Kisah Tiga Naga Sakti 26
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 26
Lam-ong merasa penasaran melihat serangan mautnya dihindarkan sedemikian mudahnya oleh lawan, akan tetapi dasar dia sangat sombong, maka pengelakan lawannya itu dianggapnya sebagai perasaan takut dari lawan menghadapi serangannya tadi. Maka diapun mengeluarkan teriakan keras dan menyerang lagi dengan cara yang lebih dahsyat lagi. Kini huncwenya yang merupakan senjata inti serangar Huncwe itu berubah menjadi sinar yang mengeluarkan suara berdesing menyambar ke arah kepala Siangkoan Lojin. Ketika kakek ini miringkan tubuh mengelak, huncwe itu dibalik dan ujungnya yang meruncing menotok ke arah leher, kemudian dibalik pula dan kepala huncwe menotok ke ulu hati. Serangan ini bertubi-tubi dan merupakan jurus yang amat banyak perkembangannya.
Namun kembali Siangkoan Lojin mengeluarkan kepandaian gin-kangnya sehingga dia dapat lolos dari jurus ini dengan mengelak ke sana ke mari lalu setelah terbuka kesempatan dia berkelebat mundur menjauhi.
"Lawanlah, jangan lari seperti pengecut!"
Lam ong berteriak dan menubruk lagi.
"Sudah tiga jurus, Lam-ong!"
Kata Siangkoan Lojin sambil cepat menghindarkanserangan itu dengan melesat ke kiri, Siangkoan Lojin menghitung serangan dengan asap tadi sebagai jurus pertama.
Akan tetapi Lam-ong agaknya sudah tidak sudi memperhatikan berapa banyaknya jurus yang dipergunakannya karena dia sudah menjadi marah dan penasaran sekali. Jurus demi jurus dikeluarkannya. Bukan hanya huncwe maut itu yang menyerang lawan, akan tetapi juga pukulan-pukulan maut tangan kirinya yang dilakukan dengan pengerahan sinkang yang amat kuat, dibantu pula oleh kedua kakinya yang melakukan tendangan-tendangan kilat. Namun, sampai sepuluh jurus banyaknya, Siangkoan Lojin dapat menghindarkan dirinya dengan mengelak ke sana-sini.
Jurus terakhir itu dilakukan dengan totokan pula, totokan dengan huncwe maut itu yang dibalik. Ujung yang biasa dimasukkan mulut itulah yang dipakai menotok dan sekali bergerak, ujung huncwe telah menotok ke arah tigabelas jalan darah yang berbahaya secara bertubi-tubi dan berantai! Agak repot jugalah Siangkoan Lojin mengelak, akan tetapi mengandalkan ginkangnya yang hebat, akhirnya kakek ini berhasil menghindarkan diri lalu meloncat ke belakang, sampai empat meter jauhnya dan tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut menghadap Lam-ong Oh Ging Siu!
"Lam-ong telah memberi petunjuk selama sepuluh jurus, aku tua bangka she Siangkoan merasa kagum dan berterima kasih. Sekarang maafkan kami berdua dan biarkan kami berdua pergi"".."
"Suhu, awas""..! I"
Tiba-tiba Sian Lu berseru nyaring.
Namun terlambat sudah. Serangan yang dilakukan oleh Lam-ong bukan main dahsyatnya, seperti kilat menyambar dia sudah menerjang dengan didahului oleh sinar huncwenya ke arah kepala Siangkoan Lojin yang sedang berlutut. Dan di dalam keadaan berlutut itu tentu saja kedudukan Siangkoan Lojin amat lemah dan memang sesungguhnya kakek sakti ini sama sekali tidak pernah menyangka bahwa lawan akan securang itu.
"Singgg"".."
Sinar kilat dari huncwe itu menyambar, mengarah ubun-ubun kepala Siangkoan Lojin.
"Syuuuttt"".. prakkkk! Dukkkk!"
Huncwe itu pecah berantakan dan tubuh Lam ong terlempar ke belakang, lalu terbanting sampai bergulingan. Dia dapat cepat meloncat berdiri, matanya terbelalak memandang tangan kanannya yang berdarah karena telapak tangan yang memegang huncwe itu robek ketika huncwenya bertemu dengan tangan lawan dan pecah berantakan. Siangkoan Lojin masih berlutut dan hal itulah yang membuat Lam-ong terkejut setengah mati karena dia tadi berhasil menghantam punggung lawan pada saat huncwenya ditangkis. Hantaman tangan kirinya itu hebat sekali, dilakukan dengan pengerahan sinkangnya, akan tetapi mengapa kakek sederhana yang dihantamnya itu seakan-akan tidak merasakan apa-apa? Demikian saktikah lawannya itu? Keringat dingin keluar dari leher dan muka Lam-ong ketika dia melihat kakek yang menjadi lawannya itu bangkit berdiri dengan amat gagahnya, mengepal kedua tinju dan memandang kepadanya dengan sepasang mata yang lembut dan senyum yang halus.
"Kau mau berkelahi? Majulah"".!"
Kata Siangkoan Lojin seperti kepada seorang bocah yang nakal. Gentarlah hati Lam-ong. Kakek yang sederhana itu, yang sama sekali tidak pernah dikenal namanya, bukan hanya telah menghancurkan senjatanya yang ampuh, akan tetapi juga dapat menahan pukulannya yang amat terkenal, yaitu pukulan dengan Ilmu Pek-see-ciang (Tangan Pasir Putih). Tahulah dia bahwa melawan terus berarti bunuh diri karena tingkat kepandaian kakek itu benar-benar sukar diukur lagi sampai di mana tingginya. Sebagai seorang tokoh atau datuk yang mengerti dan tahu diri, dia lalu menjura ke arah Siangkoan Lojin.
"Saudara terlampau merendah".. aku"..aku telah menerima pelajaran. Maafkan kami...".."
Lalu Lam-ong membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ, diikuti oleh semua anak buahnya yang menjadi gentar sehingga mereka ingin cepat-cepat pergi meninggalkan kakek sederhana yang ternyata luar biasa saktinya itu, Sian Lun berdiri memandang rombongan yang tergesa-gesa menjauhkan diri itu dengari hati panas dan kedua tangan dikepal, juga dengan rasa bangga karenasuhunya ternyata memperoleh kemenangan dengan amat mudah sungguhpun dia sendiri tadi juga melihat betapa suhunya menerima hantaman tangan kiri Lam-ong pada punggungnya. Karena suhunya kelihatan tidak apa-apa, maka hatinya merasa bangga sekali. Setelah rombongan itu lenyap di tikungan jalan, barulah dia menoleh kepada suhunya dan terkejutlah Sian Lun melihat kakek itu terhuyung dan menekan dadanya.
"Suhu""., suhu terluka"".?"
Sian Lun merangkul kakek itu yang kelihatan terengah engah dan wajahnya pucat sekali.
"Bawa aku"". pergi"". jauh dari sini..."""
Suhunya berkata lirih dan memejamkan matanya.
Dengan hati penuh kegelisahan Sian Lun lalu memondong tubuh kakek itu dan berlari cepat ke arah yang bertentangan dengan perginya rombongan Lam-ong tadi karena dia kini maklum bahwa tadi gurunya menahan luka dan kini suhunya khawatir kalau-kalau keadaannya diketahui oleh fihak lawan yang memang amat lihai. Mereka tadi pergi menuju ke selatan, maka kini Sian Lun mengambil jalan ke arah utara.
"Bawa"".. aku ke""..bukit sana itu"""
Gurunya berbisik sambil menuding ke depan, ke arah sebuah bukit yang masih amat jauh, kelihatan teraling awan dari situ. Sian Lun mengangguk dan mempergunakan kepandaiannya berlari cepat ke utara, ke arah bukit itu.
Karena kakek itu minta dengan suara terengah kepada muridnya agar jangan berhenti sebelum tiba di bukit itu, Sian Lun berlari terus sehari penuh dan baru pada senja hari itu dia tiba di puncak bukit. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya yang amat lelah akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak menghiraukan kelelahannya.
"Bagaimana keadaan suhu"".?"
Tanyanya dengan penuh khawatir ketika suhunya minta diturunkan di atas sebuah batu besar yang berada di puncak bukit. Akan tetapi sampai lama suhunya tidak menjawab, melainkan duduk bersila dan memandang ke arah barat dengan sepasang mata terbelalak, bersinar sinar dan wajahnya yang pucat itu berseri sungguhpun napasnya masih terengah-engah seperti tadi, bahkan nampak lebih lemah lagi.
"Indahnya"".. bukan main indahnya"..ah, aku ingin tinggal selamanya di tempat indah ini"".."
Sian Lun cepat mengarahkan pandang matanya ke depan, ke barat dan diapun tahu apa yang dikagumi oleh gurunya itu. Matahari terbenam! Peristiwa biasa saja yang setiap hari, setiap senja dapat dilihat oleh setiap manusia di jagad ini. Namun, betapa manusia pada umumnya sibuk dengan segala macam kesenangan dunia, dengan segala macam pengejaran nafsu sehingga manusia seakan-akan buta terhadap segala keindahan alam yang berada di depan mata itu! Betapa sedikitnya manusia yang masih dapat menikmati keindahan mata. hari terbenam di senja hari, matahari timbul di pagi hari, awan-awan putih berarak di langit biru, pohon-pohon, daun-daun dan bunga-bunga.
Semua keindahan itu lewat begitu saja, atau dilewati oleh mata begitu saja, bahkan tidak pernah nampak lagi karena sang mata mencari cari dan mengejar hal-hal yang tidak ada menurutkan dorongan nafsu yang timbul dari pikiran yang selalu mengejar hal-hal yang tidak atau belum ada. Karena sejak pagi sampai malam manusia selalu mengejar hal-hal yang tidak atau belum ada inilah maka manusia tidak lagi dapat melihat, tidak lagi dapat menikmati keindahan dari pada hal-hal yang ADA di depan hidung sendiri! Mengapa kita tidak pernah membuka semua panca indera, memandang segala yang ada tanpa mengejar hal-hal yang belum ada? Mengapa kita tidak pernah memperhatikan yang INI, yang BEGINI, akan tetapi selalu menjangkau yang ITU, yang BEGITU? Padahal segala keindahan, segala kebahagiaan berada dengan yang INI atau yang ADA, bukan terletak dalam yang ITU atau yang DIBAYANGKAN.
Bahagia adalah sekarang, saat ini. Kalau kebahagiaan itu kita pindahkan kepada nanti dan kelak, maka hal itu hanya merupakan kesenangan yang dibayang-bayangkan, yang diharap-harapkan, dan bersama dengan kesenangan itu pasti muncul nafsu keinginan bersama rangkaiannya yang tak kunjung pisah, yaitu kekecewaan, konflik dan kedukaan atau kesengsaraan karena di dalam pengejaran untuk mendapatkan kesenangan yang dibayang-bayangkan itulah lahirnya penyelewengan dan kemaksiatan.
"Suhu""""
"Sian Lun..... aku terluka parah oleh pukulan Lam-ong".. ah, dengarlah baik-baik sebelum terlambat, Sian Lun, karena aku akan menikmati keindahan ini, aku akan menjadi satu dengan keindahan ini, dengarlah sebelum terlambat"."
"Suhu"".!"
"Buanglah was was dan duka itu! Tidak patut kausesalkan gurumu bersatu dengan keindahan! Nah, dengar baik-baik. Baru saja aku membuktikan sendiri betapa lihainya seorang di antara Su Ong (Empat Raja). Lam-ong itu ternyata memiliki pukulan Pek-see-ciang yang amat lihai, kelihatannya tidak berbahaya akan tetapi getaran pukulannya merusak jantung, lebih hebat dari pada huncwe mautnya. Engkau harus berhati hati menghadapi Pek see-ciang dari Lam-ong, tidak boleh sekali-kali kaulawan keras dengan keras karena sinkangmu akan tergempur oleh getaran yang mengguncangkan.
Masih ada tiga orang lagi raja, yaitu Tung-ong (Raja Timur), berhati-hatilah engkau terhadap pukulan Kim-kong-ciang dari Tung-ong, kemudian Ilmu Tendangan Kaki Terbang dari See-ong, dan juga engkau harus berhati-hati terhadap Ilmu Tiat po-san (Ilm Kebal Baju Besi) dan Ban-seng-sin-po (Langkah Sakti Selaksa Bintang) dari Pak ong (Raja Utara)!"
"Suhu""yang terpenting adalah kesembuhan suhu, biarkan teecu (murid) membantu suhu memulihkan kesehatan"".."
Sian Lun meraba punggung suhunya, akan tetapi dengan halus kakek itu menyingkirkan tangan muridnya.
"Tidak ada gunanya"".. aku ingin bersatu dengan kendahan ini. Lihat, betapa indahnya matahari terbenam di barat itu, muridku"".. ah, sinarnya seperti langit sedang terbakar""
Dan dunia memang terbakar selama kejahatan dan pemberontakan merajalela, kau harus bantu menenteramkan negara, Sian Lun. Kau harus membantu pemerintah menghalau semua pengacau""..kau berjanjilah, muridku....."
Sian Lun merasa betapa jantungnya seperti diremas. Dia merasakan sesuatu yang tidak wajar dan aneh, dia mengerti bahwa suhunya sedang bersiap meninggalkannya untuk selamanya.
"Perasaan pribadi harus dikesampingkan"., yang penting adalah menegakkan keadilan dan tenenteramkan kehidupan rakyat"".. kau ingatlah baik baik, Sian Lun"". nah, jangan ganggu aku lagi"".. aku hendak menyatukan diri dengan keindahan ini"".."
Kakek itu lalu bersedakap dan memejamkan mata sejenak, kemudian membuka mata memandang ke barat, tidak bergerak-gerak lagi.
"Suhu..."!"
Sian Lun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhunya, di dekat batu di mana suhunya duduk bersila dan bersedakap, dengan sepasang mata memandang matahari tenggelam di barat, akan tetapi mata itu sudah tidak ada cahayanya lagi karena tubuh itu sudah ditinggalkan nyawanya.
"Suhu"".!"
Sian Lun menangis, akan tetapi terngiang di telinganya ucapan suhunya.
""".. jangan ganggu aku lagi"""
Maka diapun tidak jadi menubruk suhunya. Dia menahan tangis lalu memeriksa denyut nadi dan detik jantung suhunya. Setelah merasa yakin bahwa suhunya memang telah meninggal dunia dia lalu duduk berlutut di depan suhunya dia tenggelamdalam Samadhi untuk menjaga, berkabung dan "mengantar"
Arwah suhunya agar mendapat "tempat"
Yang baik. Semalam suntuk dia duduk bersila, tenggelam dalam keheningan yang syahdu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Lun sadar dari samadhinya. Sadar dari samadhi hanyalah menjadi istilah kata belaka, karena sesungguhnya samadhi adalah keadaan sesadar-sadarnya, keadaan waspada dalam keheningan tanpa pamrih, tanpa si aku, melainkan kosong dan bebas. Pagi itu cerah sekali, burung-burung berkicau amat indahnya di tengah-tengah semilir angin pagi yang bercanda dengan ujung-ujung daun pohon, mengusir embun pagi yang meninggalkan butir butiran air seperti mutiara di setiap ujung daun, berkilau-kilauan tertimpa sinar mau hari muda yang hangat dan keemasan. Betapa indahnya!
Sian Lun terkejut bukan main di kala hatinya berbisik "betapa indahnya"
Itu! Dia ingat dan menengok ke arah tubuh bersila di atas batu yang kaku, sekaku tubuh itu sendiri. Mengapa dia tidak berduka? Mengapa dia dapat mengecap keindahan? Apakah duka ilu? Apakah keindahan itu? Adakah keindahan dalam duka? Adakah duka dalam keindahan Tak mungkin! Duka hanya berada dalam fikiran, dalam ingatan, dalam kenangan! Duka pasti timbul kalau pikiran mengukur dan membandingkan, kalau pikiran beranggapan bahwa keadaan tidaklah seperti yang dikehendakinya sehingga mengecewakan dan timbullah duka. Kalau pikiran tidak sibuk, tidak bekerja, seperti keadaan dirinya beberapa detik yang laku tadi, maka keindahan terasa sedemikian nyata meresap ke dalam diri lahir batin, ke jantung kalbu, terasa sampai ke ujung-ujung rambut. Akan tetapi begitu pikiran bekerja, sibuk mengingat akan kematian gurunya, betapa ditinggal seorang diri oleh seorang yang dihormati dan dikasihinya, mengingat betapa kematian gurunya karena luka pukulan orang, lenyap pulalah segala keindahan agung tadi!
"Aku ingin bersatu dengan keindahan ini....."
Suara ini terngiang di telingannya dan Sian Lun mengangkat mukanya memandang ke atas. Sudahkah gurunya bersatu dengan awan yang berarak di langit itu? Bersatu dengan sinar matahari pagi yang kuning keemasan dan penuh suka cita itu? Bersatu dalam suara burung-burung dan hembusan angin di antara daun-daun? Bersatu dalam kemilau butiran-butiran mutiara embun di ujung daun-daun?
Hari telah siang dan sinar matahari yang terik seolah-olah ikut membakar kayu-kayu dan daun-daun yang menguruk tubuh tak bernyawa dan merupakan onggokan nyala api yang berkobar itu. Sian Lun berlutut tak jauh dari situ dan memandang jenazah gurunya yang berkobar dalam tumpukan kayu yang dibakarnya, sesuai dengan pesan gurunya dahulu.
"Aku ingin badan tua rusak ini habis menjadi abu kalau aku sudah mati, Sian Lun. Aku ingin dilupakan bahwa Siangkoan Lee pernah hidup sebagai seorang manusia di dunia ini. Kalau keadaan mengijinkan, muridku, kelak kaubakarlah jenazahku dan taburkan abuku di atas bukit, biar menjadi pupuk bagimu."
Dan kini dia melihat jenazah gurunya terbakar, mendengarkan suara api makan kayu dan tubuh tanpa nyawa itu, mendengar ledakan ledakan kecil dan melihat kaki tangan jenazah itu mencuat ke sana-sini ketika dimakan api. Ditambahnya kayu lagi setiap kali api mengecil dan api bernyala terus sampai setengah hari lamanya dan menjelang senja, barulah api itu padam karena tidak ditambah kayu lagi. Sian Lun mengumpulkan abu jenazah gurunya dengan menggunakan sehelai baju luarnya, kemudian dengan hati-hati dia membawa abu jenazah itu berjalan perlahan ke puncak bakit. Dia berdiri di tepi tebing yang curam, menghadap ke barat dan menanti pada saat matahari terbenam, saat gurunya menikmati matahari terbenam pada kemarin harinya.
Ketika Sian Lun berdiri menghadap ke barat sambil membawa buntalan abu jenazah itu, nampaklah oleh dia segala kebesaran alam di bawah kakinya dan matahari terbenam menciptakan pemandangan yang demikian menakjubkan. Tidak ada seorangpun seniman sanggup melukis keindahan seperti itu, dan tidak ada seorangpun seniman sanggup menceritakan keindahan seperti itu. Setiap batang pohon, setiap gumpal awan, setiap cercah sinar, setiap warna, setiap bentuk, merupakan serangkaian syair tersendiri, memiliki keindahan tersendiri yang tercakup dalam keindahan agung itu, dalam keheningan agung, dalam kesatuan ajaib itu. Dirinya sendiri merupakan bagian kecil yang tak terpisahkan dari kesatuan itu.
Begitu indah, begitu mengharukan sehingga ketika Sian Lun mulai menaburkan abu jenazah yang bertebaran terbawa angin senja, tak terasa lagi air matanya jatuh berderai melalui pipinya. Bukan air mata duka karena kematian gurunya, bukan air mata duka karena iba kepada diri sendiri, melainkan air mata keharuan yang timbul karena cinta kasih yang terasa benar dari ujung rambut sampai ke ujung jari kaki, cinta kasih teramat agung yang melenyapkaii batas batas antara dia dan abu jenazah, antara dia dan sinar lembayung matahari senja, antara dia dan pohon, antara dia dan rumput-rumput, antara dia dan Tuhan!
Abu jenazah telah habis ditebarkannya, Dunia telah berwarna kelabu dan langit di barat kehilangan tata warnanya, malam mulai tiba. Sian Lun menggerakkan kakinya melangkah menuruni puncak bukit.
"Selamat tinggal suhu".."
Bisiknya. Akan tetapi dia rnerasakan betapa janggalnya bisikannya itu. Siapakah yang meninggalkan? Siapa yang ditinggalkan! Perlukah yang hidup berkabung untuk yang mati? Perlukah yang hidup bersedih untuk yang mati? Ataukah tidak sebaliknya, yang maju mungkin merasa sedih melihat yang hidup yang masih harus terombang-ambing gelombang kehidupan antara suka dan duka? Yang masih harus tercepit dan terhimpit antara tawa dan tangis? Sian Lun tak dapat menjawabnya. Dengan muka ditundukkan pemuda ini menuruni bukit dan baru terasa olehnya betapa perutnya lapar sekali.
Dua hari dua malam dia tidak pernah makan, tidak pernah minum, tidak pernah tidur. Jasmaninya menuntut, perutnya minta diisi, urat-uratnya minta diistirahatkan, matanya minta ditidurkan. Suhunya tidak lagi dituntut kebutuhan jasmani seperti dia! Sian Lun berjalan dengan kaki dan hati ringan. Selama beberapa hari ini dia telah melakukan perjalanan seorang diri. Dia tidak membiarkan dirinya terbenam kedukaan oleh kematian gurunya. Gurunya telah tiada. Habis, tidak ada manfaatnya untuk menyesalkan itu. Dunia terbentang luas di depannya. Dia masih muda. Perjalanan hidup masih jauh. Dia harus kembali ke Cin-an, ke rumah paman dan bibinya. Dia tersenyum sendiri kalau membayangkan betapa paman dan bibinya akan girang luar biasa melihat dia datang kembali dalam kadaan sehat dan selamat.
Dan kedua orang tua itu tentu akan merasa bangga sekali kalau mendengar betapa dia telah mewarisi ilmu kepandaian silat yang tinggi dari Siangkoan Lojin yang terhitung masih paman kakek guru dari paman dan bibinya! Jadi, kalau dihitung menurut tingkat perguruan, dia masih merupakan paman guru dari paman dan bibinya! Sian Lun tersenyum mengingat akan lucunya susunan tingkat ini. Guru dari paman dan bibinya, juga dari mendiang ayahnya, adalah Lui Sian Lojin, dan Lui Sian Lojin ini adalah murid dari Bu Eng Lojin, suheng dari gurunya. Gurunya, mendiang Siangkoan Lojin itu sesungguhnya adalah kakek buyut gurunya!
Makin gembira hatinya kalau dia teringat kepada Ling Ling. Sian Lun menahan langkahnya dan termenung, terheran-heran ketika mendapat kenyataan betapa jantungnya berdebar tegang dan mukanya terasa panas ketika dia mengingat Ling Ling! Anak perempuan itu, adik misannya itu, kini tentu telah menjadi seorang gadis dewasa! Hanya selisih dua tahun usia mereka, dan dia kini telah berusia duapuluh tahun. Ling Ling kini tentu telah menjadi seorang dara berusia delapanbelas tahun. Sukar dia membayangkan bagaimana akan sikap dara itu kalau bertemu dengan dia. Dan Gin San! Sian Lun mengerutkan alis ketika mengingat anak itu, ada rasa gembira dan juga rasa khawatir. Teringat akan Gin San, maka teringat pula dia akan kenakalan dan kelucuan anak yang menjadi murid paman dan bibinya itu, akan tetapi dia teringat pula akan keadaan Gin San yang terancam bahaya ketika anak itu terlibat dalam kerusuhan yang terjadi di Kuil Ban hok-tong di Cin-an. Apakah anak itu dapat tertolong? Tentu sekarang juga sudah menjadi seorang pemuda dewasa, seperti dia karena usia mereka memang sebaya.
Kenangan di masa kecil memang selalu menimbulkan perasaan gembira dan menimbulkan gairah untuk melihat kembali tempat tempat bermain kita di waktu masih kecil. Demikian pula dengan Sian Lun. Wajahnya berseri dan kegembiraan menyelubungi hatinya yang penuh harapan untuk dapat bertemu kembali dengan paman dan bibinya, dengan Gin San, bahkan dengan para pelayan pamannya yang kini teringat olehnya seorang demi seorang. Bukan mereka saja, bahkan dia teringat akan kerbau-kerbau milik pamannya yang dulu sering di-gembala oleh Gin San dan dia, terutama sekali Si Belang yang menjadi kerbau kesayangannya.
Sian Lun berjalan seenaknya di jalan raya yang kasar itu, jalan yang cukup lebar menuju ke kota Sin-yang. Enak berjalan tak tergesa-gesa melalui hutan kecil yang teduh itu, yang melindungi orang dari sengatan terik matahari siang itu. Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara orang orang dari belakang dan dia berhenti di tepi jalan, membiarkan serombongan orang lewat. Mereka itu terdiri dari duapuluh lebih orang yang kesemuanya melakukan perjalanan cepat dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi karena mereka mempergunakan ilmu lari cepat tanpa menghiraukan Sian Lun yang berdiri dengan heran di tepi jalan.
Timbul perasaan heran dan curiga di dalam hati pemuda itu karena rombongan ini selain terdiri dari orang-orang yang tentu pandai ilmu silat, juga sebagian dari mereka mengenakan pakaian seperti tosu atau pendeta. Dan terutama sekali, paling depan berjalan dengan langkah lebar seorang yang kelihatan asing, bertubuh besar dan sikapnya gagah, langkahnya seperti seekor harimau berjalan. Orang ini melirik ke arah Sian Lun, akan tetapi seperti yang lain lain, dia juga tidak menaruh perhatian kepadu pemuda berpakaian sederhana seperti seorang nelayan atau petani itu.
Setelah rombongan itu lewat, Sian Lun menarik napas panjang. Benar kata mendiang gurunya bahwa di dunia ini banyak sekali orang pandai, namun sayangnya, kepandaian silat yang dimiliki orang membuat si pemilik kepandaian itu menjadi pelaku-pelaku kekerasan yang mengandalkan kepandaiannya untuk menindas orang lain dan untuk mencari kemenangan bagi diri sendiri. Apakah rombongan orang-orang yang agaknya dipimpin oleh para pendeta itupun hendak menggunakan kepandaian mereka untuk melakukan kekerasan terhadap golongan atau orang lain? Ah, betapa ganjilnya mendengar ada pendeta melakukan kekerasan terhadap orang lain. Akan tetapi, bukankah kerusuhan di Kuil Ban-hok-tong dahulu itupun merupakan kekerasan antara pendeta-pendeta? Dan apa kata suhunya tentang kependetaan dan kekerasan?
"Kebanyakan para pendeta itu adalah orang-orang yang menyamakan diri dengan kependetaan mereka, seperti orang-orang yang mengikatkan diri dengan kekayaan, kedudukan, nama besar, dan sebagainya. Kalau kependetaan mereka terusik, mereka tentu tidak segan-segan untuk mempergunakan kekerasan, melindungi kependetaannya seperti orang melindungi harta bendanya atau kedudukannya dengan taruhan nyawa, tidak segan-segan membunuh manusia lain untuk mempertahankan apa yang mengikat mereka, yang dianggap sebagai sumber kesenangan oleh mereka."
Dapatkah kita hidup tanpa ikatan? Dapatkah kita bebas dan terlepas dari segala sesuatu yang kita samakan seperti diri kita sendiri? Seorang yang merasa dirinya baik tentu merupakan orang yang ingin dianggap baik dan kalau sekali waktu kebaikannya itu terusik, kalau kebaikannya tidak diakui, tentu timbul kecewa dan marah di dalam hatinya. Seseorang yang merasa dirinya benar tentu akan bersikap keras kalau kebenarannya itu disangkal orang lain. Karena orang seperti itu telah mengikatkan diri dengan apa yang dianggapnya kebaikan dan kebenaran tu, maka kalau kebaikannya dan kebenarannya itu diganggu, dia akan marah.
Belum lama Sian Lun berjalan sambil termenung semenjak lewatnya rombongan orang orang tadi tiba-tiba dia berhenti lagi karena mendengar suara derap kaki kuda dari belakang. Dia berdiri di tepi jalan dan memandang. Kini dia melihat sepasukan tentara berkuda, dipimpin oleh seorang perwira muda yang amat gagah. Perwira ini menunggang kuda besar, berjalan di depan dengan wajah berseri dan sinar mata penuh semangat. Tubuhnya sedang namun tegap, usianya kurang lebih duapuluh lima tahun, wajahnya kemerahan karena sengatan terik matahari,alisnya tebal berbentuk golok, pakaiannya gemerlapan dan di pinggangnya tergantung pedang. Gagah sekali perwira ini, wajah dan sikapnya membayangkan kejantanan yang menimbulkan rasa kagum dalam hati Sian Lun.
Rombongan pasukan ini terdiri dari tiga puluh orang perajurit dan di tengah-tengah rombongan ini terdapat duabelas orang tawanan yang dinaikkan dalam sebuah kereta tak beratap, ditarik oleh empat ekor kuda yang dikusiri seorang perajurit. Kedua tangan para tawanan itu dibelenggu dan mereka semua duduk di dalam kereta, tubuh mereka bergoyang goyang ketika kereta itu berguncang di atas jalan yang kasar. Melihat Sian Lun berdiri, seorang diri di tepi jalan, perwira itu mengangkat tangan kanan ke atas dan rombongan itupun berhenti. Debu mengepul tinggi dan Sian Lun mendengar suara perwira itu yang terdengar nyaring dan penuh wibawa,
"Kita beristirahat di sini, semua boleh beristirahat di tempat teduh. Beri makan dan minum secukupnya kepada para tawanan, akan tetapi jaga yang ketat agar jangan sampai timbul kesempatan mereka membuat kacau!"
Para perajurit itu nampak gembira sekali memperoleh kesempatan istirahat itu dan Sian Lun melihat betapa para perajurit yang membagi makanan dan minuman kepada para tawanan itu bersikap baik dan cermat, para tawanan itu diberi makanan yang cukup banyak dan minuman yang secukupnya pula. Bahkan kusir kereta menghentikan kereta itu di tempat teduh sehingga para tawanan itupun merasa enak. Penglihatan ini merupakan hal yang cukup ganjil karena biasanya, para perajurit tentu bersikap keras kepada para tawanannya. Agaknya hal itu adalah berkat sikap perwira yang menarik itu.
Kalau para perajurit mulai makan dan minum dari perbekalan mereka, perwira itu sendiri hanya mengeluarkan seguci arak dan minum dari bibir guci setelah turun dari atas kuda. Kemudian dia menoleh ke arah Sian Lun yang masih berdiri dan dengan langkah ringan dan lebar perwira itu menghampiri Sian Lun! Melihat wajah perwira itu berseri dan ada senyum di bibirnya, Sian Lun cepat menjura dengan hormat
"Sobat, apakah engkau melakukan perjalanan seorang diri saja?"
Perwira itu bertanya sambil duduk di atas rumput di tempat teduh itu. Sian Lun mengangguk tanpa menjawab.
"Mari kita duduk bercakap-cakap, sobat. Maukah engkau minum arak? Arakku ini baik sekali, arak Kang lam yang sudah cukup tua usianya, segar dan manis tapi tidak terlalu keras "
"Terima kasih, engkau baik sekali, ciangkun,"
Jawab Sian Lun dan ketika dia duduk di atas rumput, perwira itu menyodorkan guci araknya kepada Sian Lun. Sian Lun menerimanya dan menjadi bingung karena dia tidak mempunyai cawan untuk minum.
"Mana"".. mana cawannya?"
Dia bertanya agak sungkan.
"Ha-ha, orang-orang dalam perjalanan seperti kita, mana perlu peralatan makan minum selengkapnya? Minum arak di dalam hutan, langsung dari guci, enak sekali. Minumlah!"
Sian Lun memandang kagum kepada orang di depannya itu. Seorang perwira muda yang gagah, akan tetapi sungguh memiliki kerendahan hati, sikap bersahabat dan kejujuran yang mengagumkan.
"Terima kasih!"
Katanya dan diapun tanpa ragu-ragu lagi lalu menenggak arak itu langsung dari bibir guci. Memang enak sekali arak itu dan Sian Lun yang sudah biasa minum arak bersama gurunya mengenal arak baik.
"Hemm, enak sekali arakmu, ciangkun,"
Katanya mengembalikan guci.
Perwira itu tersenyum dan memandang wajah Sian Lun penuh perhatian. Tiba-tiba dia berkata.
"Mau makan bersama kami? Makanan sederhana tapi cukup menyenangkan perut."
Sian Lun tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Terima kasih, ciangkun, aku tidak merasa lapar."
"Ha-ha, hanya minum kalau haus, hanya makan kalau lapar, dan hanya tidur kalau mengantuk, itulah pendirian seorang gagah! Aku ini tidak lapar, hanya haus. Eh, sobat, engkau hendak pergi ke mana, kalau aku boleh bertanya?
Bukan main perwira ini, pikir Sian Lun penuh kagum. Begitu polos dan jujur, juga sikap yang terbuka itu sama sekali tidak pura-pura, dan orang ini sangat berbeda dengan para perwira lain. Biasanya, seorang perajurit yang telah memiliki pangkat sedikit saja, sikapnya lalu angkuh dan tinggi hati,
(Lanjut ke Jilid 27)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 27
bertindak terhadap rakyat seolah-olah dia yang menjadi raja. Akan tetapi perwira ini dapat menghargai orang, sikap yang amat menyenangkan.
Maka dengan jujur diapun menjawab.
"Aku hendak pergi ke utara"".."
Sebelum dia sempat menyebut nama koti Cin-an, perwira itu sudah mendahului dan memotong kata katanya.
"Bagus, kamipun hendak ke kota raja! Ah, perjalanan yang amat jauh, apa lagi membawa-bawa tawanan penting, sungguh sukar dan banyak rintangan."
Lega rasa hati Sian Lun karena dia tidak usah bercerita tentang dirinya, maka mendengar ucapan perwira itu, dia bertanya, tidak ragu-ragu lagi karena perwira itu yang lebih dulu bicara tentang tawanan.
"Siapakah mereka itu dan mengapa ditawan?"
Perwira itu menoleh ke arah kereta di mana para tawanan masih makan dengan sikap diam, lalu dia menghadapi Sian Lun kembali sambil menarik napas panjang.
"Aahh mereka itu sebenarnya bukanlah penjahat-penjahat biasa, akan tetapi perbuatan mereka malah lebih berbahaya dari pada penjahat-penjahat yang paling kejam.
Penjahat-penjahat hanya membunuh orang-orang tertentu yang mereka musuhi, hanya membakar rumah-rumah tertentu atau mengacau dusun-dusun tertentu. Akan tetapi orang-orang itu biarpun mereka sendiri bukan perampok dan penjahat, mereka itu dapat membunuh ratusan ribu nyawa, membakar dan mengacau seluruh negara."
"Eh, apakah yang mereka lakukan?"
Sian Lun terkejut dan menoleh ke arah para tawanan itu dengan pandang mata penuh selidik. Baru sekarang dia melihat bahwa di antara mereka itu terdapat dua orang yang berpakaian seperti pendeta tosu.
"Mereka adalah pemberontak-pemberontak! Mereka membenci pemerintah dan mereka menghasut rakyat untuk memberontak. Mereka akan dapat membakar api perang saudara yang mengerikan kalau mereka tidak cepat-cepat dicegah. Dan betapa banyaknya terjadi aksi-aksi pemberontakan seperti itu semenjak sepuluh tahun yang lalu, semenjak peristiwa di Cin-an"""
"Peristiwa di Cin-an? Apakah itu, ciangkun?"
Perwira itu tersenyum pahit.
"Sepuluh tahun yang lalu, ketika itu aku masih dalam pendidikan perajurit, di Cin-an terjadi huru-hara ketika mendiang Kaisar Beng-ong memerintahkan perarakan benda suci lewat di kota itu. Dalam peristiwa itu, nama perkumpulan Im-yang-kauw dan Beng-kauw terlibat, dan semenjak peristiwa itulah, maka selama sepuluh tahun ini terjadi serangkaian peristiwa yang sifatnya menentang pemerintah. Syukur, setelah kaisar diganti oleh kaisar yang sekarang, yaitu Kaisar Su Tiong, putera kaisar yang telah meninggal dunia, sasterawan pahlawan Han Gi telah dipanggil dari tempat pembuangannya dan oleh kaisar beliau diangkat menjadi Penasihat Angkatan Perang, pengangkatan inimendatangkan banyak kemajuan karena beliau telah mulai dengan operasi ke dalam, yaitu membersihkan angkatan perang dari oknum-oknum yang kotor dan mengangkat orang-orang muda yang masih bersih dan jujur menjadi panglima panglima dan perwira perwira. Dengan angkatan perang yang pulih kekuatannya, maka negara menjadi kuat kembali dan kaum pemberontak mudah ditundukkan, bukan hanya dengan senjata seperti yang menjadi politik Menteri Han Gi, akan tetapi terutama dengan nasihat dan bujukan dan sikap baik."
Sian Lun mengangguk-angguk dan merasa kagum. Mengertilah dia kini mengapa perwira muda ini dan anak buahnya bersikap lunak dan baik sekali terhadap para tawanan itu, padahal tawanan-tawanan itu adalah pemberontak-pemberontak yang biasanya amat dibenci. Kalau saja perwira ini tahu bahwa apa yang diceritakannya tadi, peristiwa di Cin-an, adalah peristiwa di mana dia sendiri terlibat ketika dia masih berusia sepuluh tahun! Akan tetapi Sian Lun tidak mau bercerita tentang dirinya Dia makin suka kepada perwira itu dan makin tertarik hatinya. Bukankah suhunya dalam pesan terakhirnya juga menasehatkan dia untuk membantu pemerintah menenteramkan negara? Bukankah suhunya juga mengatakan bahwa dunia sedang terbakar selama kejahatan dan pemberontakan merajalela?
"Aih, aku telah bicara banyak. Entah mengapa, aku tertarik kepadamu, sobat, dan aku percaya kepadamu. Tidakkah sepatutnya kalau kita berkenalan? Aku she Ong, bernama Gi."
"Ong ciangkun sungguh baik dan ramah. Namaku adalah Tan Sian Lun, dan karena keramahanmu itu, selayaknya aku peringatkan kepadamu, Ong-ciangkun, bahwa mungkin sekali perjalananmu akan menemui halangan di depan situ."
"Eh, apa maksudmu, Tan-heng?"
"Belum lama ini lewat serombongan orang yang mencurigakan, mereka semua berlari cepat seperti terbang, jumlah mereka duapuluh orang lebih dan kulihat di antara mereka terdapat orang-orang yang berpakaian pendeta seperti dua orang di antara para tawananmu itu."
Mendengar ini, seketika wajah Ong-ciangkun berubah, alisnya yang berbentuk golok itu berkerut. Dia meloncat berdiri dan meraba gagang pedangnya, mengangkat tangan kanan ke atas dan berseru kepada anak buahnya.
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siaaapp! Kita berangkat sekarang melanjutkan perjalanan!"
Selagi para perajurit itu sibuk dan berkemas, perwira itu berkata kepada Sian Lun.
"Terima kasih, Tan-heng. Dan mengingat bahwa tujuan kita sama, yaitu ke utara, dan engkau melakukan perjalanan sendirian saja sehingga tidak aman bagimu, bagaimana kalau kita melakukan perjalanan bersama?"
Sian Lun tersenyum dan menggeleng kepala.
"Terima kasih, ciangkun. Aku sudah biasa melakukan perjalanan sendirian saja, aku tidak mau merepotkanmu yang sudah berat oleh tugasmu itu. Selamat jalan,"
Ong-ciangkun mengangkat pundaknya.
"Sayang, aku suka sekali bicara denganmu, saudara Tan. Nah, sampai jumpa!"
Dia lalu meloncat ke atas pelana kudanya yang sudah dituntun datang oleh seorang perajurit, kemudian berderaplah rombongan perajurit berkuda itu dipimpin oleh perwira muda she Ong yang gagah perkasa, dan kepala para tawanan tergoyang-goyang di atas kereta tawanan ketika kereta itu mulai bergerak di atas jalan yang kasar.
Setelah derap kaki kuda itu tak terdengar lagi lama setelah rombongan itu menghilang di dalam hutan, Sian Lun termenung. Bagaimana kalau rombongan Ong-ciangkun itu dihadang dan diserang oleh rombongan terdahulu? Dia membayangkan Ong-ciangkun yang ramah dan gagah, teringat kembali akan ceritanya dan teringat pula akan pesan mendiang suhunya akan akhirnya Sian Lun berdiri dan menyambar buntalan pakaiannya lalu berjalan cepat menyusul rombongan pasukan Ong-ciangkun.
Tadinya, dia masih merasa segan untuk membantu pasukan pemerintah. Bukankah menurut cerita paman dan bibinya, ayah kandungnya, dan juga ibu kandungnya, semua tewas oleh pasukan pemerintah? Bukankah menurut cerita mereka, ayahnya dahulu adalah seorang gagah perkasa yang menentang pembesar pemerintah yang lalim dan gugur dalam perjuangannya itu? Akan tetapi, kini dia melihat bahwa tidak semua pembesar jahat dan lalim, buktinya Menteri Han Gi demikian dikagumi dan dipuja oleh Ong-ciangkun, dan perwira muda she Ong itu sendiri jelas merupakan seorang pejabat yang amat bijaksana dan gagah. Suhunya berpesan pula agar dia membantu pemerintah untuk menenteramkan kehidupan rakyat, menentang kejahatan dan pemberontakan.
Apa kata suhunya dalam pesan terakhir itu? "Perasaan pribadi harus dikesampingkan, yang penting adalah menegakkan keadilan dan menenteramkan kehidupan rakyat."
Sekarang apakah karena ayah bundanya tewas di tangan seorang pembesar, dia harus memusuhi semua pembesar di dunia ini? Gila kalau begitu! Ayah bundanya tewas di tangan manusia, apakah dia harus memusuhi semua manusia pula? Makin gila lagi! Tidak, dia akan menentang siapa saja yang jahat, siapa saja yang menindas manusia lain, tidak perduli dia itu pembesar atau orang biasa! Dan dia akan membela yang benar, tidak perduli dia itu pembesar atau orang biasa pula. Dan Ong-ciangkun adalah seorang perwira yang baik, dan berdiri di fihak yang benar karena Ong-ciang-kun menentang pemberontakan yang akan mengobarkan perang yang mengancam keselamatan rakyat jelata. Dia harus membantu dan melindunginya! Keputusan hati ini membuat Sian Lun berlari lebih cepat lagi.
Dan ketika dia tiba di tengah hutan, dari jauh dia sudah mendengar suara pertempuran itu! Celaka, pikirnya, dia terlambat! Dipercepatnya larinya dan setelah dia tiba di tempat terbuka di tengah hutan itu, benar saja bahwa apa yang dikhawatirkannya itu telah terjadi. Pasukan itu diserbu oleh rombongan orang-orang yang dipimpin oleh orang asing tinggi besar itu dan ternyata bahwa rombongan penyerang itu telah berhasil pula membebaskan para tawanan yang kini ikut pula mengeroyok. Fihak pasukan terdesak hebat karena musuh mereka itu rata-rata memiliki kepandaian yang ikup tinggi, sedangkan Ong-ciangkun sendiri sedang bertanding melawan si orang asing tinggi besar yang amat lihai memainkan senjata rantai panjang yang ujungnya dipasangi kaitan baja. Dua buah kaitan mengerikan di kedua ujung rantai itu menyambar-nyambar dan rantai yang diputar-putar itu mengeluarkan bunyi bersiutan.
Ong-ciangkun berusaha melindungi tubuhnya dengan pedangnya, namun melihat betapa pundak dan pahanya berdarah dan pakaiannya robek-robek, mudah diduga bahwa dia sudah beberapa kali terluka oleh kaitan-kaitan itu dan sedang berada dalam ancaman bahaya maut. Ong-ciangkun hanya main mundur sambil mengobat-abitkan pedangnya menangkis dua buah kaitan yang bertubi-tubi menyambar itu, sedangkan lawannya terdengar tertawa berkekeh-kekeh mengejeknya. Juga anak buah Ong-ciangkun tidak jauh bedanya dengan pemimpin mereka, terdesak dan terancam, bahkan sudah ada tiga orang yang roboh terluka tanpa dapat bangkit kembali.
Melihat ini, seketika timbul rasa penasaran di dalam hati Sian Lun dan tanpa disadarinya lagi dia sudah melayang ke depan sambil membentak.
"Pemberontak jahat!"
Gerakannya seperti kilat menyambar dan tahu-tahu dia sudah berhadapan dengan jagoan Uighur, orang asing yang memimpin penyerbuan itu dan yang sedang mendesak Ong-ciangkun dengan rantainya. Pada saat itu, dua buah kail menyambar dan Sian Lun mengangkat kedua lengannya ke atas, tangannya menangkap dua buah kail itu dan membiarkan pergelangan tangannya terlibat rantai.
Pada detik berikutnya, pemuda perkasa ini sudah mengerahkan tenaga membetot dan jagoan Uighur itu mengeluarkan teriakan kaget karena tanpa dapat dipertahankannya lagi, tubuhnya terbawa oleh betotan itu terdorong ke depan dan ketika kaki kiri Sia Lun menyambar, dadanya sudah kena ditendang dan sambil mengeluarkan teriakan keras jagoan Uighur itu terlempar ke belakang sampai beberapa tombak jauhnya. Dia terbanting ke atas tanah, akan tetapi orang ini agaknya memiliki tubuh yang kebal dan kuat, karena dia sudah dapat merangkak bangun kembali.
Sian Lun tidak berhenti sampai di situ saja. Baik fihak pasukan maupun fihak pemberontak sampai menjadi bengong dan terkejut karena tahu-tahu ada bayangan putih yang bergerak sedemikian cepatnya dan tahu-tahu beberapa orang dari fihak pemberontak sudah roboh. Sian Lun menggerakkan kedua kaki dan kedua tangannya, menampar dan menendang. Setiap gerakan kaki atau tangannya tentu menerbangkan senjata lawan dan merobohkan mereka seorang demi seorang! Gegerlah keadaan.di medan pertempuran itu.
"Tangkap mereka!"
Terdengar Ong-ciangkun berseru nyaring. Biarpun dia sendiri terkejut bukan main, namun perwira ini tidak kehilangan kesadarannya dan dia cepat merintahkan anak buahnya untuk menangkap para pemberontak. Perintah ini juga sekaligus merupakan perintah agar anak buahnya jangan membunuh para pemberontak, melainkan menangkap mereka.
Jagoan Uighur yang marah sekali itu kini mengeluarkan teriakan keras dan menubruk ke arah Sian Lun dari belakang. Tubrukan ini adalah tubrukan yang didasarkan ilmu gulat, dengan kedua lengan terpentang dan agaknya ke manapun lawan mengelak, takkan terlepas dari tangkapan kedua tangan yang sudah siap dengan jari-jari terbuka. Sian Lun bersikap tenang membalikkan tubuh dan membiarkan kedua pundaknya dicengkeram, akan tetapi sambil mengerahkan sinkang melindungi kedua pundak dari cengkeraman jari jari tangan yang kuat itu, dia mengangkat lutut kirinya.
"Ngekkkk!"
Lutut itu menyodok perut dan jagoan Uighur itu untuk kedua kalinya terjengkang roboh. Kini dia maklum bahwa pemuda yang baru datang ini bukanlah lawannya, maka setelah dia merangkak dan bangkit, dia lalu melarikan diri..
""Jangan kejar dia""!"
Ong-ciangkun sudah cepat mencegah dan dia sendiri membantu para anak buahnya untuk menawan para pemberontak. Sebagian besar para pemberontak sudah kehilangan nyalinya melihat orang Uighur itu dapat dikalahkan dengan mudah maka merekapun melarikan diri secepatnya meninggalkan mereka yang terluka dan tertawan. Setelah dikumpulkan dengan tangan diborgol, ternyata yang tertangkap ada limabelas orang, sebagian adalah tawanan yang tadinya sudah dapat dibebaskan kawan-kawan mereka sebagian lagi adalah muka-muka baru. Di fihak pasukan itu terdapat lima orang perajurit terluka agak parah, dan beberapa orang lagi terluka ringan saja. Mereka bergembira karena dalam pertempuran itu, fihak merekalah yang menang, apa lagi karena tawanan yang tadinya sudah terlepas itu kini malah bertambah dengan tiga orang lagi. Kalau tadinya hanya ada duabelas orang, kini tertawan lima belas orang!
"Ah, sudah kuduga""
Kiranya engkau adalah seorang pendekar yang amat lihai, Tan taihiap!"
Ong-ciangkun menjura dan sebutan saudara atau sobat kini menjadi taihiap (pendekar besar).
"Kami menghaturkan terima kasih atas bantuan tauhiap sehingga fihak kami memperoleh kemenangan.
Sian Lun balas menjura.
"Kita kebetulan jumpa di jalan, hal itu sudah menjadi keharusan untuk saling membantu dan berdiri di fihak yang benar, Ong-ciangkun. Akan tetapi tentang ciangkun sudah menduga itu..... apa maksud ciangkun?"
Ong-ciangkun tersenyum sambil mengobati luka-lukanya yang tidak berat itu dengan obat bubuk merah. Sian Lun tahu bahwa obat bubuk merah itu amat baik untuk menyembuhkan luka-luka sungguhpun amat perih kalau dipakai. Akan tetapi, perwira itu menaruh obat merah pada luka-lukanya sambil bercakap-cakap dan sedikitpun tidak memperlihatkan penderitaan, Hal ini saja sudah menujukkan bahwa Ong-ciangkun benar-benar seorang jantan.
"Tan-taihiap, pekerjaanku memberi kesempatan kepadaku untuk bergaul dengan banyak pendekar di dunia ini. Taihiap kelihatan lemah lembut namun berani melakukan perjalanan seorang diri saja, taihiap kelihatan seperti seorang pemuda dusun namun gerak-gerik dan tutur sapa taihiap lembut dan sopan, kemudian taihiap memiliki penglihatan tajam sehingga dapat memperingatkan aku terhadap rombongan pemberontak itu. Semua itu menunjukkan bahwa taihiap adalah seorang pendekar yang berilmu, seperti yang sudah kuduga, dan oleh karena itulah maka aku menawarkan taihiap untuk melakukan perjalanan bersama."
Sian Lun tersenyun. Orang ini selain gagah perkasa juga amat cerdik! "Ah, Ong-ciangkun terlalu memuji orang, padahal engkau sendiri adalah seorang yang gagah dan cerdik."
Ong-ciangkun lalu memerintahkan anak buahnya bersiap dan berangkat agar sebelum malam tiba mereka dapat memasuki kota Sin-yang. Sekali ini Sian Lun tidak menolak ketika Ong-ciangkun mengajaknya melakukan perjalanan bersama dan memberinya seekor kuda yang baik. Berangkatlah rombongan itu membawa tawanan mereka menuju ke Sin-yang dari ternyata di sepanjang perjalanan tidak terjadi gangguan sampai mereka memasuki Sin-yang. Ong-ciangkun segera menghadap pembesar setempat dan para tawanan itu cepat dimasukkan ke dalam penjara agar dapat terjaga dengan baik sedangkan Ong-ciangkun segera mengirim kurir ke kota raja berikut pelaporannya tentang pencegatan yang dipimpin oleh orang Uighur itu.
Malam itu Sian Lun dijamu oleh Ong-ciangkun di rumah pembesar kota Sin-yang.
"Ong-ciangkun, mengapa engkau tadi melarang ketika anak buahmu hendak mengejar orang Uighur itu? Akupun baru tahu bahwa dia itu orang Uighur setelah mendengar anak buahmu bicara tentang dia."
"Ah, itulah akibatnya kalau negara lemah dan mengandalkan bantuan keamanan dari tenaga lain bangsa. Ketika terjadi pemberontakan-pemberontakan, semenjak pemberontakan An Lu Shan dan selanjutnya, pemerintah begitu lemah sehingga pemerintah minta bantuan Bangsa Uighur untuk mengusir dan menundukkan pemberontak. Setelah pemberontak dapat dihancurkan, maka Bangsa Uighur yang telah memasuki daratan kita menjadi keenakan dan tentu saja mereka yang dianggap sebagai bangsa yang telah berjasa membantu kita, harus kita perlakukan dengan hormat! Padahal mereka itu kadang kadang memperlihatkan sikap sewenang-wenang dan kini bahkan mereka agaknya telah bersekutu dengan fihak pemberontak seperti perkumpulan Im-yang-kauw dan Pek-lian-kauw. Keadaan menjadi gawat sekali, maka aku mengirim utusan memberi laporan ke kota raja sebelum melanjutkan membawa para tawanan ke kota raja. Ahhh, minta bantuan bangsa lain untuk membasmi pemberontakan dalam negeri sama saja dengan menggunakan harimau untuk mengusir srigala dalam rumah. Serigalanya dapat dibunuh, akan tetapi sang harimau tetap bercokol dalam rumah dan entah siapa yang lebih ganas dan berbahaya, Serigala itu ataukah harimau itu! Para pemberontak, bagaimanapun juga adalah bangsa sendiri dan betapapun menyelewengnya mereka itu tetap saja mendasarkan pemberontakannya kepada pembelaan terhadap rakyat, sedangkan orang asing bagaimana? Tentu dasar mereka adalah keuntungan bagi mereka, dan seburuk-buruknya kekuasaan pemerintah dipegang bangsa sendiri, masih jauh lebih baik dari pada kalau dipegang bangsa lain. Ahh, setelah terbukti orang Uighur benar benar bersekongkol dengan Im-yang-pai dan Pek lian-kauw maka keadaanpun menjadi gawat!"
Sian Lun adalah seorang pemuda yang buta akan keadaan pemerintah di waktu itu maka mendengar penuturan yang jelas itu dia menjadi tertarik sekali.
"Akan tetapi, pemerintah tidak seharusnya bersikap lemah terhadap Bangsa Uighur, karena biarpun mereka pernah membantu kita, akan tetapi untuk bantuan itu pemerintah sudah pasti telah memberi upah. Jadi, pada waktu ini. mereka yang menentang pemerintah atau yang dapat dianggap sebagai pemberontak berbahaya adalah Im-yang-kauw, Pek-lian-kauw dan dibantu oleh Bangsa Uighur yang menjadi tamu terhormat itu?"
Ong-ciangkun menggelengkan kepala.
"Bukan hanya itu. Memang, Im-yang-kauw, Pek-lian-kauw dan dibantu Bangsa Uighur merupakan satu kelompok, akan tetapi masih ada kelompok lain yang tidak kurang pula berbahayanya, bahkan mungkin lebih berbahaya lagi yang merupakan ancaman besar, bagi keselamatan negara dan bangsa."
"Siapakah golongan atau kelompok itu, ciangkun?" "Golongan ini terdiri dari Bangsa Khitan yang merupakan pengikut-pengikut mendiang An Lu Shan, yang bersekutu dengan Bangsa Tibet dan dari dalam negeri yang bersekutu dengan dua bangsa asing ini adalah orang-orang dari perkumpulan Beng-kauw. Jadi, pada saat ini terjadi perang dingin antara tiga kelompok yaitu kelompok pertama tentu saja pemerintah yang didukung oleh orang-orang gagah, oleh para pendekar dan terutama sekali dari Siauw lim-pai dan Thai-san-pai, kelompok ke dua adalah Im-yang-kauw, Pek-lian-kauw dan Bangsa Uighur, sedangkan kelompok ke tiga adalah Beng-kauw dan Bangsa Khitan dan Tibet."
Sian Lun menggelengkan kepala.
"Heran....dan selalu rakyatlah yang menjadi korban."
"Begitulah! Satu-satunya jalan bagi setiap orang gagah hanyalah membantu pemerintah membasmi dua kelompok pemberontak itu untuk menghalau bahaya perang saudara yang akan menghancurkan kehidupan rakyat jelata. Tan-taihiap, engkau adalah seorang muda yang memiliki kepanduan tinggi, maka marilah kau ikut bersamaku ke kota raja untuk menghadap Menteri Han Gi karena bantuan seorang seperti engkau ini amatlah dibutuhkan."
Sian Lun menggeleng kepala.
"Pada saat ini aku mempunyai urusan penting sekali, ciangkun, urusan pribadi. Aku akan pergi ke Cin-an dan tidak mungkin aku pergi bersamamu ke kota raja. Akan tetapi, percayalah bahwa aku setuju dengan semua pendapatmu dan kalau sudah tidak ada lagi urusan pribadi, aku siap untuk membantu Menteri Han Gi yang bijaksana untuk mengamankan negara."
"Sayang, akan tetapi tentu saja aku tidak dapat memaksamu, taihiap. Hanya pesanku, kalau engkau benar-benar ingin membantu pemerintah yang berarti juga membantu rakyat, maka datanglah ke kota raja. carilah aku di benteng pengawal Menteri Han Gi dan aku akan membawamu menghadap Menteri Han Gi yang tentu akan girang sekali menerimamu"
"Baik, ciangkun. Dan sekarang aku mohon diri karena aku harus melanjutkan perjalananku ke Cin-an."
Malam hari itu juga Sian Lun meninggalkan kota Sin-yang untuk melanjutkan perjalanannya. Dia menolak ketika Ong ciangkun memberinya seekor kuda, juga menolak pemberian sekantong uang dari pembesar kota Sin-yang yang mendengar bahwa pemuda itu telah membantu pasukan mengusir para pemberontak. Setelah dia pergi, Ong-ciangkun yang mengantarnya sampai ke pintu halaman, berdiri sampai lama termenung, kemudian menarik napas panjang dan berkata kepada pembesar yang berdiri di sebelahnya.
"Manusia seperti dia itulah yang dicari-cari oleh Menteri Han Gi yang mengatakan bahwa kalau beliau diberi pembantu-pembantu yang muda, berjiwa bersih, gagah perkasa dan jujur, tidak mabok harta dan kedudukan, maka beliau sanggup untuk menenteramkan negara! Akan tetapi, ahhhh"". betapa sukarnya mencari orang seperti dia"".!"
Segala harapan, segala bayangan yang muluk dan indah, semua kegembiraan sirna seketika dari hati Sian Lun, terganti oleh rasa kaget, duka dan marah yang membuat wajahnya pucat sekali ketika dia tiba di Cin an dan mendengar berita bahwa pamannya, Gan Beng Han dan bibinya, Kui Eng, telah tewas terbunuh orang! Hampir dia tidak dapat percaya akan pendengarannya ketika dia bertemu dengan seorang tetangga tua yang menyampaikan berita malapetaka ini kepadanya. Paman dan bibinya adalah orang-orang yang berilmu tinggi, pendekar-pendekar budiman dan selalu membuka tangan untuk menolong siapa saja. Mana mungkin terbunuh keduanya? "Mengapa? Mengapa dan apa yang telah terjadi"
Bisiknya dengan suara gemetar. Kakek tua itu memandang dengan khawatir melibat wajah pemuda yang pucat sekali itu.
"Sayang aku tidak tahu, orang muda. Sebaiknya engkau bertanya kepada para hwesio di Kuil Ban-hok-tong karena merekalah yang tahu dan"".."
Tiba tiba kakek itu terbelalak karena seperti setan saja, pemuda yang tadi berdiri di depannya itu sekali berkelebat telah lenyap dari situ!
Para hwesio di Kuil Ban-hok-tong juga terkejut sekali ketika pemuda berwajah pucat itu menerobos masuk kuil dan dengan suara gemetar menuntut minta bertemu dengan ketua kuil. Tentu saja para hwesio menjadi marah, akan tetapi Thian Ki Hwesio, ketua Kuil Ban-hok-tong yang kebetulan berada di dalam kuil, segera keluar ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah keponakan dari mendiang Gan Beng Han yang ingin bertemu untuk bertanya tentang kematian suami isteri pendekar itu.
Begitu bertemu dengan Thian Ki Hwesio, Sian Lun cepat memberi hormat dan berkata "Losuhu, harap sudi menjelaskan apa yang telah terjadi dan bagaimana paman dan bibi sampai tewas""" "
Thian Ki Hwesio memiliki pandangan yang tajam dan dia mengenal bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan.
"Silakan duduk, sicu dan tenangkanlah hatimu. Kematian mendadak memang terlalu sering menimpa orang-orang yang menjadi pendekar sehingga kematian Gan taihiap dan isterinya bukanlah hal yang terlalu mengejutkan. Duduklah dan katakan, siapakah sicu ini dan mengapa setelah sepuluh tahun baru sekarang bertanya tentang kematian suami isteri pendekar Gan itu?"
Mendengar ucapan itu, Sian Lun menarik napas panjang dan duduk, memejamkan mata sejenak. Sadarlah dia bahwa dia terlalu menurutkan perasaan sehingga tindakan-tindakannya tadi terburu nafsu dan tidak sepatutnya. Kemudian dia membuka mata dan melihat betapa hwesio tua itu sudah duduk di depannya dan menatapnya dengan tajam akan tetapi bibirnva tersenyum.
Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo