Kisah Tiga Naga Sakti 29
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 29
Sin Beng Lama terkejut sekali karena merasa betapa dia tidak mampu menarik kembali tongkatnya yang dicengkeram lawan, maka dia mengeluarkan suara melengking dan dari ujung tongkat itu menyambar sinar hitam ke arah dada Sian Lun. Melihat ini, baik Pek I Nikouw maupun Tiong-san Lo-kai mengeluarkan seruan tertahan, dan Wan Cu memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak.
"Krekkk!"
Tongkat itu hancur dalam cengkeraman Sian Lun dan secepat kilat tangan kanan yang mencengkeram hancur tongkat itu kini ditarik ke depan dada. Pemuda itu tak sempat mengelak dari sambaran sinar hitam mg muncul dari ujung tongkat tadi, dari jarak sedemikian dekatnya, maka jalan satu satunya baginya hanya menerima sinar hitam itu dengan tangannya, sedangkan tangan kirinya masih tetap melanjutkan tamparan tadi.
"Trikkkkk!"
Paku-paku halus yang meluncur dari ujung tongkat tadi bertemu dengan telapak tangan Sian Lun yang penuh dengan hancuran kuningan, dan paku paku itu runtuh semua ke atas tanah. Sin Beng Lama kaget sekali dan dia sudah miringkan tubuhnya dan menangkis tamparan dengan lengan kiri dari samping.
"Dukkk!!"
Dan tubuh pendeta Lama itu terguling! Tentu saja semua orang yang menonton pertandingan itu hampir tidak percaya melihat pendeta Lama dari Tibet yang sakti itu akan terguling hanya dalam beberapa kali gebrakan saja! Bahkan Sin Beng Lama sendiripun merasa penasaran bukan main dan biarpun tubuhnya sudah terguling, dia malah bergulingan cepat dan tiba-tiba saja sisa tongkat di tangannya meluncur dari bawah menyambar ke arah tenggorokan Sian Lun seperti anak panah, kernudian serangan itu disusul oleh tubuhnya yang sudah meloncat dan seperti seekor harimau menubruk kambing!
"Awas".!"
Wan Cu tak tertahan lagi menjerit menyaksikan serangan yang nekat itu. Akan tetapi dengan sikap tenang sekali Bian Lun menggunakan lagi jari telunjuknya untuk menyentil tongkat kuningan yang meluncur ke arah lehernya itu sehingga terdengar suara nyaring dan tidak seperti pedang Pek-I-Nikouw yang tadi diterbangkannya kembali pada pemiliknya, kini sisa tongkat yang disentil itu meluncur ke bawah dan amblas ke dalam tanah sampai tidak kelihatan lagi. Dan ketika tubuh Sin Beng Lama menyusul dengan serangannya yang dahsyat, dengan dua pasang kaki dan tangannya menubruk, Sian Lun memapakinya dengan dorongan kedua tangannya, sebelum tubuh lawan itu dapat menyentuhnya tubuh pendeta itu sudah dipapaki hawa pukulan dahsyat yang membuatnya kembali terjengkang dan terbanting sedemikian kerasnya sampai Lama itu menjadi pingsan seketika!
Tiba-tiba terdengar teriakan keras seperti teriakan seekor biruang marah dan tubuh tinggi besar agak bongkok dari Tayatonga atau Tai-lek Hoat-ong sudah melayang ke depan dan berhadapan dengan Sian Lun. Sepasang mata raksasa peranakan Khitan ini menatap wajah Sian Lun dengan tajam, kemudian pandang matanya menggerayangi tubuh pemuda itu penuh selidik, seolah-olah dia tidak mau percaya kepada pandang matanya sendiri.
"Orang muda, murid siapakah engkau?"
Tanyanya dengan suara dalam karena kakek itu sudah menahan kemarahannya yang timbul melihat betapa tiga orang temannya telah kalah semua melawan pemuda ini.
Sian Lun juga membalas pandang mata tajam itu, kemudian penuda ini menarik napas panjang. Teringat dia akan cerita dari Ong Gi atau Ong ciangkun tentang keadaan negara di mana terdapat tiga kelompok yang saling bertentangan. Dia tahu bahwa kakek ini mewakili Khitan dalam kelompok persekut Khitan, Tibet, dan Beng-kauw.
"Tai-lek Hoat-ong, siapa adanya guruku tidik ada sangkut-pautnya sama sekali denganmu. Aku tahu siapa adanya engkau, seorang tokoh Khitan, seorang asing di negeri ini. Mengapa engkau hendak melakukan kekacauan di sini? Lebih baik engkau kembali saja ke negerimu sendiri dan mengajak pergi teman temanmu ini."
Muka raksasa berpakaian pendeta itu menjadi merah dan matanya melotot ketika dia mendengar ucapan itu. Kembali terdengar suara menggereng dari tenggorokannya, seperti singa.
"Hemmm, bocah masih ingusan sudah sombong bukan main! Kau anak kecil lahu apu tentang kami orang-orang Khitan? Huh, bocah sombong, kalau tidak ada bangsa kami orang orang Khitan, tentu kerajaan sudah hancur oleh pemberontak! Kami adalah bangsa penolong kerajaan ini dari tangan pemberontak, dan engkau anuk kecil berani menuduh kami mengacau?"
Bantahan itu merupakan lagu lama bagi Sian Lun yang sebetulnya telah mendengar penuturan Ong-ciangkun tentang keadaan kerajaan, maka tentu saja dia tersenyum mendengar bantahan itu. Maka diapun tidak mau berbantahan tentang kedudukan orang-orang Khitan di negeri ini. hanya langsung membicarakan tentang urusan perorangan.
"Tai-lek Hoat-ong, aku tidak sembarangan menuduh melainkan bicara menurut kenyataan. Kalau engkau tidak mengacau. mengapa engkau berada di sini dan menantang para locianpwe di sini, bahkan engkau membela orang Beng-kauw yang hendak kurang ajar terhadap nona ini?"
"Bocah lancang mulut! Engkau sendiri bukankah juga membela mereka? Bela membela antara sahabat sudah menjadi kebiasaan orang orang gagah! Memang aku membela dua orang saudara dari Beng-kauw ini dan sekarang tak perlu banyak cakap, kalau engkau mewakili mereka, akupun mewakili fihak kami. Hayo, majulah dan keluarkan semua kepandaianmu!"
Kakek raksasa Khitan yang berusia enam. puluh tahun lebih itu telah melolos sabuknya yang ternyata merupakan sebatang rantai terbuat dari pada emas dan ujung rantai itu terdapat kaitannya yang berbentuk mata kail. Kaitan ini dipakai untuk menggunakan rantai emas itu sebagai sabuk, akan tetapi setelah dilepas, maka kaitan itu merupakan senjata yang mengerikan sekali. Dengan memegang gagang rantai di tangan kanan dan jari-jari tangan kirinya memainkan ujung rantai yang berbentuk kaitan, kakek itu memandang lawannya dengan sinar mata beringas dan seperti seekor kucing memandang seekor tikus yang hendak dipermainkannya lebih dulu sebelum dibunuh dan diganyangnya.
"Hoat-ong, sudah kukatakan bahwa aku tidak biasa membawa-bawa senjata untuk menakut-nakuti orang, maka kalau kau memaksaku untuk bertanding, aku akan menghadapimu dengan alat yang ada padaku semenjak lahir ini!"
Sian Lun melonjorkan kedua lengan dan kakinya. Jawaban dan sikap pemuda ini sama sekali bukan muncul dari kesombongannya, juga merupakan sikap yang sembrono karena Sian Lun bukan seorang pemuda bodoh yang suka menyombongkan diri.
Kalau dia berani menantang akan menghadapi lawan yang bersenjata itu dengan tangan kosong adalah karena dia sudah mengukur dan sudah dapat menilai sampai di mana tingkat kepandaian kakek Khitan ini ketika Tai-lek Hoat ong tadi bertanding melawan Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai. Dia sudah memperhitungkan dan tahu benar bahwa dengan kedua tangan kosong dia tidak akan kalah oleh kakek ini, maka diapun berani bersikap seperti itu.
Biarpui kini Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai sudah percaya benar bahwa pemuda ini sungguh memiliki kepandaian yang hebat, akan tetapi mereka merasa khawatir juga melihat pemuda itu hendak melawan jagoan Khitan itu dengan tangan kosong, karena mereka maklum bahwa Tai-lek Hoat-ong sama sekali tidak boleh disamakan dengan Sin Beng Lama, apa lagi dengan dua orang tokoh Beng kuuw itu.
"Ha-ha, sungguh tontonan yang amat menarik di mana tokoh utama Khitan, seorang kakek gagah perkasa yang berkedudukan tinggi, dengan senjata lengkap di tangan, melawan seorang pemuda yang belum ada nama, yang akan melawannya dengan tangan kosong. Sungguh lucu dan menarik!"
Jelas bahwa ucapan kakek berpakaian pengemis ini bermaksud untuk mengejek dan agar orang Khitan mau menjadi malu dan tidak akan menggunakan senjatanya yang aneh itu. Akan tetapi, Tai-lek Hoat-ong juga tahu akan maksud ucapan itu. Dia sudah melihat kelihaian Sian Lun. maka untuk merasa yakin bahwa dia akan berhasil merobohkan pemuda itu, dia harus mempergunakan senjatanya. Maka, karena dia tidak pandai menjawab ejekan yang tepat itu, dia hanya melotot dan membentak.
"Gembel tua, kautunggu saja giliranmu, kalau bocah ini sudah mampus, engkaupun akan segera menyusulnya!"
Setelah berkata demikian, tiba tiba dia sudah menerjang dengan dahsyat kepada Sian Lun tanpa memberi peringatan lagi. Sinar emas menyilaukan mata menyambar ketika kakek Khitan ini menggerakkan rantai emasnya ke arah kepala Sian Lun.
Sian Lun maklum bahwa biarpun dia sudah dapat menilai sampai di mana tingkat kepandaian kakek ini, dia tidak boleh bersikap lengah karena memang rantai emas itu rnerupakan senjata yang amat berbahaya dan sesuai dengan julukannya, kakek ini memiliki tenaga gajah yang amat kuat! Maka begitu sinar emas itu menyambar, dia menggerakkan tubuhnya membiarkan sinar itu lewat. Akan tetapi, cepat sekali bagaikan petir menyambar, sinar yang luput nengenai dirinya itu telah menyambar balik, kini menuju ke arah lambungnya dari atas! Kembali Sian Lun mengelak dan sampai belasan jurus dia dikejar-kejar sinar emas itu dan dia menghindarkan dirinya dengan jalan mengelak amat cepatnya. Kemudian, setelah dia mulai dapat mengikuti perkembangan gulungan sinar emas senjata lawan, mulailah pemuda ini membalas dan sekali dia membalas, dia telah menggunakan Sin liong jiauw-kang yang ampuh.
Kedua tangannya membentuk cakar naga dan tubuhnya juga meluncur seperti naga terbang di angkasa, sekali membalas kedua tangannya itu berputar secara aneh, lalu mencengkeram dari atas dan dari bawah dengan tenaga yang berlawanan, yaitu yang dari atas menyambar secara kasar dan dari bawah menyambar secara halus. Menghadapi serangan kaligus yang bertentangan ini, kakek Khitan itu berseru kaget dan menjadi bingung, akan tetapi mengandalkan tenaganya yang besar, dia mengangkat lengan kiri menangkis dengan tenaga yang sama kerasnya ke arah lengan kanan lawan yang datang dari atas, sedangkan untuk menghadapi serangan dengan tenaga halus dari bawah itu, dia menggerakkan rantainya untuk melibat tangan kiri lawan atau untuk mengaitnya dengan mata kail yang runcing itu.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika lengannya bertemu dengan lengan kanan lawan yang tadi menyambar dengan lebih dulu mengeluarkan hawa pukulan keras, lengannya itu seperti bertemu dengan agar agar yang amal lunak dan tenaga keras dari lengan kirinya yang menangkis itu seperti terserap oleh sesuatu yang lunak sehingga tenaganya lenyap sepert lemparan batu mengenai air yang dalam! Di sebaliknya, tangkisannya menggunakan rantai emas itu malah kini akan dicengkeram oleh tangan kiri lawan yang tiba tiba berubah menjadi sumber tenaga yang panas dan keras. Kiranya pemuda itu telah dapat merobah-robah tenaga di kedua tangannya secara mendadak, hal yang sesungguhnya amatlah sukar untuk dilakukan!
Akan tetapi, Tai-lek Hoat-ong adalah seorang tokoh banyak pengalamannya, maka begitu melihat keganjilan ini, dia maklum dirinya berada dalam bahaya dan akan celakalah kalau dia melanjutkan kedua tangkisannya itu maka dia menyimpan kembali tenaganya dan melernpar diri kebelakang sambil memutar rantai membentuk gulungan sinar untuk melindungi tubuhnya. Dan dia berhasil lolos dari lubang jarum! Biarpun pakaiannya menjadi kotor terkena debu ketika dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan ke atas tanah, namun dia terlepas dari serangan balasan Sian Lun, dan kakek raksasa itu meloncat bangun dengan muka berobah agak pucat dan tahulah dia bahwa lawannya ini biarpun masih muda akan tetapi benar-benar memiliki kepandaian yang amat luar biasa!
Dia merasa penasaran sekali, dan juga agak malu karena dalam segebrakan saja dia hampir celaka! Kenyataan ini sungguh sukar untuk dipercaya karena dia adalah tokoh utama dari golongan Khitan yang berada di Tiongkok. Rasa malu dan penasaran membuat kemarahannya makin berkobar dan dia lalu mengeluarkan teriakan yang amat nyaring, teriakan yang menggetarkan jantung dan memekakkan telinga sehingga Wan Cu cepat menutupi kedua telinganya dengan tangan. Dengan teriakan masih menggema, kakek itu kini menerjang ke depan dan mengirim serangan yang lebih cepat dan lebih kuat lagi, rantai emasnya tidak hanya berobah menjadi sinar emas bergulung-gulung, akan tetapi juga mengeluarkan suara bercuitan dan berdesingan!
Sian Lun maklum akan kelihaian lawan,! maka dia bersikap hati-hati sekali, menggunakan kecepatan gerakan dan kekebalan kedua lengan untuk mengelak dan menangkis, kemudian kadang-kadang dia membalas dengan tamparan tamparan atau cengkeraman cengkeraman kedua tangannya yang memainkan ilmu Cakar Naga Sakti (Sin hong-jiauw kang) yang amal hebat itu! Biarpun kakek itu kelihatannya lebih banyak menyerang, namun sesungguhnya dialah yang terdesak dan terancam karena setiap serangan balasan dari Sian Lun selalu, membuat dia kewalahan dan nyaris terkena tangan ampuh pemuda itu, sedangkan semua serangan rantai emasnya itu hanya lebih condong kepada perlindungan diri belaka untuk mencegah pemuda itu dapat membalas dengari serangannya yang luar biasa.
Betapapun juga sudah dua kali Tai-lek Hoat-ong terpental ketika ujung-ujung jari tangan Sian Lun berhasil mencium ujung pundak dan pinggiran pinggulnya. Tubuh kakek itu tergetar dan rasa nyeri menembus ke tulang sungsum, akan tetapi dia tidak mau menyerah karena merasa malu dan bahkan menyerang terus, sungguhpun hatinya sudah merasa kecut dan gentar karena makin yakin dia kini akan kelihaian lawan. Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai menonton dengan mata terbelalak. Baru sekarang mereka juga tahu benar bahwa pemuda itu memiliki tingkat yang amat hebat, jauh lebih tinggi dari pada tingkat mereka, bahkan agaknya masih jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian kakek Khitan itu!
Sungguh luar biasa dan sukar untuk dapat dipercaya! Sedangkan Wan Cu yang juga terus mengikuti jalannya pertempuran dengan mata silau dan kepala agak pening karena baginya jalannya pertandingan itu terlalu cepat, kini merasa makin kagum kepada pemuda itu. Dan dia merasa makin malu kepada diri sendiri mengapa tadinya dia berani memandang ringan pada Sian Lun, bahkan diajaknya pemuda itu berlumba lari, dianggapnya seperti seorang pemuda yang tingkat kepandaian silatnya masih rendah saja. Kiranya kini mampu menandingi lawan seperti Tai-lek Hoat-ong yang telah mengalahkan nenek guru dan kakek gurunya!
Tiba-tiba terdengar Tai-lek Hoat-ong mengeluarkan suara bentakan nyaring dan rantai emasnya menyambar ke arah kepala Sian Lun, dibirengi dengan hantaman tangan kirinya ke arah lambung. Sian Lun menyambutnya dengan tenang, akan tetapi juga diam diam mengerahkan tenaganya. Tangan kirinya menangkis lalu mencengkeram, sedangkan tangan kanannya memapaki hantaman tangan kiri lawan yang menuju lambung.
"Desss! Krekkk!"
Tubuh Tai-lek Hoat-ong terlempar dan terjengkang, rantai emasnya patah dan sebagian tertinggal dalam cengkeraman Sian Lun. Kakek raksasa Khitan itu meloncat dan siap untuk menerjang lagi, akan tetapi pada saat itu nampak debu mengebul dibarengi suara derap kaki kuda. Ada pasukan yang datang ke tempat itu dan melihat ini Tai-lek Hoat-ong dan teman-temannya segera meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi! "Heii, pengecut-pengecut, hendak lari ke mana kalian?"
Wan Cu berteriak, akan tetapi ketika dia hendak mengejar, Sian Lun mencegahnya.
"Sudahlah, moi moi, biarkan mereka pergi!"
Wan Cu memandang kepada pemuda itu dengan wajah berseri dan sinar mata penuh kagum.
"Aihh, suheng. engkau benar-benar nakal! Engkau memiliki kepandaian demikian tinggi dan lihai, akan tetapi kau pura-pura bodoh dan lemah sampai aku sendiri kena kau kelabuhi!"
Sian-Lun hanya tersenyum dan pada saat itu, pasukan sudah tiba di situ. Ternyata itu adalah pasukan keamanan yang dipimpin sendiri oleh Yap Yu Tek yang mengkhawatirkan keselamatan puterinya dan juga untuk membantu kalau ada musub menyerbu Kuil Kwan im-bio seperti yang diberitakan oleh Tan Sian Lun. Ketika Yap Yu Tek mendengar akan pertempuran yang terjadi di situ, diceritakan secara lancar dan lincah oleh puterinya, dia merasa kagum bukan main kepada Sian Lu. Mereka lalu masuk ke dalam kuil dan di situ Pek I Nikouw memandang kepada Sian Lun dengan sinar mata penuh selidik.
"Tan-taihiap memiliki kepandaian yang demikian hebatnya, dan kalau tidak salah pinni melihat dasar-dasar ilmu silat dari Lui Sian Lojin. Mengingat bahwa mendiang ayah taihiap, juga mendiang paman dan bibi gurumu yang mendidik taihiap adalah murid murid dari Lui Sian Lojin, maka ilmu silat yang taihiap miliki itu tidaklah aneh. Akan tetap tingkat kepandaian taihiap sedemikian luar biasa! Puteri mendiang Gan-taihiap ketika masih kecil diajak pergi oleh Lui Sian Lojin dan agaknya dididik oleh kakek gurunya itu apakah taihiap juga dididik oleh Lui Sian Lojin? Apakah pertapa di Kwi-hoa-san itu yang menjadi guru taihiap?"
Sian Lun merasa bingung. Sebenarnya dia tidak ingin bercerita tentang dirinya, tentang mendiang gurunya. Akan tetapi menghadapi pertanyaan yang diajukan oleh Pek I Nikouw itu, yang didukung oleh pandang mata dari Yap Yu Tek, Yap Wan Cu, dan juga Tiong-san Lo-kai yang agaknya ingin sekali mendengar jawabannya, dia tidak melihat jalan lain untuk mengelak.
"Sebenarnya"". saya bukan murid Lui San Lojin suheng"".."
"Suheng"".?"
Pek I Nikouw dan Tiong-san Lo-kai berseru hampir berbareng karena mereka terheran-heran mendengar pemuda itu menyebut "suheng"
Kepada kakek gurunya! Lui Sian Lojin adalah guru dari tiga orang pendekar naga sakti, guru dari ayah, paman dan bibi pemuda ini, jadi berarti kakek guru pemuda ini. Bagaimana mungkin pemuda ini menyebutnya suheng?
"Lun-ko, bukankah kakek sakti itu adalah kakek gurumu, bagaimana koko menyebutnya suheng?"
Wan Cu bertanya secara langsung, dan terus terang.
"Saya".. eh, ketika terjadi keributan"".
"
"Kabarnya engkau dibawa pergi oleh seorang sakti"".."
Sambung pula Wan Cu.
"Siapakah locianpwe sakti itu, taihiap?"
Tanya Pek I Nikouw dan Sian Lun merasa makin canggung dan jengah karena disebut taihiap (pendekar besar) oleh nikouw tua ini.
"Beliau adalah paman guru dari suheng Lui Sian Lojin. dan mendiang suhu telah pesan agar saya tidak menyebut-nyebut namanya"""
"Hmmmm."
Tiong-san Lo-kai mengelus jenggotnya dengan tangan kaku karena pergelangan tangannya sedang dalam pengobatan dan masih dibalut karena dipatahkan oleh Tai-lek Hoat-ong tadi
"Kalau aku tidak salah, guru dari Lui Sian Lojin adalah Bu Eng Lojin dan saudara seperguruan dari kukek sakti ini pernah dikenal sebagai seorang kakek aneh bernama Siangkoan Lojin"". Akan tetapi dua orang tua itu hanya tinggal nama saja, tidak pernah muncul lagi di dunia ramai""..apakah engkau hendak mengatakan bahwa seorang di antara mereka adalah suhumu, taihiap?"
Sian Lun mengangguk.
"Mendiang suhu memang she Siangkoan""""
"Omitohud""! Pantas saja taihiap demikian lihai, kiranya murid seorang sakti dan taihiap masih terhitung sute dari Lui Sian Lojin!"
Pek I Nikouw berseru penuh kagum.
"Dan kalau begitu, mana pantas aku menyebut suheng? Engkau, kalau dihitung dari tingkat pantas kusebut""..susiok kong (paman kakek guru)!"
Kata Wan Cu.
Sian Lun hanya tersenyum kepada dara itu, dan mereka lalu bercakap cakap. Dengan penuh perhatian Sian Lun mendengarkan penjelasan Yap Yu Tek tentang keadaan negara dan sebagian besar dari penjelasan itu sudah di dengarnya dari Ong-ciangkun. Akan tetapi penuturan tentang adanya babaya yang mengancam pemerintah, bahkan kini bahaya itu sudah dirasakannya sendiri dengan adanya penyerbuan orang Khitan, Tibet dan Beng-kauw, mendorongnya untuk membantu pemerintah. Dia merasa yakin bahwa kalau ayahnya masih hidup, atau paman dan bibinya masih hidup, tiga orang pendekar perkasa itu tentu tidak akan mendiamkan saja negara terancam oleh para pemberontak yang dibantu oleh orang oraug asing itu. Sian Lun menceritakan kepada mereka tentang pertemuannya dengan Ong ciangkun dan tentang cerita panglima itu.
"Ah, negara sedang kalut dan ketenteraman sedang terancam bahaya,"
Kata Yap Yu Tek.
"kalau dibiarkan saja, akhirnya orang-orang macam mereka yang menyerbu ke sini tadi tentu akan makin menyusun kekuatan dan merajalela, dan kalau pemberontakan sampai pecah lagi, kembali rakyat jelata yang akan menderita hebat."
"Saya akan berangkat menyusul Ong-ciangkun di kota raja dan saya akan membantu pemerintah untuk menentang para pemberontak itu"
Kata Sian Lun yang tergugah semangatnya melihat sikap orang-orang tua yang masih bersemangat itu.
"Bagus!"
Yap Yu Tek berseru girang.
"Memang orang-orang muda seperti engkau inilah yang amat dibutuhkan oleh negara untuk menyelamatkan negara!"
Kemudian Yap Yu Tek mengajak Sian Lun untuk singgah ke rumahnya. Tadinya Sian Lun hendak berpamit dan hendak langsung melanjutkan perjalanan, akan tetapi Yap Yu Tek menahannya, dan setelah Wan Cu juga ikut menahannya, dan mempersilakan dia untuk singgah, terpaksa Sian Lun ikut bersama rombongan itu, kembali ke kota.
Gan Beng Lian, ibu dari Wan Cu merasa kagum bukan main mendengarkan penuturan Wan Cu betapa pemuda sederhana itu telah menghalau semua musuh dan betapa pemuda itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih hebat dari pada Pek I Nikouw atau Tiong-san Lo-kai. Maka timbullah suatu keinginan di dalam hatinya. Mereka mempersilakan Sian Lun untuk bermalam di rumah mereka untuk sedikitnya satu malam, dan malam itu suami isteri Yap ini saling bersepakat untuk menarik pemuda itu sebagai mantu mereka!
"Ayahnya adalah seorang pendekar sakti yang amat gagah perkasa, adik seperguruan kakakku Beng Han,"
Antara lain nyonya membujuk suaminya.
"Dan ibunya adalah orang puteri pangeran. Sekarang, dia memiliki kepandaian hebat, dan juga wataknya amat baik, pendiam, sederhana dan tidak sombong. Dia amat pantas menjadi suami anak tunggal kita."
Yap Yu Tek mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya agak berkerut.
"Engkau tentu mengerti betapa senang rasa hatiku kalau saja aku bisa mendapatkan seorang mantu seperti pemuda itu, isteriku. Akan tetapi, akupun teringat bahwa syarat utama bagi suatu perjodohan adalah perasaan cinta kasih antara dua orang muda yang akan dijodohkan. Tanpa adanya cinta kasih, aku tidak akan memaksa puteriku""" "
"Akan tetapi aku sudah melihat tanda tanda bahwa anak kita itu amat kagun dan suka kepada Sian Lun. Lihat saja sinar matanya kalau dia memandang pemuda itu, dan seri wajahnya ketika dia menceritakan kegagahan pemuda itu, seolah-olah dia ingin sekali menonjolkan jasa pemuda itu kepada kita."
Yap Yu Tek tersenyum dan merangkul isterinya.
"Mungkin engkau benar karena aku percaya engkau memiliki perasaan halus dan mudah menangkap gejala-gejala seperti itu. Baiklah, besok kita bicarakan dengan Sian Lun."
"Dan malam ini aku akan menjajagi isi hati Wan Cu,"
Kata Gan Beng Lian dengan hati senang dan penuh harapan.
Ketika malam hari itu Gan Beng Lian mengajukan persoalan perjodohan itu kepada Wan Cu, dara yang biasanya gagah perkasa dan tak pernah mengenal takut ini menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan sama sekali tidak berani menentang pandang mata ibunya! Ibunya tersenyum dan sudah maklum akan isi hati puterinya. Kalau seorang gadis tidak menyetujui suatu usul perjodohan, tentu dia akan langsung saja menolak, marah-marah dan menangis. Akan tetapi, kalau perawan itu menundukkan muka yang menjadi merah, menahan senyum dan tidak berani menentang pandang mata, hanya jari-jari tangannya saja yang memainkan ujung baju untuk melawan ketegangan hati yang penuh rasa malu, berarti bahwa gadis itu menerimanya!
"Wan Cu, ibumu tahu akan perasaan hatimu terhadap Sian Lun. Memang dia seorang pemuda yang patut dikagumi dan patut dicinta, akan tetapi kami, ayah ibumu, tidak akan memaksamu kalau engkau tidak setuju. Oleh karena itu, setujukah engkau kalau besok ayah ibumu membicarakan perjodohan ini dengan Sian Lun? Kalau engkau tidak setuju, jawablah, kalau setuju, cukup engkau mengangguk."
Jari-jari tangan yang memainkan ujung baju itu gemetar, sejenak Wan Cu mengangkat muka, akan tetapi begitu bertemu dengan pandang mata ibunya, dia menunduk kembali dan ada titik air mata jatuh di atas kedua pipinya walaupun bibirnya menahan senyum! Lalu dia mengangguk perlahan, menahan isak, dan gadis itu meloncat terus lari keluar dari kamar ibunya!
Gan Beng Lian tersenyum, akan tetapi tanpa disadari lagi air matanya bercucuran karena haru. Dia cepat memberi tahu suaminya bahwa puteri mereka telah menyalakan "lampu hijau".
"Sian Lun, sebenarnya apa yang hendak kami bicarakan denganmu ini menurut patut haruslah melalui perantara dan walimu,"
Demikian pada keesokan harinya setelah makan pagi. Yap Yu Tek yang didampingi oleh isterinya itu mulai membuka percakapan yang didengarkan oleh Sian Lun dengan penuh perhatian akan tetapi juga penuh keheranan karena pemuda itu belum tahu ke mana arah percakapan yang dimulai oleh
tuan rumah itu.
"Akan tetapi, mengingat bahwa ayah bundamu telah tiada, juga pamanmu Gan Beng Han dan bibimu telah meninggal dunia, bahkan gurumu Siangkoan Lojin telah meninggal dunia pula sehingga engkau
(Lanjut ke Jilid 30)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 30
hidup sebatangkara dan tanpa wali, maka terpaksa kami tidak dapat menghubungi seorang walimu."
Sampai di sini, Sian Lun masih juga tidak mengerti, maka dia hanya mengangguk tanpa mengganggu lanjutan ucapan pendekar itu.
"Selain itu,"
Tiba-tiba Gan Beng Lian menyambung.
"Kami sudah mengenalmu sejak kecil, dan mengingat bahwa engkau adalah putera sute dari kakakku Gan Beng Han, bahkan kemudian seperti putera sendiri dari mendiang Han-koko, maka boleh dikata bahwa engkau adalah orang atau keluarga sendiri."
Yap Yu Tek mengangguk.
"Benar ucapan bibimu ini, Sian Lun. Maka kamipun tidak merasa ragu-ragu lagi untuk secara langsung bicara denganmu mengenai urusan ini."
Makin lama makin memuncak keinginan tahu Sian Lun karena belum juga dia dapat meraba, apa lagi mengerti, akan maksud dari ucapan-ucapan suami isteri itu "Urusan apakah gerangan yang paman dan bibi maksudkan?"
"Urusan perjodohanmu, Sian Lun,"
Kat Gan Beng Lian cepat-cepat. Sepasang mata pemuda itu terbelalak lebar menatap wajah bibinya ini, kemudian menengok dan menatap wajah pamannya yang tersenyum saja. Sepasang pendekar itu memandangnya dengan tersenyum dan Sian Lun menjadi makin bingung.
"Urusan per"". perjodohanku...?"
Akhirnya dia mengulang dengan gagap.
"Ya, perjodohanmu dengan puteri kami Sian Lun. Kami mengambil keputusan untuk menjodohkan Wan Cu denganmu, tentu saja kalau engkau tidak keberatan,"
Kata Yap Yu Tek dengan sikap halus, sedangkan Gan Beng Lian menatap wajah pemuda itu dengan mata berseri-seri. Senang sekali rasa hati nyonya itu melihat wajah pemuda yang tampan sederhana itu tiba-tiba berubah merah sekali dan matanya sejenak terbelalak, akan tetapi wajah itu lalu menunduk dan pemuda itu menjadi gugup.
"Paman"".. dan bibi"".. ini"". ini""
Pemuda itu tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena pemberitahuan itu datangnya sama sekali tak disangkanya dan benar-benar amat mengejutkan hatinya.
"Kami tahu bahwa engkau tentu terkejut dan bingung, dan tentu tidak dapat mengambil keputusan ini secara mendadak, Sian Lun. Akan tetapi pikirkanlah baik-baik. Kalau menurut perhitunganku, usiamu tentu sudah cukup dewasa, lebih tua dua tiga tahun dibandingkan dengan Wan Cu,"
Kata nyonya itu.
"Berapakah usiamu tahun ini?"
"Duapuluh tahun, bibi,"
Sian Lun menjawab sambil masih menundukkan mukanya.
"Nah, duapuluh tahun! Sudah cukup dewasa dan adikmu Wan Cu berusia tujuhbelas tahun. Mengingat akan hubungan antara orang tuamu dengan keluarga kami, maka kami anggap amatlah tepat kalau Wan Cu menjadi calon isterimu. Puteri kami itu begitu bertemu denganmu telah merasa suka dan kagum sekali."
Melihat Sian Lun menunduk dan kelihatan bingung, dan merasa betapa isierinya terlalui mendesak, Yap Yu Tek lalu berkata dengan tenang dan lembut.
"Sian Lun, tentu saja kamipun tidak ingin mendesakmu, betapapun senang hati kami kalau engkau tidak menolak niat kami yang baik ini. Biarlah kami memberi waktu kepadamu selama setengah tahun untuk menentukan jawabanmu. Ingatlah bahwa sementara itu, kami menganggap Wan Cu adalah calon isterimu, harap engkau tidak melupakan hal ini."
Sian Lun adalah seorang pemuda yang semenjak kecil ditinggal oleh kedua orang tuanya, kemudian dipelihara oleh Gan Ben Han dan isterinya, menganggap mereka sebagai pengganti orang tua akan tetapi segera dia dipisahkan lagi dari suami isteri ini, bahkan begitu dia kembali kepada mereka, dia hanya mendapatkan makam mereka. Oleh kesengsaraan hidup yang bertubi-tubi ini dia menjadi perasa sekali, maka mendengar ucapan suami isteri ini merasakan betapa baiknya mereka kepadanya, apalagi dia telah dipilih sebagai calon mantu, suatu kepercayaan dan budi yang melimpah ruah kepadanya, dia tidak dapat menahan keharuan hatinya dan segera dia menjatuhkan diri berlutut di depan mereka. Suami isteri itu tercengang melihat ini.
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Paman Yap Yu Tek dan bibi, sungguh paman berdua telah melimpahkan budi yang teramat besar kepada saya yang sebatangkara, miskin dan papa ini, melimpahkan kepercayaan yang luar biasa sehingga akan menjadi manusia tak kenal budilah kalau saya menolak usul paman berdua. Akan tetapi, apa yang paman berdua kemukakan itu adalah hal yang sama sekali tidak pernah terpikir oleh saya, tidak pernah saya sangka-sangka sehingga saya masih bingung, tidak tahu harus, menjawab bagaimana karena memang sedikitpun tidak pernah terpikir oleh saya tentang perjodohan. Oleh karena itu, mohon paman berdua sudi mengampunkan saya yang tidak mengenal budi ini, dan terima kasih atas kelonggaran yang paman berikan kepada saya. Demi langit dan bumi, saya tentu akan menyampaikan jawaban saya sebelum setengah tahun ini."
Yap Yu Tek saling pandang dengan isterinya kemudian mereka membangunkan pemuda itu dan menyuruhnya duduk kembali.
"Sian Lun, aku yakin sekali bahwa arwah mendiang ayah bundamu, juga arwah mendiang Han-koko dan isterinya pasti akan merasa berbahagia kalau engkau dapat berjodoh dengan Wan Cu. Maka, kuharap saja engkau kelak tidak akan mengecewakan kami, mengecewakan mereka, dan akan menerima tali perjodohan ini dengan resmi,"
Kata Beng Lian dan Sian Lun hanya mengangguk.
Tak lama kemudian Sian Lun berpami untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja, karena sudah bulat tekadnya untuk mencari Ong ciangkun dan membantu pemerintah menghadapi golongan-golongan yang menentang pemerintah dan yang mempunyai kecondongan untuk memberontak atau membantu pemberontak. Selama dia bercakap-cakap dengan suami isteri itu. Wan Cu tidak pernah muncul. Sian Lun juga tidak berani bertanya, karena setelah pernyataan tentang perjodohan itu oleh Yap Yu Tek berdua, maka nama gadis itu saja tak berani dia menyebutnya, bahkan teringat akan Wan Cu saja sudah cukup membuat jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah. Akan tetapi pemuda ini dapat menduga bahwa tentu gadis itu sudah tahu akan kehendak ayah bundanya maka tentu merasa malu untuk bertemu muka dengan dia.
Oleh karena itu, setelah berpamit kepada suami isteri itu, Sian Lun lalu pergi pada pagi hari itu meninggalkan kota An-kian, tanpa berani menanyakan Wan Cu sehingga dia pergi tanpa pamit kepada gadis itu. Akan tetapi, ketika dia keluar dari kota An-kian dan tiba di tikungan jalan yang sunyi, terdengar suara halus memanggilnya.
"Lun-koko"..!"
Sian Lun berhenti dan menoleh. Kiranya Wan Cu sudah berada di situ, di tepi jalan dan agaknya memang sudah sejak tadi menantinya! Jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah sekali ketika dia melangkah menghampiri dara itu yang berdiri dengan kepala menunduk. Dara itu memakai pakaian baru dan kelihatan cantik sekali, akan tetapi pada saat itu Wan Cu menundukkan mukanya dan hanya mengerling dari bawah dengan sikap yang malu-malu.
"Adik Wan Cu""..kau..."". di sini"..?"
Sian Lun berkata, suaranya lirih sekali, seperti berbisik, bahkan hampir tidak dapat keluar dari mulutnya dan kerongkongan lehernya terasa kering. Dia sendiri merasa heran mengapa dia menjadi seperti orang ketakutan dan bingung macam ini!
Wan Cu mengangguk.
"Aku"". sejak tadi menantimu di sini, koko."
Melihat sikap dara itu yang malu-malu, mengertilah Sian Lun bahwa memang gadis ini sudah tahu akan ikatan jodoh antara merela yang diusulkan oleh orang tua gadis itu, maka dia menjadi makin canggung dan malu. Sejenak mereka berdua diam saja, dan keduanya berdiri berhadapan dengan kepala ditundukkan, masing-masing tidak berani mengangkat muka untuk saling memandang! Sungguh lucu sekali keadaan dua orang muda ini, serba canggung dan serba sungkan dan malu. Terasa benar kesunyian mencekam hati dan membuat keduanya makin merasa canggung dan gugup. Akan tetapi akhirnya Sian Lun dapat menguasai ketegangan hatinya setelah beberapa kali dia menarik napas dalam,
"Cu moi, aku tidak tahu mengapa engkau menantiku di sini, akan tetapi maafkanlah aku bahwa aku pergi tanpa pamit darimu karena"". karena"". setelah orang tuamu bicara tentang"". eh, perjodohan itu""
Entah mengapa, aku merasa malu untuk menanyakanmu.....maka aku pergi tanpa pamit."
Wan Cu tersenyum malu-malu akan tetapi melihat pemuda itu sudah dapat bicara lancar diapun dapat menenangkan hatinya, dia mengangkat mukanya dan sejenak keduanya saling pandang, Wan Cu adalah seorang gadis yang biasanya lincah jenaka dan tak kenal takut, akan tetapi sekarang dia mengalami hal aneh yang membuatnya malu-malu dan merasa canggung sekali.
"Koko, akupun""malu bertemu muka denganmu di hadapan orang lain"". maka ketika mendengar bahwa engkau akan ke kota, aku sengaja menanti di sini."
Setelah saling menceritakan perasaan hati mereka yang sama sama malu, aneh sekali bagi kedua orang muda itu, perasaan canggung dan malu itu malah lenyap! Mereka berani saling pandang dengan terbuka.
"Cu-moi, aku senang kita dapat saling jumpa di sini dan aku mendapatkan kesempatan untuk pamit kepadamu. Aku hendak pergi ke kota raja, moi-moi, dan aku berterima kasih atas semua kebaikanmu dan kebaikan keluargamu terhadap diriku."
Sian Lun menjura dan segera dibalas oleh Wan Cu.
"Aih! yang seharusnya berterima kasih adalah aku, Lun-koko. Engkau telah menolongku, bahkan menolong keluargaku Aku sengaja menghadangmu di sini untuk mengucapkan terima kasih dan selamat jalan kepadamu".."
"Terima kasih, engkau baik sekali, Cu-moi."
"Dan selain itu, aku"".aku.. ."
Tiba-tiba dara itu menjadi gugup kembali dan kini dengan kedua tangan gemetar dia meraba-raba ke arah lehernya di balik bajunya.
"Ada apakah, moi-moi?"
Sian Lun bertanya, memandang tajam dan agak khawatir. Kini kedua tangan yang gugup dan gemetar tadi sudah berhenti meraba-raba leher, dan sudah turun lagi dan di tangan kanan itu tergantung seuntai kalung emas dengan hiasan mata batu giok hijau.
""".. ini"".. aku ingin memberikan kalungku ini kepadamu, koko"".."
"Ehh? Kalung begitu indah dan tentu mahal, untuk apa kauberikan kepadaku, moi-moi? Aku seorang laki-laki, tidak biasa memakai perhiasan....."
Pemuda yang masih hijau ini bertanya dengan jujur karena memang dia merasa bingung dan tidak mengerti mengapa dara itu memberikan kalungnya kepadanya!
Wan Cu adalah seorang gadis kota, tentu saja dia sudah sering mendengar dan tahu akan arti pemberian benda-benda berharga antara tunangan atau pacar. Akan tetapi, mendengar pertanyaan ini dia tidak merasa tersinggung atau marah. Dia juga tahu bahwa pemuda ini sejak kecil pergi bersama orang sakti dan pemuda ini amat jujur, benar-benar tidak mengerti akan pemberian antara muda-mudi itu. Justeru karena ketidak mengertian pemuda itu, rasa canggung dan malunya meluntur dan ia tersenyum.
"Koko, terimalah pemberianku ini untuk tanda mata untuk tanda terima kasihku kepadamu. Tanda mata ini boleh saja kaupakui, atau boleh kau simpan sebagai kenang-kenangan, koko."
Gadis itu menyerahkan kalungnya dan diterima olehSian Lun dengan jantung berdebar karena biarpun dia tidak mengerti, akan tetapi ada sesuatu yang menggerakkan perasaannya dalam pemberian ini, pemberian sebuah kalung yang biasanya menempel di leher dan dada gadis itu! Ketika menerima kalung, tanpa disengaja jari jari tangan mereka saling bersentuhan dan ini menimbulkan getaran yang sedemikian hebatnya sehingga terasa oleh keduanya sampat ke ujung kaki!
"Terima kasih, moi moi, akan tetapi""
Pemberianmu begini berharga, sedangkan aku...". aku tidak mempunyai apa apa untuk diberikan kepadamu.
"
Wan Cu menoleh ke kanan kiri dan ke bawah, lalu dia tersenyum dan berkata.
"Biarpun hanya setangkai bunga, sehelai daun, atau sepotong batu akan merupakan barang berharga bagiku asal engkau yang memberi kepadaku Lun-ko."
"Bunga""..? Batu"".?"
Sian Lun menengok ke kanan kiri. Tidak ada bunga di situ dan biarpun ada pohon di tepi jalan, kalau hanya memberi daun rasanya amat tidak patut mending kalau ada bunga, Dan batu! Banyak batu berserakan di jalan, dan teringatlah dia ketika dia baru melatih, sinkang di bawan bimbingan Siangkoan Lojin, dia sering membuat mainan-mainan dari batu dengan kedua tangannya. Sian Lun lalu memungut sepotong batu sebesar kepalan tangan, kemudian dia mengerahkan sinkangnya dan menggosok gosok batu itu dengan tangan. Nampak debu mengepul dan batu itu telah digosoknya sampai menjadi semacam bola yang amat halus permukaannya!
"Aku tidak memiliki apa-apa, moi-moi, nah, biarlah benda ini, sepotong batu biasa, kuberikan kepadamu."
Wan Cu terbelalak, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan kedua pipinya meniadi kemerahan, hatinya girang bukan main. Dia menerima batu itu.
"Ah, terima kasih, koko, aku akan menyimpan benda ini selama hidup"
Dan kembali jari-jari tangan mereka saling sentuh. Anehnya, mereka berdua tidak segera menarik tangan dan jari-jari tangan itu sampai agak lama saling bersentuhan, dan dari jari-jari tangan mereka itu keluar getaran hangat yang langsung menyerbu jantung.
"Nah, sekarang aku akan melanjutkan perjalananku, Cu-moi. Selamat tinggal."
"Selamat jalan, koko, sampai jumpa lagi."
"Sampai jumpa lagi"".."
Sian Lun mulai melangkah pergi.
"Koko"".!"
Sian Lun menahan langkahnya dan memutar tubuhnya. Dara itu telah mengikutinya dan kini memandang kepadanya dengan sinar mata aneh dan lembut, setengah terpejam dan bulu matanya bergerak-gerak.
"Ada apakah, Cu-moi?"
"Koko, engkau tentu...". akan cepat datang ke sini, bukan?"
Sian Lun tersenyum.
"Begitu ada kesempatan, aku akan mengunjungi keluargamu.
"
"Sebelum enam bulan?"
Suara dara itu mengandung desakan dan Sian Lun segera teringat akan janjinya terhadap orang tua dara ini untuk memberi keputusan tentang perjodohan itu sebelum enam bulan. Teringat akan itu, tiba-tiba mukanya berobah merah. Tadinya ada perasaan mesra di hatinya terhadap dara ini sebagai saudara, atau sebagai sahabat baik sekali, akan tetapi begitu teringat akan perjodohan, pemuda ini menjadi gugup dan bingung lagi. Dia tidak menjawab, hanya mengangguk saja.
Wajah Wan Cu berseri.
"Koko, selamat jalan dan aku"".aku akan menantimu siang malam dengan penuh harapan"" ". Dan mendekapkan batu itu ke dadanya dan melihat ini Sian Lun cepat, mengangguk sebagai penghormatan terakhir dan cepat pergi meninggalkan dara itu.
Setelah melalui sebuah tikungan, baru Sian Lun berani menengok dan tidak melihat lagi adanya gadis itu, dan barulah dia berjalan perlahan-lahan dan tenggelam dalam lamunan. Dia merasa heran sekali mengenangkan sikap Wan Cu yang demikian baik dan mesra terhadap dirinya. Dan dia sendiripun tidak tahu perasaan apa yang terkandung di hatinya terhadap dara itu. Dia suka dan kasihan kepada Wan Cu, akan tetapi dia tidak tahu apakah dia akan suka menjadi suami dara itu ataukah tidak. Sama sekali dia belum pernah memikirkan tentang perjodohan, dan pernyataan orang tua gadis itu sungguh membuat dia bingung. Akan tetapi, mereka telah demikian baik kepadanya, dan gadis itu sendiri sedemikian ramah dan baiknya.
Orang tua gadis itu adalah pendekar-pendekar gagah perkasa, dan gadis itu seorang yang cantik dan gagah pula, berbudi baik, keturunan pembesar dan kaya raya. Apalagi yang kurang? la harus mengakui bahwa orang yatim piatu miskin seperti dia, seolah-olah menerima ganjaran yang luar biasa besarnya kalau sampai dapat menjadi suami Wan Cu! Mana mungkin dia dapat menolak mereka? Apa yang akan dijadikan alasan untuk menolak Wan Cu? Akan tetapi, waktunya masih lama dan kini urusan besar dan penting menantinya, yaitu pertemuan dengan Ong-ciangkun dan menawarkan tenaganya untuk membantu pemerintah menentang pemberontakan, mempertahankan ketenteraman rakyat sesuai dengan yang dipesankan oleh mendiang gurunya.
Perjodohan? Siapa yang memikirkan hal itu dalam keadaan sebatangkara seperti dia ini? Tidak ada orang yang dekat dengannya. Dan setelah kematian Gan Beng Han dan isterinya maka orang yang terdekat dengan dia adalah, Ling Ling atau Gan Ai Ling puteri pamannya itu dan barangkali juga Coa Gin San, murid mendiang paman dan bibinya. Ah, kalau saja ada mereka berdua, tentu dia dapat memperbincangkan urusan perjodohan yang diajukan oleh orang tua Wan Cu itu dengan mereka. Dan biasanya. Gin San amat cerdik dalam menghadapi soal-soal yang sulit, tentu sahabatnya atau juga sutenya itu akan menemukan jalan bagaimana baiknya. Dimanakah mereka berdua? Teringat akan Gin San yang nakal dan Ling Ling yang lincah jenaka, wajah pemudi itu berseri gembira, akan tetapi segera menjadi muram ketika dia teringat bahwa dua orang itu masih belum diketahuinya berada di mana.
Kakek itu sudah tua sekali, tentu sudah mendekati seratus tahun usianya. Dia berdiri di depan guha yang besar itu, dan biarpun wajahnya penuh keriput usia tua, namun tubuhnya masih dapat berdiri tegak dengan punggung lurus, dan kedua kakinya terpentang lebar. Pada wajah yang keriputan itu tidak terbayang perasaan apapun, namun pandang matanya berseri ketika dia memandang kepada seorang dara yang berlutut di depannya. Dara itu berusia delapanbelas tahun, berpakaian sederhana berwarna hijau. Wajahnya manis sekali, dan terutama sekali sepasang matanya yang lebar itu demikian hidup penuh semangat, bulu matanya lentik panjang dan sinar matanya tajam, terbuka, dan hampir selalu tersenyum bersama bibirnya. Dara ini adalah .Gan Ai Ling atau Ling Ling, puteri tunggal suami isteri pendekar Gin Beng Han dan Kui Eng.
Di sebelah dara itu nampak seorang kakek yang sudah tua pula, dan kakek inipun berlutut di samping Ling Ling. Kakek yang berlutut ini bukan lain adalah Lui Sian Lojin, pertapa puncak Gunung Kwi hoa san yang terkenal bagai seorang yang lihai dan disegani orang-orang kang ouw.
Melihat Ling Ling berlutut bersama Lui Sian Lojin, mudah diduga siapa adanya kakek tua renta yang berdiri tegak itu. Dia bukan lain olah Bu Eng Lojin yang sudah puluhan tahun bersembunyi saja di dalam guha pertapaan, di tempat rahasia sekitar Pegunungan Kwi-hoa-san. Seperti kita ketahui, Bu Eng Lojin adalah guru dari Lui Sian Lojin dan sepuluh tahun yang lalu, karena merasa kasihan dan tertarik kepada bakat terpendam yang dimiliki oleh Ling Ling, kakek ini berkenan mengambil Ling Ling sebagai muridnya dan menggembleng dara itu selama sepuluh tahun, dibantu oleh Lui Sian Lojin sendiri.
Dan memang penglihatan kakek sakti ini tajam sekali, dugaannya tidak meleset karena lewat tujuh tahun saja Lui Sian Lojin sudah tidak mampu membimbing Ling Ling lagi, seluruh kepandaiannya telah tersedot habis oleh sumoinya itu. Maka Bu Eng Lojin turun tangan sendiri, menggembleng Ling Ling selama tiga tahun dan kini dara itu telah menjadi seorang dewasa, cantik manis dan memiliki kepandaian yang amattinggi, bahkan Lui Sian Lojin sendiri menduga bahwa tingkat sumoinya itu tentu lebih tinggi sekarang daripada tingkat kepandaiannya sendiri! Dan padi pagi hari itu, pagi-pagi sekali. Bu Eng Lojin keluar dari guha pertapaannya dan memanggl dua orang muridnya itu.
"Ai Ling,"
Terdengar Bu Eng Lojin berkata sepasang matanya dengan berseri-seri menatap wajah dara yang selama tiga tahun terakhir ini setiap hari digemblengnya itu.
"engkau ku panggil pagi ini untuk memberi tahu bahwa hari ini engkau boleh meninggalkan Kwi-hoa-san karena tidak ada apa-apa lagi yang dapat kuajarkan kepadamu."
Mendengar ucapan gurunya ini, sepasang mata yang indah itu melebar, wajah yang manis itu berseri dan mulutnya tersenyum.
"Oh, terima kasih, suhu! Teecu akan dapat mencari pembunuh ayah bunda teecu!"
Katanya tanpa menyembunyikan perasaannya.
Bu Eng Lojin menggeleng kepalanya dan menarik napas panjang.
"Aku selama ini mendidikmu karena melihat bakat baik pada dirimu, dan bukan maksudku agar engkau menggunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan. Tentang urusan pribadimu, sebaiknya engkau menurutkan nasihat dan petunjuk suhengmu."
Biarpun kakek itu bicara dengan nada suara halus, namun Ling Ling dapat menangkap wibawa yang amat kuat, dan dia menunduk sambil berkata.
"Baik, suhu."
"Bu Cin Lok, mulai saat ini, siapapun tidak boleh menggangguku dari dalam guha. dan engkaupun tidak boleh menggangguku. Aku takkan keluar lagi sampai kematian menjemputku, dan kau bimbinglah sumoimu yang masih muda ini, terserah kepadamu."
Lui Sian Lojin yang bernama Bu Cin Lok itu memberi hormat.
"Teecu akan melaksanakan perintah suhu."
"Bagus! Nah, sampai di sini saja pertemuan terakhir antara kita, dan sebelum kalian pergi, hendaknya kalian suka menutupkan batu besar itu ke depan guha, agar aku tidak akan terganggu oleh siapapun juga."
Setelah berkata demikian, kakek tua renta itu melangkah memasuki guha, dipandang oleh dua orang muridnya. Sedikit banyak, ada perasaan terharu di dalam hati Ling Ling karena dia maklum apa artinya semua ucapan suhunya itu. Dia seolah olah melihat gurunya itu melangkah ke dalam alam lain, alam kematian yang seperti berada di balik guha itu!
"Suhu, terima kasih atas semua kebaikan suhu kepada teecu selama ini!"
Dia berkata akan tetapi kakek itu melangkah terus tanpa menengok, memasuki guha sampai bayangannya ditelan kehitaman dalam guha yang gelap dan belum disentuh sinar matahari pagi.
"Suhu, selamat tinggal""!"
Kembali dara itu berseru ke arah guha yang gelap itu. Bayangan kakek itu sudah tidak knampak lagi, akan tetapi kini terdengar suaranya, seperti gema suara mengaung saja.
"Siapakah yang pergi dan siapa yang datang? Siapakah yang berpisah dan siapa yang berkumpul? Siapa yang mati dan siapa yang hidup? Adakah perbedaan di antara kedua itu?"
Lalu sunyi senyap, tidak terdengar suara apapun.
"Suhu"".!"
Tidak ada jawaban.
Ling Ling merasa pundaknya disentuh tangan orang. Dia menengok dan melihat kakek berjenggot putih yang menjadi suhengnya itu berdiri di belakangnya.
"Sudah, mari kita taati pesan suhu,"
Kata kakek itu dengan suara tenang.
"Batu itu berat sekali dan tenaga badanku yang sudah tua mana mampu menggerakkannya?"
Ling Ling teringat akan pesan gurunya maka diapun bangkitlah lalu bersama suhengnya menghampiri batu besar yang berada di tepi guha. Batu itu besar sekali dan besarnya memang seukuran dengan mulut guha seolah-olah batu itu memang sengaja diadakan untuk menjadi pintu atau penutup guha. Batu itu amat besar dan tentu beratnya ribuan kati, maka untuk dapat menggerakkannya apa lagi menggulingkannya, tentu membutuhkan tenaga yang amat besar. Mula-mula kakek sakti itu menghampiri batu dan mendorongnya. Batu bergoyang sedikit, akan tetapi dia tidak mampu menggerakkan lebih lanjut, dan batu yang sudah bergoyang itu kembali lagi ke tempat semula. Muka kakek itu agak merah dan napasnya agak terengah
"Biarkan aku mencobanya, suheng!"
Kata Ling Ling dan dara ini segera menyingsingkan lengan bajunya sehingga nampak kulit lengannya yang putih mulus.
Dia lalu melangkah kedepan dan menggantikan suhengnya, menarik napas panjang sampai dadanya penuh, kemudian menyalurkan sinkang ke arah kedua lengannyasetelah dia memasang kuda-kuda yang amat kuat. Kedua telapak tangannya ditempelkan kepada batu besar itu, mengerahkan tenaga dan diapun mendorong. Batu itu bergerak! Ling Ling merasa betapa beratnya batu itu, namun dia menambah tenaganya dan batu itu mulai menggelinding! Melihat ini, Lui Sian Lojin terbelalak kagum, lalu diapun melangkah maju dan membantu sumoinya. Dengan penggabungan tenaga sakti dari dua orang ini batu akhirnya menggelinding dan menutup guha dengan suara keras dan nampak debu mengebul dan tanah tergetar ketika berat batu itu menimpa mulut guha dan beradu dengan mulut guha batu itu.
Mereka meloncat mundur dan memandang guha yang kini sudah tertutup batu besar itu. Lui Sian Lojin mengatur pernapasannya yang terengah-engah dan dia melirik ke arah sumoinya. Dara itu berkeringat dan kedua pipinya menjadi merah sekali, akan tetapi napasnya tidak memburu. Diam-diam kakek ini merasa kagum bukan main. Tahulah dia bahwa suhunya telah menurunkan kepandaiannya pada sumoinya ini yang jelas memiliki sinkang yang bahkan lebih kuat dari padanya!
"Sumoi, mari kita menghaturkan terima kasih kepada suhu. Engkau tidak dapat membayangkan betapa hebat suhu telah bekerja untukmu. Mari!"
Dan kakek itupun menjatuhkan diri berlutut menghadap guha yang sudah tertutup itu. Melihat ini, biarpun dia belum mengerti benar akan maksud ucapan subengnya, Ling Ling juga menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat ke arah guha yang tertutup. Dia mendengar suara suhengnya berkata lagi lirih.
"Sumoi, engkau harus mengerti bahwa suhu sudah berusia tua sekali, sedikitnya duapuluh tahun lebih tua dari pada aku. Sedangkan aku sendiri saja sudah merasa lemah lahir batin, apa lagi suhu, namun tetap beliau mengerahkan seluruh semangat dan tenaga terakhir untuk mendidikmu. Beliau tidak hanya telah mengorbankan tenaga, akan tetapi juga perasaannya ketika menurunkan semua ilmu kepadamu.
"
"Korban perasaan"""! Apa maksudmu, suheng?"
Tanya Ling Ling. Kalau gurunya mengorbankan tenaga, hal itu jelas, akan tetapi dia tidak mengerti mengapa dikatakan suhengnya bahwa suhunya mengorbankan perasaan.
"Suhu tidak suka akan kekerasan, oleh karena itulah beliau menyembunyikan dirinya sampai puluhan tahun. Dan suhu tetap mewariskan ilmunya kepadamu, sungguhpun suhu maklum bahwa dengan ilmu itu, engkau akan melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang amat menyedihkan hati beliau."
Kini mengertilah Ling Ling. Dia termenung lalu berkata.
"Suheng, biarpun tindakan keras, kalau dilakukan untuk menentang kejahatan, bukankah itu merupakan suatu kebenaran?"
Kakek itu menarik napas panjang.
"Demikian pula yang menjadi pendirian semua orang, termasuk pendirianku dahulu, sumoi. Akan tetapi engkau belum mengerti tentang apa yang dinamakan kebenaran itu. Tindakan keras itu sendiri sudah tidak benar, bagaimana mungkin mengakibatkan kebenaran? Dan kalau sudah dinamakan kebenaran, maka itu bukan kebenaran lagi, karena kebenaranmu tentu akan berlawanan dengan kebenaran orang lain!"
Kakek itu mengeluh. Kemudian dia memandang wajah sumoinya dengan tajam, lalu dia berkata lagi, suaranya kini biasa, tidak mengandung kemurungan seperti tadi,
"Sumoi, sebenarnya aku, seperti suhu, sudah muak dengan segala macam urusan dunia, urusan antara manusia yang penuh dengan permusuhan dan kebencian. Akan tetapi, teringat akan pesan suhu, aku tidak tega membiarkan engkau pergi begitu saja tanpa bekal pengalaman. Maka, sebelum aku membiarkan engkau pergi seorang diri menempuh kehidupan ramai, lebih dulu engkau akan kuajak pergi ke Kiam kok (Lembah Pedang ) di Pegunungan Tai-hang san."
"Mengapa kita ke lembah itu suheng?"
Kakek itu menarik napas panjang.
"Aku tahu bahwa engkau selama ini tekun mempelajari ilmu silat tentu dengan maksud untuk mencari pembunuh ayah bundamu untuk membalas kematian mereka, bukan?"
Dara itu tiba-tiba memandang keras dan kedua tangannya dikepal, dan sambil bangkit berdiri dia berkata lantang.
"Dugaan suheng benar sekali!" "Itulah! Dari pada membiarkan engkau seorang diri meniadi setan penyebar maut dan mungkin saja engkau kesalahan tangan membunuh orang orang yang tidak berdosa, maka engkau akan kuajak ke sana, karena di sana akan diadakan pertemuan besar antara tokoh-tokoh dan partai-partai persilatan. Di sana tentu akan dapat kau temui musuh musuh ayah bundamu, yaitu ketua ketua Im yang pai dan Im yang kauw. Aku akan menjaga agar engkau menyelesaikan perhitungan pribadi ini dengan pribadi pula, dan tidak lalu memusuhi seluruh orang Im yang-pai."
Ling Ling menjadi girang sekali.
"Ah, aku akan dapat bertemu denganpembunuh ayah bundaku di sana? Bagus! Mari kita berangkat, suheng!"
Tak lama kemudian, suheng dan sumoi itu meninggalkan Kwi-hoa san, menuruni puncak puncak dan lereng lereng pegunungan itu dengan cepat karena dalam keadaan penuh semangat Ling Ling mempergunakan ginkang untuk berlari cepat sehingga beberapa kali suhengnya harus berteriak menyuruh dara itu menunggunya karena dia sendiri tidak mau berlari-larian seperti dara itu.
"Sumoi, kautunggu aku. jangan berlari terlalu cepat!"
Teriak kakek itu yang terpaksa agak mempercepat langkahnya.
"Aku ingin segera sampai di tempat itu, suheng!"
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Kisah Sepasang Rajawali Karya Kho Ping Hoo