Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 27


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 27



"Harap losuhu sudi memaafkan kelancangan dan kekasaran saya tadi. Saya bernama Tan Sian Lun, keponakan dari mendiang supek Gan Beng Han dan isterinya. Sepuluh tahun yang lalu, ketika terjadi keributan di kuil ini, saya pergi mempelajari ilmu dan baru hari ini kembali ke Cin-an. Oleh karena itu saya tidak tahu sama sekali apa yang telah terjadi dengan mereka dan tadi saya mendengar bahwa mereka telah tewas. Harap losuhu sudi menceritakan kepada saya apa yang telah terjadi.

   "

   Hwesio tua itu memandang penuh selidik, mengangguk-angguk.

   "Ah, kiranya sicu adalah keponakan Gan-taihiap yang hilang itu? Pernah pinceng mendengar tentang sicu. Memang sesungguhnya, Gan-taihiap suami isteri tewas dalam pertandingan melawan ketua dari Im-yang-kauw dan semua itu adalah akibat dari peristiwa yang terjadi di kuil ini sepuluh tahun yang lalu."

   Lalu hwesio tua ini menceritakan tentang peristiwa penyerbuan pasukan pemerintah ke sarang Im-yang-pai di mana diapun bersama sucinya, Pek l Nikouw, ikut pula menyerbu dan di mana dia melihat sendiri pertandingan satu lawan satu antara Gan Beng Han dan isterinya melawan Kim-sim Niocu, yaitu Im-yang-kauwcu dan suami isteri itu kalah sehingga roboh dan tewas.

   "Betapapun juga harus pinceng akui bahwa paman dan bibimu tewas sebagai orang-orang gagah dan mereka tidak mati penasaran karena mereka tewas dalam pertandingan yang bersih satu lawan satu. Hanya sayang bahwa kepandaian ketua Im-yang-kauw itu terlampau tinggi sehingga mereka roboh dan tewas. Dan lebih sayang pula bahwa ketika kami bersama pasukan menyerang, kami hanya berhasil membasmi sarang Im-yang-kauw dan membunuh banyak anak buahnya, akan tetapi kami tidak berhasil menangkap atau membunuh ketua Im-yang-pai, Kok Beng Thiancu dan puterinya, yaitu ketua lm-yang-kauw, Kim-sim Niocu. Ilmu kepandaian ayah dan anak itu terlampau tinggi sehingga di antara kami tidak ada yang mampu melawan mereka."

   Berkurang banyak kedukaan di hati Sian Lun setelah mendengar penuturan hwesio itu, terganti oleh rasa penasaran mendengar betapa paman dan bibi gurunya itu keduanya tewas karena dikalahkan dalam pertandingan melawan wanita lihai ketua Im-yang-kauw. Biarpun tidak ada alasan untuk mendendam karena pertandingan itu adalah pertandingan yang bersih dan jujur, namun ingin dia bertemu dan mengukur kepandaian ketua Im-yang-kauw itu.

   "Terima kasih atas semua keterangan losuhu. Lalu, ke manakah perginya Gan Ai Ling, puteri paman? Apakah losuhu mengetahuinya?"

   "Kalau tidak salah, pernah suci Pek I Nikouw bercerita bahwa nona itu dibawa pergi oleh su-kongnya, yaitu Lui Sian Lojin, untuk belajar ilmu. Akan tetapi hal ini tentu saja dapat sicu tanyakan lebih jelas kepada suci atau kepada bibinya, yaitu nyonya Yap yang tinggal di An-kian."

   Sian Lun mengangguk. Diapun tahu bahwa adik pamannya yang bernama Gan Beng Lian tinggal di An-kian bersama suaminya, yaitu putera kepala daerah An-kian. Dia pasti akan pergi ke sana untuk menyelidiki keadaan Ling Ling.

   "Dan apakah losuhu mendengar pula tentang keadaan Coa Gin San, murid dari paman dan tubi? Anak yang dulu terlibat dalam kekacauan di sini, sepuluh tahun yang lalu"" "

   "Ah, pemuda itu""..!"

   Thian Ki Hwesio berseru lalu melanjutkan dengan kagum.

   "Dia telah menjadi seorang yang berilmu tinggi sekali! Dia pernah datang ke sini belum lama ini akan tetapi pinceng sedang pergi dan yang menemuinya adalah sute Thian Lee Hwesio yang juga menceritakan kepadanya tentang kernatian Gan-taihiap dan isierinya. Menurut Thian Lee Hwesio, pemuda itu berkelebat dan lenyap, cepat sekali sehingga Thian Lee Hwesio sendiri tidak mampu mengejarnya."

   Wajah Sian Lun berseri. Gembira hatinya mendengar bahwa temannya di waktu kecil itu kini telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian tinggi.

   "Ah, lalu ke mana perginya, losuhu?"

   "Dia tidak meninggalkan pesan kepada sute, hanya memberitahukan hal yang amat penting dan aneh, yaitu bahwa Im-yang-pai tidak bersalah dalam peristiwa keributan di kuil ini sepuluh tahun yang lalu, dan bahwa lambang Im-yang-pai yang oleh sute dirampas dari seorang di antara para perusuh itu adalah lambang Im-yang-pai curian."

   "Ahh"".!"

   Sian Lun merasa heran dan kaget mendengar ini. Apa yang dimaksudkan oleh Gin San, dan bagaimana Gin San bisa mengetahui hal itu? "Apakah benar demikian, losuhu?"

   Kakek itu mengangkat kedua pundak.

   "Entahlah, pinceng sendiripun tidak tahu benar. Ketika kami menyerbu ke sarang Im-yang-pai, memang ketua Im yang-pai menyangkal bahwa Im-yang-pai yang melakukan penyerbuan itu, habis, kalau bukan Im-yang pai lalu siapa? Dan apa maksudnya menyamar sebagai orang orang Im-yang pai? Pinceng tidak mengerti."

   "Biarlah, hal itu adalah kewajiban saya mtuk menyelidiki, losuhu."

   Kemudian, setelah Memperoleh keterangan di mana letak makam paman dan bibinya. Sian Lun berpamit dan meninggalkan Kuil Ban-hok-tong.

   Sampai setengah hari lamanya Sian lun duduk terpekur di depan makam paman dan bibinya setelah bersembahyang. Selama itu dia mengenangkan kembali semua kebaikan paman dan bibinya dan hatinya terasa berduka sekali karena dia merasa belum sempat membalas kebaikan mereka yang telah dilimpahkan kepadanya dan sekarang setelah dia berhasil memiliki ilmu kepandaian tinggi, mereka telah meninggal dunia! Dia merasa seperti kehilangan ayah bundanya sendiri karena semenjak kecil hanya sebutannya saja yang berubah terhadap mereka, akan tetapi di dalam hatinya, dia tetap menganggap mereka sebagai ayah bundanya dan mencinta mereka seperti seorang anak terhadap orang tuanya.

   "Aku harus mencari Ling Ling, aku harus membalas segala kebaikan ayah ibunya kepada sumoi,"

   Demikian akhirnya dia mengambil keputusan dan setelah memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada gundukan makam itu Sian Lun lalu meninggalkan tempat itu dia melanjutkanperjalanannya menujuke kota An-kian.

   Kota Kabupaten An kian cukup besar dan ramai dan begitu memasuki kota itu, Sian Lun mrasakan adanya ketenteraman di dalam kota perdagangan yang ramai dan kota yang keadaannya bersih. Kebetulan sekali pada waktu dia memasuki kota itu di dalam kota sedang diadakan pesta ulang tahun dari toa-pekong sebuah kelenteng di tengah-tengah kota. Melihat keramaian ini dan banyak orang dengan pakaian-pakaian indah menuju ke tengah kota, Sian Lun tertarik, apa lagi ketika mendengar bahwa di kelenteng itu diadakan pertunjukan wayang yang didatangkan dari kota raja, para pemainnya adalah pemain-pemain yang sudah terkenal keindahan tarian dan permainan mereka.

   Kuil itu memuja Hok Tek Cing Sien, yaitu Malaikat Bumi yang dianggap membawa berkah bagi manusia dan pada hari itu diadakan pesta besar-besaran dan boleh dibilang seluruh penghuni An kian ikut berpesta Hal ini tidak aneh karena memang sebagian besar penduduk adalah orang-orang yang memuja malaikat ini, apa lagi pada waktu itu orang menghadapi panen sehingga meieka mengharapkan berkah dari Malaikat Bumi agar hasil panen nereka berlimpahan. Bakan pesta ini telah didengar oleh penduduk di kota-kota lain yang berada di wilayah itu sehingga banyak pula orang luar kota yang sengaja datang untuk menyaksikan keramaian di An-kian.

   Sian Lun terbawa oleh aliran manusia yang berkumpul di depan kuil pada sore hari itu. Dia memang mengambil keputusan untuk menunda sampai besok mencari Ling Ling, karena kurang baiklah untuk berkunjung di rumah bibi dari Ling Ling di waktu maiam hari.

   Kuil Hok Tek Cing Sien dirias meriah dan di halaman depan dibangun sebuah panggung yang cukup tinggi, tempat para anak wayang bermain nanti sehingga semua orang dapat menonton, biar dari tempat jauh sekalipun. Biarpun wayang belum dimulai, akan tetapi penonton sudah penuh dan musik sudah dimainkan. Suara musik inilah yang seakan-akan menarik orang untuk berdatangan.

   Suasana di situ memang meriah sekali. Banyak wanita mengenakan pakaian-pakaian baru dan indah, dengan berbagai macam lagak memperagakan diri mereka untuk menarik perhatian sebanyak mungkin, terutama dari kaun pria tentunya. Dan banyak pula pria-pria muda yang juga berlagak, mata mereka mengerling ke sana-sini dan mereka kadang kadang bergurau dan tertawa di antara teman mereka. Sebaliknya, dengan sikap malu-malu para gadis juga mengerling tajam dan berbisik bisik di antara teman mereka sambil terkekeh menutupi mulut dengan saputangan.

   Tiba-tiba semua mata memandang dan semua tubuh berbalik ke arah jalan raya di depan kuil ketika terdengar derap kaki kuda dan ternyata sebuah kereta berhenti di depan kuil. Karena banyaknya orang, maka kereta tidak dapat memasuki pintu halaman dan hanya berhenti di jalan depan kuil itu. Pintu kereta terbuka, tirai tersingkap dan terdengarlah suara kagum di sana-sini ketika dari kereta itu turun seorang dara yang cantik luar biasa. Dara itu berusia kurang lebih tujuhbelas tahun, pakaiannya bersih dan cemerlang, pakaian dara bangsawan, berwarna hijau dengan hiasan kuning dan merah. Ikat pinggang merah muda mengikat pinggang yang amat ramping itu dan wajahnya yang jelita itu rampak berseri ketika dia menuruni kereta, diiringkan oleh dua orang wanita pelayan yang juga terdiri dari dua orang gadis muda dan cantik pula. Tentu saja kecantikan mereka itu tidak kentara karena kalah jauh oleh kecantikan nona majikan mereka, seperti dua buah bulan yang sinarnya menjadi suram karena munculnya sebuah matahari.

   "Beri jalan untuk siocia..."..!"

   Terdengar para petugas keamanan yang menjaga di sekeliling kuil itu berteriak dan semua penonton yang bergerombol di depan kuil itu segera terkuak dan terbukalah jalan untuk dara cantik jelita bersama dua orang pelayannja itu.

   "Bukan main, seperti bidadari turun dari kahyangan"".."

   "Seperti Kwan Im Pouwsat sendiri yang berkunjung kepada Sang Malaikat Bum""."

   "Tapi kabarnya dia amat lihai"".."

   Sian Lun mendengar semua bisikan para penonton ini dan sejak tadi diapun sudah terpesona oleh kecantikan dara itu, juga kagum melihat betapa dara itu sama sekali tidak kelihatan kikuk, bahkan tersenyum manis dan memandang kepada para penonton dengan sikap ramah, sedikitpun tidak kelihatan malu-malu, seolah-olah dia telah mengenal semua penonton itu, bahkan dia mengangguk ke sana-sini dengan sikap yang menarik dan wajar.

   "Hidup Yap siocia"".!"

   Terdengar seruan orang dan seruan ini banyak ditiru sehingga ramailah keadaan di tempat itu. Karena wayangnya belum mulai, maka kini semua orang menonton dara cantik itu! Mendengar seruan seruan ini, nona itu tersenyum dan mengangkat tangan ke atas sambil membungkuk ke sana-sini. Tiba-tiba Sian Lun melihat ada tiga orang pemuda yang menggunakan tenaga mendesak sana-sini sampai mereka tiba di depan, kemudian seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan bermuka seperti singa meloncat ke depan menghadang nona bersama dua orang pelayannya itu!

   Sambil cengar-cengir memperlihatkan sikap kurang ajar, pemuda tinggi besar ini berkata.

   "Nona sungguh cantik jelita"".."

   "Seperti bidadari kahyangan!"

   Sambung dua orang temannya.

   Para pononton yang mendengar ucapan itu kelihatan terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi pemuda tinggi besar dan teman-temannya itu tidak perduli dan si pemuda tinggi besar sudah menyambung lagi kata katanya ketika melihat nona baju hijau itu tidak kelihatan takut, melainkan memandangnya dengan sinar mata tajam dan jeli.

   "Melihat wajah dan tubuh nona, sungguh membuat aku yang berjuluk Hek-houw (Macan Hitam) jadi mengilar"".."

   "Dan ingin memeluk cium""."

   Sambung kedua orang temannya lagi. Mereka bertiga menyeringai dan para penonton menjadi makin kaget. Beberapa orang penjaga keamanan sudah melangkah lebar dengan wajah marah, akan tetapi nona baju hijau itu menggerakkan tangan ke arah mereka dengan isyarat menahan mereka untuk bertindak, kemudian dia menghadapi tiga orang pemuda yang kini semua sudah berdiri menghadangnya itu sambil berkata halus.

   "Harap kalian bertiga suka minggir dan jangan bersikap tidak sopan!"

   "Beritahukan dulu siapa nona"".."

   Kata si tinggi besar.

   "Dan berapa usia nona tahun ini""."

   Sambung orang ke dua yang matanya sipit sekali.

   "Dan apakah nona sudah ada yang punya".."

   Sambung pula orang ke tiga yang mempunyai tahi lalat di hidungnya.

   Para petugas keamanan itu memandang dengan mata melotot dan para penonton juga kelihatan marah, akan tetapi nona itu kembali mengangkat tangan ke atas dan berseru.

   "Biarkan aku menghadapi urusan ini sendiri!"

   Kemudian sambil tersenyum manis dan tenang sekali dia menghadapi tiga orang itu, lalu bertanya.

   "Agaknya kalian bukan penduduk An-kian dan kalian tentu orang orang gagah yang pandai ilmu silat, benarkah dugaanku?"

   "Ha-ha-ha, tidak salah, nona. Aku datang dari Lok-bun, dusun di luar kota Lok-yang dan akulah jagoan nomor satu di sana, dengan julukan Hek-houw, sedangkan mereka berdua ini adalah kawan-kawanku."

   "Bagus, aku minta kalian minggir akan tetapi kalian mengajukan syarat dengan pertanyaan-pertanyaan, sekarang akupun mengajukan syarat untuk menjawab pertanyaan kalian tadi."

   Wajah mereka bertiga berseri karena merasa diberi hati, maka seperti berebat mereka bertanya,

   "Apa syaratnya, nona manis?"

   "Syaratnya, kalian bertiga harus dapat mengalahkan atau menangkap aku di atas panggung, barulah aku mau menjawab pertanyaan pertanyaan kalian tadi."

   "Aha"".! Nona berani menantang begitu?"

   Si tinggi besar berseru heran dan dua orang kawannya tertawa.

   "Melihat bahwa kalian adalah orang-orang gagah, tentu kalian tidak takut menyambut tantanganku,"

   Kata pula nona baju hijau sambil tersenyum. Bukan main manisnya dara itu kalau tersenyum seperti itu.

   "Dan kalau kami berhasil, engkau suka menjadi sahabat baik kami?"

   Tanya si tinggi besar.

   "Dan mau pergi bermain-main bersama kami?"

   Sambung si sipit lebih berani.

   "Dan mau menjadi kekasih kami?"

   Sambung si tahi lalat makin kurang ajar.

   "Kita lihat saja nanti, kalian kalahkan aku lebih dulu!"

   Kata nona baju hijau dan dia sudah menggerakkan kakinya yang kecil dan tubuhnya melayang naik ke atas panggung. Tepuk: tangan para penonton menyambit loncatan indah ini biarpun hati mereka masih marah dan panas sekali melihat kekurang ajaran tiga orang pemuda itu. Diam-diam Sian Lun memperhatikan dan hatinya lega. Dia sudah melihat gerakan si tinggi besar ketika meloncat tadi, dan gerakan mereka bertiga ketika menerobos di antara orang banyak dan dia dapat menduga bahwa mereka itu hanya memiliki tenaga kasar dan keberanian belaka karena orang-orang yang benar benar memiliki kepandaian tidak akan bersikap seperti mereka itu. Dan kini, melihat sikap nona bangsawan itu yang tenang-tenang saja, kemudian melihat cara nona itu meloncat ke atas panggung, dia mengenal dasar gerakan silat tinggi, maka dia maklum bahwa nona ini tidak akan terancam bahaya kalau menghadapi tiga orang pemuda macam ini.

   Akan tetapi pandangan tiga orang muda ini berbeda sekati dengan pandangan Sian Lun. Karena merasa bahwa kekurangajaran mereka memperoleh tanggapan, mereka menjadi makin berani dan berlagak. Orang yang rendah ilmunya akan menganggap diri sendiri setinggi mungkin untuk menutupi kerendahannya. Binatang-binatang kecil yang lemah memiliki suara yang lebih nyaring dari pada binatang besar yang kuat. Dengan lagak jumawa sekali tiga orang pemuda ilu lalu memperlihatkan kepandaiannya, meloncat ke atas panggung. Loncatan mereka kasar dan ketika kaki ,mereka turun ke panggung, terdengar suara gedebrukan seperti benda-benda berat dilempar ke atas panggung, namun suara ini bahkan membuat makin bangga dan dengan dada terangkat mereka kini berdiri menghadapi si nona baju hijau yang sudah berdiri menanti dengan sikap tenang sekali.

   "Aku tahu bahwa kalian adalah orang-orang yang datang dari luar kota, karena aku tidak percaya bahwa di An-kian terdapat manusia-manusia tolol dan sombong macam kalian,"

   Tiba-tiba suara dara itu keren dan berwibawa.

   "Nah, aku sudah siap dan kalau kalian masih ada keberanian untuk menyambut tantanganku, majulah kalian bertiga, coba robohkan atau tangkap aku!"

   Sebetulnya, sikap keren dan berwibawa dari nona ini saja cukup untuk "memperingatkan tiga orang muda itu, apa lagi melihat betapa panggung itu dikurung oleh penjaga-penjaga keamanan yang agaknya taat sekali kepada si nona baju hijau dan pandangan para penonton yang marah. Akan tetapi, dasar mereka itu adalah pemuda-pemuda kasar yang sudah biasa di kampung mereka suka mengganggu wanita dan bersimaharajalela mengandalkan kepandaian silat mereka, terutama Si Macan Hitam yang sudah terkenal sebagai putera tuan tanah yang disegani bukan hanya karena ilmu silatnya dan kerasnya kepalan tangannya, akan tetapi juga karena pengaruh harta dari ayahnya yang kaya.

   Maka, kini mendengar tantangan dara ini, apa iagi tantangan yang dilakukan di depan banyak orang seperti itu, tentu saja mereka bertiga tidak mau mundur, bahkan kini mereka terdorong oleh dua macam keinginan. Pertama, tentu saja untuk memenangkan pertandingan melawan dara ini agar dapat memiliki dara jelita ini sebagai sahabat dan kekasih, dan ke dua untuk membanggakan kepandaian mereka di depan banyak orang. Nama mereka tentu akan disegani oleh semua penduduk kota An kian!

   Akan tetapi bukan hanya karena kesombongan saja maka Hek-houw dan dua orang kawannya itu berani berlagak di An-kian, melainkan ada hal lain yang amat kuat yang menjadi dasar sikap mereka itu. Yaitu bahwa Hek-houw adalah seorang anggauta Beng-kauw di wilayah Lok-yang dan hal inilah sebenarnya yang membuat dia bersikap seolah-olah dia itu ketua Beng-kauw sendiri! Padahal dia hanyalah anggauta kelas terendah saja! Hanya, karena dia kaya, maka tokoh Beng-kauw yang menjadi gurunya, yang tinggal di Lok-yang, kelihatan amat sayang kepadanya bahkan Si Macan Hitam ini maklum pula bahwa gurunya pada saat itu berada di antara para penonton. Inilah yang membuat dia merasa aman dan terlindung!

   "Ha-ha, nona manis, engkau sungguh bernyali besar. Akan tetapi jangan khawatir, kami bertiga tidak akan menyakitimu, apa lagi merobohkanmu dengan pukulan kami yang keras. Kami hanya ingin menangkapmu dan kalau engkau sudah tertangkap dalam pelukan kami, berarti kau kalah dan harus memenuhi janjimu."

   "Hemmm, tikus kecil, jangan banyak cakap, kalian bergeraklah!"

   Nona itu menantang dan kini tidak lagi menyembunyikan kemarahannya maka dia menyebut si tinggi besar itu tikus kecil. Hal ini membuat beberapa orang penonton tertawa dan si tinggi besar itu memandang dengan mata terbelalak. Dia adalah Macan Hitam, mengapa disebut tikus kecil?

   "Hemm, untuk makianmu itu, engkau harus menebusnya dengan tiga kali ciuman di depan orang banyak!"

   Bentak Hek-houw sambil bergerak dengan cepat dan kuat sekali, menubruk ke arah nona baju hijau itu. Biarpun dia sedang marah, akan tetapi ternyata gerakannya dahsyat dan cukup berbahaya, karena betapapun bodohnya, dia mengerti bahwa nona yang berani menantang dia dan dua orang temannya ini sedikit banyak tentu pernah belajar silat.

   "Heeehhhhh!"

   Dia membentak sambil menubruk.

   "Heiiiiitt""..!"

   Nona itu berseru nyaring dan tubuhnya sudah mengelak dengan gerakan indah. Tubrukan itu luput! Dari kanan kiri, dua orang teman Macan Hitam yaitu si mata sipit dan si hidung tahi lalat, sudah menubruk pula. Cara menubruk mereka seperti biruang menerkam, kedua lengan dibentangkan dan menyambar dari kanan kiri. Nona itu sengaja menanti sampai tubrukan mereka dekat, barulah dengan kecepatan kilat dia mencelat ke kiri.

   "Bresss"""

   Auhh! Aduhh""".!"

   Tak dapat dicegah lagi, si mata sipit dan si hidung tahi lalat itu saling tubruk dan kepala mereka saling bentur dengan keras.

   "Gerrr!"

   Suara ketawa para penonton memecahkan ketegangan yang tadi mencekam hati mereka. Dua orang yang bertabrakan itu saling melotot, kemudian mengelus kepala yang benjol dan membalikkan tubuh, siap lagi untuk menangkap dara itu. Pada saat itu, Hek-houw sudah menubruk lagi, dengan lebih cepat dan ganas, bahkan kini tangan kirinya membentuk cakar mencengkeram ke arah dada nona itu secara kurang ajar sekali! Akan tetapi, kini nona itu agaknya sudah mengukur sampai di mana kecepatan gerakan tiga orang lawan itu, maka dengan seenaknya saja dia mengelak lagi dengan loncatan ke kanan, kemudian menghindar lagi dari terkaman dua orang lawan lain.

   Maka terjadilah kejar-mengejar yang amat lucu, seperti seekor tikus yang cekatan mempermainkan tiga ekor kucing buta yang menubruk sana-sini akan tetapi selalu hanya menubruk angin belaka. Bukan main cepatnya gerakan dara itu sehingga ke manapun tiga orang lawannya menerkam, selalu dia dapat menghindar dengan amat mudahnya Para penonton bersorak-sorak mengejek tiga orang itu karena jelas bahwa mereka itu sama sekali tidak mampu menangkap dara itu, apalagi menangkap orangnya, bahkan menangkap ujung bajunya saja agaknya tidak mungkin!

   "Tikus-tikus busuk, katanya hendak menangkap aku, mengapa menari-menari seperti monyet begitu? Hayo cepat kalian tangkap aku!"

   Nona itu berteriak mengejek dan sekali ini para penonton hampir semua bersorak gembira dan terdengar suara ejekan kepada tiga orang itu. Wajah Macan Hitam menjadi merah padam, dan dua orang temannya sudah mandi keringat dan napas mereka terengah-engah.

   "Bocah sombong!"

   Tiba-tiba Macan Hitam menerjang dan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada, tangan kanannya menampar ke arah kepala. Ini sih bukan menangkap lagi namanya, melainkan menyerang dengan jurus ilmu silat yang amat dahsyat dan mengancam nyawa! Dan pada saat itu, dua orang temannya juga sudah menerjang dengan jurus-jurus ilmu silat, menyerang tanpa mengenal malu lagi.

   "Bagus! Kalian memang pengecut-pengecut hina!"

   Teriak dara itu sambil mengelak ke sana-ini, kemudian tiba-tiba tubuhnya bergerak cepat sekali. Sian Lun yang memandang kagum melihat betapa gadis itu memiliki dasar ilmu silat Thai-san-pai dan serangan yang kini dilakukan oleh gadis itu jelas menunjukkan dasar ilmu silat Bu-tong-pai, karena dia telah mempergunakan ilmu tiam-hiat-hoat (ilmu menotok jalan darah) dari partai Bu-tong. Terdengar pekik berturut-turut tiga kali dan robohlah tiga orang itu, roboh di atas papan panggung dengan lemas dan tak mampu bergerak lagi karena totokan nona itu membuat mereka menjadi lumpuh.

   Sorak-sorai menyambut kemenangan ini "Bunuh saja tiga ekor cecunguk itu!"

   Terdengar teriakan dari para penonton dan beberapa orang penjaga sudah melompat naik ke atas panggung, memberi hormat kepada nona itu.

   "Biar kami menyeret mereka ke pengadilan siocia,"

   Kata seorang yang berpakaian sebagai perwira penjaga keamanan.

   "Jangan, tidak usah. Mereka hanyalah bocah-bocah nakal yang perlu diperingatkan saja,"

   Kata nona itu dan dengan gerak tangannya dia menyuruh para penjaga itu turun kembali dari atas panggung. Dengan senyum di bibir dan sedikitpun tidak kelihatan lelah, nona itu lalu menghampiri tiga orang bekas lawannya, lalu berkata lantang.

   "Menurut patut, kalian harus dituntut dan diberi hukuman. Kalian mengaku orang orang gagah yang berkepandaian, akan tetapi apakah bisa dinamakan gagah kalau hanya kalian pakai kepandaian kalian untuk menghina wanita, mengganggu wanita dan berlagak sombong-sombongan?"

   Pada saat itu terdengar seorang penjaga menghardik dari bawah panggung.

   "Tiga manusia busuk, buka mata kalian baik-baik, apakah kalian tidak mengenal siapa siocia? Beliau adalah cucu dari Yap taijin, bupati dari An-kian dan ayah bunda beliau adalah pendekar-pendekar yang"".

   "

   "Cukup!"

   Nona baju hijau itu membentak kepada penjaga yang segera menutup mulutnya. Nona itu kini memandang kepada tiga orang bekas lawan yang menjadi pucat wajahnya mendengar ucapan penjaga tadi. Ah, sungguh mereka terjeblos! Kiranya dara itu adalah cucu dari pembesar kepala daerah An-kian! Masih baik mereka bertiga tadi tidak dikeroyok perajurit-perajurit penjaga, diseret ke penjara atau dibunuh di tempat!

   "Maafkan saya, siocia"". saya"".. kami..."..tidak tahu""..!"

   "Keparat, pengecut hina!"

   Dara itu membentak marah, memotong kata-kata si tinggi besar itu.

   "Engkau baru minta maaf karena aku adalah cucu pembesar? Bagaimana kalau aku seorang gadis dusun biasa? Tidak perduli cucu pembesar atau puteri kaisar atau dara kampung, sama saja! Pengganggu wanita macam kalian ini adalah laki-laki hina yang tak tahu malu dan selayaknya kalau dibunuh tanpa ampun lagi!"

   "Ampun""."

   Mereka bertiga yang tidak mampu bergerak hanya dapat minta ampun dengan muka pucat.

   "Phuhh! Mana mungkin negara bisa aman selama ada manusia-manusia pengecut hina macam kalian? Pergilah!"

   Dengan ujung sepatunya, dara itu menendang tiga kali dan tubuh tiga orang itu terlempar ke bawah panggung dan sekalian tendangan itu merupakan totokan yang membebaskan jalan darah mereka!

   Dari gerombolan penonton yang berjubel itu tiba-tiba muncul seorang pria berpakaian seperti pendeta, usianya sekitar limapuIuhan dan dengan amat cekatan dia menyambar tubuh Si Macan Hitam lalu dibawanya lari cepat sekali pergi dari tempat itu. Si mata sipit dan si hidung bertahi lalat lalu terhuyung-huyung menghilang di antara penonton. Dari atas panggung, dara baju hijau itu melihat hal ini dan tahulah dia bahwa orang yang berpakaian pendeta tadi memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia tidak memperdulikan lagi dan cepat turun dari atas panggung, lalu memasuki kuil diiringkan oleh dua orang pelayan dan oleh para penjaga keamanan. Pesta dilanjutkan karena wayang segera dimulai dengan pertunjukannya, musik dibunyikan dan keadaan menjadi meriah lagi sungguhpun di antara para penonton banyak yang membicarakan peristiwa yang amat menegangkan dan juga menarik hati itu.

   Dengan kepandaiannya yang tinggi, Sian Lun dapat dengan mudahnya membayangi pendeta yang melarikan Hek-houw. Dia berlari di belakang, jaraknya cukup jauh sehingga tidak diketahui oleh yang dibayangi, akan tetapi juga tidak terlalu jauh sehingga dia tidak akan kehilangan jejak orang itu. Pendeta itu membawa Si Macan Hitam ke dalam hutan dan akhirnya memasuki sebuah kuil tua yang sudah tidak digunakan lagi. Sian Lun menyelinap dengan cepat dan ringan, lalu mengintai dari jendela yang tinggal bingkainya saja ke dalam ruangan belakang kuil rusak itu di mana si pendeta membawa Si Macan Hitam.

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dia melihat bahwa di dalam ruangan itu duduk seorang kakek tua bertubuh raksasa yang usianya tentu sudah tujuhpuluhan tahun, dihadap oleh beberapa orang yang pakaiannya menunjukkan bahwa mereka adalah Bangsa Khitan, dan di situ hadir pula beberapa orang pendeta atau yang berpakaian seperti pendeta seperti yang menangkap Si Macan Hitam itu. Mereka semua ada belasan orang dan agaknya di antara mereka, yang menjadi tokohnya adalah kakek tinggi besar itu, bersama dua orang kakek pendeta yang duduk di depannya.

   Kedatangan pendeta bersama Si Macan Hitam ke dalam ruangan itu agaknya mengejutkan hati mereka, dan si kakek tinggi besar mengerutkan alisnya, kelihatan tidak senang dan terganggu. Seorang di antara dua kakek pendeta yang duduk di dekat kakek tinggi besar itu cepat bangkit dan memandang kepada dua orang yang baru datang, lalu berkata kepada pendeta yang membawa Hek-houw dengan suara mengandung teguran.

   "Eh, sute (adik seperguruan), mengapa engkau mengganggu pertemuan ini dengan kedatangan tiba-tiba bersama muridmu?"

   "Maaf, suheng, sengaja aku mencari suheng untuk minta perkenan suheng sebelum aku pergi menghajar gadis yang telah melukai dan menghina muridku ini, di depan orang banyak! di depan Kuil Hok Tek Cing Sien."

   "Hemm, Ma Siok, apa yang terjadi?"

   Tanya pendeta beralis putih yang menjadi suheng guru Si Macam Hitam ini. Hek-houw Ma Siok lalu menceritakan betapa dia bersama dua orang temannya yang ingin nonton keramaian, di depan kuil bertemu dengan seorang dara yang datang berkendaraan kereta indah. Karena tertarik dia ingin berkenalan, akan tetapi gadis itu marah dan akhirnya dia bersama dua orang temannya bertanding melawan gadis itu yang berakhir dengan kekalahan dan penghinaan di fihaknya.

   "Kalau suhu dan supek tidak membela teecu (murid), akan habislah nama kita dan tentu nama Beng-kauw akan terbanting pula,"

   Hek-houw Ma Siok menambahkan.

   Dua orang kakak beradik seperguruan dari Beng-kauw itu bukanlah orang sembarangan, melainkan tokoh-tokoh Beng-kauw yang sudah tinggi kedudukan mereka sehingga saat itu mereka menjadi wakil Beng-kauw untuk mengadakan pertemuan dengan tokoh Khitan dan para pengikutnya. Pendeta yang sudah duduk di situ tadi bukan lain adalah Ui-bin Sai-kong yang berusia enampuluh tahun dan bermuka kuning, sedangkan sutenya yang menjadi guru Hek-houw adalah Hek-bin Sai-kong, yang bermuka hitam penuh brewok, dan usianya sudah limapuluh lima tahun. Seperti telah kita ketahui,

   (Lanjut ke Jilid 28)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28

   dua orang ini adalah murid-murid dari para ketua Beng-kauw, maka tentu saja ilmu kepandaian mereka sudah hebat.

   Wajah Ui bin Sai-kong yang biasanya kuning itu menjadi agak merah ketika dia mendengar peuuturan murid keponakannya.

   "Hemm, sungguh memalukan sekali engkau kalah oleh seorang dara!"

   "Supek, menurut suara di antara penonton, dara itu katanya adalah cucu dari Yap-taijin"."

   "Ahh"".!"

   Ui-bin Sai-kong berseru kaget dan dia memandang kepada Hek-bin Sai-kong "Sute, apakah engkau tidak menyelidiki dulu siapakah dia? Dan siapa gurunya sehingga seorang dara bangsawan bisa begitu lihai?"

   Sutenya menggeleng kepala dan tiba-tiba seorang pendeta lain yang tadi duduk di situ dekat Ui-bin Sai-kong berkata.

   "Ji-wi (anda berdua) sungguh telah main-main dengan keluarga yang disegani. Gadis itu, kalau benar dia cucu Yap-taijin, adalah puteri dari Yap Yu Tek dan dia ini adalah seorang pendekar murid dari Tiong-san Lo-kai. Sedangkan ibunya adala murid dari Pek I Nikouw ketua Kwan-im-bio!"

   Dua orang tokoh Beng-kauw itu menoleh dan memandang kepada pendeta kepala gundul yang bicaranya menunjukkan bahwa dia adalah orang Tibet ini, lalu Ui-bin Sai-kong berkata.

   "Ah, kiranya begitu? Kiranya kita bertemu dengan musuh lama? Bagus, sekarang kami harap locianpwe Tai-lek Hoat-ong sudi membantu kami untuk membersihkan nama, juga mengingat bahwa keluarga Yap adalah pembesar setia dari pemerintah, sudah sepatutnya kita tentang. Sute, karena kau baru datang, agaknya engkau belum mengenal siapa adanya locianpwe dan saudara-saudara yang hadir di sini Ketahuilah, locianpwe ini adalah Tai-lek Hoat-ong, tokoh Khitan yang mewakili Bangsa Khitan yang gagah perkasa."

   Hek-bin Sai-kong segera memberi hormat karena memang sudah lama sekali dia mendengar tentang nama Tai-lek Hoat-ong atau Tayatonga, bahkan pernah pula dia melihat tokoh ini ketika Tai-lek Hoat-ong datang berlayat atas kematian Maghi Sing atau See-thian Sian-su datuk Beng-kauw. Akan tetapi ketika itu dia tidak sempat berkenalan, apa lagi karena tokoh Khitan ini merupakan tamu kehormatan dan dia sendiri hanyalah murid dari ketua-ketua Beng-kauw saja.

   Tayatonga, atau Tai-lek Hoat-ong, bangkit dan balas menghormat. Baru nampak bahwa biarpun dia bertubuh tinggi besar, akan tetapi ketika berdiri dia agak membongkok. Tokoh ini adalah seorang lihai dari Khitan yang menjadi guru dari An Hun Kiong, yaitu keponakan mendiang pemberontak An Lu Shan yang ingin melanjutkan cita-cita pemberontakan pamannya itu.

   "Dan saudara ini adalah Sin Beng Lama, mewakili Bangsa Tibet. Beliau ini adalah murid dari locianpwe Ba Mou Lama."

   Hek-bin Sai-kong juga cepat memberi hormat kepada Sin Beng Lama, pendeta Tibet yang tinggi kurus itu dan juga cepat dibalas oleh pendeta itu. Kemudian terdengar Tai-lek Hoat-ong berkata, suaranya nyaring sekali.

   "Ji-wi hendak minta bantuan kami, hal itu sudah sepatutnya. Akan tetapi kalau menyuruh saya bertanding melawan seorang dara, hal itu sungguh tidak patut!"

   Ui-bin Sai-kong cepat menjura.

   "Ah, harap locianpwe tidak salah paham. Tentang dara itu, mudah saja. Biar kami sendiri yang menundukkannya. Akan tetapi, karena dara itu tentu dibela oleh orang-orang seperti Pek I Nikouw dan juga Tiong-san Lo-kai, maka kalau dua orang tokoh itu muncul, barulah kami mengharapkan bantuan locianpwe dan juga saudara Sin Beng Lama."

   Tiba-tiba pendeta Lama dari Tibet itu berkata.

   "Membunuh ular harus menghantam kepalanya, membasmi segerombolan harimau harus lebih dulu membunuh biangnya, baru anak-anaknya mudah ditundukkan. Karena yang mendukung keluarga pembesar Yap itu adalah Pek I Nikouw, maka sebaiknya kalau kita lebih dulu mendatangi nikouw itu dan menantangnya, juga minta datangnya Tiong-san Lo-kai. Nah, setelah dua orang tua itu dapat kita tundukkan, apa sukarnya menghajar pembesar penjilat seperti Yap-taijin dan anak cucunya?"

   "Benar sekali!"

   Kata Tai-lek Hoat-ong, tokoh Khitan itu.

   "Dan baru ada harganya, kalau menghadapi orang-orang seperti Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai yang pernah kudengar namanya!"

   Sian Lun terkejut bukan main ketika mendengar semua percakapan itu. Pertama-tama dia sudah kaget sekali mendengar bahwa dara baju hijau yang lihai dan yang datang ke kuil dengan naik kereta indah itu ternyata adalah puteri dari Yap Yu Tek dan Gan Beng Lian, yaitu adik perempuan dari supeknya, Gan Beng Han. Dia pernah mendengar dahulu bahwa mereka itu mempunyai seorang puteri yang bernama Yap Wan Cu. Apakah dara itu Yap Wan Cu? Kemudian dia makin terkejut mendengar rencana persekutuan ini. Dia teringat akan cerita Ong Gi atau Ong ciangkun tentang tiga kelompok yang kini diam-diam bermusuhan di dalam negara. Kelompok pertama tentu saja fihak pemerintah yang didukung oleh para pendekar dan dipelopori oleh Siauw-lim-pai dan Thai-san-pai, kelompok ke dua adalah golongan Im-yang-kauw, Pek-lian-kauw, dan Bangsa Uighur.

   Adapun kelompok ke tiga adalah Bangsa Khitan, Tibet, dan Beng-kauw, yang kini wakil-wakilnya mangadakan pertemuan di dalam kuil tua ini! Rencana persekutuan terakhir ini sekarang hendak menghancurkan keluarga Yap, bahkan dengan cara untuk mengalahkan Pek I Nikouw dan Tiong-san Lokai, guru dari suami isteri ayah bunda Yap Wan Cu! Dia harus menghalangi perbuatan itu! Akan tetapi kalau dia sekarang muncul dan menyerang kelompok yang berada di dalam kuil, berarti dia yang mencari perkara. Padahal, selalu gurunya menekankan kepadanya bahwa dia sama sekali tidak boleh menonjolkan kepandaiannya, tidak boleh mencari perkara dengan orang lain dan hanya boleh mempergunakan kepandaian di waktu perlu saja, yaitu kalau dia terancam keselamatannya atau kalau dia melihat orang lain terancam keselamatan mereka. Jadi tugasnya hanyamemperingatkan ayah bunda Wan Cu agar siap sedia dan berhati-hati karena ada fihak musuh yang mengintai keselamatan keluarga mereka!

   Setelah berpikir masak-masak, Sian Lun meninggalkan tempat itu dengan hati-hati dan bergegas pergi ke dalam kota An-kian. Keramaian masih berlangsung di Kuil Hok Tek Cing Sien dan Sian Lun melihat pula kereta indah tadi masih menanti di situ, berarti bahwa gadis baju hijau yang diduganya tentu Yap Wan Cu adanya itu masih berada di kuil dan mungkin sedang nonton wayang di antara banyak tamu yang memenuhi kuil. Karena tidak ada kepentingan bagi dia untuk bertemu dengan Wan Cu, apa lagi karena mereka berdua tentu tidak saling mengenal lagi semenjak mereka bertemu ketika masih kecil, Sian Lun lalu cepat pergi mencari keterangan di mana tinggalnya Yap Yu Tek, putera Yap-taijin.

   Betapapun juga, Yap Yu Tek adalah suami dari Gan Beng Lian, adik kandung supeknya, maka kepada suami isteri inilah dia berani bertemu, dan dia merasa tidak pantas kalau dia lancang menemui Yap-taijin atau Pek I Nikouw yang dia tahu menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio di luar tembok kota An-kian. Mudah saja bagi Sian Lun untuk memperoleh keterangan di mana tinggalnya Yap Yu Tek. TernyataYap Yu Tek tinggal tidak jauh dari gedung kabupaten di mana ayahnya menjadi pembesar dan putera Yap-taijin ini ternyata tidak mau menjadi pejabat pemerintah seperti ayahnya, melainkan membukatoko obat dan rempah-rempah.

   Ketika Sian Lun datang bertamu, dia diterima oleh Yap Yu Tek sendiri, seorang laki-laki tampan dan bersikap lemah lembut, berusia hampir empatpuluh tahun. Dengan halus budi Yap Yu Tek mempersilakan Sian Lun duduk dan menanyakan maksud kedatangannya.

   "Apakah saya berhadapan dengan paman Yap Yu Tek?"

   Sian Lun bertanya dengan sikap hormat.

   Yap Yu Tek mengangguk dan memandang wajah pemuda tampan itu dengan penuh selidik. Sian Lun cepat menjura dengan hormat dan wajahnya berseri.

   "Paman Yap, terimalah hormat saya. Saya Tan Sian Lun"".."

   "Tan Sian Lun"".?"

   Yap Yu Tek mengerutkan alis, mengingat-ingat.

   "Siapakah tamumu"".?"

   Tiba-tiba muncul seorang nyonya setengah tua yang masih cantik sekali dan Sian Lun segera dapat menduga siapa adanya nyonya berusia beberapa tahun lebih muda dari Yap Yu Tek itu.

   "Bibi tentulah bibi Gan Beng Lian,"

   Katanya sambil cepat memberi hormat dengan menjura dan mengangkat kedua tangan ke depan dada.

   "Saya Tan Sian Lun"".."

   "Ah""..! Sian Lun""..? Engkau lenyap bertahun tahun..... ah, selama ini kemana saja engkau?"

   Gan Beng Lian berseru dan memegang lengan pemuda itu.

   Sian Lun mengangguk.

   "Saya sudah mendengar ketika saya datang mengunjungi Cin-an dan saya sudah mengunjungi makam mereka" "

   "Kasihan kakanda Beng Han dan so-so (kakak ipar perempuan)"".."

   Nyonya itu menghapus beberapa butir air matanya.

   "Saya juga sudah bertemu dengan Thian Ki Hwesio dari Kuil Ban-hok-tong, dan telah mendengar semua keterangan dengan jelas tentang peristiwa yang terjadi. Akan tetapi, paman Yap berdua, pertama-tama maksud kunjungan saya adalah untuk bertanya kepada paman berdua tentang KINI"

   Yap Yu Tek teringat.

   "Ahhh! Jadi engkau keponakan kakanda Gan Beng Han yang kabarnya dibawa pergi oleh seorang sakti yang menolongmu ketika terjadi keributan di Kuil Ban-hok tong itu? Duduklah dan maafkan aku karena tadi aku lupa sama sekali"."

   "Sian Lun, sudah tahukah engkau akan kakanda Beng Han dan isterinya...".?"

   Suara nyonya itu tertahan isak

   ketika mengajukan pertanyaan ini. keadaan sumoi Gan Ai Ling dan keadaan sute Coa Gin San.

   "Apakah paman berdua mengetahui keadaan mereka?"

   "Adikmu Ai Ling diajak pergi oleh cukongnya, yaitu Lui Sian Lojin dan sampai sekarang tidak ada kabarnya, entah diajak ke mana, mungkin dilatih ilmu di Kwi-hoa-san. Sedangkan mengenai sutemu Coa Gin San, murid kakanda Beng Han itu, tidak ada yang tahu di mana dia berada. Semenjak peristiwa di Kuil Ban hok tong itu, dia tidak pernah terdengar beritanya."

   Sian Lun mengangguk dan tahulah dia bahwa Gin San yang oleh Thian Ki Hwesio dikabarkan sebagai orang yang telah memiliki kepandaian tinggi sekali itu tidak datang ke An kian. Sian Lun tidak ingin bicara tentang dirinya dan tentang ilmu-ilmu yang dia pelajari dari gurunya, yaitu mendiang Siangkoan Lojin. Maka dia lalu cepat menceritakan tentang maksud kunjungannya yang ke dua, yaitu yang ada hubungannya dengan Yap Wan Cu.

   "Harap paman dan bibi suka tenang, sebenarnya, maksud ke dua dari kunjungan saya ini cukup gawat. Mula-mula saya melihat pertandingan di depan Kuil Hok Tek Ceng Sien antara tiga orang pria melawan seorang dara yang kalau tidak salah dugaan saya adalah puteri paman dan bibi"".."

   "Wan Cu"..!"

   Gan Beng Lian berseru kaget.

   "Ada apakah, ibu?"

   Tiba tiba terdengar jawaban suara lembut dan dari pintu depan muncullah seorang gadis cantik yang berpakaian hijau, dan gadis ini bukan lain adalah dara yang bertanding dengan tiga orang laki-laki kurang ajar di depan kuil tadi.

   Sian Lun segera bangkit berdiri dan dia memandang kepada gadis itu dengan muka berobah merah dan jantung berdebar. Entah mengapa, akan tetapi berhadapan dengan dara yang dikaguminya ini dia merasa canggung sekali dan tanpa dapat dikuasainya lagi jantungnya berdebar aneh! Tadinya wajah dara itu berseri gembira dan dengan lincahnya dia setengah berlari memasuki ruangan itu, akan tetapi ketika dia melihat bahwa ayah ibunya sedang bicara dengan seorang tamu dan kini pemuda yang menjadi tamu itu sudah berdiri, seorang pemuda tampan sekali dan berpakaian sederhana, tentu saja dara ini merobah sikapnya. Dia mengalihkan pandang matanya ketika sinar matanya bertemu dengan pandang mata pemuda itu, lalu melanjutkan kata-katanya.

   "Mengapa ibu memanggil namaku tadi?"

   "Wan Cu, benarkah engkau telah membuat keributan di luar kuil tadi dan berkelahi dengan tiga orang pria?"

   Yap Yu Tek menegur puterinya dengan alis berkerut dan pandang mata penuh teguran.

   Berobah wajah dara itu dan kini terbayang kemarahan ketika dia mengerling ke arah pemuda yang menjadi tamu ayah bundanya ttu, lalu terdengar dia mengomel.

   "Hemm, kiranya sudah ada saja orang bermulut ceriwis dan berlidah panjang yang mengadu kepada ayah ibu?"

   "Wan Cu"".!"

   Ibunya menghardik. Wajah Sian Lun menjadi merah sekali dan dia cepat memberi hormat kepada dara itu sambil berkata.

   "Maaf, memang benar aku yang menyampaikan berita itu, akan tetapi aku bukan mengadu melainkan hendak menyampaikan berita penting sekali sebagai akibat dari pada pertandingan itu."

   "Hemm, apapun akibatnya aku sendiri yang akan menanggung dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan orang luar!"

   Dara itu berkata lagi dengan sikap ketus biarpun kata-katanya masih halus, sedangkan sepasang matanya memancarkan sinar penuh kemarahan karena dia menganggap pemuda ini amat lancang telah berani mengadu kepada ayah bundanya sehingga baru saja pulang dia kena tegur ayahnya.

   "Wan Cu, jangan kurang ajar kau! Dia ini bukan orang luar, dia adalah Tan Sian Lun, keponakan dari mendiang uwakmu Gan Beng Han, anak yang hilang pada sepuluh tahun yang lalu itu "

   "Ahh"".!"

   Wajah yang cantik itu berobah, sinar kemarahan lenyap seketika dari matanya dan kini dia memandang kepada Sian Lun penuh perhatian, dari kepala sampai ke kaki, kemudian dia menjura untuk memberi hormat

   "Ah, maafkan aku, Tan"". suheng. Engkau adalah keponakan dan juga murid paman tuaku, maka aku harus menyebutmu suheng, bukan? Maafkan aku karena tidak mengenalmu sehingga mengeluarkan kata kata keras. Akan tetapi, hal apakah yang hendak kausampaikan, yang menjadi akibat keributan tadi?"

   Sian Lun tersenyum, hatinya lega. Tadi dia sudah merasa risau sekali melihat dara itu marah-marah kepadanya. Kiranya dara ini manis budi dan lincah, dan memiliki watak yang keras dan berani, akan tetapi juga ramah dan...". bukan main cantiknya! "Akulah yang harus minta maaf"". moi-moi, karena datang-datang aku menimbulkan kekagetan dan ketidaksenangan hatimu"".."

   "Duduklah, Sian Lun, duduklah dan ceritakan apa yang terjadi,"

   Kata Yap Yu Tek.

   Mereka berempat duduk kembali dan dengan sikap hormat dan suara halus Sian Lun lalu menceritakan bahwa dia tadi melihat orang yang berjuluk Harimau Hitam atau Macan Hitam itu dibawa pergi oleh seorang pendeta. Karena merasa heran, dia membayangi dan kemudian dia menceritakan tentang pertemuan antara orang Khitan, Tibet dan orang-orang Beng-kauw di kuil rusak.

   "Macan Hitam itu ternyata adalah murid Beng-kauw dan yang membawanya pergi adalah gurunya. Dan mereka itu menencanakan maksud yang amat jahat terhadap keluarga paman Yap dan juga terhadap guru guru paman dan bibi."

   Dia lalu bercerita tentang niat persekutuan itu untuk menentang Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai di Kuil Kwan Im Bio.

   Mendengar penuturan itu, Yap Yu Tek dan Gan Beng Lian terkejut bukan main, akan tetapi Yap Wan Cu bangkit berdiri, mengepal tinjunya dan berkata.

   "Ayah dan ibu, karena aku yang menimbulkan gara-gara, biarlah aku yang akan menghadapi Macan Hitam dan gerombolannya! Sekali ini akan kubasmi mereka!"

   "Wan Cu, kaukira akan semudah itu?"

   Ayahnya menegur.

   "Kalau mereka itu sudah berani menantang suhu dan juga guru ibumu, berarti mereka itu tentu memiliki kepandaian tinggi sekali. Urusan ini gawat sekali, hanya menyangkut suhu dan guru ibumu, bahkan juga melibat keselamatan keluarga kong-kongmu (kakekmu). Sekarang juga aku dan ibumu-harus pergi ke gedung kong-kongmu, untuk memberi laporan agar di sana diadakan penjagaan, dan kami juga harus menjaga keselamatan keluarga di sana. Engkau pergilah ke kuil, temui guru ibumu dan ceritakan segala yang terjadi."

   "Apakah tidak berbahaya kalau dia pergi sendiri saja?"

   Gan Beng Lian menyatakan kekhawatirannya.

   "Biarlah saya menemani adik Wan Cu, bibi. Mungkin Pek I Nikouw akan bertanya sesuatu kepada saya tentang apa yang saya saksikan dan dengar di kuil tua itu,"

   Sian Lun berkata, menawarkan tenaganya.

   Yap Yu Tek yang berpenglihatan tajam itu sudah dapat menduga bahwa pemuda ini bukan pemuda sembarangan dan sikapnya menunjukkan bahwa pemuda ini boleh dipercaya, sopan dan baginya mudah saja menduga bahwa pemuda ini telah memiliki kepandaian tinggi. Kalau tidak, mana mungkin mengintai ke kuil rusak di mana berkumpul musuh-musuh yang pandai tanpa diketahui? Maka dia cepat berkata.

   "Baiklah, Sian Lun. Kau menemani adikmu Wan Cu ke Kuil Kwan im bio. Biar pembicaraan kita lanjutkan kelak kalau urusan ini sudah lewat, maafkan penyambutan kami yang singkat ini."

   Yap Yu Tek lalu memerintahkan para pembantu untuk menutup toko, kemudian dia bersama isterinya bergegas pergi ke gedung ayah mereka, sedangkan Yap Wan Cu bersama Sian Lun pergi keluar kota An-kian menuju ke Kuil Kwan-im-bio yang berada di luar kota, di tempat yang sunyi.

   Beberapa kali Wan Cu mengerling ke kiri, ke arah pemuda yang berjalan di sampingnya itu. Pemuda yang amat pendiam, padahal sudah beberapa kali dia mengajaknya bercakap cakap di sepanjang perjalanan menuju ke Kuil Kwan-im-bio. Pemuda itu hanya menjawab sekedarnya saja dan kelihatan canggung dan malu-malu. Dia sudah banyak mendengar tentang pemuda ini dari ibunya. Ibunya sering bercerita tentang paman tuanya, yaitu mendiang Gan Beng Han dan isteri pamannya itu, yaitu Kui Eng yang masih kakak beradik seperguruan, juga ibunya pernah bercerita tentang mendiang Tan Bun Hong, sute dari pamannya.

   "Mereka bertiga, kakak Gan Beng Han, Tan Bun Hong dan Kui Eng merupakan tiga orang kakak beradik murid Lui Sian Lojin dan terkenal sebagai tiga orang pendekar yang gagah perkasa, bahkan dikenal sebagai Tiga Naga yang mengamuk seakan-akan baru turun dari angkasa, menggegerkan kota raja dalam usaha mereka menentang pembesar pembesar lalim,"

   Demikian antara lain ibunya bercerita. Dan diapun sudah mendengar bahwa sute dari pamannya itu, Tan Bun Hong, menikah dengan puteri pangeran, akan tetapi karena dia pernah mengamuk di kota raja bersama dua orang saudara seperguruannya itu, akhirnya dia ketahuan dan keluarga isterinya terbasmi semua, dia sendiri gugur dengan gagahnya. Dan Tan Sian Lun, pemuda yang kini berjalan dengan kepala tunduk di sampingnya adalah putera dari pendekar Tan Bun Hong itu!

   "Tan-suheng, engkau tentu pandai ilmu silat."

   "Ah, sama sekali tidak, adik Wan Cu."

   "Hemm, sejak tadi engkau menyebutku moi-moi (adik), mengapa tidak sumoi (adik seperguruan)?"

   Wan Cu menoleh dan menatap wajah itu sambil memandang dengan sinar mata penasaran.

   Sian Lun berhenti melangkah dan mereka berdiri saling berhadapan "Wan Cu moi-moi, maafkan aku kalau aku tidak berani menyebutmu sumoi, karena sesungguhnya perguruan kita bersumber lain. Bukankah guru dari ayahmu adalah Tiong-san Lo-kai tokoh Bu-tong-pai sedangkan guru dari ibumu adalah Pek I Nikouw tokoh Thai-san-pai? Sedangkan mendiang paman dan bibi guruku, juga mendiang ayahku adalah murid murid dari Lui Sian Lojin, bukan dari partai manapun. Jadi antara perguruan kita tidak ada hubungan, moi-moi."

   Yap Wan Cu tersenyum.

   "Ah, mengapa kau membikinnya menjadi demikian ruwet? Engkau adalah murid keponakan dari paman tuaku, jadi untuk mudahnya aku menyebutmu suheng. Menyebut kakak seperguruan atau kakak biasa apa sih bedanya?"

   Sian Lun juga tersenyum. Gadis ini keras hati dan pemberani, namun selain ramah dan lincah, juga wataknya sederhana.

   "Sebetulnya sih tidak ada bedanya, hanya aku"". ah, mana aku berani kausebut suheng, padahal engkau memiliki kepandaian silat yang demikian lihai?"

   "Kakak Sian Lun, jangan engkau merendahkan diri. Menurut penuturan ayah ibuku, di waktu engkau lenyap sepuluh tahun yang lalu, kabarnya engkau dibawa pergi seorang sakti. Engkau diajar apa sajakah selama sepuluh tahun ini?"

   "Aku diajar hidup sebagai petani dan sebagai nelayan."

   "Ehh?"

   Dara itu memandang heran dan mengangkat kedua alisnya yang kecil hitam dan panjang sehingga Sian Lun melongo karena terpesona oleh kecantikan wajah dara itu.

   "Untuk apakah pelajaran bertani dan menangkap ikan?"

   Kini Sian Lun memandang dengan sinar muta tajam dan sikapnya sungguh-sungguh ketika dia menjawab.

   "Cu-moi, menurut kenyataannya, belajar bertani dan belajar menangkap ikan jauh lebih bermanfaat bagi kehidupan manusia dari pada belajar ilmu silat! Lihatlah hasil karya dari para petani dan nelayan! Hasil karya mereka merupakan kebutuhan hidup dari banyak orang, bukan kebutuhan mereka sendiri. Betapa semenjak lahir kita telah berhutang budi kepada para petani dan nelayan. Akan tetapi, apakah hasil karya dari para ahli silat? Tak lain hanya kekerasan, permusuhan dan saling bunuh!"

   Dara itu mengerutkan alisnya, berpikir keras karena dia merasa tidak setuju sepenuhnya dengan ucapan pemuda itu.

   "Akan tetapi, Lun-ko, kalau semua orang yang jujur dan baik menjadi petani dm nelayan sedangkan semua orang yang jahat menjadi ahli silat, habis siapakah yang akan menentang penindasan dan kejahatan yang dilakukan oleh para penjahat itu terhadap para rakyat yang lemah? Kalau tidak ada para pendekar yang ahli silat untuk menghadapi mereka yang jahat, akan bagaimana jadinya dengan kehidupan ini?"

   Sian Lun menarik napas panjang.

   Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Demikianlah kenyataanya, moi-moi. Betapa banyaknya orang yang mempergunakan ilmu silat atau kekuatan atau kekuasaan untuk menindas orang lain sehingga orang-orang yang tidak suka akan kekerasanpun terpaksa harus mempelajari silat untuk membela kaum lemah yang tertindas. Memang benar ucapanmu, ilmu silat, seperti juga ilmu bertani dan mencari ikan, hanyalah ilmu yang semuanya berguna, tidak baik maupun buruk sifatnya, karena baik atau buruknya itu tergantung kepada si manusia yang memiliki ilmu itu. Ilmu macam apapun di dunia ini, kalau dipergunakan untuk menyenangkan diri sendiri dan mencelakakan orang lain, menjadi ilmu jahat dan sebaliknya kalau dipergunakan untuk menolong orang lain, adalah ilmu yang baik."

   Dara itu tertawa dan memandang kepada Sian Lun dengan girang.

   "Nah, begitu baru aku setuju, koko! Jadi, engkau hanya belajar bertani dan menangkap ikan dari orang sakti yang membawamu itu? Apakah engkau tidak diberi pelajaran ilmu silat oleh gurumu? Apakah engkau tidak mempelajari silat, Lun ko?"

   Sian Lun tersenyum. Dia mengangguk dan menjawab sederhana.

   "Ada sedikit aku mempelajari ilmu silat, akan tetapi hanya sedikit, moi-moi."

   "Ah, engkau tentu pandai!"

   "Tidak bisa dibandingkan denganmu."

   "Ah, aku tidak percaya. Lain kali aku akan minta petunjukmu, koko Sekarang mari kita cepat-cepat pergi ke Kwan im bio."

   Setelah berkata demikian, tubuh dara itu melesat cepat sekali karena dia sudah mempergunakan ginkang untuk berlari cepat ke depan. Sian Lun tersenyum. Dara itu memang cerdik sekali, dia harus berhati-hati agar tidak sembarangan mengeluarkan kepandaian kalau tidak terpaksa sekali, sesuai dengan ajaran dan sikap mendiang gurunya. Maka begitu melihat Wan Cu berlari cepat yang dia tahu adalah akal dara itu untuk menguji kepandaiannya, atau setidaknya menguji ginkangnya, diapun berlari cepat akan tetapi tanpa mempergunakan ilmunya, hanya lari cepat biasa saja mengandalkan kekuatan kedua kakinya. Tentu saja dia tertinggal jauh sekali oleh dara yang larinya seperti kijang cepatnya itu! Sebentar saja tubuh dara itu telah berkelebat dan lenyap di sebuah tikungan jalan.

   Ketika Sian Lun tiba di tikungan itu, dia tidak melihat Wan Cu, akan tetapi dia menahan senyum ketika tiba tiba tubuh dara itu berkelebat dari atas pohon, menyambar turun ke depannya seperti seekor burung garuda! Dara itu memang lincah dan memiliki ginkang yang lumayan dan agaknya kini sedang memamerkan kepandaiannya kepadanya.

   "Ah, engkau membuat aku kaget saja, moi-moi! Larimu cepat sekali!"

   Wajah cantik itu berseri gembira, matanya bersinar sinar, akan tetapi mulut yang manis itu tersenyum dan berkata merendah.

   "Ah, larimu juga cepat, koko."

   Kini mereka berjalan berdampingan dan Wan Cu tidak lagi mempergunakan ilmu lari cepat, juga tidak lagi bertanya tentang ilmu silat karena dia merasa sudah cukup menguji tadi. Pemuda ini mungkin hanya mempelajari sedikit saja ilmu silat!

   Akhirnya tibalah mereka di Kuil Kwan-im-bio yang sunyi letaknya di luar kota itu. Akan tetapi dari jauh saja Sian Lun sudah memandang dengan hati tegang. Jantungnya berdebar ketika dia mengenal beberapa orang berada di depan kuil itu.

   "Ah, agaknya nenek guru sedang menghadapi tamu!"

   Wan Cu berseru dan tiba-tiba dia merasa lengannya dipegang orang dan ketika dia menoleh, terheranlah dia melihat ketegangan membayang di wajah pemuda yang biasanya

   tenang itu,

   "Ada apakah, Lun ko?"

   "Mereka"".. mereka adalah orang-orang yang kuceritakan itu, dari kuil rusak itu""."

   

Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini