Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 23


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



Oleh karena itulah, maka begitu menyerang, Hok Kim Cu sudah menggerakkan pedang emasnya dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan menggunakan jurus terlihai. Segulungan sinar emas menyambar ke arah leher Gin San dan baru sambaran anginnya saja sudah mendatangkan hawa dingin mengerikan. Kwan Cin Cu, orang pertama Beng-kauw, juga tidak kepalang tanggung dalam penyerangannya pertama. Golok perak di tangannya menyambar, merupakan gulungan sinar jang lebih lebar dari pada gulungan sinar emas, dan begitu goloknya menyambar dengan hawa panas sekali, tangan kirinyapun telah mengirim Pukulan Toat-beng Tok-ciang dan segumpal uap hitam menyambar kearah muka Gin San!

   Melihat serangan dua orang suhengnya itu, diam-diam Gin San terkejut dan marah. Dia memang sudah tahu orang-orang macam apa adanya tiga orang suhengnya itu. Sepuluh tahun lebih yang lalu, ketika untuk pertama kalinya dia tiba di situ sebagai orang tangkapan atau tawanan, dibawa ke situ oleh Ui-bin Saikong, Hek-bin Saikong, dan dua orang nenek Kui bo yang telah tewas itu, dia sudah tahu bahwa tiga orang ketua Beng kauw adalah orang-orang yang amat jahat dan kejam. Akan tetapi, setelah dia sendiri digembleng oleh Maghi Sing, bukan hanya diberi pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi dan sihir, akan tetapi juga dia mendalami pelajaran tentang Agama Terang, dia mengerti mengapa tiga orang ketua itu berwatak seperti itu.

   Tiga orang kakek itu hanya menjadi hamba dari pada nafsu mereka sendiri, dan dia melihat betapa tanpa disadari, mereka itu telah menyeleweng dari pada pelajaran Beng-kauw. Bahkan gurunya sendiri, Maghi Sing, juga melakukan penyelewengan dan hal ini baru disadari oleh guru besar itu menjelang kematiannya. Itulah sebabnya mengapa Maghi Sing mengangkat Gin San sebagai pewaris untuk menegakkan kembali Beng kauw yang melakukan penyelewengan dan untuk memenuhi pesan-pesannya yang terakhir. Kini bagi Gin Sin, tiga orang kakek ketua Beng-kauw itu tidak dilihatnya sebagai orang-orang jahat atau kejam, melainkan sebagat orang-orang lemah yang menjadi hamba nafsu nafsu mereka sendiri.

   "Trang-trangpg"". plakk!"

   Dua orang kakek itu terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Terutama sekali Kwan Cin Cu yang merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat ketika Toat beng Tok-ciang yang dipergunakan tadi membalik oleh tangkisan tangan Gin San.

   Kiranya pemuda itu kini telah memegang sabuk rantai peraknya, yaitu sabuk rantai yang berkurang satu mata rantainya karena ujung rantai itu telah dipatahkan dan mata rantainya berbentuk cincin perak telah diberikannya kepada Liang Hwi Nio sebagai tanda mata! Sabuk rantai peraknya ini adalah pemberian dari Maghi Sing, panjangnya ada dua meter lebih dan selain dapat dipergunakan sebagai sabuk, juga ternyata dapat menjadi sebuah senjata istimewa yang ampuh dan yang buktinya dapat menangkis golok dan pedang dari dua orang ketua Beng-kauw itu sehingga senjata-senjata itu terpental! Akan tetapi, Kwan Cin Cu dan Hok Kim Cu tidak menjadi gentar. Sebaliknya, mereka malah menjadi penasaran dan rrarah sekali dan dengan gerengan-gerengan dahsyat kedua orang kakek ini lalu menerjang maju sambil menggerakkan senjata mereka dengan cepat Gin San maklum akan kelihaian dua orang suhengnya ini, maka diapun memutar rantainya dan lenyaplah tiga orang ini terkurung oleh sinar-sinar senjata mereka.

   Di bawah penerangan obor-obor itu, nampak gulungan sinar yang indah dari sinar golok perak, pedang emas, dan rantai perak, seolah-olah ada tiga ekor naga sakti sedang bermain-main di angkasa. Thian Bhok Cu menonton sambil melongo penuh kekaguman. Dia tidak ikut menyerang lagi, pertama karena dia merasa bahwa memang dia bukan tandingan sutenya itu, ke dua karena dia, sebagai seorang kakek yang amat suka kepada orang-orang muda, diam-diam menaruh harapannya agar sutenya yang muda dan tampan itu suka kepadanya dan kelak dia dapat menarik sutenya itu menjadi "sahabat"

   Yang amat baik!

   Tingkat kepandaian kedua orang kakek itu sudah tinggi sekali. Bahkan Cin Beng Thiancu, ji-pangcu diri Im-yang-pai sendiri tidak mampu menandingi Kwan Cin Cu. Tingkat kepandaian masing-masing dari tiga orang ketua Beng-kauw itu di dalam dunia kang-ouw sudah amat sukar dicari bandingnya, apa lagi kini mereka berdua maju mengeroyok, tentu saja kelihaian mereka menjadi berlipat ganda. Akan tetapi aneh sekali, pemuda yang dikeroyok itu sama sekali tidak kelihatan repot, apalagi terdesak. Bahkan dengan seenaknya dia berloncatan ke sana-sini sambil memutar rantai peraknya, menangkis dan mengelak, membiarkan dua orang suhengnya itu menyerangnya cara bertubi-tubi dan sampai dua puluh jurus lebih dia sama sekali tidak ingin membalasnya.

   Seolah-olah dia memang ingin melihat dengan jelas gerak serangan dari dua orang suhengnya itu, apakah sudah benar ataukah ada kesalahan-kesalahannya, seperti sikap seorang guru yang sedang melatih murid-muridnya! Dan memang setiap jurus serangan dari dua orang suhengnya itu telah dikenalnya baik-baik sehingga tidak terlalu sukarlah baginya untuk mengelak atau menangkis dengan tepat. Bahkan di antara tangkisan-tangkisan itu, dia masih sempat menasihati dua orang suhengnya itu!

   "Ji-suheng, seranganmu dalam jurus Kim ke to sok (Ayam Emas Mematuk Gabah) kurang sempurna, pedangmu kurang menukik kebawah sehingga kau membiarkan bagian bawah tubuhmu terbuka ketika menyerang!"

   "Twa-suheng, dalam jurus Kim so-tui to ( Kunci Emas Jatuh di Tanah), tenaga bacokan golok seharusnya hanya merupakan pancingan akan tetapi kau terlalu terdorong oleh nafsu amarah sehingga tenagamu kaukerahkan semua. Itu salah besar!"

   Mendengar teguran teguran ini, Kwan Ci Cu dan Hok Kim Cu menjadi makin marah penasaran dan juga malu. Sutenya itu benar benar dapat mengikuti semua gerakan mereka dengan baik!

   "Coa Gin San, kalau engkau memang berkepandaian, hayo kaukalahkan kami dengan kepandaian, bukan dengan kata-kata!"

   Bentak Kwan Cin Cu.

   "Baiklah, ji-wi suheng, kalian jagalah seranganku ini!"

   Kata Gin San. Pemuda ini maklum bahwa sebelum dia dapat mengalahkan dua orang ini, amat sukarlah baginya untuk dapat menguasai Beng-kauw dan diapun tahu bahwa segala ilmu yang dipelajarinya dari mendiang Maghi Sing tentu dikenal pula oleh kedua orang suhengnya ini. Dia hanya memiliki sinkang yang lebih kuat dan dalam hal ilmu-ilmu silat, tentu saja dia masih kalah mahir dan kalah matang dalam latihan. Hanya baiknya, suhunya telah menciptakan ilmu silat mujijat yang hanya diturunkan kepadanya seorang, dan menurut suhunya, ilmu silat yang hanya mempunyai tigabelas jurus ini, yang diberi nama Cap-sha Tong-thian (Tigabelas Jurus Yang Mengacau Langit), merupakan inti sari dari semua ilmu gurunya, dan karenanya tentu akan dapat mengatasi tiga orang suhengnya? Maka, begitu dia ditantang untuk mengeluarkan kepandaian, Gin San tidak bersikap sungkan lagi, segera dia mainkan jurus pertama dari Ilmu silat Cap-sha Tong-thian itu.

   Tiba-tiba dua orang kakek itu mengeluarkan seruan kaget. Mereka melihat rantai itu berobah menjadi sinar berkeredepan dan sinar itu menyambar-nyambar secara aneh, malang-melintang di depan mereka. Mereka tidak mengenal gerakan ini, tidak tahu bagaimana awalnya dan bagaimana nanti akhirnya, maka mereka hanya cepat memutar senjata melindungi tubuh dengan kaget. Akan tetapi, hawa yang mendesis-desis dan memutar-mutar seperti angin lesus menyerang mereka, membuat mereka terkejut dan untuk beberapa detik mereka menahan senjata. Beberapa detik ini sudah cukup bagi Gin San dan dua kali tangannya bergerak setelah kedua tangannya melepaskan rantainya yang masih berputar sendiri di udara terdengar dua orang kakek itu mengeluh dan mereka roboh terguling!

   Untung bagi mereka bahwa Gin San tadi hanya mendorong saja dengan telapak tangan sambil mengerahkan sinkang, dan sekaligus kedua tangan pemuda itu merampas golok dan pedang! Kalau pemuda itu menggunakan kedua tangannya untuk mengirim pukulan maut, tentu keduanya telah tewas! Kiranya ketika golok dan pedang bertemu dengan rantai, kedua senjata itu seperti terbetot dan ketika Gin San melepaskan rantainya dan menggunakan kedua tangan untuk mendorong, keduanya sama sekali tidak pernah menduganya dan telah kena didorong sampai terguling roboh dan senjata mereka dapat dirampas oleh Gin San.

   Sungguh merupakan hal yang terlalu hebat dan luar biasa sekali bagi kedua orang kakek itu. Mereka telah dikalahkan oleh sute mereka itu dalam satu jurus saja! Rasa malu dan penasaran membuat dua orang itu menjadi makin marah. Mereka bangkit berdiri di samping Thian Bhok Cu dan ketiga orang kakek itu kini meluruskan kedua lengan ke depan, ke arah Gin San dan mulut mereka mengeluarkan lengking nyaring sekali, disusul suara Kwan Cin Cu yang penuh wibawa.

   "Coa Gin San, sebagai murid Beng-kauw, berlututlah kau!"

   Suara lengking dan suara Kwan Cin Cu itu mengandung pengaruh yang amat besar, sehingga semua anggauta Beng-kauw tidak dapat menahan diri dan mereka semua sudah menjatuhkan diri berlutut! Akan tetapi Gin San yang merasa betapa tiba tiba kedua lututnya gemetar dan seperti hendak memaksanya menjatuhkan diri berlutut. cepat melepaskan rantai, pedang dan golok di tangannya itu ke atas tanah, kemudian diapun meluruskan kedua lengan ke depan, kedua tangannya dengan telapakan tangan di depan seperti mendorong ke arah tiga orang suhengnya, sepasang matanya mencorong seperti harimau, lalu diapun mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, disambung oleh kata-katanya, lebih nyaring dari pada suara Kwan Cin Cu tadi,

   "Kwan Cin Cu, Hok Kim Cu, dan Thian Bhok Cu, kalian berhadapan dengan pengawas Beng-kauw di utara, kalian berlututlah!"

   Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa, Tubuh mereka tidak bergerak, kedua lengan diluruskan ke depan, akan tetapi dari sepasang mata mereka menyambar pengaruh yang luar biasa dahsyatnya. Kiranya empat orang murid Maghi Sing ini sedang mengadu kekuatan sihir dari pandang mata, lengking suara, dan dari gerakan kedua tangan mereka untuk saling mengalahkan dan kembali Gin San dikeroyok, sekali ini dikeroyok tiga malah!

   Ketika mereka mendapatkan kenyataan bahwa mereka tidak mampu merobohkan Gin San yang ternyata amat kuat itu, tiga orang kakek menggerak gerakkan tangannya dan aneh sekali, tubuh Gin San mulai terangkat ke atas! Kedua kaki pemuda itu mulai meninggalkan tanah sampai belasan sentimeter tingginya! Gin San terkejut akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya, lalu dia mengerahkan kekuatan batinnya, kedua lengan yang diulur ke depan itu tergetar hebat, dari matanya menyambar sinar yang mencorong mengerikan, dan uap putih mengepul dari kepalanya. Perlahan-lahan tubuhnya turun kembali dan kini tubuh tiga orang kakek itulah yang perlahan-lahan naik ke atas! Tiga orang kakek itu terbelalak, mengeluarkan keringat dingin dan napas mereka agak terengah.

   Mereka mengerahkan tenaga dan setelah mereka terengah-engah barulah perlahan-lahan merekapun turun kembali, akan tetapi seluruh tubuh mereka menggigil dan muka mereka pucat penuh keringat. Gin San menggunakan tangan kanan mengambil bendera putih, diangkatnya bendera itu ke atas dan kembali dia berkata, suaranya dalam dan menggetar hebat.

   "Berlututlah kalian menghormati Bendera Keramat!"

   Tiga orang kakek itu kehilangan daya tahan mereka. Mereka maklum bahwa baik dalam hal ilmu silat maupun kekuatan sihir, mereka tidak dapat menandingi Gin San, maka mereka cepat menjatuhkan diri berlutut dan Kwan Cin Cu berkata.

   "Kami siap mentaati perintah!"

   "Bagus! Dengan demikian sam-wi suheng masih menjunjung tinggi kepada Bendera Keramat dan nama suhu biarpun suhu telah meninggal dunia. Harap suheng bertiga suka bangkit dan duduk, marilah kita bicara dengan baik."

   Tiba-tiba dua orang kakek itu mengeluarkan seruan kaget. Mereka melihat rantai itu berobah menjadi sinar berkeredepan dan sinar itu menyambar-nyambar secara aneh, malang-melintang di depan mereka. Mereka tidak mengenal gerakan ini, tidak tahu bagaimana awalnya dan bagaimana nanti akhirnya, maka mereka hanya cepat memutar senjata melindungi tubuh dengan kaget. Akan tetapi, hawa yang mendesis-desis dan memutar-mutar seperti angin lesus menyerang mereka, membuat mereka terkejut dan untuk beberapa detik mereka menahan senjata. Beberapa detik ini sudah cukup bagi Gin San dan dua kali tangannya bergerak setelah kedua tangannya melepaskan rantainya yang masih berputar sendiri di udara terdengar dua orang kakek itu mengeluh dan mereka roboh terguling!

   Untung bagi mereka bahwa Gin San tadi hanya mendorong saja dengan telapak tangan sambil mengerahkan sinkang, dan sekaligus kedua tangan pemuda itu merampas golok dan pedang! Kalau pemuda itu menggunakan kedua tangannya untuk mengirim pukulan maut, tentu keduanya telah tewas! Kiranya ketika golok dan pedang bertemu dengan rantai, kedua senjata itu seperti terbetot dan ketika Gin San melepaskan rantainya dan menggunakan kedua tangan untuk mendorong, keduanya sama sekali tidak pernah menduganya dan telah kena didorong sampai terguling roboh dan senjata mereka dapat dirampas oleh Gin San.

   Sungguh merupakan hal yang terlalu hebat dan luar biasa sekali bagi kedua orang kakek itu. Mereka telah dikalahkan oleh sute mereka itu dalam satu jurus saja! Rasa malu dan penasaran membuat dua orang itu menjadi makin marah. Mereka bangkit berdiri di samping Thian Bhok Cu dan ketiga orang kakek itu kini meluruskan kedua lengan ke depan, ke arah Gin San dan mulut mereka mengeluarkan lengking nyaring sekali, disusul suara Kwan Cin Cu yang penuh wibawa.

   "Coa Gin San, sebagai murid Beng-kauw, berlututlah kau!"

   Suara lengking dan suara Kwan Cin Cu itu mengandung pengaruh yang amat besar, sehingga semua anggauta Beng-kauw tidak dapat menahan diri dan mereka semua sudah menjatuhkan diri berlutut! Akan tetapi Gin San yang merasa betapa tiba tiba kedua lututnya gemetar dan seperti hendak memaksanya menjatuhkan diri berlutut. cepat melepaskan rantai, pedang dan golok di tangannya itu ke atas tanah, kemudian diapun meluruskan kedua lengan ke depan, kedua tangannya dengan telapakan tangan di depan seperti mendorong ke arah tiga orang suhengnya, sepasang matanya mencorong seperti harimau, lalu diapun mengeluarkan suara melengking nyaring sekali, disambung oleh kata-katanya, lebih nyaring dari pada suara Kwan Cin Cu tadi,

   "Kwan Cin Cu, Hok Kim Cu, dan Thian Bhok Cu, kalian berhadapan dengan pengawas Beng-kauw di utara, kalian berlututlah!"

   Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa, Tubuh mereka tidak bergerak, kedua lengan diluruskan ke depan, akan tetapi dari sepasang mata mereka menyambar pengaruh yang luar biasa dahsyatnya. Kiranya empat orang murid Maghi Sing ini sedang mengadu kekuatan sihir dari pandang mata, lengking suara, dan dari gerakan kedua tangan mereka untuk saling mengalahkan dan kembali Gin San dikeroyok, sekali ini dikeroyok tiga malah!

   Ketika mereka mendapatkan kenyataan bahwa mereka tidak mampu merobohkan Gin San yang ternyata amat kuat itu, tiga orang kakek menggerak gerakkan tangannya dan aneh sekali, tubuh Gin San mulai terangkat ke atas! Kedua kaki pemuda itu mulai meninggalkan tanah sampai belasan sentimeter tingginya! Gin San terkejut akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya, lalu dia mengerahkan kekuatan batinnya, kedua lengan yang diulur ke depan itu tergetar hebat, dari matanya menyambar sinar yang mencorong mengerikan, dan uap putih mengepul dari kepalanya. Perlahan-lahan tubuhnya turun kembali dan kini tubuh tiga orang kakek itulah yang perlahan-lahan naik ke atas! Tiga orang kakek itu terbelalak, mengeluarkan keringat dingin dan napas mereka agak terengah.

   Mereka mengerahkan tenaga dan setelah mereka terengah-engah barulah perlahan-lahan merekapun turun kembali, akan tetapi seluruh tubuh mereka menggigil dan muka mereka pucat penuh keringat. Gin San menggunakan tangan kanan mengambil bendera putih, diangkatnya bendera itu ke atas dan kembali dia berkata, suaranya dalam dan menggetar hebat.

   "Berlututlah kalian menghormati Bendera Keramat!"

   Tiga orang kakek itu kehilangan daya tahan mereka. Mereka maklum bahwa baik dalam hal ilmu silat maupun kekuatan sihir, mereka tidak dapat menandingi Gin San, maka mereka cepat menjatuhkan diri berlutut dan Kwan Cin Cu berkata.

   "Kami siap mentaati perintah!"

   "Bagus! Dengan demikian sam-wi suheng masih menjunjung tinggi kepada Bendera Keramat dan nama suhu biarpun suhu telah meninggal dunia. Harap suheng bertiga suka bangkit dan duduk, marilah kita bicara dengan baik."

   Teringat akan semua itu, Gin San menarik napas panjang dan pada matanya yang biasanya berseri gembira itu kini terbayang kemuraman. Akan tetapi hanya sebentar dan sepasang mata itu sudah bersinar-sinar kembali ketika dia menepuk-nepuk kantung kuning. Terdengar bunyi berdenting nyaring, menunjukkan bahwa kantung itu penuh dengan emas! Memang, semalam dia telah mengambil dan mengumpulkan uang emas dari rumah tiga orang hartawan di kota Cin-lok bun.

   Matahari makin dalam terbenam di kaki langit barat dan pemandangan di angkasa tidaklah seindah tadi. Namun Gin San masih berdiri termangu-mangu di tempat yang amat dikenalnya itu. Seolah-olah dia baru kemarin ia meninggalkan tempat ini. Masih dikenalnya setiap batang pohon, setiap rumpun semak-semak, dan bau tanah dan daun-daun membusuk dan rumput-rumput segar bercampur dengan bau kotoran kerbau yang berserakan di sepanjang jalan. Masih seperti dulu!

   Agaknya setiap orang manusia tentu dapat merasakan apa yang dirasakan oleh Gin San di saat itu. Memang terdapat pertautan batin yang kuat sekali antara kampung halaman, tanah tumpah darah, dengan seseorang. Tanah tumpah darah, di mana darah ibu tertumpah ketika dia terlahir, memiliki daya tarik yang mengikat. Betapapun buruk dan miskinnya dusun itu, namun bagi Gin San yang terlahir di situ dan masa kecilnya berada di dusun itu, agaknya tidak ada tempat yang lebih indah mengesankan dari pada dusun tempat kelahirannya itu. Ada semacam daya tarik yang kuat, yang membuat seseorang selalu terkenang dan ingin sekali-kali berkunjung ke tempat di mana dia terlahir dan bermain-main di waktu dia masih kecil.

   Hal seperti ini timbul karena di dalam kehidupan kita. lebih banyak dukanya dari pada senangnya. Makin tua usia kita, makin banyaklah masalah-masalah yang meruwetkan dan mengeruhkan batin, dan makin terkenanglah kita dengan penuh kerinduan hati akan masa kanak-kanak kita, karena memang masa kanak-kanak merupakan masa terindah dalam kehidupan manusia. Kanak-kanak hidup dengan polos, jujur, dan wajar. Kanak-kanak tidak pernah menyimpan dendam, tidak pernah menyimpan suka duka di dalam pikirannya, tidak pernah menginginkan yang tidak ada, tidak pernah bercita-cita dan kanak-kanak selalu menikmati hidupnya, dalam keadaan bagaimanapun juga! Itulah sebabnya mengapa kanak-kanak adalah mahluk yang suci murni, bersih, dan hidupnya penuh bahagia, bahkan dalam tangispun, seperti dalam tawanya, terkandung kewajaran yang murni.

   Namun, sungguh sayang sekali, makin tua kita, makin kotorlah kita, penuh dengan ambisi, penuh dengan keinginan memperoleh hal-hal yang tidak kita miliki, penuh dengan cita-cita yang abstrak dan belum ada, sehingga APA YANG ADA tidak pernah dapat kita nikmati. Kita gandrung dan mengejar-ngejar kebahagiaan, sama sekali buta akan kenyataan bahwa sesungguhnya PENGEJARAN itu sendirilah yang tidak memungkinkan adanya kebahagiaan! Lihatlah sekelompok anak-anak yang bermain-main, begitu riang gembira, begitu wajar.

   Kita akan terpesona, akan kagum, dan akan terheran-heran mengapa sekelompok anak-anak yang bermain-main di dalam lumpur dapat segembira itu! Dan kita selalu tenggelam di dalam kemuraman! Ini salah, itu salah, ini tidak enak, itu tidak menyenangkan. Mengapa? Karena hati dan pikiran kita PENUH DENGAN KEINGINAN, itulah! Hari hujan, ingin terang, mengeluh. Hari terang, ingin hujan, mengeluh juga. Tidak dapatkah kita mengakhiri kegilaan yang terdorong oleh keinginan yang tiada habisnya ini dan hidup dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, hidup menikmati saat ini detik demi detik yang kesemuanya itu sudah mengandung keindahan yang luar biasa?

   Malampun tibalah. Dan malam itu, sebaliknya dari malam tadi seperti apa yang terjadi di kota Cin-lok-bun, di dalam dusun yang miskin itu terjadi hal yang luar biasa pula, akan tetapi kejadian yang sama sekali tidak menirrbulkan kemarahan dan kedukaan, sungguhpun juga menimbulkan kegemparan. Malam itu, dalam setiap rumah di dusun itu, terjatuh beberapa keping uang emas! Dan pada keesokan harinya, gegerlah penduduk dusun yang menemukan uang emas di dalam rumah mereka masing-masing. Mereka terkejut dan girang, tentu saja tidak banyak cakap, dan diam-diam mereka melakukan sembahyang untuk menghaturkan terima kasih kepada Yang Maha Murah.

   Tentu saja yang melakukan perbuatan itu adalah Gin San. Memang dia telah mencuri uang emas dari kota Cin-lok bun dengan maksud untuk membagi-baginya kepada para penduduk dusun di mana dia terlahir, kepada para tetangga ayah bundanya yang telah tewas, para tetangga yang tentu saja sudah tidak mengenalnya lagi. Sekantung besar uang emas itu habislah dibagi-bagikan secara diam-diam itu dan pada keesokan harinya, dia telah memasuki pula kota Cin-lok-bun dengan wajah berseri dan tanpa kantung di pundaknya.

   Dipandang secara sepintas lalu, apa yang dilakukan oleh Gin San itu memang baik, yaitu membagi-bagi uang kepada penduduk dusun miskin, sungguhpun uang itu didapatnya dengan cara yang tidak patut pula. Akan tetapi, betapa bodohnya anggapan kita pada umumnya bahwa HARTA dapat membuat manusia hidup BAHAGIA. Sungguh melantur sekali nggapan seperti itu. Bahkan, tidak selamanya harta mendatangkan kebaikan, kalau tidak dapat dikatakan bahwa lebih banyak mendatangkan kejahatan! Uang emas yang disebar oleh Gin San di antara penduduk dusun miskin itu, memang mendatangkan kegirangan besar, akan tetapi tidak dapat secara tergesa dikatakan bahwa hal itu mendatangkan kebaikan.

   Yang sudah jelas saja, begitu masing-masing menemukan uang emas di dalam rumah, timbullah kecurigaan, timbullah kekhawatiran kalau kalau penemuan yang menguntungkan itu sampai ditahui orang lain! Masing-masing merahasiakannya, dan dengan kenyataan ini saja sudah terbukti betapa harta yang ditemukan itu seketika melenyapkan kejujuran dan kegotongroyongan di antara mereka yang semula selalu nampak. Selain itu, juga masing-masing diliputi rasa takut, khawatir kalau-kalau harta yang mereka temukan itu sampai hilang dicuri orang, sehingga mereka harus menjaganya, bahkan ada yang tidak dapat tidur karena khawatir kalau-kalau uang emas itu akan diambil orang.

   Harta benda, kedudukan, nama besar, bukanlah hal yang buruk. Akan tetapi kalau kita sudah melekatkan diri, menyamakan diri dengan mereka, kalau kita sudah mengejar-ngejar mereka, timbullah kesengsaraan dalam kehidupan. Pengejarannya itulah yang jahat. Orang yang mengejar harta benda mungkin saja menjadi mata gelap, melakukan korupsi penipuan,kecurangan dan sebagainya lagi. Orang yang mengejar kedudukan dan nama besar, mungkin saja menjadi kejam, mendorong ke samping atau kalau perlu menjegal dan merobohkan saingannya, cara busuk apapun akan ditempuhnya demi untuk memperoleh kedudukan dan nama besar yang dikejar-kejarnya itu. Dan setelah semua itu terdapat kita melekat kepadanya dan timbullah kekhawatiran, rasa takut kalau-kalau yang sudah terdapat itu akan hilang dari kita! Semua itu begini jelas, dapat kita lihat setiap hari dalam kehidupan kita, di sekeliling kita, dalam badan kita sendiri!

   Gin San juga tidak sadar sama sekali bahwa perbuatannya itu kelak akan mendatangkan kemaksiatan yang cukup banyak di dusun itu di antara orang-orang dusun yang lemah batinnya. Biasanya, orang yang sudah pernah memegang uang dan mengejar kesenangan dengan uang itu, dia akan kecanduan dan akan terus mencari-cari untuk melanjutkan kesenangan itu. Gin San lalu melanjutkan perjalanam menuju ke kota Cin-an. Begitu memasuki pintu gerbang kota ini, wajah pemuda ini berseri gembira.

   Banyak sekali kenangan yang mengesankan dia alami di kota ini beberapa tahun yang lalu. Teringat dia betapa dia memasuki kota ini sebagai seorang bocah jembel, pengemis yang hidup tergantung dari belas kasihan orang. Kemudian betapa dia menjadi pelayan dan murid pendekar Gan Beng Han. Dia masih ingat semua tempat tempat di kota itu, ingat akan setiap lorong yang sering kali dilaluinya, bahkan toko-toko dan rumah-rumah disepanjang jalan raya itu masih diingatnya benar.

   Tiba-tiba hidungnya mencium bau sedap masakan yang datang dari sebuah restoran. Gin San memandang ke kiri dan melihat seorang pelayan gendut sedang membersihkan meja di dalam restoran. Gin San tersenyum. Dia masih mengenal pelayan itu. Betapa tidak? Pelayan itu adalah seorang pelayan yang amat baik dan ramah, suka melucu dan pelayan itu yang dahulu seringkali memberi makanan-makanan sisa para tamu kepadanya! Rasa haru menyelinap di dalam hati Gin San ketika dia ingat betapa sekaleng makanan bekas yang diberikan oleh pelayan gendut itu dahulu merupakan sesuatu yang amat berharga, bukan hanya amat lezat baginya, akan tetapi juga dapat dianggap sebagai penyelamat dan penyambung nyawanya!

   Dengan mukanya yang gemuk itu berseri seri, pelayan gendut cepat menghampiri ketika Gin San melangkah masuk ke dalam restoran "Ah, selamat pagi, kongcu, selamat pagi. Kongcu hendak memesan makanan dan minuman apakah? Bubur ayam? Mi bakso? Nasi tim? Dan minum arak hangat? Teh panas?"

   Pelayan itu ramah sekali. Sejenak Gin San hanya berdiri memandang pelayan itu dengan sinar mata penuh selidik. Pelayan itu masih gendut, masih ramah, akan tetapi jelas kelihatan masih miskin, pakaiannja sederhana bahkan ada tambalan di pundaknya biarpun pakaian itu cukup bersih. Melihat pemuda tampan yang berpakaian putih sederhana itu hanya berdiri bengong memandangnya, pelayan gendut itu tertawa ramah.

   "Eh, kongcu, silakan duduk""".!"

   Gin San sadar dan dengan suara agak gemetar dia berkata.

   "Terima kasih."

   Dia lalu mengikuti pelayan itu ke meja di sudut dan duduk di atas kursi menghadap keluar sehingga dia dapat melihat seluruh ruangan restoran itu. Beberapa orang tamu mulai memasuki restoran itu untuk sarapan, dan Gin San yang memesan bubur ayam dan air teh sudah dilayani oleh pelayan gendut yang kini sibuk melayani para tamu lainnya yang mulai berdatangan. Gin San terus mengikuti gerak-gerik pelayan gendut itu dan pelayan ini agaknya juga merasa betapa pemuda tampan sederhana itu terus memperhatikan dia. Beberapa kali dia menengok dan memandang kepada Gin San, lalu tersenyum ramah karena diapun merasa seperti pernah mengenal pemuda tampan itu, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan bilamana. Dia mengira bahwa Gin San tentu seorang langganan restoran yang jarang datang maka dia lupa lagi.

   Gin San masih duduk di depan mejanya biarpun dia sudah selesai makan. Ada beberapa orang tamu sudah selesai makan dan membayar harga makanan kepada pelayan gendut itu. Gin San mengerahkan tenaga batinnya memandang kepada tamu yang membayar itu. Dengan kekuatan sihirnya, dia membuat si tamu itu menjadi bingung dan membayar jauh lebih banyak dari pada semestinya, dan memberikan uang itu kepada si pelayan gendut, kemudian tamu itu pergi. Si pelayan gendut terbelalak nemandang uang di tangannya, karena uang itu terlalu banyak. Tiba-tiba dia berteriak dan lari keluar, memanggil tamu tadi.

   "Tuan, pembayaran tuan kelebihan banyak sekali, tuan salah hitung!"

   Tamu itu terkejut dan terheran, lalu menerima kembali yang kelebihan dari tangan pelayan gendut, tersenyum dan mengangguk-angguk dengan rasa syukur karena hampir saja dia dirugikan banyak sekali.

   Gin San juga mengangguk-angguk dalam hatinya Akan tetapi dia masih penasaran dan dicobanya lagi sampai empat lima kali. Setiap kali seorang tamu membayar harga makanan dia tentu menguasai orang itu dengan sihirnya dan memaksa orang itu membayar jauh lebih banyak dari pada semestinya. Akan tetapi, setiap kali si pelayan gendut mengembalikan uang itu. Si pelayan gendut makin lama menjadi makin heran. Dia menghampiri meja Gin San yang sudah selesai makan sambil bertanya.

   "Apakah kongcu sudah selesai? Ataukah mau memesan makanan lain?"

   "Tidak, aku sudah cukup kenyang."

   Pelayan itu membereskan meja itu.

   "Ada apakah ribut-ribut dengan para tamu tadi, lopek?"

   Tanya Gin San.

   "Ahh, orang-orang itu agaknya hendak mencobaku. Hemm, biarpun saya hanya seorang pelayan miskin, apakah mereka mengira bahwa saya suka berlaku curang? Heran, hampir semua tamu membayar lebih. Apakah sengaja ataukah kebetulan saja?"

   Gin San kagum bukan main. Kagum dan terharu. Dia tahu bahwa pelayan itu adalah seorang miskin, tiada bedanya dengan keadannya ketika dia sendiri masih mergemis dahulu itu. Akan tetapi, biarpun tetap miskin, ternyata pelayan ini tetap jujur, ramah, baik hati dan gembira. Hal ini amat mengharukan hatinya. Inilah yang benar-benar patut dinamakan orang kaya! Teringatlah Gin San akan keadaannya di waktu kecil, ketika dia menerima sisa-sisa makanan dari pelayan ini. Dia membayar harga makanan, kemudian tiba-tiba Gin San menjatuhkan dirinya berlutut di depan pelayan gendut itu!

   "Lopek seorang yang budiman dan bijaksana terimalah hormatku!"

   Katanya, kemudian Gin San bangkit berdiri dan meninggalkan restoran itu, meninggalkan si pelayan gendut yang berdiri bengong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tangan kiri memegang mangkok kosong, tangan kanan memegang uang pembayaran Gin San.

   "Hei, A-kiu, mengapa engkau berdiri saja di situ?"

   Tiba-tiba terdengar majikannya yang duduk di meja kasir menegurnya. Pelayan gendut yang dipanggil dengan nama A-kiu itu terkejut, seperti baru sadar dari mimpi dan tergesa-gesa dia menghampiri majikannya dan menyerahkan uang pembayaran tadi ke atas meja.

   "Loya, tamu tadi". kongcu tadi""

   Kiranya dia itu orang gila...". ah, sayang, begitu muda dan tampan, kiranya dia gila""!"

   A kiu menggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang berulang-ulang.

   "Biar gila, asal dia membayar makanannya!"

   Komentar majikannya. A-kiu hanya menggeleng kepala dan berkali-kali menyatakan kasihan dan sayang kepada pemuda yang dianggapnya gila itu.

   Gin San kembali merasa terharu ketika dia berdiri di depan rumah besar itu. Betapa dia masih mengenal baik rumah ini! Dan lebih-lebih bangunan kandang di sebelah kiri rumah agak ke belakang, amat dikenalnya karena hampir setiap hari dia bekerja di situ, memelihara kerbau milik majikan atau gurunya. Tidak ada perobahan pada rumah itu, kecuali perabot-perabot rumahnya. Jantungnya berdebar kalau ia teringat betapa dia akan bertemu dengan seisi rumah. Dengan suhunya, dan subonya dua orang yang amat baik dan ramah kepadanya itu! Dan lebih-lebih lagi bertemu dengan Tan Sian Lun, suhengnya, juga sahabatnya teman bermain-main dan menggembala kerbau, keponakan dari suhunya.

   Dan yang terutama sekali, bertemu dengan Ling Ling! Ah, tentu Ling Ling kini telah menjadi seorang dara yang cantik, pikirnya. Sepuluh tahun lebih tidak saling jumpa dan kini dia sudah berusia duapuluh tahun. Tentu Ling Ling, sudah berusia delapanbelas tahun, seorang dara yang suda dewasa! Jantungnya berdebar tegang penuh kegembiraan ketika akhirnya dia melangkah ke halaman rumah yang kelihatan sunyi itu. Seorang wanita tua sedang membersihkan meja di ruangan depan dan wanita ini mendengar kedatangannya, menengok lalu bangkit berdiri dan menyambutnya. Gin San memandang tajam, akan tetapi tidak mengenal wanita ini. Tentu seorang pelayan baru, pikirnya.

   "Kongcu mencari siapa?"

   Wanita pelayan itu bertanya.

   "Apakah"".apakah tuan rumah berada di rumah?"

   "Ada"".. ada"".. ah, loya, ini ada seorang tamu"".."

   Kata pelayan itu ketika melihat seorang laki laki setengah tua keluar dari ruangan dalam. Gin San mengerutkan alisnya. Tuan rumah itu bukanlah gurunya. Akan tetapi melihat laki-laki itu memandangnya dengan penuh perhatian, dia lalu menjura untuk memberi hormat.

   "Kongcu siapakah dan hendak mencari siapa?"

   Tuan rumah bertanya.

   "Saya hendak mencari suhu Gan Beng Han sepuluh tahun yang lalu beliau tinggal di si ni"".

   "

   Laki-laki tua itu terbelalak memandangnya lalu berkata gagap.

   "Tapi"".. tapi"". Gan-taihiap telah meninggal dunia""."

   Kini Gin San yang memandang terbelalak dan muka pemuda ini menjadi agak pucat.

   "Meninggal"..??

   (Lanjut ke Jilid 24)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24

   Dan"". dan subo...".."

   "Gan-taihiap dan isterinya telah meninggal dunia""""

   "Ahh"".!"

   Gin San makin pucat mendengar ini.

   "Bagaimanakah ini? Mengapa mereka meninggal dunia? Dan"".. dan ke mana perginya puterinya, dan keponakannya??"

   Laki-laki setengah tua itu menggeleng .kepala.

   "Maafkan saya, orang muda. Saya adalah, pendatang baru dari lain kota yang membeli rumah ini dan dari para tetangga saya hanya mendengar penuturan bahwa rumah ini dahulu dihuni oleh keluarga pendekar Gan dan bahwa pendekar Gan dan istrinya telah meninggal dunia. Bagaimana meninggalnya, saya tidak tahu, dan ke mana perginya keluarganyapun saya tidak tahu."

   Pikiran Gin San berputar dan bekerja keras. Ah, kiranya hal ini ada hubungannya dengan keributan yang terjadi di kota ini sepuluh tahun yang lalu. Orang yang paling tepat untuk ditanya adalah hwesio di Kuil Ban-hok-tong, tempat terjadinya keributan itu.

   "Terima kasih...".!"

   Katanya lesu dan dia lalu membalikkan tubuh dan berjalan cepat-cepat keluar dari tempat itu menuju ke Kuil Ban hok-tong. Semua kegembiraannya lenyap Tadinya dia merasa gembira sekali karena akan bertemu dengan suhu dan subonya, juga berjumpa dengan suheng dan sumoinya. Kini hatinya diliputi rasa penasaran dan kekhawatiran Suhu dan subonya belum tua benar, tak mungkin mati karena usia tua. Mereka belum tua dan sehat, maka kematian mereka itu tentu disebabkan oleh orang lain! Dan bagaimana dengan nasib Sian Lun dan Ling Ling?

   Dengan wajah masih pucat dia tiba di Kuil Ban hok tong di mana sepuluh tahun yang laiu terjadi pertempuran antara dua rombongan pemain liong yang menyerbu ke dalam kuil sehingga dia terseret dan kemudian terbawa pergi oleh rombongan pengacau yang terdiri dari orang-orang Beng-kauw itu. Begitu memasuki kuil itu, terbayanglah semua peristiwa sepuluh tahun yang lalu, seolah-olah baru terjadi kemarin hari saja.

   "Apakah kongcu hendak sembahyang? Dan belum membawa sembahyang?"

   Terdengar suara halus seorang hwesio yang bertanya, menyambut kedatangannya di pagi hari yang masih sunyi itu.

   Gin San sadar dari lamunannya dan dia menggeleng kepala.

   "Saya mohon bertemu dengan suhu yang menjadi ketua dari Ban hok-tong.

   "

   Hwesio itu memandang dengan penuh perhatian. Dia adalah murid dari Thian Lee Hwesio, wakil ketua Ban-hok-tong dan karena para hwesio di Ban-hok-tong juga merupakan ahli-hli silat yang tidak asing dengan kehidupan di dunia kang ouw, maka melihat ada orang muda datang bukan untuk sembahyang melainkan untuk mencari ketua Ban-hok-tong, tentu saja dia menjadi curiga.

   "Ketua kuil sedang tidak berada di sini, yang ada di sini adalah wakil ketua kuil, yaitu suhu Thian Lee Hwesio, akan tetapi beliau sedang bersamadhi pagi di dalam kamarnya, kalau tidak ada keperluan penting saya tidak berani mengganggunya. Siapakah sicu, dan ada keperluan apakah sicu mencari ketua kuil kami?"

   Gin San maklum bahwa hwesio ini menaruh curiga kepadanya, maka dia lalu berkata cepat.

   "Saya adalah murid dari suhu Gan Beng Han"."

   "Omitohud".., tapi Gan-taihiap telah".."

   "Saya tahu dan justeru karena kematian suhu dan subo itulah saya ingin bertemu dengan ketua Ban-hok-tong untuk bicara. Harap losuhu sudi menyampaikan kepada ketua Ban-hok-tong atau wakilnya."

   "Baik, silakan menanti di ruang tamu, sicu,"

   Kata hwesio itu dan setelah mempersilakan pemuda itu menunggu di ruangan yang lebar itu, dia cepat masuk ke dalam.

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika Thian Lee Hwesio muncul, segera Gin San mengenal hwesio tua ini sebagai hwesio lihai yang dulu melawan penyerbuan di kuil. Akan tetapi hwesio tua ini tentu saja tidak lagi mengenal Gin San, bocah aneh yang dulu duduk "menunggang"

   Liong ketika para pemain liong yang palsu itu menyerang kuilnya. Dia memandang tajam ketika Gin San cepat bangkit memberi hormat kepadanya.

   "Menurut laporan hwesio penyambut tamu, sicu adalah murid mendiang Gan-taihiap?"

   Hwesio tua itu bertanya.

   Gin San mengangguk.

   "Benar, losuhu. Ketika saya masih kecil, saya adalah murid suhu Gan Beng Han. Akan tetapi telah sepuluh tahun saya pergi, dan baru sekarang kembali ke sini, saya mendengar bahwa suhu dan subo telah meninggal dunia. Karena itu, saya mohon kepada losuhu sudilah menceritakan kepada saya bagaimana tewasnya suhu dan subo."

   Thian Lee Hwesio memandang tajam penuh selidik.

   "Kenapa sicu datang kepada kami untuk bertanya?"

   "Karena saya menduga bahwa kematian mereka tentu ada hubungannya dengan keributan yang terjadi di sini sepuluh tahun yang lalu, dan karena saya tahu bahwa suhu bersahabat dengan pimpinan Kuil Ban-hok-torig maka saya datang untuk bertanya "

   "Sepuluh tahun yang lalu? Dan sicu muridnya? Ahh"".., jadi sicu ini kiranya yang dicari-cari oleh mendiang Gan taihiap? Dan sicu adalah bocah yang dulu menunggang liong yang kemudian terbawa pergi oleh kaum pengacau?"

   Gin San mengangguk.

   "Omitohud""..! Sicu, ke mana sajakah sicu pergi? Karena kehilangan sicu maka mendiang taihiap mencari dan mengejar sehingga jadi malapetaka itu"".."

   "Losuhu, tidak penting apa yang saya alami, akan tetapi apakah yang terjadi dengan suhu dan subo? Harap losuhu sudi menceritakan kepada saya,"

   Gin San bertanya cepat, hatinya tidak sabar karena dia merasa berduka sekali mendengar akan kematian mereka, apalagi hwesio ini mengatakan bahwa matinya suhu dan subonya adalah menjadi akibat dari kepergian atau kehilangannya itu.

   "Duduklah, sicu duduklah. Panjang ceritanya."

   Kakek itu mempersilakan Gin San duduk dan kini mereka duduk saling berhadapan dan bercakap-cakap.

   Dengan panjang lebar Thian Lee Hwesio lalu menceritakan semua yang telah terjadi sepuluh tahun yang telah lalu, betapa dia sendiri yang berhasil merampas lambang Im-yang pai dari seorang pimpinan pengacau dan betapa Gan taihiap lalu mengejar ke Im yang pai untuk menolong muridnya yang disangkanya terculik oleh orang-orang Im-yang pai.Betapa kemudian para tokoh kang-ouw membantu pasukan kerajaan menyerbu ke Im yang pai dan betapa di situ terjadi pertempuran hebat yang mengakibatkan terbasminya Im-yang-pai.

   "Para pimpinan Im-yang pai menyangka bahwa merekalah yang mengacau di kuil ini, sicu,"

   Kakek pendeta itu mengakhiri cerita Akan tetapi isteri Gan-taihiap marah marah dan menyerang Im-yang-kauwcu yang lihai. Isteri Gan-taihiap roboh dan tewas. Gan taihiap membela isterinya, akan tetapi diapun tewas di tangan Im-yang-kauwcu. Harus pinceng akui bahwa pertempuran antara mereka itu dimulai oleh fihak Gan-taihiap dan suami isteri itu tewas dalam pertempuran yang adil, satu lawan satu. Kauwcu itu memang lihai sekali."

   Gin San tertegun. Dialah yang tahu benar bahwa fihak Im-yang-pai tidak bersalah. Bawa Beng-kauw yang sengaja menggunakan nama Im-yang-pai untuk mengadu domba. Dan akibatnya, suhu dan subonya sampai bertanding dengan Im-yang-kauwcu dan tewas. Dia tidak mungkin dapat menyalahkan Im-yang-kauwcu dalam hal itu, akan tetapi suhu dan subonya tewas, tentu dia tidak akan dapat tinggal diam saja.

   "Di mana dikuburnya suhu dan subo?"

   Akhirnya dia bertanya dengan suara parau.

   "Di kuburan sebelah barat kota, akan tetapi setelah sicu muncul, tentu sekarang dapat terbuka semua rahasia itu. Sicu, tentu sicu dapat menerangkan siapakah yang melakukan penyerbuan dahulu itu? Tentu fihak Im-yang-kauw atau Im-yang-pai, bukan?"

   Gin San bangkit berdiri, menggelengkan kepalanya.

   ""Bukan! Im-yang-pai tidak bersalah sama sekali dalam penyerbuan itu"

   "Tapi"". tapi"".. pinceng sendiri yang merampas lambang Im-yang-pai dari orang""."

   "Itu lambang curian. Bukan orang-orang Im-yang-pai yang mengganas di sini, akan tetapi golongan lain yang hendak mengadu domba antara Im-yang-pai dengan pemerinah dan para pendeta Buddha."

   "Akan tetapi, lalu siapa""". heee? Sicu tunggu""..!"

   Thian Lee Hwesio cepat meloncat dan mengejar, akan tetapi bayangan pemuda itu berkelebat cepat sekali sehingga ketika dia mengejar sampai di depan kuil, bayangan itu telah lenyap! Thian Lee Hwesio adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi, maka dia merasa penasaran sekali dan cepat dia meloncat ke atas genteng. Akan tetapi, dari tempat tinggi itupun sudah tidak lagi nampak bayangan pemuda aneh itu Dia melayang turun kembali dan menggeleng kepalanya.

   "Hemm, anak itu jelas memiliki kepandaian yang melebihi gurunya. Heran, mengapa dia tidak mau berterus terang?"

   Tentu saja Gin San tidak mungkin untuk berterus terang kepada Thian Lee Hwesio atau kepada siapapun juga tentang rahasia itu. Para penyerbu yang memalsukan nama Im-yang-pai itu adalah orang-orang Beng-kauw dan dia sendiri sekarang menjadi tokoh Beng-kauw yang paling tinggi tingkatnya, bahkan dialah pemegang Bendera Keramat putih sebagai lambang dari kekuasaan di perkumpulan itu! Mana mungkin dia mengkhianati anak buahnya sendiri?

   Dengan hati penuh duka Gin San mengunjungi kuburan itu dan akhirnya dia berdiri dengan muka pucat di depan dua buah makam itu makam suhu dan subonya, dua orang yang dicintanya dan dua orang yang telah memungutnya dari jalan ketika dia menjadi seorang jembel yatim piatu! Dia mengepal-ngepal tinjunya. Suhu dan subonya terbunuh dalam pertempuran yang jujur melawan Im-yang-kauwcu! Akan tetapi sesungguhnya kematian mereka adalah akibat dari penyerbuan yang dilakukan oleh orang-orang Beng-kauw. Tentu saja tidaklah adil kalau dia harus menyalahkan Im yang-kauw apalagi setelah mendengar betapa Im-yang-pai malah dibasmi oleh pasukan pemerintah, gara-gara perbuatan Beng-kauw yang curang. Betapapun juga, dia akan selalu merasa penasaran kalau dia belum berhadapan dengan ketua Im yang-kauw itu untuk ditantang beradu kepandaian satu lawan satu pula! Bukan untuk membalas dendam karena suhu dan subonya tewas dalam pertandingan yang adil dan tidak ada penasaran apa-apa, melainkan untuk memuaskan hatinya yang merasa penasaran hendak mengukur sampai di mana kehebatan kepandaian dari Im-yang-kauwcu itu!

   Teringat akan suhu dan subonya yang kini telah menjadi gundukan tanah kuburan, Gin San merasa kecewa bukan main. Tadinya dia sudah membayangkan betapa gembiranya dapat bertemu mereka, betapa gembiranya hati suhu dan subonya dapat melihat dia yang ternyata masih hidup, bahkan telah mewarisi kepandaian yang amat tinggi dari seorang sakti. Kini, dia tidak akan dapat menyaksikan kegembiraan suhu dan subonya, tidak dapat menyaksikan pandang mata mereka yang berseri dan penuh kekaguman, tidak dapat dia memamerkan kepandaiannya kepada mereka yang disayangnya untuk membikin mereka gembira!

   Dia mengepal tinjunya saking kecewanya, kemudian mengeluh, suaranya terdengar agak keras.

   "Ah, kenapa kalian telah mati dulu? Kenapa kalian mengecewakan hatiku?"

   Tiba-tiba terdengar suara wanita melengking nyaring.

   "Biarlah kau menyusul mereka di alam baka!"

   "Singggg"".!!"

   Gin Sin cepat mengelak dengan terkejut sekali ketika ada sinar berkilauan menyambar ke arah dadanya dari kiri. Itulah serangan pedang yang dilakukan orang dengan kecepatan cukup berbahaya, namun bagi Gin San tentu saja bukan apa-apa dan dia sudah berhasil mengelak dengan amat mudahnya Ketika dia mengelak dan membalikkan tubuh; dia melihat bahwa yang menyerangnya adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan bertubuh ramping padat, biarpun wanita itu tidak boleh dibilang muda, bahkan tentu sudah tigapuluh tahun lebih usianya, seorang wanita yang masak dan memperlihatkan bekas kecantikan yang menarik. Gerakan pedang wanita itu cukup cepat, dan dia telah mengamuk dan menyerang bertubi-tubi, akan tetapi Gin San hanya mengelak ke sana-sini

   "Eit, eit"". tahan dulu. Mengapa kau menyerangku membabi buta? Apa salahku?"

   Gin San berkata sambil berloncatan dengan ringan sehingga ke manapun sinar pedang berkelebat, selalu pedang itu hanya mengenai tempat kosong belaka.

   "Mampuslah kau, manusia jahat! Engkau memusuhi keluarga Gan, maka akulah musuhmu, aku akan membalas kematian Han-koko?"

   Wanita itu berseru lagi dan menyerang makin ganas.

   "Eh, eh, salah! Engkau salah sangka, twa-nio. Aku bukan musuh keluarga Gan, malah murid dari suhu Gan Beng Han!"

   "Ahh""..?"

   Wanita itu terkejut dan menahan pedangnya. Mereka berdiri saling pandang dan Gin San mendapat kenyataan bahwa wanita itu benar-benar cantik dan biarpun tidak muda lagi namun masih menarik. Terutama sepasang mata wanita itu indah jernih, seperti mata seorang anak-anak. Dan wanita itupun memandang kepada Gin San, mengagumi pemuda yang selain amat tampan dan muda, juga luar biasa lihainya itu sehingga semua penyerangannya tadi sama sekali tidak ada basilnya. Wanita itu tersenyum, dan memang dia manis sekali.

   "Kau"".. kau murid Han-koko"".?"

   "Awas""..!"

   Tiba-tiba Gin San menubruk ke depan dan menyambar tubuh wanita itu sehingga mereka bergulingan ke atas tanah sambil berangkulan satu sama lain. Hanya itulah jalan satu-satunya bagi Gin San untuk menyelamatkan wanita itu ketika asap hitam tadi menyambar. Dia tahu bahwa asap itu adalah asap beracun, maka satu-satunya jalan hanya membawa wanita itu bertiarap ke atas tanah. Setelah asap hitam itu lewat terbawa angin, barulah Gin San melepaskan pelukannya. Wanita itu bangkit duduk dan memandang kepada Gin San dengan kedua pipi merah dan mata bengong, kemudian dia tersenyum. Mereka berdua tadi telah saling berangkulan dan bergulingan dan hal ini membuat wanita itu merasa berdebar jantungnya.

   Akan tetapi, Gin San dan wanita itu tidak sempat banyak cakap karena pada saat itu muncul lima orang kakek yang melihat dandanan mereka adalah pendeta-pendeta. Mereka berpakaian putih dan jenggot panjang-panjang, rambut mereka dibiarkan riap riapan. Kelimanya memegang tongkat dan yang berdiri di depan adalah seorang yang matanya satu, karena mata kirinya tertutup dan buta tidak berbiji lagi.

   Gin San mengerutkan alisnya memandang lima orang kakek itu. Kakek bermata satu itu tentu sudah enampuluh tahun usianya sedangkan empat orang kakek yang lain juga tidak muda lagi, sudah lebih dari limapuluh tahun. Melihat sikap mereka, dia dapat menduga bahwa mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, bahkan melihat sinar mata dari kakek bermata tunggal itu dia dapat mengerti bahwa kakek ini adalah seorang ahli sihir karena kekuatan batinnya terpancar keluar sinar matanya.

   Sebetulnya hati Gin San sudah merasa mendongkol karena dia tahu bahwa pelepas asap beracun tadi tentulah lima orang kakek ini, akan tetapi karena dia menghadapi lima orang yang sudah tua dan berkepandaian, maka dia lalu mengangkat tangan menjura dan bertanya.

   "Siapakah adanya ngo-wi totiang dan apa maksudnya melepas asap beracun?"

   Ditegur secara langsung, biarpun dengan suara halus, lima orang kakek itu memandang dengan heran dan juga terkejut. Bahkan kakek bermata tunggal itu berseru.

   "Siancai, masih begini muda sudah lihai sekali dan dapat dengan cepat mengenal asap hitam. Sicu, kami berlima tidak berniat buruk, dan asap tadi kalau berhasil hanya akan membuat kalian berdua tidur sebentar. Kami tidak ingin diganggu dan kami ada keperluan dengan dua makam ini."

   Kini wanita cantik itu yang berkata dengan suara penuh curiga.

   "Han-koko dan isterinya telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Kalian lima orang pendeta mau apakah dan siapa yang menyuruh kalian datang ke makam ini?"

   Kakek bermata tunggal itu tertawa. Suara ketawanya halus dan seketika wanita itu merasa hormat dan suka kepada kakek ini. Akan tetapi diam-diam Gin San mengerahkan kekuatan batinnya menolak pengaruh itu dan maklumlah dia bahwa kakek bermata tunggal im telah mulai mempergunakan kekuatan sihir melalui suara ketawanya sehingga dia tadi merasa jantungnya tergetar dan terusap halus sehingga kalau dia tidak cepat mengerahkan tenaga, tentu dia sudah akan dapat ditundukkan seperti keadaan wanita itu yang kini memandang penuh kagum!

   "Kalian anak-anak baik minggirlah. Kami berima sengaja datang hendak melakukan sembahyangan terhadap makam Gan-taihiap dan isterinya, dan harap kalian tidak mengganggu kami."

   Mendengar ucapan itu, wanita cantik itu yang telah terpengaruh oleh suara ketawa tadi, mengangguk-angguk ramah dan segera melangkah minggir untuk memberi tempat kepada lima orang pendeta itu di depan makam. Gin San mengerutkan alisnya karena dia melihat ketidak wajaran dalam Suara ketawa kakek mata satu itu. Akan tetapi dia tidak mengenal mereka dan setelah mereka menyatakan hendak bersembahyang di depan makam suhu dan subonya, tentu saja tidak berani lancang menghalangi mereka. Dia tahu bahwa suhu dan subonya adalah pendekar-pendekar, yang dihormati orang dan bukan hal aneh kalau lima orang pendeta ini hendak memberi penghormatan dan sembahyangan, biarpun kematian suhu dan subonya sudah lewat sepuluh tahun. Oleh karena itu, diapun lalu melangkah kepinggir dan seperti juga wanita itu, dia kini mengikuti saja semua gerak-gerik lima orang pendeta itu dengan pandang matanya.

   Dengan sikap tenang, lima orang pendeta itu dipimpin oleh pendeta mata tunggal, lalu duduk di depan makam, mengeluarkan beberapa buah benda-benda aneh, seperti tali, guci kosong, benda-benda kecil terukir berbentuk naga, burung hong, kilin, dan sebagainya. Kesemuanya itu mereka atur di atas tanah depan makam, kemudian pendeta mata satu membakar ujung puluhan batang hio (dupa biting).

   Mulailah mereka berlima membaca mantera atau berdoa, dan dengan dipimpin oleh pendeta mata tunggal yang memegang segenggam hio membara, mereka berjalan mengelilingi dua buah makam itu sambil terus membaca mantera atau berdoa. Mereka terus berdoa dan berjalan mengelilingi makam, membuat gerakan-gerakan aneh dengan tangan mereka sampai hio itu hampir terbakar habis. Lalu mereka kembali ke depan makam, duduk membentuk lingkaran. Pendeta mata tunggal menancapkan hio yang masih mengepulkan asap itu di atas tanah, di tengah tengah lingkaran mereka, kemudian dia membuat corat-coret aneh di sekitar benda-benda tadi dengan mulut berkemak kemik. Tiba tiba mereka berlima menggerakkan kedua tangan ke atas, dengan jari-jari terbuka dan terdengar wanita tadi mengeluarkan jerit tertahan, karena dia merasa tubuhnya menggigil dan merasa serem sekali.

   Gin San sudah duduk bersila. Begitu melihat lima orang pendeta itu duduk membentuk lingkaran dan si pendeta mata tunggal mencorat-coret tanah, dia terkejut bukan main. Dia sudah banyak mendengar dari mendiang gurunya tentang ilmu sihir, dan dia kini mengerti bahwa lima orang pendeta itu sedang melakukan upacara memanggil roh! Tahulah dia apa artinya guci arak kosong ilu. Mereka itu hendak memanggil roh dari suhu dan subonya untuk dipancing masuk ke dalam guci arak yang sudah ditempeli hu (tulisan jimat) sehingga roh itu tidak akan dapat keluar lagi, seperti keadaan orang dalam tahanan! Maka marahlah Gin San dan dia cepat duduk bersila dan mengerahkan kekuatan batinnya.

   Wanita itu hanya berdiri bengong dengan mata terbelalak. Dia merasa ngeri tanpa nengerti apa sebabnya, tanpa mengerti apa yang sedang dilakukan mereka itu. Dia hanya merasa betapa ada pengaruh dan hawa aneh yang membuat dia merasa serem dan menggigil.

   Lima orang pendeta itu masih berdoa dengan tekun dan kedua lengan mereka yang diangkat itu tergetar keras. Tiba-tiba terjadi keanehan. Guci arak kosong di depan mereka, di tengah-tengah antara mereka itu tiba-tiba bergoyang-goyang! Wanita itu membelalakkan matanya dan wajahnya menjadi agak pucat. Guci itu bergoyang makin keras dan si pendeta mata tunggal itu sudah memegang sepotong kayu hitam sebagai penyumbat mulut guci dan sehelai kain kuning untuk

   membungkus guci itu.

   Akan tetapi, sebelum dia sempat menutup mulut guci yang bergoyang-goyang seperti kemasukan sesuatu yang hidup itu, tiba-tiba guci itu bergerak dengan keras dan cepat, melayang dan menghantam ke arah muka pendeta mata satu!

   "Ahhh""..!!"

   Pendeta itu terkejut bukan main akan tetapi dia masih dapat mengelak dengan gerakan yang ringan. Guci arak kosong itu melayang-layang dan kini guci itu mengamuk, menyerang ke arah lima orang pendeta itu! Tentu saja para pendeta itu menjadi terkejut sekali, akan tetapi dengan mudah mereka meloncat dan mengelak, dan dari gerakan mereka itu dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan gerakan yang gesit sekali.

   Pendeta mata tunggal itu cepat menggerak-gerakkan tangan dan mulutnya mengeluarkan suara doa yang aneh. Agaknya dia ingin mempengaruhi guci yang tiba-tiba hidup dan mengamuk itu, akan tetapi akibat dari doanya ini, guci itu, malah menyerangnya dengan hebat sehingga dia harus berloncatan ke sana-sini dengan cepat.

   

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini