Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 12


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Demikian pula halnya dengan Bun Hong. Dia tidak merasa berbahagia karena hatinya ingin sesuatu yang lain dari pada apa adanya. Dia tidak puas dengan keadaannya pada saat itu, dia menginginkan suatu yang tidak ada, yaitu diri Kui Eng dan sebagainya, maka sudah tentu saja timbul kekecewaan dan penyesalan. Membanding-bandingkan hanya akan menimbulkan dua hal, yaitu kesombongan atau iri hati. Kalau merasa diri sendiri lebih, timbullah kesombongan, sebaliknya kalau dalam perbandingan itu merasa diri sendiri kurang dan kalah, maka selain kekecewaan dan penyesalan, juga melahirkan iri hati.

   Bun Hong merasa dirinya seperti terikat ketika dia menjadi mantu Pangeran Song. Rasa bencinya terhadap Thio-thaikam terpaksa harus dia kubur dalam lubuk hatinya, bahkan dia dipaksa oleh kedudukannya untuk mengadakan pertemuan dan perkenalan, beramah-tamah dengan para pembesar yang tidak disukainya itu.

   Bun Hong merasa kecewa sekali dan merasa betapa hidupnya sama sekali tidak ada gunanya. Tadinya dia menuju ke kota raja dengan maksud membasmi pembesar yang kejam dan yang memeras rakyat dan bertindak sewenang-wenang, hendak menyelidiki siapa orangnya yang berdiri di belakang layar dan yang memegang gagang cambuk yang menyiksa

   rakyat,

   Setelah dia tahu bahwa orang itu adalah Thio-thaikam, kini dia tidak berdaya umuk menunaikan tugasnya, bahkan dia mengikat diri dengan pernikahan, menjadi mantu Pangeran Song yang harus berbaik dengan para pembesar, termasuk tentu saja Thio-Ihaikam itu! Tidak berani bertindak oleh karena hal ini tentu akan membahayakan keselamatan sekeluarga ayah mertuanya.

   Sering kali Bun Hong termenung dan hanya merasa rindu sekali untuk pergi merantau dan melakukan perjalanan sebagai seorang pendekar, menolong orang-orang yang menderita dan menentang orang-orang jahat yang mengganggu manusia lain, melakukan semua wejangan dari gurunya. Juga dia merasa rindu sekali kepada Kui Eng dan Beng Han yang diduganya tentu telah menjadi suami isteri atau setidaknya tentu telah bertunangan. Akan tetapi ketika dia menyatakan keinginannya untuk merantau ini, Pangeran Song berkata dengan suara halus dan yang tentu saja membuat Bun Hong tak mampu menjawab.

   "Mantuku, pikirlah baik-baik. Engkau telah menjadi suami Kim Bwee bahkan telah mendapat kurnia seorang putera, mengapa engkau masih hendak melakukan perantauan seperti seorang yang masih belum berkeluarga saja? Hidup merantau banyak bahayanya, bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu di perantauan? Apakah hal itu tidak akan membuat isterimu. berduka? Juga, kalau sampai terlihat orang bahwa mantu bendahara kaisar hidup sebagai seorang perantau dan petualang, apakah akan kata orang? Bun Hong, demi kebaikan kita sekeluarga, harap kaubatalkan niatmu itu dan apabila engkau ingin sekali-kali melakukan perjalanan ke luar kota, boleh saja engkau menunggang kuda ke luar kota, asal jangan menimbulkan keributan dan tidak bermalam di tempat lain."

   Demikianlah, untuk menghibur hatinya, sering kali Bun Hong menunggang kuda ke luar kota raja. Isterinya tahu akan hal ini dan maklum pula bahwa suaminya tidak mencintanya. Akan tetapi Song Kim Bwee tidak menyatakan apa-apa. Dia maklum bahwa pernikahannya dengan Bun Hong terjadi karena terpaksa, dan untuk menolong keselamatan keluarga Song, untuk menghilangkan kecurigaan Thio-thaikam yang selalu mengincar kesalahan pembesar lain untuk dijerumuskan ke dalam jurang kehancuran.

   Apa lagi Pangeran Song merupakan seorang pembesar yang paling berani menentang kekuasaan Thio-thaikam. Untuk semua itulah Bun Hong menjadi suaminya, maka biarpun dia amat mencinta suaminya itu, diapun tidak menyalahkan Bun Hong kalau suami yang dicintaiya itu sebaliknya tidak mencintanya. Betapapun juga, sikap Bun Hong terhadapnya amat baik dan cukup mesra, maka diapun tidak berani mengharapkan lebih dari itu, sungguhpun kadang-kadang kenyataan ini memancing air matanya di waktu dia duduk seorang diri.

   Pada pagi hari itu, ketika Bun Hong baru saja pulang dari melancong dan membalapkan kudanya, tiba-tiba dia melihat Kui Eng bersama eorang pemuda tampan, naik kuda berdua dan bercakap-cakap. Bun Hong merasa girang sekali akan tetapi juga merasa heran mengapa sumoinya itu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Kalau dia melihat Kui Eng melakukan perjalanan bersama Beng Han, tentu dia akan segera melompat turun dan menghampiri mereka dengan hati girang. Akan tetapi, ketika dia melihat Kui Eng bersama seorang pemuda lain, dia menjadi heran dan pura-pura tidak melihat mereka, bahkan mempercepat larinya kuda. Setelah jauh, dia menghentikan kudanya dengan jantung berdebar.

   Pertemuannya kembali dengan Kui Eng menimbulkan kegembiraan luar biasa dan juga ketegangan. Perasaan hatinya terhadap sumoinya ini terasa makin rnengganggu hati dan pikirannya. Sementara itu, Min Tek dan Kui Eng melanjutkan perjalanan mereka dengan gembira. Min Tek merasa girang sekali dapat melakukan perjalanan bersama gadis yang gagah perkasa ini, yang selalu bersikap ramah-tamah kepadanya sehingga dia merasa seolah-olah gadis ini adalah seorang sahabat lamanya atau bahkan seperti seorang saudaranya sendiri. Di lain fihak, Kui Eng tentu saja merasa gembira dapat melakukan perjalanan bersama pemuda yang dikaguminya dan yang diam-diam telah menundukkan hatinya itu.

   Min Tek mempunyai pengetahuan yang luas sekali mengenai tempat-tempat yang dilalui mereka karena pemuda ini telah mempelajari ilmu bumi dan tahu akan sejarah yang ada hubungannya dengan gunung-gunung dan tempat-tempat yang menarik Tiada hentinya dia menceritakan tentang suatu tempat yang mereka lalui sehingga tentu saja Kui Eng merasa gembira sekali mendengar ceritanya itu. Sore hari itu mereka bermalam di sebuah dusun, menyewa dua buah kamar dalam rumah penginapan yang hanya ada sebuah di dusun itu.

   Malam itu terang bulan dan cuaca indah sekali. Melihat keindahan suasana malam, Min Tek dan Kui Eng keluar berjalan-jalan dan melihat ke arah sebuah bukit di mana terdapat sebuah menara yang tinggi. Min Tek dan Kui Eng duduk di tepi sawah, memandang ke arah bukit itu dan Min Tek lalu menceritakan suatu kisah kuno tentang menara itu di mana menurut dongeng, dulu pernah seorang puteri dikurung di sana oleh karena puteri itu menolak untuk dikawinkan dengan seorang pangeran, Kui Eng mendengarkan cerita itu dan merasa terharu sekali karena pandainya Min Tek merangkai kata-kata dalam ceritanya.

   "Ada sebuah lagu tentang peristiwa sedih itu,"

   Kata Min Tek.

   "Kalau kau suka aku akan nenyanyikan dan mainkan lagu itu dengan suling, lihiap."

   "Ah, setelah kita menjadi sahabat, mengapa kau sungkan sekali dan masih menyebutku lihiap segala, kongcu? Juga tidak enak diketahui orang bahwa aku adalah seorang wanita kang-ouw yang kasar."

   "Ah, maaf. Baiklah, nona. Mulai sekarang aku akan menyebutmu nona saja,"

   Kala Min Tek sambil tersenyum dan mengeluarkan sebatang suling yang tadi diselipkan di pinggang, di balik bajunya.

   "Aih, kiranya engkau pandai pula meniup suling, Ang-kongcu!"

   Kata Kui Eng sambil nemandang dengan mata berseri dan mulut tersenyum.

   "Pandai sih tidak, akan tetapi sekedar memperlengkap dongeng tentang puteri itu, biarlah kumainkan lagunya untukmu, nona,"

   Jawabnya merendah dan tak lama kemudian di bawah sinar bulan purnama yang cerah dan sejuk, suasana sunyi itu terisi oleh alunan nada tiupan suling yang merdu. Lagu yang dimainkan oleh Min Tek itu terdengar sedih sekali. Setelah lagu itu habis, pemuda itu lalu menyanyikan lagunya, dan ternyata bahwa pemuda itu memang pandai sekali bersuling dan bernyanyi, suaranyapun halus dan merdu.

   Lagunya sedih dan menceritakan betapa puteri yang tidak mau dipaksa kawin itu dikeram di dalam menara sehingga akhirnya meninggal dunia karena duka nestapa. Kui Eng memandang dengan bengong, seluruh perhatiannya terbetot dan pandang matanya seperti tergantung dan melekat kepada gerak bibir pemuda itu.

   Setelah Min Tek selesai bernyanyi dan udara yang tadinya asyik dengan suara-suara merdu itu kini menjadi kosong dan hening lagi, Kui Eng memandang kepada pemuda itu dengan basah dan dia berkata.

   "Ah, Ang-kongcu, tidak kusangka bahwa engkau sepandai itu""."

   Dia mengusap matanya yang basah dan diam-diam Kui Eng merasa terkejut sendiri mengapa sebuah nyanyian saja mampu memancing keluar air mata!

   "Engkau memuji saja. Kui-siocia. Kepandaian kampungan yang tidak ada harganya. Hanya karena kegembiraanku saja maka aku sampai berani melupakan kebodohanku dan meniup suling serta bernyanyi. Kalau ada orang lain di sini pasti aku tidak akan berani melakukannya, akan takut ditertawakan orang."

   "Ang-kongcu, mengapa engkau menjadi gembira?"

   Tiba-tiba Kui Eng bertanya, mukanya menunduk, akan tetapi sepasang matanya mengerling dari bawah dengan sinar tajam sekali.

   Ang Min Tek memandangnya dan menjawab.

   "Nona, engkau adalah seorang yang amat baik budi dan aku merasa berbahagia sekali nendapatkan seorang kawan seperti engkau. Engkau mengingatkan aku kepada seorang".""

   Kui Eng mengangkat muka memandang.

   "Mengingatkan kepada siapa kongcu?"

   "Kepada seorang yang amat dekat di hatiku"".."

   "Siapakah dia?"

   Akan tetapi Min Tek tidak menjawab, hanya menyimpangkan pembicaraan itu dengan ucapan perlahan.

   "Kalau saja engkau seorang pria, tentu akan kuajak mengangkat saudara. Engkau baik sekali seperti seorang saudara sendiri bagiku."

   Kui Eng diam saja dan jantungnya berdebar. Apakah pemuda ini juga mencintanya? Akan tetapi, kalau mencinta, mengapa pemuda ini ingin mengangkat saudara dengan dia? Dara ini menjadi bingung. Dalam hal ilmu silat, boleh jadi Kui Eng adalah seorang pendekar wanita yang lihai. Akan tetapi mengenai lika-liku "cinta", dia masih hijau dan tidak mudah menangkap apa yang dikatakan oleh pemuda itu. Dia, menduga-duga dan menjadi "birigung sendiri.

   "Kui siocia, hari telah larut malam, mari kita kembali, besok kita melanjutkan perjalanan pagi-pagi agar dapat sampai ke Ki-ciu dalam waktu tiga hari."

   Kui Eng yang sedang termenung menjawab.

   "Ang-kongcu, kau kembalilah dulu. Aku ingin duduk seorang diri di sini untuk beberapa lama lagi."

   "Baiklah, akan tetapi jangan terlalu lama, nona. Biarpun udara terang dan hawanya sejuk, akan tetapi lama berada di luar, kau akan dapat terkena angin dan kurang baik bagi kesehatanmu."

   Pemuda itu lalu meninggalkan Kui Eng, berjalan seorang diri kembali ke rumah penginapan yang tidak berapa jauh letaknya dari tempat itu.

   Kui Eng masih duduk termenung dan bermacam-macam pikiran timbul di dalam benaknya. Tidak dapat diragukan lagi, dia merasa jatuh cinta kepada pemuda yang halus dan sopan itu. Ingin sekali dia menanyakan riwayat pemuda itu, untuk mengetahui keadaannya akan tetapi dia merasa sangsi apakah pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak akan melanggar batas kesopanan. Kepada seorang pemuda seperti kedua suhengnya yang belum dan tidak terlalu terikat dengan segala macam peradatan dan sopan santun dia tidak akan merasa ragu-ragu lagi. Akan tetapi Ang Min Tek adalah seorang pemuda yang lain lagi sifatnya. Dia seorang yang terpelajar tinggi dan mengutamakan sopan santun, sehingga dia tidak berani bersikap sembarangan dan selalu menjaga diri agar jangan sampai dianggap sebagai seorang gadis liar oleh Min Tek!

   Tiba-tiba dia mendengar suara kaki di sebelah belakangnya dan terdengar suara memanggilnya dengan suara lirih.

   "Sumoi"".."

   Kui Eng cepat melompat berdiri dan membalikkan tubuhnya. Ternyata Bun Hong telah berdiri di depannya.

   "Ji-suheng"".!"

   Kui Eng berseru dengan girang sekali.

   "Ah, kalau begitu, tentu engkau penunggang kuda yang membalap tadi, bukan?"

   "Benar, sumoi. Dan di manakah adanya tunanganmu?"

   Terbelalak mata Kui Eng mendengar pertanyaan ini, akan tetapi oleh karena semenjak dahulu sudah sering kali dan sudah biasa Bun Hong berkelakar dan menggodanya, maka dia menjawab sambil tertawa.

   "Suheng, masa datang-datang kau hendak menggoda aku? Tunangan mana yang kau maksudkan?"

   "Aku tidak menggoda dan juga tidak berkelakar, sumoi. Bukankah kau sudah bertunangan dengan suheng?"

   "Maksudmu dengan twa-suheng? Ah, jangan kau bicara yang bukan-bukan, ji-suheng!"

   Kata Kui Eng, akan tetapi wajahnya berobah merah.

   "Apa!? Betul-betul engkau tidak bertunangan dengan suheng?"

   Tanya Bun Hong sambil melangkah maju dan mendengar betapa suara Bun Hong mengandung getaran aneh, Kui Eng memandang dengan heran.

   "Ji-suheng, siapakah yang bertunangan? Aku tidak pernah bertunangan dengan siapapun."

   "Betulkah""..? Bukankah suheng dulu telah meminangmu""..?"

   "Memang ibunya meminangku, akan tetapi....."

   "Kau menolaknya"".? Sumoi, jawablah, kau...". kau menolak pinangannya?"

   Kui Eng memandang makin terheran-heran."Eh, kenapakah kau, ji-suheng? Memang benar aku telah menolaknya!"

   "Kau"..kau tidak mencinta suheng, sumoi?"

   Kini merahlah wajah Kui Eng dan sinar matanya mulai memperlihatkan kemarahan.

   "Ji-suheng, ingatlah, kau mengajukan pertanyaan yang bukan-bukan, sikapmu ini tidak semestinya setelah kita saling berpisah selama setahun dan baru bertemu sekarang!"

   Akan tetapi, dengan wajah pucat dan bibir gemetar Bun Hong melangkah maju nada suaranya amat mendesak.

   "Jawablah, sumoi..., jawablah apakah engkau tidak mencinta twa suheng"""?"

   Kui Eng memandang dengan terbelalak. Wajah suhengnya itu di bawah sinar bulan purnama nampak pucat mengerikan, seperti orang yang sakit keras. Saking tegang dan heran batinya, dia tidak mampu menjawab hanya nenggelengkan kepala berkali-kali dan menarik napas panjang.

   Tiba-tiba Bun Hong menjatuhkan dirinya berlutut di depan Kui Eng sehingga dara itu menjadi kaget dan heran sekali, lalu melangkah mundur.

   "Sumoi"". sumoi". ah, kalau kuketahui hal itu"". kalau aku tahu bahwa engkau menolak pinangan suheng, bahwa engkau tidak cinta kepadanya"".. ahhh"".!"

   Karena sejak kecil dia telah hidup di dekat Bun Hong, maka timbullah kekhawatiran di dalam hati Kui Eng. Hubungannya dengan Bun Hong sudah seperti kakak dan adik kandung saja, maka melihat keadaan suhengnya ini, Kui Eng cepat melangkah maju lagi dan memegang pundak Bun Hong, ditariknya pemuda itu berdiri dan gadis itu menatap wajah Bun Hong dengan tajam penuh selidik.

   "Ji-suheng. Kenapa engkau? Kurang lebih setahun kita tidak saling jumpa dan engkau telah bcrobah sekali..... mengapa kau begini pucat dan gelisah? Apa yang telah terjadi..."..?"

   "Sumoi, kalau saja aku tahu"".. ah, biarlah sekarang saja kuakui semuanya. Sumoi. Dengarlah baik-baik. Sudah semenjak kita berada di puncak Kwi-hwa-san, sejak kita masih kecil aku".. aku telah mencintamu, sumoi. Aku mencintamu dan selalu merindukanmu, mengharapkan setiap saat untuk melihat api cinta terpancar dari matamu, mengharapkan engkau membalas perasaanku. Kemudian"""

   Kemudian aku mendengar percakapan antara suheng dan ibunya, bahwa ibunya hendak menjodohkan dia dengan engkau. Aku lalu mengalah, aku pergi, karena takkan kuat hatiku melihat kau bertunangan dengan suheng. Akan tetapi, aku rela, aku rela mengundurkan diri dan mengalah. Aku terlalu mencinta engkau dan suheng, tidak dapat aku menghalangi kebahagiaan kalian. Akan tetapi sekarang"".. ternyata kau tidak membalas cintanya, kalian tidak bertunangan! Ya Tuhan""

   Kalau aku tahu"". aku akan mencintamu dengan seluruh jiwaku! Akan tetapi aku sekarang telah terikat erat-erat! Akan tetapi, sumoi, aku akan melepaskan belenggu itu sekarang juga, aku cinta padamu, sumoi, marilah kita pergi berdua ke alam bebas, menikmati hidup bersama. Sumoi, aku cinta padamu"".!"

   Kembali Bun Hong menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Eng seperti orang yang telah berobah ingatan! Memang semua yang dihadapinya dalam hidup serba mengecewakan hati Bun Hong, membuat pemuda ini seperti gila karena menyesal. Semua sudah terlanjur dan dia ingin menjangkau hal-hal di luar jangkauannya,mengira bahwa yang dijangkaunya itu akan merobah kehidupannya yang dianggap penuh dengan kekecewaan itu.

   Kini Kui Eng tidak membangunkannya, bahkan sejak tadi, dara yang mendengarkan pengakuan Bun Hong itu telah menjadi pucat sekali mukanya dan tubuhnya menggigil. Kini dia malah melangkah mundur dua tindak dengan kaki terasa lemas, menjauhi suhengnya.

   "Ji-suheng"".."

   Suaranya gemetar, kedua kakinya menggigil, wajahnya pucat.

   "jangan..... jangan bersikap demikian.....!"

   "Sumoi, aku cinta padamu"".!"

   Bun Hong berbisik, menyembah-nyembah dan mengangkat mukanya yang tampan, yang ditimpa cahaya sinar lembut dari bulan purnama, wajah yang pucat dan sinar mata yang penuh permohonan, mengharapkan kasihan orang.

   "Tidak, suheng. Kau tidak cinta padaku! Hubungan antara kita adalah sebagai kakak dan adik aku tidak bisa membalas cintamu dan tidak mungkin menjadi jodohmu!"

   Jawaban ini diucapkan dengan suara tegas karena dara ini teringat kepada Min Tek, pemuda yang benar-benar dicintanya itu.

   Bu Hong mengangkat mukanya yang pucat dan dari sepasang matanya menyambar keluar pandang mata yang tajam. Tiba-tiba dia melompat berdiri dan sikapnya menakutkan dengan wajahnya yang pucat dan matanya yang kemerahan.

   "Sumoi, kalau begitu kau""

   Kau mencintai pemuda kutu buku itu"".??"

   Marahlah hati Kui Eng mendengar Min Tek yang tidak bersalah apa-apa dimaki kutu buku "Andaikata benar, kau perduli apakah?"

   Jawabnya sambil membalas pandang mata suhengnya dengan tajam dan sikapnya penuh tantangan.!

   "Apa"".? Ha-ha, tidak mungkin! Kau, sumoiku yang gagah perkasa ini, mencintai seorang kutu buku yang mengangkat pena saja hampir tidak kuat? Tidak mungkin itu dan .., tidak boleh! Aku akan melarangnya, lebih baik kubunuh saja kutu buku itu!"

   "Ji-suheng"".!""

   Kui Eng membentak dengan suara penuh kemarahan. Hatinya sebal sekali mendengar ucapan itu.

   "Sumoi, aku cinta padamu. Kalau kau menikah dengan suheng, aku akan mengalah dengan hati rela, aku akan menghibur hatiku yang berdarah dan terluka dengan kenangan dan bayangan betapa engkau hidup berbahagia dengan suheng. Akan tetapi, aku tidak tahan melihat seorang pria lain berdiri di sampingmu, menjadi suamimu. Apa lagi dia seorang cacing buku yang lemah. Huh, akan kubunuh dia!"

   "Ji-suheng! Kau gila! Agaknya kau telah kemasukan iblis!"

   Bun Hong tertawa masam.

   "Memang, memang aku telah kemasukan iblis. Untuk menolong keluarga baik-baik, aku terpaksa harus menikah dengan seorang yang tidak kucinta. Aku terbelenggu seumur hidupku, dan tidak ada kekuatan yang dapat mematahkan belenggu ini, kecuali engkau, sumoi. Apabila engkau sudi membalas cintaku, sekarang juga kupatahkan belenggu itu, dan biarpun dihadapan kita terbentang lautan api yang menghadang, akan kuterjang bersamamu!"

   "Ji-suheng cinta kasih tidak dapat dipaksakan. Kau telah tersesat!"

   Bun Hong tertawa geli, kemudian dia melompat pergi dari tempat itu dan terdengar suaranya mengancam.

   "Kau harus tinggalkan dia, cacing buku itul Kalau kau melanjutkan hubunganmu dengan dia, akan kubunuh jahanam itu, sumoi!"

   Kui Eng hendak membantah akan tetapi bayangan suhengnya telah lenyap ditelan kegelapan bayangan bayangan pohon. Kui Eng berdiri bagaikan patung di tempat itu. Masih belum lenyap keheranan dan terkejutnya melihat betapa Bun Hong muncul dalam keadaan seperti itu. Tiba tiba saja keluarlah air matanya. Semenjak dulu dia suka kepada ji-suhengnya ini yang pandai berkelakar dan suka menggodanya, juga pandai menghiburnya. Bahkan, semenjak kecil, seperti juga twa-suhengnya, Bun Hong sering kali menolongnya, mencarikan buah-buah yang lezat, mencarikan bunga-bunga yang indah.

   Bun Hong melarang dia bergaul dengan Min Tek?? Tiba-tiba merahlah wajah Kui Eng, merah karena marah. Siapa hendak melarangnya? Tidak ada iblis manapun yang akan dapat melarangnya! Dia tidak takut akan ancaman Bun Hong. Kalau ji-suhengnya itu benar-benar telah gila dan hendak membunuh atau menyerang Min Tek, dialah yang akan membelanya! Dia tidak takut sedikitpun juga sungguhpun dia maklum akan kelihaian ji-suhengnya itu.

   Dengan perlahan Kui Eng lalu berjalan kembali ke rumah penginapan itu. Pada keesokan harinya, ketika Min Tek menegurnya dengan senyum manis dan bertanya mengapa wajahnya agak pucat dan muram, Kui Eng hanya tertawa saja dan tidak menceritakan sesuatu tentang pertemuannya dengan Bun Hong. Memang semalam dia tidak dapat tidur sama sekali, gelisah seorang diri di atas pembaringan di dalam kamar itu.

   Mereka berdua lalu bersantap pagi, kemudian menunggang kuda melanjutkan perjalanan mereka. Kui Eng selalu bersikap waspada dan hatinya bersiap siaga menjaga segala kemungkinan yang timbul sebagai akibat ancaman ji-suhengnya malam tadi. Ketika mereka tiba di sebuah hutan yang sunyi, terbuktilah bahwa ancaman Bun Hong semalam tidak kosong belaka karena di depan sana, di tengah jalan itu, nampak berdiri seorang pemuda yang memegang sebatang pedang di tangan kanan dan pemuda ini bukan lain adalah Bun Hong! Pakaian Bun Hong gagah sekali, seperti pakaian seorang pangeran muda, dan hal ini baru sekarang nampak oleh Kui Eng karena semalam dara ini kurang memperhatikan pakaian suhengnya.

   Kui Eng dan Min Tek menghentikan kuda mereka di depan pemuda itu dan Min Tek memandang dengan penuh keheranan dan penuh perhatian, juga dia diam-diam merasa kagum kepada pemuda yang gagah dan tampan itu, menduga duga siapa pemuda ini dan mengapa berdiri menghadang di tengah jalan dengan pedang di tangan.

   "Ji-suheng, mengapa kau menghadang perjalanan kami?"

   Terdengar Kui Eng bertanya dengan suara tenang.

   Mendengar ucapan dara ini, Min Tek terkejut bukan main dan cepat dia turun dari atas kudanya dan menjura kepada Bun Hong.

   "Maafkan, siauwte tidak tahu bahwa taihiap adalah suheng dari Kui-lihiap. Terimalah hormat dari Ang Min Tek."

   Akan tetapi, Bun Hong sama sekali tidak memperdulikan pemuda itu, bahkan dia lalu berkata kepada Kui Eng.

   "Sumoi sekali lagi kuminta, kautinggalkan dia ini dan pergi bersamaku, atau aku terpaksa akan memenggal dulu batang lehernya?"

   Kui Eng menjadi marah sekali dan cepat dia melompat turun dari atas punggung kudanya sambil mencabut pedangnya pula.

   "Suheng, suhu mengutus aku turun gunung untuk membasmi kejahatan! Biarpun engkau sendiri, kalau berlaku jahat dan sewenang-wenang, terpaksa akan kutentang!"

   "Hemm, bagus! Kalau begitu, terpaksa aku akan membunuh cacing ini!"

   Secepat kilat Bun Hong menggerakkan pedangnya menyerang. Min Tek yang berdiri terlongong karena tidak tahu mengapa kedua orang saudara seperguruan ini begitu bertemu terus bertengkar, dan tidak tahu puia mengapa pemuda yang gagah itu datang-datang hendak membunuhnya!

   "Tranggg""..!"

   Pandang mata Min Tek silau oleh percikan bunga api yang memancar keluar ketika pedang Kui Eng menyambar dan menangkis pedang Bun Hong. Akan tetapi, setelah pedangnya ditangkis oleh sumoinya, Bun Hong tidak memperdulikan sumoinya, terus saja dia mengulangi serangannya ke arah Min Tek.

   "Cringgg"".I"

   Kembali pedangnya terpental oleh tangkisan Kui Eng. Bun Hong mengulangi serangannya sampai tiga kali, akan tetapi tiga kali pula Kui Eng dapat menangkisnya.

   "Ji suheng! Kalau kau tidak menarik kembali pedangmu, terpaksa aku akan menyerang-mu!"

   Kui Eng membentak marah.

   Akan tetapi, Bun Hong menjawabnya dengan suara ketawa yang menyeramkan dan kembali dia sudah menerjang maju, menyerang dengan tusukan kilat ke dada Min Tek. Pemuda ini terkejut dan hanya melangkah mundur dengan kaget. Sekali ini, Kui Eng tidak dapat menahan sabarnya lagi, dan segera satelah dia menangkis tusukan ke arah dada pemuda sasterawan itu diapun cepat membalas dengan serangan kilat kepada ji-suhengnya.

   "Tranggg""..!"

   Kini Bun Hong terpaksa menangkis dan pemuda ini harus mencurahkan seluruh perhatiannya karena sumoinya itu telah menyerangnya dengan cepat sekali dan secara bertubi-tubi karena Kui Eng telah menjadi marah bukan main. Segera dua orang kakak beradik seperguruan itu telah bertempur seru dan bayangan mereka lenyap digulung sinar-sinar pedang yang berkeredepan. Akan tetapi, Bun Hong tidak pernah balas menyerang, hanya mengelak dan menangkis saja.

   "Sumoi, aku tak dapat mengganggumu, aku hanya ingin membunuh cacing itu saja!"

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bun Hong berkata sambil menangkis dua kali tusukan pedang beruntun dari sumoinya.

   "Tan Bun Hong!"

   Kui Eng membentak dengan sinar mata berapi.

   "Kau bisa membunuhnya selelah melewati mayatku!"

   "Aha, begitukah? Kalau kau sudah begitu nekat, terpaksa aku harus membunuh kalian berdua! Lebih baik melihat kau mati di ujung pedangku dari pada melihat kau digandeng laki-laki lain!"

   Teriak Bun Hong dan kini diapun membalas dengan serangan-serangan hebat. Terjadilah perkelahian mati-matian yang amat hebat antara kedua saudara seperguruan ini. Kekuatan mereka memang seimbang. Sungguhpun Bun Hong menang tenaga dan keuletan, namun Kui Eng telah mendapat pengalaman berkelahi lebih banyak dan memang sejak dulu di antara tiga orang murid Lui Sian Lojin itu, Kui Eng memiliki ginkang yang lebih tinggi sehingga gerakannya lebih gesit dan lebih cepat dari pada gerakan Bun Hong.

   Melihat perkelahian itu, Min Tek menjadi bingung bukan main. Mendengar percakapan antara kedua orang muda itu tadi, maklumlah dia bahwa gara-gara perkelahian itu adalah dirinya sendiri! Agaknya Kui Eng jatuh cinta kepadanya dan suhengnya itu merasa cemburu! Dia terkejut bukan main. Celaka! Dia harus mencegah pertempuran itu. Maka, berulang-ulang Min Tek berseru lantang.

   "Taihiap! Lihiap, berhentilah! Dengarlah keteranganku".!"

   Akan tetapi, Kui Eng dan Bun Hong keduanya memiliki watak yang keras dan pantang mundur, maka seruan berkali-kali itu tidak mereka dengarkan dan mereka bahkan bertempur makin seru dan nekat!

   Pada saat itu, dari jauh datang seorang laki-laki dengan jalan perlahan, akan tetapi ketika melihat pertempuran di depan itu, dia lalu berlari cepat sekali menghampiri. Setelah dekat, orang itu berseru keras.

   "Sute""..! Sumoi"! Apakah kalian sudah menjadi gila? Tahan!"

   Orang ini bukan lain adalah Gan Beng Han!

   Setelah sembuh dari racun jarum akibat serangan Tek Po Tosu, Beng Han meninggalkan dusun Kiong-nam-teng dan pergi ke kota raja untuk mencari sutenya. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia akan bertemu dengan sute dan sumoinya di tempat itu dalam keadaan saling serang secara mati-matian. Melihat betapa kedua orang itu tidak mau berhenti oleh teriakannya, Beng Han lalu mencabut pedangnya dan melompat ke tengah medan pertempuran, menggerakkan senjatanya menangkis dan menahan sinar pedang kedua orang adik seperguruannya itu.

   "Tranggg""..cring""..!Berhenti"".!Berhenti"..! Kalian orang-orang bodoh! Mengapa saling serang seperti orang orang gila?"

   Kui Eng berdiri dengan napas terengah-engah dan pedang dipegangnya erat-erat, sedangkan Bun Hong berdiri dengan dahi penuh keringat, juga memegang pedang sambil memandang dengan muka pucat dan mata liar.

   "Dia""

   Dia hendak membunuh Ang kongcu".."

   Kata Kui Eng kepada Beng Han, hidungnya kembang-kempis, matanya berapi-api penuh kemarahan. Beng Han memandang ke arah pemuda pelajar itu yang berdiri bengong dan bingung.

   "Siapakah dia, sumoi?"

   Tanya Beng Han.

   "Dia adalah"". adalah sahabatku,"

   Jawab Kui Eng.

   Beng Han memandang tajam ke arah Bun Hong.

   "Sute, mengapa kau hendak membunuh dia?"

   Bun Hong cemberut, kemarahannya masih bergolak. Dia tidak membenci Min Tek, bahkan tidak memperdulikan pemuda itu. Pemuda itu tidak ada artinya baginya, kalau dia hendak membunuhnya hanya karena pemuda itu dipilih oleh Kui Eng. Pemuda itu karena dekat dengan Kui Eng, dan siapapun orangnya yang didekati Kui Eng, tentu akan dibunuhnya! Maka, pertanyaan suhengnya itu seperti tidak didengarnya karena baginya, membunuh atau tidak membunuh siucai itu tidaklah penting.

   "Suheng, mengapa kau tidak jadi bertunangan dengan sumoi?"

   Pertanyaan itu diucapkannya keras-keras seperti orang mencela dan menegur sehingga Beng Han menjadi heran dan terkejut sekali dan wajahnya berobah merah. Mendengar sutenya itu bicara seperti itu, di depan Kui Eng, bahkan di depan seorang pemuda asing, benar-benar amat mengejutkan sekali.

   "Sute, omonganmu ini sungguh tidak patut!"

   Bentaknya.

   "Tidak patut katamu?"

   Dada Bun Hong terengah-engah karena menahan gelora hatinya yang penuh kemarahan.

   "Suheng, kau tahu betapa perasaan hatiku terhadap sumoi! Kita bertiga semenjak kecil bersama-sama, senasib sependeritaan. Kalau sumoi menjadi jodohmu, aku rela.... aku mengalah, akan tetapi kalau sumoi memilih laki-laki lain, aku tidak rela! Sumoi mencinta pemuda ini, maka dia harus kubunuh! Kalau sumoi menghalangi, biar kubunuh keduanya!"

   "Sute, kau gila""!"

   Kui Eng mengusap beberapa butir air mata yang menuruni kedua pipinya.

   "Bun Hong, kau manusia kejam! Kau membikin malu kepadaku. Mari kita bertanding mengadu jiwa!"

   Kui Eng melompat maju dan menyerang, akan tetapi Beng Han mencegahnya.

   "Sumoi, sabarlah dan serahkan urusan ini kepadaku. Sebetulnya, apakah yang terjadi?"

   Kui Eng memandang kepada Beng Han dengan air mata masih membasahi pipinya.

   "Suheng, aku tidak bersalah apa-apa. Aku hanya mengantar Ang-kongcu yang hendak kembali ke dusunnya. Tahu-tahu ji-suheng menghadang di sini dan hendak membunuh kami."

   Beng Han berpaling kepada Bun Hong dani membentak.

   "Sute, jangan kau melanjutkan kesesatanmu itu. Hubungan kita dengan sumoi hanyalah sebagai saudara seperguruan dan urusan pribadinya tidak boleh kita mencampurinya.

   "

   "Ah, kau tidak tahu hatiku, kau tidak tahu penderitaanku. Pendeknya, sumoi hanya boleh memilih antara kau atau aku, tidak boleh memilih orang lain! Biar kubunuh pemuda pucat itu!"

   Teriak Bun Hong marah.

   "Kalau kau membelanya, suheng, terpaksa aku akan melawanmu pula!"

   "Manusia sesat!"

   Beng Han membentak marah,"Sumoi, kau lanjutkanlah perjalananmu bersama kongcu ini, biar aku yang akan menghadapi sute."

   Sementara itu, Min Tek yang mendengarkan semua ini, menjadi pucat dan tubuhnya menggigil. Sama sekali bukan karena takut, akan tetapi karena terharu. Baru sekarang dia tahu bahwa tiga orang ini adalah saudara-saudara seperguruan yang tinggi ilmu kepandaiannya, dan karena kini mereka bertengkar karena dia, maka sudah tentu dia merasa bingung sekali. Mendengar betapa Kui Eng mencintanya, dia merasa terharu bukan main. Mula-mula, dara itu yang hendak membelanya dengan taruhan nyawa, sampai melawan suheng sendiri, kini orang pertama dari tiga orang bersaudara seperguruan itupun hendak membelanya

   "Kui-lihiap, biarlah kujelaskan kepada suhengmu"".."

   Katanya. Akan tetapi Kui Eng telah melompat ke atas punggung kudanya dan berkata,

   "Ang-kongcu, marilah kita pergi!"

   Terpaksa Min Tek naik ke atas punggung kudanya pula dan ikut pergi dengan cepat menyusul Kui Eng yang telah mendahuluinya.

   Bun Hong marah sekali.

   "Suheng, kau tidak tahu betapa besar cintaku terhadap sumoi. Lebih baik aku mati di tanganmu dari pada melihat sumoi menjadi isteri pemuda lemah dan pucat itu! Kalau kaususul dia dan mengambil sumoi sebagai isterimu, aku akan merasa bahagia dan rela, suheng. Akan tetapi, kalau kau membiarkan dia merendahkan diri dan menjadi jodoh pemuda itu, biar bagaimanapun juga, aku akan menghalanginya."

   "Sute, tidak kusangka bahwa setelah berada di kota raja, engkau menjadi gila. Perasaan hatimu terhadap sumoi yang kaunamakan cinta itu sesungguhnya bukanlah cinta kasih yang sejati, melainkan cinta palsu yang diliputi nafsu semata, nafsu hendak menyenangkan dirimu sendiri! Kau hendak membunuh pemuda pelajar yang tidak berdosa itu? Baik, ada aku yang akan membelanya!"

   "Kau""..??"

   Kedua mata Bun Hong yang sudah merah karena marahnya itu tiba-tiba mengeluarkan dua titik air mata.

   "Kau hendak melawan aku, suheng? Kau"".?"

   "Apa boleh buat. Lebih baik melihat saudaraku yang kukasihi mati dari pada melihat dia hidup melakukan kejahatan!"

   Bun Hong berteriak keras dan menerjang maju mengirim tusukan dengan pedangnya. Beng Han menangkis dan keduanya lalu bertempur hebat, lebih seru dan lebih mati-matian dari pada ketika Bun Hong bertempur melawan Kui Eng tadi. Bun Hong memiliki kecepatan gerakan luar biasa dan pedangnya berkelebat menyambar-nyambar dengan ganasnya. Biarpun dia masih kalah cepat kalau dibandingkan dengan Kui Eng, akan tetapi dibandingkan dengan suhengnya ini dia masih menang tinggi tinggi ginkangnya. Akan tetapi, Beng Han yang waspada dan tenang dapat menghadapinya dengan baik dan mengembalikan setiap serangan sutenya karena memang dasar ilmu silat Beng Han lebih matang dari pada sutenya.

   Kalau tadi, ketika Bun Hong bertempur melawan Kui Eng, mereka bergerak cepat seperti sepasang naga memperebutkan mustika dan gerakan mereka itu amat mirip karena keduanya mengandalkan kecepatan, adalah kini pertempuran antara Bun Hong dan Beng Han memperlihatkan gerakan yang amat berbeda di antara mereka. Bun Hong bergerak gesit dan pedangnya menyambar ganas dan cepat, sedangkan gerakan Beng Han tenang dan mantep, pedangnya membentuk gulungan sinar yang kokoh kuat. Betapapun juga, ilmu pedang mereka bersumber dari satu dasar ilmu pedang, yaitu Kwi-hoa Kiam-hoat, maka tentu saja mereka dapat mengembalikan setiap serangan dengan baik. Mereka hanya mengandalkan keuletan dan kegesitan kaki tangan belaka dan kedua orang kakak beradik seperguruan ini tidak jauh bedanya dengan kalau mereka sedang berlatih ilmu pedang mereka!

   Pantangan bagi orang yang sedang bertanding silat adalah perasaan takut, bimbang dan terutama sekali nafsu amarah. Biarpun Bun Hong tidak merasa takut, akan tetapi menghadapi Beng Han dia merasa bimbang dan kehilangan sebagian kepercayaan diri sendiri, dan hatinya masih diliputi kemarahan sehingga gerakan pedangnya tidaklah semantap dan setepat gerakan Beng Han. Oleh karena itu, beberapa kali hampir saja dia menjadi korban pedang suhengnya, baiknya Beng Han masih merasa tidak tega dan kasihan kepada sutenya itu sehingga setiap kali ujung pedangnya sudah mendekati sasaran, dia segera menarik kembali serangannya itu. Beng Han amat mencintai adik seperguruannya ini, maka tentu saja tidak tega hatinya untuk melukainya, apa lagi membunuhnya.

   Tiba-tiba Beng Han mengeluarkan bentakan nyaring, pedangnya menyerang dengan jurus Angin Taufan Menyambar Pohon. Gerakannya hebat dan kuat sekali sehingga ketika Bun Hong menangkis, ujung pedang Beng Han masih mendesak dan berhasil melukai lengan tangan Bun Hong, Kulit dan daging lengan itu terobek dan darah bercucuran keluar. Beng Han terkejut dan melompat mundur, sedangkan Bun Hong dengan tersenyum pahit lalu menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus darah di lengannya itu.

   "Suheng, kau hebat sekali,"

   Katanya.

   Beng Han berkata dengan suara sedih.

   "Su-te, janganlah kita bertempur lagi. Insaflah, tidak baik ilmu pedang yang kita pelajari dengan susah payah itu kita pergunakan untuk saling serang sendiri."

   Akan tetapi Bun Hong tertawa menyeramkan dan berkata.

   "Suheng, ketahuilah. Selama berbulan-bulan hatiku gelisah dan menderita karena memikirkan sumoi. Aku telah banyak menderita, bahkan nasibku yang sial membawaku terbelenggu dan untuk menolong keluarga Pangeran Song aku terpaksa menikah dengan puterinya, sementara hatiku masih tetap merindukan sumoi. Aku menghibur kesedihanku dengan pikiran bahwa sumoi sudah sesuai menjadi jodohmu dan karena kalian adalah orang-orang yang kukasihi, maka aku merasa rela dan ikhlas. Tidak tahunya, kalian tidak bertunangan dan bahkan sumoi mendekati seorang pemuda pelajar yang lemah. Bagaimana hatiku bisa senang? Luka sedikit ini tidak ada artinya, ayo kita lanjutkan, suheng, dan jangan kepalang tanggung kau mengerjakan pedangmu!"

   "Sute""..!"

   Akan tetapi Bun Hong sudah melompat maju dan menyerang pula sehingga Beng Han merasa bingung dan berduka sekali. Terpaksa dia mengangkat pedangnya menangkis. Pada saat itu terdengar suara tertawa keras bergelakdan tiga bayangan orang berkelebat mendatangi. Mereka itu adalah Tek Po Tosu, Bong Kak Im, dan Bong Kak Liong, tiga orang jagoan kelas utama dari Thio-thaikam! Mereka ini semenjak dahulu telah menaruh curiga terhadap Bun Hong, akan tetapi oleh karena Bun Hong dapat mengendalikan diri dan tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya, maka merekapun tidak mempunyai bukti dan tidak berdaya untuk mencelakainya.

   Akan tetapi, mereka tidak pernah berhenti menyebar penyelidik dan mereka mendengar dari para penyelidik bahwa mantu Pangeran Song itu sering kali berkuda ke luar kota, entah melakukan pekerjaan apa Timbullah kembali kecurigaan tiga orang jagoan itu dan setelah mereka memberi laporan kepada Thio-thaikam, mereka lalu diutus untuk menyelidiki. Demikianlah, mereka lalu mengadakan penyelidikan, selalu membayang Bun Hong dengan diam-diam sehingga mereka dapat mengetahui ketika Bun Hong bertempur dengan Kui Eng dan kemudian setelah melihat munculnya Beng Han dan mendengar percakapan mereka, tahulah tiga orang jagoan kota raja ini bahwa Bun Hong benar benar adalah pemuda berkedok yang dulu pernah menyerang Thio-thaikam. Segera mereka muncul dan terdengar suara Tek Po Tosu.

   "Aha, tidak tahunya mantu Pangeran Song benar-benar adalah pemberontak yang kami cari cari!"

   Bun Hong dan Beng Han terkejut sekali nendengar ini dan mereka segera menghentikan perkelahian mereka dan berdiri berdampingan, menghadapi tiga orang jagoan dari Thio-thaikam itu. Melihat Beng Han, Tek Po Tosu tertawa lagi mengejek.

   "Eh, eh, tidak tahunya mantu Pangeran Song adalah sute dari pemberontak yang telah kujatuhkan! Masih belum mampuskah engkau? Baik, baik! Kalau begitu sekarang akan kubinasakan kalian pemberontak-pemberontak rendah!"

   Sambil berkata demikian, tosu itu mencabut siang-kiamnya sedangkan Bong Kak Im juga sudah mengeluarkan sepasang kapaknya yang dahsyat, diikuti oleh Bong Kak Liong yang menarik keluar sebatang goloknya yang lihai.

   "Sute, mari kita basmi anjing-anjing penjilat ini!"

   Kata Beng Han dengan penuh geram.

   Bun Hong tersenyum.

   "Baik, suheng. Memang telah lama sekali aku ingin membunuh anjing-anjing rendah ini!"

   "Pemberontak hina, bersedialah menerima kematian!"

   Bong Kak Im berseru dan mulai menyerang dengan sepasang kapaknya. Serangannya ini disambut oleh Bun Hong.

   "Penebang kayu, jangan kau menjual lagak di sini!"

   Teriaknya dan dia sudah menggerakkan pedangnya untuk menangkis dan balas menyerang. Bong Kak Liong lalu menggerakkan goloknya membantu kakaknya sehingga Buh Hong segera dikeroyok dua, akan tetapi orang muda itu dengan gagahnya memutar peding dan memainkan ilmu pedangnya yang lihai.

   Beng Han menghadapi Tek Po Tosu. Dia menudingkan pedangnya ke arah muka tosu itu sambil berkata.

   "Pendeta keparat! Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk mengadu kepandaian tanpa mengandalkan pengeroyokan. Majulah dan kau boleh mempergunakan semua jarum-jarum jahatmu yang hanya menunjukkan sifatmu yang pengecut itu!"

   "Pemberontak sombong!"

   Tek Po Tosu berteriak dan segera melompat dan menerjang Beng Han dengan sepasang pedangnya yang digerakkan dari kanan kiri secara menyilang! Akan tetapi, dengan sikap tenang Beng Han memutar pedangnya dan sekaligus dia berhasil menangkis sepasang pedang lawan itu.

   "Cring! Tranggg"".?!"

   Bunga api berpijar dan keduanya meloncat mundur untuk memeriksa senjata masing-masing karena pertemuan pertama yang dilakukan dengan pengerahan tenaga tadi membuat mereka merasa tangan mereka kesemutan dan khawatir kalau-kalau senjata mereka menjadi rusak. Akan tetapi setelah melihat bahwa pedang mereka tidak rusak, mereka sudah menerjang lagi ke depan dan saling serang dengan mati-matian karena mereka maklum bahwa mereka menghadapi lawan yang tangguh.

   Terjadilah pertempuran yang amat hebat dan seru di tempat sunyi itu, disaksikan oleh pohon pohon yang bermandikan cahaya matahari yang terik. Tidak ada orang lain di tempat itu kecuali lima orang yang sedang bertanding mati-matian itu.

   Kesunyian di tempat itu dipecahkan oleh suara senjata yang beradu dan seruan-seruan mereka yang berkelahi, terutama sekali suara sepasang kapak di tangan Bong Kak Im yang setiap kali bertemu dengan pedang lawan terdengar berdenting nyaring. Dua orang murid Lui Sian Lojin itu harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaian mereka karena sekali ini mereka benar-benar menghadapi lawan-lawan yang tangguh

   Bun Hong pernah menghadapi Bong Kak Liong, akan tetapi pada waktu itu dia dikeroyok oleh banyak sekali perwira sehingga dia tidak dapat mengukur kepandaian lawannya itu yang memang lihai. Bong Kak Liong dan lebih-lebih lagi Bong Kak Im adalah jago-jago yang amat diandaikan oleh Thio-thaikam, dan jika dibandingkan dengan panglima-panglima pengawal di istana kaisar, mereka ini sedikitnya menduduki tingkat tiga, maka kelihaian mereka tentu saja amat hebat. Apa lagi kini kakak beradik ini maju berdua mengeroyok Bun Hong, senjata mereka berkelebatan menyilaukan mata dan setiap gerakan mereka merupakan serangan maut yang berbahaya sekali.

   Akan tetapi, dengan bersemangat dan penuh kegembiraan karena sudah lama Bun Hong memang menahan-nahan gelora hatinya untuk menentang mereka ini, Bun Hong menyambut semua serangan dan membalasnya dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Setelah kini menghadapi musuh-musuh yang dibencinya ini sebagai lawan berkelahi, permainan pedang Bin Hong menjadi makin lincah, karena dia tidak merasa bimbang lagi dan seluruh kebencian dan kemarahan yang timbul dari kekecewaan dan kedukaan hatinya tadi kini ditimpakannya ke atas kepala dua orang lawan yang tangguh ini!

   Juga Beng Han menghadapi Tek Po Tosu dengan hati-hati sekali karena dia tahu akan kelihaian lawan. Menghadapi desakan tosu ini tanpa dikeroyok, Beng Han dapat melayaninya dengan baik, bahkan dia dapat melancarkan serangan-serangan balasan yang cukup mengejutkan hati Tek Po Tosu. Tosu ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi setingkat dari pada kepandaian dua orang perwira she Bong itu, maka biarpun hanya seorang diri, dia dapat mengimbangi kepandaian Beng Han. Sepasang pedangnya bergerak secara luar biasa sekali dan gerakan pedang di tangan kanan ganas dan cepat, akan tetapi sebagian besar hanya merupakan gertakan saja untuk membingungkan lawan.

   Sebenarnya yang berbahaya adalah pedang di tangan kirinya, karena walaupun pedang di tangan kiri ini hanya bergerak lambat dan dipergunakan untuk menangkis belaka, akan tetapi pada saat yang tepat pedang itu melakukan tusukan atau bacokan yang amat berbahaya dan tidak terduga-duga datangnya. Beng Han maklum akan hal ini, maka dia bersilat dengan tenang dan waspada, sama sekali tidak mau dikacau oleh gerakan pedang di tangan kanan lawan itu.

   Demikianlah, kedua orang muda seperguruan yang tadi saling bertempur dengan hebat, kini dengan sendirinya telah bersatu menghadapi tiga orang lawannya yang tangguh. Diam-diam perasaan haru dan gembira menyelinap di dalam hati kedua orang muda itu, karena dengan adanya pertempuran dan bahu-membahu menghadapi musuh ini, agaknya segala kesalah pahaman di antara mereka telah tersapu bersih tanpa kata-kata, dan perasaan mereka kembali seperti dulu ketika mereka masih bersama-sama belajar silat di pondok Kwi-hoa-san.

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   Sambil bersilat membendung serangan-serangan Tek Po Tosu, kadang-kadang Beng Han melirik ke arah Bun Hong untuk melihat keadaan sutenya itu. Dia merasa gelisah juga menyaksikan betapa tangguh adanya dua orang perwira itu. Dia sendiri maklum bahwa tidak akan mudah baginya untuk menjatuhkan Tek Po Tosu yang amat lihai, dan apa bila pertempuran itu diteruskan, fihaknyalah yang akan menderita rugi. Dia melihat betapa wajah Bun Hong agak pucat, tanda bahwa sutenya itu kurang tidur dan banyak menderita tekanan batin. Dia belum tahu jelas bagaimana keadaan hidup sutenya itu karena belum mendapatkan kesempatan untuk bicara dengan leluasa. Akan tetapi agaknya keadaan sutenya agak lemah sedangkan kedua orang lawan sutenya itu benar benar amat tangguh. Diam-diam Beng Han mencari akal untuk dapat menyelamatkan sutenya. Dia tahu bahwa tanpa lebih dulu menyingkirkan tosu ini, tak mungkin dia dapat membantu sutenya.

   Tiba-tiba dia berseru dengan nyaring dan pedangnya bergerak cepat sekali. Tanpa diduga-duga oleh lawan, Beng Han meloncat ke atas, seperti seekor naga terbang di angkasa lalu menukik ke bawah, pedangnya meluncur dan diputar-putar menyambar ke arah tubuh Tek Po Tosu. Pendeta ini terkejut bukan main karena serangan lawan itu sungguh amat berbahaya, maka dia cepat meloncat jauh ke beIakang. Memang inilah yang dikehendaki oleh Beng Han. Melihat kesempatan ini, Beng Han segera melakukan gerakan kilat. Dia melompat ke arah Bun Hong dan dari samping dia mengirim serangan kilat kepada Bong Kak Liong yang bersenjata golok.

   "Hyaaattt""!!"

   Beng Han menusukkan pedangnya ke arah dada perwira yang bertubuh tinggi kurus dan bersenjata golok itu.

   Bong Kak Liong terkejut sekali karena pada saat itu dia sedang mengangkat goloknya untuk membacok kepala Bun Hong dengan pengerahan tenaga sepenuhnya. Melihat berkelebatnya pedang yang menyerangnya secara tiba-tiba itu, dia cepat menarik kembali goloknya dan membabat ke arah pedang yang menusuk dadanya. Akan tetapi Bun Hong yang melihat kesempatan baik lalu menggerakkan kakinya.

   "Bukkk"..!"

   Tendangan itu hebat bukan main, dilakukan oleh Bun Hong dengan pengerahan seluruh tenaganya dan tendangannya tepat mengenai bawah iga sehingga menggetarkan isi dada dan jantung perwira itu. Bong Kak Liong mengeluarkan pekik mengerikan dan roboh dengan muntah darah, tidak dapat bangkit kembali karena dia menderita luka yang amat parah di dalam dadanya yang mengguncang jantungnya. Tendangan yang amat keras dan tepat jatuhnya itu jelas akan merenggut nyawa perwira itu.

   Melihat ini bukan main marahnya Tek Po Tosu. Dia mengeluarkan saputangannya dan mengebut beberapa kali sehingga belasan jarum menyambar ke arah Beng Han dan Bun Hong. Beng Han yang pernah menjadi korban kelihaian jarum-jarum itu, segera berseru "Awas, sute, jarum-jarum beracun!"

   Bun Hong yang merasa girang karena berhasil merobohkan Bong Kak Liong, segera menjatuhkan diri dan bergulingan sehingga dia terhindar dari sambaran jarum, sedangkan Beng Han yang sudah siap sedia, lalu memutar pedangnya sehingga semua jarum dapat diruntuhkannya. Bun Hong menjadi marah dengan berseru keras dia lalu menerjang Tek Po Tosu sehingga pendeta itu tidak sempat mempergunakan saputangannya lagi, dan terpaksa menyambut serangan Bun Hong dengai siang-kiamnya. Kini Beng Han yang menghadapi

   Bong Kak Im, musuh lamanya.

   Perwira she Bong ini menjadi marah ketika meiihat adiknya roboh dan tewas, akan tetapi hatinya juga merasa gentar. Selama ini dia dan adiknya, bersama tosu itu menjagoi di mana-mana, jarang ada orang berani melawan nereka bertiga dan kalaupun ada yang melawan, tentu musuh-musuh itu dapat mereka basmi dengan mudah. Karena terlalu mengandalkan dirinya sendiri, maka mereka bertiga tadi datang tanpa dikawal pasukan. Mereka sudah memastikan bahwa mereka bertiga pasti akan dengan mudah menangkap atau membunuh dua orang pemuda pemberontak itu. Siapa kira, dua orang pemuda itu lihai sekali sehingga adiknya, Bong Kak Liong, menjadi korban dan tewas. Maka tentu saja dia merasa agak gentar.

   Karena merasa gentar itulah maka permainan sepasang kapak dari Bong Kak Im menjadi agak kacau dan lambat. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Beng Han dan karena dia maklum bahwa kepandaian perwira itu tidaklah selihai si tosu, maka dia lalu mengeluarkan serangan-serangan yang paling hebat dari Kwi-hoa Kiam-hoat. Sebentar saja Bong Kak Im terdesak tebat oleh jurus-jurus terampuh dari ilmu pedang itu. Ketika Beng Han menyerang dengan jurus Hui-pauw-liu-coan (Air Terjun bertebaran). Bong Kak Im tidak dapat mempertahankan diri lebih lama lagi.

   "Hyaaaahhhh""..!!"

   Bong Kak Im terkejut melihat berkelebatnya sinar pedang. Dia berusaha menangkis dengan kapak kirinya sambil mengerahkan tenaga, akan tetapi ternyata lawan merobah gerakannya, memapaki tangkisannya agak ke bawah.

   "Crokkk"".! Aihhhh""..!"

   Bong Kak lm menjerit ngeri karena tangan kirinya itu telah terbabat putus dan kapaknya melayang di atas kepalanya. Kesempatan baik ini dipergunakan oleh Beng Han, pedangnya meluncur dan menembus dada Bong Kak Im. Ketika dia mencabut kembali pedangnya sambil meloncat, tubuh lawan itu roboh dan tewas di samping mayat adiknya.

   Melihat ini Tek Po Tosu terkejut buka main. Sungguh merupakan peristiwa hebat sekali melihat kematian kedua orang perwira she Bong itu, yang selama ini menjadi sekutunya dan bersama dia telah menjatuhkan entah berapa puluh orang lawan! Kini dia harus melihat kematian mereka didepan matanya tanpa dia mampu mencegahnya. Karena tekejut, tentu saja gerakan siang-kiamnya menjadi kacau, akan tetapi oleh karena ilmu kepandaiannya memang tinggi, ketika Bun Hong mendesak, dia masih sempat menyelamatkan diri dan melompat ke belakang dengan gerak Lo-wan-teig-ki (Monyet Tua Melompat Cabang). Bun Hong hendak mengejar, akan tetapi Beng Han segera memberi peringatan,

   "Jangan, sute"".. hati-hati terhadap jarum-jarumnya!"

   Bun Hong sudah terlanjur mengejar dan tiba-tiba saja, tepat seperti peringatan Beng Han, tosu itu menggerakkan tangan ke belakang, saputangannya berkibar dan belasan batang jarum sudah menyambar ke arah Bun Hong. Baiknya Beng Han telah memberi peringatan sehingga saat itu menurutkan teriakan suhengnya. Bun Hong sudah memutar pedangnya di depan tubuhnya, membentuk benteng dari gulungan sinar pedang. Biarpun dia telah berhasil memukul runtuh semua jarum yang menyambar, namun hampir saja sebatang jarum menghantam kakinya kalau saja Beng Han yang melihat sinar menuju ke kaki sute-nya itu tidak cepat melempar pedangnya yang meluncur ke depan dan pedang itu setelah menangkis jarum lalu menancap di atas tanah di depan kaki Bun Hong!

   Bun Hong mengeluarkan keringat dingin, mukanya berobah pucat dan dia tidak melanjutkan pengejarannya.

   "Lihai sekali jarum-jarum tosu itu!"

   Katanya dan dia mencabut pedang suhengnya yang masih menancap di atas tanah, mengembalikannya kepada suhengnya. Beng Han menyimpan pedangnya lalu maju memeluk tubuh sutenya.

   "Sute, kau hebat sekali!"

   Katanya dengari suara menggetar karena haru.

   Ketika merasa betapa tubuhnya dipeluk oleh suhengnya yang telah lama dirindukannya itu kedua mata Bun Hong menjadi basah dan perlahan-lahan meneteslah air mata di sepanjang kedua pipinya. Dia balas merangkul dan ke dua orang muda itu berangkul-rangkulan sambil mencucurkan air mata..

   Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Suheng, kau maafkan aku"".."

   "Sute, tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku tahu akan kepahitan yang menggerogoti hatimu. Akan tetapi, sute, bicara tentang patah hati, akulah yang sebenarnya lebih menderita dari padamu. Aku telah ditolaknya, akan tetapi, aku tetap mencintainya dan ingin melihat dia hidup bahagia, biarpun aku sendiri menderita"".."

   "Suheng, engkau memang berhati mulia, tidak seperti aku""."

   Tiba-tiba Bun Hong menghentikan kata-katanya, wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak.

   "Celaka""..!"

   Serunya.

   "Eh, ada apakah, sute?"

   Beng Han bertanya heran dan kaget melihat perobahan wajah sutenya.

   "Celaka sekali! Tosu itu tentu membuka rahasiaku dan celakalah keluargaku"""..!"

   "Keluargamu? Apa maksudmu""?"

   Beng Han bertanya, masih heran.

   Tiba-tiba Bun Hong memegang tangan suhengnya, memegangnya erat-erat dan ditariknya tangan itu sambil berkata.

   "Suheng, mari cepat kita mengejar tosu itu dan kita kembali ke kota raja! Urusan ini hebat sekali, suheng, biarlah kuceritakan sambil berlari pulang"".."

   Beng Han tidak banyak membantah lagi dan mereka berdua lalu berlari cepat menuju ke kota raja.

   Di sepanjang jalan, Bun Hong menceritakan pengalamannya, betapa dia melukai Thio-thaikam dalam usahanya membalas sakit hati para petani dan betapa dia gagal lalu bersembunyi di dalam gedung Pangeran Song sehingga untuk menjaga keluarga pangeran itu dari kehancuran, terpaksa dia menikah dengan Kim Bwee, puteri sulung pangeran itu sehingga kini mereka telah mempunyai seorang anak laki-laki. Semua ini diceritakannya dengan singkat namun jelas sambil berlari sehingga Beng Han merasa sedih sekali mendengar riwayat adik seperguruannya yang amat dikasihinya itu.

   "Betapapun juga, sute. Sebagai seorang laki-laki yang menjunjung tinggi kegagahan dan keadilan, engkau harus berlaku sebagai seorang suami yang baik. Engkau sudah mempunyai putera, maka sudah selayaknya kalau kau membuang pikiran-pikiran sesat dan memikirkan jalan untuk membahagiakan isteri dan puteramu itu.

   Bun Hong merasa terharu sekali dan insyaflah dia akan kesesatannya. Dia telah menikah, telah mempunyai seorang anak laki-laki, sedangkan isterinya begitu baik, begitu mencintanya, juga mertuanya adalah seorang yang bijaksana. Ah, dia telah berdosa besar terhadap isterinya, terhadap mertuanya, juga terhadap Kui Eng!

   "Aku harus membela mereka, suheng. Membela mereka dengan nyawaku. Celakalah kalau sampai Thio-thaikam melaporkan diriku kepada kaisar. Bagiku tidak ada artinya menjadi orang buruan kaisar, akan tetapi keluarga mertuaku"".."

   "Hayo kita percepat lari kita, sute. Kita harus bela mereka ! Jangan kau khawatir, ada suhengmu di sini yang akan mempertaruhkan nyawa untuk membela engkau dan anak isterimu!"

   

Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini