Kisah Tiga Naga Sakti 21
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
Kakek yang seperti monyet itu bukan lain adalah Maghi Sing, atau yang berjuluk See-thian Sian-su, kakek dari India yang menyebarkan Agama Manichaeism yang di Tiongkok disebut Agama Beng-kauw (Agama Terang). Kakek ini usianya sudah delapanpuluh tahun lebih, seorang pertapa di lereng Pegunungan Himalaya yang memilki ilmu kepandaian amat tinggi, bukan hanya kesaktian mujijat dan ilmu ilmu sihir dan klenik, akan tetapi juga pandai ilmu-ilmu silat yang aneh-aneh. Tiga orang ketua Beng-kauw itu adalah murid muridnya.
Ketika Maghi Sing melihat anak itu rnenyerangnya dengan serudukan kepala, dia terbelalak dan tersenyum lebar, matanya bersinar sinar penuh keheranan dan juga kegembiraan. Dia membiarkan kepala anak iiu menyeruduk perutnya yang agak gendut.
"Cepp""..!"
Kepala Gin San memasuki rongga perut kakek itu dan Gin San merasa seolah-olah kepalanya terbenam ke dalam agar-agar yang amat lunak! Akan tetapi ketika dia hendak menarik kepalanya, dia tidak berhasil karena kepala itu telah menancap melekat ke dalam perut, bahkan seperti disedot.
"Heh heh heh, anak ini pemberani juga,"
Katanya.
"Suhu, jangan bunuh dia!"
Kata Thian Bhok Cu dan Hok Kim Cu berbareng.
"Suhu, lebih dulu berikan darah dan otaknya kepada teecu untuk menyempurnakan Toat-beng tok-ciang yang teecu sedang latih!"
Kata Kwan Cin Cu. Tiga orang kakek ini maklum akan kesaktian guru mereka dan kepala anak itu bisa terbakar setelah terjepit dalam perut kakek sakti dari Himalaya itu!
Mendengar ucapan tiga orang muridnya, Maghi Sing yang tadinya hendak menghancurkan kepala itu atau membakarnya, membatalkan niatnya dan mulai tertarik.
"Eh, hendak kulihat anak macam apakah sih dia ini yang kalian perebutkan?"
Setelah berkata demikian, Maghi Sing melepaskan jepitan perutnya dan Gin San merasa kepalanya terlepas, akan tetapi karena peningnya dia hampir pingsan dan kini merasa betapa tubuhnya diangkat ke atas dan kepalanya dipijat-pijat dan diraba-raba. Seperti dalam mimpi dia mendengar kakek aneh itu berkata girang.
"Wah, persis sekali! Sama benar dengan aku! Wah, mencari di seluruh duniapun belum tentu bisa mendapatkan yang kebetulan seperti ini! Bukan main!"
Kakek itu terus nyerocos bicara dalam Bahasa Tibet campur India dan sampai tidak karuan bunyinya sehingga tiga orang muridnya sendiripun tidak mengerti.
"Apa yang suhu maksudkan?"
Mereka bertanya ketika melihat suhu mereka itu yang mengangkat tubuh anak itu dan meraba-raba kepalanya kini berjingkrak seperti monyet menari-nari dengan penuh kegirangan.
"Kalian tidak tahu?"
Kakek itu berhenti menari.
"Lihat baik-baik anak ajaib ini. Sama benar dengan aku, bukan? Seperti pinang, dibelah dua! Lihat ini, telinganya!"
Dia menjewer-jewer telinga Gin San. Tiga orang muridnya memandang dan mereka mengerutkan alis. Telinga Gin Sin biarpun agak besar akan tetapi biasa saja seperti telinga manusia umumnya, akan tetapi sebaliknya telinga kakek itu luar biasa lebarnya, dua kali lebar telinga Gin San, dan kakek itu mengatakan bahwa telinga mereka sama!
"Hi hik, suhu! Teecu lihat telinga suhu jauh lebih besar!"
Kata Thian Bhok Cu genit.
"Tolol kau! Bakan ukurannya, melainkan bentuknya, eh, tulang mudanya. Sama benar! Dan mukanya ini. Ah, persis sekali dengan mukaku, mirip, malah sama benar tiada bedanya seujung rambutpun!"
Tiga orang kakek ketua Beng-kauw itu menahan perasaan heran dan geli hati karena biarpun mereka sudah tua, akan tetapi mereka belum lamur dan masih dapat melihat betapa bedanya muka antara anak dan kakek itu. Muka Gin San adalah tampan sekali, sebaliknya muka kakek itu buruk seperti monyet. Akan tetapi karena maklum akan kesaktian guru mereka dan bahwa pernyataan guru mereka itu tentu ada dasarnya, mereka tidak berani membantah.
"Tulang pipinya, dahinya, dagunya, wah, semuanya sama. Nih, lihat! Terutama sekali bentuk kepalanya yang belakang, besar menonjol penuh otak tidak seperti kepala kalian yang kosong! Ini tandanya anak ini dapat menjadi seperti aku kelak! Heh, anak yang baik, siapakah namamu?"
Gin San sudah ketakutan akan tetapi dia menyembunyikan rasa takutnya. Dia sama sekali tidak berdaya dalam pegangan kakek itu, tubuhnya menjadi lemas kehilangan tenaga.
"Namaku Coa Gin San."
Kakek itu berjingkrak dan kembali menari-nari, membawa tubuh Gin San berputar putar sambil tertawa-tawa.
"Gin San? Gin San berarti Gunung Perak! Aha ha-ha! Benar-benar para dewata yang telah mengirim engkau kepadaku! Eh, kalian bertiga dengar baik baik. Ketika aku dahulu bertapa di puncak Gunung Perak, yaitu satu di antara puncak Himalaya yang selalu tertutup salju seperti perak, disana aku memperoleh ilham mendapatkan mustika. Sampai puluhan tahun aku menanti terbuktinya ilham itu dan kiranya sekarang benar-benar aku memperoleh mustika itu! Anak inilah, mustika itu! Gin San si Gunung Perak! Ha-ha-ha, mustika inilah yang kelak akan mengangkat dan menjunjung tinggi-tinggi nama Beng-kauw!"
Tiga orang kakek ketua Beng kauw itu hanya saling pandang, terheran dan terkejut akan tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu, tidak berani membantah dan mereka hanya memandang dengan mata terbelalak ketika guru mereka itu membawa pergi Gin San dari tempat itu sambil tertawa-tawa dan menari-nari kegirangan seperti seorang anak kecil memperoleh mainan baru!
Demikianlah, mulai saat itu, Gin San menjadi murid Maghi Sing atau See-thian Sian-su. Gin San adalah seorang anak yang memang suka sekali mempelajari ilmu silat. Dia sudah tahu akan kelihaian tiga orang ketua Beng-kauw, maka kini menjadi murid guru dari tiga orang kakek itu, dia merasa girang sekali karena dia mendapat kenyataan betapa saktinya kakek aneh seperti monyet yang kadang-kadang seperti gila itu. Dia mulailah dia menerima latihan yang aneh-aneh. Kadang-kadang dia di suruh bertapa menggantung diri dengan kaki di atas, sampai berhari-hari dan setelah napasnya, empas-empis saja maka dia diturunkan oleh gurunya, seolah-olah dihidupkan kembali dengan ramuan obat-obatan dan totokan-totokan di seluruh tubuhnya.
Kadang kadang dia diharuskan bertapa dengan seluruh tubuh dikubur kecuali kepalanya saja, ditanam di dalam tanah sampai ke lehernya dan dibiarkan berhari-hari sampai dia jatuh pingsan baru dikeluarkan! Dan ada kalanya dia diharuskan bertapa dengan duduk bersila di dalan air, sampai ke lehernya. Gin San menyaksikan kesaktian gurunya itu ketika dia disuruh bersamadhi di dalam air sekolam. Gurunya itu memasukkan tangan kirinya dan mengerahkan tenaga dan"".. air itu makin lama menjadi makin dingin.
Dia mempertahankan diri dan karena dinginnya air itu perlahan-lahan, maka dia dapat bertahan juga walaupun akhirnya pingsan karena air itu akhirnya menjadi beku dan luar biasa dinginnya! Atau kakek aneh itu memasukkan tangan kanannya ke dalam air mengerahkan tenaga dan air itu makin lama menjadi makin panas, sampai dia tidak tahan karena air itu hampir mendidih! Akan tetapi latihan ini dilanjutkan terus dan belum sampai setengah tahun saja, Gin San sudah dapat menahan sampai air itu membeku atau mendidih! Mulailah dia melatih diri di bawah bimbingan Maghi Sing yang sakti, mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dan segala macam ilmu sihir berdasarkan Agama Beng-kauw.
Anak yang cerdik ini pada hakekatnya tidak suka akan pelajaran Agama Beng-kauw, akan tetapi karena dia tahu benar betapa sakti gurunya itu dan karena dia suka untuk memperoleh pelajaran segala macam ilmu itu, maka dia tidak menyatakan ketidaksenangannya itu dalam kata-kata maupun perbuatan. Dia tahu bahwa pada hakekatnya, segala macam agama Beng-kauw, bertujuan baik untuk menuntun nanusia menuju ke jalan yang baik, menjauhi dan menentang kejahatan. Akan tetapi, seperti juga telah terjadi dengan semua agama di dunia ini, manusia bahkan mempergunakan sebagai kedok, sebagai penghias muka belaka, hanya memperoleh abu dan asapnya akan tetapi tidak menghayati apinya, hanya terpesona oleh kulit dan warnanya tidak mendalami isinya.
Gin San juga tidak membantah ketika Maghi Sing mempersiapkan anak ini agar kelak menjadi tokoh besar yang akan membawa kemajuan bagi Beng-kauw, dan untuk persiapan ini, selalu dia mengajarkan ilmu-ilmu silat dan ilmu-ilmu sihir kepada Coa Gin San, juga dia mengundang guru-guru kesusasteraan untuk mengajar kesusasteraan kepada Gin San agar Gin San kelak benar-benar menjadi seorang yang bun bu coan-jai (ahli silat dan surat).
Pemberontakan An Lu San yang berlaru larut, dan dilanjutkan oleh pemberontakan-pemberontakan para pengikutnya, biarpun akhirnya dapat ditindas, namun telah mendatangkan kekacauan di seluruh Tiongkok. Di kota raja sendiri dan daerahnya, para pembesar Bangsa Uighur yang merasa telah berjasa dan sudah keenakan tinggal di daerah yang kaya ini, tidak ingin kembali ke tempat asal mereka yang penuh dengan padang tandus.
Beberapa puluh orang tokoh Uighur yang tadinya ikuti membantu Kerajaan Tang (Tong-tiauw) dalami usahanya mengusir para pemberontak, kini seolah-olah menjadi tamu terhormat dan bersikap sombong dan sewenang-wenang, apa lagi mereka ini mempunyai sahabat-sahabat baik di kalangan orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi dan berkuasa di istana kaisar. Dan semenjak terjadi peristiwa pembasmian Im-yang-kauw oleh pemerintah, maka para tokoh Uighur ini lalu mendekati Im-yang-kauw yang menaruh dendam kepada pemerintah dan kepada orang orang Buddhis yang didukung oleh partai-partai persilatan Siauw-lim-pai dan Thai san-pai.
Diam-diam terjalinlah persekutuan antara para tokoh Uighur dengan Im-yang-kauw yang dalam keadaan terjepit itu telah memperoleli bantuan pula dari Pek-lian-kauw, perkumpulan agama lain yang cukup besar dan berpengaruh juga perkumpulan yang selalu dimusuhi oleh pemerintah. Secara diam-diam persekutuan antara Uighur, Im-yang-kauw, dan Pek-lian kauw ini berusaha untuk merebut pengaruh dan kekuasaan di antara para pembesar dan terjadiah persaingan dengan kelompok lain.
Kelompok ke dua adalah kelompok persekutuan antara Bangsa Khitan, Bangsa Tibet, yang memasuki Tiongkok melalui perkumpulan yang mereka jadikan sekutu, yaitu perkumpulan Agama Beng kauw! Bangsa Khitan ini dipimpin oleh An Hun Kiong, yaitu keponakan dari mendiang pemberontak An Lu San yang masih berdarah Khitan, dengan bantuan kepala pasukan Suku Khitan yang terkenal, yaitu Taya-tonga, guru dari An Hun Kiong. Dan Taya-tonga yang amat pandai ilmu silat dan pandai pula ilmu perang ini bersahabat dengan pemimpin orang-orang Tibet, yaitu Ba Mou Lama, seorang Lama berjubah merah dari aliran Lama Merah di Tibet, sedang yang lihai sekali dan ahli dalam ilmu sihir. Para tokoh Khitan yang merasa sakit hati atas tewasnya An Lu San, bergabung dengan tokoh tokoh Tibet dan dibantu pula oleh perkumpulan Beng-kauw inipun mulai dengan gerakan mereka, menghubungi para gubernur yang berpengaruh untuk menentang kerajaan dan menentang pula kelompok Uighur.
Dengan demikian, terdapatlah dua kelompok yang amat kuat itu, yaitu kelompok Uighur, Im-yang kauw, Pek-lian-kauw, dan kelompok Khitan, Tibet, Beng-kauw, yang secara rahasia memperkuat kedudukan mereka masing-masing untuk memperebutkan kekuasaan di kota raja. Adapun kerajaan sendiri semenjak pemberontakan An Lu San menjadi amat lemah. Kaisar Hian Tiong menjadi amat lemah. Kaisar Hian Tiong menjadi boneka yang dipengaruhi oleh para menter dorna dan para pembesar kebiri yang berkuasa di dalam istana. Bahkan setelah Kaisar Hian Tiong diganti oleh puteranya, yaitu Kaisar Su Tiong (Mu Cung), keadaan kaisar baru inipun tidak lebih baik dari pada keadaan ayahnya, sungguhpun Kaisar Su Tiong sudah berusaha untuk mengadakan berbagai macam perobahan.
Di antaranya, dia telah membebaskan sasterawan Han Gie, bahkan mengangkat sasterawan ini menjadi penasihat dari kementerian peperangan. Namun, Kaisar Su Tiong ini masih belum dapat melenyapkan bahaya bagi kerajaannya, yaitu bahaya ancaman persekutuan-persekutuan yang kuat itu dan terutama sekali bahaya yang datang dari keadaan dalam istana sendiri yang berupa pengaruh dari kekuasaan para pembesar dorna, terutama para thaikam yang dipimpin oleh Thio-thaikam! Dengan adanya bentrokan bentrokan untuk memperebutkan pengaruh dan kekuasaan itu, maka terjadilah kekacauan di dalam negeri dan kekacauan ini mengundang para penjahat di seluruh pelosok untuk bangkit.
Setiap ketidak tertiban pasti menimbulkan kekacauan-kekacauan baru, dan dalam keadaan tidak tertib ini kaum sesat berpesta-pora karena pemerintah terlampau lemah untuk mengawasi dan mengekang mereka. Dunia kang-ouw dan liok-lim menjadi ramai, para tokoh sesat bermunculan dan para pertapa yang tadinya hendak menyucikan diri sampai mati dalam keadaan damai dan tenteram, terpaksa meninggalkan guha-guha pertapaannya untuk menentang kejahatan-kejahatan yang mengancam ketenteraman hidup manusia itu.
Waktu berlalu dengan amat cepatnya seperti nenyambarnya halilintar, akan tetapi memang ada kalanya waktu merayap amat perlahan seperti siput merayap. Kalau tidak diperhatikan, waktu berlalu amat cepatnya dan tahu-tahu, sepuluh rahun telah lewat semenjak peristiwa yang terjadi di Kuil Ban-hok-tong ketika diadakan perayaan penyambutan benda suci yang diarak itu. Sudah sepuluh tahun lamanya Coa Gin San, anak yatim piatu yang dipungut oleh mendiang suami isteri Gan Beng Han dan Kui Eng itu, digembleng secara hebat luar biasa oleh Maghi Sing, kakek sakti itu, seolah-olah kakek yang tua renta itu hendak memasukkan seluruh kepandaian yang telah dipelajannya selama puluhan tahun itu kepada muridnya ini dalam waktu sesingkat itu! Dan agaknya bukan tidak beralasan mengapa kakek sakti itu tergesa-gesa hendak menurunkan seluruh kepandaiannya kepada Gin San yang dianggapnya sebagai calon guru besar atau calon pemimpin besar Beng-kauw, karena begitu selesai dia menurunkan ilmunya terakhir, sesudah sepuluh tahun itu dia lalu duduk bersila untuk tidak bangkit kembali, karena dia telah menghembuskan napas terakhir!
Kematian Maghi Sing ini merupakan peristiwa besar sekali. Sebuah peti mati dari kayu cendana hitam diletakkan di ruangan besar yang merupakan guha terbesar di pantai Po-hai yang menghadap ke laut dan dilakukan upacara sembahyangan yang dihadiri oleh banyak tokoh, terutama dari tokoh-tokoh Khitan dan Tibet yang menjadi sekutu Beng-kauw selama ini.
Markas Beng-kauw itu hanya terdiri dari guha-guha di sepanjang pantai Po hai, akan tetapi pada hari perkabungan dan upacara sembahyangan itu, di pantai Po hai dipasang banyak tenda dan kursi untuk para tamu sedangkan peti jenazah itu berada di guha terbesar yang sudah dipasangi panggung sehingga nampak dari jauh. Peti hitam itu berkilau tertimpa matahari pagi ketika semua tamu sudah berkumpul, dan di atas panggung dekat peti itu duduk bersila tiga orang kakek dan seorang pemuda. Tiga orang kakek itu adalah tiga orang pimpinan Beng-kauw,yaitu Kwan Cin Cu, Hok Kim Cu, dan Thian Bhok Cu. Sedangkan pemuda itu adalah seorang pemuda tampan, berpakaian serba putih, wajahnya serius namun bibirnya nampak seperti orang tersenyum, dan sepasang matanya juga bersinar-sinar penuh semangat.
Pemuda ini bukan lain adalah Coa Gin San yang ketika itu telah berusia duapuluh tahun dan telah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan kelihatannya lemah-lembut, namun sesungguhnya dia telah merupakan seorang manusia sakti yang telah mewarisi hampir seluruh kepandaian dari Maghi Sing atau See-thian Sian-su! Biarpun waktu itu sinar matahari telah menyinari seluruh permukaan guha, namun di dalam guha itu masih dipasangi banyak obor dan lampu sehingga keadaannya menjadi terang sekali Obor-obor dan lampu-lampu ini dipasang semenjak Maghi Sing meninggal dunia dan tidak pernah padam, dan ini merupakan suatu kepercayaan dari orang-orang Beng-kauw yang memuja sinar terang.
Semua anggauta Beng-kauw di utara datang untuk memberi penghormatan terakhir kepada Maghi Sing yang dianggap sebagai pendiri Beng-kauw di utara itu. Jumlah mereka tidak kurang dari tigaratus orang!Dan para tamu yang memenuhi seluruh pantai itu terdiri dari banyak golongan, akan tetapi yang menjadi tamu-tamu kehormatan adalah beberapa orang tokoh Khitan yang dipimpin oleh seorang pria tampan dan gagah berusia tigapuluh tahun, bertubuh tinggi besar. Dia ini adalah An Hun Kiong, keponakan dari mendiang pemberontak An Lun San. Juga gurunya, Tayatonga, juga peranakan Khitan seperti orang she An itu, ikut pula hadir Tayatonga ini mempunyai julukan Tai-lek Hoat-ong dan namanya yang membayangkan tenaga besar itu memang pantas dengan tubuhnya yang seperti raksasa, akan tetapi punggungnya bongkok.
Usianya sudah enampuluh tahun lebih dan dia duduk dengan tenang dan tidak pernah kelihatan bicara. Selain guru dan murid peranakan Khitan ini, nampak juga seorang pendeta Lama yang berkepala gundul dan berjubah merah. Inilah Ba Mou Lama, seorang kakek tinggi kurus yang usianya sekitar enampuluh lima tahun, bermuka kuning seperti orang berpenyakitan dan matanya sipit sekali, seperti terpejam selalu, akan tetapi mulutnya selalu tersenyum mengejek membayangkan kesombongan besar dan
memandang rendah kepada segala yang berada di depannya.
Selain para anggauta Beng-kauw sendiri dan tokoh-tokoh yang menjadi sekutu Beng-kauw, juga terdapat banyak tamu, terdiri dari utusan-utusan para gubernur dan pembesar yang menaruh simpati kepada Beng kauw sebagai sekutu mereka dalam menentang fihak Uighur dan kerajaan. Dan selain mereka ini, terdapat pula tokoh-tokoh berbagai aliran persilatan di dunia kang-ouw yang merupakan orang-orang aneh dengan bermacam pakaian, ada yang seperti tosu, ada yang seperti hwesio, petani, ahli silat, bahkan ada pula yang berpakaian pengemis. Semua tamu yang datang secara bergilir memberi penghormatan terakhir di depan peti mati dengan bersembahyang mempergunakan hio (dupa biting) sebagaimana lajimnya. Hio-louw (tempat abu dupa) yang amat besar berdiri di depan peti mati, di atas meja dan hiolouw itu sudah penuh dengan hio yang mengepulkan asap harum memenuhi pantai terbuka itu.
Kini semua tamu telah selesai bersembahyang dan semua orang menanti upacara selanutnya. Peti mati berisi jenazah itu akan dibakar seperti kebiasaan orang-orang Beng kauw yang memuji api sebagai unsur terang. Hidup adalah terang, mati adalah gelap, maka kematian harus diterangkan dengan sinar api, yaitu dibakar, demikianlah keyakinan mereka, pembakaran yang dilakukan dengan api akan menerangi roh si mati sehingga terbebas dari kegelapan.
Tiba-tiba datang dua orang yang menarik perhatian. Dua orang tamu baru ini langsung menuju ke depan peti mati dan mereka berdua menarik perhatian karena mereka adalah seorang pemuda dan seorang dara yang tampan gagah dan cantik jelita. Pemuda itu berpakaian ringkas berwarna kuning dengan sabuk hitam, wajahnya tampan dan sikapnya gagah, usianya kurang lebih duapuluh tahun, di punggungnya nampak sebatang golok tipis dengan sarung golok sederhana. Gadis yang berdiri di sebelahnya itu cantik dan manis sekali, terutama mulutnya karena sepasang bibirnya berbentuk indah dan nampak ada lesung pipit di kedua tepi mulutnya setiap kali dara itu menggerakkan bibir.
Di punggung gadis ini nampak sebatang pedang dengan ronce merah, dan seperti si pemuda, dara inipun berpakaian serba kuning berkembang dan sabuknya merah. Akan tetapi, bukan hanya ketampanan dan kecantikan wajah pemuda dan dara itu saja yang menarik perhatian semua orang, melainkan terutama sekali karena sebuah lambang medali yang tergantung di dada mereka dari leher, lambang medali dari baja yang terukir lukisan bulat dengan garis lengkung Im-yang membagi bulatan itu menjadi dua, diwarnai hitam dan putih dan di bawah gambaran Im-yang itu tertulis tiga huruf IM YANG PAI.
Itulah tanda medali yang biasa dipakai oleh para anggota Im-yang-pai yang sudah mempunyai tingkat! Dan biasanya, tokoh Im-yang-pai yang berhak memakai tanda medali ini, menyembunyikannya di dalam baju, dan memang tergantung di leher. Akan tetapi, pemuda dan dara ini agaknya sengaja mengeluarkan medali itu sehingga tergantung di depan dada, seolah-olah mereka berdua secara demonstratip hendak memperkenalkan diri bahwa berdua adalah tokoh-tokoh Im-yang-pai. Para anggota Im-yang-pai biasa tidak boleh menggunakan lambang ini, dan mereka hanya ditandai dengan gambar yang sama, gambar Im-yang pada dada baju mereka.
Tentu saja suasana menjadi tegang karena semua maklum bahwa Im-yang-pai bukan termasuk sahabat dari Beng-kauw, bahkan menurut desas-desus terjadi senucam persaingan dan permusuhan yang tidak terbuka antara Im-yang kauw dan Beng kauw. Maka kehadiran dua orang muda-mudi ini untuk menyampaikan belasungkawa sungguh merupakan hal yang menegangkan dan mengherankan orang.
Akan tetapi, karena melihat betapa tiga orang pimpinan Beng-kauw yang duduk bersila di belakang peti jenazah itu hanya memandang tak acuh dan tidak memberi isyarat sesuatu, maka dua orang saikong yang bertugas melayani tamu dengan menyalakan dupa segera menyambut mereka berdua dengan dupa-dupa yang bernyala. Dua orang saikong ini bukanlah orang-orang sembarangan karena mereka ini adalah murid-murid utama dari para pimpinan Beng-kauw. Yang pertama adalah saikong bermuka kuning yang sepuluh tahun yang lalu memimpin penyerbuan ke Kuil Ban-hok-tong, sedangkan orang ke dua adalah saikong bermuka hitam brewok yang membantunya.
Saikong muka kuning ini bernama Ui-bin Saikong dan sutenya bernama atau berjuluk Hek-bin Saikong. Dalam urutan tingkat di Beng-kauw, mereka adalah tingkat dua, yaitu setingkat lebih rendah dari tiga oran guru mereka yang menduduki jabatan ketua. Karena melihat betapa tiga orang pimpinan mereka tidak memberi isyarat sesuatu, maka dua orang saikong inipun menyambut pemuda dan dara itu dan menjura sambil menyerahkan dupa membara.
Diam-diam mereka berdua yang pernah menyamar sebagai orang-orang Im-yang-pai mengacau di Kuil Ban-hok-tom. itu merasa tegang karena maklum bahwa pemuda dan dara ini adalah tokoh-tokoh Im-yang-pai yang tentu datang bukan dengan niat baik. Akan tetapi karena memandang rendah dua orartg yang masih muda remaja ini, Ui-bin Saikong dan Hek-bin Saikong bersikap tenang saja,
Akan tetapi pemuda dan dara itu hanya menerima masing-masing seratang hio saja dan mereka lalu mengacungkan hio itu ke atas kepala di depan peti jenazah itu. Kemudian terdengarlah suara pemuda itu dengan lantang.
"See-thian Sian-su adalah pendiri Beng-kauw yang termashur, akan tetapi sayang sekali ketika hidupnya membiarkan rnurid-muridnya bertindak sewenang-wenang. Sekarang setelah mati, tentu akan bertemu dengan arwah ayah kami Liang Bin Cu yang telah dibunuh oleh orang-orang Beng-kauw dan mudah-mudahan arwah ayah kami dapat mengampuninya!"
Setelah berkata demikian, dua orang muda itu lalu melemparkan hio mereka dan hio biting itu meluncur ke depan dan menancap di atas peti jenazah yang terbuat dari kayu cendana yang harum dan keras itu! Semua orang sudah terkejut sekali mendengar ucapan tadi, kini menjadi makin terkejut karena orang yang mampu melempar hio biting sampai menancap diatas peti jenazah yang demikian keras, tentu memiliki tenaga sinkang yang amat kuat!
Ui-bin Saikong dan Hek-bin Saikong terkejut dan marah bukan main. Sebelum tiga orang guru mereka turun tangan, mereka berdua sudah menerjang ke depan, menyerang dua orang yang telah berani menghina peti jenazah sukong mereka itu.
Pemuda dan dara itu meloncat ke belakang dan si pemuda dengan gagahnya berseru.
"Apakah sudah menjadi kebiasaan Beng-kauw menyambut tamu-tamunya dengan keroyokan?"
Mendengar teguran ini, Kwan Cin Cu yang masih duduk bersila berseru.
"Kami tidak pernah menghina tamu, akan tetapi juga tidak pernah membiarkan tamu menghina kami!"
Kepada dua orang saikong itu dia berseru.
"Kalian mundurlah dulu!"
Dengan penasaran dan mata melotot dua orang saikong itu terpaksa mundur ke tempat semula, yaitu di kanan dan kiri peti jenazah.
Kwan Cin Cu masih duduk bersila, sedangkan dua orang sutenya ikut memandang. Han; Gin San seorang yang masih menundukkan mukanya, agaknya tidak memperdulikan apa yang terjadi.
"Ji-wi adalah tokoh tokoh Im-yang-pai dan kedatangan ji-wi merupakan penghormatan bagi kami, dan kami berterima kasih bahwa ji-wi sudi menyatakan belasungkawa dengan kunjungan ini. Akan tetapi ji-wi bertindak keterlaluan. Siapakah ji-wi dan apa sebenarnya yang ji-wi inginkan?"
Kwan Cin Cu masih menahan kesabarannya karena merasa tidak enak kepada para tamu lain kalau dalam keadaan berkabung itu Beng-kauw mengadakan keributan dengan tamu yang datang untuk menghormati peti jenazah guru mereka.
Pemuda itu kini memandang kepada Kwan Cin Cu, kemudian dengan suara lantang dia berkata.
"Kami berdua adalah kakak beradik, namaku Liang Kok Sin dan adikku ini bernama Liang Hwi Nio. Kami berdua adalah putera dan puteri dari mendiang ayah kami yang bernama Liang Bin Cu, seorang tokoh Im-yang pai yang tentu namanya sudah dikenal baik oleh Beng-kauw. Kami datang untuk minta pertanggungan jawab Beng-kauw yang telah membunuh ayah kami dan kemudian menggunakan tanda anggauta Im-yang-pai dari ayah kami untuk mengacau dan mencemarkan nama baik Im-yang-pai!"
Para tokoh Beng-kauw itu terkejut sekali. Ui-bin Saikong dan Hek-bin Saikong yang menegang peranan penting dalam penyerbuan mempergunakan nama Im-yang-pai itu, memandang dengan muka berubah. Peristiwa yang terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu itu merupakan rahasia pergerakan Beng-kauw, dan ternyata sekarang telah diketahui oleh dua orang muda dari Im-yang-pai ini! Thian Bhok Cu yang bersikap lemah lembut itu, yang merupakan orang yang dahulu membunuh Liang Bin Cu tokoh Im-yang-pai itu, tiba-tiba berkata dengan suaranya yang melengking tinggi seperti suara seorang wanita.
"Bohong! Apa buktinya bahwa kami membunuh Liang Bin Cu dari Im-yang-pai itu? Ingat, tuduhan tanpa bukti adalah fitnah keji!"
Suasana menjadi tegang karena para tamu kini mencurahkan perhatian mereka kepada dua orang kakak beradik yang bernyali besar berani menuduh kepada Beng-kauw itu.
"Benar! Apa buktinya?"
Ui-bin Saikong berteriak.
"Tanpa bukti adalah fitnah keji!"
Hek-bin Saikong juga berteriak. Teriakan dua orang ini disambut oleh para anggauta Beng-kauw yang menuntut agar dua orang muda dari Im-yang-pai itu dapat menunjukkan buktinya. Menghadapi suara begitu banyak orang, tentu saja pemuda dan dara itu menjadi terdesak dan kalah pengaruh. Akan tetapi Liang Kok Sin, pemuda berusia duapuluh tahun itu, kelihatan tenang saja ketika dia mengangkat kedua tangan ke atas minta perhatian dan agar semua orang diam. Setelah suasana menjadi tenang kembali dia lalu menghadapi Kwan Cin Cu.
"Beng-kauw telah bertindak demikian cerdik dan curang sehingga tidak ada saksi melihat betapa ayah kami dibunuh. Akan tetapi kami dari Im-yang-kauw berhasil mengadakan kontak dengan arwah ayah kami dan dengan jelas arwah, ayah kami memberi tahu bahwa yang membunuhnya adalah murid ketiga dari Maghi Sing atau See-thian Sian-su, sedangkan yang memimpin penyerbuan di Kuil Ban-hok-tong adalah si muka kuning dan si muka hitam! Bagi kami, keterangan dari arwah ayah kami merupakan bukti mutlak, oleh karena itu hari ini kami sengaja datang untuk minta pertanggungan jawab dari Beng-kauw atas perbuatan mereka yang jahat itu!"
Suasana menjadi sunyi dan makin tegang setelah pemuda itu mengakhiri kata-katanya dan semua anggauta Beng-kauw memandang ke arah ketua-ketua mereka dengan muka berobah. Karena apa yang dikatakan oleh pemuda itu. memang tepat sekali! Akan tetapi Kwan Cin Cu masih tenang-tenang saja, kemudian dia nemandang tajam kepada pemuda dan gadis itu, dan berkata dengan suara lantang karena memang dia sengaja bicara keras agar terdengar leh semua tamu yang hadir dan diam-diam mencurahkan perhatian terhadap peristiwa ini:
"Orang-orang muda pengacau!"
Teriaknya.
"Bukti dan alasan yang kalian ajukan itu adalah permainan kanak-kanak dan sama sekali tidak boleh dipercaya. Mana bisa ocehan orang mati dapat dijadikan bukti? Pendeknya, kami dari Beng-kauw tidak dapat menerima bukti itu dan kalian mau apa? Lebih baik kalian berdua lekas pergi dari sini dan jangan mengacau kami yang sedang berkabung ini."
Akan tetapi, tiba-tiba pemuda dan gadis itu menggerakkan tangan dan mereka telah mencabut senjata masing-masing. Pemuda itu mencabut sebatang golok tipis sedangkan adiknya telah mencabut sebatang pedang. Dengan melintangkan senjata di depan dada, kedua orang muda ini bersikap menantang dan wajah mereka membayangkan kesungguhan.
"Sudah sepuluh tahun kami berdua bersumpah akan membalas kematian ayah kami. Setelah kini kami mengetahui benar bahwa Beng kauw yang telah membunuh ayah kami tanpa dosa, maka kami minta pertanggungan jawab Beng-kauw dan kami tidak akan pergi dari sini sebelum Beng-kauw mempertanggungjawabkan perbuatan mereka yang rendah itu. Kami sial mempertahankan sumpah kami dengan nyawa kami!"
"Bocah sombong! Berani kau bersikap kurang ajar di Beng-kauw?"
Teriak Kwan Cin Cu yang hampir tidak dapat mempertahankan kemarahannya lagi.
"Kami bukan bermaksud kurang ajar, kami menuntut keadilan dan kalau Beng kauw begitu tidak tahu malu untuk mengeroyok kami, silakan!"
Kini Liang Hwi Nio, gadis manis dengan lesung pipit di ujung bibirnya itu berkata lantang.
""Sombong""!"
Tiba-tiba dua orang nenek melompat ke depan. Mereka ini adalah dua orang sumoi dari Ui-bin Saikong dan Hek-bin Saikong yang dulu ikut membantu dua orang suheng mereka dalam penyerbuan ke Kuil Ban-hok-tong. Karena rahasia itu sudah terbongkar, maka diam-diam nenek ini menjadi khawatir dan melihat sikap kakak beradik yang mereka anggap sombong ini, mereka lalu melompat maju.
"Suhu, perkenankan kami berdua menghadapi dan menghajar dua orang muda bermulut lancang yang berani menghina Beng-kauw kita ini!"
Berkata seorang di antara mereka kepada Kwan Cin Cu. Kakek tinggi besar ini berpikir sejenak. Dua orang nenek itu adalah murid-muridnya yang memiliki kepandaian tinggi, setingkat dengan kepandaian Ui-bin Saikong dan Hek-bin Saikong, maka tentu saja boleh diandalkan. Kalau dia sendiri atau kedua orang sutenyayang maju menghadapi dua orang muda yang masih bocah itu, tentu akan merendahkan nama besar Beng-kauw.
Juga kalau yang maju adalah Ui-bin Saikong dan Hek-bin Saikong, hal ini akan ditertawakan orang karena dua orang saikong itu merupakan tokoh-tokoh penting dari Beng-kauw, merupakan murid-murid utama dari para ketua Bang-kauw. Sebaliknya, dua orang nenek itu tidak terkenal, sungguhpun kepandaian mereka sudah setingkat dengan kepandaian dua orang saikong itu, maka majunya dua orang nenek ini mewakili Beng-kauw pasti tidak begitu mengherankan dan tidak merendahkan nama Beng-kauw. Maka dia lalu mengangguk dan berkata kepada Liang Kok Sin dan adiknya.
"Eh, dua orang muda dari Im-yang-pai yang sombong dan nekat! Para tamu menjadi saksi bahwa kalian datang mencari perkara, sama sekali bukanlah Beng-kauw yang hendak memusuhi Im-yang-pai. Kalian menantang, maka baiklah fihak kami mengajukan dua orang wanita ini untuk menghadapi kalian, Disaksikan oleh para tamu bihwa kalian yang datang mengacau, maka kalau sampai kalian tewas dalam pertandingan ini, bukan berarti Beng kauw hendak menantang Im-yang-kauw atau lm-yang-pai!"
Kakek ini sengaja bicara keras agar terdengar semua orang.
"Kami mengerti!"
Bentak Liang Kok Sin "Kami berdua datang bukan sebagai utusan Im-yang-pai, melainkan sebagai anak-anak dari mendiang ayah kami hendak menuntut balas atas kematian ayah kami dan minta pertanggungan jawab dari Beng-kauw yang telah membunuhnya tanpa dosa. Kami akan menandingi dua orang jago yang mewakili Beng-kauw dan biarlah hal ini menjadi bukti nanti. Kalau Beng-kauw memang tidak bersalah dan tidak pernah membunuh ayah kami. biarlah jago kalian yang menang dan kami akan menyerahkan nyawa untuk menyusul ayah kami sebagai anak-anak yang tidak berbakti dan tidak mampu membalas kematian ayah. Sebaliknya, kalau Beng-kauw bersalah, maka arwah dari ayah kami pasti akan melindungi kami dan kami akan keluar sebagai pemenang dalam pertandingan ini!"
Setelah berkata demikian, kakak beradik itu melintangkan senjata masing-masing di depan dada,
(Lanjut ke Jilid 22)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 22
menghadapi dua orang nenek itu. Dua orang nenek itu sudah melangkah ke depan dan tanpa banyak cakap keduanya telah mengeluarkan senjata masing-masing, yaitu sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Dua orang nenek ini bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka adalah murid-murid dari tiga orang ketua Beng-kauw itu dan dalam hal kepandaian silat, baik tenaga sinkang maupun ginkang, kiranya mereka tidak berada di bawah-tingkat Ui bin Saikong maupun Hek-bin Sai-kong. Yang seorang bermuka penuh keriput, matanya sipit hampir terpejam dan mulutnya selalu tertutup rapat seperti orang merengut.
Nenek ini berjuluk Mo-kiam (Pedang Iblis) karena memang hebat sekali permainan pedangnya, sedangkan nenek ke dua berjuluk Leng-kiam (Pedang Dingin) dan biarpun permainan pedangnya tidak sehebat Mo-kiam Kui-bo (Biang Pedang Iblis) namun pedangnya yang menyambar-nyambar itu mengeluarkan hawa dingin karena memang nenek ini adalah seorang ahli tenaga Im-kang. Berbeda dengan Mo-kiam Kui-bo, nenek ini mukanya penuhi bopeng dan mulutnya menyeringai selalu sehingga nampak giginya karena memang bibirnya terlalu pendek untuk dapat merapat.
Setelah memperoleh perkenan dari guru mereka yang pertama, Mo-kiam Kui-bo cepat menerjang Kok Sin, sedangkan Leng-kiam Kui-bo menggerakkan pedangnya menyerang Hwi Nio. Kedua orang nenek ini memandang rendah kepada dua orang murid Im-yang pai itu, karena melihat usia mereka, tentu ilmu silat mereka masih mentah dan mana mungkin dapat menandingi dua orang nenek yang menjadi tokoh Beng-kauw ini? Demikianlah pula jalan pikiran Kwan Cin Cu maka ketua pertama dari Beng-kauw ini tadi menyetujui dua orang muridnya itu untuk maju mewakili Beng-kauw.
Liang Kok Sin dan Liang Hwi Nio adalah putera dan puteri dari Liang Bin Cu, seorang tokoh tingkat tiga dari Im-yang pai. Kalau saja mereka berdua itu hanya memperoleh kepandaian mereka dari mendiang ayah mereka, sudah tentu saja mereka tidak mungkin akan dapat menandingi dua orang nenek itu. Akan tetapi, semenjak ayah mereka lenyap dan dikabarkan tewas, dua orang anak ini memperoleh pendidikan langsung dari Cin Beng Thiancu, yaitu ji-pangcu (ketua yang ke dua) dari Im-yang-pai. Cin Beng Thiancu dengan tekun mendidik dua orang anak ini sehingga sepuluh tahun kemudian, dua orang anak itu telah memiliki tingkat kepandaian yang kiranya masih lebih tinggi tingkatnya dari pada tingkat mendiang ayah mereka sendiri yang menjadi tokoh tingkat tiga dari Im-yang-pai!
Ketika Kok Sin melihat berkelebatnya sinar yang amat cepat dari Mo-kiam, pemuda ini dengan tenang lalu menggeser kakinya mundur dan golok tipisnya berkelebat ke depan, membentuk lingkaran sinar yang berkilauan dari dalam gulungan sinar yang menahan serangan nenek keriputan itu, tiba-tiba nampak sinar mencuat dan itu adalah serangan balasan dari Kok Sin yang mengarah leher si nenek.
"Ehhh""..!"
Mo-kiam Kui-bo berseru kaget dan cepat memutar pergelangan tangan yang memegang pedang sehingga pedangnya membuat gerakan menyontek dari bawah ke atas.
"Cringgg""".!"
Keduanya terkejut karena pertemuan antara golok dan pedang itu membuat mereka merasakan getaran hebat pada lengan mereka, tanda bahwa lawan memiliki tenaga yang amat kuat dan seimbang dengan tenaga sendiri. Melihat kenyataan ini, Mo-kiam Kui-bo tidak berani lagi memandang rendah dan dia lalu berseru keras, pedangnya bergerak dengan amat cepatnya menyerang lawan. Akan tetapi Kok Sin juga menggerakkan goloknya dengan cepat sehingga terjadilah pertempuran yang amat seru dan yang dilakukan dengan mengandalkan kecepatan gerakan senjata mereka.
Di lain fihak, pertandingan antara Leng-kiam Kui-bo melawan Liang Hwi Nio juga sudah terjadi dengan amat hebatnya. Mula-mula, seperti juga kawannya, Si Pedang Dingin ini memandang rendah kepada gadis berusia delapanbelas tahun yang manis itu, maka sambil menyeringai lebar nenek ini menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan hawa dingin dan suara bercicit itu ke arah leher gadis itu, lebih condong untuk memamerkan kepandaian dan menggertak dari pada menyerang dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, dara itu menyambutnya dengan tenang saja, pedangnya digetarkan dan menangkis pedang lawan.
"Trangg""
Singgg"".!"
Pedang itu saling bentur dan tiba-tiba pedang dara yang menangkis itu terus melesat dan menyeleweng ke arah dada si nenek dengan kecepatan yang sama sekali tidak tersangka-sangka oleh lawan.
"Aihh""..!"
Nenek itu masih menyeringai karena memang bibirnya cupet, akan tetapi mukanya berubah dan matanya terbelalak. Hanya dengan jalan melempar tubuh ke belakang sajalah dia terhindar dari ancaman ujung pedang gadis itu. Keringat dingin membasahi tubuh nenek itu dan dia menjadi marah bukan main. Karena memandang rendah hampir saja dia roboh dalam segebrakan saja! Kini dia sama sekali tidak memandang rendah lagi, bahkan penasaran dan marah. Mulutnya mengeluarkan lengking panjang dan dia sudah menyerang sambil mengerahkan tenaganya sehingga menyambar-nyambarlah hawa dingin yang menggiriskan Akan tetapi Hwi Nio yang maklum akan kelihaian lawan itu bersikap tenang, memutar pedangnya dan mainkan pedangnya dengan cermat dan mengerahkan sin-kangnya untuk menandingi tenaga Im kang yang dingin dari nenek itu.
Terjadilah pertandingan silat yang amat seru dan mati-matian di halaman itu, di depan peti jenazah yang menjadi saksi mati di samping saksi hidup yang ratusan orang jumlahnya di tempat itu. Semua orang menahan napas karena ternyata bahwa kepandaian empat orang yang bertanding mati-matian itu memang seimbang! Berkali-kali terdengar suara senjata tajam bertemu, berdencing diikuti bunga api yang berpijar dan muncrat-muncrat ke mana-mana, diselingi oleh teriakan dan lengkingan suara mereka yang menggetarkan jantung.
Mereka bertanding dengan mati-matian, di fihak dua orang kakak beradik itumerupakan pertandingan suci untuk membalas kematian ayah mereka sedangkan di fihak dua orang nenek itu juga merupakan suatu pertandingan yang mulia karena mereka mewakili nama Beng-kauw!Kini mereka bertanding dengan ganas dan cepat, kadang-kadang bertukar lawan, kadang-kadang bukan satu lawan satu lagi melainkan dua lawan dua, saling membantu kawan dan mengeroyok lawan. Bukan main hebatnya pertandingan itu dan lewat limapuluh jurus, belum ada yang kelihatan menang, sungguhpun kini kakak beradik itu mulai mendesak lawai karena dalam kerja sama, ternyata kakak beradik ini lebih kompak dibandingkan denga dua orang nenek itu.
Hal ini adalah karena memang Cin Beng Thiancu, guru mereka, tokoh ke dua dari Im-yang pai itu, telah menurunkan Kiam-to siang tin atau Barisan Pedang dan Golok Berpasangan kepada kakak beradik itu agar di dalam pertempuran keroyokan, kakak beradik itu dapat saling membantu. Dan ternyata kini menghadapi dua orang nenek itu, setelah mereka bertempur secara bahu-membahu, kakak beradik ini dapat mengacaukan permainan pedang dari kedua orang nenek itu dengan kerja sama mereka yang amat baik itu. Para anggauta Beng-kauw, terutama para tokohnya, memandang dengan alis berkerut, karena dua orang nenek itu makin terdesak bahkan kini Leng-kiam Kui-bo telah terluka, pangkal lengannya tercium ujung pedang Hwi Nio sehingga berdarah.
Melihat keadaan dua orang muridnya itu, Kwan Cin Cu menjadi khawatir sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa kedua orang muda lm-yang-pai itu ternyata amat lihai sehingga dua orang muridnya yang utama seperti dua orang nenek itu sampai terdesak dan hampir kalah. Kalau sampai dua orang muridnya kalah, hal ini bukan saja merendahkan nama Beug-kauw. akan tetapi juga akan dijadikan bukti oleh dua orang Im-yang-pai itu bahwa memang benar ayah mereka terbunuh oleh Beng-kauw. Maka kekhawatiran hati ini menimbulkan niat curang di dalam hati Kwan Cin Cu. Diam-diam dia lalu mengerahkan khikangnya, mengirim suara tanpa terdengar orang lain kepada sutenya, yaitu Hok Kim Cu dan mengajak sutenya itu membantu dua orang muridnya itu. Hok Kim Cu mengangguk dan dua orang kakek tokoh Beng-kauw ini lalu mengerahkan kekuatan batin mereka dan mulailah mereka mempergunakan Ilmu Sin-gan Hoat-lek, semacam ilmu sihir yang mempergunakan kekuatan yang disalurkan melalui pandang mata mereka.
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terjadilah hal yang aneh dalam pertempuran itu. Tiba tiba Kok Sin dan Hwi Nio mengeluarkan seruan aneh. Mereka berdua merasakan adanya getaran yang amat hebat dan kuat sekali, yang mendorong dan memaksa mereka untuk mengangkat muka dan menoleh ke arah dua orang tokoh Beng-kauw itu, dan begitu mereka menoleh, mereka melihat betapa dua pasang mata tokoh pertama dan ke dua dari Beng-kauw itu mencorong seperi mata harimau! Mereka terkejut dan betapapun mereka telah mengerahkan tenaga batin untuk mengalihkan pandang mata dan memperhatikan lawan, tetap saja mata mereka seperti ditarik dan dipaksa untuk harus memandang kepada dua orang kakek itu. Tentu saja karena mereka sering sekali menoleh dan memandang ke arah dua orang kakek itu, gerakan mereka menjadi kacau dan kembali mereka berseru keras dan terhuyung karena ujung pedang dua orang nenek itu telah melukai pundak mereka, bahkan nyaris menewaskan mereka kalau saja mereka tadi tidak cepat membuang diri sehingga hanya pundak mereka saja yang terluka!.
Melihat keadaan dua orang muda itu, Mo-kiam Kui-bo dan Leng-kiatn Kui-bo girang sekali. Mereka maklum bahwa guru-guru mereka membantu, maka melihat dua orang muda itu terhuyung, di bawah sorak-sorai gembira dari para anggauta Beng-kauw yang girang melihat jagoan fihak mereka menang, kedua orang nenek ini dengan ganas lalu menubruk ke depan untuk mengirim serangan maut. Kok Sin dan Hwi Nio masih saja menoleh-noleh kepada dua orang kakek itu dan nyawa mereka berada dalam cengkeraman maut. Akan tetapi tiba-tiba terdengar Kwan Cin Cu dan Hok Kim Cu berseru aneh sekali dan dua orang muda itu merasa betapa getaran itu lenyap seketika.
Pada saat itu, dua orang nenek yang sudah yakin akan kemenangan mereka, menubruk maju dan gerakan mereka hanya terdorong rasa gembira karena menang sehingga kurang hati-hati. Saat itu dipergunakan oleh Kok Sin dan Hwi Nio yang sudah terbebas dari pengaruh getaran luar biasa tadi untuk meloncat ke samping dan ketika golok dan pedang mereka berkelebat menyambar, dua orang nenek itu menjerit dan roboh, tewas seketika karena serangan dua orang muda itu mengenai sasaran yang tepat. Golok Kok Sin hampir membabat putus leher Mo-kiam Kui-bo sedangkan pedang di tangan Hwi Nio menembus dada Leng kiam Kui-bo!
Sorak-sorai tadi seketika berhenti dan semua mata terbelalak memandang ke arah dua orang nenek yang sudah roboh dan tak dapat diragukan lagi pasti tewas itu. Suasana menjadi hening sekali. Kwan Cin Cu dan Hok Kim Cu kini masih menoleh dan memandang kepadi Coa Gin San, pemuda yang sejak tadi duduk bersila di depan peti dengan tenang itu. Mereka memandang kepada Gin San dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan karena dua orang tokoh utama dari Beng-kauw ini ketika tadi membantu murid mereka, secara tiba-tiba merasa betapa getaran sinar pandang mata mereka yang mengandung Ilmu Sin-gan Hoat lek, tiba-tiba saja membuyar dan bahkan tubuh mereka tergetar oleh pengaruh hawa yang amat kuat, yang datangnya dari sebelah kiri mereka di mana sute mereka itu duduk bersila.
Ketika mereka menengok, mereka melilat betapa dari sepasang mata sute mereka itu keluar sinar dan getaran yang amat kuat dan yang telah membuyarkan tenaga mereka tadi, bahkan kini mereka berdua merasa betapa mereka sendiri tergetar dan terpengaruh hebat sekali. Kiranya sute mereka itu telah menentang mereka, mencegah mereka membantu dua orang murid mereka dengan mempergunakan Ilmu Sin gan Hoat-lek yang luar biasa kuatnya, jauh lebih kuat dari pada tenaga batin mereka berdua digabung menjadi satu! Setelah Gin San mengalihkan pandang matanya dan menunduk kembali, barulah dua orang kakek itu dapat bergerak dan pada saat itu mereka mendengar jerit dua orang nenek dan melihat betapa murid murid mereka itu roboh dan tewas di tangan dua orang muda dari Im-yang-pai itu.
Marahlah tiga orang ketua Beng-kauw itu. Dua orang tokoh Beng-kauw tewas di depan peti mati jenazah guru mereka, dan lebih celaka lagi, di depan kesaksian para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang ouw! Hal ini sungguh merupakan pukulan hebat bagi nama Beng-kauw. Karena merasa terhina dan marah, tiga orang ketua itu mengeluarkan seruau keras dan tubuh mereka bertiga telah mencelat ke depan, ke tengah lapangan menghadapi dua orang nuda Im-yang-pai yang berdiri dengan tegak itu, pundak mereka masih berdarah karena terluka dalam pertandingan tadi.
Kwan Cim Cu mendekati mayat dua orang nenek itu dan setelah memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa mereka berdua telah tewas, dia memberi isyarat dan beberapa orang anggauta Beng-kauw maju dan mengusung keluar dua mayat itu. Kemudian Kwan Cin Cu menghadapi dua orang muda itu dengan mata beringas.
"Kalian dua orang penjahat hina dari Im-yang-pai! Kalian berani mengacau dalam upacara perkabungan guru besar Beng-kauw, bahkan berani turun tangan menewaskan dua orang murid kami! Tak mungkin kami dapat membiarkan saja penghinaan terhadap Beng-kauw ini Majulah dan perlihatkan kepandaian kalian!
Sebelum Kok Sin dan Hwi Nio bergerak terdengar suara tertawa nyaring dan suara ini mengandung kekuatan khikang yang besar sehingga mengejutkan semua orang yang hadir Dari rombongan para tamu yang amat banyak itu muncullah seorang kakek yang bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan pandang matanya bengis, pakaiannya serba putih dan dia melangkah lebar ke depan sambil membuka jubahnya sehingga nampaklah lambang Im Yang di dadanya, pertanda bahwa dia adalah seorang tokoh Im-yang-pai yang berkedudukan tinggi! Melihat kakek ini, semua orang terkejut, juga para tokoh Beng-kauw karena mereka mengenal kakek ini sebagai seorang jagoan Im-yang-pai, bahkan merupakan ketua nomor dua dari Im-yang-pai, sute dari ketua Im-yang-pai sendiri. Kakek ini bukan lain adalah Cin Beng Thiancu, ji-pangcu dari Im-yang-pai atau guru dari kakak beradik yang baru saja membunuh dua orang nenek jagoan Beng-kauw itu.
"Ha-ha-ha, hutang nyawa bayar nyawa, itu sudah wajar di kalangan persilatan. Dua orang murid Beng-kauw tewas dalam suatu pertempuran yang adil, apa lagi yang harus dibuat penasaran? Tidak seperti mendiang Liang Bin Cu yang tewas tanpa diketahui sebabnya, tewas oleh kecurangan yang menjijikkan! Apakah sekarang tiga orang ciangbunjin dari Beng-kauw yang terhormat dan terkenal sekali itu hendak maju mengeroyok dua orang murid muda dari Im-yang-pai?"
Kwan Cin Cu memandang marah.
Kakek Im-yang-pai ini jelas datang untuk mencari perkara atau setidaknya diam-diam melindungi dua orang muda itu, karena Cin Beng Thiancu tadi tidak kelihatan bersembahyang di depan peti jenazah. Maka dengan mata melotot, ketua pertama dari Beng-kauw itu membentak.
"Gurunya boleh maju, ketua dan semua nenek moyang Im-yang-pai dan datuk datuk lm-yang-kauw boleh maju semua!"
Kwan Cin Cu yang sudah marah sekali itu hampir tercekik oleh suaranya sendiri, terbatuk-batuk, menarik napas panjang lalu berkata lagi.
"Kami bertiga, kalian orang-orang Im yang pai juga bertiga, tidak ada penasaran lagi. Sambutlah!"
Sambil berkata demikian Kwan Cin Cu sudah mencabut goloknya yang lebar dan berkilauan karena terbuat dari perak, kemudian dia sudah menerjang maju dan menyerang Cin Beng Thiancu dengan dahsyat. Pada saat yang hampir berbareng, Hok Kim Cu sudah menggerakkan pedang emasnya menyerang Liang Kok Sin sedangkan Thian Bok Cu menggerakkan tongkat kayunya menyerang Liang Hwi Nio sambil tersenyum mengejek dengan sikapnya yang genit.
Cin Beng Thiancu cepat mencabut pedangnya dan menangkis serangan Kwan Cin Cu lalu balas menyerang, sedangkan dua orang kakak beradik itu biarpun sudah terluka pundaknya, dan lelah, namun sedikitpun mereka tidak merasa gentar dan sudah menyambut serangan Hok Kim Cu dan Thian Bhok Cu dengan gagah berani.
Terjadilah kini pertempuran yang lebih hebat dari pada tadi, akan tetapi dengan mudah sekali dapat dilihat bahwa sekali ini fihak Im yang-pai jauh kalah kuat, apa lagi dua orang muda itu yang segera didesak hebat oleh Hok Kim Cu dan Thian Bhok Cu. Hanya perkelahian antara Cin Beng Thiancu dan Kwan Cin Cu sajalah yang seimbang dan amat ramai karena kedua orang tokoh ini ternyata memiliki tingkat kepandaian yang seimbang. Diam-diam Coa Gin San mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tidak senang sekali dengan tindakan tiga orang suhengnya itu. Tadi, ketika dia melihat twa-suheng dan ji-suhengnya diam-diam membantu dua orang nenek dengan ilmu sihir, dia merasa terkejut dan tidak senang sekali. Tentu saja bukan niatnya untuk berfihak kepada dua orang muda Im-yang-pai itu, akan tetapi dia sebagai murid dari mendiang See-thian Sian-su atau Maghi Sing, harus membela nama Beng-kauw sebagai perkumpulan besar.
Kalau dia membiarkan saja dua orang suhengnya itu melakukan kecurangan, sudah tentu hal ini akan mencemarkan nama besar Beng kauw karena di tempat itu hadir banyak orang pandai, maka tentu kecurangan kedua orang suhengnya itu akan diketahui orang lain. Maka diam-diam dia lalu menghalangi dua orang suhengnya itu bertindak curang sehingga akibatnya, dua orang nenek itu tewas oleh fihak musuh. Akan tetapi, bagi Gin San, lebih baik dua orang murid Beng-kauw itu tewas dalam pertandingan yang jujur dan mati sebagai orang-orang gagah dari pada memperoleh kemenangan secara curang!
Tak disangkanya bahwa para suhengnya menjadi marah oleh kematian dua orang nenek itu dan kini tiga orang suhengnya sudah memaksa fihak lawan untuk bertanding. Padahal dia tahu benar bahwa tingkat kepandaian dua orang muda Im-yang-pai yang sudah terluka itu jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian para ketua Beng-kauw itu. Maka, diam-diam Gin San mengerutkan alisnya dan dia mengambil keputusan untuk mencegah terjadinya pembunuhan terhadap kedua orang muda itu yang dianggapnya sudah sepatutnya kalau menuntut balas atas kematian ayah mereka.
Pula dia sendiri menjadi saksi akan kecurangan fihak Beng kauw yang mempergunakan nama Im-yang-pai untuk melakukan pengacauan sehingga Im-yang-pai yang terkena fitnah, maka biarpun dia sebagai murid Maghi Sing mempunyai kecondongan untuk bersetia kepada Beng-kauw dan menjunjung tinggi nama Beng-kauw, akan tetapi diam-diam dia tidak senang kepada para suhengnya yang kini berusaha membunuh orang-orang Im-yang-pai. Dia memang harus membela Beng-kauw, akan tetapi membela Beng-kauw dengan perbuatan curang sama saja dengan mengotori nama Beng kauw Dia harus mencegah siapapun yang akan mencemarkan nama Beng-kauw dengan perbuatan yang curang!
Ketika dia memandang ke depan, dia melihat betapa pertempuran antara Kwan Cin Cu dan kakek Im-yang-pai itu masih seimbang, bahkan Kwan Cin Cu kelihatan masih kalah sedikit dalam hal tenaga sinkang karena buktinya setiap kali senjata mereka bertemu, lengan tangan Kwan Cin Cu tergetar dan golok peraknya terpental! Akan tetapi, pertandingan antara dua orang muda dan dua orang kakek Beng-kauw itu sama sekali tidak seimbang. Dan biarpun kini dua orang muda itu kembali membentuk Kiam-to-siang-tin, sehingga dapat saling melindungi, namun tetap saja mereka terdesak hebat dan kini Hok Kim Cu berganti lawan, mendesak Liang Hwi Nio sedangkan Thiang Bhok Cu yang tersenyum-senyum genit itu mempermainkan Liang Kok Sin.
Pandang mata yang tajam dari Gin San lalu melihat hal yang tidak wajar. Ternyata bahwa ji-suheng dan sam-suhengnya itu tidak bertanding dengan sungguh-sungguh! Dari pandang matanya. Gin San dapat menduga dan timbullah rasa jengkelnya. Pandang mata Hok Kim Cu yang ditujukan kepada Hwi Nio yang cantik, tiada bedanya dengan pandang mata Thian Bhok Cu yang ditujukan kepada Kok Sin yang tampan! Pandang mata yang mengandung penuh nafsu berahi!
Teringatlah Gin San akan watak-watak dan sifat-sifai kedua orang itu dan diam-diam dia menjadi marah. Para suhengnya itu memang bukan orang orang yang baik! Untuk menjaga agar tidak sampai terjadi perbuatan yang amat memalukan Beng kauw, maka dia lalu mengerahkan khikangnya dan mengirim suara dari jauh dengan Ilmu Coan-im-jip bit yang amat kuatnya sehingga tiba tiba Hok Kim Cu dan Thian Bhok Cu mendengar bisikan-bisikan suara sute mereka itu dengan jelas, seolah-olah sutenya itu bicara di dekat telinga mereka.
"Ji suheng! Sam suheng! Jangan main main, cepat robohkan mereka, akan tetapi jangan sekali-kali membunuh mereka!"
Dua orang kakek itu terkejut. Mereka maklum bahwa sute mereka adalah murid terkasih, dari mendiang guru mereka, akan tetapi mereka masih belum sadar bahwa sute yang muda itu kini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi dari tingkat mereka! Tadi, Kwan Cin Cu dan Kok Kim Cu terkejut karena ilmu sihir mereka ditolak oleh kekuatan pandang mata Gin San, dan kini ketua ke dua dan ke tiga itu terkejut karena mereka mendengar suara melalui Ilmu Coan-im-jip-bit yang sedemikian kuatnya sehingga seolah-olah guru mereka sendiri yang berbisik dari jauh kepada mereka. Akan tetapi, karena ucapan bisikan dari sute mereka itu memang cocok dengan isi hati mereka yang memang tidak ingin membunuh pemuda tampan dan dara cantik itu, keduanya tersenyum dan terdengar bentakan-bentakan nyaring disusul dengan robohnya tubuh Kok Sin dan Hwi Nio yang telah tertotok oleh kedua orang lawan mereka yang jauh lebih lihai itu.
Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo