Kisah Tiga Naga Sakti 16
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
Gin San adalah seorang anak yang awas. Dia tidak terpesona oleh permainan itu seperti anak-anak lain dan dia masih waspada terhadap hal-hal lain yang terjadi di sekelilingnya. Oleh karena sifatnya inilah maka dia dapat nelihat apa yang orang orang lain tidak melihatnya. Di dekat tempat dia berdiri, dia melihat ada dua orang laki laki setengah tua yang nendengarkan bisikan-bisikan seorang laki-laki tua berjenggot panjang. Pakaian tiga orang ini seperti pakaian pendeta tosu (Agama To) dan di punggung dua orang yang setengah tua itu terselip pedang.
Dalam kegaduhan suara canang dan tambur itu, tentu saja dia tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan, akan tetapi dia melihat mereka bertiga kadang-kadang menoleh ke kanan kiri dan pandang mata Gin San yang tajam dapat menangkap betapa mereka seperti saling pandang dan salinn memberi isyarat kepada beberapa orang laki-laki setengah tua yang berdiri di bagian lain dan mereka semua juga berpakaian seperti pendeta-pendeta tosu! Dari sikap mereka, Gin San dapat menduga bahwa para pendeta tosu setengah tua itu agaknya dipimpin oleh kakek berjenggot panjang itu.
Kemudian, dia melihat kakek itu mengangguk dan melangkah pergi, menyelinap di antara banyak orang dan mendekati tempat naga biru sedang beristirahat menanti giliran main, dan Gin San melihat betapa belasan orang tosu yang lainnya juga bergerak ke tempat itu, yaitu di pinggir sebelah kiri dari kuil. Dia merasa tertarik sekali karena gerak-gerik mereka itu aneh. Di manapun mereka itu menyelinap, para penonton terdorong ke kanan kiri, tanda bahwa mereka adalah orang orang yang kuat sekali!
Setelah tiba di dekat naga biru itu, Gin San melihat hal yang amat aneh. Belasan orang tosu itu, dipimpin oleh si kakek, menghampiri para pemain naga biru yang kini berdiri di samping naga mereka yang digoyang-goyang dalam istirahat dan tiba-tiba saja para tosu itu mengambil alih gagang-gagang penyangga naga dari tangan para pemain yang berpakaian biru dan bersabuk kuning itu. Yang amat mengherankan, belasan orang pemain naga biru itu seperti tidak tahu atau seperti telah berobah menjadi patung, membiarkan saja gagang-gagang penyangga naga itu diambil orang lain dan mereka tetap berdiri dengan bengong! Akan tetapi Gin San adalah murid suami isteri pendekar yang berilmu tinggi.
Biarpun dia masih kecil dan tentu saja belum menerima pelajaran tentang Tiam-hiat-hoa (Ilmu Menotok Jalan Darah), namun dia dapat menduga bahwa para pemain naga biru itu telah tertotok secara hebat sekali sehingga mereka tidak mampu bergerak sama sekali dan menjadi seperti patung di tempat mereka! Tentu akan terjadi hal yang hebat, pikirnya. Dia melihat kakek tua berjenggot panjang itu juga telah merampas gagang cu, yaitu mustika naga tanpa si pemegang cu melawan sedikitpun! Juga para penabuh canang dan tambur yang terdiri dari lima orang, telah dirampas alat-alat tetabuhan mereka oleh lima orang tosu.
Semua ini terjadi dengan amat cepatnya tanpa diketahui orang lain karena mereka semua sedang asyik menonton permainan liong merah, seperti terpesona oleh gerakan liong ini sehingga tidak dapat melihat hal-hal lain yang terjadi di situ. Dan kalau ada yang kebetulan melihatnya, mereka tentu akan menyangka bahwa para tosu itu adalah teman enam para pemain naga biru yang sengaja menggantikan tugas mereka!
Gin San amat tertarik dan tanpa disadarinya dia mendekati naga biru itu. Para tosu itu agaknya tidak memperhatikan seorang anak kecil yang longak-longok di dekat mereka. Akan tetapi, Gin San menghampiri seorang di antara pemain naga biru yang berpakaian biru dan bersabuk kuning, diam-diam dia mendorong tubuh orang ini dari belakang. Orang itu seperti telah berubah menjadi arca, ketika didorong dia bergoyang-goyang dan roboh!
Melihat ini, kakek pemegang cu segera berderu.
"Mulai!"
Dan terdengarlah suara gaduh dan para penabuh canang dan tambur dari naga biru mulai beraksi! Mereka memukul canang dan tambur dengan keras sekali sehingga suara tetabuhan mereka jauh lebih nyaring dari pada tabuhan naga merah! Tentu saja suara-suara itu menjadi kacau balau dan barulah hal ini menarik perhatian para penonton. Juga para penabuh iringan musik naga merah terkejut. Lebih kacau lagi adalah para pemain naga merah karena irama yang mengikuti mereka kini kacau balau dengan tetabuhan lain sehingga langkah-langkah mereka menjadi usak!
Sebelum para penonton hilang rasa kaget dan heran mereka, tiba-tiba naga biru itu bergerak dengan tangkasnya memasuki medan permainan di depan kuil itu! Begitu tangkas gerakan mereka, begitu cepatnya dan naga itu kadang kadang diangkat tinggi-tinggi, bahkan para pemainnya meloncat dalam saat yang berlamaan sehingga naga biru itu seoiah-olah hidup dan benar-benar hendak terbang ke angkasa!
Para penonton yang terheran-heran kini bersorak gembira. Tentu saja mereka merasa gembira sekali disuguhi tontonan istimewa ini, di mana ada dua naga sedang berlagak. Dan para hwesio serta hartawan yang melempar-lemparkan mercon, kini agaknya menganggap munculnya naga biru merupakan suatu selingan yang disengaja untuk menambah meriah suasana, maka merekapun menjadi makin gembira dan menghujankan mercon lebih gencar lagi! Terjadilah pemandangan yang aneh dan amat indah. Di antara asap yang bergulung-gulung dan kadang-kadang diseling sinar api mercon meledak, nampak dua ekor naga, merah dan biru seperti saling bertempur! Agaknya para pemain naga merah juga terbawa gembira dan mengira bahwa rekan-rekan mereka para pemain naga biru itu memang sengaja hendak mengajak mereka berlumba kepandaian memainkan liong! Hanya ada beberapa orang saja diantara mereka yang terheran-heran mengapa para pemain naga biru tidak berpakaian biru.
Dalam kegaduhan suara dua perangkat musik itu, teriakan-teriakan para penonton di dekat tempat naga biru tadi istirahat tidak terdengar orang. Para penonton di bagian ini memang menjadi panik dan terkejut melihat para pemain naga biru yang berpakaian serba biru itu, yang tadi berdiri seperti patung, kini semua roboh dan tidak bergerak lagi seperti telah mati! Akan tetapi, kegaduhan luar biasa dari musik yang tidak teratur dan saling bersaing bising itu, pemandangan yang tertutup asap tebal dan perhatian yang dicurahkan kepada naga merah dan naga biru yang seolah-olah saling bertanding dan saling menyerang, membuat para penonton lain tidak tahu akan peristiwa aneh itu.
Barulah para penonton menjadi terheran-heran, akan tetapi tetap saja makin gembira, ketika mereka melihat pemain mustika naga merah dan pemain mustika naga biru yang ternyata seorang kakek berjenggot panjang, kini sedang bertanding menggunakan gagang cu (mustika) mereka sebagai toya! Demikian pula pemegang kepala naga merah dan naga biru, kini saling serang dan karena kedua tangan mereka memegang kepala naga, mereka hanya saling serang dengan kaki mereka yang menendang-nendang! Para penonton bersorak-sorak gembira. Sungguh merupakan tontonan yang selama hidup belum pernah mereka saksikan. Bayangkan saja! Dua ekor naga bertempur seperti sungguh-sungguh di bawah iringan dua perangkat musik yang riuh rendah suaranya, di antara hujan mercon dan bergulungnya asap! Dan mereka itu bertempur begitu sungguh-sungguh, begitu hidup sehingga para penonton tentu akan sukar melupakan kesan yang amat hebat ini!
Akan tetapi, tiba-tiba muncul seorang anak kecil yang melompat ke tengah medan bertempuran! Anak itu berteriak-teriak akan tetapi tidak ada orang yang dapat mendengar suaranya. Semua orang terbelalak karena anak itu membawa sebuah tenckorak manusia yang diangkat ke atas dan anak itu membuat gerakan yang ringan dan cekatan, meloncat dan menghantamkan tengkorak itu ke arah kepala kakek berjenggot panjang yang memainkan cu naga biru! Kakek itu terkejut, apa lagi melihat anak itu menggunakan sebuah tengkorak tulen untuk menghantamnya.
"Uhh""!!"
Dia berteriak sambil menangkis toya pemegang cu naga merah, kemudian kakinya menyambar dan menendang.
"Dess"..!"
Gin San, anak itu, tidak mungkin dapat menghindarkan tendangan hebat itu. Anak ini tadi melihat betapa para pemain naga biru semua kena totokan, maka setelah dia mendorong-dorong mereka roboh semua, dia lalu berteriak-teriak untuk memberi tahu orang bahwa para pemain naga biru itu adalah palsu semua. Akan tetapi suaranya tenggelam dalam kegaduhan canang dan tambur yang dipukul berbareng tanpa aturan itu.
Akhirnya, melihat pertempuran, anak yang merasa penasaran ini lalu melompat dan menyerang kakek berjenggot panjang yang dia tahu merupakan pimpinan para pemain palsu itu. Akan tetapi betapapun lincahnya, apa daya seorang anak kecil berusia sepuluh tahun terhadap seorang yang berkepandaian tinggi seperti kakek itu? Sekali tendang saja. tubuh Gin San mencelat ke atas dan"".. kebetulan sekali dia terlempar ke atas kepala naga biru!
"Bukk!"
Gin San yang terbanting duduk di atas kepala naga biru, cepat menggunakan tangan kirinya untuk memegangi tanduk naga biru dan mengempitkan kedua kakinya, sedangkan tangan kanannya masih memegangi tengkorak manusia.
Para penonton bersorak gegap-gempita! Mereka makin gembira karena mereka masih nengira bahwa semua itu adalah permainan yang amat mengasyikkan. Mereka mengira bahwa bocah itu memang termasuk rombongan pemain, apa lagi karena bocah itu memegang sebuah tengkorak. Mereka menuding-nuding ke arah Gin San, tertawa-tawa dan memuji-muji ketabahan anak itu yang kini terbawa oleh gerakan kepala naga biru. Karena kepala naga itu bergerak-gerak naik turun dan ke kanan kiri, maka Gin San harus mempergunakan semua tenaganya untuk mempertahankan dirinya agar jangan sampai terlempar atau jatuh. Tentu saja dia kelihatan seperti seorang yang menunggang kuda liar dan pemandangan ini lucu sekali, memancing gelak tawa para penonton
Akan tetapi, tiba-tiba suara ketawa para penonton terhenti, semua mata memandang terbelalak dan terdengarlah pekik di sana-sini, wajah-wajah menjadi pucat ketika mereka melihat betapa pemain mustika naga merah kini roboh oleh tusukan toya kakek pemain mustika naga biru! Dan robohnya pemain mustika naga merah ini seolah-olah menjadi isyarat bagi para pemain naga biru karena kini mereka menerjang dengan kaki mereka kepada para pemain naga merah dan dalam waktu singkat saja para pemain itu roboh dan naga merah itupun terbanting ke atas tanah bersama para pemainnya.
Lebih hebat lagi, kini para penabuh canang dan tambur pengiring naga biru sudah melemparkan alat-alat musik mereka dan langsung mereka menyerang para penabuh musik pengiring naga merah. Terjadilah perkelahian hebat. Penonton bubar! Gegerlah para penonton, panik dan mereka lari saling terjang, ada yang jatuh terinjak-injak, teriakan-teriakan dan jerit-jerit terdengar seolah-olah tempat itu dilanda perang! Sebentar saja, para pemain music pengiring naga merah sudah dirobohkan oleh lima orang tosu penabuh music pengiring naga biru, dan kini para pemain naga biru itu membawa naga mereka menerjang ke dalam kuil!
Para hartawan melarikan diri sedangkan para hwesio mencoba untuk menahan, akan tetapi mereka itu dirobohkan oleh amukan naga biru! Tempat pesta yang tadinya meriah itu kini menjadi kacau-balau dan geger. Jerit tangis mulai terdengar dari para wanita yang ketakutan, anak-anak yang terpisah dari orang tua mereka, dan orang-orang yang terjatuh dan terinjak-injak. Dan di dalam kuil terdengar suara gaduh ketika naga biru itu mengamuk merobohkan meja-meja sembahyang dan merobohkan siapa saja yang berani menghalangi perbuatan mereka.
Akan tetapi naga biru yang seperti kemasukan setan itu tidak lama mengamuk ke dalam kuil. Setelah merobohkan meja sembahyang mereka keluar lagi dan ternyata Gin San masih mendekam di atas kepala naga biru dan, tengkorak itu masih didekapnya! Akan tetapi tentu saja dia merasa tersiksa dan ngeri matanya terbelalak dan mukanya pucat.
"Sute""..!"
"Suheng"".!"
Teriakan ini keluar dari mulut Sian Lun dan Ling Ling. Dua orang anak ini tadi terkejut setengah mati dan terheran-heran melihat munculnya Gin San, apa lagi ketika melihat Gin San menyerang pemain cu naga biru sampai tertendang dan terlempar ke atas kepala naga biru. Mereka sudah memanggil-manggil, akan tetapi tentu saja suara mereka tadi lenyap tertelan kegaduhan luar biasa itu. Ketika terjadi pertempuran dan para penonton geger melarikan diri, mereka tidak ikut lagi karena mereka tidak mau meninggalkan Gin San.
Ketika naga biru menyerbu ke dalam kuil, mereka mengikuti sampai di depan pintu kuil, akan tetapi tidak dapat masuk karena di dalam kuil juga terjadi pertempuran dan amukan si naga biru. Baru setelah naga biru keluar dan mereka melihat bahwa Gin San masih mendekam di atas kepala naga, mereka berteriak memanggil dan dengan keberanian luar biasa mereka meloncat dan menyerang kakek berjenggot panjang yang kini berjalan di depan naga sedangkan tongkat penyangga mustika tadi sudah tidak berada di tangannya lagi. Tongkat itu dibuangnya karena patah ketika dia pergunakan untuk mengamuk di dalam kuil!
"Lepaskan sute!"
Bentak Sian Lun
"Kakek jahat!"
Ling Ling juga membentak. Dua orang anak itu maju berbareng dan menyerang kakek berjenggot panjang itu.
"Ehhh""!"
Kakek itu terkejut dan terheran. Dia masih terheran-heran melihat Gin San yang masih mendekam di atas kepala naga biru, dan kini muncul lagi dua orang bocah, yang menyerangnya. Hampir dia tertawa bergelak. Kiranya yang menghalangi perbuatannya dan kawan-kawannya adalah anak-anak kecil!
"Pergilah setan-setan cilik!"
Bentaknya dan karena dia marah oleh gangguan anak anak itu, kini dia mengerahkan sedikit tenaga dalam tamparannya ke arah kepala Sian Lun dan Ling Ling.
"Wut-wut""..! Ehhh??"
Kakek berjenggot panjang itu terbelalak memandang ketika dia melihat dua orang anak itu hanya terhuyung saja dan tamparan-tamparannya itu ternyata luput! Padahal, jarang ada orang dapat mengelak dari tamparannya tadi, sungguhpun dia hanya mengerahkan sedikit tenaga. Dia sudah memperhitungkan masak-masak bahwa tamparan itu sudah cukup untuk membikin pecah, kepala dua orang anak pengganggu itu dan menewaskan mereka. Akan tetapi, siapa kira, dua orang anak itu dapat mengelak dengan kecepatan luar biasa dan hanya terhuyung karena terdorong oleh hawa pukulannya saja. Hal ini membuat dia merasa malu dan peasaran!
"Kalian harus mampus"
Bentaknya pula dan dia menerjang maju mengirim pukulan. Akan tetapi pada saat itu. sebuah benda melayang ke arah kepalanya dari belakang. Kakek itu terkejut, mengira bahwa ada lawan gelap menyerangnya. Dia menggerakkan tangan memukul ke belakang tanpa menoleh.
"Prakkk!"
Pecahlah kepala itu! Kepala tengkorak yang dilemparkan oleh Gin San. Bocah ini yang masih nongkrong di atas kepala naga biru telah menyambitnya dengan tengkorak ketika melihat suheng dan sumoinya diserang.
Kakek itu makin terkejut ketika melihat bahwa yang dipukulnya hancur adalah sebuah tengkorak. Teringatlah dia akan anak yang membawa tengkorak tadi, maka kemarahannya memuncak. Dia menubruk ke depan, ke arah Sian Lun dan Ling Ling, lalu tangannya terayun, menghantam ke arah Sian Lun. Sekali ini hantamannya hebat sekali dan tidak mungkin Sian Lun akan dapat mengelak lagi.
"Omitohud, manusia kejam!"
Terdengar bentakan dan dua orang hwesio meloncat keluar dari kuil itu dan mereka langsung menangkis dan menerima hantaman itu.
"Bresss""!!"
Dua orang hwesio itu terpental dan terguling-guling ketika mereka menangkap pukulan kakek berjenggot panjang dan terkena hantaman dahsyat itu.
Kakek berjenggot panjang terkejut, akan tetapi pada saat itu datang petugas-petugas keamanan yang datang berlari-lari ke tempat itu, dipimpin oleh beberapa orang perwira. Melihat ini, kakek berjenggot panjang lalu meloncat dan menyusul teman-temannya yang sudah melarikan naga biru itu, menghilang ke dalam gelap.
"Sute""!"
"Suheng"".!" .
Sian Lun dan Ling Ling berlari-lari mengejar karena melihat Gin San terbawa lari oleh naga biru. Juga para petugas keamanan melakukan pengejaran. Akan tetapi, di luar kota itu, mereka menemukan liong biru itu menggeletak di tepi jalan dan tidak nampak seorang pun dari para tosu yang tadi melakukan kekacauan.
Sian Lun dan Ling Ling mencari-cari dengan jantung berdebar tegang, namun mereka juga tidak dapat menemukan Gin San yang lenyap bersama para tosu itu. Dengan bingung mereka lalu pulang dan di sepanjang jalan Ling Ling menangisi nasib suhengnya yang terbawa pergi oleh para tosu itu. Sian Lun menghiburnya mengatakan bahwa Gin San mempunyai banyak akal maka belum tentu akan celaka di tangan orang-orang jahat itu.
Gan Beng Han dan Kui Eng menyambut kedatangan mereka dengan hati lega. Suami isteri pendekar ini sudah cemas sekali karena mereka telah mendengar berita tentang kerusuhan yang terjadi di depan kuil. Mereka tadi juga keluar dan mencari-cari anak mereka, Ling Ling, dan keponakan mereka, Sian Lun juga murid mereka, Gin San. Namun mereka tidak melihat seorang pun di antara mereka. Lebih cemas lagi hati mereka ketika mereka mendengar dari beberapa orang yang melihatnya bahwa murid mereka, Gin San ikut dalam keributan, bahkan anak itu secara aneh naik ke atas kepala naga biru yang menimbulkan kekacauan sambil membawa sebuah tengkorak manusia! Dan ada pula yang melihat betapa keponakan dan anak mereka tadi dipukul oleh kakek berjenggot panjang.
"Ah, syukur kalian datang!"
Seru Kui Eng dan Beng Han ketika melihat munculnya anak mereka dan Sian Lun.
"Ibu""!"
Ling Ling berseru dan lari memeluk ibunya sambil menangis.
"Ibu, ji-suheng dilarikan orang-orang jahat!"
"Mari kita masuk dan bicara di dalam,"
Kata Gan Beng Han dan mereka semua lalu masuk ke dalam rumah. Setelah memberi minum kepada Sian Lun dan Ling Ling yang masih pucat pucat wajahnya, Beng Han lalu bertanya kepada keponakannya.
"Sekarang ceritakan yang jelas, apakah yang telah terjadi?"
Dengan sikap tenang karena pemuda cilik yang berhati tabah ini sudah dapat menguasai hatinya, Sian Lun lalu bercerita betapa dia dan Ling Ling menonton pertunjukan tari liong di depan kuil, kemudian betapa naga biru mengamuk dan tiba-tiba mereka melihat Gin San menyerang rombongan naga biru dan ditendang terlempar ke atas kepala naga biru. Betapa naga biru merobohkan para pemain naga merah dan menyerbu kuil, mengobrak-abrik kuil dan keluar pula dengan Gin San masih berada di atas kepala naga biru dengan muka pucat,
"Kami berdua berusaha menolong sute, supek,"
Kata Sian Lun. Dia memang menyebut supek (uwa guru) kepada Beng Han karena mendiang ayahnya adalah sute dari pendekar ini, dan kepada Kui Eng dia menyebut supek bo biarpun pendekar wanita ini adalah adik seperguruan mendiang ayahnya.
"Akan tetapi teecu dan sumoi tidak dapat melawan kakek berjenggot yang amat lihai itu. Mereka melarikan diri ketika pasukan datang dan kami ikut mengejar, akan tetapi teecu tidak melihat bayangan sute."
Beng Han mengerutkan alisnya, lalu bangkit berdiri.
"Biar aku akan mencarinya,"
Katanya kepada isterinya.
"Jaga anak anak dan jangan biarkan mereka keluar rumah."
Isterinya mengangguk, dalam keadaan seperti itu, di mana bahaya mengancam dan keadaan kalut, mereka menjadi seperti dulu lagi, seperti ketika mereka masih menjadi suheng dan sumoi dan biasa bekerja sama menghadapi bahaya. Beng Han lalu cepat meninggalkan rumahnya dan menghilang di dalam kegelapan malam. Pendekar ini lalu melakukan penyelidikan, mencari jejak muridnya, Gin San. Dia mendengarkan lagi penuturan dari mereka yang tadi melihat Gin San. Akan tetapi betapapun dia mencari, hasilnya sia-sia belaka.
Gin San lenyap seperti ditelan bumi, lenyap bersama para perusuh itu, para tosu-tosu itu. Maka pendekar ini lalu kembali ke kuil di mana dia lalu melakukan penyelidikan. Dia mengenal ketua kuil itu, yaitu Thian Ki Hwesio yang ketika terjadi keributan tidak ada di tempat karena hwesio ini sibuk menjemput rombongan yang berada di kota lain. Karena Beng Han sudah kenal baik dengan hwesio-hwesio lain pengurus kuil, maka dia diperkenankan masuk. Beberapa orang hwesio terluka parah dan pendekar ini membantu para hwesio untuk mengobati mereka yang terluka. Kemudian dia memeriksa keadaan yang rusak itu, meja sembahyang hancur, arca yang pecah dan roboh.
"Gan-sicu, sungguh pinceng (aku) tidak mengira bahwa para tosu Im-yang-pai tega dan berani melakukan perbuatan terkutuk seperti ini,"
Kata seorang hwesio tua yang menjadi wakil Thian Ki Hwesio dan yang menderita patah tulang lengannya.
Gan Beng Han terkejut.
"Ah, bagaimana losuhu tahu bahwa mereka adalah para tosu Im-yang-pai?"
Pendekar ini mengerutkan alisnya. Memang dia mendengar bahwa para tosu Im-yang-pai amat kuat, banyak di antara mereka yang memiliki kepandaian mujijat dan kesaktian yang tinggi. Akan tetapi belum pernah dia mendengar mereka itu melakukan kejahatan, apa lagi memusuhi Agama Buddha. Kakek yang berkepala gundul itu menarik napas panjang.
"Omitohud...".pinceng sendiri mengharap tidak demikian dan semoga Sang Buddha mengampuni mereka. Akan tetapi, ada dua bukti yang memperkuat dugaan bahwa mereka adalah tosu-tosu Im-yang-pai, Gan sicu. Pertama, mereka terdiri dari belasan orang yang berpakaian tosu, dan ilmu silat mereka-pinceng lihat berdasarkan Ilmu Silat Im-yang kun, juga pukulan-pukulan mereka mengandung dua hawa sinkang yang berlawanan."
Gan Beng Han tetap mengerutkan alisnya "Losuhu, saya kira dua hal itu belum dapat dipakai sebagai bukti. Banyak orang berpakaian tosu di dunia ini, dan tentang ilmu silat, bagaimana kita yang bukan anggauta Im-yang-pai dapat menentukan bahwa yang mereka pergunakan itu betul-betul Im-yang-kun?"
"Pendapat sicu memang tepat dan beralasan. Pinceng hanya menduga saja tentang ilmu silat mereka karena pinceng pernah melihat gaya permainan Im-yang-kun. Akan tetapi bukan itu yang merupakan bukti kuat, melainkan ini."
Hwesio tua itu merogoh kantungnya dan mengeluarkan sebuah benda, menyerahkan benda itu kepada Beng Han.
Benda itu adalah sebuah medali dari baja yang diukir lukisan bulat dengan garis lengkung Im Yang membagi bulatan itu menjadi dua, diwarnai hitam dan putih dan di bawah gambaran itu tertulis tiga huruf IM-YANG-PAI. Itulah tanda medali yang biasa dipakai oleh para anggauta Im-yang-pai yang sudah mempunyai tingkat, karena para anggauta biasa hanya ditandai dengan gambar yang sama pada dada baju mereka.
"Bagaimana losuhu bisa mendapatkan benda itu?"
Tanyanya sambil memandang wajah hwesio tua itu.
"Biarpun lengan pinceng patah tulangnya ketika menangkis toya itu, akan tetapi toya itu juga patah dan tentu pinceng sudah berhasil melukai lawan tangguh itu kalau saja cengkeraman pinceng tidak tertahan oleh benda ini yang tergantung di dadanya Pinceng gagal melukai dadanya akan tetapi berhasil merampas medali ini, Gan-sicu. Bukankah ini merupakan bukti bahwa mereka itu, setidaknya orang yang melawan pinceng, adalah anggota Im-yang-pai?"
"Hemm, agaknya pendapat losuhu benar. Lalu, apa yang akan losuhu lakukan tentang hal ini?"
"Omitohud, pinceng tidak mau mencari permusuhan, dan pinceng tidak dapat mengambil keputusan. Tentu saja pinceng akan menanti kembalinya Thian Ki Hwesio besok siang di kuil ini."
"Akan tetapi, apakah kejahatan ini harus dibiarkan saja? Tanpa dihukum dan dibalas sekarang juga? Losuhu, murid sayapun agaknya telah diculik oleh kawanan Im-yang-pai itu."
"Omitohud""..""
Hwesio tua berkemak-kemik membaca mantera, kemudian seperti men terjemahkan mantera yang ternyata adalah ayat suci dari kitab Buddha Dhammapada, seperti memberi wejangan kepada Gan Beng Han.
"Sicu, siapapun yang berbuat jahat terhadap orang yang tidak berdosa, akan tertimpa oleh kejahatan itu sendiri, seperti orang menebarkan debu melawan arus angin yang akan berbalik menimpa muka sendiri. Omitohud""..!""
Gan Beng Han mengerutkan alisnya Dia sudah tahu akan sifat yang lemah dan sabar dari para hwesio ini, yang membuatnya kadang-kadang merasa heran sendiri. Para hwesio banyak yang memiliki kepandaian tinggi, banyak yang pernah menjadi murid-murid Siauw-lim-pai yang tangguh, akan tetapi pelajaran tentang kesabaran membuat mereka kadang-kadang bersikap amat lemah Hal ini sungguh berlawanan dengan sikapnya sebagai seorang pendekar yang selalu siap menghadapi dan menentang kejahatan, biarpun kejahatan itu tidak menimpa muridnya sendiri misalnya.
"Losuhu, bolehkah saya meminjam medali ini?"
"Untuk apa, Gan-sicu?"
"Sekarang juga saya akan pergi mendatangi Im-yang-pai dan selain mencari murid saya juga menegur dan menuntut perbuatan anak murid mereka pada malam hari ini."
"Omitohud, sicu akan menghadapi bahaya..."., apa lagi hanya seorang diri saja. Gan-sicu, apakah tidak sebaiknya kalau kita menanti sampai besok, menanti kembalinya suheng Thian Ki Hwesio? Pinceng kira bahwa urusan penyerbuan dan pengacauan yang dilakukan oleh orang-orang itu ada hubungannya dengan upacara penyambutan benda suci sehingga dapat dianggap sebagai usaha pemberontakan terhadap perintah kaisar. Ini merupakan urusan gawat dan pemerintah tentu akan turun tangan mencari dan membasmi mereka. Sebaiknya sicu bersabar"""
Gan Beng Han adalah seorang pendekar yang tidak mau terlibat dalam urusan pemerintahan. Dia bukan pemberontak, bukan pula membela kaisar. Dia seorang pendekar yang hanya membela kebenaran dan selalu menentang kejahatan. Siapapun yang merusak kebenaran dan melakukan kejahatan, baik dia itu seorang pembesar atau siapapun, tentu akan ditentangnya. Pernah kurang lebih sepuluh tahun yang lalu ketika dia belum menikah dengan Kui Eng, sumoinya yang kini menjadi isterinya itu, dia bersama Kui Eng dan bersama mendiang Tan Bun Hong, sutenya, yaitu ayah kandung Sian Lun, menyerbu dan memusuhi Thio-thaikam, yang paling berkuasa dan berpengaruh di kota raja! Mereka bertiga membikin geger kota raja dan tentu saja mereka dianggap pemberontak-pemberontak.
Padahal, mereka sama sekali bukan bermaksud memberontak untuk menumbangkan kekuasaan di atas atau untuk merampasnya, melainkan semata-mata karena terdorong oleh jiwa pendekar mereka, yaitu menentang yang jahat dan lalim dan membela yang lemah tertindas. Kaisar amat lemah seperti boneka, dan kekuasaan berada di tangan Thio-thaikam yang bertindak sewenang-wenang, melakukan penindasan dan pemerasan hanya untuk mengumpulkan harta benda dan memperlihatkan kekuasaannya saja.
Demikianlah, menghadapi panyerbuan orang-orang yang diduga adalah orang-orang Im-yang-pai itu, Beng Han juga tidak mau mempertimbangkan kata-kata yang diucapkan oleh hwesio tua itu. Dia tidak perduli akan urusan penyambutan benda suci yang diperintahkan oleh kaisar. Dia tidak mau mencampurinya, juga tidak akan memperdulikan urusan permusuhan antara kaisar atau golongan hwesio-hwesio Buddha dengan golongan lain seperti Im-yang-pai yang beragama Im-yang-kauw. Akan tetapi, dia akan menentang siapa saja yang telah melakukan kerusuhan di kuil itu, dan terutama sekali yang telah menculik muridnya.
"Losuhu, saya tidak bisa bersabar lagi karena hal ini menyangkut keselamatan murid saya. Saya harus cepat menyusul ke sana sekarang juga. Kalau losuhu suka membantu dan meminjamkan benda ini agar saya mempunyai bukti untuk menegur mereka, itu baik sekali. Akan tetapi kalau losuhu tidak mau membantu, tanpa bukti inipun saya akan tetap menyusul ke sana seorang diri."
Hwesio tua itu menarik napas panjang, mengulurkan tangan menerima dan mengantongi kembali benda itu.
"Gan-sicu, sicu tentu maklum bahwa pinceng akan suka sekali membantumu. Akan tetapi sicu juga tentu maklum betapa pentingnya benda ini untuk bukti bagi kami sendiri dan bagi pemerintah. Pinceng harus menyerahkan benda ini kepada suheng Thian Ki Hwesio besok, dan sebaiknya sicu menunggu sampai suheng datang, barulah sicu meminjam benda bukti ini dari suheng."
Gan Beng Han menarik napas panjang. Dia tidak menyalahkan hwesio tua ini yang tentu membela kepentingan sendiri, yaitu kepentingan kuil itu. Dia sendiri amat mementingkan urusan muridnya sendiri, jadi tiada bedanya dengan hwesio itu yang juga mementingkan urusan kuilnya sendiri. Maka dia lalu mengangguk, menjura dan mengundurkan diri, pulang ke rumahnya karena dia tidak mau pergi jauh menyusul ke Im-yang-pai tanpa memberi tahu kepada isterinya. Kui Eng yang memangku puterinya duduk di atas kursi, mendengarkan penuturan suaminya dengan penuh perhatian. Juga Sian Lun yang duduk di atas bangku dan Ling Ling mendengarkan penuturan itu dengan mata terbelalak. Setelah mendengar bahwa menurut bukti yang ada, penyerbuan itu dilakukan oleh kaum Im-yang-pai, Kui Eng mengerutkan alisnya dan mengepal tinju.
"Im-yang-pai? Ah, sungguh sukar untuk dipercaya! Im-yang pai adalah partai yang bersih dan memiliki banyak sekali orang pandai. Bahkan nama suhu amat dihormat di sana. Bagaimana mereka dapat melakukan kejahatan itu?"
Beng Han menarik napas panjang.
"Isteriku, harap kauingat bahwa urusan ini sesungguhnya tidak menyangkut soal kejahatan. Memang, para penyerbu itu mempergunakan kekerasan, akan tetapi pendorong perbuatan itu bukanlah untuk merampok atau untuk melakukan penganiayaan. melainkan terdapat unsur permusuhan dengan fihak yang diserbu. Betapapun juga, perbuatan mereka itu merupakan perbuatan yang curang, menggunakan kesempatan selagi lawan tidak menduga-duga melakukan penyerbuan dan pengrusakan, dan terutama sekali, menculik murid kita. Karena itu, sekarang juga aku akan mengejar ke Im-yang-pai."
"Aku ikut pergi!"
Kui Eng berkata dengan tegas. Melihat suaminya hendak membantah, dia lalu menurunkan puterinya, bangkit berdiri, memegang lengan tangan suaminya dan memandang tajam dengan matanya yang indah, lalu berkata.
"Im-yang-pai tidak boleh dibuat main-main. Di sana sarang orang-orang yang lihai. Dan memang benar kata-katamu bahwa kita harus menolong murid kita, siapapun dan betapa lihaipun penculik penculiknya. Akan tetapi aku tidak akan membiarkan engkau pergi ke tempat berbahaya itu seorang diri saja, suamiku. Aku adalah isterimu, juga sumoimu, dan kita sudah biasa menghadapi lawan-lawan berbahaya bersama-sama, bukan?"
Gan Beng Han membalas sentuhan jari-jari tangan isterinya itu dengan penuh rasa cinta. Dia memandang isterinya dan sejenak dua pasang mata itu saling berpandangan, melekat dan seperti saling mencumbu dengan pernyataan kasih. Kemudian Beng Han berkata halus "Memang sebaiknya kalau kita maju bersama isteriku. Akan tetapi, mereka ini"".
"
Dia memandang kepada Ling Ling dan Sian Lun.
"Ayah, ibu, aku ikut! Aku ikut mencari ji suheng!"
Ling Ling berkata.
"Ah, kaukira kami akan pergi bertamasya,"
Kata ayahnya menegur.
"Bahkan aku masih meragu untuk meninggalkan engkau dan Sian Lun berdua saja di rumah dalam keadaan sekacau sekarang ini."
"Supek dan supek-bo mempunyai keperluan penting sekali dan sute memang harus diselamatkan, oleh karena itu harap supek dan supek-bo tidak ragu-ragu untuk menolongnya. Teecu akan menjaga dan melindungi sumoi dengan mempertaruhkan nyawa teecu!"
Suami isteri itu memandang kepada Sian Lun dan sesaat mereka tertegun, karena mereka teringat kepada ayah kandang anak ini yaitu saudara seperguruan mereka, Tan Bun Hong. Seperti Sian Lun inilah sikap dan kegagahan Bun Hong dahulu, ketika pendekar itu masihbahu-membahu dengan mereka menghadapi pembesar-pembesar jahat dan sekarang, anaknya yang menjadi murid mereka itu memperlihatkan sikap kegagahan yang sama sekali tidak memalukan untuk menjadi kebanggaan pendekar muda itu! Timbul perasaan puas dan lega di hati mereka. Kui Eng mengejap-ngejapkan matanya terharu karena teringat akan suhengnya, BunHong.
Dia merasa terharu dan dua titik air mata membasahi matanya, lalu dia memandang suaminya.
"Nah, ada dia di sini, dan Ling Ling juga bukan seorang anak kecil lagi. Pula, siapa sih yang akan mengganggu rumah kita? Suamiku, betapapun juga hatiku tidak akan tenang kalau melihat engkau pergi sendirian saja mendatangi Im-yang-pai di kaki Pegunungan Tai-hang-san. Aku harus menemanimu!"
Melihat sikap Sian Lun dan juga Ling Ling yang kini tidak rewel lagi dan menyatakan bahwa dia akan tinggal di rumah bersama suhengnya, akhirnya Beng Han menyetujui pendapat isterinya dan malam hari itu juga mereka berangkat meninggalkan rumah mereka, meninggalkan anak-anak mereka, meninggalkan kota Cin-an dan melakukan perjalanan menuju ke PegununganTai-hang-san untuk mengunjungi Im-yang-pai.
-------------------------------------------------------
Maaf halaman 48-50 rusak tidak terbaca,
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
-------------------------------------------------------
yang menceritakan suasana Kota Cin-An dan penduduknya yang menyambut kedatangan pawai mengiringkan Joli pembawa benda suci berupa tulang jari Sang Budha yang diarak menuju Kuil Ban-hok-tong, yang sudah dibersihkan dari sisa-sisa pertempuran semalam.
Akhirnya, menjelang tengah hari, saat yang ditunggu-tunggu oleh banyak orang itupun tibalah. Mula-mula terdengar suara tambur dan canang riuh rendah dipukul orang di pintu gerbang selatan dan nampaklah pawai itu muncul di pintu gerbang. Pawai yang megah dan panjang dan juga indah karena suasana meriah yang mengelilinginya. Mula-mula Nampak pasukan yang berpakaian indah dan berseragam megah, berjalan dengan tombak di tangan dengan gerakan kaki yang berirama, diikuti dua pasukan, pasukan tombak dan pasukan golok besar.
Dua pasukan ini diikuti oleh rombongan hwesio dan nikouw yang berdoa sambil memegang tasbeh, kepala menunduk dan bersikap khidmat dan bibir berkemak kemik. Di belakang rombongan hwesio dan nikouw yang jumlahnya belasan orang ini nampak rombongan yang menjadi pusat perhatian ialah sebuah joli yang dipikul oleh empat orang hwesio tua yang berjubah kuning. Joli itu kecil saja dan tertutup tirai kuning, dari luar tidak kelihatan apa yang berada di dalamnya. Akan tetapi semua orang telah tahu, tentu benda suci yang berupa tulang dari jari tangan Sang Buddha itulah yang ada di dalam joli.
Di belakang rombongan hwesio dan joli ini berjalan pengiring terdiri dari para pembesar dan pejabat pemerintahan yang menghormati dan menyambut benda suci itu dan mengantar di belakangnya memasuki kota. Kemudian di belakang mereka berjalan pasukan pengawal lagi yang jumlahnya sama dengan pengawal yang tadi berjalan di depan, yaitu sekitar limapuluh orang dibagi menjadi dua pasukan yaitu pasukan tombak dan pasukan golok besar.
Para penonton menyambut dengan takjub dan penuh kegembiraan. Mereka yang beragama Buddha sudah cepat menjatuhkan diri berlutut ketika pawai itu lewat, merangkap kedua tangan di depan dada dan menyembah, memberi hormat kepada benda suci itu. Mereka yang tidak beragama Buddha dan yang hanya datang menonton, juga bersikap hormat, sikap yang timbul karena melihat betapa para pembesar mengiring benda suci itu dan betapa pasukan pengawal menjaganya dengan demikian ketat sehingga tentu saja benda di dalam joli itu mendatangkan kesan yang membuat orang merasa bahwa mereka berhadapan dengan benda yang harus dihormati.
Di belakang ekor pawai, yaitu pasukan pengawal, kini berbondong-bondong rakyat berjalan sehingga pawai itu menjadi makin panjang. Mereka semua menuju ke Kuil Ban-hok-tong di mana Thian Ki Hwesio, ketua Kuil Ban-hok-tong, telah siap mengadakan penyambutan. Hwesio tua ini tadi pagi telah mendahului rombongan datang kembali ke kuilnya, bukan hanya untuk mengatur penyambutan akan tetapi juga karena dia mendengar akan adanya penyerbuan orang-orang jahat malam hari tadi yang merusak meja sembahyang di kuilnya.
Ketua Ban-hok-tong, Thian Ki Hwesio ini, bukanlah orang sembarangan. Selain menjadi seorang pendeta Agama Buddha yang tekun dan saleh, dan sebagai ketua kuil yang rajin bekerja demi kemajuan perkembangan agamanya juga Thian Ki Hwesio terkenal sebagai seorang ahli silat yang
(Lanjut ke Jilid 17)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 17
pandai. Dia bersama Thian Lee Hwesio yang menjadi sutenya dan menjadi wakil kepala di kuil itu, yaitu hwesio tua yang terluka dalam pertempuran semalam, adalah murid-murid Thai-san pai tingkat tiga. Hanya karena dua orang hwesio ini bekerja sebaga pendeta dalam kuil dan selalu menjauhkan diri dari kekerasan, tentu saja kepanda"an mereka jarang ada yang mengenalnya.
Sejak kemarin sampai malam tadi, Thian Ki Hwesio meninggalkan kuilnya untuk melakukan penyambutan kepada rombongan pembawa benda suci. Dalam rombongan itu dia bertemu dengan seorang sucinya, yaitu Pek I Nikouw yang mempunyai tingkat lebih tinggi dari pada dia di Thai-san-pai. Pek I Nikouw adalah tokoh tingkat dua di Thai san-pai dan terhitung sucinya yang memiliki kepandaian lebih tinggi. Karena seperti dia, Pek I Nikouw juga menjadi seorang pendeta Buddha yang mengepalai Kuil Kwan-im-bio di luar kota An kian, maka mereka dapat bertemu dalam rombongan itu.
Ketika mendengar bahwa semalam kuilnya diserbu orang, Thian Ki Hwesio cepat men-dihului rombongan, kembali ke Kuil Ban hok-tong. Hwesio tua ini merasa marah ketika melihat betapa sutenya dan beberapa orang hwe-sio kuilnya luka-luka, dan alisnya yang bercampur uban itu. berkerut ketika dia mendengar penuturan Thian Lee Hwesio tentang penyerbuan itu, melihat medali baja yang menjadi tanda dari Im-yang-pai.
"Omitohud".., tidak salahkah ini?"
Thian Ki Hwesio berkata seorang diri sambil membolak-balik benda itu di atas telapak tangannya.
"Boleh jadi mereka tidak senang dengan agama kita, akan tetapi menyerbu dan mengacau? Sukar dipercaya Im-yang-pai melakukan hal securang ini"".!"
"Suheng, mereka adalah segerombalan tosu dan biarpun tidak secara terang-terangan mengaku dari Im-yang-pai, akan tetapi setelah lencana ini menunjukkan kenyataan sebagai bukti, kiranya kita tidak perlu ragu-ragu lagi. Kita harus tidak mendiamkan saja kecurangan mereka dan kita harus mendatangi Im-yang pai dan menuntut!"
Kata Thian Lee Hwesio yang masih marah mengingat akan peristiwa semalam.
Thian Ki Hwesio mengangguk-angguk.
"Tentu saja. Penghinaan terhadap kuil merupakan hal yang harus kita bela dengan nyawa, sute. Akan tetapi kita menghadapi urusan besar, yaitu menyambut benda suci. Setelah itu selesai, barulah kita bicarakan hal ini dengan pembesar setempat, karena pinceng yakin bahwa penyerbuan itu ada hubungannya dengan upacara penyambutan benda suci itu."
"Benar, suheng. Memang mereka itu pantas disebut pemberontak-pemberontak yang harus dibasmi."
"Ingat, sute. Kita tidak boleh melibatkan diri dengan urusan pemberontakan. Kita hanya bergerak membela diri karena kuil kita dihina orang."
"Akan tetapi, kaisar telah memperlihatkan sikap amat baik terhadap agama kita, suheng maka hal itu amat baik bagi perkembangan agama kita. Kaisar yang beragama Buddha dan memperhatikan perkembangan agama kita haruslah kita bela dan pemberontakan terhadap pemerintah yang mendukung agama kita harus tetap dipertahankan."
Thian Ki Hwesio menarik napas panjang.
"Harap kau tidak lupa, sute, bahwa apapun keadaan dan kedudukan kita, kita tetap merupakan anak murid Thai-san-pai. Tentu sute tidak lupa akan sumpah dan janji kita sebagai murid Thai-san-pai dahulu bahwa kita tidak boleh mencampuri urusan pemerintahan, hanya berfihak kepada rakyat dan mereka yang tertindas. Sudahlah, urusan ini kita rundingkan besok setelah selesai penyambutan benda suci di kuil kita ini."
Pawai telah tiba di depan kuil. Para pengawal berbaris rapi mengelilingi kuil dan yang memasuki pekarangan kuil hanyalah rombongan hwesio dan nikouw. mengiringkan empat orang hwesio tua pemikul joli kuning itu. Di depan kuil, Thian Ki Hwesio dan sutenya, juga para hwesio lain, telah menyambut sambil berlutut.
Joli itu ditujukan di atas meja yang telah dipersiapkan di depan kuil, kemudian Thian Ki Hwesio yang mengepalai penyambutan lalu memasang dupa dan memberi hormat sambil mengucapkan mantera-mantera diikuti oleh para hwesio dan nikouw lainnya. Para pembesar yang mengiringkan tadipun diperbolehkan masuk dan kini berdiri di satu pinggiran menyaksikan upacara itu, sedangkan para penonton tetap berada di luar pagar, berjejalan untuk menyaksikan upacara.
Di antara para penonton itu terdapat dua orang bocah yang menyelinap ke depan. Mereka ini bukan lain adalah Tan Sian Lun dan Gan Ai Ling. Tadinya, Sian Lun hendak mencegah niat Ling Ling untuk menonton, akan tetapi anak itu terus merengek. Apa lagi karena melihat banyak orang berbondong lewat di depan rumah mereka dan semua orang bicara tentang penyambutan benda suci, akhirnya Sian Lun tidak dapat mencegah lagi karena khawatir kalau kalau sumoinya itu akan pergi sendiri! Dia meninggalkan pesan kepada para pelayan bahwa dia akan mengantar sumoinya nonton dan akhirnya, setelah mendengar bahwa pawai telah memasuki pintu gerbang kota, Sian Lun dan Ling Ling berangkat dan bersama banyak orang mereka menanti di depan kui.
"He, suheng, bukankah dia itu locianpwe yang menjadi guru bibi Beng Lian?"
Tiba-tiba Ling Ling berkata sambil memegang lengan suhengnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menuding ke arah rombongan pendeta yang sedang berlutut melakukan upacara penghormatan. Yang dituding oleh jari tangan Ling Ling adalah Pek I Nikouw! Memang anak perempuan ini tidak salah mengenal orang. Di dalam rombongan itu terdapat seorang nikouw tua yang berwajah ramah dan bersikap halus dan pendeta ini adalah Pek I Nikouw, enci dari Thian Ki Hwesio,
Pek I Nikouw, adalah ketua dari Kuil Kwan-im-bio yang terletak di luar kota An-kian. Dan nikouw yang menjadi tokoh Thai-san-pai tingkat dua ini menjadi guru dari Gan Beng Lian, adik perempuan Gan Beng Han yang telah menikah dengan putera Bupati Yap di kota An kian, yaitu Yap Yu Tek. Tentu saja kini Gan Beng Lian yang telah menjadi nyonya Yap Yu Tek tinggal di rumah ayah mertuanya, sedangkan ibunya masih tinggal di dalam Kuil-Kwan-im-bio karena ibunya telah masuk menjadi nikouw, menjadi murid agama dari Pek I Nikouw, Sudah tiga kali Ling Ling diajak oleh ayah dan ibunya mengunjungi bibinya di gedung Bupati Yap, dan selain mengunjungi keluarga bibinya, juga dia diajak mengunjungi neneknya, yaitu Siok Thian Nikouw di dalam Kuil Kwan-im-bio. Oleh karena itu, pernah dia bertemu dengan Pek I Nikouw dan kini dia mengenal nikouw tua itu di antara para pendeta yang berlutut di depan Kuil Ban-hok-tong memberi penghormatan kepada benda suci.
"Benarkah?"
Tanya Sian Lun.
"Aku belum pernah melihat guru bibi Beng Lian."
Sian Lun memang belum pernah bertemu dengan Pek I Nikouw sungguhpun dia pernah melihat adik kandung supeknya itu, yaitu Gan Beng Lian bersama suaminya ketika mereka datang berkunjung ke Cin-an.
Kini upacara sembahyang penyambutan di luar kuil telah selesai. Thian Ki Hwesio membuka tirai joli dan mengambil keluar sebuah kotak berwarna hitam dan berukir bunga teratai, lalu mengangkat kotak itu tinggi di atas kepala. Semua orang memandang dengan mata terbelalak dan di sana-sini terdengar bisikan bahwa itulah kotak yang berisikan benda suci! Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan nyaring sekali dan dari luar, di antara para penonton, berlompatan dua orang, tangan mereka bergerak dan beberapa sinar terang menyambar ke arah Thian Ki Hwesio!
"Omitohud""..!!"
Terdengar teriakan halus dan Pek I Nikouw sudah meloncat ke depan, kedua tangannya bergerak dan nikouw tua yang lihai ini telah dapat menangkap empat buah hui-to (pisau terbang) yang meluncur seperti kilat itu.
"Tangkap penjahat!"
"Tangkap tosu siluman!"
Thian Ki Hwesio cepat menyerahkan kotak pusaka kepada sutenya, Thian Lee Hwesio yang cepat membawa kotak itu ke dalam, sedangkan Thian Ki Hwesio sendiri sudah melompat ke depan membantu sucinya, Pek I Nikouw yang sudah bertanding melawan dua orang kakek bermuka singa yang berambut panjang. Dua orang saikong (kakek muka singa) yang tadi melemparkan hui-to itu berjubah panjang dan mereka itu mengamuk dengan senjata mereka yang menyeramkan. Kakek yang mukanya berwarna kuning mainkan sepasang senjata kongce (tombak pendek dengan kaitan) sedangkan kakek kedua yang bermuka brewok menggunakan senjata siang-kiam (sepasang pedang).
Keduanya memiliki gerakan yang amat cepat dan kuat sekali. Ketika tadi ada empat orang perwira pengawal menubruk maju dengan golok mereka, dalam segebrakan saja empat orang perwira ini roboh dan tubuh mereka terlempar sehingga Pek l Nikouw berseru menyuruh mundur semua pengawal dan dia sendiri yang maju menyambut dua orang itu. Karena dia bertugas menyambut dan mengawal benda suci, maka sekali ini, tidak seperti biasanya, Pek I Nikouw membawa pedang dan kini dia mainkan pedangnya melawan dua orang kakek
sai-kong yang amat kosen itu.
Thian Ki Hwesio yang telah bersiap siaga karena semalam kuilnya dikacau orang itu, kini telah melompat dan membantu sucinya sambil berseru keras dan mainkan pedangnya. Hwesio ini mainkan Ilmu Pedang Thai-san Kiam-hoat yang indah dan juga amat cepat gerakannya, sedangkan sucinya yang sudah memiliki tingkat lebih tinggi, mainkan Ilmu Pedang Thai-san Kiam-hoat yang sudah digubah dan ditambahnya sendiri, ilmu pedang ciptaannya yang diberi nama Ngo-lian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Teratai).
Hebat dan seru sekali pertempuran itu. Dua orang saikong itu menjadi terkejut bukan main ketika mereka mendapat kenyataan betapa hwesio dan nikouw tua yang menyambutmereka itu amat lihai. Sebetulnya, tingkat kepandaian mereka sendiri sudah amat tinggi dan mereka berdua tidak takut menghadapi dua orang lawan mereka, akan tetapi tempat itu penuh dengan musuh dan mereka tentu akan menghadapi pengeroyokan banyak sekali orang. Maka mulailah mereka menjadi gentar dan mereka menggerakkan senjata-senjata mereka untuk merobohkan dua orang lawan sehingga Pek I Nikouw yang menghadapi lawan yang bersenjata sepasang kongce itu mulai terdesak.
Apa lagi Thian Ki Hwesio yang tingkat kepandaiannya lebih rendah dibandingkan denga Pek I Nikouw. Dia mulai sibuk menghadap desakan sepasang pedang di tangan saikong brewok. Melihat ini, para perwira pengawal dan para pendeta sudah mulai mencabut senjata masing-masing. Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan.
"Hei, sumoi"".. jangan"".!!"
Dan semua orang terkejut sekali ketika melihat seorang anak perempuan kecil, usianya kurang lebih delapan tahun, dengan sebatang pedang pendek di tangan kanan, telah menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran dan langsung saja menggunakan pedang kecil itu untuk menyerang saikong bermuka kuning yang menjadi lawan dan sedang mendesak Pek I Nikouw! Anak itu adalah Ling Ling yang tak dapat menahan hatinya melihat betapa guru bibinya terdesak. Tadi ketika hendak berangkat, dia memang membawa pedang kecil yang biasa dipergunakannya untuk berlatih itu.
Untuk menjaga kalau-kalau terjadi keributan sehingga dia dapat menjaga diri, katanya kepada Sian Lun dan anak laki-laki ini hanya tersenyum saja tidak melarang. Siapa kira, kini sumoinya itu menggunakan pedangnya untuk benar-benar melakukan pertempuran, padahal yang sedang bertempur adalah orang orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Sian Lun hendak mencegah sumoinya, namun terlambat karena Ling Ling sudah meloncat dan menyerang saikong itu.
Saikong bermuka kuning itu sedang mendesak Pek I Nikouw dengan sepasang tombak kaitannya. Tiba-tiba dia melihat sinar menyambar ke arah paha kirinya. Dia melirik dan terbelalak heran ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah seorang anak perempuan kecil yang menggunakan pedang kecil pula untuk menusuk pahanya! Hampir dia tertawa bergelak dan kongce di tangan kirinya menangkis pedang kecil itu.
Sesungguhnya, seorang yang memiliki tingkat kepandaian seperti saikong ini tentu saja tidak perlu takut menghadapi tusukan pedang kecil yang dilakukan oleh anak sekecil itu. Akan tetapi karena saikong itu tertarik juga menyaksikan keberanian anak ini, dia hendak mempermainkannya, hendak menangkis dengan keras agar pedang itu terlempar. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika dia melihat anak itu merubah gerakan pedangnya sehingga luput dari tangkisannya dan kini pedang kecil itu meluncur ke arah pusarnya!
"Ehhh"".. cringgg"".!"
Dia menangkis tusukan pedang Pek I Nikouw dengan keras sekali sehingga Pek I Nikouw merasa tangan kanannya tergetar dan meloncat mundur. Sedangkan ketika pedang kecil itu mengenai pusarnya, saikong itu mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Krekkk!"
Pedang kecil di tangan Ling Ling patah dan anak itu sendiri terjengkang!
"Anak setan kau!"
Saikong itu yang hampir saja celaka oleh pedang Pek I Nikouw karena anak perempuan itu tadi mengalihkan perhatiannya, menjadi marah dan kaki kirinya menendang ke arah Ling Ling.
"Jangan ganggu dia!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Sian Lun telah menerjang maju dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis tendangan itu, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan sumoinya.
"Desss""!"
Tubuh Sian Lun terlempar dan terbanting jatuh bergulingan. Akan tetapi anak ini sudah meloncat bangun lagi dan cepat meloncat, menyerang saikong itu karena melihat saikong itu kembali telah menggunakan kedua batang kongce di tangan untuk menangkis pedang Pek I Nikouw dan membalas dengan tusukan dahsyat, membuat nikouw itu mundur lagi dan saikong itu kini hendak menyerang Ling Ling dengan kemarahan meluap. Dari belakang, Sian Lun menyerang dengan pukulan kedua tangan, ditujukan ke arah tengkuk dan punggung sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
"Keparat!"
Saikong itu membalik dan kong-cenya menyambar ke arah kepala Sian Lun! Akan tetapi pada saat itu, nampak sinar hitam menyambar dari atas dan tahu-tahu tubuh Sian Lun lenyap dan sambaran kongce itu luput.
"Ihhh"".!"
Saikong itu terkejut bukan main dan mengira bahwa anak itu dapat mengelak dari serangan kongcenya. Hal ini benar-benar amat luar biasa karena tidak mungkin anak itu mengelak secara itu selagi tubuhnya melayang. Akan tetapi ketika dia melihat ke atas, kiranya anak laki-laki itu telah berada di atas genteng, di dekat seorang Kakek tua yang tersenyum lebar dan yang menggulung sabuk hitam yang tadi dipergunakan untuk menolong anak itu!
Sementara itu, Pek I Nikouw yang melihat anak perempuan dan anak laki-laki itu membantunya, menjadi khawatir akan keselamatan anak perempuan itu, maka dia cepat meloncat, menyambar lengan anak perempuan itu, menariknya ke atas, memondongnya dan pedang di tangan kanannya siap melindunginya, sedangkan para pendeta lain dan para perwira kini sudah mulai maju untuk mengeroyok dua orang saikong lihai itu. Hal ini menolong dan menyelamatkan Thian Ki Hwesio karena hwesio ini juga sudah terdesak hebat dan terancam bahaya maut.
Melihat ini, dua orang saikong itu lalu mengeluarkan suara melengking panjang dan agaknya itu merupakan isyarat bagi mereka karena tiba-tiba mereka lalu meloncat keluar, lenyap di antara para penonton yang sudah menjadi panik dan sudah mulai lari ke sana-sini itu. Para pendeta mengejar, demikian pula pasukan penjaga keamanan, namun dua orang saikong itu berlari cepat sekali dan sudah lenyap di antara orang banyak. Pada saat itu, terjadi kegaduhan di belakang kuil dan terdengar suara orang.
"Tangkap penjahat!"
"Kepung pencuri!"
"Jangan biarkan lolos! Mereka tentu teman-teman para saikong itu!"
Mendengar ini, Pek I Nikouw terkejut sekali dan cepat mengejar ke belakang, akan tetapi lebih dulu dia memandang ke atas genteng dan melihat betapa kakek aneh tadi masih duduk nongkrong di atas genteng memegangi lengan anak laki-laki tadi. Orang itu juga tentu seorang diantara teman-teman para penyerbu, pikirnya dan tangan kiri Pek I Nikouw bergerak. Sinar jarum-jarumnya menyambar ke arah kakek itu.
Akan tetapi kakek itu tertawa dan berkata.
"Pendeta-pendeta dan bukanpun sama saja!"
Dia hanya menggerakkan tangan melambai dan..."
Jarum-jarum itu runtuh ke atas genteng sebelum mencapai tempat dia duduk! Kemudian, ketika Pek I Nikouw memandang, kakek itu menggerakkan tubuhnya dan lenyaplah dia di balik wuwungan bersama anak laki-laki tadi! Pek I Nikouw terkejut dan bingung, akan tetapi karena di belakang kuil makin gaduh, dia khawatir kalau-kalau ada musuh menyerbu dari belakang, Thian Ki Hwesto sudah lari ke belakang, maka diapun cepat lari ke belakang sambil menggandeng tangan Ling Ling.
Setelah tiba di bagian belakang kuil, Pek I Nikouw disambut oleh Thian Ki Hwesio dan sepasang orang muda yang gagah, namun mereka itu terluka dan pakaian mereka berdarah. Melihat wanita muda itu, Ling Ling melepaskan pegangan tangan Pek I Nikouw dan berseru sambil berlari menghampiri,
"Bibi""..!!"
Wanita itu adalah Beng Lian, Gan Beng Lian, pendekar wanita murid Pek I Nikouw, dan laki-laki muda di sebelahnya adalah Yap Yu Tek, suaminya yang juga merupakan seorang pendekar yang perkasa.
"Eh, kau di sini, Ling Ling"" "
Gan Beng Lian merangkul keponakannya, akan tetapi dia menyeringai karena pundaknya yang terluka itu terasa nyeri.
"Bibi, apa yang terjadi? Mengapa bibi terluka pundak bibi?"
Ling Ling bertanya.
"Beng Lian, bagaimana engkau dan Yu Tek dapat berada di sini dan terluka? Apa yang terjadi?"
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo