Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 24


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 24



"Ahhh, sudah menjadi rohpun Gan Beng Han dan Kui Eng masih ganas!"

   Tiba-tiba pendeta mata tunggal itu berseru marah.

   "Kita hancurkan saja mereka di sini! Hayo kalian bongkar makamnya, biar aku yang menghancurkan guci itu!"

   Kakek mata tunggal ini sudah menyambar tongkatnya, akan tetapi tiba-tiba guci itu melayang ke arah Gin San!

   Para pendeta itu memandang heran ketika pemuda itu mengangkat tangan kanannya menerima guci itu. Kiranya dari kepala pemuda ini mengepul uap putih dan begitu guci itu berada di tangannya, pemuda itu mengerahkan tenaga.

   "Pyarrr""..!"

   Guci arak kosong itu pecah berantakan dan Gin San melemparkannya ke atas tanah! Kini pemuda itu sudah membuka kedua matanya dan dari sepasang matanya keluar sinar berapi yang menyambar ke arah lima orang pendeta itu.

   "Ah, kiranya engkau bocah lancang yang telah berani mengganggu dan mengacau pekerjaan kami?"

   Kakek bermata tunggal itu berteriak marah dan bersama dengan empat orang temannya dia kini menghadapi Gin San yang juga sudah bangkit berdiri sambil tersenyum, akan tetapi matanya tetap berkilat penuh kemarahan.

   "Dan kalian adalah lima orang pendeta busuk yang akan melakukan perbuatan busuk, mencoba untuk menangkap dan menyiksa roh dari suhu dan suboku? Aha, kalau tidak keliru kalian tentulah pendeta-pendeta Pek-lian-kauw, bukan? Dan kalau benar demikian, mengapa kalian hendak mengganggu ketenteraman suhu dan subo yang sudah meninggal dunia?"

   Mendengar ini, wanita itu yang kini sudah tidak lagi terpengaruh hawa mujijat, melangkah mendekati Gin San dan berdiri di sebelah pemuda itu dengan perasaan sepenuhnya memihak pemuda ini. Dan para pendeta itu kini memandang heran karena mereka tidak mengira bahwa pemuda itu adalah murid dari mendiang Gan Beng Han dan isterinya.

   "Gan Beng Han dan isterinya adalah musuh-musuh kami, dan biarpun mereka telah tewas, kami hendak menghukum mereka""."

   "Keparat jahanam!"

   Gin San berteriak marah "Suhu dan subo adalah pendekar-pendekar budiman, tak mungkin kalian akan mampu mempermainkan roh mereka. Di samping itu, ada aku Coa Gin San, murid mereka yang akan membela mereka!"

   Tiba-tiba kakek bermata tunggal itu berteriak melengking nyaring, tongkatnya diangkat tinggi-tinggi dan mulutnya mengeluarkan suara mendesis-desis. Kembali wanita cantik itu menjerit karena dia melihat betapa tongkat itu telah berobah menjadi seekor ular besar panjang yang meluncur dan

   melayang ke arah Gin San!

   Akan tetapi pemuda itu memandang dengan tenang, bahkan lalu mengejek dengan ucapan nyaring.

   "Pendeta siluman, permainanmu ini hanya dapat dipakai untuk menakut-nakuti anak kecil saja "

   Dia lalu bertepuk tangan satu kali, akan tetapi suara tepukan tangannya itu nyaring seperti ledakan.

   "Tarrrr"""!"

   Wanita yang terbelalak itu melihat betapa ular yang ganas tadi seperti disambar ledakan membalik dan lenyap, berubah menjadi tongkat biasa lagi di tangan pendeta mata satu yang kelihatan terkejut.

   "Panggil ular!"

   Teriak pendeta mata satu itu dan tiba-tiba dia dan empat orang temannya lalu mengeluarkan masing-masing sebatang suling ular yang bulat, lalu mereka meniup lima buah suling itu. Terdengar suara melengking panjang yang aneh. Kembali wanita itu menjerit ketika nampak ular-ular berdatangan dari empat penjuru.

   Akan tetapi segera terdengar suara lengking yang lebih tinggi dan lebih tajam, yang seolah-olah menggulung lengking lima batang suling pertama itu dan ketika wanita itu menengok, dia melihat betapa pemuda tampan tadi sudah meniup sebatang suling pula sambil duduk bersila. Sulingnya adalah suling bambu biasa, tidak berbentuk bulat seperti suling para pendeta, namun dari suling bambo ini keluar suara yang luar biasa nyaringnya. Dengan mata terbelalak wanita itu melihat betapa ular-ular itu bergegas pergi seperti diusir, seolah-olah tidak kuat mendengar suara lengking aneh yang menggulung suara suling yang memanggil mereka tadi.

   Betapapun lima orang pendeta mengerahkan tenaga meniup suling mereka, tetap saja mereka tidak mampu lagi mengatasi suara suling yang ditiup oleh Gin San. Dan kini terjadilah keanehan. Suling itu suaranya makin tinggi mengalun, makin merdu dan tak lama kemudian, lima orang pendeta itu mulai menari! Mereka menari secara aneh, seperti seekor ular berlenggang-lenggok, menggoyang-goyang pinggul seperti lima orang penari perut yang lucu. Wanita itu memandang dengan mata terbelalak dan diapun tertawa, akan tetapi dia juga merasakan daya kuat yang mendorongnya untuk menggoyang-royang tubuh pula.

   Perlahan-lahan bangkitlah dia dan tanpa dapat dicegah lagi, diapun mulai menggoyang-goyangkan pinggulnya yang besar dan tentu saja gerakan tubuhnya itu mendatangkan pemandangan yang jauh lebih sedap dari pada gerakan tubuh lima orang kakek itu. Pinggang wanita itu kecil ramping, bentuk tubuhnya indah menggairahkan maka ketika dia mulai menggoyang-goyang pinggul dan pundak, tentu saja kelihatan lembut menarik.

   Melihat betapa wanita itu terpengaruh oleh suara sulingnya yang mengandung kekuatan sihir, Gin San menghentikan tiupannya dan lima orang kakek itu menjatuhkan diri terengah-engah di atas tanah. Mereka lelah sekali karena tadi mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk mengerahkan kekuatan melawan pengaruh itu, berbeda dengan si wanita yang tidak melawan sehingga ketika kini pengaruh itu lenyap bersama lenyapnya suara suling, wanita itu hanya terduduk dan menjadi bengong karena herannya.

   Setelah pernapasan mereka pulih kembali lima orang kakek itu menjadi marah bukan main. Tahulah si kakek mata satu bahwa pemuda itu adalah seorang ahli ilmu sihir dan jelas bahwa mereka berlima akan kalah kalau mengadu kekuatan sihir, maka kini mereka berloncatan dan sudah mengeluarkan senjata masing-masing. Melihat ini, Gin San tersenyum dan bertanya,.

   "Kalau kalian berlima benar anggauta-anggauta Pek-lian-kauw, mengapa kalian hendak mengganggu makam suhu dan subo? Setahuku, mereka tidak pernah bermusuhan dengan Pek-lian-kauw!"

   Pemimpin dari rombongan pendeta itu, yang bermata satu, adalah It-gan Thian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw yang terkenal sekali. Dalam pertandingan sihir tadi saja tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang lihai bukan main, oleh karena itu dia tidak berani memandang rendah dan menganggapnya sebagai lawan tangguh yang patut mengenal dia dan teman temannya. Dengan matanya yang hanya tinggal yang kanan saja, dia memandang tajam penuh perhatian sambil melintangkan tongkatnya di depan dada.

   "Orang muda, ketahuilah bahwa biarpun mendiang Gan Beng Han tidak memusuhi Pek-lian kauw secara langsung, namun dia telah melakukan perbuatan jahat dengan mengerahkan pasukan pemeiintah membasmi Im yang pai. Dan karena Im-yang-pai adalah sahabat dan sekutu Pek-lian pai, maka kami datang untuk menghukum arwah Gan Beng Han bersama isterinya! Ternyata masih ada engkau yang menjadi murid mereka, maka biarlah kami menghukum engkau pula yang dapat mewakili guru-gurumu."

   Mendengar ini, Gin San menarik napas panjang. Mengertilah dia kini duduknya perkara. Dan terbayanglah olehnya betapa sakit rasa hati para tokoh Im-yang-kauw karena perkumpulan agama itu telah terbasmi oleh pasukan pemerintah, banyak anggauta mereka tewas dan sisanya cerai-berai. Semua itu karena salah duga belaka. Mendiang, gurunya tentu menyerbu Im-yang-pai bersama pasukan pemerintah karena menyangka bahwa Im-yang-pai yang telah mengacau di Kuil Ban-hok-tong. Padahal, yang melakukan hal itu dengan menyamar sebagai orang orang Im-yang-pai adalah Beng kauw perkumpulannya sendiri di mana dia kini menjadi tokoh utamanya!

   Dan dalam penyerbuan itu, suhu dan subonya tewas, namun Im-yang pai juga terbasmi berantakan. Dan kini masih saja ada rentetan peristiwa itu sehingga kuburan suhu dan subonyapun akan diganggu orang. Biang keladinya adalah Beng-kauw! Jadi, dialah yang harus bertanggung jawab. Kedua fihak yang bermusuhan itu, fihak gurunya dan fihak Im-yang-pai yang kini dibantu oleh Pek-lian pai, tidak bersalah sama sekali.

   Gin San menjura kepada kakek bermata satu itu.

   "Peristiwa yang terjadi di lm-yang-pai itu adalah kesalah fahaman besar yang merugikan Im-yang-pai akan tetapi juga yang telah ditebus dengan nyawa oleh suhu dan subo. Oleh karena itu, sekarang saya, Coa Gin San mewakili suhu dan subo untuk menyatakan maaf dan penyesalan, harap totiang berlima suka menyampaikan kepada Im-yang-pai."

   Kakek itu mendengus marah.

   "Huh, aku It-gan Thian cu hanya memenuhi tugas untuk menghukum arwah musuh-musuh besar Im-yang-kauw. Kalau engkau hendak memintakan maaf, datang saja kepada ketua Im-yang pai atau ketua Im-yang-kauw dan bukan kepadaku."

   Gin San mengerutkan alisnya.

   "It-gan Thian-cu, aku bicara baik-baik akan tetapi kenapa engkau masih bersikap seperti musuh? Engkau boleh melakukan tugasmu, akan tetapi juga merupakan tugasku untuk melindungi makam suhu dan suboku, maka kalau engkau berani mengganggunya, engkau berlima akan berhadapan dengan aku!"

   "Bocah sombong!"

   It-gan Thian-cu berteriak, lalu memberi isyarat kepada empat orang temannya.

   "Maju, tangkap hidup atau mati bocah ini!"

   Dia sendiri sudah menyerang dengan tongkatnya, menghantamkan tongkat itu dengan pengerahan tenaganya ke arah kepala Gin San. Di dalam perkumpulan Pek-lian-kauw, kakek bermata satu ini merupakan tokoh yang pandai dalam ilmu sihir, maka dia dan empat orang temannyalah yang bertugas untuk menghukum arwah suami isteri yang dianggap musuh besar oleh Irn-yang-kauw itu.

   Akan tetapi dalam ilmu silat, It-gan Thian-cu dan teman-temannya hanya merupakan tokoh pertengahan saja walaupun kalau dibandingkan dengan orang-orang biasa mereka itu sudah merupakan orang-orang yang lihai sekali. Melihat datangnya tongkat, Gin San hanya miringkan kepala dan menerima tongkat itu dengan pundaknya, karena dia lebih rnemperhatikan empat batang pedang dari empat orang kakek lainnya yang juga menyerangnya. Pedang-pedang itu dapat merobek pakaiannya! maka dia menggerakkan kaki tangan menyambut empat batang pedang itu tanpa menghiraukan tongkat yang memukul ke arah pundaknya.

   "Cring-cring tranggg"".. krekkk!"

   Empat batang pedang itu beterbangan ke kanan kiri dan tongkat itu patah menjadi dua ketika menghantam pundak, dan lima orang pendeta itu tahu-tahu sudah roboh terjengkang dan terpelanting ke kanan kiri! Mereka terkejut bukan main dan wajah mereka menjadi pucat ketika mereka merangkak bangun, memandang kepada Gin San dengan mata terbelalak dan membayangkan perasaan jerih. Kemudian mereka itu membalikkan tubuh dan pergi dari situ tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, diikuti pandang mata Gin San yang membiarkan mereka pergi, karena diapun maklum batwa para pendeta itu hanya melaksanakan tugas dan bahwa sebab-sebab dari semua permusuhan ini berada di dalam tangan Beng-kauw yang bersalah.

   Akan tetapi, setelah bayangan lima orang pendeta itu lenyap, dia merasa pundaknya gatal gatal dan otomatis tangannya meraba dan menggaruk pundak. Makin digaruk makin gatal dan dengan heran Gin San lalu menyingkap leher bajunya untuk memeriksa pundak kiri itu.

   "Jangan digaruk!"

   Tiba-tiba terdengar suara wanita dan baru Gin San teringat bahwa wanita cantik itu masih berada di situ.

   "Jangan diraba, engkau telah terluka racun jahat! Bukankah rasanya gatal-gatal dan seperti digigiti semut dari dalam dan lehermu terasa kaku?"

   Gin San terkejut. Tentu saja dia tidak takut akan serangan racun, dan dengan sinkangnya, ia akan mampu mengusir racun itu, membakarnya dengan hawa panas. Akan tetapi dia kagum akan ketajaman mata wanita itu yang tanpa memeriksa telah tahu benar apa yang dirasakannya, maka sambil menoleh dan memandang kepada wanita itu, dia mengangguk dan bertanya.

   "Bagaimana engkau bisa tahu?"

   Wanita itu tersenyum dan kembali Gin San harus mengakui babwa biarpun usia wanita ini tak muda lagi, tentu lebih dari tigapuluh tahun, akan tetapi dia masih memiliki kecantikan yang menggiurkan. Wajah wanita itu bulat dengan dagu runcing, matanya jeli dan terutama sekali tahi lalat kecil di ujung mulut kiri membuatnya nampak manis sekali. Tubuhnya masih padat dan ramping, dan pakaiannya walaupun bukan mewah, namun rapi sekali demikian pula rambutnya digelung rapi dan mengkilap, tanda bahwa rambut itu terpelihara baik baik

   "Aku adalah seorang ahli pengobatan, tentu saja tahu. Biarkan aku memeriksamu. Dahulu aku pernah menolong dan mengobati suhu yang terluka parah, sekarang aku hendak menolong dan mengobatimu."

   Wanita itu membuka baju Gin San dan memeriksa pundak kirinya.

   "Ahh""..!"

   Dia berseru kaget.

   "Keji sungguh kakek Pek-lian kauw itu. Dia menggunakan racun pembusuk tulang!"

   "Apa itu?"

   Gin San bertanya, kaget juga!

   "Racun ini amat jahat. Dengan kepandaianmu, tentu engkau akan mengira dapat mengusir hawa beracun, akan tetapi engkau tidak tahu bahwa racun ini meninggalkan hawa yang dapat merusak tulang pundakmu tanpa kaurasakan dan tahu-tahu tulang itu akan membusuk."

   "Ahh"".!"

   Gin San terkejut juga karena di antara banyak ilmu yang dipelajarinya dari gurunya, dia tidak pernah diberi pelajaran ilmu pengobatan.

   "Akan tetapi jangan khawatir, aku mempunyai obatnya. Mari kau ikut bersamaku ke rumahku, di sana aku akan merawatmu sampai sembuh. Engkau adalah murid Gan-taihiap, jika bagiku bukan orang lain. Siapa namamu tadi? Coa Gin San?"

   Gin San mengangguk.

   "Dan siapakah bibi? Apakah sahabat mendiang subo?"

   Wanita itu menggeleng kepala.

   "Mari kita berjalan ke rumahku, nanti kuceritakan kepadamu tentang diriku."

   Karena ingin terbebas dari racun pembusuk tulang itu, Gin San tidak membantah dan pergilah mereka meninggalkan kuburan itu setelah sekali lagi Gin San memberi hormat kepada makam suhu dan subonya.

   Di tengah perjalanan, wanita itu bercerita, Namanya adalah Yo Giok Hong dan di waktu dia masih seorang dara remaja yang cantik jelita, dia pernah bertemu dengan Gan Beng Han. Pendekar itu terluka dan ditolong oleh Yo Giok Hong. dibawanva ke pondok suhunya yang bernama Bin Ho Tojin, seorang tokoh Go-bi-san yang ahli tentang pengobatan. Berkat bantuan Yo Giok Hong dan suhunya, maka pendekar Gan Beng Han dapat disembuhkan dan dalam pertemuan ini Yo Giok Hong jatuh cinta kepada pendekar itu. Akan tetapi cintanya hanya bertepuk tangan sebelah! Semua ini telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini.

   Biarpun kemudian Yo Giok Hong menikah dengan pria lain, melahirkan seorang puteri dan suaminya itu meninggal dunia dalam usia muda sehingga dalam usia kurang dari tigapuluh tahun Yo Giok Hong telah menjadi janda hidup berdua dengan puterinya, namun di lubuk hatinya, Yo Giok Hong tidak pernah dapat melupakan Gan Beng Han yang dicintanya. Setahun yang lalu, dia bersama puterinya pindah ke dusun tidak jauh dari Cin-an dan dapat dibayangkan betapa terkejut dan berduka rasa hatinya ketika dia mendengar bahwa pendekar pujaan hatinya itu telah tewas bersama isterinya. Dia mengunjungi makam dan menangis dengan sedih, dan semenjak itu hampir setiap bulan sekali dia datang mengunjungi makam pria yang dianggapnya orang yang paling dicintanya.

   Demikianlah, pada hari itu, kebetulan dia melihat seorang pemuda berdiri di depan makam itu, mengepal tinju dan menyatakan penyesalannya bahwa Gan-taihiap dan istrinya telah mengecewakan hati pemuda itu. Yo Giok Hong menyangka bahwa pemuda ini tentulah musuh pria yang dipujanya maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerang Gin San.

   "Gan-taihiap adalah..... pria satu-satunya di dunia ini yang kupuja...., sampai sekarangpun...."

   Dia mengakhiri ceritanya.

   Gin San melirik dan melihat betapa wajah yang cantik itu menjadi agak pucat.

   "Akan tetapi""

   Suhu"".. telah berkeluarga""."

   Wajah itu kini berubah merah dan Giok Hong mengangguk.

   "Aku tahu. Dia telah beristeri dengan sumoinya sendiri, dan akupun telah menikah dengan pria lain. Akan tetapi aku tidak pernah melupakannya, sampai suamiku meninggal tujuh tahun yang lalu". aku tak pernah melupakannya"."

   Tiba-tiba dia menoleh kepada Gin San dan wajahnya berubah, agak berseri.

   "Cukuplah semua dongeng masa lalu ini. Mari kita jalan cepat, pundakmu harus segera kurawat!"

   Dia lalu memegang tangan Gin San dan mengajaknya berjalan cepat. Merasakan telapak tangan yang lembut, hangat itu menggenggam tangannya, jantung di dalam dada pemuda itu berdenyut cepat. Dia merasa seolah-olah dia menjadi pengganti suhunya dan memang wanita ini amat cantik, dan sungguh beruntung suhunya dicinta sampai sedemikian rupa oleh seorang wanita seperti ini, seorang wanita yang mencinta pria sampai pria itu tidak ada lagi di dunia, masih saja tetap dicintanya dengan setia!.

   Tiba-tiba timbul perasaan mesra di dalam hati pemuda yang romantis ini.

   "Bibi Yo, perlukah aku cepat-cepat mendapat perawatan?"

   "Tentu saja."

   "Dan rumahmu jauh dari sini?"

   "Tidak, itu di lereng bukit itu, sudah nampak dari sini bukitnya."

   "Kalau begitu, begini lebih cepat!"

   Tiba tiba Gin San memondong tubuh itu dan lari cepat sekali menuju ke bukit itu.

   "Eh, eh""

   Kau""..!"

   "Aku Gin San, anggap saja mewakili suhuku, bibi."

   Kata Gin San.

   "Ahh"".kau"".bocah nakal"".!"

   Giok Hong terengah, akan tetapi karena pemuda itu berlari dengan cepat sekali, dia lalu merangkulkan kedua lengannya ke leher Gin San. Rambut yang halus dan harum mengusik muka pemuda itu dan tak lama kemudian dia merasa betapa pelukan wanita itu makin erat kedua lengan merangkul leher dan mukanya didekapkan ke leher dan sebagian mukanya. Diam-diam Gin San tersenyum senang. Memang menyenangkan sekali memondong tubuh seorang wanita secantik itu!

   Gin San adalah seorang pemuda yang berusia duapuluh tahun, seorang pria muda yang sedang menanjak dewasa dan mulai tersentuh oleh naluri alamiah berupa nafsu berahi. Daya tarik seorang wanita mulai terasa olehnya, dan api berahi itu telah mulai dinyalakan ketika untuk pertama kalinya dia berdekatan dan nencium bibir seorang wanita, yaitu ketika dia mencium Liang Hwi Nio, dara tokoh Im-yang-pai itu. Oleh karena itulah, maka begitu dia memondong tubuh Yo Giok Hong, janda yang belum tua itu, seketika darahnya mengalir cepat sekali, napasnya agak terengah dan panas.

   Dan memang pada dasarnya Gin San adalah seorang yang sejak kecil memiliki watak gembira dan jenaka, maka tentu saja kenikmatan ini tidak dikesampingkannya begitu saja, bahkan hendak dinikmati sepuas hatinya! Akan tapi, ketika dia mempelajari ilmu sihir dari Maghi Sing, dia telah mendapatkan peringatan keras dari gurunya itu bahwa dia tidak boleh melakukan hubungan jasmani (kelamin) dengan seorang wanita, karena hal ini akan melenyapkan kekuatan sihir yang ada padanya, bahkan mungkin akan mendatangkan malapetaka baginya.

   "Engkau baru boleh menikah atau berhubungan dengan wanita setelah usiamu lewat tiga puluh tahun, muridku,"

   Demikian antara lain pesan gurunya. Gin San amat takut kepada gurunya, dan pesan inipun terukir di dalam ingatannya. Pesan inilah yang membuat Gin San memiliki keyakinan bahwa dia tidak boleh terlalu menurutkan perasaan hatinya, membatasi dirinya dengan wanita dan hanya menikmati sentuhan-sentuhan luar belaka tidak boleh melanjutkan dengan hubungan yang lebih mendalam, tidak boleh tunduk terhadap desakan nafsu berahinya sendiri.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yo Giok Hong adalah seorang wanita yang pernah jatuh cinta kepada mendiang Gan Beng Han, cinta pertama yang berkesan dalam sekali di lubuk hatinya sehingga biarpun dia pernah menikah dengan pria lain, namun hatinya selalu condong kepada kekasih pertamanya itu. Apa lagi setelah suaminya meninggal tujuh tahun yang lalu, meninggalkan dia sebagai janda dalam usia muda, maka rindu dendamnya terhadap Gan Beng Han makin menjadi-jadi. Ketika dia mendapatkan kenyataan bahwa pria yang dicintanya itu telah meninggal dibunuh orang, maka dia menjadi patah hati dan berduka sekali.

   Pertemuannya dengan Gin San menggerakkan sesuatu di dalam hatinya. Wanita yang masih muda dan haus akan cinta ini, haus akan belaian kasih sayang seorang pria yang dicintanya secara aneh telah merasa suka sekali kepada Gin San! Hal ini bukan saja dikarenakan sikap Gin San, ketampanan dan kegagahannya, akan tetapi kiranya terdorong oleh kenyataan bahwa Gin San adalah murid dari mendiang Gan Beng Han. Murid kekasihnya! Dan murid itu demikian lihainya, demikian sakti mengagumkan sehingga janda ini seketika jatuh hati! Maka herankah kalau jantungnya berdebar tegang penuh rasa nikmat, kedua lengannya merangkul leher pemuda itu dengan mesra, ketika dia dipondong dan dibawa lari oleh Gin San? Bertahun tahun dia haus akan kasih sayang pria, apalagi semenjak suaminya meninggal tujuh tahun yang lalu, dan kini, tanpa disangka-sangkanya, dia berada dalam pondongan seorang pemuda yang demikian mengagumkan hatinya.

   Gin San juga merasa betapa pelukan kedua lengan di lehernya itu makin lama makin ketat dan rambut halus itu membelai pipi dan lehernya, bahkan kadang-kadang dia merasa hetapa pipi yang halus dan hangat menyentuh dagu dan lehernya. Ketika dia menunduk dan melihat wanita itu seperti terlena dalam pondongannya, dengan kedua mata dipejamkan dan muka merah sekali, dia tersenyum. Hari telah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba di depan pondok yang berdiri di lereng bukit itu. Di depan pondok itu sudah nampak lampu dinyatakan.

   "Turunkan aku di sini".."

   Bisik Giok Hong.

   "Nanti saja kalau kita sudah masuk, itukah rumahmu, bibi?"

   "Benar. Ah, kau sungguh hebat, Gin San, memondongku sejauh itu sama sekali tidak nampak lelah. Turunkan aku! Siapa sih sesungguhnya yang sakit dan perlu dirawat?"

   "Eh. tentu saja aku""".."

   "Melihat betapa aku yang kau pondong, sepatutnya aku yang sakit dan kau yang akan merawatku""".."

   "Aku senang sekali memondongmu, bibi" "

   "Kau memang hebat, kau sungguh baik", ah, aku suka sekali kepadamu, Gin San."

   Dan sebelum pemuda itu dapat menduga, tahu tahu kedua lengan itu menarik lehernya sehingga dia tertunduk dan janda muda itu sudah mencium bibirnya dengan penuh nafsu! Gin San tentu saja menyambut ciuman ini dengan gembira dan balas mencium sampai keduanya terengah dan tiba tiba terdengar suara halus nyaring dari dalam rumah itu.

   "Ibu, kau sudah pulang?"

   Mendengar suara ini, Gin San cepat melepaskan ciumannya dan menurunkan tubuh yang dipondongnya. Akan tetapi pandang matanya yang tajam masih dapat menangkap bahwa dara remaja yang keluar dalam pintu pondok itu telah melihat adegan ciuman tadi! Maka dia memandang dengan hati tertarik dan agak tersenyum ketika melihat janda itu tersipu-sipu membereskan rambutnya yang agak kusut dan berkata dengan suara gagap,

   "Bi Cin...". ini"".. dia ini"".. Coa Gin San murid dari mendiang Gan-taihiap..." "

   Gin San memandang penuh perhatian kepada dara yang berdiri di depan pintu. Seorang dara remaja. Usianya kurang lebih enambelas tahun, dengan wajah yang manis, sepasang mata yang indah bening seperti mata ibunya, tubuhnya sedang tumbuh bagaikan setangkai bunga sedang mekar. Pakaiannya tidak menyembunyikan bentuk tubuh yang padat, dan dara itu memegang sebuah lampu yang menerangi wajahnya sehingga wajah itu nampak kemerahan dan manis sekali. Sepasang mata yang bening itu dengan penuh selidik memandang kepada wajah Giok Hong dan wajah Gin San berganti-ganti.

   Melihat puterinya berdiri tertegun itu, Giok Hong lalu melangkah maju dan memegang lengan puterinya.

   "Minggirlah, Bi Cin, dan biarkan kami masuk. Gin San ini telah..."., menolongku dari serangan pendeta-pendeta siluman, akan tetapi dia terluka, perlu kita obati. Gin San, masuklah."

   Pemuda itu melangkah masuk dan baru terasa olehnya betapa pundak kirinya pegal-pegal dan gatal-gatal.

   "Masuklah ke kamar ini, Gin San. Kau pakai saja kamarku, biar aku tidur di kamar puteriku. Eh, ini puteriku, namanya Bi Cin, Tio Bi Cin. Kau harus cepat mengaso, biar kubuatkan obat untuk memunahkan racun itu. Marilah."

   Dengan amat mesra dan juga penuh perhatian, janda itu menggandeng tangan Gin San dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Alis janda ini berkerut ketika dia melihat puterinya itu mengikutinya masuk ke dalam kamar itu. Betapa dia ingin membelai dan memeluk, menciumi pemuda itu sebelum mengobatinya. Akan tetapi sekarang tidak mungkin lagi karena puterinya mengikutinya seperti bayangan!

   Setelah Gin San merebahkan diri dan Giok Hong membuka baju pemuda itu lalu memeriksa pundaknya, dia mengeluarkan seruan tertahan.

   "Ah""..! Luka di dalam karena racun itu makin menghebat! Salahmu, karena kau telah memon"""

   Eh, mengeluarkan tenaga yang agak banyak tadi."

   Giok Hong menahan ucapan kata "memondong"

   Karena di situ terdapat puterinya. Gin San hanya tersenyum karena dia sama sekali tidak merasa khawatir. Dia tahu bahwa racun itu makin menghebat, akan tetapi dia yakin bahwa dengan sinkangnya dia akan mampu mengusir bersih racun itu.

   Melihat keadaan pundak itu, Giok Hong mengusir nafsu berahinya dan segera dia sibuk memasak obat sambil menyuruh puterinya untuk memasakkan bubur guna tamu mereka. Tanpa berkata apapun, hanya dengan lirikan mata yang menyambar tajam ke arah wajah Gin San, dara remaja itu lalu membantu ibunya dan mereka sudah sibuk di dapur sedangkan Gin San rebah di atas pembaringan sambil tersenyum-senyum, geli dan gembira memikirkan betapa dengan enak dan senangnya dia terjatuh dalam tangan ibu dan anak yang cantik-cantik dan manis manis itu.

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiga hari kemudian, setelah minum obat yang dimasak oleh ibu dan puterinya itu, sembuhlah pundak kiri Gin San. Pemuda ini merasa kagum akan kepandaian ibu dan anak itu, juga akan keramahan mereka selama tiga hari dia tinggal di rumah mereka. Dia merasa beruntung bahwa selama tiga hari tiga malam itu, dia tidak lagi didesak oleh janda muda yang haus cinta itu, karena Bi Cin, dara remaja itu, agaknya telah menaruh curiga dan selalu membayangi atau menemani ibunya di waktu janda ini merawat dan memasuki kamar Gin San. Oleh karena itu, Giok Hong hanya sempat mengutarakan rasa cintanya melalui sentuhan-sentuhan mesra, kerling mata dan senyum manis belaka, tidak berani melakukan hal yang lebih dari pada itu karena puterinya selalu memasang mata dan telinga.

   Ketika pada hari ke empat itu Giok Hong bersama puterinya memasuki kamar Gin San pemuda ini ternyata sudah duduk di atas kursi dan sudah berpakaian rapi, siap untuk berangkat pergi. Melihat nyonya rumah itu datang menbawa obat dan hidangan pagi, Gin San cepat bangkit dan menjura.

   "Bibi Hong dan adik Cin, hendaknya kalian tidak usah repot-repot lagi. Aku sudah sembuh sama sekali dan pagi ini aku hendak berpamit untuk meninggalkan kalian dan melanjutkan perjalananku"".."

   "Ahh""..!"

   Giok Hong berseru dan wajahnya berubah agak pucat.

   Gin San cepat memberi hormat kepada janda itu.

   "Bibi dan adik selama tiga hari ini amat baik kepadaku, tidak hanya telah merawatku dengan teliti, akan tetapi juga bersikap ramah dan manis budi, sungguh membuat aku Coa Gin San berhutang budi kepada kalian. Mudah mudahan saja kelak aku akan berkesempatan untuk membalas budi kalian. Sekarang, harap kalian suka maafkan aku dan mengijinkan aku pergi dari sini."

   Dengan sikap gugup dan muka masih pucat nyonya janda itu menoleh kepada puterinya.

   "Bi Cin, kau keluarlah dulu dari kamar ini, aku mau bicara berdua dengan Gin San."

   Sikapnya tegas dan suaranya mendesak. Sejenak Bi Cin memandang ibunya, akan tetapi dia lalu menundukkan muka, memutar tubuhnya dan melangkah keluar dengan cepat. Setelah dara itu keluar dan tidak terdengar suaranya di luar kamar, Giok Hong lalu membalikkan tubuhnya menaruh obat di atas meja dekat hidangan pagi yang tadi ditaruh di situ oleh puterinya, dan dia lalu mendekati Gin San. Pemuda itu melihat betapa sepasang mata yang indah itu basah dengan air mata dan sebelum dia dapat berkata-kata, nyonya janda itu sudah menubruk dan merangkulnya sambil menangis!

   "Gin San""..jangan kau tinggalkan aku...".!"

   Giok Hong berseru lirih.

   Gin San tersenyum dan jari-jari tangannya segera mengelus dan mengusap rambut dan muka yang halus itu.

   "Ada saatnya bertemu, ada saatnya berkumpul, dan ada pula saat untuk berpisah, bibi yang manis,"

   Katanya halus.

   "Gin San, tidak tahukah engkau betapa aku"".. amat suka kepadamu, betapa aku cinta padamu? Gin San, semenjak aku bertemu denganmu, terobatilah penderitaan hatiku, seolah olah engkau menjadi pengganti mendiang Gan taihiap bagiku""."

   ""Engkau memang baik dan manis, bibi,"

   Gin San berkata terharu dan keduanya sudah saling rangkul dan saling berciuman mesra. Pemuda itu sampai gelagapan dan terpaksa menjauhkan mukanya karena rangsangan Giok Hong sedemikian penuh nafsu yang dapat menyeretnya.

   "Akan tetapi, aku harus pergi, bibi. Tidak mungkin aku harus tinggal selamanya bersamamu di sini."

   "Mengapa tidak mungkin? Aku cinta padamu dan kau"". aku merasa bahwa engkaupun cinta padaku"""

   "Aku suka kepadamu, bibi. Tentang cinta aku sendiri tidak tahu""."

   "Kau cinta padaku, aku yakin akan hal itu. Dari sentuhanmu, dari pandang matamu, dari bibirmu""., ah, Gin San, jangan kau tinggakan aku lagi. Kalau engkau memang harus pergi merantau, biarlan aku

   (Lanjut ke Jilid 25)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 25

   ikut. Kau bawalah aku ke mana kau pergi, aku akan melayanimu, Gin San""."

   Gin San menarik napas panjang dan dengan halus dia melepaskan diri dari rangkulan. Suaranya terdengar tegas dan juga halus membujuk ketika dia berkata.

   "Bibi Giok Hong, engkau bicara dalam keadaan tidak sadar. Ingatlah baik-baik siapa adanya engkau, dan ingatlah bahwa engkau adalah seorang ibu yang harus menjaga adik Bi Cin baik-baik. Ingat bahwa kalau kita menurutkan nafsu hati belaka, kelak perbuatan kita akan merusak menghancurkan nama baik kita, terutama nama baikmu dan karena itu engkau akan merusak pula kehidupan adik Bi Cin."

   "Ohhh""..!"

   Giok Hong terpekik lirih dan menjatuhkan diri duduk di atas pembaringan sambil menangis. Ucapan itu membuka mata dan menyadarkannya bahwa dia masih mempunyai kewajiban terhadap puterinya.

   "Mengertikah engkau, bibi? Hidup memang tidak hanya berarti mengurusi diri sendiri Maka, banyak sekali kaitan-kaitannya dengan orang-orang lain, dengan keluarga dan dengan persoalan-persoalan lain. Dan aku tidak mau merusak namamu, tidak mau membikin sengsara adik Bi Cin. Nah, selamat tinggal, bibi Hong, aku akan selalu ingat kepadamu."

   "Gin San""..!"

   Wanita itu bangkit dan kembali menubruk, merangkul dan menciumi pemuda itu sambil menangis.

   "Aku cinta padamu, Gin San"". bagaimana engkau dapat meninggalkan aku begitu saja?"

   Gin San mengecup bibir yang gemetar itu, tersenyum.

   "Mana bisa aku meninggalkan kau begini saja? Aku meninggalkan engkau dengan membawa kenangan manis, bibi. Dan kelak, kalau memang berjodoh, kita tentu akan dapat saling berjumpa kembali. Nah, inilah tanda mata dariku harap bibi simpan sebagai kenang-kenangan."

   Pemuda itu melolos sabuk rantai peraknya, mematahkan sebuah mata rantai ikat pinggang itu dan memberikannya pada Giok Hong yang menerimanya dengan tangan gemetar. Lalu diciuminya mata rantai itu dan dipegangnya.

   "Ah, Gin San"".."

   Janda itu lalu melepas cincin emas yang menghias jari manis tangan kanannya,

   "Kau terimalah ini, dan jangan, jangan kau lupakan aku, Gin San"".."

   Gin San menerima dan menyimpan cincin itu, kemudian terpaksa dia melepaskan karena janda itu merangkulnya dan seolah-olah tidak rela melepaskannya. Dia meninggalkan Giok Hong yang menangis tersedu-sedu dalam kamar, melangkah dengan cepat keluar dari dalam pondok di lereng bukit itu.

   Memang patut dikasihani seorang wanita seperti Giok Hong itu. Dilihat sepintas lalu dengan kaca mata kesusilaan yang oleh umum sudah ditentukan sebagai alat pengukur bagi seorang wanita, memang kelihatannya tidak patut dan tidak tahu malu apa yang di perbuat oleh janda itu. Namun, apa bila kita memandang keadaannya tanpa prasangka dan tanpa ketentuan pendapat yang kaku, kita dapat menarik napas sedih dan merasa kasihan. Giok Hong adalah seorang manusia biasa, seorang wanita yang sehat jasmaninya. Dan sebagai seorang wanita sehat yang usianya baru tigapuluh lima tahun, belum tua benar, maka amatlah wajar kalau dia masih amat membutuhkan cinta kasih seorang pria.

   Semenjak muda, ketika masih gadis, dia telah menderita patah hati karena cinta kasihnya terhadap Gan Beng Han bertepuk tangan sebelah. Kemudian, setelah dia menikah dengan pria lain dan penderitaannya mulai terobati, suaminya meninggal dunia dan dia ditinggalkan sendirian bersama puterinya. Umum boleh menganggap dia seorang janda yang kotor, yang gila pria, dan sebagainya. Namun, kalau kita wawas secara adil dan jujur, kotor atau jahatkah kalau seorang wanita mendambakan kasih sayang dan belaian mesra seorang pria?

   Bukanlah hal itu timbul dari naluri yang wajar, dari kebutuhan jasmani yang sehat? Pilihannya jatuh kepada Gin San, yang sepintas lalu nampak lucu dan mentertawakan karena pemuda itu jauh lebih muda dari padanya. Namun, dalam hal ini kesempatan dan kebetulan memainkan peranan penting sekali. Kebetulan dia berjumpa dengan Gin San, kebetulan pemudi ini adalah murid dari pria yang dicintanya, dan terbuka kesempatan nya untuk berdekatan dan merawat pemuda itu. Maka, anehkah kalau sampai janda itu jatuh cinta?

   Cinta asmara antara pria dan wanita memang merupakan hal yang penuh rahasia dan aneh. Daya tarik antara pria dan wanita bukan hanya terletak pada wajah yang cantik dan tampan, bukan hanya pada usia muda atau tua, bukan psda harta semata, namun daya tarik itu menyelinap di mana-mana. Mungkin saja seorang pria dan seorang wanita saling tertarik dan saling mencinta karena daya tarik yang terletak dalam watak masing-masing yang cocok. Mungkin juga karena kagum, karena iba, dan sebagainya. Cinta asmara antara pria dan wanita tidak mengenal usia, tidak mengenal agama, tidak mengenal bangsa atau golongan, tidak mengenal harta, kepandaian, kedudukan dan sebagainya. Cinta kasih antara manusia adalah perasaan kemanusiaan yang terindah dan paling agung.

   Ada juga rasa haru di dalam hati Gin San ketika dia meninggalkan pondok di lereng bukit itu. Bibi Giok Hong demikian baik kepadaku, pikirnya. Dan dia belum mampu membalas, bahkan kini mengecewakan hatinya, mendukakan hatinya dengan meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, dia harus pergi, tak mungkin dia tinggal terus di situ, tenggelam dalam pelukan janda itu Akan menjadi laki-laki apa macamnya dia kalau dia terus tinggal di sana?

   Cuaca cerah pagi itu dan Gin San melupakan semua renungannya, melanjutkan perjalanan dengan gembira dan ketika tangannya tanpa disadarinya memasuki saku bajunya, jari-jari tangannya bertemu dengan dua buah benda. Ditariknya dua benda itu keluar dan dipandangnya hiasan rambut teratai emas yang dihadiahkan Liang Hwi Nio kepadanya, dan cincin emas hadiah dari Yo Giok Hong tadi. Dia tersenyum, mengenangkan dua orang wanita itu dan membanding-bandingkan mereka. Keduanya sama cantik manis, sama menarik, memiliki keistimewaan sendiri-sendiri. Liang Hwi Nio masih muda dan bagaikan bunga sedang semerbak harum, delapanbelas tahun usianya, cantik dan terutama sekali lesung pipit itu membuat mulutnya amat manis menggairahkan. Dan janda itu, seorang wanita yang sudah matang, ciumannya berani dan merangsang panas, kecantikannya terutama terletak pada hidungnya yang mancung dan cuping hidungnya dapat bergerak halus kembang-kempis membayangkan perasaan hatinya.

   "Berhenti!"

   Gin San tersentak dari lamunannya dan memandang heran kepada dara yang menghadang di depannya dengan pedang di tangan itu.

   "Cin-moi (adik Cin)""..!"

   Gin San berseru heran melihat dara itu bersikap mengancam dengan pedangnya, namun masih nampak olehnya betapa dara ini kelihatan gagah dan cantik, kedua pipinya kemerahan dan terutama sekali matanya. Dara ini memiliki mata yang hebat! Lebih indah dari mata ibunya. Demikian jeli dan bening tajam, agak lebar denga kedua ujung kanan kiri meruncing ke atas seperti dilukis saja. Pemuda ini sudah tenggelam kedalam keindahan mata itu sehingga dia lupa lagi akan sikap aneh dari gadis ini.

   "Coa Gin San, aku sengaja menantimu di sini dan bersiaplah engkau untuk mati!"

   Gin San memandang dengan mata terbelalak heran. Selama tiga hari tiga malam ini Bi Cin juga bersikap ramah dan manis kepadanya, sungguhpun tidak pernah mesra seperti ibunya.

   "Kenapa?"

   Tanyanya bingung.

   "Kenapa aku harus mati?"

   "Untuk menebus kekurang ajaranmu! Engkau telah menghina ibuku!"

   Bi Cin sudah menerjang dengan pedangnya, menusuk dengan cepat dan gerakannya memang ringan sekali. Sejak kecil, dara ini sudah dilatih oleh ibunya bukan hanya dalam ilmu pengobatan, melainkan juga dalam ilmu silat sehingga dia tidak asing memegang dan mempermainkan sebatan pedang. Namun, tentu saja bagi Gin San, serangan itu sama sekali tidak ada artinya dan berturut-turut sampai lima kali dia selalu mengelak dari tusukan dan bacokan pedang.

   "Eh-eh eh, nanti dulu, adik Bi Cin! Nanti dulu dan terangkanlah, dalam hal apa aku kurang ajar dan menghina? Engkau dan ibumu selalu baik kepadaku bagaimana mungkin aku menghina ibumu?"

   Gin San berseru sambil berloncatan ke sana-sini, kemudian meloncat jauh ke belakang.

   Dara itu berdiri dengan dada bergelombang saking marahnya dan juga saking lelahnya telah melakukan serangan bertubi yang selalu mengenai tempat kosong itu. Matanya bersinar sinar seperti mengeluarkan titik api, indah sekali.

   "Coa Gin San, engkau sungguh seorang manusia yang rendah budi. Ibuku dengan hati suci dan tulus telah menolongmu, mengobatimu, akan tetapi engkau telah berani menghinanya."

   "Adik Bi Cin, harap jangan marah-marah dulu dan jelaskanlah, apa yang telah kulakukan sehingga engkau menuduh aku menghina ibumu?" "Engkau".. engkau telah".. merangkul dan menciuminya! Itulah penghinaan hebat dan engkau harus mampus!"

   Dara itu sudah menerjang lagi, kini lebih hebat dan nekat gerakannya.

   "Ahhh""!"

   Gin San berseru heran dan kaget, cepat dia mengelak lagi ke sana ke mari.

   Kiranya dara ini tadi telah mengintai! Dan menganggap bahwa dia menghina ibunya. Padahal, saling peluk cium itu dilakukan lebih dulu oleh bibi Giok Hong! Dan pula, mengapa peluk cium sukarela itu dianggap menghina? Agaknya dara ini masih sedemikian murninya sehingga tidak tahu bahwa peluk cium yang dilakukan oleh kedua fihak dengan sukarela sama sekali bukan penghinaan namanya, melainkan kemesraan yang timbul oleh pencurahan rasa sayang di dalam hati.

   "Dengarkan dulu penjelasanku"".!"

   Dia berusaha untuk menerangkan, akan tetapi dara itu menyerangnya kalang-kabut dan agaknya sukar untuk diajak bicara baik-baik. Maka Gin San lalu bergerak menyambut pedang itu dan sekali tangkap saja dia sudah merampas pedang itu, dibuangnya ke belakang dan sebelum Bi Cin tahu apa yang terjadi, dia telah dirangkul oleh Gin San.

   "Yang begini kau katakan menghina, Cin moi?"

   Bisiknya dan kedua tangannya mendekap tubuh dara itu. Bi Cin meronta dan kedua tangannya yang berada di belakang tubuh Gi San itu berusaha memukul dan menghantam akan tetapi tentu saja tidak terasa oleh Gin San yang memeluknya makin ketat.

   "Inikah yang kau katakan menghina?"

   Bisiknya lagi dan ketika Bi Cin meronta sekuatnya dia lalu menunduk dan mencium mulut Bi Cin. Dara itu meronta makin keras, kedua tangannya kini menjambak-jambak rambut Gin San. Akan tetapi pemuda itu tidak perduli dan ciumannya makin kuat.

   Naiklah sedu-sedan dari dada gadis itu dan tanpa disadarinya, kedua tangan yang tadinya menjambak rambut Gin San kini melepaskan rambut itu dan melingkari leher, merangkul pemuda itu. Ketika Gin San akhirnya melepaskan ciumannya dan memandang, ternyata dara itu memejamkan mata dan napasnya terengah-engah. Gin San mencium dua mata yang terpejam itu dengan lembut. Sepasang mata itu terbuka, terbelalak memandangnya.

   "Bukan main indahnya matamu, Cin-moi".!"

   Dia berbisik. Bi Cin tidak menjawab, hanya bibirnya yang masih menggigil oleh ciuman tadi bergerak-gerak, matanya seperti mata seekor kelinci kebingungan.

   "Apakah engkau menganggap ini penghinaan?"

   Kembali Gin San bertanya lirih.

   Bi Cin lalu mendekapkan mukanya di dada pemuda itu. Dengan suara bercampur isak gadis itu berbisik.

   "San-ko"". beginilah seharusnya"". beginilah yang kuinginkan semenjak kau datang"". akan tetapi mengapa engkau mencium ibuku? Hampir meledak rasa hatiku melihatnya tadi""."

   Gin San tersenyum, menunduk dan mencium rambut yang harum itu, lalu dipegangnya dagu itu, diangkatnya wajah cantik dengan sepasang mata bintang itu, diciumnya mata itu sehingga terpejam dan diciumnya lagi bibir merekah itu sampai lama.

   "Engkau anak nakal"""!"

   Gin San berbisik.

   "San-ko, kau bawalah aku pergi. Aku tak mau kembali ke rumah, aku ingin ikut bersamamu, koko""..!"

   Gin San melepaskan pelukannya dan melangkah mundur. Diloloskannya ikat pinggang perak dan dipatahkannya sebuah mata rantai,

   "Terimalah ini, Cin-moi. Sebagai tanda persahabatan kita. Kelak kita akan bertemu kembali, akan tetapi sekarang ini tidak mungkin aku mengajakmu pergi. Aku hanya minta tanda mata ini darimu untuk kenang-kenangan."

   Tangan kirinya bergerak ke arah kepala Bi Cin dan jari-jari tangannya telah merobek ujung pita rambut merah dari sutera itu.

   "Selamat tinggal, Cin-moi, engkau manis sekali!"

   Sekali meloncat Gin San sudah lenyap dari situ meninggalkan Bi Cin yang masih pening dimabok oleh ciuman-ciuman tadi.

   "San-koko""!"

   Akhirnya dia berseru mencari-cari dengan matanya lalu menangis ketika melihat pemuda itu telah lenyap. Dia memandang sebuah mata rantai perak di tangannya, menggenggamnya erat-erat lalu dengan langkah gontai dia kembali ke lereng bukit, setelah memungut kembali pedangnya.

   Gin San berlari cepat dan kadang kadang tersenyum. Sungguh aneh watak wanita, pikirnya. Tadinya Bi Cin menyerangnya mati-matian, dan baru dia tahu bahwa dara itu sebenarnya cemburu! Mengapa semua wanita yang selama ini dijumpainya menjadi luluh setelah dirayunya? Apakah semua wanita selalu ingin dirayu, ingin dicinta. ingin dimanja dan ingin diperhatikan oleh pria? Kembali Gin San tersenyum dan jari jari tangannya bermain-main dengan tiga macam benda yang diterimanya dari tiga orang wanita itu. Hiasan rambut teratai emas dari Hwi Nio, cincin dari Giok Hong, dan pita rambut yang diambilnya sendiri dari rambut Bi Cin.

   Perahu kecil itu bergoyang ke kanan kiri oleh keriput air yang bergelombang kecil digerakkan angin. Sunyi senyap di permukaan telaga itu, dan pagi masih berkabut, menghalangi pandang mata. Agaknya segala sesuatu di sekitar telaga itu masih tidur, kecuali dua orang yang di dalam perahu kecil sambil mencurahkan seluruh perhatian ke ujung tangkai pancing yang mereka pegang.

   Kakek itu sudah tua sekali, tentu sudah lebih delapanpuluh tahun usianya. Biarpun tubuhnya kurus, namun wajahnya masih nampak berseri dan sehat, dengan sepasang mata yang tenang namun bersinar tajam. Bajunya berwarna kuning dan potongannya longgar seperti jubah hwesio, rambutnya yang sudah tiga perempat bagian putih itu digelung ke atas dan diikat dengan pita kuning. Dengan wajah berseri dan mulut tersenyum dia memandangi air, dimana tali pancingnya bersambung dengan bayang tali itu di permukaan air.

   Di ujung yang berlawanan dari perahu duduk pula seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana pula seperti kakek itu. Pemuda ini usianya kurang lebih duapuluh tahun, tubuhnya sedang, wajahnya tampan dan sikapnya gagah, pandang matanya tajam penuh kesungguhan. Pemuda ini adalah Tan Sian Lun putera mendiang Tan Bun Hong dan mendiang Song Kim Bwee. Adapun kakek itu adai Siangkoan Lojin atau yang bernama Siangkoan Lee, kakek sakti yang suka merantau, yang lalu hidup sebagai petani atau nelayan, biarpun memiliki kesaktian tinggi namun tidak pernah mau menonjolkan nama sehingga di dunia kang-ouw, nama Siangkoan Lee tidak dikenal orang. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan, Sian Lun ditolong dan dibawa pergi oleh kakek itu ketika terjadi keributan di Kuil Ban-hok-tong, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Selama sepuluh tahun itu, dia digembleng dan dilatih oleh gurunya, bahkan gurunya yang menyayangnya itu telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada Sian-Lun.

   Melihat kakek dan pemuda itu di dalam perahu di atas telaga yang sunyi di pagi hari itu , tekun memancing ikan, orang akan menyangka bahwa mereka itu hanyalah dua orang nelayan biasa saja, atau dua orang yang mempunyai kegemaran memancing. Sama sekali tidak akan ada yang mengira bahwa mereka adalah guru dan murid yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

   Tiba-tiba Sian Lun menarik tangkai pancingnya dan seekor ikan terangkat dan menggelepar di dalam perahu. Seekor ikan yang cukup gemuk dan sebesar lengan tangan, dengan sisik berwarna putih seperti perak dan mata merah seperti permata. Sian Lun membebaskan mulut ikan dari pancingnya, sejenak memegang ikan yang menggelepar-gelepar itu, kagum akan keindahan warna sisik putih bersih dan mata merah itu, kemudian tiba-tiba dia melemparkan ikan itu kembali ke dalam telaga.

   "Cluppp"".."

   Ikan itu menyelam dan permukaan telaga tenang kembali.

   "Ha-ha-ha, kemarin engkau membebaskan kembali kelinci yang kau tangkap, sekarang kau membebaskan ikan yang terkena pancingmu, Sian Lun!"

   Kakek itu yang sejak tadi mengikuti gerak-gerik muridnya dengan sudut matanya, tertawa dan menegur.

   Sian Lun menundukkan mukanya, alisnya berkerut.

   "Suhu, aku kasihan sekali melihat ikan itu. Demikian indahnya, demikian hidup dan sehat, mengapa harus mati hanya untuk memenuhi selera mulut dan kebutuhan perutku?"

   Kakek itu tertawa bergelak, menancapkan tongkat pancingnya di perahu dan duduk mem-balikkan tubuhnya, menghadapi muridnya.

   "Itulah hidup! Hidup dan mati adalah dua hal yang saling isi mengisi, yang tidak pernah dapat dipisahkan. Tidak ada hidup kalau tidak ada mati. Bukan hidup namanya kalau tidak akan mati. Dan kematian itu datang dengan cara apa saja. Mengapa hal yang begitu saja merisaukan hatimu, Sian Lun?"

   "Saya sudah kehilangan selera saya untuk makan ikan, suhu, kalau untuk itu saya harus merusak keindahan dan kehidupan."

   Pemuda itu melemparkan tangkai pancingnya ke dalam perahu.

   Kembali kakek itu tertawa.

   "Aha, mengapa muridku menjadi begini lemah? Mengapa mengisi kehidupan dengan keluh dan keprihatinan? Muridku, aku teringat akan ucapan sang bijaksana Yang Cu di jaman dahulu. Beliau mengatakan bahwa tidak ada manusia hidup lebih dari seratus tahun, dan yang mencapai usia seratus tahun, di antara seribu belum tentu ada satu. Kalaupun ada, dia itu akan hidup sebagai seorang pikun, seperti kanak-kanak dan sudah tidak berdaya apa-apa. Setengah kehidupan ini dihamburkan untuk tidur, atau dihamburkan untuk hal-hal tidak berguna di siang harinya. Setengahnya lagi, manusia dihimpit oleh penderitaan, sakit, duka, kekecewaan, kematian, kehilangan, kegelisahan dan ketakutan. Hampir tidak ada waktu bagi manusia untuk hidup dalam keadaan damai dan tenteram tanpa digerogoti oleh kekhawatiran,"

   Sian Lun mendengarkan saja dengan penuh perhatian. Dia maklum betapa bijaksana gurunya ini dan betapa dalam semua kata-kata gurunya terkandung kebenaran mutlak.

   "Apakah artinya hidup manusia?"

   Kakek itu melanjutkan sambil memandang ke langit yang mulai disentuh cahaya kuning emas dan matahari pagi, seolah olah dia hendak bertanya kepada gumpalan-gumpalan awan yang berari lembut.

   "Kesenangan apakah yang terkandung dalam kehidupan? Apakah untuk menikmati keindahan dan kekayaan? Apakah untuk menikmati kemerduan suara dan keindahan warna-warni? Akan tetapi akan tiba saatnya bagi semua manusia di mana kecantikan dan kekayaan tidak lagi memenuhi kebutuhan hati, dan di mana suara hanya meniadi kebisingan bagi telinga, dan warna menjadi kemuakan bagi mata."

   Kembali kakek itu menarik napas panjang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum seolah-olah dia mentertawakan kehidupannya sendiri.

   "Apakah kita hidup ini hanya untuk berjaga-jaga dengan takut agar tidak melanggar hukum dan menderita hukumannya, dan kadang kadang bergerak terdorong oleh keinginan mendapatkan ganjaran atau nama besar? Kita hidup di dalam dunia gila, memperebutkan pujian hampa, mengkhayal bahwa nama besar akan abadi. Kita hidup terjepit dalam lorong sempit, dikuasai oleh hal-hal picik yang kita lihat dan dengar, tenggelam dalam prasangka-prasangka kita, melewati segala kebahagiaan hidup tanpa menyadari bahwa kita telah kehilangan segalanya. Tak pernah kita menikmati kesegaran anggur dari kebebasan. Kita hidup sebagai orang orang hukuman dalam penjara, tertimbun belenggu."

   Sian Lun maklum bahwa apa yang diucapkan oleh gurunya itu memang menjadi pegangan hidup gurunya. Gurunya tak pernah mengejar nama, tak pernah mengejar harta, tak perna mengejar kesenangan. Namun gurunya selalu gembira! Betapapun juga, dia sering kali termenung membayangkan betapa kosongnya kehidupan seperti yang dihayati oleh gurunya itu Betapa kosong tanpa arti.

   "Akan tetapi, suhu. Betapa mungkin kita hidup bebas dari segalanya di dunia ini, melepaskan diri dari ikatan-ikatan kemanusiaan? Betapa mungkin kita berdiam diri saja kalau menyaksikan ketidakadilan, betapa mungkin kita berpeluk tangan saja kalau menyaksikan kejahatan? Lalu apa gunanya saya bersusah payah mempelajari ilmu dari suhu selama ini? Mohon petunjuk, suhu."

   "Siang Lun, kebebasan berarti bebas dari segala cara, bebas dari segala aturan, bebas dari segala petunjuk. Apapun yang kaulakukan barulah bebas kalau beidasarkan naluri hatimu sendiri, tanpa tiru-tiru. tanpa pamrih memperoleh sesuatu, baik mengejar maupun menghindarkan hukuman."

   "Tapi, nama baik""""

   "Ha ha ha, persetan dengan nama baik Kalau engkau melakukan sesuatu dengan pamrih untuk memperoleh nama baik, maka apa yang kaulakukan itu adalah palsu dan kotor. Kebaikan kaunamakan kepada perbuatanmu itu, namun sesungguhnya itu hanyalah suatu cara untuk mendapatkan nama baik, jadi hanya pura pura dan palsu belaka. Apakah artinya nama baik? Selagi hidup, semua mahluk memang berbeda, akan tetapi dalam kematian mereka semua sama juga. Selagi hidup mereka itu bisa pintar atau bodoh, mulia atau hina, namun dalam kematian, mereka semua sama sama berbau, membusuk, hancur dan lenyap. Dalam kelahiran mereka sama, dalam kematianpun tiada bedanya, jadi kita semua ini sama sama pintar, sama-sama bodoh, sama-sama mulia dan sama sama hina.

   Ada yang usianya hanya sampai sepuluh tahun, ada yang mencapai seratus tahun, namun kesemuanya akhirnya mati juga. Orang suci yang agung mati seperti juga si dungu yang jahat. Di waktu hidup dinamakan raja-raja agung Yao dan Shun, namun setelah mati mereka itu hanyalah tulang-tulang membusuk. Di waktu hidup dinamakan raja-raja lalim Chieh dan Chou, namun setelah mati, mereka juga hanya tulang-tulang membusuk. Dan tulang-tulang membusuk dimanapun sama saja, siapa yang dapat mengenal

   dan membedakan mereka?"

   Bagi pendengaran Sian Lun yang masih berdarah muda, ucapan suhunya itu dianggapnya lemah tanpa semangat, seperti suara orang yang putus asa.

   "Lalu, apakah yang harus kita lakukan selagi hidup, suhu?"

   "Apa? Nikmatilah hidup selagi kehidupan ini milik kita! Mau mengail! Mengaillah Mau makan ikan? Makanlah! Kita tidak mempunyai waktu untuk memusingkan hal-hal sesudah mati."

   Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Akan tetapi, kalau kita hanya menurutkan suara hati, biasanya kita hanya akan mengejar kesenangan belaka, dan dari situ timbullah penyelewengan dan perbuatan yang jahat, suhu"

   Gurunya menyambar tangkai pancing dan seekor ikan menggelepar ke dalam perahu, ikan bersisik emas yang indah sekali.

   "Aha, jahat atau tidak, baik atau tidak hanyalah anggapan sepihak saja, muridku. Sedangkan kebencian, iri hati, ingin menang sendiri, datang dari si aku, yaitu pikiran yang ingin mengulang apa yang dianggap menyenangkan dan menolak apa yang dianggap tidak menyenangkan dari pengalaman yang lalu. Sudahlah, Sian Lun engkau akan mengerti sendiri kelak kalau engkau mau membuka mata dan telinga melihat kenyataan-kenyataan dalam kehidupan ini. Sekarang, hayo cepat panggang ikan itu selagi masih segar untuk sarapan pagi!"

   Sian Lun mentaati perintah suhunya. Melihat pemuda itu membersihkan ikan dengan wajah agak muram, Siangkoan Lojin berkata.

   "Hidup kita tiada bedanya dengan ikan ini, muridku. Selagi kita masih hidup, kematian selalu mengancam kita dari segala penjuru, dan tanpa kita ketahui, ada pula Tukang Pancing yang selalu mengincar nyawa kita tanpa pilih bulu. Siapa makan umpan, dia terkena pancing. Senang dan susah memang tak dapat dipisahkan, merupakan rangkaian yang tak terputuskan. Oleh karena itu, mengapa kita membiarkan diri dikuasai oleh senang dan susah yang sesungguhnya hanya merupakan permainan dari pikiran kita sendiri? Bergembiralah selagi hidup, seperti ikan-ikan dalam air itu karena siapa tahu, sekarang atau besok tiba giliran kita menjadi korban pancing!"

   Tak lama kemudian, guru dan murid itu sudah mulai dengan sarapan pagi mereka, nasi dengan daging ikan panggang yang sedap, dan terciumlah bau arak yang menambah selera. Mereka makan tanpa bicara, mencurahkan seluruh perhatian kepada apa yang mereka lakukan pada saat itu. Tiba-tiba perhatian mereka tertarik oleh suara orang yang nyaring menembus kesunyian pagi, walaupun bayangan orang yang bernyanyi itu belum dapat menembus kabut yang makin tebal oleh munculnya sinar matahari. Guru dan murid itu mengambil sikap tidak perduli, akan tetapi sesungguhnya mereka tertarik sekali karena suara orang itu berirama seperti membaca sajak.

   

Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini