila taihiap dapat mencari bala bantuan dan sokongan dari semua orang gagah di dunia untuk menentang kelaliman itu, sebagaimana yang diharapkan pula oleh Bin Ho totiang."
Mendengar ini, Beng Han terkejut bukan main. Hal yang dikhawatirkan kini telah mulai nampak kenyataannya. Pemerasan dan penindasan yang dilakukan oleh para pembesar lalim membuat rakyat menjadi marah. Hal ini sedapat mungkin harus dicegah. Perang saudara harus diberantas, karena Beng Han sendiri sudah cukup menderita karena perang Menurut anggapannya, yang perlu dibasmi adalah biang keladi kekacauan ini, agar keadaan yang buruk tidak sampai meluas dan makin memburuk. Dia teringat kepada Bun Hong dan timbul keinginan hatinya untuk melihat keadaan kota raja dan mencari tahu siapakah biang keladi pemerasan terhadap rakyat ini. Siapa saja yang menjadi biang keladinya, baik kaisar sendiri, patut dibasmi!
Akan tetapi, tentu saja dia tidak mau membicarakan urusan itu dengan orang lain, maka untuk menyenangkan hati Yo-chungcu, dia lalu menjawab.
"Baiklah, Yo-lopek memang saya juga sudah ingin melanjutkan perantauan saya, dan tentu permintaan lopek itu akan menjadi perhatianku. Saya akan berusaha untuk mencari kawan-kawan sepaham."
Di dalam hatinya, dia menentang usaha pemberontakan karena setiap pemberontakan berarti perang saudara dan setiap perang berarti mendatangkan kesengsaraan yang lebih mengerikan kepada rakyat.
Beng Han lalu menghadap Bin Ho Tojin dan menghaturkan terima kasih atas pertolongan dan pengobatan yang diberikan kepadanya oleh pendeta itu sehingga dia terhindar dari bahaya maut. Ketika dia berpamit kepada Giok Hong, dara itu memandangnya dengan mata basah, akan tetapi sambil memaksa keluarnya senyum manis, dara itu berkata perlahan.
"Gan-taihiap, semoga engkau tidak akan melupakan sama sekali kepada dusun Kiong-nam-teng yang pernah menerima budimu."
Setelah berpamit kepada para penghuni dusun yang sekali ini memandangnya sebagai pahlawan karena mereka mengharapkan bantuan pemuda ini dalam rencana pemberontakan mereka terhadap pemerintah, Beng Han lalu meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja. Apa bila dia teringat akan kebaikan orang-orang di dusun itu, terutama sekali kebaikan Giok Hong yang telah merawat dan menjaganya ketika dia menderita sakit dengan sangat teliti dan penuh perhatian, dia merasa terharu sekali. Dia mencatat nama Giok Hong sebagai wanita ke dua dalam hatinya, gadis ke dua sesudah Kui Eng yang takkan pernah terlupa olehnya.
Akan tetapi, kenangan ini segera berganti rasa khawatir apabila dia teringat kepada Bun Hong dan Kui Eng. Telah berbulan-bulan Bun Hong mendahuluinya pergi ke kota raja dengan maksud mencari dan membasmi pembesar jahat yang memerintahkan para kepala dusun memeras rakyat jelata dengan pajak berat. Bagaimanakah nasib sutenya itu? Kalau sampai terjadi sesuatu atas diri sutenya, bagaimana dia akan mempertanggungjawabkannya terhadap suhunya? Sebagai saudara tertua, dia berkewajiban menjaga sute dan sumoinya, akan tetapi sekarang, sutenya itu bahkan pergi karena patah hati dan karena hendak mengalah terhadap dia dalam soal perjodohannya dengan Kui Eng!
Dan ke manakah perginya Kui Eng? Beng Han menjadi khawatir sekali dan dia mengambil keputusan untuk mencari Bun Hong dan apabila sudah bertemu, sutenya itu akan diajaknya untuk mencari Kui Eng. Betapapun juga, dia harus meyakinkan kedua orang itu bahwa biarpun pinangannya ditolak oleh Kui Eng. namun dia tidak menaruh ganjalan di hatinya, tidak menyesal dan dia menganggap mereka berdua tetap sebagai adik sendiri. Dengan pikiran ini, Beng Han menjadi bersemangat dan dia melakukan perjalanan dengan cepat menuju ke kota raja.
Setelah bersama-sama dengan Pek Bi Lo-jin menyerbu ke sarang gerombolan Kipas Hitam dan berhasil mengobrak-abrik sarang penjahat-penjahat itu, Kui Eng lalu pergi menuju ke kota raja. Dia ingin menyusul Ang Min Tek, pemuda pelajar yang tampan dan halus itu yang telah menarik hatinya dan menjatuhkan keangkuhan dan kekerasan hatinya!
Seperti juga Bun Hong begitu memasuki kota raja, Kui Eng merasa kagum sekali melihat bangunan-bangunan raksasa yang serba indah dan megah memenuhi kota. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan gedung-gedung yang demikian indah dan toko-toko yang demikian banyak, penuh memperdagangkan bermacam-macam barang. Dia berjalan-jalan mengagumi semua keindahan itu dan berpikir alangkah sukarnya mencari orang di dalam kota yang besar dan banyak penduduknya ini. Diam-diam dia memikirkan keadaan Bun Hong. Di manakah adanya suhengnya itu sekarang? Akan tetapi hanya sebentar saja dia teringat akan Bun Hong, karena pikirannya segera penuh dengan bayangan lain, bayangan seorang pemuda yang halus budi, bayangan Ang Min Tek!
Cinta asmara memang luar biasa anehnya. Mengapa kita tertarik kepada seseorang sedemikian rupa tanpa kita sendiri mengetahui kenapa demikian? Kenapa justeru si dia itulah yang selalu terbayang oleh kita, yang selalu memenuhi hati kita, yang selalu ingin kita dekati dan mendatangkan rindu dendam yang menyiksa kalau kita berpisah dari dekatnya? Mengapa?
Kui Eng sendiri tidak mengerti mengapa dia demikian tertarik kepada Min Tek. Mungkin kesan pertama kali yang menggores hatinya adalah sikap Min Tek yang demikian gagah berani, padahal dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang sasterawan yang jasmaninya lemah. Justeru di dalam kelemahan badan akan tetapi diimbangi kekuatan semangatnya itulah yang amat mengagumkan hatinya, dan tentu saja ditambah pula oleh wajah pemuda itu yang baginya nampak demikian tampan, mengagumkan dan setiap gerak-geriknya membawa daya tarik istimewa baginya! Memang cinta asmara amat aneh dan mengandung penuh rahasia!
Dia harus mencari Min Tek! Dia harus dapat segera bertemu dengan pemuda itu! Akan tetapi ada pula rasa malu yang membuat jantungnya berdebar kalau dia membayangkan betapa nanti kalau dia sudah berhadapan dengan pemuda itu. Apa yang akan dikatakannya? Untuk mencari Min Tek tidaklah sukar karena pemuda itu telah memberitahukan bahwa selama tinggal di kota raja, Ang Min Tek akan tinggal di rumah seorang pamannya yang membuka sebuah toko obat. Nama toko obat itu adalah Yok-goan-tong.
Pertama-tama Kui Eng mencari sebuah kamar di rumah penginapan, dan setelah membersihkan diri, berganti pakaian bersih, keluarlah dia dari rumah penginapan itu untuk mencari toko obat Yok-goan-tong. Dengan mudah dia bisa memperoleh keterangan dari orang-orang di mana letak toko itu dan segera dia menuju ke tempat itu dengan jantung berdebar tegang. Dan kebetulan sekali ketika dia tiba di toko obat Yok-goan-tong yang cukup besar, dia melihat Min Tek sendiri beserta kedua orang kawannya sedang bercakap-cakap di ruangan depan. Min Tek segera melihatnya dan dengan girang pemuda itu bangkit berdiri dan berlari keluar.
"Kui-lihiap"".!"
Tegurnya dengan wajah berseri, sedangkan Lie Kang Coan dan Lie Kang Po juga memburu keluar ketika mengenal dara pendekar yang menjadi penolong mereka itu.
Tanpa disadarinya sendiri, wajah Kui Eng berubah merah, berseri-seri dan sinar matanya penuh kegembiraan. Dia cepat menjura membalas pemberian hormat mereka sambil berkata.
"Sam-wi kongcu, apakah sam-wi baik-baik saja dan sudah berhasilkah ujian yang sam-wi tempuh?" "Kui-lihiap, silakan masuk dan duduk di dalam, di sana kita dapit bercakap-cakap dengan leluasa,"
Kata Min Tek dengan suara yang tenang, halus dan sopan
Kui Eng mengucapkan terima kasih dan mereka lalu masuk ke dalam toko obat itu di mana mereka disambut oleh paman Min Tek, seorang setengah tua yang peramah dan yang memandang kepada Kui Eng dengan heran dan kagum.
"Siokhu, inilah Kui Eng lihiap yang gagah perkasa, penolong kami yang sering kuceritakan kepada paman itu,"
Kata Min Tek kepada pamannya. Orang tua itu segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil tersenyum ramah.
"Ah, kiranya Kui-lihiap yang datang. Sudah lama saya mendengar nama lihiap yang gagah dari keponakan saya. Silakan duduk, lihiap!"
Katanya dan Kui Eng cepat membalas penghormatan itu.
"Keponakanmu terlalu melebih-lebihkan saja""
Katanya merendah.
Setelah mengambil tempat duduk, Min Tek dengan gembira lalu menceritakan bahwa dia telah lulus dalam ujian dengan baik dan mendapat gelar siucai. Mendengar ini, Kui Eng segera menyatakan kegembiraannya, bangkit berdiri dan berkata sambil merangkap kedua tangan.
"Kiong-hi (selamat), Ang-kongcu. Memang aku sudah menduga bahwa kau tentu akan lulus!""
Kemudian Kui Eng mendengar bahwa kedua orang saudara Lie itu tidak lulus, dan kedua orang muda itu mengambil keputusan untuk tinggal beberapa lama lagi di kota raja, di mana mereka mempunyai seorang bibi yang menikah dengan seorang pembesar sehingga mereka dapat melanjutkan pelajaran mereka dan akan mengulangi penempuhan ujian tahun depan. Adapun Min Tek menyatakan bahwa pemuda ini besuk pagi akan kembali ke dusunnya. Mendengar penuturan ini, tanpa ragu-ragu lagi Kui Eng berkata di luar kesadarannya, seolah-olah semua yang dikatakan itu bukan kehendaknya melainkan menurut dorongan hati yang muncul secara tiba-tiba.
"Ang-kongcu, kalau begitu kebetulan sekali! Aku sendiripun tidak mempunyai keperluan sesuatu di kota raja ini, dan hendak melanjutkan perjalananku. Kalau sekiranya kau tidak keberatan, kita boleh mengadakan perjalanan bersama."
Sebagai seorang dara yang gagah perkasa, sederhana dan berhati polos, Kui Eng tidak bisa berpura-pura lagi dan dia mengucapkan kata-kata itu yang keluar langsung dari hatinya.
Tidak demikian halnya dengan Min Tek, seorang pemuda pelajar yang semenjak kecil telah digembleng dengan peraturan dan diharuskan menjaga teguh kesopanan. Wajahnya menjadi merah
(Lanjut ke Jilid 12)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
sekali ketika dia mendengar ajakan ini, dan biarpun hatinya merasa girang karena melakukan perjalanan bersama seorang dara pendekar seperti ini, dia tidak usah takut lagi akan segala rintangan di jalan, namun pada lahirnya dia hanya tersenyum dan menjura "Terima kasih banyak, lihiap. Aku hanya akan mengganggumu saja."
"Kita sudah menjadi kawan baik, mengapa harus bersikap sungkan-sungkan lagi?"
Kata Kui Eng, dan kedua orang saudara Lie juga membenarkan ucapan ini.
"Terus terang saja, lihiap,"
Kata Kang Coan "Sebelum engkau muncul tadi, kami bertiga memang sedang membicarakan tentang lihiap. Ang-heng menyatakan kekawatirannya tentang perjalanannya besok pagi, dan tadi dia berkata kalau saja mempunyai seorang kawan seperjalanan seperti Kui-lihiap, maka akan amanlah perasaan hatinya. Nah, Ang-heng, sekarang Kui-lihiap telah muncul dan kebetulan sekali besok juga hendak melanjutkan perjalanan keluar dari kota raja, bukankah hal ini merupakan jodoh namanya? Maksudku, jodoh untuk melakukan perjalanan bersama tentu saja!"
Kedua orang saudara Lie itu tertawa dan Min Tek bersama Kui Eng juga tersenyum untuk menghilangkan rasa malu-malu yang timbul dalam hati mereka oleh godaan itu.
Pada keesokan harinya, Min Tek dan Kui Eng berangkat meninggalkan kota raja untuk pergi ke Ki-ciu, tempat tinggal Ang Min Tek. Mereka berdua naik kuda yang disediakan oleh paman Min Tek dan mereka menjalankan kuda mereka dengan perlahan keluar dari pintu gerbang kota di sebelah selatan. Biarpun mulutnya tidak mengatakan sesuatu, namun jantung Kui Eng berdebar tegang dan penuh kegembiraan yang luar biasa. Sama sekali dia tidak ingat lagi kepada suheng-suhengnya dan seluruh perhatiannya hanya ditujukan kepada pemuda yang halus budi dan yang kini menunggang kuda berendeng di sampingnya itu.
Baru saja mereka keluar dari pintu gerbang kota raja, tiba-tiba dari depan datang seorang penunggang kuda yang membalapkan kudanya cepat sekali. Orang itu berbaju biru dan masih muda, akan tetapi oleh karena dia melarikan kudanya dengan cepat sehingga debu mengebul di kiri kanannya, maka wajahnya tidak nampak nyata ketika dia lewat berpapasan dengan Kui Eng dan Min Tek. Akan tetapi Kui Eng yang memiliki pandang mata tajam itu dapat melihat betapa orang itu menoleh dan memandang ke arahnya dan dia merasa seperti mengenal wajah orang itu.
Hanya dia tidak begitu memperhatikan dan karena wajah orang itu tertutup debu mengebul maka diapun hanya melihat sekelebatan saja dan selanjutnya dia sama sekali tidak memikirkannya lagi melainkan melanjutkan perjalanannya bersama Min Tek. Sungguh terasa betapa bedanya perjalanan sekali ini dibandingkan dengan perjalanan ketika dia memasuki kota raja seorang diri. Kini segalanya nampak indah dalam pandang matanya. Langit nampak cerah dan segala sesuatu kelihatan berarti dan menarik. Bahkan batu-batu di atas jalan, tumbuh-tumbuhan di kanan kiri jalan, gunung yang membayang di kejauhan-semua kelihatan berseri dan indah!
Tentu saja Kui Eng sudah pasti tidak akan bersikap acuh tak acuh seperti itu kalau saja dia mengetahui bahwa penunggang kuda yang membalapkan kudanya tadi bukan lain adalah Bun Hong! Sebetulnya, perpisahan antara Kui Eng dan suhengnya itu, biarpun sudah berjalan cukup lama, kurang lebih sebelas bulan lamanya, kiranya belum cukup lama bagi Kui Eng untuk melupakan wajah suhengnja. Soalnya adalah karena perhatiannya sebagian besar dicurahkan kepada pemuda yang menunggang kuda di sampingnya, maka dia seolah-olah tidak begitu memperhatikan lagi manusia-manusia lain!
Laki-laki muda yang membalapkan kudanya tadi memang benar adalah Tan Bun Hong, kakak seperguruan pendekar wanita itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, untuk menyelamatkan keluarga Pangeran Song, pendekar muda ini telah dinikahkan dengan puteri sulung pangeran itu, yang bernama Song Kim Bwee, seorang dara bangsawan yang cantik jelita. Bahkan sebulan yang lalu, Song Kim Bwee telah melahirkan seorang anak laki-laki!
Sebagai mantu seorang pangeran, suami seorang puteri bangsawan yang cantik jelita dan yang dalam waktu kurang dari setahun telah dianugerahi seorang putera, sudah sepatutnya kalau Bun Hong berbahagia. Akan tetapi kenyataannya sama sekali tidak demikian! Tidak, Bun Hong tidak merasa bahagia hidupnya nampak makmur, mulia dan terhormat, berenang di lautan kemewahan dan kehormatan, namun tetap saja Bun Hong tidak merasa bahagia Betapapun cantik isterinya yang amat mencintanya itu, namun dia tidak dapat melupakan Kui Eng dan di dalam hatinya tidak terdapat rasa cinta seperti yang dirasakan terhadap Kui Eng. Dia tidak mempunyai rasa cinta seperti itu terhadap Kim Bwee, dan setelah menjadi mantu Pangeran Song, dia merasa seolah-olah terikat kaki tangannya.
Memang, seluruh manusia di dunia mendambakan kebahagiaan, mengejar kebahagiaan dan sudah tentu semua itu takkan ada hasilnya. Kebahagiaan tidak dapat dikejar, tidak dapat ditangkap lalu disimpan sebagai milik kita. Bahkan kebahagiaan tidak dapat dirasakan, dikunyah-kunyah dan dinikmati seperti kalau kita menikmati kesenangan. Yang biasanya kita anggap kebahagiaan itu tak lain hanyalah kesenangan belaka, dan kesenangan itu hanya selewat saja dan segera tempatnya digantikan oleh kesusahan karena senang dan susah adalah saudara kembar yang tak terpisahkan. Kebahagiaan tidak dapat dikenang, diingat-ingat, seperti kesenangan. Kesenangan adalah buatan pikiran yang mengingat-ingat dan mengenang sesuatu, suatu pengalaman, baru pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain.
Pengalaman yang menyenangkan ini dikenang, diingat-ingat, digambarkan, dibayangkan sebagai suatu kesenangan yang lalu dikejar dan dicari. Memang tidak mustahil kita dapat mengejar dan menangkap kesenangan ini, lalu kita nikmati, akan tetapi setelah terdapat, tentu akan timbul kebosanan karena keinginan sudah mendesak lagi untuk mencari yang lebih nikmat dari pada itu. Dan kesenangan juga menimbulkan rasa takut, takut akan kehilangan yang menyenangkan itu. Kesenangan menimbulkan kedukaan, yaitu duka kalau sampai kehilangan yang menyenangkan itu.
Kesenangan yang dikejar-kejar juga menimbulkan kecewa, yaitu kalau tidak terdapat yang dikejar, atau kalau yang dikejar itu ternyata tidak begitu menyenangkan seperti ketika dibayangkan, dan selanjutnya. Pendeknya, kesenangan hanyalah barang hampa yang hanya indah nampaknya sebelum terpegang, selagi dikejar-kejar, akan tetapi setelah dapat, tidak begitu indah lagi karena kita selalu membanding-banding, kita selalu dipermainkan oleh pikiran kita yang tidak puas akan yang begini akan tetapi selalu menghendaki yang begitu, yaitu yang tidak ada!
Kebahagiaan adalah keadaan di mana tidak terdapat rasa takut, tidak terdapat duka, tidak terdapat rasa kecewa, tidak terdapat keinginan mengejar. Seperti cinta kasih, maka kebahagiaan hanya pada saat ini, terdapat apa adanya dan bukan merupakan suatu hasil dari pemikiran! Kebahagiaan sudah memenuhi jagat raya bagi siapa yang tidak membutuhkan apa-apa, tidak mengejar apa-apa, tidak mencari apa-apa. Kebahagiaan ada pada setiap saat, akan tetapi begitu hal itu dianggap sebagai sesuatu yang menyenangkan dan ingin dipertahankan, ingin dinikmati lagi, maka itu bukanlah kebahagiaan lagi namanya, melainkan kesenangan dan dengan munculnya kesenangan yang diciptakan oleh pikiran itu maka lahir pulalah kecewa, takut, dan duka!
Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo