Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 28


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 28



"Ah, jadi mereka telah tiba di sini? Bagus, mari kita cepat membantu nenek""."

   Sian Lun hendak mencegah, akan tetapi dara itu sudah cepat meloncat ke depan dan berlari cepat sehingga terpaksa Sian Lun juga mengikutinya dari belakang.

   Memang benar dugaan Sian Lun, Nampak Tai-lek Hoat-ong atau Tayatonga, tokoh Khitan raksasa bongkok itu telah berada di situ, bersama Sin Beng Lama dari Tibet, dan dua orang tokoh Beng-kauw, yaitu Ui bin Sai-kong dan Hek bin Sai-kong! Dan di fihak Kuil Kwan-im-bio nampak seorang nikouw tua dan seorang kakek pengemis bersama beberapa orang nikouw Kwan-im-bio yang memandang dengan alis berkerut.

   Sian Lun dapat menduga bahwa nikouw tua itu tentulah Pek I Nikouw, karena selain sudah tua juga pakaiannya serba putih, sesuai dengan julukannya, yailu Pek I Nikouw ( Peu-deta Wanita Baju Pulih) Sedangkan kakek berpakaian pengemis itu agaknya adalah Tiong-san Lo-kai!

   Pada saat Wan Cu dan Sian Lun tiba di situ, terdengar Hek-bin Sai kong yang mukanya hitam penuh brewok berkata nyaring.

   "Bagus sekali, Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai! Ayah bunda gadis itu adalah murid kalian! Kami adalah orang-orang yang tahu aturan, maka kami tidak mau berurusan dengan mereka, melainkan langsung mendatangi kalian untuk minta pertanggungan jawab kalian. Gadis cucu murid kalian itu telah menghina kami, menghina Beng-kauw, oleh karena itu Beng kauw minta pertanggungan jawab kalian!"

   Sebelum Pek I Nikouw atau Tiong san Lo-kai menjawab, terdengar Wan Cu yang sempat mendengar ucapan tokoh Beng-kauw itu sudah berseru nyaring sekali.

   "Memang aku yang berbuat dan aku yang bertanggung jawab! Aku yang menghajar tiga orang kurang ajar itu, dan kalau ada orang lain hendak membela penjahat-penjahat hina itu, majulah, aku Yap Wan Cu tidak takut menghadapinya!"

   "Wan Cu, apa yang telah kaulakukan?"

   Hampir berbareng kakek dan nenek itu menegur.

   "Harap ji-wi tidak menanggapi omongan mereka ini, teecu telah menghajar tiga orang laki-laki hina yang telah berani bersikap kurang ajar kepada teecu di depan Kuil Hok Tek Ceng Sien di depan banyak orang. Teecu tidak tahu mereka itu murid-murid Beng-kauw atau murid dari neraka, yang teecu ketahui hanya bahwa mereka itu hendak kurang ajar kepada teecu, maka teecu menghajar mereka. Masih baik teecu tidak membunuh mereka. Kalau sekarang ada antek antek mereka, atau guru-guru mereka, datang hendak membela, teecu akan menghadapinya!"

   "Bagus! Bocah sombong, kau majulah!"

   Hek-bin Sai-kong sudah meloncat ke depan dan begitu kedua tangannya bergerak, terdengar suara berkerotokan!

   "Siapa takut padamu!"

   Wan Cu juga meloncat ke depan.

   "Wan Cu, mundur kau!"

   Pek I Nikouw membentak, akan tetapi dasar dara itu luar biasa tabahnya, dia meloncat sambil menyerang dengan pukulan keras ke arah muka Hek-bin Sai-kong!

   "Plak-plak!"

   Tubuh dara itu terlempar ke belakang dan dia tentu sudah roboh terjengkang kalau saja tidak secara kebetulan dia terlempar ke arah Sian Lun dan menabrak pemuda ini yang sudah cepat menangkap lengannya.

   "Dia lihai sekali, Cu moi""""

   Sian Lun berbisik, akan tetapi dara itu memang keras kepala. Dengan marah sekali dia mencabut pedangnya dan tanpa memperdulikan bujukan Sian Lun dan teguran Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai, dia sudah menerjang ke depan, menyerang Hek-bin Sai-kong dengan pedangnya.

   Kedua tangan pendeta muka hitam itu bergerak dan tahu-tahu nampak dua sinar berkelebat. Kiranya dia sudah mencabut keluar sepasang pedangnya dan dua kali pedang itu berkelebat, terdengar suara berdencing nyaring dibarengi teriakan Wan Cu karena kalau dia tidak membuang tubuh ke belakang, hampir saja ujung pedang lawan menggores mukanya!. Wajah dara itu menjadi pucat sekali dan pada saat itu Pek I Nikouw sudah meloncat ke depan dan menarik lengan Wan Cu, lalu mendorongnya ke belakang.

   "Apakah engkau sudah bosan hidup? Mundurlah dan jangan ikut campur!"

   Wan Cu tidak membantah lagi karena maklumlah dia bahwa fihak lawan terlalu lihai sehingga bukan lawannya, maka dia lalu mundur dan berdiri di dekat Sian Lun sambil menyimpan pedangnya.

   "Benar, dia lihai sekali...""

   Bisiknya kepada pemuda itu, tidak tahu betapa pemuda itu masih berdebar tegang dan betapa pemuda itu tadi sudah siap siap, menegang seluruh urat syarafnya karena siap untuk menyelamatkannya apa bila saikong itu menurunkan tangan kejam!

   "Omitohud, agaknya anda benar-benar mendesak kami!"

   Pek I Nikouw berkata sambil melangkah maju menghadapi Hek-bin Sai-kong.

   "Sebenarnya, apakah yang kalian kehendaki?"

   "Pek I Nikouw, cucu muridmu adalah cucu dari Yap taijin, dan sudah berani menghina murid kami yang bernama Ma Siok, bahkan tadi telah berani menyerangku pula. Kalau tidak ingat bahwa dia itu seorang anak-anak, apakah dia masih dapat bernapas sekarang?"

   Hek-bin Sai-kong berkata.

   "Bukan hanya urusan pribadi yang membuat kami ditang, melainkan karena penghinaan itu berarti penghinaan terhadap Beng-kauw oleh seorang cucu pembesar dan cucu muridmu. Oleh karena itu, maka aku dan teman-teman datang untuk menantang engkau dan Tiong-san Lo-kai sebagai kakek guru dan nenek guru dara itu!"

   "Ha-ha ha, bagus sekali, sejak kapankah orang orang Beng-kauw menarik bantuan seorang pendeta Lama dari Tibet dan seorang tokoh Khitan? Apakah sejak tersiar desas desus bahwa Beng-kauw bersama orang-orang Tibet dan Khitan sedang bergerak hendak memperebutkan kedudukan?"

   Tiba tiba Tiong-san Lo-kai yang sejak tadi diam saja berkata dengan tertawa dan menir|ck.

   Dengan alis berkerut Tai-lek Hoat-ong bertanya kepada Hek-bin Saikong.

   "Hek-bin Sai-kong, siapakah jembel tua ini?"

   "Hemm, Tai-lek Hoat-ong, namamu sudah kukenal karena selamu beberapa tahun ini engkau sudah banyak melakukan hal-hal yang menggemparkan. Engkau mau mengenal jembel tua bangka ini? Aku adalah Tiong-san Lo-kai."

   "Aha, inikah orangnya?"

   Hanya demikian Tai-lek Hoat-ong berkata, sikapnya menghina sekali.

   "Terserah apa yang kalian katakan, Pek I Nikouw din Tiong-san Lo-kai! Kami datang berempat dan kalau kalian merasa takut, hayo cspat ajak cucu murid kalian itu berlutut dan minta ampun kepada kami, juga memenuhi syaratku seperti kalau kalian kalah dalam pertandingan melawan kami."

   "Hemm, kalau kami takut atau kalah, apakah syaratmu?"

   Pek I Nikouw bertanya, suaranya masih halus karena nikouw ini memang sabar sekali.

   "Syaratnya, adalah pengikatan kekeluargaan. Nona ini harus menjadi isteri muridku yang jatuh cinta kepadanya."

   "Jahanam busuk! Lebih baik aku mampus!"

   Wan Cu sudah menjerit dan tangan kanannya bergerak. Sinar kecil dari jarum-jarum halus menyambar ke arah Hek bin Sai kong Itulah jarum-jarum amat terkenal dari Pek I Nikouw yang telah dipelajari dara itu dari ibunya, yaitu jarum-jarum Cai-li Toat beng ciam, semacam jarum pencabut nyawa yang luar biasa ampuhnya.

   "Huhh"".!"

   Hek-bin Sai-kong cepat menggerakkan tangannya dan lengan baju yang lebar itu menyampok, akan tetapi dengan terkejut dia terpaksa menarik tubuh atas ke belakang karena masih ada jarum yang lewat dan mengancam mukanya. Dia terkejut sekali dan marahlah saikong ini. Akan tetapi sebelum dia dapat menyerang Wan Cu, Pek I Nikouw telah meloncat ke depannya sambil menghadang dan membelakangi cucu muridnya.

   "Hek-bin Saikong, pinni (aku) terima tantanganmu!"

   Kata Pek I Nikouw dengan sikap tenang.

   "Akan tetapi, kalian tidak boleh membawa-bawa nona ini! Biarlah kalau pinni dan Tiong-san Lo-kai kalah, kalian boleh melakukan apa saja terhadap kami, sebaliknya kalau kalian kalah, kalian harus cepat pergi dan tidak boleh mengganggu wilayah An kian lagi. Bagaimana?"

   "Bagus, terima saja, Hek-bin Sai-kong,"

   Terdengar Tai-lek Hoat-ong berkata dan Hek-hin Sai-kong mengangguk.

   "Baik, Pek I Nikouw, kami menerima taruhanmu!"

   Dari jawaban ini dan sikap saikong itu, tahulah Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai bahwa yang sesungguhnya menjadi pemimpin dari empat orang itu adalah orang Khitan ini.

   "Nikouw tua, biarkan aku yang maju menghadapi mereka!"

   Tiong-san Lo-kai yang diam-diam merasa penasaran itu berseru.

   "Tidak, Lo kai. Pinni adalah penghuni kuil ini dan menjadi nyonya rumah, engkau adalah tamu, sungguhpun kita berdua yang ditantang, akan tetapi pinni biarkan maju dulu. Kalau pinni kalah barulah engkau yang maju!"

   Bantah Pek I Nikouw. Memang pada waktu itu, secara kebetulan saja Tiong-san Lo-kai berkunjung ke Kuil Kwan-im-bio dalam perjalanannya menuju ke An-kian untuk menengok muridnya, yaitu Yap Yu Tek. Dan ucapan nikouw tua itupun bukan tanpa alasan, karena dia maklum bahwa ilmu kepandaian kakek pengemis itu masih lebih tinggi setingkat dibandingkan dengan kepandaiannya, maka sebaiknya dia yang maju lebih dulu dan kalau dia terdesak oleh lawan, baru kakek pengemis itu yang turun tangan.

   Pada saat itu, Sian Lun sudah melangkah maju dan memberi hormat kepada Pek I Ni-kouw dan Tiong-san Lo-kai sambil berkata.

   "Ji-wi locianpwe, harap ji-wi suka mengijinkan teecu untuk mewakili ji-wi menghadapi mereka ini."

   Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai memandang dengan heran kepada pemuda itu Mereka tadipun sudah melihat bahwa cucu murid mereka datang bersama pemuda asing ini dan kini mendengai bahwa pemuda itu minta persetujuan mereka untuk mewakili mereka menghadapi empat oiang lawan yang amat tangguh itu, mereka tentu saja terkejut dan terheran.

   "Siapakah tuan muda ini?"

   Tanya Pek I Nikouw kepada Wan Cu.

   Wan Cu sendiri terkejut mendengar permintaan Sian Lun dan hatinya terasa hangat karena kagum dan senang mendengar pemuda itu membela nenek dan kakek gurunya. Sikap pemuda itu dianggapnya gagah berani dan ini amat mengagumkan hatinya, walaupun dia merasa lucu betapa seorang seperti Sian Lun ini berani menghadapi orang-orang yang demikian lihainya sehingga dia sendiri saja sama sekali tidak berdaya menghadapi saikong itu, apa lagi yang lain, yang kelihatan juga amat aneh dan tentu lihai sekali. Sikap Sian Lun itu membuatnya bangga, maka tanpa ragu-ragu dia lalu berkata, menjawab pertanyaan Pek I Nikouw memperkenalkan.

   "Dia adalah Tan Sian Lun suheng!"

   Jawaban ini membuat empat orang lawan itu diam-diam memandang rendah. Apa artinya pemuda itu kalau hanya suheng dari nona muda ini, pikir mereka. Ditambah sepuluh orang lagi seperti pemuda itupun mereka tidak akan takut. Akan tetapi Pek I Nikouw dan Tiong-sin Lo-kai memandang dengan alis berkerut dain tentu saja mereka tidak dapat meluluskan permintaan itu.

   "Suhengmu dari mana""?"

   Pek I Nikouw bertanya lagi karena kalau cucu muridnya ini mempunyai seorang suheng, tentu dia mengenalnya, akan tetapi dia merasa tidak pernah jumpa dengan pemuda ini.

   "Dia adalah murid keponakan dari mendiang paman Gan Beng Han."

   "Omitohud"".. dia yang dulu dibawa pergi oleh seorang locianpwe""..?"

   Pek I Nikouw memandang kepada Sian Lun yang hanya mengangguk lalu menundukkan mukanya karena dia tidak ingin bicara tentang gurunya.

   Akan tetapi, melihat bahwa Sian Lun masih amat muda, di dalam hatinya Pek I Nikouw dan Tiong san Lo-kai tentu saja sangsi apakah orang semuda ini boleh diandalkan untuk menghadapi lawan-lawan yang mereka tahu amat lihai. Dan urusan ini sama sekali tidak menyangkut diri pemuda itu, maka tentu saja mereka tidak mau membiarkan pemuda itu terancam bahaya. Apa lagi pemuda itu bukan merupakan murid segolongan, maka amat tidak baik menyeretnya ke dalam bahaya sehingga melibatkan perguruan atau partai lain ke dalam urusan pribadi.

   "Terima kasih atas kesediaanmu, sicu, akan tetapi biarlah pinni dan Lo kai yang akan menghadapi mereka, tua sama tua,"

   Kata Pek I Nikouw yang kemudian menghadapi empat orang kakek itu dan berkata.

   "Nah, siapakah yang akan memberi petunjuk kepada pinni?"

   Agaknya di antara empat orang penantang itu sudah ada persepakatan, karena tiba-tiba pendeta Lama itu sudah melangkah maju menghadapi Pek I Nikouw dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.

   "Siancai, pinceng mendapat kehormatan untuk melayani Pek I Nikouw, ketua Kwan-im-bio yang terkenal itu! Karena di fihak kalian ada dua orang yang maju, maka fihak kamipun akan maju dua orang, yaitu pinceng sendiri dan Tai lek Hoat-ong."

   Pek I Nikouw memandang calon lawan ini dengan penuh perhatian. Dia hanya pernah mendengar nama Sin Beng Lama, satu di antara para pendeta Lama dari Tibet yang berkeliaran di daratan besar, dan yang namanya terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang yang berilmu tinggi, dan kabarnya Sin Beng Lama ini adalah murid kepercayaan dari tokoh besar Tibet yang berjuluk Ba Mou Lama, yaitu ketua Lama Jubah Merah. Pendeta ini usianya lima-puluh lebih, bertubuh tinggi kurus dan nampaknya masih kuat, pakaiannya sederhana dan jubahnya berwarna merah, sepatunya berlapis baja dan di pinggangnya sebelah kiri terselip sebatang tongkat kuningan yang kecil dan tidak begitu panjang, hanya sepanjang sebatang pedang biasa. Melihat sepatu itu, Pek I Nikouw menduga bahwa lawan ini agaknya seorang ahli tendangan, maka dia mencatat dugaan ini di dalam hatinya.

   "Baik, majulah, Sin Beng Lama!"

   Pek I Nikouw berkata halus dan nenek tua ini sudah memasang kuda kuda setelah dia membalas penghormatan Lama itu.

   "Lihat serangan!"

   Sin Beng Lama berseru keras dan dia mulai menyerang dengan pukulan menyilang. Dua orang ini kelihatan sungkan sungkan Karena mereka berdua adalah pendeta-pendeta yang berjubah pendeta pula, biarpun bukan segolongan namun setidaknya mempunyai aliran yang sama.

   Pek I Nikouw adalah seorang nenek yang sudah tua, tidak kurang dari tujuhpuluh tahun, usianya dan pada dasarnya nikouw ini tidak menyukai kekerasan sungguhpun dia merupakan seorang tokoh Thai-sin pai tingkat dua yang berilmu tinggi. Sudah bertahun-tahun dia tidak pernah bertempur, bahkan dia lebih tekun memperhatikan persoalan batin dari pada ilmu silat, maka boleh dibilang dia kurang latihan. Selain itu, juga tenaganya sudah banyak berkurang, maka kini sekali bertanding menghadapi seorang lawan yang lihai, maka tahulah dia bahwa dia menghadapi bahaya. Melihat cara lawan menyerang dengan ganas, tak tertahankan lagi dia berseru sedih.

   "Omitohud""..!"

   Dan meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri. Hatinya bersedih mengingat bahwa dia harus berkelahi melawan seorang pendeta pula!

   Memang sesungguhnya amat menyedihkan melihat kenyataan betapa kekerasan tak pernah meninggalkan manusia, atau lebih tepat lagi manusia tak pernah dapat terbebas dari kekerasan, biarpun dia telah memiliki pengetahuan bertumpuk-tumpuk dan telah mengusahakan sedapat mungkin untuk menjadi orang baik, menjadi pendeta atau bahkan pertapa! Jelaslah bahwa kebersihan manusia tidak dapat diukur dari kedudukan, usia, bangsa, agama ataupun kepercayaan. Apa lagi diukur dari pakaian yang membeda-bedakan manusia sebagai karyawan, usahawan, seniman, sarjana, pendeta dan sebagainya lagi itu.

   Yang menentukan adalah tindakan yang merupakan pelaksanaan dari pada keadaan batin setiap orang, dan keadaan batin ini hanya diketahui oleh diri sendiri masing-masing! Oleh karena itu, yang dapat membersihkan batin, membebaskan batin, hanyalah diri sendiri belaka! Dan pembersihan ini baru mungkin terjadi apa bila kita masing-masing mengenal diri sendiri, mengenal diri sendiri yang penuh dengan keinginan, ingin senang, ingin baik, ingin berhasil, ingin "maju", ingin melebihi orang lain dalam segala-galanya, dan seribu satu macam keinginan lagi, mengenal diri sendiri yang penuh dengan kemunafikan, kepalsuan, kebencian, iri hati, permusuhan, rasa takut, dan sebagainya.

   Kitalah yang dapat mengenal diri sendiri, dengan mengamatinya Setiap saat, mengamati gerak-gerik jasmani kita, mengamati gerak-gerik hati dan pikiran kita. Tanpa mengenal kekotoran yang melekat pada diri sendiri, mana mungkin timbul pembersihan? Kita selalu menganggap bahwa kita adalah orang yang paling bersih, paling baik, dan dengan demikian kita tenggelam ke dalamkepalsuan ini dan yang kotor menjadi tetap kotor, bahkan menjadi semakin kotor!

   Demikian pula dengan halnya Pek I Nikouw. Dia berduka melihat orang lain menggunakan kekerasan, tanpa menyadari bahwa tanggapannya terhadap kekerasan orang lainitupun merupakan kekerasan yang tidak ada bedanya! Mungkin, seperti yang kita lakukan kalau kita menghadapi kekerasan orang lain dengan ke kerasan pula, Pek I Nikouw akan beranggapan bahwa dia mempergunakan kekerasan demi membela kebenaran! Inilah senjata kita yang selalu kita pergunakan untuk membela diri sendiri, untuk mcmbenarkan diri sendiri, untuk mencarialasan mengapa kita melawan, mengapa kita menggunakan kekerasan. Kita selalu beranggapan bahwa kita marah, kita keras, karena kita membela kebenaran!

   Kita sama sekali tidak mau memandang diri sendiri sehingga nampak jelas bahwa MARAH, BENCI, BERKERAS itu sendiri sudah TIDAK BENAR! Namun kita pakai untuk membela kebenaran! Kebenaran siapa?Tentu saja kebenaran kita sendiri yang boleh saja kita selimuti dengan umum kebenaran agama, bangsa, golongan dan lain-lain lagi yang hanya merupakan pengluasan saja dari pada kebenaran UNTUK AKU. Kita lupa bahwa kalau kita sudah menentukan suatu kebenaran untuk diri sendiri sendiri, maka sudah tentu fihak lawan kitapun memiliki ketentuan suatu kebenaran untuk dirinya sendiri. Maka terjadilah perang kebenaran, perebutan kebenaran dan sudah jelas dapat kita lihat bersama bahwa kebenaran yang diperebutkan itu sesungguhnya BUKANLAH KEBENARAN ADANYA.

   Semenjak sejarah dicatat manusia, selalu manusia berenang dalam lautan kekerasan. Kita menyamakan diri dengan hal-hal yang kita anggap lebih tinggi dari pada kita. Melihat diri kita sendiri yang tidak berarti, yang tidak abadi, maka kita suka melekatkan diri kepada yang kita anggap lebih besar, seperti bangsa, agama, partai, golongan, keluarga, dan lain-lain di mana kita mengharapkan akan dapat "membonceng"

   Untuk mengisi kekosongan dan kedangkalan diri kita sendiri. Maka terjadilah perpindahan kekerasan.

   Kalau tadinya kita memberatkan "aku"

   Masing masing dan menjadi marah, membenci dan sebagainya kalau aku diganggu, maka kini terjadi perpindahan atau bahkan pengluasan si "aku"

   Yang menjadi "negaraku, bangsaku, agamaku, partaiku, golonganku"

   Sehingga marahlah kita kalau semua itu diganggu. Bahkan ada yang mengesampingkan dirinya sendiri, seperti para pendeta dan pertapa, tidak akan marah kalau dirinya diganggu, akan tetapi awas, jangan mengganggu agamanya atau golongannya, karena kalau itu diganggu, dia akan marah dan menggunakan kekerasan! Padahal, golonganku, partai ku, bangsaku dan sebagainya itu hanya

   merupakan pengluasan dari pada si aku itu juga!

   Dapatkah kita hidup bebas dari segala ikatan, segala pelekatan, segala penyamaan diri bebas dari si aku dengan segala bentuknja dan pengluasannya yang penuh dengan pengajaran kesenangan sehingga menimbulkan kebenaran sendiri-sendiri dan akibatnya menimbulkan konflik dan pertentangan?

   Karena terus diserang dan didesak oleh lawannya, akhirnya Pek I Nikouw juga membalas serangan serangan lawan dengan serangan-serangan maut dan pukulan-pukulannya yang kelihatannya lemah lembut namun sesungguhnya mengandung tenaga sinkang yang murni dan masih kuat di samping ketepatan sasaran yang disambar oleh jari-jari tangannya yang kecil, yaitu bagian bagian yang mematikan.

   Tiba-tiba terdengar Sin Beng Lama mengeluarkan bentakan nyaring dan terus-menerus. Kiranya dia telah mempergunakan ilmu tendangannya dan kedua kaki yang terbungkus sepatu berlapis baja itu sudah menyambar bertubi-tubi dan saling susul kiri dan kanan-Hebat sekali tendangan-tendangan itu karena selain cepat dan kuat, juga datangnya secara tidak terduga duga. Agaknya kedua kaki pendeta Lama ini dapat melancarkan tendangan diri segala macam posisi. Agak repot juga Pek I Nikouw menghadapi serangkaian tendangan ini. Akan tetapi setelah terancam bahaya, nikouw tua ketua Kwan-im-bio yang memang memiliki dasar ilmu silat murni dari Thai-san-pai ini, mendapatkan kembali ketenangannya dan pulih kembali kelincahannya yang dahulu, secara otomatis tubuhnya bergerak dan mengulur langkah-langkah Thai-san sin-po sehingga akhirnya lawannya sendiri yang terengah-rngah kehabisan tenaga karena melakukan tendangan lebih membutuhkan dan menghamburkan tenaga dari pada pukulan tangan.

   "Lihat senjata!"

   Tiba-tiba pendeta Tibet itu berseru dan nampak sinar kuning berkelebat. Kiranya dia telah mencabut tongkat kuningan dan menggunakan senjata ini untuk melakukan totokan ke arah leher lawan.

   Terkejutlah Pek l Nikouw karena nyaris di terkena totokan maut itu. Cepat dia membuang tubuhnya yang tua ke belakang dan karena dia meragukan kelincahan tubuhnya yang sudah tua, dia tidak berani berjungkir balik seperti ketika masih muda, melainkan terus menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan menyelamatkan diri dari pengejaran tongkat. Ketika dia meloncat berdiri, seorang nikouw yang membawa pedangnya telah melemparkan pedang itu ke arah Pek I Nikouw yang cepat menyambar gagang pedangnya. Timbul kembali semangat Pek I Nikouw setelah merasakan gagang pedangnya di tangan.

   Melihat lawan sudah menerjang lagi, dia memutar pedangnya dan segera pedang itu lenyap bentuknya, berobah menjadi gulungan sinar yang indah sekali karena nenek ini telah mainkan ilmu pedang Thai san-pai yang sudah terkenal keindahannya, yaitu Ngo-lian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Lima Teratai). Berkali-kali terdengar suara berdencing nyaring kalau pedang bertemu dengan tongkat kuningan dan yang nampak hanya dua gulungan sinar putih dan kuning, diseling muncratnya bunga api yang berpijar.

   Diam-diam Wan Cu merasa khawatir dan terkejut sekali. Baru sekarang dia melihat betapa sikapnya tadi amat lucu dan memalukan. Sedangkan nenek gurunya saja agaknya tidak mudah mengalahkan seorang lawan, apa lagi dia sebagai cucu murid Pek I Nikouw? Dan dia tadi membuka mulut besar menantang mereka! Dan Sian Lun juga menawarkan diri untuk mewakili nenek dan kakek sakti itu untuk menghadapi lawan! Wan Cu mengerling ke samping dan melihat betapa wajah pemuda itu tetap biasa dan tenang saja, sungguhpun pandang mata pemuda itu mengikuti jalannya pertandingan dengan penuh perhatian. Huh, mana kau bisa tahu bagaimana jalannya pertandingan, pikir Wan Cu. Dia sendiri tidak dapat melihat jelas bagaimana jalannya pertandingan antara nenek gurunya dan lawannya, karena gerakan pedang dan tongkat itu begitu cepat sehingga gulungan sinar putih dan kuning itu menjadi satu dan menyilaukan mata.

   "Lun-ko, untung engkau tadi tidak diperbolehkan mewakili, kalau engkau jadi maju, sungguh berbahaya bagimu. Lama itu terlalu lihai!"

   Bisik Wan Cu untuk membuyarkan perhatian Sian Lun karena dia merasa penasaran melihat pemuda itu pura-pura tertarik melihat pertempuran yang terlampau cepat sehingga sukar diikuti pandang mata itu.

   "Hemm? Oh, ya, dia lihai sekali"".."

   Jawab Sian Lun yang hanya menengok sebentar 1alu memandang lagi ke depan.

   "Uh, jangan pura-pura pandai kau,"

   Pikir Wan Cu, mendongkol juga karena pemuda itu seolah-olah tidak memperhatikan dia, agaknya lebih tertarik menonton pertandingan yang tak mungkin dapat diikutinya itu dari pada memandang kepadanya.

   "Kalau engkau yang maju, apakah kau mampu melawannya dan dapat bertahan lebih dari duapuluh jurus?"

   Tanyanya lagi memancing, maksudnya untuk membikin pemuda itu malu karena dia makin mendongkol.

   "Ahh"""? Mungkin"".. tidak mampu akan tetapi yang jelas, Pek I Nikouw akan menang"".

   "

   "Apa..."..? Bagaimana kau tahu""..?"

   Akan tetapi pada saat itu terdengar suara berdencing nyaring, disusul suara pendeta Tibet itu memekik kesakitan, tongkatnya terlepas dan dia meloncat ke belakang, tangan kanan yang tadi memegang tongkat berdarah karena tergores pedang. Biarpun pendeta ini tidak tcrluka parah, namun jelas bahwa dia sudah tidak mungkin bertanding lagi karena tangan kanannya tidak dapat memainkan senjata dengan baik. Melihat lawannya mundur dan memandang tongkat yang terlempar ke atas tanah dengan muka pucat, Pek l Nikouw cepat melemparkan pedangnya kepada seorang nikouw, lalu mengambil tongkat itu dan menyerahkan kepada Sin Beng Lama.

   "Terima kasih bahwa Sin Beng Lama suka mengalah terhadap pinni,"

   Katanya halus. Sin Beng Lana menyambar tongkatnya dengan tangan kiri, lalu membalikkan tubuh dan kembali kepada rombongannya. Pada saat itu menyambar angin keras dan tubuh Tai-lek Hoat ong yang tinggi besar dan bongkok itu sudah meloncat ke depan Pek I Nikouw.

   "Kepandaian Pek I Nikouw sungguh hebat, ingin sekali saya belajar kenal dengan kehebatan ilmu Thai san-pai!"

   Kata kakek bongkok yang tinggi besar itu dan sebelum Pek I Nikouw menjawab, dia sudah menggerakkan kedua tangannya ke depan dengan gerakan mendorong secara bergantian.

   Ketika menyambar angin yang hebat, Pek I Nikouw terkejut sekali dan cepat diapun mendorongkan kedua telapak tangan ke depan karena maklumlah dia bahwa kakek Khitan itu sudah menyerangnya dengan pukulan jarak jauh mengandalkan sinkang!

   Dua tenaga yang tidak nampak bertemu dan akibatnya Pek I Nikouw terdorong ke belakang, dan hampir saja terjengkang kalau dia tidak cepat meloncat ke samping, Tai-lek Hoat-ong tertawa dan dengan beberapa langkah saja dia sudah mengejar, lalu menyerang dengan tamparan-tamparan kedua tangannya yang besar. Kelihatannya perlahan saja dia menampar, akan tetapi ternyata tamparan itu membawa hawa pukulan yang amat kuat. Karena Pek I Nikouw tidak sempat mengelak, dia terpaksa menangkis.

   "Plakk!"

   Tubuh Pek I Nikouw terguling Tiong-san Lo kai cepat meloncat ke depan sedangkan Pek I Nikouw segera ditolong oleh para nikouw. Nikouw tua itu bangkit dengan muka pucat, dia tidak

   (Lanjut ke Jilid 29)

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 29

   sampai terluka hebat akan tetapi lengan kanannya seperti lumpuh rasanya. Tahulah dia bahwa tidak percuma tokoh Khitan itu memakai sebutan Tai-lek yang

   berarti Tenaga Besar.

   Melihat majunya kakek pengemis itu, Tai lek Hoat-ong tertawa.

   "Ha-ha-ha, kiranya tidak berapa hebat kepandaian tokoh Thai-san-pai dan ingin aku mencoba kepandaian Tiong-san Lo-kai sebagai tokoh Bu tong pai."

   Tiong-san Lo-kai tadi sudah menyaksikari kelihaian kakek tinggi besar bongkok ini dan tahulah dia bahwa lawannya ini memiliki tenaga besar, sesuai dengan julukannya, oleh karena itu sebagai seorang tokoh tua yang cerdik dan banyakpengalamannya di dumi kang otw, dia tentu saja tidak berniat untuk mengadu tenaga dengan tokoh Khitan itu. Sambil tersenyum dia memegang tongkatnya melintang di depan dada seperti orang memegang sebatang pedang, dia berkata.

   "Tai-lek Hoat-ong, kiranya engkau hanya seorang tua Bangka sombong. Mari kita main main sebentar!"

   Tai lek Hoat-ong atau Tayatonga juga maklum bahwa senjata tongkat lawan itu adalah senjata yang berbahaya karena ulet dan lemas, tidak terbuat dari logam keras yang dapat dipatahkan dengan tenaganya yang besar, melainkan terbuat dari kayu yang lemas. Di samping ini, juga tongkat itu dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah dan beberapa bagian jalan darah yang berbahaya dan lemah tidak mungkin dilindunginya dengan kekebalan. Akan tetapi karena dia merasa yakin bahwa kepandaiannya masih beberapa tingkat lebih tinggi dari pada tingkat lawan, dia tersenyum lebar.

   "Baik, baik, kau majulah, jembel tua!"

   Mulutnya berkata demikian seolah-olah dia mengalah dan mempersiapkan lawan untuk mulai menyerang, akan tetapi ternyata kedua langannya sudah bergerak lebih dulu, yang kiri mencengkeram ke arah tongkat di tangan inan lawan, sedangkan yang kanan menampar dengan kekuatan dahsyat ke arah kepala lawan. Sekali bergerak, tokoh Khitan ini selain hendak merampas tongkat, juga hendak membikin pecah kepala lawan dengan tamparannya yang hebat itu!

   Tiong-san Lo-kai cepat menarik tongkatnya ke belakang dan sambil mengelak dari tamparan itu, tongkatnya berkelebat menotok ke arah pergelangan tangan kanan yang tadi menimparnya, kemudian dengan membalikkan tongkat pada saat lawan menarik kembali tangannya, dia sudah menotok ke arah tiga jalan darah penting di leher, pundak dan ulu hati secara susul-menyusuli

   "Bagus!"

   Terdengar Tai-lek Hoat-ong berseru keras dan tiba-tiba kedua tangannya bergerak ke depan dan kini Tiong-san Lo-kai menahan seruannya karena terkejut bukan main ketika dari tangan kiri lawan itu menyambar hawa pukulan yang sekaligus menolak atau mendorong kembali tongkatnya dan tangan kanan lawan itu kembali sudah mencengkeram ke arah lambungnya!

   Tiong-san Lo-kai cepat memutar tongkatnya membentuk perisai melindungi lambungnya dan dia lalu cepat mainkan Ilmu Tiong-san-tung-hoat (Ilmu Tongkat dari Tiong-san) yang sesungguhnya dia ciptakan dari sumber ilmu pedang Bu-tong Kiam-hoat.

   Sejak tadi Sian Lun tidak pernah lengah memperhatikan jalannya pertempuran dan dari semula juga dia maklum bahwa seperti juga Pek I Nikouw, tingkat ilmu kepandaian Tiong-san Lo-kai, apa lagi tenaga sinkangnya, sama sekali bukanlah lawan kakek Khitan itu yang benar-benar amat lihai sekali. Biarpun harus diakuinya bahwa ilmu tongkat yang dimainkan oleh kakek pengemis itu hebat, namun tidak cukup kuat untuk melindungi Tai-lek Hoat-ong yang dengan kekuatan sinkangnya dapat menolak semua serangan tongkat sebelum tongkat itu dapat mendekati tubuhnya, sebaliknya, dengan pukulan-pukulan jarak jauh dia sudah dapat membuat Tiong-san Lo-kai kewalahan dan beberapa kali kakek pengemis mi terhuyung ke belakang. Tiong-san Lo-kai juga terkejut bukan main dan diapun maklum bahwa dia bukanlah lawan kakek yang amat sakti ini.

   Timbullah rasa khawatir di dalam hatinya, bukan mengkhawatirkan dirinya sendiri. Dia sudah tua dan tenaganya memang sudah banyak berkurang dan dia sama sekali tidak takut mati. Akan tetapi ia mengkhawatirkan cucu muridnya, juga mengkhawatirkan muridnya, dan keluarga muridnya yang tentu akan terancam bahaya dari persekutuan itu kalau sampai dia kalah oleh Tai-lek Hoat-ong. Diapun tahu bahwa Pek I Nikouw juga tidak berdaya menghadapi mereka dan siapakah akan mampu melindungi keluarga Yap Yu Tek, muridnya yang terkasih? Karena kekhawatiran ini, timbul kenekatan di dalam hati Tiong-san Lo-kai. Dia harus dapat merobohkan Tai-lek Hoat-ong, kalau perlu dia akan mengadu nyawanya.

   Tiba-tiba kakek pengemis itu mengeluarkan suara bentakan nyaring sekali karena bentakan ini dilakukan dengan pengerahan khikang kemudian tongkatnya menyambar dahsyat sekali karena dia telah menggunakan seluruh tenaga dan perhatiannya, dipusatkan kepada serangannya itu tanpa memperdulikan lagi segi pertahanan. Melihat ini, Pek I Nikouw terkejut bukan main, juga Sian Lun menahan napas karena maklum bahwa kakek pengemis itu tentu akan celaka.

   Tai-lek Hoat-ong juga terkejut melihat serangan tongkat yang demikian ganas dan dahsyatnya. Biarpun dia sudah mengelak lalu menangkis, tetap saja kulit lengannya dekat siku terobek sedikit, akan tetapi pada lain saat, dengan tangan kanan dia berhasil menangkap kedua tangan lawan pada pergelangannya dan mengerahkan tenaganya sehingga Tiong-san Lo-kai tak mampu bergerak lagi, tongkatnya patah-patah dan kedua pergelangan tangannya telah "terbelenggu"

   Oleh jari-jari tangan kanan Tai-lek Hoat ong yang mengandung tenaga amat kuatnya itu. Sambil tertawa mengejek Tai-lek Hoat-ong mengerahkan tenaga lebih keras lagi dan kakek pengemis itu memejamkan mata dan menggigit bibir menahan rasa nyeri yang hebat karena tulang-tulang pergelangan tangannya serasa akan patah terhimpit jari-jari yang amat kuat itu. Akan tetapi sedikitpun tidak terdengar keluhan dari mulutnya dan dia memang sudah siap untuk menerima kematian kalau serangan nekatnya gagal.

   Tiba tiba terdengar bentakan Wan Cu.

   "Lepaskan sukong (kakek guru)!"

   Dara itu dengan nekat telah menerjang ke depan dan menggerakkan tangan untuk menyerang Tai-lek Hoat-ong. Akan tetapi dengan tenang saja kakek raksasa bongkok itu menggerakkan kakinya dan tubuh Wan Cu terlempar ke belakang!

   "Omitohud, engkau sungguh kejam""..!"

   Pek I Nikouw berseru dan nenek inipun sudah menerjang ke depan untuk menolong temannya, akan tetapi tangan kiri Tai-lek Hoat-ong bergerak mendorong ke depan dan nikouw tua itu terpaksa mundur kembali terdorong oleh tenaga yang amat kuat sampai dia terhuyung-huyung.

   "Ha-ha-ha, orang-orang macam kalian berani memusuhi Beng-kauw dan kami?"

   Tai-lek Hoat-ong berseru mengejek dan memperkuat cengkeramannya pada kedua pergelangan tangan Tiong-san Lo-kai.

   "Krekkk!"

   Tulang pergelangan tangan kiri kakek pengemis itu patah dan kakek itu menggigit bibirnya sendiri sampai berdarah, namun sama sekali tidak mengeluarkan keluhan.

   "Aha, kiranya Tai-lek Hoat-ong yang namanya disohorkan orang sebagai datuk orang Khitan yang memiliki kepandaian tinggi, ternyata hanya seorang sombong yang suka melanggar janjinya sendiri dan hanya mampu menghina lawan yang sudah tidak berdaya."

   Tiba-tiba Sian Lun berkata, suaranya nyaring dan penuh wibawa sehingga Tai-lek Hoat-ong terkejut lalu menoleh, memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut dan mata bersinar penuh amarah,

   "Orang muda, apa maksudmu dengan kata kata itu?" "Apakah bunyi perjanjian antara kedua fihak sebelum bertanding tadi? Bukankah kalian boleh memperlakukan kami sesuka hati kalian kalau kami sudah kalah?"

   Kata pula Sian Lun.

   "Ha-ha, memang benar. Dan kalian sudah kalah. Bukankah Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo kai sudah kalah olehku sehingga aku boleh memperlakukan mereka sesuka hatiku kecuali"". kecuali kalau nona ini mau menjadi isteri murid Beng-kauw?"

   Tai-lek Hoat ong melihat bahwa keuntungannya akan lebih besar kalau cucu Yap-taijin dapat menjadi isteri murid Hek bin Saikong karena dengan demikian pembesar itu menjadi keluarga dan tentu akan menyokong gerakan mereka.

   "Siapa bilang sudah kalah? Di antara kami berempat, masih ada aku yang belum maju bertanding. Hayo cepat lepaskan Tiong-san Lokai dan kalahkan aku dulu kalau engkau dan kawan-kawanmu tidak mau disebut pengecut pengecut tak tahu malu!"

   Mendengar ini, tentu saja Tai-lek Hoat-ong menjadi marah dan sekali mendorong, tubuh Tiong-san Lo-kai terlempar ke belakang dan kakek ini tentu roboh kalau tidak cepat disambar oleh Pek I Nikouw yang cepat menolongnya dan mengobatinya dengan obat penyambung tulang. Sementara itu, Wan Cu memandang kepada Sian Lun dengan hati penuh khawatir. Dia tahu bahwa pemuda itu menghinakan kata-kata yang mengandung akal hanya untuk menyelamatkan kakek gurunya dan sekarang pemuda itu tentu akan celaka karena akal apa lagi yang dapat dipergunakannya untuk menghadapi empat orang yang amat lihai itu?

   Di fihak Tai-lek Hoat-ong, Hek-bin Saikong sudah marah sekali. Tentu saja dia memandang rendah kepada pemuda ini. Bukankah tadi Yap Wan Cu mengaku pemuda ini sebagai suhengnya? Apa sih kepandaian suheng dari nona itu? Sedangkan kakek guru dan nenek gurunya saja sudah kalah, masa sekarang kakak seperguruannya yang hendak maju? "Biarlah aku saja yang menghadapi pemuda ingusan ini!"

   Hek bin Sai-kong membentak dan Tai-lek Hoat-ong mengangguk. Tokoh Khitan ini tentu saja merasa terlalu tinggi untuk melayani seorang pemuda yang menjadi cucu murid kakek dan nenek yang baru saja dikalahkannya itu dan menilik dari tingkatnya, tentu Hek-bin Sai-kong sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan pemuda ini.

   "Kau tamatkan saja riwayat pemuda bermulut lancang ini!"

   Kata Tai-lek Hoat-ong dan Hek-bin Sai-kong menyeringai sambil maju mcnghadapi Sian Lun. Memang sudah menjadi niat hatinya untuk membunuh pemuda ini.

   Pemuda ini kelihatan halus dan tampan, maka di menduga bahwa tentu ada "hubungan"

   Antar pemuda ini dan nona itu. Kalau nona itu akan menjadi mantu muridnya, maka pemuda ini harus dilenyapkan lebih dulu, pikirnya.

   "Bocah sombong bosan hidup, coba kau terima ini!"

   Ucapan Hek-bin Sai-kong itu diikuti oleh serangan dahsyat. Kedua tangan kakek itu menyambar dari kanan kiri dan dia merasa yakin pemuda itu tidak akan mampu mengelak karena semua jalan keluar sudah ditutupnya dengan gerakan kedua tangan itu. Melihat ini Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai mengerutkan alisnya penuh kekhawatiran sedangkan Wan Cu memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak, membayangkan betapa pemuda yang baru saja dijumpainya itu tentu akan roboh dan tewas dalam beberapa gebrakan saja. Namun mereka bertiga tentu saja tidak mampu menolong karena kalau mereka bergerak, tentu tiga orang lawan lainnya yang lebih lihai itu akan menghalangi mereka, dan pula, pertandingan dilakukan satu lawan satu, sebagai orang-orang gagah merekapun malu untuk melakukan pengeroyokan.

   "Wuuut""

   Wuuuttt""!!"

   Hebat memang serangan yang dilakukan Hek-bin Sai-kong itu. Hati Wan Cu sampai merasa ngeri melihat kedua tangan yang besar itu terbuka dan mencengkeram ke arah tubuh Sian Lun dari kanan kiri. Dia ingin memejamkan matanya, akan tetapi dipaksanya matanya terbuka karena dia hendak melihat bagaimana pemuda itu dapat menyelamatkan diri dari serangan sedemikian dahsyatnya.

   "Plak-plakk!"

   Wan Cu terbelalak, juga Pek I Nikouw, Tiong-san Lo-kai, dan tiga orang lain fihak lawan melongo saking herannya melihat tubuh Hek-bin Sai-kong tiba-tiba "terbang"

   Ke atas dan terbanting di atas genteng sehingga menimbulkan suara hiruk-pikuk karena beberapa buah genteng yang keras itu pecah-pecah ditimpa tubuh kakek bermuka hitam penuh brewok itu! Mereka tadi hanya melihat pemuda itu menggerakkan kedua tangan menangkis dan tahu-tahu tubuh tokoh Beng-kauw itu telah terlempar seperti terbang ke atas! Kalau semua orang bengong memandang ke atas genteng, adalah Hek-bin Sai-kong sendiri yang juga kelihatan kaget, matanya terbelalak, mulutnya mengeluarkan suara ah ah uh uh dan mukanya pucat sekali.

   "Sute, mengapa kau di sana? Lekas turun!"

   Ui-bin Sai-kong menghardik karena merasa malu melihat peristiwa yang masih belum dapat dipercaya sepenuhnya itu dan dia bahkan menyangka sutenya main main.

   "Aughhh"". tidak bisa, suheng".. kakiku"". agaknya teikilir..."""

   Dengan gerakan ringan, Ui bin Sai-kong sudah melayang naik ke atas genteng dan langsung dia memeriksa kaki sutenya. Memang benar mata kaki sutenya yang kanan bengkak dan biru. Dia lalu mengempit tubuh sutenya, dibawa meloncat turun dan dia mengomel.

   "Siapa suruh kau main main dan meloncat ke atas genteng?"

   "Aku? Main-main? Meloncat ke atas genteng? Siapa yang meloncat?"

   Hek-bin Sai kong mengulang pertanyaan pertanyaan itu sambil bersungut-sungut karena mendongkol. Dia merasa diejek oleh suhengnya itu, padahal Ui-bin Sai-kong benar benar tidak tahu bahwa sutenya itu bukan "meloncat"

   Melainkan dilontarkan oleh lawannya yang muda itu.

   Akan tetapi Ui-bin Sai-kong sudah terlalu marah untuk memperhatikan sutenya, maka setelah menurunkan sutenya dia lalu meloncat ke depan Sian Lun yang masih berdiri dengan sikap tenang. Ui-bin Sai kong adalah murid pertama dari para ketua Beng kauw, tingkat kepandaiannya tentu saja paling tinggi di antara murid-murid yang lain, Karena sekali ini Ui-bin Saikong hendak menebus rasa malu oleh tingkah sutenya tadi, maka dia maju sambil memegang sepasang kongce, yaitu senjatanya yang amat diandalkan. Pendeta muka kuning ini memandang kepada Sian Lun dengan sikap bengis dan dia sudah menantang.

   "Orang muda, hayo sebutkan namamu sebelum engkau menjadi mayat dan tidak akan mampu mengaku lagi siapa namamu."

   "Namaku adalah Tan Sian Lun,"

   Jawab Sian Lun sederhana.

   "Tan Sian Lun, benarkah engkau mewakili fihak Pek I Nikouw untuk menghadapi kami?"

   Tanya pula Ui-bin Sai-kong karena dia masih tidak percaya bahwa pemuda ini yang kedudukannya hanya sebagai suheng gadis itu, berarti hanya cucu muid pula dari Pek I Nikouw, akan dapat mengalahkan sutenya atau dia. Betapapun, dia tidak mau bersikap kepalang tanggung, maka dia telah mengeluarkan senjatanva.

   "Benar,"

   Jawab pula Sian Lun singkat.

   "Bagus! Sumoimu, kakek dan nenek gurumu semua sudah kalah, agaknya engkau sudah bosan hidup. Nah, keluarkanlah senjatamu orang muda!"

   Bentaknya.

   Tiba-tiba Wan Cu melangkah maju mendekati Sian Lun.

   "Suheng, kaupakailah pedangku ini!"

   Dia menyerahkan sebatang pedang kepada pemuda itu, akan tetapi Sian Lun tersenyum, menggeleng kepala dan mengisyaratkan dengan pandang mata dan gerakan tangannya agar dara itu minggir. Kemudian dia menghadapi Ui-bin Sai-kong dan berkata lantang,

   "Sai-kong, orang yang membawa senjata hanya orang yang memang sudah mempunyai iktikad untuk menyerang orang lain. Aku tidak bermaksud menyerang siapapun, maka aku tidak membawa senjata. Kalau engkau hendak menggunakan sepasang kongce itu untuk membunuhku, silakan!"

   Ucapan ini sederhana saja, akan tetapi oleh Ui-bin Sai-kong dianggap sebagai tantangan dan penghinaan besar. Tentu saja ucapan itu akan membuatnya malu untuk maju dengan senjata di tangan melawan seorang pemuda bertangan kosong, akan tetapi pendeta ini lebih cerdik dari pada sutenya. Dia menduga bahwa kalau berani menghadapi dia yang bersenjata, hal ini berarti bahwa tentu pemuda itu memiliki sesuatu yang diandalkan

   "Bagus! Semua orang di fihakmu dan fihakku mendengarkan sebagai saksi bahwa engkau akan menghadapi sepasang kongceku dengan tangan kosong!"

   "Phuhh! Sudah tua bangka dan pendeta pula, masih bersikap curang dan licik sekali! Tak tahu malu melawan orang muda bertangan kosong dengan senjata!"

   Tiba-tiba Wan Cu memaki.

   "Biarlah, Wan Cu. Sepasang senjatanya itu hanya pantas untuk menakut-nakuti anak kecil saja, aku tidak takut,"

   Kata Sian Lun.

   Tadinya ejekan Wan Cu itu sudah membuat wajah Ui-bin Sai-kong yang biasanya warna kuning itu menjadi agak merah, akan tetapi jawaban Sian Lun kembali menikam perasaan hatinya dan dia merasa dihina, maka dengan kemarahan meluap-luap yang mengatasi perasaan sungkan dan malunya, dia sudah menggerakkan sepasang senjatanya itu dan menerjang Sian Lun tanpa banyak cakap lagi, serangan sepasang kongce ini dahsyat bukan kain dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan penyerangan Hek-bin Sai-kong tadi, sungguhpun tingkat kepandaian kedua orang saikong ini memang tidak banyak selisihnya.

   Perbedaannya adalah tadi Hek bin Sai kong hanya menyerang dengan kedua tangan kosong yang dilakukan dengan sikap memandang ringan sehingga pendeta pertama itu tidak mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya kini Ui-bin Sai-kong menyerang dengan senjata kongce yang menjadi andalannya, dan serangannya dilakukan sepenuh tenaga dan dia sudah mengeluarkan jurus pilihannya ketika dua batang senjata itu berobah menjadi dua gulungan sinar yang menyambar seperti halilintar ke arah tubuh Sian Lun.

   Apa lagi Wan Cu, bahkan Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai sendiri mengerutkan ali mereka dengan hati khawatir. Dua orang tua ini menganggap bahwa Sian Lun terlalu merendahkan lawan dan kini berada dalam bahaya tanpa mereka berdua mampu untuk mem bantunya. Akan tetapi, serangan bertubi-tubi yang dilakukan Ui-bin Sai-kong hanya dielakkan dengan mudah saja oleh Sian Lun dan pemuda ini menggerakkan tubuhnya secara aneh, ke dua kakinya melakukan langkah-langkah yang teratur maju mundur dan ke kanan kiri, seperti orang menari saja, akan tetapi anehnya gulungan sinar sepasang kongce yang menyambar-nyambar itu tidak pernah menyentuh ujung bajunya, apalagi mengenai tubuhnya!

   Melihat langkah-langkah ini. Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai makin terheran-heran karena mereka seperti mengenal dasar-dasar gerakan kaki dari ilmu silat yang dimiliki oleh Lui Sian Lojin, guru dari mendiang tiga pendekar Naga Sakti, yaitu Gan Beng Han, Tan Bun Hong dan Kui Eng! Agaknya pemuda ini telah mewarisi pula kepandaian pendekar-pendekar itu, dan kalau memang benar demikian, kepandaiannya tentu tidak akan melebihi tingkat tiga orang pendekar yang sudah meninggal itu! Dan sudah jelas tingkat itu tidak akan lebih tinggi dari tingkat Pek I Nikouw atau Tiong-san Lo-kai! Mana mungkin dapat diandalkan untuk menghadapi lawan berat seperti Sin Beng Lama tokoh Tibet itu, apa lagi lawan Tai-lek Hoat-ong, kakek raksasa Khitan yang sakti itu?

   Betapapun juga, dua orang tua ini dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan seksama dan mereka maklum batwa setidaknya pemuda itu akan mampu mengatasi lawannya yang sekarang menyerangnya dengan sepasang kongce sehingga mereka tidak perlu mengkhawatirkan akibat dari pertempuran ini. Tidak demikian dengan Yap Wan Cu. Dara ini sejak tadi sudah merasa khawatir sekali. Semenjak jumpa dengan Sian Lun memang ada perasaan aneh menyelinap di dalam hatinya, akan tetapi perasaan itu tertutup oleh perasaan memandang rendah kepada pemuda yang dianggapnya lemah itu.

   Maka, begitu melihat Sian Lun berani maju mewakili dua orang locianpwe untuk menghadapi lawan-lawan yang demikian saktinya, dia merasa heran, terkejut dan juga senang sekali. Dia kagum bukan main danmenganggap Sian Lun seorang pemuda yang berjiwa pendekar, gagah perkasa dan tidak mengenal takut sehingga berani menentang lawan-lawan yang telah mengalahkan nenek dan kakek gurunya! Dan ketika dia melihat Sian Lun secara aneh sekali berhasil membuat Hek-bin Sai-kong terlempar ke atas genteng, kekagumannya membuat dia harus mengaku dalam hatinya bahwa dia suka kepada pemuda ini.

   Hatinya menjadi makin gelisah ketika Sian Lun menolak pemberian pedangnya dan kini, melihat pemuda itu mengelak secan aneh, seolah-olah terdesak oleh sepasang kongce yang dahsyat itu, tanpa berkesempatan untul membalas, hatinya makin bingung dan khawalir. Dia tidak dapat menahan perasaan gelisah nya lagi ketika melihat sinar senjata pendeta itu makin hebat mengurung Sian Lun, dan melompatlah dia ke depan dengan pedang ditangannya.

   "Pendeta pengecut!"

   Bentaknya dan pedangnya sudah menerjang dengan ganasnya kepada Ui-bin Sai-kong untuk menolong Sian Lun.

   "Wan Cu, jangan..."..!"

   Pek I Nikouw yang maklum bahwa pemuda itu sama sekali tidak membutuhkan bantuan sudah berteriak, juga Tiong-san Lo-kai berseru mencegah dara itu bertindak lancang, namun terlambat karena gerakan Wan Cu sama sekali tidak tersangka-sangka oleh siapapun juga.

   Sian Lun sendiri terkejut bukan main ketika melihat Wan Cu dengan nekat telah menyerbu dan menusukkan pedangnya ke arah dada Ui-bin Saikong. Saikong itu menggerakkan kongce di tangan kiri untuk menangkis serangan Wan Cu sepenuh tenaga, dan menggunakan kongce kanan untuk menyerang leher Sian Lun.

   "Trangg!"

   Pedang di tangan Wan Cu terlempar jauh dan kongce itu masih terus menyambar ke dada Wan Cu. Ternyata tokoh Beng-kauw ini terlalu kuat bagi Wan Cu sehingga selain pedang dara itu terlempar, juga kini nyawanya terancam maut! Akan tetapi, tiba-tiba pendeta itu tidak melanjutkan serangannya kepada Wan Cu karena lengan kirinya merasa lumpuh, tak dapat digerakkan untuk beberapa detik lamanya. Tanpa diketahui oleh pendeta itu sendiri, ternyata tadi Sian Lun telah menyelinap dari bawah kongce yang menyambar lehernya, dan melihat Wan Cu terancam bahaya, dia cepat menggerakkan jari tangannya dan menyentuh bawah siku kanan pendeta itu sehingga kongcenya tidak dapat dilanjutkan menyerang Wan Cu. Sian Lun lalu menyentuh pundak Wan Cu dan menggunakan sedikit tenaga untuk mendorong dara itu ke pinggir. Akan tetapi Wan Cu sudah merasa seperti dilontarkan maka dia terkejut sekali dan tubuhnya sudah melayang ke dekat Pek I Nikouw!

   "Cu-moi, harap jangan membantuku!"

   Kata Sian Lun sambil tersenyum kepadanya dan dara itu memandang dengan kedua pipi berobah merah dan jantung berdebar aneh. Kini dia tahu betapa lihainya pemuda itu dan betapa lucu dan mentertawakan tindakannya tadi yang hendak membantu si pemuda!

   Sementara itu, Ui bin Sai kong yang beluu sadar bahwa lumpuhnya lengan kirinya untuk beberapa detik sehingga menggagalkan serangannya terhadap Wan Cu tadi adalah perbuatan pemuda yang menjadi lawannya, kini menjadi marah bukan main.

   "Gadis liar, kautunggu, kubunuh dulu dia ini, baru engkau!"

   Setelah berkata demikian, dia memutar sepasang kongce itu seperii kitiran angin cepatnya menyambar nyambar ke arah kepala dan tubuh Sian Lun Akan tetapi Sian Lun tidak mau membuang banyak waktu lagi kini. Tadi sudah cukup baginya untuk terus mengelak sambil mempelajari sifat gerakan sepasang kongce itu. Kini dia sudah mengenal dasarnya dan begitu sepasang kongce itu bergerak, dia sudah mendahului dengan kedua tangannya, menyambar dari dalam karena sepasang kongce itu mempunyai gerakan menyambar dari luar dan sebelum Ui-bin Sai-kong tahu apa yang terjadi, jari-jari tangannya sudah dicengkeram, nyeri bukan main rasanya sehingga terpaksa jari-jari tangannya itu melepas gagang sepasang senjatanya yang terampas dan dengan satu gerakan cepat Sian Lun membalikkan ujung kedua senjata itu ke arah lengan pemiliknya.

   "Aduhhh...".!"

   Ui-bin Sai-kong berteriak keras dan meloncat ke belakang, lalu dengan mata terbelalak memandang dua batang tombaknya yang sudah menancap di kedua lengannya dekat siku, menembus daging lengannya! Dengan kaki terpincang-pincang Hek-bin Sai-long cepat menolong suhengnya, mencabut sepasang kongce yang menancap di kedua lengan itu. Untung senjata itu tidak menembus atau mematahkan tulang, hanya menembus kulit daging saja, maka cepat Hek bin Sai-kong menaruh obat di atas luka-luka di kedua lengan suhengnya. Sin Beng Lama berseru heran,

   "Omitohud"l"

   Dia meloncat ke depan, menghadapi Sian Lun dengan sepasang mata memandang penuh selidik dan mulutnya berkemak-kemik membaca jampi jampi penolak bahaya! Akan tetapi Sian Lun tenang saja menentang pandang mata pendeta Lama dari Tibet itu, maklum bahwa pendeta itu memiliki kekuatan luar biasa yang dapat mempengaruhi orang dengan sihirnya. Akan tetapi Sian Lun adalah seorang pemuda gemblengan kakek sakti Siangkoan Lojin dan tentu saja sudah dibekali ilmu untuk menghadapi pengaruh ilmu sihir atau ilmu hitam. Dengan kekuatan sinkangnya yang hebat, Sian Lun menatap pandang mata lawan itu dengan tabah dan getaran yang mengandung hawa aneh sama sekali tidak mempengaruhinya!

   Sin Beng Lama juga merasakan adanya penolakan kuat ini, maka jantungnya sendiri terguncang dan dia cepat menghentikan serangan ilmu hitamnya.

   "Omitohud...", orang muda yang aneh, engkau sungguh berani menentang kami. Setelah engkau dapat mengalahkan kedua saikong, mari main-main dengan aku sebentar"

   Pendeta Lama itu mengibaskan lengan bajunya yang lebar dan nampaklah tongkatnya yang pendek, sebuah tongkat kuningan yang panjangnya hanya seperti pedang biasa Biarpun tadi kakek ini sudah terluka tangannya oleh pedang Pek I Nikouw, akan tetapi berkat pertolongan Tai-lek Hoat-ong, luka itu telah mengering dan tidak terasa nyeri lagi, dan karena kini yang dihadapi adalah seorang pemuda, maka dia merasa yakin akan dapat memenangkannya.

   Kembali hati Pek I Nikouw dan Tiong-san I Lo-kai berdebar tegang melihat Sian Lun menghadapi Sin Beng Lama yang amat lihai itu dengan tangan kosong saja. Pek l Nikouw sudah merasakan kelihaian pendeta Tibet itu yang memiliki tingkat hampir sama dengan dia, maka tentu saja dia merasa amat khawatir kalau pemuda itu hanya menghadapinya dengan tangan kosong.

   "Tan-sicu, kaupakailah pedang pinni!"

   Berkata demikian, nikouw tua itu melontarkan pedangnya yang meluncur cepat ke arah Sian Lun. Sian Lun menengok, tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Terima kasih, locianpwe, teecu tidak biasa mempergunakan senjata,"

   Katanya dan dengan jari telunjuknya dia menyentil pedang yang meluncur ke arahnya itu. Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang itu telah, membalik dan terbang ke arah pemiliknya! Pek I Nikouw menerima pedangnya dan menarik napas panjang, lalu berbisik kepada Tiong-san Lo-kai.

   "Entah bagaimana Lui Sian Lojin dapat mempunyai murid sepandai ini!"

   "Tak mungkin dia murid Lui Sian Lojin tua bangka di Kwi-hoa-san itu, kulihat ilmu kepandaiannya tidak kalah oleh kakek itu,"

   Bisik Tiong-san Lo-kai penuh kagum.

   Kini Sian Lun menghadapi Sin Beng Lama dan dengan tenang dia berkata.

   "Bukankah kedatangan kalian ini memang bermaksud untuk menyebar maut? Hanya pada lahirnya saja kalian mengatakan hendak mengadu ilmu, akan tetapi sesungguhnya kalian memang sengaja hendak membunuh orang. Persekutuan busuk kalian di dalam kuil tua di hutan itu, siapakah yang tidak tahu?"

   Mendengar ini, Sin Beng Lama dan Tai-Lek Hoat-ong terkejut bukan main dan pendeta Tibet itu sudah menerjang tanpa banyak cakap lagi, memutar tongkat kuningannya dan menyerang dengan totokan-totokan bertubi-tubi yang kesemuanya mengarah jalan darahkematian

   "Hemm, kalau semua orang jahat dan kejam berjubah pendeta, akan bagaimana jadinya dengan dunia ini?"

   Sian Lun membentak dan kini diapun tidak mau memberi hati lagi. Di sudah mengerahkan tenaganya dan dengan tangan kosong dia menangkis tongkat itu. Pertemuan antara lengan dan tongkat kuningan itu membuat Sin Beng Lama tergetar dan terhuyung ke belakang. D

   apat dibayangkan betapa kaget rasa hati pendeta itu, dan kembali di menerjang dengan lebih dahsyat. Namun, Sian Lun kini menyambut keras lawan keras dan sambil menangkis tongkat kuningan dengan tangan kanan, tangan kirinya mengirim tamparan yang disertai pengerahan tenaga sinkang. Begitu tangannya akan bertemu tongkat, tangan itu bcrobah menjadi cengkeraman seperti kuku naga sakti dan tak dapat dielakkan lagi oleh Sin Beng Lama, tongkat kuningan itu telah kena dicengkeram, sedangkan tangan kiri pemuda itu masih terus menampar ke arah pelipis.

   

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini