Kisah Tiga Naga Sakti 19
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
Komandan pasukan dengan suara lantang menyatakan bahwa dia datang memimpin pasukan atas perintah kaisar untuk menangkap semua anggauta Im-yang-pai yang telah mengacau upacara penyambutan benda suci di Kuil Ban-hok-tong di Cin-an.
"Im-yang-pai telah melakukan perbuatan yang sifatnya memberontak, oleh karena itu, minta agar suka menyerah, menjadi tawanan kami dan diadili di kota raja!"
Komandan itu mengakhiri kata-katanya.
"Ciangkun, kami Im-yang-pai selamanya tidak pernah memberontak terhadap pemerintah. Semua peristiwa yang terjadi di Cin-an itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kami,"
Kata Kim-sim Niocu dengan suara halus namun sikapnya gagah sekali.
"Semua itu hanya fitnah belaka yang dilakukan oleh orang-orang yang secara pengecut memusuhi kami. Kami sudah mendengar pula hal itu dari Gan-taihiap dan Gan-hujin. Tidak ada seorangpun di antara anggauta perkumpulan kami yang malam itu mengacau di Cin-an. Maka sudah menjadi kewajiban dari pemerintah untuk menyelidiki hal ini dengan seksama dan dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah."
"Akan tetapi, semua saksi dan bukti menunjukkan bahwa para pengacau itu adalan para anggauta Im-yang-pai. Hendaknya para pimpinan Im-yang-pai tidak usah menyangkal atau kalau hendak membela diri agar dilakukan nanti di depan pengadilan saja. Tugas kami hanya menangkap kalian semua!"
Kata pula komandan itu dengan suara lantang.
Akan tetapi suaranya yang lantang itu sama sekali tidak ada artinya karena segera terdengar suara yang lembut namun mempunyai getaran yang mengguncangkan jantung semua orang yang mendengarnya sehingga orang-orang lihai seperti Pek I Nikouw, Thian Ki Hwesio dan Tiong-san Lo-kai sendiripun sampai terkejut bukan main, maklum bahwa kakek itu telah menggunakan Ilmu Sai-cu Ho-kang yang mengandung khikang yang amat kuat sekali
"Kalau ciangkun datang membawa tawanan anggauta kami yang melakukan kekacauan, itu barulah ada buktinya dan kami takkan segan segan menghukum para anggauta kami yang melakukan pelanggaran. Akan tetapi ciangkun datang tanpa bukti melakukan tuduhan, bukankah itu fitnah belaka?"
Kata ketua Im-yang pai itu. Mendengar suara yang mengandung getaran .hebat itu, si komandan menjadi pucat dan gugup, dan tidak dapat menjawab. Akan tetapi Thian Ki Hwesio sudah melangkah maju ke depan dan terdengar suaranya yang tenang.
"Omitohud""..! Ucapan ciangbujin dari Im-yang-pai memang tepat sekali dan kiranya kamipun tidak akan begitu sembrono untuk menuduh Im-yang-pai melakukan pengacauan yang sifatnya pengecut itu. Akan tetapi, pinceng mempunyai sebuah benda yang berhasil dirampas oleh sute pinceng dari tangan seorang pimpinan pengacau dan pinceng ingin sicu memeriksa apakah benda ini ada hubungannya dengan Im-yang-pai ataukah tidak!"
Setelah berkata demikian, Thian Ki Hwesio mengeluarkan lencana Im-yang-pai itu dari jubahnya dan menyerahkannya kepada Kok Beng Thiancu.
Kok Beng Thiancu menerima benda itu dan mengamatinya, juga puterinya ikut memeriksa. Mereka tidak perlu memeriksa terlalu lama. Sekelebatan saja mereka sudah tahu bahwa memang benda itu adalah lencana yang biasa dipakai oleh anggauta Im-yang-pai tingkat tiga! Makin besar dugaan hati mereka bahwa benda ini tentulah lencana yang biasa dipakai oleh Liang Bin Cu. anggauta Im-yang-pai yang telah lama menghilang itu!
"Kami mengenal benda ini,"
Kata Kim-sim Niocu dengan suara lantang namun sikapnya masih tenang sungguhpun alisnya yang hitam kecil itu berkerut.
"Ini memang lencana seorang di antara anggauta kami tingkat tiga. Akan tetapi justeru saat ini kami sedang rnenyelidiki ke mana perginya seorang anggauta kami bernama Liang Bin Cu yang telah lama hilang tanpa meninggalkan jejaknya. Kami khawatir kalau-kalau lencana ini dirampas orang dari tangannya dan dipergunakan untul merusak nama kami."
"Kauwcu, kiranya tidak akan ada gunanya kalau kita berdebat tentang hal-hal yang tidak ada buktinya. Kami juga tidak semata-mata menuduh Im-yang-pai melakukan perbuatan yang curang dan pengecut itu di Kuil Ban-hok tong. Akan tetapi karena bukti-bukti menunjukkan bahwa ada orang Im-yang-pai yang memimpin pengacauan itu, maka Im-yang-pai harus mampu menyerahkan pemilik lencana ini kepada kami untuk membersihkan nama Im-yang-pai. Kalau hanya dengan alasan alasan yang tidak ada buktinya belaka, mana mungkin kami mau menerimanya begitu saja. Pinni tidak mempunyai permusuhan dengan Im yang-pai, juga perguruan pinni dari Thai-san pai lidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini. Akan tetapi sebagai seorang nikouw melihat betapa kuil yang dipimpin oleh sute Thian Ki Hwesio dihina orang, maka demi untuk membela agama pinni tidak akan berhenti sebelum para pergacau itu dibekuk!"
Kok Beng Thiancu menarik napas panjang, tak mampu menjawab, dan Kim-sim Niocu juga bingung sekali.
Mereka ini merasa terdesak hebat dan tidak mampu mempertahankan diri, menjadi serba salah. Untuk menyerah begitu saja, menjadi tawanan pasukan dan digiring ke kota raja sebagai pemberontak-pemberontak, hal itu tentu akan menghancurkan nama besar Im-yang-pai! Akan tetapi untuk melawan pasukan pemerintah, benar-benar merupakanbahaya besar dan melawan sama dengan mengaku bahwa Im-yang-pai memang bersalah dalam peristiwa pengacauan itu.
"Imyang-pai selamanya menjunjung kegagahan, mana mungkin ada orang kami yang melakukan perbuatan rendah? Maka, kami mohon waktu untuk menyelidiki hal ini dan kami berjanji akan menyeret pelaku-pelaku pengacauan itu ke kota raja""."
Akan tetapi ucapan Kim-sim Niocu ini terhenti karena di saat itu muncul Kui Eng yang dengan muka merah saking marahnya, mata berapi telah meloncat ke situ dan berseru dengan suara lantang.
"Jangan percaya bujukan mulut perempuan hina itu!"
"Eng-moi"!"
Suaminya berseru dari belakang. Pek I Nikouw, Thian Ki Hwesio, dan Tiong san Lo-kai juga terkejut sekali sehingga mereka hanya memandang dengan bengong. Akan tetapi Kui Eng tidak memperdulikan semua itu dan dia cepat melanjutkan kata-katanya sambil menudingkan pedangnya ke arah muka Kim-sim Niocu.
"Siapa bisa percaya kata-kata busuk yang keluar dari mulut perempuan hina dan cabul macam dia itu? Terang bahwa dia hendak mencari waktu untuk melarikan diri! Dia telah menawan aku semalam, dan menggunakan aku sebagai sandera untuk memaksa suamiku melayani nafsu bejatnya semalam suntuk! Apakah ada yang bisa mempercayai mulut perempuan hina seperti itu?"
Setelah berkata demikian Kui Eng sudah menerjang ke depan dengan pedangnya, menyerang Kim-sim Niocu denga hebatnya.
"Eng-moi, jangan""!"
Beng Han berseru akan tetapi percuma saja karena seruannya itu bahkan seperti minyak menyiram kobaran api kemarahan di hati Kui Eng. Nyonya muda ini telah menyerang dengan dahsyat sekali dengan jurus terampuh dari Kwi-hoa Kiam-hoat Melihat serangan yang amat dahsyat ini, Kim-sim Niocu juga terkejut.
Dia tidak mengira bahwa isteri Beng Han menjadi demikian marah dan nekatnya. Tingkat kepandaiannya sudah jauh lebih tinggi dari pada kepandah Kui Eng, akan tetapi pada saat itu, Kim-sim Niocu sedang bingung menghadapi tuduhan yang amat hebat dan pengurungan bala tentara pemerintah, maka dia tentu saja tidak ingin mengeruhkan suasana dengan pertempuran dan tidak ingin melayani Kui Eng. Ketika melihat sinar pedang yang amat cepat itu meluncur dan menyerangnya, dia hanya mengelak ke kiri sambil berseru.
"Aku tidak mau berkelahi!"
Akan tetapi, di luar dugaannya, nyonya muda itu menjadi makin penasaran, pedangnya digerakkan membalik dan sinar pedang itu meluncur kembali dengan serangan ke arah lambung! Cepat sekali gerakan Kui Eng itu sehingga Kim-sim Niocu yang hanya menghadapi Kui Eng dengan setengah hati dan hanya mengelak lagi, mengeluarkan teriakan kaget karena biarpun lambungnya terhindar dari sasaran pedang, namun pedang itu masih menyerempet pangkal pahanya sehingga terdengar suara kain robek dan celananya yang berwar-putih itu terbuka sedikit memperlihatkan kulit pahanya yang putih dan yang segera berlumuran darah merah!
"Eng-moi, hentikan itu""..!"
Beng Han berteriak lagi, akan tetapi Kui Eng yang melihat betapa pedangnya berhasil merobek celana dan membuat lawan yang amat dibencinya itu terluka, mendengar dalam seruan suaminya itu seolah-olah suaminya membela dan melindungi wanita itu, maka dls menjadi makin ganas dan kini menubruk maju dengan pedangnya meluncur ke arah tenggorokan Kim-sim Niocu sedangkan tangan kirinya mendorong dan melakukan pukulan maut dengan tenaga sinkang sepenuhnya ke arah dada lawan! Dus serangan itu merupakan cengkeraman tangan maut bagi Kim-sim Niocu.
"Kau tak tahu diri!"
Kim-sim Niocu berseru marah sekali karena selain pahanya terluka, biarpun hanya luka kulit terobek pedang, namun dia telah dibikin malu dengan robeknya celananya di depan orang banyak. Maka begitu melihat serangan yang amat ganas ini dia berseru keras sekali, tubuhnya berkelebat ke depan, didahului oleh sinar hitam dari sabuknya yang melibat ujung pedang yang menyambar tenggorokannya, sedangkan tangan kanannya cepat menangkap tangan kiri yang menghantam dadanya. Seketika Kui Eng tak dapat bergerak, pedangnya tertangkap sabuk hitam dan tangannya tertangkap tangan kanan lawan!Akan tetapi dia meludah dan ludah dari mulutnya tepat mengenai pipi kiri Kim-sim Niocu dan pada saat itu kaki kiri Kui Eng menendang ke arah pusar!
"Kau cari mampus!"
Kim-sim Niocu berteriak, miringkan tubuhnya dan membiarkan tendangan itu mengenai pangkal paha luar akan tetapi dengan pengerahan tenaga dahsyat sabuk hitamnya telah merampas pedang dan sekali dia membalikkan sabuknya, pedang itu berbalik dan meluncur ke depan, ke arah dada Kui Eng.
"Cappp""..!"
"Eng-moi"""!!"
Akan tetapi pedang itu telah menembus dada Kui Eng yang roboh terpelanting. Beng Han membelalakkan matanya, seolah-olah-tidak percaya bahwa isterinya telah tertembus pedang.
"Kau""". kau membunuh dia""".!"
Teriaknya kepada Kim-sim Niocu.
Kim-sim Niocu menarik napas panjang.
"Semua orang melihat bahwa dia yang mendesak, terpaksa aku membela diri"""
"Kalau begitu, engkau atau aku yang harus mati!"
Beng Han menjerit dan dia sudah mencabut pedang lalu menyerang dengan penuh kedukaan. Air matanya bercucuran dan pedangnya bergerak-gerak ganas, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengurung tubuh Kim-sim Niocu. Melihat ini, wanita cantik itu meloncat ke sana-sini, dan mulailah nampak gulungan sinar hitam dari sabuknya karena menghadapi serangan pedang dari Beng Han itu yang amat lihai, betapapun tinggi ilmu ketua Agama Im-yang-kauw ini dia tidak bisa bersikap sembarangan saja.
"Gan-taihiap, jangan mendesak aku. Isterimu tewas karena kesalahannya sendiri,"
Berkali-kali Kim-sim Niocu berkata, akan tetapi Beng Han menyerang makin hebat.
"Engkau atau aku yang mati!"
Teriaknya dan serangan-serangannya menjadi nekat dan tentu saja amat berbahaya. Namun, selisih tingkat kepandaiannya jauh di bawah tingkat ketua Im-yang-kauw yang amat lihai itu, maka setelah Kim-sim Niocu mengeluarkan kepandaiannya, menggerakkan sabuk hitamnya Beng Han mulai terdesak dan sinar pedangnya selalu tertahan oleh sinar hitam dari sabuknya itu. Sementara itu, Pek I Nikouw, Thian Ki Hwesio, Tiong-san Lo-kai dan para tokoh yang hadir memandang dengan muka pucat.
Kematian Kui Eng sama sekali tidak mereka sangka sangka. Mereka melihat betapa ketua Im-yang-kauw itu memang tinggi sekali kepandaiannya dan mereka melihat pula betapa kematian Kui Eng terjadi dalam perkelahian satu lawan satu yang jujur. Kini, melihat Gan Beng Han terdesak pula, mereka merasa tidak enak. Sebagai orang-orang gagah, mereka tentu saja menjunjung tinggi kegagahan kejujuran, akan tetapi Pek I Nikouw yang mengenal Beng Han sebagai kakak kandung muridnya, sudah menjadi berduka dan marah sekali melihat kematian Kui Eng tadi.
"Ketua Im-yang-pai, apakah engkau tidak mau menyerah dan menghentikan perlawanan?"
Bentak Pek I Nikouw sambil menghunus pedangnya, memandang kepada Kok Beng Thiancu dengan sikap menantang.
"Kami tidak merasa bersalah, tidak melakukan pelanggaran sesuatu, bagaimana kami harus menyerah?"
Kok Beng Thiancu menjawab dengan sikapnya yang masih saja tenang.
"Jadi engkau hendak melawan?"
Pek I Nikouw kembali membentak.
"Kami tidak bersalah, kalau akan dipaksa menyerah, tentu saja kami akan melawan!"
"Omitohud!"
Pek I Nikouw lalu menoleh kepada teman-temannya.
"Terpaksa kita menggunakan kekerasan! Ouw-ciangkun, silakan menggerakkan pasukanmu!"
Setelah berkata demikian, Pek I Nikouw meloncat ke depan diikuti oleh sutenya, Thian Ki Hwesio dan Tiong-san Lo-kai.
Pek I Nikouw menggerakkan teman-temannya itu adalah selain hendak menangkap orang-orang Im-yang-pai, juga untuk menolong Beng Han, maka begitu dia menerjang maju, ia sudah meloncat ke dalam medan pertempuran antara Beng Han dan wanita itu dan pedangnya berkelebat menyerang Kim-sim Niocu.
"Tranggg"".!!"
Pek I Nikouw kaget bukan main sampai memandang dengan mata terbelalak kepada ketua Im-yang-pai karena kakek ini tadi telah menubruk ke depan dan menangkis pedangnya dengan tangan kiri.
Tangkisan tangan kiri kepada pedangnya itu membuat pedangnya terpental dan pertemuan antara pedang dan tangan kakek itu menimbulkani bunga api! Dia tidak percaya bahwa ada tangan manusia yang mampu menangkis pedangnya seperti itu, akan tetapi ketika memandang dengan penuh perhatian, dia kini melihat bahwa kedua tangan kakek itu, sampai ke siku, dilindungi oleh sarung tangan yang warnanya seperti kulit sehingga tidak begitu kentara dan karena agaknya tipis sekali maka seolah-olah tangan telanjang saja. Mengertilah nenek yang berpengalaman ini bahwa ketua lm-yang-pai walaupun tidak memegang senjata, namun kedua-tangannya menggunakan sarung tangan yang terbuat dari pada bahan luar biasa kuatnya, yang dapat menahan senjata tajam.
"Hemm, kalian main keroyokan? Jangan kira Kok Beng Thiancu takut akan pengeroyokan untuk mempertahankan kebenaran!"
Bentak kakek itu dan kini dia menubruk ke depan, gerakannya kelihatannya lambat saja akan tetapi dalam satu gerakan itu, terasa ada angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Pek I Nikouw, Thian Ki Hwesio, dan Tiong-san Lo-kai sekaligus! Tentu saja tiga orang tua sakti ini terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi karena ini mereka menjadi tidak berdaya untuk membantu Beng Han yang makin terdesak hebat.
"Gan-taihiap, memang sebaiknya engkau menemani isterimu!"
Terdengar wanita itu bereru keras. Kim-sim Niocu yang diam-diam merasa sayang dan suka kepada pria ini, tadinya tidak berniat membunuhya.
Akan tetapi ketika melihat betapa tiga orang sakti itu telah turun tangan mengeroyok ayahnya, sedangkan pasukan sudah bergerak mengurung dan pertempuran mulai terjadi, pertempuran yang berat sebelah, hatinya menjadi gelisah sekali dan serangan-serangan gencar yang dilakukan oleh Beng Han itu. amat mengganggunya. Dia arus lebih dulu merobohkan Beng Han agar dapat membantu dan menyelamatkan ayahnya. dan melihat kedukaan Beng Han, memang dia pikir lebih baik kalau pria ini dibunuhnya sekalian agar kelak tidak menimbulkan dendam yang hanya akan membuat dia selalu terganggu. Sinar hitam sabuknya bergulung dan membelit pedang di tangan Beng Han.
Pendekar ini menarik sekuat tenaga, dan pada saat itu, Kim-sim Niocu melepaskan sabuknya, lalu kedua tangannya bertemu, mengeluarkan suara meledak keras dan dua buah tangannya menyambar dari kanan kiri menyerang Beng Han. Beng Han terkejut sekali, cepat dia melepaskan gagang pedangnya yang masih terbelit untuk menangkis. Akan tetapi, hanya sambaran tangan kanan dari wanita itu yang dapat ditangkisnya. sambaran tangan kiri dari wanita itu masih mengenai pelipis kepalanya. Robohlah Beng Han tanpa sempat mengeluh lagi, roboh dengan nyawa melayang karena pelipis kepalanya pecah terkena jari tangan halus yang penuh mengandung getaran hawa pukulan Tian-lui Sin-ciang yang amat mengerikan itu!
Sejenak wanita itu berdiri termangu memandang mayat laki-laki yang semalam menjadi kekasihnya itu, menarik napas panjang lalu membuang muka, menoleh kepada ayahnya. Kok Beng Thiancu memang hebat sekali. Biarpun dia tidak memegang senjata apapun, hanya bertangan kosong yang dilindungi sarung tangan ajaib itu, namun dia tidak menjadi gentar menghadapi pengeroyokan tiga orang sakti itu Pedang di tangan Pek I Nikouw berkelebatan dan membentuk sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata, juga pedang di tangan Thian Ki Hwesio membentuk sinar bergulung-gulung, bekerja sama dengan baik sekali bersama sucinya.
Akan tetapi harus diakui bahwa gerakan dua orang ini tidak mengandung keganasan bahkan mengandung keraguan. Hal ini adalah karena baik Pek I Nikouw maupun Thian Ki hwesio adalah orang-orang yang telah menghambakan diri kepada agama, selalu menjauhi kekerasan dan menghayati kehidupan yang bersih, maka tentu saja penggunaan kekerasan lagi membunuh orang, merupakan hal yang sebenarnya menjadi pantangan mereka. Maka gerakan pedang mereka itu sebenarnya berlawanan dengan sifat dan watak mereka sehari-hari, sehingga gerakan pedang mereka kehilangan keganasan dan kedahsyatannya. Sedangkan Tiong-san Lo-kai yangbersenjata sebatang tongkat telah mainkan Tiong-san Tung-hoat dan berusaha mendesak lawan yang amat tangguh itu.
Kalau bertanding satu lawan satu, agaknya antara tiga orang tua sakti itu tidak ada yang akan mampu menandingi Kok Beng Thiancu. Rata-rata tenaga sinkang mereka kalah setingkat, dan ketua dari Im-yang-pai ini memang memiliki ilmu silat yang aneh-aneh, yang merupakan perkembangan yang luas sekali dari ilmu silat yang menjadi dasar atau sumbernya, yaitu Ilmu Silat Im-yang-sin-kun. Dalam hal tenaga sakti, kakek ini telah pandai mempergunakan penggabungan tenaga yang berlawanan, yaitu Im kang dan Yang kang maka tentu saja dia dapat membuat lawan menjadi bingung karena dari kedua tangannya yang bersarung tangan itu kadang-kadang menyambar hawa yang amat panas dan kadang kadang menyambar hawa yang dingin sekali. Dan juga kedua tangan itu bisa keras melebihi baja, akan tetapi tiba-tiba. berobah lemas seperti karet!
Akan tetapi, betapapun lihainya Kok Beng Thiancu, yang dihadapinya adalah orang-orang yang telah memiliki kepandaian tinggi dan merupakan orang orang yang telah berpengalaman di dunia kang-ouw. Maka setelah tiga orang itu maju bersama, perlahan-lahan Kok Beng Thiancu mulai terdesak dan terkurung sehingga dia lebih banyak melindungi tubuhnya dari pada balas menyerang karena tiga lawannya tidak memberi dia banyak kesempatan untuk mcnbalas. Melihat betapa ayahnya mulai terdesak, Kim-sim Niocu mengeluarkan lengking nyaring dan tiba-tiba tubuhnya bergerak. Kedua tangannya menyerangke arah Pek I Ni.koaw, dari kedua tangan itu menyambar tenaga pukulan yang bahkan lebih dahsyat dari pada tenaga sinkang ayahnya!
Pek I Nikouw tetkejut dan terpaksa dia meninggalkan Kok Beng Thiancu, membalikkan tubuhnya dan tidak berani ceroboh menghadapi serangan yang amat dahsyat ini. Dia cepat mengelak dengan loncatan ke kiri sambi1 mengelebatkan pedangnya untuii; balas menyerang.
"Syuuuuttt"".!"
Tiba-tiba saja dari atas menyambar sinar hitam.
"Aihhh""!!"
Pek I Nikouw terkejut bukan main. Saat itu, dia sedang menyerang dengan pedangnya. sama sekali tidak mengira bahwa dari atas menyambar sinar hitam yang demikian dahsyatnya menuju ke kepalanya! Itulah ujung sabuk hitam dari Kim-sim Niocu yang telah mempergunakan jurus ilmunya yang baru, yaitu sengatan kalajengking yang dilakukan oleh sabuknya yang melakukan gerakan lengkung dari samping atau belakang tubuhnya, meluncur ke atas dan tahu-tahu dari atas menyambar ke arah lawan dengan totokan maut!
Pek I Nikouw cepat menarik pedangnya menangkis, akan tetapi pada saat pedangnya bergerak menangkis sambaran ujung sabuk dari atas itu, tangan kiri Kim-sim Niocu sudah menampar ke depan mengarah dada Pek I Nikouw! Hebat bukan main gerakan ini, cepat tak tetduga dan kembali Pek I Nikouw terkejut dan maklum bahwa ternyata kepandaian wanita cantik ini bahkan lebih mengerikan dari pada kepandaian Kok Beng Thiancu!
Karena maklum bahwa nyawanya terancam bahaya maut, terpaksa dia melempar tubuh ke belakang. Tubuhnya terjengkang dan dia merobohkan diri bergulingan. Ketika dia melompat bangun lagi, tubuhnya agak gemetar, kaiannya kotor dan wajahnya pucat. Sebagian dari baju di dadanya telah berlubang, padahal jari-jari tangan wanita cantik itu tadi belum menyentuhnya. Dia bergidik, maklum bahwa kalau tadi tersentuh, tentu nyawanya akan melayang. Maka dengan marah Pek I Nikouw lalu menerjang maju, kini dibantu oleh sutenya Thian Ki Hwesio yang juga menyaksikan betapa lihainya ketua dari Im-yang-kauw itu!
Sementara itu, para anggauta lm-yang-pai yang jumlahnya kurang lebih delapanpuluh orang, repot sekali menghadapi serbuan pasukan pemerintah. Mereka melawan sekuat tenaga, akan tetapi tentu saja mereka itu bukanlah lawan seimbang dari pasukan yang seribu orang banyaknya itu! Sebentar saja, rumah-rumah dalam perkampungan Im-yang-pai itu telah menjadi lautan api dan banyak anggauta Im-yang-pai roboh menjadi korban pengeroyokan. Melihat ini, Kok Beng Thiancu merasa berduka sekali. Kalau saja para sutenya berada di situ, yaitu Cin Beng Thiancu dan lima orang sute lain, agaknya mereka bersama akan mampu mempertahankan Im-yang-pai.
Akan tetapi para pembantunya yang terpandai sedang tidak berada di situ, dan melihat bahwa untuk melawan terus sama dengan membunuh diri, maka Kok Beng Thiancu lalu mengeluarkan suara pekikan yang menggetarkan seluruh tempat itu. Pekik ini merupakan tanda bagi para anggautanya untuk mengundurkan atau melarikan diri, sedangkan dia sendiri menggunakan kesempatan selagi tiga orang tua sakti itu terkesiap oleh pekik dahsyatnya, cepat menyambar tangan puterinya sambil berkata.
"Kita pergi!"
Sebenarnya Kim-sim Niocu merasa penasaran sekali, apalagi ketika melihat betapa semua rumah perkumpulannya terbakar dan banyak anggautanya tewas. Dia merasa berduka sekali dan kalau tidak karena tarikan ayahnya, agaknya dia akan mengamuk sampai mati di tempat itu! Akan tetapi, biarpun wanita ini telah memiliki kepandaian yang melebihi ayahnya dan di dalam perkumpulan dia bahkan dipandang lebih tinggi dari pada kedudukan ayahnya karena dia adalah ketua agama, namun dalam beberapa hal dia masih tunduk kepada orang tua yang telah mendidiknya sejak dia masih kecil itu. Maka, ketika tangannya disambar dan ditarik oleh ayahnya, dia tidak membantah, hanya menjawab dengan suara mengandung isak.
"Mari!"
Dua orang itu berkelebat cepat sekali ke belakang Tiga orang tua itu mengejar, dan sambil melarikan diri Kim-sim Niocu dan ayahnya merobohkan beberapa orang pasukan pemerintah untuk menolong anak buah mereka. Amukan kedua orang ini yang sebentar lari ke sana sebentar lari ke sini benar-benar dapat mengacaukan pengurungan pasukan itu sehingga di sana sini terjadi kebobolan dan banyak juga anak buah Im-yang-pai yang berhasil meloloskan diri, lari berserabutan ke dalam hutan-hutan. Adapun ayah dan anak itu sendiri sambil melawan desakan tiga orang tua sakti terus membuka jalan darah keluar dari kepungan dan akhirnya dapat pula lolos dari tempat itu. Pek I Nikouw dan teman-temannya tidak berani sembarangan mengejar karena mereka maklum betapa lihainya ayah dan anak itu. Belasan orang Im-yang-pai telah ditangkap dan puluhan orang pula telah roboh dan tewas. Juga di fihak pasukan banyak pula yang tewas dalam penyerbuan ini. Perkampungan Im-yang-pai habis dimakan api.
Dengan hati penuh duka, Pek I Nikouw, Thian Ki Hwesio, dan Tiong-san Lo-kai lalu kembali ke Cin-an membawa mayat Beng Han dan Kui Eng untuk diurus sebagaimana mestinya. Tentu saja para pelayan suami isteri ini menyambut dengan tangis sedih dan Pek I Nikouw cepat mengutus orang untuk memberi kabar kepada Siok Thian Nikouw, ibu Gan Beng Han, dan juga kepada muridnya, Gan Beng Lian dan suaminya yang telah kembali ke An-kian sambil membawa keponakan mereka, yaitu Gan Ai Ling.
"Ayaaahhh""! Ibuuuu""!"
Dan Ling Ling, anak perempuan berusia delapan tahun itu yang berlutut di depan makam baru, dua buah gundukan tanah baru, terguling roboh, dan untuk ketiga kalinya anak ini roboh pingsan!
Mereka semua yang berada di situ cepat nenolongnya. Mereka semua yang menyaksikan keadaan anak ini, tidak ada yang tidak mencucurkan air mata saking terharu dan kasihan, Ling-Ling berkali-kali pingsan ketika anak ini berlutut di depan makam ayah ibunya. Kini dia dipangku oleh bibinya Gan Beng Lian yang rnengurut tengkuk dan punggungnya sambil bercucuran air mata. Sedangkan anaknya, juga seorang anak perempuan yang berusia tujuh tahun yang bernama Yap Wan Cu, ikut pula menangis sambil memeluk tubuh Ling Ling yang lemas.
"Enci Ling""., enci Ling Ling"".!"
Keluhnya sambil menangis, mengguncang tubuh Ling Ling yang diam seperti orang mati itu.
Yap Yu Tek yang duduk di atas rumput memandang dengan wajah pucat dan pandang mata sayu, penuh duka. Hatinya terharu bukan main dan beberapa kali dia harus mengusap air mata yang menuruni pipinya. Siok Thian Nikouw, pendeta wanita tua ibu Gan Beng Han, juga menangis sesenggukan di depan makam anaknya. Bahkan Pek I Nikouw yang mengantar mereka ke makam itupun bersila di atas rumput sambil merangkap kedua tangan di depan dada. Nikouw tua ini tidak menangis akan tetapi wajahnya diliputi kedukaan besar.
"Ling Ling"".. Ling Ling""
Sudahlah nak""..!"
Sukar bagi Beng Lian untuk menghibur karena dia sendiri seperti dicekik oleti kesedihan. Membayangkan kakak kandungnya dan kakak iparnya terbunuh orang secara tak terduga sama sekali, benar-benar mengejutkam dan mendatangkan kedukaan yang hebat. Apalagi kini menyaksikan sikap Ling Ling yang begitu mengenaskan. Hati siapa takkan tergerak oleh rasa keharuan yang hebat?
Ling Ling mengejapkan matanya, mukanya pucat sekali, matanya agak membendul dan merah. Dia bangkit duduk, dipangku oleh bibinya, lalu menoleh ke arah sepasang makam itu, dan tak dapat ditahannya, air matanya kembali bercucuran menuruni kedua pipinya yang pucat.
"Enci Ling.... jangan menangis..." "
Wan Cu anak tunggal Gan Beng Lian dan Yap Tek, merangkul kakak misannya itu, akan tetapi dia sendiripun menangis!
Ling Ling memandang adik misannya, lalu bibirnya bergerak lirih.
"Wan Cu"""
Dan dia menoleh, memandang kepada Beng Lian, berseru lirih seperti bisikan.
"bibi Lian...."
Kemudian dia menoleh kepada Yap Yu Tek dan kembali berbisik.
"paman""."
Semua ini dilakukan seperti orang kehilangan semangat seperti seorang anak yang rninta perlindungan ke sana sini, mencari cari pegangan, pandang matanya kosong dan sayu.
"Ling Ling"".,"
Beng Lian memeluknya dan mendekap muka anak itu ke dadanya, tidak dapat menahan tangis, dan kesedihannya, tidak tahan lagi memandang wajah anak keponakan itu yang seperti mayat hidup. Yu Tek rnengusap air matanya dengan ujung lengan baju. Yang terdengar hanya keluh dan ratap tangis di kuburan yang sunyi itu.
Tiba-tiba terdengar ucapan yang parau tetapi berpengaruh sekali, terasa sampai ke dalamjantung semua yang berada di situ "Siancai""! Apa artinya semua tangis ini? Apa yang kalian tangisi? Huh, menyebalkan sekali!"
Semua orang menengok dan ternyata di situ tak jauh di belakang mereka, telah berdiri seorang kakek yang sudah tua sekali, berpakaian sederhana seperti seorang petani akan tetapi bajunya longgar seperti baju pertapa, rambutnya sudah hampir putih semua, bahkan jenggot kumis dan alisnya juga sudah bercampur uban. Akan tetapi, sepasang mata kakek itu seperti mata orang muda saja, dengan sinar yang tajam berwibawa. Pek I Nikouw juga membuka mata dan menoleh, dan nikouw tua ini segera mengenal kakek itu"
"Omitohud...., kiranya Lui Sian Lojin yang telah datang"".."
Katanya halus.
"Pek I Nikouw, engkau adalah seorang yang beribadat, mengapa tidak melarang mereka yang menangisi kuburan dua orang muridku?"
Kakek menegur kepada Pek I Nikouw.
Pek I Nikouw menarik napas panjang "Ornitohud"". Lojin, apakah engkau tidak dapat membedakan antara orang-orang yang telah dapat membebaskan diri dari pengaruh ikatan dunia dengan mereka ini yang tentu masih terikat kuat? Bagaimana mereka tidak akan menderita sengsara dan duka karena ditinggal mati oleh orang-orang yang mereka cinta?"
"Cinta? Huh! Siapa yang mereka cinta? Yang mati ataukah diri mereka sendiri?"
Kakek itu mencela sambil menghampiri dua makam baru itu.
Tiba-tiba Ling Ling yang tadinya menangis sambil berlutut, meloncat dan berdiri dengan sikap beringas, menghadapi kakek itu dan sepasang matanya yang merah itu mengeluarkan sinar seperti berapi-api. Kedua tangannya yang kecil dikepal dan dia berkata.
"Engkau tentu kakek jahat, engkau tentu teman dari musuh musuh yang membunuh ayah dan ibuku!"
"Ling Ling, jangan kurang ajar"".!"
Beng Lian maju dan memegang pundak keponakannya. Melihat kakek aneh itu, Yap Yu Tek juga sudah bangkit berdiri mendekati isteri dan keponakannya, memandang tajam dengan alis berkerut.
Kakek itu sejenak memandang kepada mereka berdua, lalu berkata mencela.
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa kalian yang sudah dewasa, bukan anak-anak lagi, memberi contoh buruk dan menangis palsu di depan makam ini?"
Beng Lian menjadi marah.
"Locianpwe! Tadi saya mendengar bahwa locianpwe adalah guru dari mendiang kakakku Beng Han dan kakak iparku Kui Eng. Akan tetapi mengapa sikap locianpwe seperti ini? Kakakku mati di bunuh orang, demikian pula kakak iparku. Sudah tentu saja kami berduka dan menangisi. Apakah locianpwe sebagai guru mereka datang untuk bergirang hati atas kematian mereka?"
"Beng Lian""..!"
Tiba-tiba Pek I Nikouw membentak muridnya.
Dengan alis berkerut Beng Lian menoleh kepada subonya dan berkata.
"Biarlah, subo. teecu merasa penasaran sekali mengapa kami dicela karena kami menangisi kematian koko dan soso...".."
"Omitohud"..Lojin, sekarang engkau harus memberi perjelasan kepada mereka"".. masa bodoh terserah kepadamu"
Kata Pek I Nikouw. Nikouw ini sudah merangkapkan kedua tangan di depan dada dan memejamkan matanya lagi.
Lui Siang Lojin tertawa sambil mengelus jenggotnya.
"Ha-ha-ha, orang muda! Orang seperti aku sudah tidak lagi dipengaruhi oleh suka dan duka. Aku datang bukan untuk berduka maupun untuk bergembira atas kematian kedua orang muridku, Beng Han dan Kui Eng. Mereka itu sudah mati, dan apakah kita tahu bagaimana keadaan mereka sesudah mati? Apakah mereka lebih sengsara dari pada ketika masih hidup? Kita tidak tahu. Oleh karena itu, kalau benar kita mencinta mereka, mengapa pula kita harus menangisi mereka? Bagaimana kalau keadaan mereka kini lebih baik? Siapakah yang kalian tangisi itu, kalian menangisi mereka yang tidak kalian ketahui bagaimana keadaan mereka kini, ataukah kalian menangisi diri kalian sendiri yang merasa kehilangan dan sedih karena ditinggal pergi selamanya?"
Beng Lian dan suaminya terkejut dan saling pandang, lalu sinar kemarahan mulai lenyap dari pandang mata mereka. Bahkan mereka merasa terkejut sekali karena selamanya baru sekali ini mereka mendengar pandangan macam itu, pandangan yang terlalu aneh dan jujur, yang sekaligus menelanjangi perasaan mereka. Memang harus mereka akui tanpa kata bahwa mereka menangis karena merasa kehilangan dan karena mereka merasa penasaran.
"Menangis bukanlah perbuatan orang gagah!"
Kata pula Lui Sian Lojin.
"Menangis sebagai pelepasan atau luapan kesedihan hanya akan membuang tenaga murni secara sia-sia belaka. Dan apakah manfaatnya menangisi kematian kedua orang muridku itu? Apakah dengan menangis air mata darah sekalipun mereka dapat kalian hidupkan kembali? Apakah dengan menangis saja urusan dapat menjadi beres? Kedua orang muridku itu adalah melebihi anak-anakku sendiri, kini mereka tewas di tangan ketua Im-yang-kauw yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi. Lalu apakah yang akan kalian lakukan?"
Yap Yu Tek dan isterinya mendengarkan dengan mata terbelalak dan bingung. Akhirnya keduanya menjatuhkan diri berlutut dan Beng Lian berkata.
"Teecu berdua adalah orang orang bodoh, mohon petunjuk locianpwe.
"
Kakek itu menarik napas panjang.
"Semua adalah kesalahanku, ya, kesalahanku sampai tiga orang muridku yang tersayang tewas""! Ahh, mula-mula Bun Hong yang tewas secara menyedihkan karena dia meninggal di waktu usianya masih muda sekali, dan sekarang Beng Han, dan Kui Eng tewas pula. Semua karena kesalahanku, karena kebodohanku"
"Omitohud! Lojin mengapa berkata demikian? Pinni tidak melihat sesuatu yang bisa di salahkan kepadamu,!"
Tiba-tiba Pek I Nikouw berkata.
"Salahku, Nikouw, karena aku tidak becus mendidik mereka! Kepandaianku terlalu rendah sehingga mereka menjadi orang orang yang kepandaiannya setengah matang dan mudah dikalahkan musuh. Setelah tahu bahwa mereka hidup dalam dunia persilatan yang mengandung kekerasan, maka seharusnya mereka memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak akan mudah dibunuh orang! Maka aku harus mengajak pergi anak mereka ini. Aku harus mendidik anak ini, akan kuminta bantuan suhu sendiri untuk mendidiknya menjadi orang yang lebih tinggi tingkat kepandaiannya dari pada aku sendiri, agar tidak mudah dikalahkan orang seperti orang tuanya."
Kini Pek I Nikouw bangkit berdiri dan merangkap kedua tangannya.
"Omitohud""..! Lui Sian Lojin, apakah engkau hendak menanamkan racun dendam ke dalam hati anak ini? Betapa kejamnya itu""..!"
Pek I Nikouw memandang kepada Ling Ling yang sejak tadi mendengarkan dengan mata terbelalak.
(Lanjut ke Jilid 20)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 20
Lui Sian Lojin tertawa.
"Ha-ha-ha, jangan menduga yang bukan-bukan, Pek I Nikouw. Akan tetapi hendaknya engkau ketahui bahwa urusan yang timbul di dunia sekarang ini bukan sekedar urusan dendam-mendendam pribadi belaka! Melainkan lebih besar lagi, mengenai keselamatan bangsa dan negara. Im-yang-pai sampai menjadi korban bukan karena mereka itu menentang agama dan pemerintah, melainkan karena fitnah belaka. Ada usaha-usaha kotor yang belum kita ketahui, yang agaknya hendak mengadu domba beberapa fihak. Telah muncul orang-orang pandai yang akan mengeruhkan kehidupan rakyat dan rnengacaukan pemerintah.
Maka, sudah sepatutnya kalau keturunan diri murid-muridku ini biarpun hanya seorang perempuan, untuk kelak turun tangan membantu manusia menghalau segala bencana itu. Ling Ling, aku tahu bahwa namamu Gin Ai Ling dan panggilanmu sehari-hari Ling Ling. Engkau agaknya tidak ingat lagi kepadaku karena ketika aku menjenguk orang tuamu, engkau masih terlalu kecil. Aku adalah guru dari ayah ibumu. Sekarang, aku akan mengajakmu untuk belajar ilmu agar kelak engkau melebihi orang tuamu, melebihi aku, dan tidak akan mudah dibunuh orang, dan cukup kuat untuk menentang segala macam kejahatan di dunia ini!"
Ling Ling menoleh kepada Pek I Nikouw, Yu Tek, dan Beng Lian. Biarpun usianya baru delapan tahun, namun anak ini memang cerdik dan dia sudah mendengarkan segala percakapan orang-orang tua itu tadi. Maka dia mengangguk dan cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata,
"Teecu ingin mempelajari ilmu agar kelak dapat membunuh ketua Im-yang-kauw!"
Ternyata dia yang selalu memperhatikan percakapan orang orang tua, tanpa diberi tahu secara langsungpun telah mengerti bahwa pembunuh ayah bundanya adalah ketua Im-yang-kauw!
"Omitohud"".!"
Pek 1 Nikouw berseru.
Lui Sian Lojin tertawa.
"Tak usah kau khawatir, Pek I Nikouw. Kalau dia sudah dewasa pikiran bodoh itu tentu akan berubah. Nah aku pergi mengajak anak ini!"
Kakek itu lalu memegang tangan Ling Ling, ditariknya bangun sambil berkata.
"Ling Ling, hayo kau ikut bersamaku sekarang juga.
"
"Akan tetapi pakaiannya masih di rumah..."."
Beng Lian berkata, hatinya masih belum rela berpisah dari keponakannya yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya itu.
"Pakaian adalah urusan kecil. Ling Ling, apakah engkau masih hendak meributkan urusan pakaian dan segala tetek-bengek?"
Kakek itu berkata.
"Tidak, teecu mau berangkat sekarang juga bersama sukong,"
Ling Ling lalu berkata kepada mereka.
"Bibi, paman, aku pergi""..!"
Beng Lian hanya dapat mengangguk dengan air mata menetes di atas kedua pipinya. Sedangkan Yu Tek yang merasa terharu dan juga kagum hanya berkata.
"Baik-baiklah engkau belajar, Ling Ling."
Ketika kakek dan anak perempuan itu sudah melangkah pergi, tiba-tiba terdengar suara anak menjerit.
"Enci Ling"".I"
Dan Wan Cu berlari mengejar, lalu merangkul Ling Ling sambil menangis.
"Enci Ling, aku ikut""..!"
Ling Ling balas merangkul dan mencium pipi adik misannya itu.
"Kau tidak boleh meninggalkan ayah ibumu, adik Wan Cu. Kelak ita akan bertemu kembali."
Ling Ling lalu melepaskan rangkulan anak itu, menghampiri Lui Sian Lojin dan menggandeng tangan kakek itu. Pergilah mereka berdua dan Ling Ling tidak pernah menoleh lagi. Hatinya sudah bulat untuk mencari ilmu agar kelak dapat membalaskan kematian ayah bundanya!
Kwi-hoa san adalah sebuah gunung yang sunyi. Gunung itu, apa lagi mendekat puncak dari lereng mula sudah terdiri dari batu-batu kapur sehingga tanahnya tidak subur untuk pertanian, maka tempat itu sunyi dan tidak ditinggali manusia. Hanya di bagian kaki gunung itu saja masih ada dusun-dusun yang sedikil penghuninya. Dari lereng sampai ke puncak, gunung itu penuh dengan tebing-tebing tinggi dari kapur yang bentuknya aneh-aneh dan sukar didaki. Akan tetapi di sana-sini terdapat bagian-bagian yang penuh degnan pohon-pohon liar, pohon pohon yang dapat hidup di tanah padas dan kapur.
Di puncaknya yang merupakan bagian yang aneh aneh bentuknya, sebagian besar meruncing ke atas menjulang ke dalam awan, jarang sekali didatangi manusia karena selain tidak ada sesuatu yang dapat dihasilkan, juga perjalanan menuju ke puncaknya amat sukar dan berbahaya Akan tetapi, sekali orang berhasil tiba di puncak gunung ini, dia akan terpesona oleh keindahan pemandangan alam yang jarang didapat di tempat lain. Dan di dekat puncak, secara aneh terdapat sebidang tanah yang penuh dengan tanaman sayur-sayuran dan pohon pohon berbuah! Dinding puncak yang merupakan dinding karang itu berlubang-lubang, membentuk guha-guha besar dan di salah sebuah guha yang terbesar dan amat gelap, terdapat seorang kakek tua renta yang sudah bertahun-tahun bertapa.
Kakek ini pada puluhan tahun yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan karena dia ini bukan lain adalah Bu eng Lojin (Kakek Tanpa Bayangan), seorang sakti yang selama puluhan tahun malang melintang di dunia kang-ouw dan menentang para penjahat sehingga namanya pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan liok-lim. Akan tetapi setelah mulai tua, kakek ini menyadari bahwa jalan kekerasan yang ditempuhnya membuat dia makin jauh dari kebenaran dan kebahagiaan, maka dia lalu mengundurkan diri dan bertapa di puncak Kwi-hoa-san, sama sekali tidak lagi mau mencampuri urusan dunia. Jejaknya ini kemudian diikuti oleh muridnya yang bukan lain adalah Lui Sian Lojin, kakek yang usianya berselisih duapuluh tahun dari gurunya.
Pada sore hari itu, ketika matahari condong ke barat dan kebetulan memuntahkan cahayanya yang kemerahan ke dalam guha itu karena guha itu memang menghadap ke barat sehingga untuk beberapa jam lamanya setiap senja guha itu menjadi agak terang, di depan mulut guha itu nampak seorang kakek dan seorang anak perempuan berlutut menghadap ke dalam guha yang dipenuhi cahaya merah seperti kebakaran!
Kakek itu adalah Lui Sian Lojin sedangkan anak perempuan yang berlutut di sebelah kirinya adalah Gan Ai Ling. Setelah melakukan perjalanan cepat sekali dengan menggendong anak itu, akhirnya Lui Sian Lojin pada hari itu tiba di puncak Kwi-hoa-san dan dia langsung mengajak cucu muridnya itu untuk menghadap di depan guha pertapaan suhunya yang selama bertahun-tahun tidak pernah menampakkan dirinya itu. Baru sekarang Lui Sian Lojin berani untuk mengadakan hubungan dengan gurunya, sedangkan biasanya, hanya beberapa hari sekali dia menyuguhkan hidangan di depan guha.
Kadang-kadang hidangan itu lenyap diambil oleh gurunya di waktu malam akan tetapi kadang-kadang sampai beberapa hari hidangan itu tidak disentuh orang! Demikianlah dia sendiri tidak pernah bertemu muka dengan gurunya sejak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi pada senja hari ini dia nekat, mengajak Ling Ling menghadap di depan mulut guha.
"Suhu, harap suhu sudi mengampuni teecu yang lancang mengganggu ketenangan suhu, Akan tetapi, teecu melakukan hal ini bukan demi diri sendiri, melainkan demi negara, demi bangsa yang terancam kekalutan."
Selanjutnya dengan suara tenang, satu satu dan jelas Lui San Lojin bercerita tentang keadaan negara yang kacau, di mana kaisar menjadi boneka dari para pembesar lalim, bahkan betapa kini terjadi kekacauan yang mengadu domba antara perkumpulan besar sehingga batu-baru saja telah mengakibatkan hancurnya Im-yang-pai yang diserbu oleh pasukan pemerintah, padahal menurut pandangannya, tidak mungkin Im-yang-pai yang melakukan pengacauan terhadap upacara Agama Buddha itu.
"Demikianlah keadaannya, suhu, maka teecu memberanikan diri mengganggu suhu dari ketenangan dan mengetuk hati nurani suhu untuk kali lagi mencurahkan tenaga demi rakyat."
Sunyi menyambut ucapan yang panjang lebar dan lama itu, Ling Ling merasa bulu tengkuknya meremang. Dan mendengar sukongnya bicara sendiri menghadapi guha yang kelihatan kosong menyeramkan dan kemerahan itu. Dan tidak nampak seorangpun di dalamnya, juga tidak ada yang menjawab agaknya. Akan tetapi, selagi dia hendak menegur sukongnya yang dianggapnya bicara sendiri tanpa ada gunanya tiba-tiba terdengar suara lirih yang meraung keluar dari dalam gua, membuat Ling Ling terkejut setengah mati dan mukanya menjadi pucat.
"Cin Lok"""..!"
Suara itu berdengung seperti suara angin lalu saja, begitu lembut akan tetapi mendatangkan gema yang menyeramkan
Lui Sian Lojin mengangguk anggukkan kepala sampai dahinya menyentuh tanah. Kakek ini merasa girang sekali dapat mendengar suara gurunya. Tak salah lagi, itulah suara gurunya karena siapakah yang mengenal nama kecilnya kecuali gurunya? Nama kecilnya adalah Bu Cin Lok dan selama dia merantau di dunia kang-ouw, dia tadinja dikenal sebagai Lui Sian Enghiong karena setelah tamat belajar dia berdiam di puncak Pegunungan Lui sian, dan kemudian setelah tua dia dikenal sebagai Lui Sian Lojin. Tidak ada orang lain kecuali gurunya yang mengenal nama kecilnya maka kini mendengar suara menyebut nama kecilnya, hatinya tergetar penuh kegirangan.
"Suhu! Terima kasih bahwa suhu sudi mendengarkan teecu."
"Cin Lok, bukankah dahulu engkau pernah mengambil tiga orang murid yang kauanggap sebagai tiga ekor naga sakti yang turun ke dunia untuk membersihkan kejahatan?"
"Ahh, suhu, teecu telah berlaku bodoh sekali! Teecu tidak dapat menurunkan ilmu cukup tinggi kepada mereka sehingga tiga orang murid teecu itu terpaksa mengalami nasib yang menyedihkan, tewas di tangan musuh yang lihai sewaktu mereka menjalankan tugas. Karena itulah maka teecu sekarang menghadap kepadamu. Anak ini adalah puteri dari kedua orang murid teecu yang telah menjadi suami isteri dan yang telah tewas pula dalam Keributan Im-yang-pai yang telah teecu ceritakan tadi."
"Anak itu cukup baik dan berbakat, aku setuju engkau mengangkatnya sebagai murid,"
Terdengar suara itu.
"Akan tetapi". teecu khawatir akan mengulangi kesalahan lama, suhu. Anak ini menghadapi tugas yang jauh lebih berat dan berbahaya dari pada orang tuanya, maka teecu mohon kerelaan hati suhu, sudilah suhu turun tangan sendiri mendidik anak ini agar tidak akan sia-sia lagi usaha teecu."
"Hemm, Cin Lok, apa kaukira bahwa Kwi-hoa san ini merupakan puncak tertinggi? Di sana masih banyak puncak lain yang lebih tinggi dan masih ada Gunung Thai-san yang jauh lebih tinggi, sedangkan di atas puncak Thai-san masih ada awan dan di atas awan masih ada langit!"
Ucapan yang halus ini tentu saja dimengerti baik oleh Lui Sian Lojin. Gurunya tidak mau dianggap sebagai orang terpandai dan mengingatkan murid itu bahwa di dunia ini masih terdapat banyak sekali orang yang lebih pandai lagi dan di atas sekali masih ada langit (Thian) yaitu Yang Maha Pandai!
"Teecu mengerti, suhu. Akan tetapi setidaknya, bimbingan suhu masih jauh lebih tinggi hasilnya dari pada pendidikan teecu yang ternyata telah gagal mendidik tiga orang murid itu"
"Hemm""
Akhirnya semua ini akan kubawa pergi, untuk apa bagiku dan apa gunanya kalau tidak ditinggalkan kepada seorang manusia lain? Cin Lok, suruh anak itu masuk ke dalam."
Lui Sian Lojin girang bukan main, cepat dia mendorong punggung Ling Ling dan berbisik.
"Ling Ling, anak yang baik, cepat kau merangkak ke dalam dan memberi hormat kepada sucouw!"
Ling Ling adalah seorang anak yang cerdik. Tadinya dia memang takut dan ngeri mendengarkan suara tanpa rupa itu, akan tetapi dari percakapan itu dia dapat mengerti bahwa suara itu adalah suara dari kakek buyut gurunya. Sedangkan kakek gurunya saja telah memiliki kepandaian yang amat luar biasa, apa lagi kakek buyut gurunya! Tentu sakti seperti dewa. Maka, sambil memberanikan hatinya yang berdebar, dia merangkak memasuki guha itu. Ketika dia tiba di dalam, dia melihat bahwa pada dinding belakang guha itu terdapat lorong yang membelok ke kiri. Pantas saja orangnya tidak nampak. Kiranya guha itu masih ada terowongannya ke kiri. Dia terus merangkak memasuki terowongan yang gelap itu dan tiba-tiba terdengar suara halus.
"Berhentilah!".
Ling Ling berhenti, mengangkat muka dan di dalam keremangan cahaya matahari senja dia melihat bentuk seorang tua yang sedang duduk bersila. Karena hanya remang-remang, dia hanya melihat bahwa kakek itu rambutnya panjang sampai ke pinggang, mukanya tertutup rambut pula, dan kakek itu mengulur tangan, tahu-tahu dia merasa bahwa kepalanya telah disentuh oleh tangan yang berkulit lembut dan halus. Tangan itu menggerayangi kepalanya, menurun ke muka dan lehernya, kemudian tangan itu memegang pergelangan tangannya, menekan sebentar dan menggerayangi punggungnya, Ling Ling merasa geli, akan tetapi dia menahan diri untuk tidak tertawa.
"Baiklah, Cin Lok. Dia cukup berharga dan cukup kuat menerima ilmu-ilmu yang selama ini kusimpan kelak. Kaudidiklah dia lebih dulu, beri dia dasar-dasar ilmu silat tinggi dan latih dia dengan tekun agar dia mengumpulkan hawa murni di tubuhnya. Kelak kalau sudah tiba saatnya, aku akan mendidiknya."
"Terima kasih, suhu, terima kasih""."
Terdengar suara Lui Sian Lojin dari luar, dan karena suara itu memasuki guha dan membalik, maka terdengar aneh dari sebelah dalam oleh Ling Ling. Ternyata bahwa tidak ada keanehan apa-apa mengenai suara kakek yang duduk di dalam guha itu, melainkan suara yang tertutup dan bergema di dalam guha itu maka terdengar seperti aneh.
"Keluarlah, anak yang baik, dan berlatihlah dengan tekun!"
Kakek jang hanya nampak bayangannya itu berkata halus. Ling Ling yang berlutut itu memberi hormat dengan mengangguk dan membungkuk sehingga dahinya menyentuh lantai guha, kemudian dia merangkak mundur sampai di depan guha, di mana Lui Sian Lojin lalu menggandeng tangannya, diajak bangkit dan meninggalkan guha itu sambil berkata dengan girang,
"Sumoi, kita berhasil."
Ling Ling terkejut bukan main.
"Sumoi? Apa maksud sukong?"
"Hush! Siapa sukong? Engkaulah sumoiku, dan aku suhengmu!"
Kata kakek itu dengan wajah berseri
"Eh, tapi""., sucouw adalah guru sukong, dan sukong adalah guru ayah ibu.... ahh"..!"
Begitu menyebut nama ayah ibunya, Gan Ai Ling menangis sesenggukan.
"Hushh, jangan menangis!"
Kakek itu membentak dan Ling Ling terkejut sekali, karena selain suara itu mengandung getaran hebat juga tangan kakek itu menempel di punggungnya dan dia merasa ada hawa yang panas memasuki tubuhnya dan membangkitkan semangatnya sehingga seketika tangisnyapun terhenti.
"Ingat, sumoi. Engkau adalah calon seorang: gagah yang akan mewarisi ilmu kepandaian dari suhu.! Engkau adalah seorang yang dicalonkan untuk menanggulangi semua kekeruhan yang timbul di dalam dunia ini. Maka, pertama-tama yang harus kau ingat adalah bahwa menangis-merupakan suatu kelemahan yang sama sekali tidak ada gunanya! Berduka tidak ada manfaatnya sama sekali, berduka dalam bentuk iba diri dan kecewa hanya akan melemahkan diri dan merupakan pantangan besar bagi seorang gagah. Mengertikah engkau?"
Anak kecil berusia delapan tahun itu mengangguk-angguk dan sikapnya sudah seperti seorang dewasa saja! Lui Sian Lojin tersenyum girang dan dia mengelus kepala sumoinya yang sama sekali tidak patut menjadi sumoinya patutnya menjadi cucunya itu. Dan mulailah Ling Ling mengalami kehidupan yang baru sama sekali Mulailah dia hidup di tempat sunyi itu, setiap hari digembleng ilmu oleh suhengnya yang pernah menggembleng ayah dan ibunya, juga di tempat yang sama. Dongeng tentang ayah ibunya ketika masih kecil dan juga belajar ilmu di tempat ini membuat Ling Ling menjadi bergembira dan semangat.
Baiknya Lui Sian Lojin adalah seorang kakek yang bijaksana dan dia dapat melayani watak seorang anak-anak mengajak Ling Ling di samping belajar ilmu juga bermain-main, mengajaknya turun gunung sewaktu-waktu untuk mengunjungi dusun-dusun dan bertemu dengan manusia-manusia lain, dan di samping menggemblengnya dengan ilmu silat atau dasar ilmu silat tinggi, juga tidak lupa dia mengajar ilmu membaca dan menulis kepada anak ini.
Kita tinggalkan dulu Ling Ling yang memulai kehidupan baru di puncak Kwi-hoa-san, dan sebaiknya kita mengikuti pengalaman Coa Gin San, murid dari pendekar Gan Beng Han dan isterinya yang tewas ketika berusaha mencari murid ini. Kemanakah perginya Coa Gin San?
Seperti telah diceritakan di bagian depan ketika terjadi keributan di dalam Kelenteng Ban-hok-tong di kota Cin-an, Gin San terbawa oleh para saikong yang mengadakan pengacauan itu dan tidak ada seorangpun tahu ke mana anak itu dibawa pergi karena tidak meninggalkan jejak sama sekali. Menurut dugaan Thian Khi Hwesio, Gan Beng Han dan yang lain-lain. para penyerbu itu adalah orang-orang dari Im-yang-pai sehingga akibatnya Im-yang-pai mengalami penyerbuan dan dihancurkan oleh pasukan pemerintah. Akan tetapi benarkah demikian?
Tepat seperti dugaan Lui Sian Lojin, memang sesungguhnya Im-yang-pai hanya terkena fitnah belaka. Im-yang-pai tidak tahu-menahu tentang penyerbuan itu. Akan tetapi siapakah para saikong yang amat lihai itu, yang telah menyerbu kuil dan mengacaukan upacara penyambutan benda suci dari Agama Buddha? Mereka itu sesungguhnya adalah orang-orang yang menjadi anggauta perkumpulan Agama Beng-kauw!
Pada waktu itu, aliran agama atau kebatinan Beng-kauw merupakan aliran kebatinan yang menyeleweng dan dimasuki oleh golongan sesat di dunia kang-ouw, dan pelajaran-pelajarannya menjurus ke ilmu klenik dan sihir. Bagaimanakah asal-usul dari aliran kebatinan Beng kauw ini? Tidak banyak orang tahu, akan tetap menurut catatan lama, aliran kebatinan ini datang dari dunia barat, yaitu tepatnya dari Negara Persia (Iran). Beng-kauw berarti Agama Terang dan asalnya dari Agama Mani Iran, atau yang terkenal dengan sebutan Manichaeism. Mani adalah nama seorang pemuda bangsawan, terlahir dalam tahun 200 kurang lebih, dan terdidik dalam lingkungan sekte Mandaeans.
Pada waktu itu terdapat dua agama besar yang saling bersaing dan bermusuhan, yaitu Agama Kristen dan Agama Mithraism, sedangkan agama asli dari Persia sendiri adalah Agama Magism. Pemuda Mani mempelajari semua agama ini, memperkembangkannya, bahkan mengambil bagian-bagian yang dirasa cocok dan dicampur adukkan sehingga dia berhasil membangun suatu agama baru yang kemudian berkembang dan dinamakan menurut namanya, yaitu Agama Manichaeism. Tentu saja karena berasal dari penggabungan tiga agama Kristen, Mithraism dan Magism, maka Agama Manichaeism ini mempunyai bagian-bagian dari tiga agama itu.
Dengan penuh semangat, Mani secara resmi mendirikan agamanya itu pada hari penobatan Raja Persia, yaitu Raja Shapur ke I yang menaruh simpati kepada ajaran agama baru ini. Karena memperoleh dukungan raja yang berkuasa, maka Mani dapat bergerak bebas, dan dia berkelana ke seluruh negeri untuk menyebarkan agamanya. Bahkan dia mengunjungi luar negeri, sampai ke India dan ke Tiongkok sebelah barat. Karena di Tiongkok dia sukar memperoleh penyambut, dia kembali ke Persia dan mulailah ia memperoleh banyak pengikut, bahkan banyak kaum bangsawan dan keluarga raja yang menjadi pengikutnya. Akan tetapi, diam-diam kaum Agama Magism merasa iri dan memusuhinya sebagai penyebar agama palsu. Hanya karena Raja Shapur I mendukungnya, maka Mani masih dapat bergerak dengan leluasa. Bahkan raja penggantinya, yaitu Raja Hormizd, juga terpengaruh oleh Manichaeism sehingga agama ini dapat berkembang biak dengan suburnya.
Akan tetapi ketika Mani mulai menjadi tua, Raja Hormizd diganti oleh Raja Barham I yang beragama Magism dan condong kepada kasta Magians. Mani kehilangan tempat berpijak yang kokoh, dia ditangkap dan diserahkan kepada kasta Magians yang menjadi musuhnya dan Mani dihukum mati sebagai seorang penyebar agama palsu, sebagai utusan iblis! Setelah itu, pemerintah Persia di bawah Raja Barham I berusaha untuk membasmi Agama Manichaeism, akan tetapi tidak begitu berhasil karena memang sudah banyak pengikutnya dan ketika terjadi pembasmian itu, banyak pengikut yang pergi melarikan diri ke timur, ke India dan ada pula yang pergi ke Tiongkok.
Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Naga Siluman Karya Kho Ping Hoo