Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 14


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Sute, sumoi, mari kita menyerbu ke istana Thio-thaikam!"

   Seru Beng Han tiba-tiba.

   "Baik, mari aku yang menjadi penunjuk jalan!"

   Kata Bun Hong dan mendahului ke dua orang saudara seperguruannya, dia telah melompat meninggalkan tempat itu.

   Kui Eng yang tidak tahu akan duduknya perkara, hanya menurut saja dan mereka bertiga lalu melompat dan menghilang dalam gelap, dikejar oleh para perwira dan pasukannya yang menjadi bingung dan ribut karena tiga orang lihai itu lenyap di dalam kegelapan malam.

   Tak lama kemudian, keributan beralih tempat dan kini di atas genteng istana Thio-thaikam mengalami penyerbuan tiga orang muda, itu. Akan tetapi, semenjak siang tadi, Tek Po Tosu yang sudah mengkhawatirkan datangnya serbuan ini, telah berjaga-jaga, mengumpulkan perwira-perwira yang lihai untuk melakukan penjagaan yang ketat dan kuat sehingga ketika tiga orang pendekar dari Kwi-hoa san itu datang menyerbu, mereka bertiga menerima sambutan yang hangat!

   Kembali tiga orang muda itu mengamuk. Bun Hong memainkan pedangnya bagaikan gila sehingga mengerikan sekali, setiap pedangnya berkelebat tentu jatuh korban! Dia memang lincah dan cepat, dan kali ini rasa dendam dan duka karena kemalian isterinya membuat dia makin ganas sehingga jangankan para perwira pengeroyoknya, bahkan Beng Han dan Kui Eng sendiri merasa ngeri melihatnya. Pakaian Bun Hong yang tadinya telah bernoda darah isterinya di bagian dada, kini bertambah dengan darah para lawannya yang memercik dan menodai seluruh pakaiannya. Wajahnya beringas dan sepasang matanya merah, seolah-olah mengeluarkan api.

   Kui Eng juga terpengaruh oleh keadaan suhengnya ini dan gadis inipun mengamuk dengan hebat. Gerakannya yang disertai ginkang yang luar biasa itu membuat tubuhnya lenyap berubah menjadi segulung sinar pedang yang menyambar-nyambar ganas. Tiap kali terdengar seruannya yang melengking nyaring, pasti senjata lawan terpental jauh atau tubuh seorang pengeroyok roboh di atas genteng dan terus menggelundung ke bawah.

   Hanya Beng Han yang masih tetap tenang. Akan tetapi gerakan pedangnya ymg kuat dan rnantep itu tidak kurang berbahaya dari padi gerakan kedua adik seperguruannya. Tek Po Tosu yang maklum akan kelihaian pemuda ini segera membawa beberapa orang perwira mengurungnya, akan tetapi Beng Han tidak menjadi gentar. Dia maklum bahwa kali ini pertempuran dilakukan dengan mati matian dan tidak mengenal ampun, maka diapun tidak mau berlaku sungkan lagi. Dia mengeluarkan ilmu pedangnya yang hebat, dengan jurus-jurus yang paling ampuh sehingga sudah banyak fihak lawan yang roboh karena ujung pedangnya atau tendangan kakinya.

   Bukan main seru dan hebatnya pertempuran yang terjadi di atas genteng istana Thio thai kam pada malam itu. lebih seru dan ramai dari pada pertempuran di benteng tempat tahanan tadi oleh karena kini para perwira yang mengeroyok mereka adalah jago-jago pilihan yang sengaja didatangkan oleh Thio-thaikam dan Tek Po Tosu untuk menjaga keselamatan pembesar berpengaruh itu.

   "Suheng, aku akan menyerbu ke dalam!"

   Tiba-tiba Bun Hong berkata dan dengan nekat orang muda ini melayang turun dan membabat setiap orang penghalang dengan pedangnva. Berapa orang penjaga menyerbunya dengan golok di tangan, akan tetapi apakah daya para penjaga yang hanya memiliki kepandaian biasa itu terhadap pendekar yang diamuk dendam ini? Dengan mudah saja Bun Hong menggerakkan pedangnya dan bergelimpanganlah tubuh para penjaga itu memenuhi lantai. Bun Hong harus berlari ke dalam, menuju ke ruangan tengah di mana dulu dia pernah melihat Thio-thaikam mengadakan perundingan dengan para perwira.

   Ketika dia tiba di tempat itu, ternyata bahwa Thio-thaikam, seperti dulu pula, sedang duduk menghadapi dua orang Turki dan beberapa orang perwira lain, sama sekali tidak memperdulikan adanya keributan di luar. Memang Thio-thaikam memandang rendah sekali kepada dua orang pemuda itu agaknya! Pembesar ini terlalu meremehkan dua orang muda yang dicap pemberontak itu! Agaknya Thio-ihaikam terlalu percaya bahwa penjagaan yang kuat di luar istananya itu akan mencegah masuknya setiap pengacau, maka dia tidak mau memusingkan diri mengurus hal yang dianggapnya remeh itu, karena ada hal yang lebih penting untuk dibicarakan.

   Agaknya pembesar ini mengumpulkan orang-orangnya dan merundingkan tentang sikapnya terhadap Pangeran Song sekeluarga. Dia mengambil keputusan untuk mempergunakan pengaruhnya kepada kaisar agar supaya seluruh keluarga itu dapat dihukum mati. Bukan main girangnya hati Bun Hong melihat musuh besarnya itu dan dia mengeluarkan bentakan nyaring, keadaannya amat menyeramkan karena seluruh pakaian dan pedang di tangannja berlepotan darah.

   "Anjing kebiri Thio! Sampailah kini ajalmu!"

   Bun Hong segera menyerbu dengan pedangnya. Akan tetapi, empat orang perwira dan dua orang Turki itu mencabut pedang dan melawannya. Ternyata bahwa kepandaian para perwira itu cukup tinggi, bahkan dua orang perwira Turki yang berada di situ memiliki ilmu pedang yang aneh dan berbahaya. Terpaksa Bun Hong menghadapi pengeroyokan enam orang itu dengan nekat dan mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

   Biarpun dikeroyok oleh enam orang lihai dan sibuk melayani mereka, namun mata Bun Hong tidak pernah melepaskan bayangan Thio-thaikam, maka ketika dia melihat pembesar itu mencoba untuk melarikan diri melalui sebuah pintu, Bun Hong meninggalkan lawannya dengan lompatan cepat ke arah pintu. Karena amat bernafsu untuk mengejar Thio-thaikam maka dia kurang waspada, ketika melompat tadi, tusukan pedang dari seorang perwira menyerempet pundaknya, menembus baju dan melukai kulit pundaknya. Akan tetapi, Bun Hong seolah-olah tidak merasa sedikitpun juga dan sambil mengayun tangan kirinya dia membentak.

   "Pembesar jahat hendak lari ke mana?"

   Batu karang yang menyambar dari tangannya itu tepat memukul belakang kepala Thio-thaikam sehingga pembesar kebiri itu berteriak kesakitan dan terhuyung ke depan. Bun Hong menyusul dengan serangan dari belakang, dan menusukkan pedangnya dari belakang sehingga pedang itu memasuki punggung pembesar itu.

   "Crepp""..!"

   Dengan puas sekali Bun Hong mencabut kembali pedangnya. Tubuh Thio-Thaikam roboh terlentang di depannya.

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Bun Hong tertawa bergelak dan memandang ke arah muka pembesar yang telah sekarat itu dengan hati puas, akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berhenti dan kedua matanya terbelalak memandang ke arah wajah pembesar itu. Ternyata bahwa orang yang dibunuhnya itu, biarpun perawakannya sama dan pakaiannya juga pakaian yang biasa dipakai Thio-thaikam, akan tetapi ternyata dia bukanlah pembesar kebiri itu! Orang itu bukan Thio-thaikam!!

   Dan ketika dia memandang ke sekelilingnya, makin terkejutlah dia karena tempat itu telah penuh dengan perwira-perwira yang mengurungnya dari setiap penjuru. Dia telah terjebak! Dia memandang Thio-thaikam terlampau rendah. Ternyata bahwa pembesar yang licin dan cerdik itu telah membuat persiapan terlebih dulu dan menyuruh seorang pembesar palsu menggantikan tempatnya.

   Bun Hong berteriak dengan nyaring. Hatinya makin kecewa, gemas dan marah, dan dia telah mengamuk lagi, dikeroyok oleh belasan orang perwira yang berkepandaian tinggi! Berkat kecepatan gerakannya dan juga karena kenekatannya, dia masih dapat mempertahankan diri, sungguhpun dia sudah terdesak hebat sekali. Diputarnya pedangnya sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya terlindung oleh sinar pedang yang merupakan dinding dari sinar yang teguh. Akan tetapi, para pengeroyoknya terdiri dari jagoan-jagoan kota raja yang berkepandaian tinggi, maka beberapa buah senjata telah berhasil menembus pertahanannya dan dia telah menderita beberapa luka ringan.

   Akan tetapi, biarpun luka-luka itu membuat darahnya banyak mengucur keluar Bun Hong masih mengamuk terus seperti seekor naga bermain-main di antara awanl awan gelap. Bun Hong mempertahankan diri sedapat mungkin, namun beberapa kali ada saja senjata lawan yang menerobos masuk dan melukainya. Keadaannya makin terdesak dan berbahaya sekali, tubuhnya mulai lemas dan gerakannya lambat. Gerakan pedangnya sudah mulai kurang kuat dan makin sering ada senjata lawan menyentuh tubuhnya.

   Tiba-tiba nampak dari luar dua sosok bayangan yang menerjang ke dalam dengan hebat. Mereka ini adalah Beng Han dan Kui Eng yang berhasil membuka jalan meninggalkan para pengeroyok di luar untuk membantu Bun Hong.

   Beng Han dengan ilmu pedangnya yang luar biasa berhasil memecahkan kepungan yang mengancam keselamatan sutenya, kemudian dia menarik tangan sutenya itu sambil berseru kepada Kui Eng.

   "Sumoi, ikutlah padaku! Aku membuka jalan dan kau bersama sute menahan serangan dari belakang!"

   Beng Han lalu maju mendesak ke arah pintu depan sambil memainkan pedangnya melawan orang-orang yang menghadang di depan, sedangkan Kui Eng dan Bun Hongsambil mundur menahan desakan para pengejar dari belakang. Beng Han bertempur sambil mengayun tangan kiri membagi-bagi "hadiah"

   Berupa batu batu karang yang dibawanya sehingga terdengar pekik-pekik kesakitan berkali-kali pada saat sebutir batu mengenai kepala atau bagian lain dari tubuh seorang pengeroyok. Fihak lawan tidak berani menggunakan senjata rahasia dalam keroyokan ini, karena khawatir kalau senjata itu mengenai kawan sendiri,dan hal ini merupakan suatu keuntungan bagi fihak tiga orang pendekar itu.

   Juga Bun Hong menyerang para pengejar dengan pedang ditangan kanan dan batu yang disambitkan dengan tangan kiri. Perlahan akan tetapi tentu, ketiga orang pendekar muda yang mengamuk bagaikan tiga ekor naga sakti itu dapat keluai dari istana Thio-thaikam dan menyerbu ke luar pintu gerbang. Dalam pengeroyokan hebat itu, Beng Han telah menderita luka pada dada kanannya akan tetapi karena luka itu hanya merobek baju dan kulit saja, walaupun terasa perih dan panas, akan tetapi tidak mengurangi tenaganya. Kui Eng yang memiliki ginkang istimewa tidak terluka, hanya lelah sekali karena harus bertempur sekian lamanya.

   Yang paling parah adalah keadaan Bun Hong. Orang muda ini telah menerima beberapa tusukan senjata para pengeroyok dan dari luka lukanya keluar terlalu banyak darah sehingga gerakannya menjadi lambat, tubuhnya makin lemah dan kepalanya terasa pening Biarpun orang muda perkasa, ini sama sekali tidak pernah mengeluh dan mengamuk seperti seekor naga terluka, namun Beng Han dalam kesibukannya itu tahu akan keadaannya, keadaan sutenya yang berbahaya itu. Maka ketika mereka telah berhasil mendesak keluar dari pintu gerbang dan bertempur menghadapi para perwira itu di luar pintu, Beng Han lalu memberi aba-aba kepada dua orang adik seperguruannya.

   "Mari kita pergi!"

   Dia mendahului sute dan sumoinya melompat ke atas genteng sebuah rumah yang berada di dekat dinding istana, diikuti oleh Kui Eng. Akan tetapi ketika Bun Hong hendak ikut melompat pula, gerakannya terlalu lambat dan hampir saja dia tidak dapat mencapai genteng. Untung dia masih dapat meraih dan memegang ujung tiang di bawah genteng sehingga tubuhnya bergantung di situ.

   Beng Han dan Kui Eng terkejut sekali dan cepat mereka membalik dan memburu, akan tetapi pada saat itu Bun Hong yang sudah tidak dapat menahan lagi mengeluarkan seruan keras dan pegangannya terlepas sehingga tubuhnya jatuh ke bawah! Beng Han dan Kui Eng berteriak cemas dan cepat mereka melompat turun lagi dari atas genteng. Mereka masih dapat menyelamatkan Bun Hong yang sudah hampir dihujani senjata oleh para pengeroyoknya. Mereka berdua mengamuk hebat seperti dua ekor naga yang marah, melindungi tubuh Bun Hong yang menggeletak di atas tanah tanpa bergerak itu. Setelah memperoleh kesempatan baik, Beng Han cepat menyambar tubuh sutenya ini dan memondongnya. Alangkah kagetnya ketika dia melihat betapa dua batang senjata rahasia piauw telah menancap di tubuh sutenya, sebuah di dada dan sebuah lagi di lehernya! Ternyata bahwa ketika tubuh Bun Hong tadi menggantung pada tiang, seorang perwira telah menyerangnya dengan piauw yang berhasil mengenai sasarannya.

   "Sumoi, lari!"

   Beng Han berseru sambil melempar-lemparkan batu dari kantongnya kepada para pengeroyok. Dia tidak sanggup melawan lagi karena kini dia harus mempergunakan tangan kanannya untuk memanggul tubuh sute-nya yang telah pingsan dan lemas itu.

   Kui Eng mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk menahan para pengejar dan dia sengaja melindungi Beng Han yang memanggul Bun Hong itu dari belakang. Tentu saja para perwira tidak mau melepaskan mereka dan mengejar sambil berteriak-teriak. Jumlah pengejar makin berkurang karena yang dapat menyusul ilmu berlari cepat dari Kui Eng dan Beng Han hanya ada tujuh orang perwira saja. Beng Han mengerahkan sisa tenaganya yang mulai berkurang, sedangkan Kui Eng juga sudah merasa lelah sekali sehingga mereka maklum bahwa apa bila sekali ini mereka tersusul dan terpaksa bertempur lagi, mereka pasti tidak akan dapat kuat bertahan. Mereka mempercepat lari mereka menuju ke pintu gerbang kota dan alangkah terkejut hati mereka melihat bahwa pintu gerbang itu tertutup rapat-rapat dan di bawah dinding telah berbaris seregu penjaga yang siap menanti kedatangan mereka!

   "Sumoi, terpaksa kita harus mengadu nyawa di sini. Selamat tinggal, sumoi."

   Beng Han berkata sambil memindahkan tubuh Bun Hong di atas pundak kirinya, merangkulnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya memegang pedang, siap untuk bertempur sampai saat terakhir. Sedikitpun dia tidak nampak gentar, atau menyesal, bahkan dia sama sekali tidak mau melepaskan tubuh sutenya, padahal jelas bahwa tubuh itu membuat dia tidak leluasa bergerak. Agaknya pemuda gagah perkasa ini hendak melindungi tubuh sutenya dengan taruhan nyawa, sampai titik darah terakhir!

   Mendengar ucapan dan melihat sikap suhengnya itu, tak terasa pula mata Kui Eng menjadi basah. Alangkah mulia dan gagahnya suhengnya ini. Membela Bun Hong sampai tenaga terakhir! Padahal kalau hendak menyelamatkan diri tanpa memperdulikan keadaan Bun Hong, suhengnya itu tentu masih mampu dan dapat lolos!

   "Suheng, jangan khawatir. Sampai matipun aku tidak akan berpisah darimu!"

   Kata Kui Eng sambil mengepal tinju tangan kiri dan melintangkan pedangnya di depan dada.

   Rombongan penjaga itu sambil berteriak-teriak maju mengurung mereka dan segera terjadi pertempuran kembali dengan hebatnja. Walaupun para penjaga itu merupakan lawan lawan yang lunak bagi Kui Eng dan Beng Han namun jumlah mereka lebih dari seratus orang sedangkan dari belakang telah datang tujuh orang perwira yang mengejar tadi, dan di antara mereka ini terdapat Tek Po Tosu yang amat lihai!

   Karena sudah hampir kehabisan tenaga dia amat lelah, kembali Beng Han dan Kui Eng terdesak hebat dan sekali ini Kui Eng tidaklah selincah tadi. Tusukan tombak yang amat cepat dan dilakukan ketika dia sedang sibuk menghindarkan dan menangkis serangan-serangan lain, telah melukai pahanya. Beng Han juga telah menerima bacokan pedang pada pinggir bahu kanannya. Hanya karena keteguhan hati dan besarnya semangat, kenekatan yang amat luar biasa sajalah Beng Han masih kuat untuk memainkan pedangnya dan merobohkan beberapa orang penjaga lagi. Kui Eng sudah terpincang pincang, akan tetapi pedangnya masih lihai dan banyak penjaga masih belum mampu mendekatinya, bahkan ada beberapa orang lagi yang roboh sebagai akibat pembalasan Kui Eng yang marah karena terluka pahanya itu.

   Betapapun gagahnya kedua orang pendekar itu, nasib mereka agaknya sudah dapat ditentukan. Tidak lama lagi kiranya mereka pasti akan roboh dan tewas di bawah hujan senjata para pengeroyok mereka. Akan tetapi, pada saat itu, dari atas dinding kota yang tinggi, tampak sehelai tali yang panjang diturunkan orang dan seperti monyet-monyet yang gesit, beberapa orang meluncur turun melalui tali itu, bahkan sesosok bayangan putih yang amat gesit telah melayang turun dari atas tembok tanpa bantuan tali itu, padahal tembok kota itu amatlah tingginya.

   Mereka yang datang ini bukan lain adalah Gan Beng Lian, Yap Yu Tek, dan dua orang guru mereka, yaitu Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai! Mereka berempat ini datang pada saat yang amat tepat karena terlambat sebentar saja, agaknya Beng Han dan Kui Eng takkan dapat tertolong lagi Dengan marah Beng Lian dan Yu Tek menyerbu, dan para pengeroyok yang telah merubung Kui Eng dan Beng Han seperti segerombolan semut mengeroyok dua ekor jangkerik yang sudah lelah dan terluka itu kini menjadi terpecah belah dan kacau-balau. Tujuh orang perwira pengejar yang tangguh itu datang pula, akan tetapi mereka segera menghadapi Pek l Nikouw dan Tiong-san Lo-kai yang sakti! Sebentar saja, seorang di antara mereka telah terkena jarum yang dilepas oleh Pek I Nikouw, sedangkan dua orang perwira lain telah roboh terkena pukulan tongkat di tangan Tiong-san Lo-kai.

   Tek Po Tosu marah sekali dan dia mengeluarkan saputangannya yang dikebutkannya ke arah Pek I Nikouw. Belasan batang jarum hitam menyambar ke arah nenek itu. Namun sambil tersenyum Pek I Nikouw mengebut dengan ujung lengan bajunya dan runtuhlah semua jarum hitam itu. Tek Po Tosu terkejut bukan main melihat kepandaian ini dan hatinya menjadi gentar. Dia tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan Pek I Nikouw yang terkenal sebagai ahli pelepas senjata rahasia segala macam jarum. Selagi Tek Po Tosu masih tertegun, Pek I Nikouw menggerakkan lengan bajunya yang kiri dan tujuh batang jarum putih yang mengeluarkan cahaya menyerbu ke arah Tek Po Tosu! Pendeta ini terkejut dan cepat menggunakan siang-kiamnya untuk menangkis.

   "Tring-Tring-Tringgg"".!"

   Jarum-jarum putih dilepas dengan tenaga luar biasa sehingga biarpun dapat ditangkis, jarum-jarum itu bukannya runtuh ke bawah, melainkan melesat ke samping dan melukai beberapa orang perwira. Terdengar seruan-seruan kesakitan dan tiba-tiba sekali sebatang jarum yang luar biasa cepatnya menyambar ke rah leher Tek Po Tosu. Tosu ini masih mencoba untuk miringkan tubuh mengelak, akan tetapi jarum itu tetap saja mengenai pundaknya, Tek Po Tosu berteriak dan roboh tak sadarkan diri karena jarum itu menancap pada jalan darah di pundaknya.

   Menyaksikan kehebatan nikouw itu dan kehebatan Tiong-san Lo-kai yang menggerakkan tongkat bambunya secara berbarengan akan tetapi setiap kali tongkat bergerak, tentu sebatang senjata lawan terpental, semua pengeroyok menjadi gentar. Juga sepak terjang Beng Lian dan Yu Tek dahsyat sekali dan cukup membuat para penjaga kacau balau dan simpang siur.

   Tiong-san Lo kai menangkap dua orang penjaga dan menyeret mereka ke arah pintu gerbang, memaksa mereka untuk membukanya. Setelah pintu gerbang terbuka, dia berseru keras "Lari keluar!"

   "Twako, serahkan dia kepadaku!"

   Kata Yu Tek dan dia menggantikan Beng Han untuk memanggul tubuh Bun Hong, sedangkan Beng Lin tanpa banyak cakap lagi lalu memondong tubuh Kui Eng yang telah terluka pahanya dan tidak dapat berlari cepat itu. Demikianlah, di bawah perlindungan Pek l Nikouw yang menyebar jarum-jarumnya, mereka keluar dari pintu gerbang itu dan berlari ke dalam hutan yang gelap.

   Para perwira dan penjaga tidak berani mengejar dan mereka terpaksa kembali untuk merawat kawan-kawan mereka yang terluka. Hati mereka mendongkol sekali, akan tetapi apa yang dipat mereka lakukan? Kakek dan nenek itu terlampau sakti bagi mereka dan Tek Po Tosu yang mereka andalkan itu telah pingsan. Sementara itu, Tiong-san Lo-kai membawa orang-orang muda yang terluka itu ke sebuah kelenteng tua di dalam hutan dan Pek I Nikou lalu merawat luka yang diderita oleh Kui Eng dan Beng Han. Adapun keadaan Bun Hong payah sekali dan ketika orang muda itu siuman dari pingsannya, dia hanya dapat merintih rintih dan menangis! Bun Hong merintih dan menangis bukan karena sakit, sama sekali bukan karena pantang bagi pendekar seperti dia merintih dan menangis karena nyeri! Akan tetapi dia menangis karena teringat kepada isterinya. Dalam keadaan demam dia mengigau, memanggil-manggil nama isterinya. meminta-minta ampun kepada Kim Bwee, bahkan minta ampun kepada Kui Eng dan Beng Han!

   Pek I Nikouw yang mengerti tentang ilmu pengobatan, hanya menggeleng kepala saja melihat keadaan Bun Hong karena dia tahu bahwa luka luka di tubuh orang muda itu terlalu berat untuk dapat disembuhkan. Beng Han memegang tangan sutenya dan tak dapat ditahankannya lagi air matanya menetes turun karena diapun maklum akan keadaan sutenya itu. Juga Kui Eng menangis sambil menggunakan saputangannya yang telah dibasahi untuk mengusap dahi Bun Hong yang panas sekali. Beng Lian dan Yu Tek memandang dengan penuh keharuan sambil menjaga agar api unggun di dalam kelenteng yang mereka nyalakan itu tidak menjadi padam, dan juga mereka berdua dengan waspada menjaga kalau-kalau datang musuh di tempat sunyi itu.

   "Suheng".. , suheng""."

   Bun Hong menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri dengan gelisah, mencari-cari.

   Beng Han menekan pergelangan tangan sutenya.

   "Aku berada di sini, sute"".."

   Katanya dengan suara parau.

   Agaknya saputangan basah yang dingin dan yang digosok gosokkan pada dahinya oleh Kui Eng itu agak menyadarkan pikirannya yang kacau karena demam, dan kini Bun Hong memandang kepada Beng Han dengan mata sayu lalu tangannya meraba-raba dan mencengkeram tangan suhengnya.

   "Suheng"".. suheng""..kau...". kau maafkan aku"".?"

   "Sute, tidak ada sesuatu yang harus dimaafkan antara kita. Engkau adalah suteku yang baik,"

   Jawab Beng Han.

   "Suheng"". sampaikan permohonan ampunku kepada suhu"".."

   Beng Han hanya mengangguk dan menahan jatuhnya air matanya yang sudah mulai memenuhi kelopak matanya lagi.

   Bun Hong menoleh dan memandang kepada sumoinya yang masih mengelus-elus dahinya dengan saputangan.

   "Sumoi""..kauampunkan aku, ya"".?"

   Mendengar bisikan seperti seorang anak kecil minta dikasihani itu, Kui Eng mengguguk dan air matanya bercucuran membasahi mukanya.

   "Ji-suheng..... kau tidak bersalah"".. kau kuatkanlah badanmu, ji-suheng"".. tenangkanlah pikiranmu"""

   Bun Hong mencoba tersenyum, senyum pucat yang mengharukan.

   "Kau selalu menasihatiku, sumoi""

   Kau""

   Kau terlalu mulia"". hanya suheng saja yang pantas"". kalian berdua harus berjanji kalian rawatlah baik-baik anakku Sian Lun"". suheng, sumoi"""

   Tiba-tiba Kui Eng menjerit nyaring karena dia melihat betapa tiba-tiba leher Bun Hong menjadi lemas dan napasnya terhenti. Kui Eng menangis dengan hati hancur, memeluki tubuh ji-suhengnya. Semenjak kecil, dia menganggap Bun Hong dan Beng Han berdua sajalah orang-orang yang paling dekat dengannya, yang selalu membela dan menolongnya. Mereka menjadi besar di satu tempat, senasib sependeritaan, dan dia menganggap mereka sebagai orang-orang yang paling terkasih. Beng Han juga mencucurkan air mata sambil memeluk tubuh sutenya sehingga semua orang merasa terharu. Beng Lian memeluk kakaknya dan menghibur sambil menangis pula.

   Pemandangan yang nampak di bawah sinar api unggun yang suram muram itu sungguh amat menyedihkan dan mengharukan. Seorang di antara tiga pendekar muda yang gagah perkasa, seekor di antara tiga naga sakti yang mengamuk di kota raja dan menggemparkan seluruh penduduk bahkan membuat kaisar menggigil karena khawatir itu, akhirnya menemui ajalnya dalam keadaan yang amat

   menyedihkan.

   Lui Sian Lojin menarik napas panjang. Sejak tadi dia diam saja mendengarkan penuturan dua orang muridnya, Beng Han dan Kui Eng tentang keadaan dan kematian Bun Hong. Setelah menarik napas panjang dia berkata.

   "Hidup dalam kekerasan dan mati dalam kekerasan pula. Itulah agaknya nasib orang-orang yang menamakan dirinya pendekar. Ah, sudahlah Bun Hong tewas dalam keadaan seperti yang dikehendakinya, dalam keadaan gagah dan pada akhir hayatnya dia telah insyaf akan kesesatannya, maka kematiannya tidaklah terlalu mengecewakan. Kalian telah cukup menderita sejak kalian masih kecil dan sekarang kalian telah dapat bertemu kembali dengan orang tua kalian sudah sepatutnya kalian hidup bersama mereka dan membalas budi mereka dengan perawatan yang layak sebagaimana mestinya dilakukan oleh anak-anak yang berbakti. Kalian berdua telah dewasa dan sudah sepatutnya pula mendirikan rumah tangga. Tentang perjodohan aku sebagai guru hanya ikut mendoakan saja, segala keputusannya terserah kepada ibu kalian dan kepada kalian sendiri."

   Demikianlah, setelah menerima banyak petuah dan nasihat dari suhu mereka yang sudah tua, Beng Han dan Kui Eng lalu kembali ke rumah ibu masing-masing. Beng Han tinggal di dekat Kuil Kwan-im-bio sedangkan Kui Eng ikut bersama ibunya di Ki-ciu.

   Beng Han terpaksa harus mengalah dan membiarkan Kui Eng yang merawat Sian Lun, putera Bun Hong yang sudah yatim piatu. Akan tetapi, sering sekali Beng Han datang mengunjungi sumoinya itu dan kasih sayangnya terhadap Sian Lun membuat anak itu suka sekali kepadanya dan tiap kali dia datang, anak itu tentu segera dipondongnya dan diajaknya bermain-main.

   Atas nasihat dari Pek I Nikouw, semenjak peristiwa di kota raja, Beng Han, Kui Eng, Yu Tek dan Beng Lian dilarang untuk mencari perkara. dilarang untuk menonjolkan kepandaian mereka karena tentu hal ini akan menarik perhatian dan wajah mereka telah dikenal oleh para perwira di kota raja. Mereka diharuskan menyembunyikan nama dan kepandaian mereka dan biarpun di dalam hati mereka, empat orang muda itu merasa penasaran, namun mereka juga maklum bahwa hanya dengan tenaga mereka saja, tidak akan mungkin mereka menentang para pejabat tinggi di kota raja itu dengan kekerasan.

   Para pejabat tinggi itu mengandalkan kekuatan pasukan besar, maka apa artinya penentangan beberapa gelintir orang saja, sungguhpun para penentang memiliki kepandaian hebat? Sang waktu berjalan dengan amat pesatnya dan dua tahun kemudian, pada suatu hari, serombongan orang menuju ke Ki-ciu dan mereka ini adalah Pek I Nikouw, Siok Thian Nikouw ibu Beng Han, Beng Han sendiri, Beng Lin dan Yu Tek. Mereka pergi ke Ki-ciu untuk berkunjung kepada Kui Eng dan Sian Lun.

   Ketika rombongan ini tiba di depan rumah Bu Pok Seng, yaitu ayah tiri Kui Eng, kebetulan sekali Kui Eng dan ibunya sedang duduk di ruangan depan bersama Sian Lun yang bermain-main di atas lantai. Ketika anak ini melihat Beng Han datang, dia segera berdiri dan berlari-lari menyambut dengan kedua lengan dibuka sambil berseru girang.

   "Ayah""! Ayah datang""..!"

   Semua orang tersenyum melihat betapa "ayah"

   Ini memeluk dan memondong anak itu. Memang, semenjak dapat berkata-kata, Sian Lun menyebut ayah kepada Beng Han dan ibu kepada Kui Eng! Hal ini terjadi dengan sewajarnya, bukan karena disuruh orang, karena anak ini menganggap mereka berdua sebagai orang-orang yang paling baik dan bersikap paling manis terhadap dirinya. Sedangkan Kui Eng dan Beng Han juga tidak mau membiarkan anak itu mengerti bahwa dia telah yatim piatu dan bahwa mereka itu bukan ayah bundanya.

   Nyonya Bu dan Kui Eng menyambut para tamu dengan girang. Swi Lan, adik tiri Kui Eng, dan ayahnya juga segera muncul dan menyambut dengan penuh keramahan. Bu Pok Seng, bekas kepala perampok yang kini menjadi suami ibu Kui Eng, ternyata telah dapat merobah jalan hidupnya dan kini menjadi seorang pedagang yang hidup terhormat dan baik, apa lagi karena dia merasa jerih kepada anak tirinya, Kui Eng yang menjadi seorang pendekar wanita penentang kejahatan itu!

   Siok Thian Nikouw bercakap-cakap dengan Pek I Nikouw dan Bu Pok Seng bersama isterinya. Orang-orang muda yang memiliki selera lain telah memisahkan diri, dan bersama Sian Lun mereka telah pergi ke dalam taman. Memperoleh kesempatan ini, Siok Thian Nikouw lalu berkata dengan nada suara duka.

   "Sungguh sukar sekali mengurus Beng Han. Telah pinni bujuk-bujuk agar supaya dia suka mencari jodoh, akan tetapi dia selalu menolaknya. Padahal, adiknya, Beng Lian tidak mau melangsungkan pernikahannya sebelum melihat kakaknya menikah lebih dulu. Coba saja pikir, Beng Lian sudah bertunangan lebih dari tiga tahun, dan masih saja dia harus menunggu km kaknya yang masih tidak ketentuan itu. Aih pinni benar-benar menjadi bingung""."

   Nikouw itu menarik napas panjang.

   "Ah, hal itu sama benar dengan pengalaman kami di sini. Sayapun merasa bingung karena Kui Eng tidak mau menerima pinangan yang banyak datang. Dia selalu menolak dengan keras, bahkan marah-marah kalau kami menyinggung soal perjodohannya,"

   Kata nyonya Bu sambil mengerutkan alisnya

   "Seperti juga halnya dengan Beng Lian, anakku Swi Lan yang sudah bertunangan selama hampir tiga tahun itupun tidak mau melangsungkan pernikahannya sebelum encinya menikah!"

   Mendengar ucapan dua orang ibu yang bingung menghadapi kekerasan hati anak mereka Pek I Nikouw tersenyum, kemudian dia berkata dengan suaranya yang halus dan tenang.

   "Kalau begitu, mengapa tidak dijodohkan saja kedua orang muda yang keras kepala itu?"

   Mendengar ucapan ini, Siok Thian Nikouw dan nyonya Bu Pok Seng saling pandang dengan mata terbelalak, lalu berseri dan mulut mereka tersenyum, penuh arti.

   "Mengapa tidak"".?"

   Kata mereka hampir berbareng sehingga Pek I Nikouw bertepuk tangan dengan girang.

   "Omitohud""! Kwan Im Pouwsat sungguh mulia dan maha pengasih! Sudah setua ini pinni masih mendapat kehormatan untuk menjadi comblang! Serahkan saja hal ini kepada pinni dan kalau usaha pinni menjadi comblang ini berhasil, biarlah pinni kelak melanggar pantangan dan melakukan dosa besar untuk menunjukkan kegirangan pinni dengan membasahi bibirku ini dengan arak pengantin!"

   Semua orang tersenyum gembira melihat kejenakaan nikouw tua itu, dan semua orang, termasuk juga Bu Pok Seng, mengharapkan agar niat mereka yang baik itu akan berhasil, yaitu menjodohkan anak tirinya Kui Eng, dengan Gan Beng Han.

   Sementara itu, di dalam taman. Beng Han dan Kui Eng bermain-main dengan Sian Lun. Swi Lan telah meninggalkan mereka, sedangkan Beng Lian dan Yu Tek yang tadinya juga duduk di situ bercakap-cakap dengan mereka, kini telah meninggalkan taman itu untuk pergi berjalan-jalan berdua saja melihat-lihat pemandangan kota Ki-cu, bergembira seperti layaknya sepasang orang muda yang sedang bertunangan.

   "Suheng, Sian Lun suka sekali padamu,"

   Kata Kui Eng dengan wajah berseri melihat Beng Han yang memondong Sian Lun berusaha menangkap kupu-kupu yang terbang di atas kembang-kembang.

   Beng Han hanya balas memandang sambil tersenyum. Dia berkata kepada Sian Lun.

   "Kupu kupunya tidak bisa ditangkap, terlalu gesit."

   Padahal dia tidak mau menangkap kupu-kupu itu karena kasihan.

   Sian Lun merengek dan merosot turun dari pondongan Beng Han.

   "Tangkaplah, ayah, tangkaplah kupu-kupu itu untukku!"

   "Jangan, Sian Lun, nanti dia mati, kasihan"".."

   Kata Beng Han. Sian Lun bersungut-sungut dan berlari menghampiri Kui Eng.

   "Ibu, ayah nakal"", ibu harus pukul padanya!"

   Katanya dengan sikap manja dan menudingkan telunjuknya ke arah Beng Han.

   "Hushhh, jangan nakal, Sian Lun!"

   Kata Kui Eng. Akan tetapi anak itu menangis dan mendesak agar "ibunya"

   Memukul "ayahnya"

   Yang nakal itu. Kui Eng dan Beng Han saling memandang, teringat akan mendiang Tan Bun Hong yang keras kepala dan nakal. Anak ini wataknya seperti Bun Hong.

   "Baiklah, kupukul dia, akan tetapi kalau kau yang nakal, kaupun akan kupukul!"

   Akhirnya Kui Eng mengalah dan menghampiri Beng Han, mengangkat tangan dan pura-pura memukul bahu pemuda itu.

   Beng Han yang hendak menggoda Sian Lun, pura-pura mengaduh dan menutupi muka dengan kedua tangannya dan membuat suara seperti orang sedang menangis. Terbelalak mata Sian Lun memandang ayahnya dan dia lalu menghampiri Beng Han yang duduk di atas rumput sambil berlari, memeluk ayahnya dan bertanya.

   "Ayah"., kau sakit dipukul ibu".?"

   Kemudian, anak itu memandang kepada ibunya dan berkata.

   "Ibu, kau nakal, kenapa kau pukul ayah sampai kesakitan?"

   "Eh, bukankah kau yang menyuruhku tadi?"

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Kui Eng sambil tersenyum.

   "Ya, akan tetapi jangan keras-keras memukulnya!"

   Beng Han tak dapat menahan gelak tawanya dan juga Kui Eng tertawa geli sehingga Sian Lun memandang heran sekali kepada mereka. Bukan main senang dan bahagianya rasa hati Kui Eng dan Beng Han pada saat itu dan ketika mereka saling memandang, tiba-tiba suara ketawa mereka berhenti dan dua pasang mata itu bertemu, saling pandang, dan bertaut melekat seperti terkena pesona. Hati mereka masing-masing berbisik dalam lagu yang sama dan suara yang sama pula,

   "Alangkah akan bahagianya kalau kita bertiga dapat berkumpul, merupakan satu rumah tangga yang tidak terpisah-pisah lagi""."

   Hati kedua orang muda ini telah terbuka dan keduanya telah siap sedia mengangguk dan menyatakan setuju, hanya menanti datangnya sebuah tangan yang akan diulurkan dan akan mempertemukan kedua hati itu. Dan tangan inipun telah mendekat tanpa mereka ketahui yaitu tangan Pek I Nikouw yang hendak rnengangkat diri sendiri menjadi comblang.

   Kebahagiaan telah berada di ambang pintu bagi mereka tanpa mereka ketahui. Ketika terdengar suara tertawa dan tepuk tangan Pek I Nikouw yang bergirang hati itu dari dalam rumah, barulah mereka berdua sadar bahwa semenjak tadi mereka telah saling pandang bagaikan terkena pesona sihir sehingga kini keduanya cepat menundukkan muka dengan malu-malu sehingga seluruh muka mereka rnenjadi merah dan jantung mereka berdebar aneh.

   "Sumoi"""

   Suara Beng Han menggetar dan tanpa mengangkat mukanya pemuda itu membelai kepala Sian Lun.

   "anak ini seperti anakku sendiri"".."

   "Demikianpun perasaan hatiku, suheng"."

   Keduanya tidak dapat mengeluarkan kata kata lagi sampai munculnya Pek I Nikouw dengan wajah berseri-seri. Nikouw itu dengan suara halus dan wajah berseri mengulurkan tali pengikat hati mereka berdua. Mendengar perkataan Pek I Nikouw yang menyampaikan pinangan dan usul perjodohan dari ibu masing masing. Kui Eng lalu berlari masuk kedalam kamarnya, menbanting tubuhnya di atas pembaringannya sambil menangis karena"""

   Girang!

   Beberapa pekan kemudian, secara berturut turut terjadilah peristiwa yang amat menggembirakan. Tiga Pasang dipertemukan berturut-turut penuh kebahagiaan, mereka itu adalah pasangan antara Gan Beng Han dengari Kui Eng, Yap Yu Tek dengan Gan Beng Lian, dan Ang Min Tek dengan Bu Swi Lan.

   Ketika mereka bertemu sebagai sepasang pengantin, sebagai suami isteri, Kui Eng dan Beng Han teringat kepada Bun Hong dan mereka menitikkan air mata. Kalau ada Bun Hong yang menyaksikan mereka menjadi pengantin tentu mereka akan lebih berbahagia lagi. Ketiga pengantin secara dengan ekor naga sakti hanya tinggal dua ekor saja, dan yang dua ekor inipun tidak berdaya menghadapi kekacauan yang terjadi di mana mana.

   Akan tetapi, kedua orang pendekar yang tadinya adalah suheng dan sumoi, dan kini telah menjadi suami isteri itu, segera tenggeIam ke dalam ayunan gelombang asmara dan bulan madu yang membuat mereka lupa bahwa keadaan di dunia masih jauh dari pada baik, bahwa kehidupan rakyat masih terus dalam keadaan terhimpit dan tercekik.

   Pejabat-pejabat tinggi dan pembesar-pembesar yang hanya berusaha membesarkan perut dan kekayaan pribadinya masih bersimaharaja-lela dan kaisar makin lemah seperti boneka saja. Kelaliman terjadi di mana-mana dan bahkan kini orang-orang dari dunia sesat melihat kesempatan yang amat baik sekali yaitu selagi pemerintah berada dalam keadaan lemah mereka bangkit dan bermuncullah tokoh-tokoh sesat yang tadinya bersembunyi karena selama pemerintah kuat tentu saja takut untuk beroperasi. Akan tetapi kini, melihat pemerintah amat lemah bahkan orang-orang yang berkedudukan tinggi menentang para pendekar yang membela rakyat, maka kesempatan baik ini dipergunakan oleh kaum sesat atau golongan hitam untuk mendekati para pembesar korup dan untuk bersekutu dengan mereka dalam usaha mereka mengejar kesenangan sepuas-puasnya selagi masih ada kesempatan!

   Melihat keadaan seperti itu, para pendekar seperti Gan Beng Han, Kui Eng dan yang lain-lain makin berduka dan tidak berdaya. Di dalam hati mereka, para pendekar ini tentu saja merasa penasaran melihat kesengsaraan rakyat. namun mereka tidak berdaya. Baru saja terjadi pemberontakan An Lu Shan yang disambung serangkaian pemberontakan lagi. Baru saja pemberontakan tertindas, padahal pemberontakan mendatangkan perang saudara yang amat mengerikan Mereka, kaum pendekar, tidak sudi memberontak seperti yang dilakukan oleh An Lu Shan. Mereka hanya menentang kejahatan secara perorangan, akan tetapi setelah kini yang paling jahat atau yang menjadi sumber kejahatan adalah pembesar-pembesar yang berkedudukan tinggi, tentu saja para pendekar ini menjadi tidak berdaya.

   Menentang kejahatan adalah kewajiban pendekar, akan tetapi kalau yang jahat itu para pembesar, maka kalau mereka menentang, berarti rnereka itu menentang para pembesar dan hal ini tentu amat berbahaya karena para pembesar itu bersembunyi di belakang kedudukan dan kekuasaan mereka sehingga setiap penentang akan dicap pemberontak! Siapa saja yang menentang tindakan sewenang-wenang seorang pembesar menentang kejahatan pribadi pembesar tentu akan dicap sebagai pemberontak yang menentang pemerintah! Hal seperti ini telah sedang dan akan selalu terjadi di bagian manapun di dunia ini dan memang sungguh amat menyedihkan!

   Hukum rimba selalu berkuasa semenjak jaman batu sampai jaman sekarang! Siapa kuat dia menang dan siapa menang dia berkuasa dan siapa berkuasa dia pasti benar, atau dibenarkan! Dan selama terdapat hukum rimba seperti ini, sudah pasti akan muncul golongan-golongan yang saling bertentangan. Golongan putih yang menentang kelaliman dan golongan hitam yang membonceng kelaliman untuk menyenangkan dirinya. Dan pertentangan di mana-mana. Dan permusuhan di mana-mana. Din perang tak mungkin terelakkan lagi.

   Setahun telah lewat semenjak Gan Beng Han merayakan pernikahannya dengan Kui Eng. Bulan-bulan rnadu mereka nikmati semenjak mereka menikah dan mereka tinggal di Cin-an sebagai suami isteri yang rukun dan kelihatannya berbahagia Akan tetapi, Beng Han dapat menyelami jiwa isterinya dan di lubuk hatinya dia maklum bahwa cinta kasih isterinya kepadanya adalah cinta kasih pulasan belaka, sungguhpun isterinya selalu bersikap baik kepadanya. Sering kali isterinya termenung dan memaksa datangnya senyum kalau dia muncul. Dia tahu bahwa dahulu, isterinya ini sudah agak condong kepada Bun Hong, kemudian dia telah mengetahui pula bahwa isterinya pernah tergila-gila dan jatuh cinta kepada Ang Min Tek yang kini menjadi moi-hu (adik ipar) mereka. Akan tetapi, Gan Beng Han adalah seorang pendekar yang bijaksana dan dia tidak menderita karenanya. Tidak, cinta kasihnya terhadap isterinya adalah murni dan dia hanya mementingkan kebahagiaan orang yang dicintainya, bukan kesenangan dirinya sendiri.

   Betapapun juga, Beng Han merasa berbahagia sekali karena dari pernikahan itu, isterinya telah mengandung dan sekarang, setahun kemudian, isterinya telah mengandung sembilan bulan Akan tetapi, di samping kebahagiaannya, dia juga merasa gelisah sekali. Kegelisahan seorang calon ayah yang menantikan lahirnya anak yang pertama!

   Semenjak siang tadi, dia telah seperti tersiksa hatinya mendengarkan keluhan dan rintihan isterinya dari dalam kamar. Dia tidak di perkenankan masuk, harus menanti di luar dan isterinya hanya ditemani oleh seorang bidan dan dua orang pembantunya. Keluhan dan rintihan yang terdengar dari jendela kamar itu seperti menyayat hatinya, membuat dia merasa amat iba kepada wanita vang dicintanya itu.

   Setelah senja lewat dia tidak dapat menahan kegelisahannya lagi dan pergilah dia ke lian-bu-thia di sebelah belakang rumah. Akan tetapi ke manapun dia pergi, rintihan isterinya selalu mengikutinya dan betapapun dia menutupi kedua telinganya, masih saja dia mendengar keluh-kesah itu. Maka dia lalu berlatih silat di lian-bu thia (ruangan berlatih silat) itu. Makin hebat isterinya merintih, makin hebat pula dia menggerakkan kaki tangannya memukul dan menendang untuk menekan kegelisahan hatinya. Beng Han bersilat seorang diri seperti orang gila. Dia telah berkeringat, akan tetapi dia tidak mau berhenti. Dia hendak mengimbangi penderitaan isterinya dengan bersilat dan dia tidak akan berhenti sebelum isterinya melahirkan!

   "Aih, pendekar perkasa Gan Beng Han, ilmu silatmu sungguh hebat, akan tetapi mengapa, engkau menyiksa diri dengan berlatih mati-matian seperti ini?"

   Beng Han terkejut mendengar suara halus itu

   (Lanjut ke Jilid 15)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15

   dan cepat dia menghentikan gerakan silatnya dan menoleh. Makin heran dan kaget hatinya ketika dia melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang wanita yang amat cantik jelita.

   Seorang dara yang usianya tidak akan lebih dari duapuluh tahun, wajahnya cantik manis dengan kulit yang halus putih, sepasang matanya lincah jenaka dan bibirnya tersenyum manis penuh daya pikat, tubuhnya padat dan pinggangnya ramping. Pakaiannya yang terbuat dari sutera halus berwarna putih itu membayangkan bentuk tubuhnya yang indah. Beng Han tidak melihat wanita ini sebagai seorang ahli silat, tidak melihat dia membawa senjata, akan tetapi kehadirannya yang amat luar biasa, tanpa didengarnya sama sekali itu, menimbulkan kecurigaannya. Dia tidak mengenal dara ini. Ataukah dia ini seorang di antara pembantu bidan?

   "Ba"". bagaimana dengan isteriku"".."

   Dia bertanya gagap karena menyangka bahwa pembantu bidan yang cantik ini tentu datang untuk mengabari tentang isterinya, sungguhpun ucapannya tadi memang aneh sekali.

   Dara itu tersenyum lebar dan nampaklah deretan gigiyangputih bersihmengkilap "Hi-hi-hik, Can-taihiap, tenang dan sabarlah isterimu kudengar sedang berjuang melahirkan, engkau seorang pendekar gagah mengapa begini gugup dan gelisah?"

   Kini yakinlah Beng Han bahwa wanita iri bukan pembantu bidan, maka dia memandang tajam dan sikapnya serius.

   "Siapakah nona?"

   "Namaku? Namaku Siauw Kim, Bu Siauw Kim,"

   Jawab wanita itu sambil tersenyum dani mengerling tajam.

   Beng Han mengerutkan alisnya. Dia tidak pernah mengenal nama itu, akan tetapi bagaimana wanita ini dapat memasuki lian-bu-thia begitu saja dan bagaimana dapat mengenal namanya?

   "Aku"""

   Aku tidak mengenal nona"".."

   Kembali wanita cantik itu tersenyum dan wajahnya kelihatan masih muda remaja sekali kalau dia tersenyum, akan tetapi pandang matanya yang memiliki kegenitan khas itu membayangkan bahwa dia telah matang.

   "Akan tetapi aku mengenalmu, Gan-taihiap. Siapakah yang tidak mengenal Gan Beng Han, Kui Eng yang sekarang menjadi isterimu, yang bersama mendiang Tan Bun Hong merupakan tiga naga sakti yang pernah menggemparkan kota raja?"

   Bukan main kagetnya rasa hati Beng Han. Celaka, wanita ini tentu seorang mata-mata pemerintah! Akan celakalah sekeluarganya setelah rahasia itu diketahui orang!

   "Apa"".. apa maksudmu"". apa kehendakmu datang ke sini"".?"

   Dia bertanya dan mukanya menjadi pucat.

   "Gan-taihiap, jangan terkejut. Aku bukanlah seorang musuh, sebaliknya malah aku datang sebagai seorang sahabat baik sekali. Kebetulan tadi aku lewat di atas rumah ini dan aku mendengar suara angin pukulan-pukulanmu yang dahsyat, maka aku mengintai. Melihat engkau berlatih silat selagi isterimu hendak melahirkan, aku kagum dan aku turun. Kemudian teringatlah aku akan berita yang disampaikan anak buahku bahwa di kota ini tinggal pendekar Gan Beng Han dan isterinya pendekar wanita Kui Eng, maka mudahlah bagiku untuk mengenalmu. Aku amat kagum kepadamu dan aku ingin mempererat perkenalan ini, taihiap."

   Beng Han makin terkejut. Wanita cantik ini sungguh aneh, dapat mengetahui segala galanya, mengetahui sepak terjangnya beberapa tahun yang lalu di kota raja.

   "Siapakah nona? Siapa pula anak buah nona itu?"

   "Hi-hik,"

   Bibir yang merah itu merekah dan kembali nampak gigi putih mengkilat "Sudah kukatakan bahwa namaku Bu Siauw Kim, dan aku adalah kauwcu (guru agama) dari Im-yang-kauw."

   Sepasang mata pendekar itu terbelalak! Tentu saja dia sudah mendengar nama Im yang-kauw yang amat terkenal, tidak kalah terkenalnya dibandingkan dengan Pek-lian kauw dan perkumpulan lain. Dan yang berdiri di depannya ini adalah kauwcunya! Cepat dia menjura kepada wanita itu.

   "Ah, kiranya Im-yang-kauwcu. Harap maafkan kalau aku bersikap kurang hormat karena tidak mengenal kauwcu. Setelah kauwcu sudi mengunjungi kami, silakan duduk di ruangan tamu"".."

   "Hushhhh"".. mengapa begini sungkan taihiap? Aku datang karena tertarik oleh ilmu silatmu, dan ketika melihat engkau bersilat melihat tubuhmu yang berkeringat, aku makin tertarik dan aku datang sebagai sahabat baik, baik sekali, akrab sekali, bukan sebagai tamu yang ingin disambut dengan segala penghormatan kaku dan palsu. Marilah kita bicara di dalam taman, kulihat taman bungamu di belakang indah sekali."

   Wanita itu mengulurkan lengan hendak menggandeng tangan BengHan.

   Tentu saja Beng Han terkejut bukan main dan cepat dia menarik tangannya, mengelak seperti melihat ular mematuknya. Dia mengangkat muka memandang dengan alis berkerut dan mukanya berobah merah, matanya memandang tajam.

   "Im-yang-kauwcu!"

   Dia berkata, suaranya keren penuh teguran.

   "Apakah artinya sikapmu yang tidak semestinya ini?"

   Wanita itu mengangkat kedua alisnya, menggerakkan biji matanya dan mulutnya masih tersenyum.

   "Aihhh, engkau yang sudah hampir menjadi seorang ayah ini, masih begitu hijau dan bodohkah sehingga tidak mengerti maksud hatiku, taihap.? Begitu melihatmu, melihat engkau bersilat, melihat tubuh dan wajahmu, engkau seperti seekor naga sakti, engkau seorang laki-laki jantan, seperti seekor singa muda? Begitu kokoh kuat, begitu hebat! Begitu melihatmu, aku telah jatuh hati, taihiap. Aku suka sekali padamu dan aku ingin menjadi kekasihmu semalam ini"".."

   Kalau dia mendengar ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Beng Han akan menjadi kaget seperti ketika mendengar ucapan ini. Matanya terbelalak, mukanya menjadi merah sekali dan dia menjadi marah bukan main.

   "Im-yang-kauwcu! Kalau benar engkau kauwcu dari Im-yang-kauw, tak kusangka engkau, si orang wanita yang begini muda, apa lagi kalau benar engkau menjadi ketua Im-yang-kauw dapat mengeluarkan ucapan yang tidak senonoh dan cabul itu!"

   "Hi-hik! Tidak senonoh? Cabul? Gan-taihiap, Gan-koko, aku seorang wanita dan melihat engkau seorang pria, aku tertarik dan suka, aku ingin menjadi kekasihmu malam ini apakah itu tidak senonoh dan cabul?"

   "Cukup! Harap kau pergi dan tinggalkan rumah ini, jangan membuat kacau di sini!"

   Beng Han membentak.

   "Aku tidak akan pergi sebelum engkau memenuhi permintaanku, Gan-koko. Aku benar benar telah jatuh hati kepadamu dan engkau harus menjadi kekasihku malam ini!"

   "Perempuan tak tahu malu! Kaukira aku Gan Beng Han orang macam apa? Lekas pergi, aku masih sungkan untuk menggunakan kekerasan dan bersikap kasar terhadap seorang wanita!"

   "Kau? Bersikap kasar kepadaku? Menggunakan kekerasan? Hi-hik, Gan-koko, aku memang paling suka kepada laki-laki yang kasar dan keras, aku muak dengan yang halus dan yang lemah. Cobalah engkau bersikap kasar, sampai di mana kekerasanmu!"

   Ucapan yang mengandung maksud-maksud cabul itu makin memarahkan hati Beng Han.

   "Pergilah, ataukah aku harus menyerangmu dan menyeretmu keluar?"

   Bentaknya.

   "Hi-hik, tidak akan begitu mudah, Gan Beng Han!!"

   Sudah habis kesabaran Beng Han dan cepat dia menerjang dengan pukulan tangan kanan ke arah muka wanita itu.

   "Wuuuutttt"".!!"

   Pukulan tangan yang dikepal itu keras bukan main. Batupun akan hancur terkena pukulan itu. Akan tetapi wanita cantik itu bahkan menjulurkan mukanya yang cantik, sama sekali tidak menangkis atau mengelak, bibirnya tersenyum manis.

   Gan Beng Han adalah seorang pendekar besar dan budiman. Mana mungkin dia tega mempergunakan pukulannya yang amat kuat itu untuk menghantam wajah yang demikian cantik manis, yang berkulit demikian putih halus? Tentu akan remuk muka itu terkena pukulannya dan bukan main terkejutnya melihat wanita itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis! Maka ketika pukulannya sudah hampir mengenai wajah itu, kurang beberapa senti lagi, dia cepat menahan dan menarik kembali pukulannya.

   Wanita cantik itu tertawa.

   "Hi-hik, sudah kuduga. Mana kau tega memukul aku, taihiap? Dari pada kita bermusuhan, bukanlah lebih baik kita bercintaan?"

   "Perempuan cabul tak tahu malu!"

   Beng Han membentak dan kini dia benar-benar menyerang. Isterinya sedang mati-matian berjuang untuk melahirkan dan dia digoda oleh wanita jalang ini!

   Akan tetapi, pukulannya yang ditujukan ke arah leher wanita itu, dengan mudah saja dapat dielakkan oleh Bu Siauw Kim atau Im-yang-kauwcu itu. Dengan hanya miringkan tubuhnya sambil terkekeh genit, pukulan itu luput! Beng Han maklum bahwa wanita ini sesungguhnya memiliki kepandaian, maka dia lalu menerjang terus dengan hebatnya.

   Betapa terkejut hatinya ketika dia melihat bahwa semua serangannya itu dapat dihindarkan dengan amat mudahnya oleh wanita itu Dia mulai merasa penasaran dan cepat dia mainkan ilmu silatnya yang diandalkan, yaitu Kwi hoa-kun. Ilmu ini adalah ciptaan dari gurunya Lui Sian Lojin, merupakan ilmu silat yang dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan pedang. Bukan main hebatnya gerakan Beng Han, dan setiap pukulan kini dilakukannya dengan pengerahan tenaga sinkang karena dia sudah marah sekali. Akan tetapi sungguh mengejutkan, semua pukulan itu tetap saja tidak pernah dapat menyentuh tubuh ketua Im-yang-kauw! Tubuh wanita itu berkelebatan seolah-olah dapat terbang saja, demikian ringannya sehingga semua pukulan dan tendangan Beng Han dapat dihalaunya dengan mudah sambil terkekeh-kekeh!

   "Hi-hik, Gan-taihiap, dalam ilmu silat engkau masih harus belajar seratus tahun lagi untuk dapat mengalahkan aku. Akan tetapi, tanpa ilmu silat, dengan sikap kasih sayang, aku akan menyerah kepadamu!"

   Makin marahlah Beng Han. Dia tidak membawa pedangnya, kalau dia membawa senjata itu, tentu dia akan mempergunakannya untuk menghadapi lawan yang tangguh ini. Agaknya pikiran ini dapat diketahui oleh Im-yang-kauwcu karena tiba-tiba wanita ini meloncat ke belakang dan menuding ke arah rak senjata di mana teidapat berbagai senjata yang dipergunakan untuk latihan oleh suami isteri pendekar itu.

   "Kau masih penasaran? Nah, kaupilihlah senjatamu, Gan Beng Han!"

   Beng Han yang sudah marah itu lalu meloncat ke sudut, menyambar sebatang pedang dan dia lalu menerjang lagi, tidak memperdulikan lagi bahwa lawannya adalah seorang dara yang muda dan cantik jelita, tidak bersenjata pula! Akan tetapi, Beng Han belum mengenal betul siapa wanita ini!

   Im-yang-kauwcu Bu Siauw Kim ini berjuluk Kim-sim Niocu. Dia adalah puteri tunggal dari Kok Beng Thiancu, tokoh besar yang menjadi ketua Im-yang-pai di Tai-hang-san. Kalau Kok Beng Thiancu ini sudah merupakan tokoh besar di dunia persilatan, ditakuti baik oleh golongan putih maupun hitam, maka puterinya ini sebagai ketua agama, bahkan memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi! Dan sesuai dengan kebiasaan dari agama yang dianutnya, ayah dan anak ini tidak pantang melakukan perjinaan asalkan tidak melakukan pemaksaan atau perkosaan. Sudah lama sekali Im-yang-pai dan agamanya yaitu Im-yang-kauw, tidak pernah keluar dari sarang, akan tetapi semenjak dalam negeri terjadi kekacauan, kini seperti juga golongan-golongan lain,

   Im-yang-kauw mulai memperlihatkan giginya dan ketua dari lm-yang-kauw inipun mulai berani memperlihatkan pengaruh dan kepandaiannya. Memang pada hari itu dia kebetulan berada di Cin-an dan sebagai seorang tokoh kang-ouw terkemuka, Im-yang-kauwcu mendengar pula tentang pendekar Gan Beng Han yang tinggal di kota ini. Sudah lama dia kagum mendengar sepak terjang dari pendekar itu, maka sore hari itu dia sengaja singgah secara diam-diam. Ketika dia mengintai dan melihat pendekar itu tengah berlatih silat, seketika dia jatuh hati!

   Kini, dengan pedang di tangan, Beng Han mengamuk seperti seekor naga. Akan tetapi, kalau dia boleh diumpamakan seekor naga, Im-yang-kauwcu adalah seperti segumpal awan yang bergerak ke sana-sini, sama sekali tidak dapat diterkam oleh naga itu! Kini nampak sinar hitam bergulung-gulung dengan cepat dan ke manapun sinar pedang Beng Han menyambar, selalu bertemu dengan gulungan sinar hitam ini dan membalik! Beng Han terkejut bukan main. Sinar hitam itu hanya sehelai sabuk hitam yang tadi membelit ikat pinggang yang ramping itu, dan bagaimana sehelai sabuk sutera hitam dapat menahan pedangnya? Hal ini membuktikan bahwa sinkang dari dara cantik ini benar-benar amat kuatnya!

   "Gan-koko, dari pada kita berkelahi, bukankah lebih baik kita bercinta?"

   "Keparat, lebih baik aku mampus!"

   Bentak Beng Han dengan kemarahan meluap dan kini dia menggerakkan pedangnya makin hebat lagi. Dia sudah lupa akan keadaan isterinya dan karena maklum bahwa yang dihadapinya adalah seorang wanita yang benar-benar lihai, bahkan jauh lebih lihai dari semua lawan yang pernah dihadapinya, termasuk Tek Po Tosu, maka dia bersilat dengan hati-hati sekali..

   "Hi-hik, biar gurumu sendiri belum tentu akan dapat mengalahkan aku, Gan-koko. Nah, kalau begitu rebahlah kau!"

   Tiba-tiba Nampak sinar merah ketika wanita itu mengebutkan sehelai saputangan merah yang entah kapan diambilnya. Uap merah mengebul dari sapu tangan itu. Beng Han mencium bau yang harum dan kepalanya seketika menjadi pening. Gerakannya menjadi kacau dan dia terhuyung. Sebelum dia dapat memulihkan kesadarannya ujung sabuk sutera hitam itu telah menotok beberapa jalan darahnya dan robohlah pendekar ini, terguling dan tentu akan terbanting kalau saja wanita itu tidak cepat merangkulnya! Beng Han rebah dalam keadaan lumpuh kaki tangannya!

   

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini