Kisah Tiga Naga Sakti 3
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Dan keadaan seperti ini tiada bedanya dengan keadaan di waktu berkecamuk perang, kembali rakyat jelatalah yang celaka dan menderita akibat tekanan para pembesar itu. Pajak penghasilan sawah ladang dan segala macam pekerjaan diperhebat dan diperberat. Celakanya, bukan hanya satu fihak saja yang merupakan lintah yang mehghisap darah rakyat, melainkan berantai, dari yang paling tinggi sampai paling rendah. Dari kaisar sampai para pemungut pajak, maka jumlah yang dikenakan pada rakyat juga menjadi berlipat ganda. Tentu saja pendapatan pajak itu hanya sebagiah kecil saja yang disetorkan kepada kerajaan dan yang terbesar kandas atau menyangkut di saku-saku para pembesar besar kecil. Rakyat nembanting tulang memeras keringat semata-mata hanya untuk menambah gemuk para pembesar dan juga. mereka yang memiliki tanah yang disewakan kepada para petani.
Oleh karena adanya tekanan yang amat berat sehingga membuat kehidupan rakyat penuh derita dan kekurangan ini, tidaklah mengherankan apabila banyak orang yang memiliki ilmu kepandaian dan kekuatan lalu melarikan diri ke dalam hutan dan menjadi perampok! Tentu saja hal ini bukan merupakan jalan keluar yang baik, akan tetapi penderitaan hidup yang serba kekurangan, menimbulkan kekacauan dan mata gelap.
Tiga orang muda mund Lui Sian Lojin yang mempergunakan ilmu berlari cepat ketika menuruni gunung itu tiba di sebuah hutan di kaki Gunung Kwi-hoa-san. Hari telah menjelang senja dan mereka berniat mencapai dusun Sionghwa chung di luar hutan sebelum malam tiba dan melewatkan malam di dusun itu untuk melanjutkan perjalanan esok harinya. Akan tetapi ketika mereka tiba di tengah hutan itu, tiba-tiba terdengar suara suitan-suitan dari kanan kiri dan depan. Mereka bertiga merasa heran sekali, otomatis menghentikan langkah mereka dan memandang dengan penuh kewaspadaan
(Lanjut ke Jilid 03)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
ke depan. Tak lama kemudian bermunculan orang-orang diri balik pohon pohon dan semak semak, orang orang kasar dan bersikap bengis, dengan pakaian tambal-tambalan. Memang tubuh mereka kurus-kurus akan tetapi sikap mereka ganas.
Kecewalah hati tiga orang muda itu. Manusia-manusia pertama yang mereka temui dalam perjalanan turun gunung ini ternyata adalah segerombolan perampok! Seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan kelihatan kokoh kaat, berdiri menghadang mereka dengan golok di tangan kanan. Tangan kirinya bertolak pingcang dm kedua kakinya dipentang lebar, sikapnya ganas dan gagah jelas bahwa tentu dia kepala perampok itu
"Hai, tiga orang muda yang sedang lewat? Berhenti dulu dan tinggalkan bungkusan dan pedang kalian, baru boleh lewat terus!"
Katanya dengan sikap menakutkan.
Tiga orang muda itu saling pandang sambil tersenyum. Biarpun mereka belum berpengalaman dan selamanya belum pernah bertemu dengan orang-orang kasar seperti itu, akan tetapi berkat penuturan suhu mereka, tiga orang muda ini sudah dapat menduga orang-orang macam apa adanya mereka yang kini menghadang perjalanan itu.
"Suheng, mereka adalah orang orang jahat yang perlu dibasmi!"
Kata Bun Hong dengan tenang sambil meraba gagang pedangnya. Juga Kui Eng sudah meraba gagang pedangnya, hatihya tegang dan jantungnya berdebar karena agaknya baru sekali ini dia akan mengalami pertempuran dan mempraktekkan semua ilmu silat yang selama ini dipelajarinya. Akan tetapi Beng Han tetap bersikap tenang. Sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Dialah yang berhak memimpin seperti yang juga dipesan oleh suhu mereka. Lui Sian Lojin yang mengenal baik watak tiga orang muridnya, maklum bahwa di antara mereka bertiga, hanya Beng Han yang boleh diandalkan untuk menjadi pemimpin karena pemuda ini tenang dan bijaksana, tidak sembrono seperti dua orang adik seperguruannya.
"Sahabat,"
Kata Beng Han sambil melangkah maju, suaranya tenang dan halus ramah.
"Kita tidak saling mengenal, tidak pernah saling bermusuhan, mengapa engkau minta yang bukan-bukan? Aku pernah mendengar bahwa orang yang minta barang-barang orang lain secara paksa, disebut perampok. Apakah kalian ini hendak merampok kami?"
Mendengar pertanyaan yang jujur ini, tiba-tiba kepala perampok itu tertawa bergelak dan semua anak buahnya ikut pula tertawa geli, seolah-olah suara ketawa kepala perampok tadi merupakan komando kepada mereka supaya tertawa.
"Orang muda, engkau boleh menamakan kami perampok atau apa saja. Pendeknya, kami yang berkuasa di rimba ini dan setiap orang yang berjumpa dengan kami, harus meninggalkan barang-barangnya. Kalau kalian bertiga membangkang, jangan katakan kami berlaku keterlaluan apabila golok-golok kami yang mewakili kami bicara!"
"Perampok kurang ajar! Kalian kira kami ini orang apakah?"
Bun Hong membentak marah dan melangkah maju sambil mengangkat dada dan mengepal tinju.
"Sergap mereka!"
Teriak kepala perampok dan belasan batang golok berkilauan ketika para perampok itu mulai bergerak dan mengurung mereka bertiga.
"Jangan gunakan pedang!"
Beng Han memperingatkan dua orang adik seperguruannya. Teriakan ini mengingatkan Bun Hong dan Kui Eng akan pesan guru mereka bahwa mereka tidak boleh sembarangan membunuh, maka tangan mereka yang meraba gagang pedang dilepas dan dengan tangan kosong mereka menghadapi serbuan belasan batang golok itu.
Jumlah perampok itu ada duapuluh dua orang termasuk kepala perampoknya. Kini, mereka yang sudah mengurung itu lalu mulai menerjang dengan golok mereka, sinar golok berkilauan menyambar nyambar ganas.
"Haaaiiiiittt!!"
Kui Eng membentak.
"Hiaanaahhh!"
Bun Hong berseru.
"Heeeeehhh!"
Beng Han juga membentak dan mereka bertiga sudah menggerakkan tubuh mereka. Dalam keadaan dikeroyok oleh banyak senjata tajam itu. Tanpa diberi tahu lagi ketiga orang muda perkasa ini telah tahu dengan ilmu apa mereka harus menandingi para pengeroyok dan gerakan mereka memiliki dasar yang sama, yaitu ilmu silat tangan kosong yang disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Serbu Ratusan Golok) dan Sin-liong-haon-sin (Naga Sakti Berjungkir Balik) untuk menangkis, merampas golok dan mengelak bayangan mereka bergerak cepat, berkelebatan seperti tiga ekor naga sakti mengamuk. Terdengar pekik kesakuan susul menyusul dan golok beterbangan keempat penjuru termasuk si kepala perampok sendiri telah rebah semua perampok itu ditanah dalam keadaan tertotok, terpukul dan tertendang yang membuat mereka tidak dapat bangkit kembali!
Para perampok itu merasa amat terkejut dan terheran. Lebih heran hati mereka dari pada rasa sakit yang mereka tahan. Sehingga keheranan itu seperti melupakan rasa takut dan sakit. Mereka hanya rebah dan memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Belum pernah selama menjadi perampok mereka mengalami hal seperti ini, dirobohkan dalam beberapa gebrakan saja oleh tiga orang muda yang bertangan kosong secara demikian mudahnya! Karena terkejut, heran dan juga kagum sekali, kepala perampok yang roboh oleh sentilan jari tangan Bun Hong pada iganya itu lalu merangkak bangun dan berlutut di depan tiga orang pendekar muda itu.
"Ampunkan kami, sam wi enghiong (tiga orang gagah), mata kami telah buta dan tidak mengenal tiga orang pendekar besar yang sedang melakukan perjalanan. Kami memang pantas dihajar!"
Bun Hong dan Kui Eng memandang dengan mulut tersenyum mengejek, akan tetapi Beng Han segera membangunkan kepala perampok itu dan berkata.
"Sahabat, kulihat kalian masih muda dan gagah, mengapa kalian tidak mau bekerja yang benar, malah melakukan pekerjaan rendah menjadi perampok?"
Kepala perampok itu memang sejak masih muda telah menjadi perampok, maka dia tidak daput menjawab dan tidak berani menjawab, hanya menundukkan kepala saja. Akan tetapi beberapa orang anak buahnya yang berasal diri penduduk dusun, para petani yang tidak dapat mengandalkan kaki tangan untuk bekerja dan mencukupi kebutuhan rumah tangganya, dengan sedih lalu berkata.
"Ho-han (orang budiman), kami menjadi perampok oleh karena terpaksa. Anak bini di rumah harus diberi makan dan pekerjaan halal apakah yang dapat kami kerjakan pada waktu yang begini sukarnya? Kemampuan kami hanyalah bertani dan pekerjaan itu sama sekali tidak mencukupi kebutuhan perut anak-bini kami. Harap hohan sudi mengampuni kami yang sengsara ini."
"Alasan kosong belaka!"
Bun Hong membentak dan memandang tajam "Kalian harus sadar dan tidak melanjutkan pekerjaan jahat ini. Awas, kalau lain kali aku lewat di sini dan melihat kalian masih menjadi perampok, aku tidak akan mempergunakan tangan dan kaki saja, akan tetapi aku tentu akan menggunakan pedangku untuk menamatkan riwayat kalian!"
Para perampok itu hanya menganggukangguk dengan muka pucat.
"Kebutuhan perut saja tidak mungkin memaksa kalian menjadi perampok,"
Kata Beng Han dengan suara tenang.
"Berapa sih banyaknya kebutuhan perut? Yang banyak adalah kebutuhan mulut. Bukalah mata kalian bahwa yang mendorong kalian melakukan perbuatan sesat ini adalah angkara murka, bukan kebutuhan perut. Sekali ini kami melepaskan kalian, akan tetapi harap jangan ulangi lagi perbuatan sesat ini."
Para perampok kembali mengangguk-angguk. Diam-diam di antara mereka ada yang mau membaka mata melihat kenyataan dan menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh pendekar yang bertubuh tinggi tegap itu memang benar adanya. Kebutuhan perut memang sesungguhnya tidak seberapa, karena sesungguhnya bumi penuh dengan tetumbuhan yang dapat dimakan untuk memenuhi kebutuhan perut. Akan tetapi, yang sesungguhnya selalu membuat mereka merasa kekurangan adalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan lain yang pada hakekatnya adalah pengejaran kesenangan belaka. Kebutuhan mulut adalah pengejaran kesenangan, bukan kebutuhan mutlak dari tubuh. Segala bentuk penyelewengan yang dilakukan manusia di dunia ini sesungguhnya terdorong oleh keinginan memperoleh apa yang dikejar-kejarnya dan yang dikejarnya itu tiada lain hanyalah kesenangan belaka. Namun, pikiran memang amat cerdik untuk membela diri sehingga apa yang sesungguhnya hanya pengejaran kesenangan lalu dinamakan sebagai kebutuhan hidup! Pikiran inilah yang menutupi kesadaran, yang mencegah terbukanya mata untuk menyadari kenyataan yang ada, padahal tanpa adanya ke sadaran akan penyelewengan sendiri tidak akan mungkin terdapat perubahan dalam kehidupan.
Tiga orang pendekar muda itu melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat karena mereka tidak ingin kemalaman di dalam hutan. Setelah bermalam di dusun Siong hwacung, di rumah seorang petni tua yang ramah, dimana mereka kembali menyaksikan keadaan para penghuni dusun, para petani yang memang amat sengsara, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka bertiga meninggalkan dusun dan melanjutkan perjalanan menuju ke tempat di mana untuk pertama kalinya mereka berjumpa dengan guru mereka, yaitu di dusun Hong yang. Menjelang tengah hari mereka tiba di dusun ini.
Melihat dusun tempat kelahiran mereka. Bun Hong dan Kui Eng merasa terharu sekali dan terbayanglah semua peristiwa yang lalu dikepala mereka, sehingga diam diam Ku Eng menggunakan saputanganya untuk menghapus air mata yang menitik turun ke atas pipinya. Memang harus diakui bahwa tanah tumpah darah, yaitu tempat dirinya dilahirkan, dimana darah ibu tertumpah waktu melahirkan, merupakan tempat yang takkan terlupakan, apa lagi kalau sejak kecil sudah tinggal di tempat kelahiran itu, maka banyak sekali hal-hal baik maupun yang buruk, sukar untuk dilupakan dan membuat orang merasa seperti ada pertalian gaib antara dia dan tempat itu.
Dusun Hong-yang telah mengalami banya perubahan semenjak mereka pergi. Rumah-rumah baru telah di bangun, akan tetapi orang-orang yang tinggal di dusun itu sebagian besar adalah pendatang baru dari lain tempat. Biarpun masih adapula penduduk lama yang kembali ke tempat itu dan mendirikan rumah lagi karena rumah mereka yang dulu telah dibakar pemberontak, akan tetapi oleh karena Bun Hong dan Kui Eng pergi meninggalkan Hongyang di waktu mereka masih kecil, maka tidak ada orang yang mengenal mereka. Mereka berduapun tidak melihat ada orang yang mereka kenal. Sungguh aneh rasanya memasuki kampung halaman sendiri, memasuki tempat kelahiran sendiri seperti orang-orang asing! Biarpun banyak rumah barn dibangun, namun pohon-pohon, selokan-selokan air, batu-batu jalan, pemandangan gunung yang menjulang dikejauhan semua itu tidak pernah berubah dan tempnt itu sama sekali tidak asing bagi mereka.
Ketika kedua orang muda itu mencoba untuk bertanya kepada orang orang disitu tentang keadaan keluarga Tan dan keluarga Kui, yaitu hartawan Tan dan kepala kampong Kui yang tadinya amat terkenal di dusun itu, jawaban yang mereka dapat dari para penduduk hanyalah tarikan napas panjang dan gelengan kepala sambil dibarengi kata kata sedih.
"Semua habis, semua binasa!"
Sehari itu mereka bertiga melakukan penyedikan, bertanya sana-sini, sambil melihat lihat keadaan di dusun Hongyang. Namun usaha mereka menyelidiki keadaan keluarga Tan dan Kui sia-sia belaka dan akhirnya mereka pergi ke dusun tempat kelahiran Beng Han. Dusun ini amat kecil dan biarpun kini sudah penuh pula dengan penduduk, namun keadaan dusun ini amat miskin dan penghidupan rakyat dusun ini amat sengsara dan serba kekurangan, membuat tiga orang pendekar itu merasa terharu dan kasihan sekali.
Pada masa itu para pembesar yang berkuasa di kota raja, mengadakan peraturan pajak yang amat menekan dan mengisap darah para petani dan menentukan pajak sebanyak limapuluh sampai seratus kati gandum bagi setiap petak sawah. Pajak ini luar biasa beratnya, karena meliputi bagian terbesar dari hasil tanah, bahkan di waktu musim kering, sawah tidak dapat menghasilkan gandum sebanyak itu. Oleh karena mendapat contoh dari para pembesar tinggi dengan peraturan-peraturan itu, maka para pemilik tanah di kampong-kampung dan para petugas yang mendapatkan kekuatan seperti kepala kampung dan lain-lain, tidak mau kalah dan mengekor contoh ini dengan setia. Merekapun menetapkan pajak-pajak yang berat bagi para petani sehingga keluh kesah rakyat kecil membumbung tinggi sampai ke langit tanpa ada yang mendengar agaknya.
Kepala kampung di Hongyang adalah seorang pendatang baru yang kaya raya, seorang she Gu. Dusun kecil tempat kelahiran Beng Han juga termasuk wilayah kampong Hongyang itu, yang merupakan sebuah kecamatan, maka kepala kampung Gu ini boleh dinamakan camat. Untuk dapat melaksanakan pekerjaannya dengan lancar, camat Gu ini memelihara belasan orang tukang pukul. Karena banyak terjadi pertentangan, keributan dan ketegangan dengan para petani yang merasa penasaran dikenakan pajak yang terlampau berat itu. Tiap orang petani yang tidak dapat memenuhi dan membayar pajaknya, akan ditangkap dan dihukum dengan beberapa puluh kali cambukan pada punggungnya. Apabila terdapat petani yang membangkang dan hendak melawan, tukang tukang pukul itulah yang akan beraksi dan menghentikan segala sikap membangkang itu dengan pukulan-pukulan dan kadang-kadang dengan pembunuhan.
Biarpun camat Gu ini boleh disebut kejam dan jahat, namun dia hanyalah merupakan sebuah mata rantai kecil saja dari kekuasaan jahat yang berkuasa pada waktu itu. Camat inipun berada di bawah kekuasaan pembesarnya yang berada di kota An-kian, yang kekuasaannya meliputi wilayah kecamatan Hong-yang dan dusun-dusun di sekitarnya. Pembesar itu berpangkat bupati, seorang she Yap dan dialah yang menetapkan besarnya pajak bagi para petani di dusun-dusun, sehingga terpaksa camat Gu harus memerintahkan kepada para kepala dusun untuk mentaati perintahnya.
Namun, seperti yang selalu terjadi, dimana terdapat makanan enak dan mudah, selalu anjing-anjing berebutan. Camat inipun tidak mau kalah dalam perlombaan menumpuk kekayaan untuk diri sendiri, demikian pula para kepala dusun sehingga akibatnya, mereka itu mengkorup hasil pajak, bahkan ada yang memberi tambahan ekstra untuk diri sendiri pada jumlah pajak yang sudah amat berat menekan itu.
Ketika tiga orana pcudekai muda itu mendengar akan keadaan ini dari para petani, bukan main marah dan penasarnn rasa hati, mereka. Terutama sekali Kui Eng yang dahulu menjadi puteri seorang kepala kecamatan yang jujur. Terbangun semangatnya ketika seorang petani tua yang mendengar cerita kawannya itu menarik napas panjang dan berkata, tanpa di ketahuinya bahwa puteri orang yang dibicara
kannya itu berada di depannya.
"Aih, alangkah baiknya kalau Kui-taijin (pembesar Kui) masih hidup dan menjadi camat kami."
Kui Eng maklum bahwa petani tua itu memuji ayahnya, akan tetapi dia tidak mau memperkenalkan diri sebagai puteri camat Kui itu. Dia lalu mengajak dua orang suhengnya untuk pergi ke rumah camat she Gu itu.
"Kita harus memberi pelajaran kepada camat permeras itu!"
Katanya dengan sengit.
Kedua orang suhengnya mempunyai pendapat yang sama, maka mereka bertiga lalu pergi menuju ke rumah camat Gu yang merupakan sebuah gedung besar dan mewah. Keadaan gedung ini sungguh berlawanan sekali dengan kemiskinan yang nampak di sekitarnya.
Para tukang pukul atau pengawal yang menjaga di depan gedung itu, merasa curiga ketika melihai tiga orang muda itu memasuki pekarangan gedung dengan langkah tegap dan pandang mata tajam bersinar, maka mereka cepat berkerumun menghadang. Melihat bahwa tiga orang itu membawa pedang, maka seorang di antara mereka yang bertubuh pendek dan gemuk dan menjadi pimpinan di antara kelompok penjaga itu, cepat bertanya dengan sikap hormat namun dengan pandang mata penuh selidik.
"Sam-wi (anda bertiga) hendak mencari siapa?"
Milihat sikap orang ini cukup menghormat, Beng Han lalu melangkah maju dan mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat sambil menjawab.
"Kami bertiga ingin bertemu dengan Gu-taijin."
Kecurigaan para pengawal itu makin bertambah dan kini berubahlah sikap si pendek gemuk Dia memandang mereka bertiga penuh selidik, dan ketika pandang matanya ditujukan kepada Kui Eng, pandang mata itu seolah-olah menggerayangi seluruh tubuh dan wajah dara ini sehingga muka Kui Eng menjadi merah sekali saking malu dan juga marahnya.
"Siapa nama dan ada keperluan apa?"
Tanya si gendut dengan lagak angkuh.
Melihat perubahan sikap ini, Bun Hong tak dapat menahan kesabarannya dan dengan suara kaku dia berkata.
"Laporkan saja kepada camat Gu agar dia kelur menjumpai kami, soal nama dan keperluan kami, engkau si gendut sombong tidak perlu tahu!"
Marahlah pengawal gemuk itu. Dia adalah seorang kepala tukang pukul yang amat terkenal ditakuti oleh semua penduduk di seluruh wilayah Hong-yang. Belum pernah ada orang berani bersikap kasar kepadanya, apa lagi menghinanya seperti yang dilakukan oleh pemuda tampan ini. Dengan mata melotot besar, biji matanya separuh keluar dari kelopaknya, dia membentak.
"Kalian ini orang-orang kurang ajar! Pergilah dari sini! Gu-taijin sedang sibuk dan tidak ada waktu unluk melayani orang-orang macam kalian!"
Melihat ini, Beng Han segera berkata dengan suara halus sambil mencegah sutenya mendahuluinya dengan katakata atau perbuatan yang hanya akan menimbulkan keributan.
"Twako, harap jangan mencari perkara dengan kami. Kami tidak mempunyai urusan denganmu, kami hanya ingin bicara dengan Gu-taijin."
Akan tetapi, kepala pengawal yang gendut itu sudah marah sekali dan dia berkata dengan kata-kata yang bernada kaku.
"Setiap orang yang hendak menghadap Gutaijin harus bersikap sopan dan tidak boleh membawa senjata. Kalau kalian mau menanggalkan pedang menyerahkan kepada kami kemudian menanti di sini sambil berlutut, barulah kami mau melaporkan tentang kunjungan kalian kepada beliau."
"Apa?"
Kui Eng melangkah maju dengan mata bersinar marah "Menanggalkan pedangku? Haih, babi gemuk, dengarlah! Kami sengaja membawa pedang untuk kami pergunakan mengetuk kepala orang she Gu itu beserta kaki tangannya, termasuk engkau!"
Kui Eng berdiri didepan kepala pengawal gendut itu sambil bcrtolak pinggang, sikapnya menantang sekali. Beng Han mengerutkan alisnya, akan tetapi karena sudah terlanjur, dia tidak dapat lagi mencegah sumoinya.
"Perempuan kurang ajar!"
Pengawal gemuk itu lalu mengulurkan tangan hendak mencengkeram dada Kui Eng yang mulai tumbuh menonjol, dengan maksud untuk memberi hajaran dan membikin malu wanita muda yang begitu berani menghina dan memakinya itu.
Akan tetapi, dengan gerakan ringan sekali Kui Eng memutar tubuhnya sehingga cengkeraman si gendut itu hanya menangkap angin dan sebelum pengawal itu tahu apa yang terjadl dengan dirinya, tahu-tahu tubuhnya terpelanting dan dadanya terasa nyeri sekali terkena tamparan tangan kanan Kui Eng yang dilakukan amat cepatnya sehingga tidak terlihat oleh orang yang dipukulnya.
"Plakkk! Aduh!"
Tubuh si gendut terguling dan karena tubuh gemuk itu terlalu berat baginya, maka dia terbanting seperti balok runtuh.
Dengan marah para pengawal maju mengeroyok. Tiga orang pendekar muda dari Kwi-hoa-san itu mengamuk, menggunakan kaki tangan untuk merobohkan mereka. Bun Hong dan Beng Han menangkap-nangkapi mereka dan melemparkan tubuh mereka ke kanan kiri sedangkan Kui Eng menggunakan kedua kakinya untuk merobohkan setiap orang yang berani menyerang. Mendengar keributan ini,semua pengawal yang berada di sekitar gedung itu datang berlarian dan sebentar saja tiga orang muda itu telah dikepung dan dikeroyok oleh duapuluh orang pengawal yang semua mempergunakan senjata.
Melihat keadaan yang cukup gawat ini, Beng Han berseru kepada sute dan sumoinya.
"Kita boleh menggunakan pedang, akan tetapi hanya untuk melindungi diri, jangan membunuh orang!"
Nampak tiga sinar berkilat ketika tiga orang muda itu mencabut pedang masing-masing dan di antara bunyi teriakan-teriakan para pengeroyok, terdengar suara mendesing mengikuti tiga gulung sinar yang menyambar-nyambar dahsyat. Segera terdengar suara nyaring berkerontangan ketika senjata-senjnta para pengeroyok disambar tiga gulung sinar itu, disusul pekik kaget dan kesakitan dan mereka yang terluka tangan dan lengannya sehingga mereka yang senjatanya belum terpental jatuh terpaksa harus melepaskan senjata itu karena tangan mereka terluka oleh sambaran pedang yang amat hebat itu.
Camat Gu yang mendengar suara rebut-ribut di luar, cepat keluar untuk melihat dan menegur. Ketika dia berlari dan keluar melihat tiga orang muda yang amat lihai sedang dikeroyok oleh para tukang pukulnya, dan meljihat banyak di antara tukang pukulnya sudah roboh dan terluka, dia terkejut sekali dan cepat memutar tubuhnya hendak berlari masuk lagi. Akan tetapi, tiba tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu seorang gadis cantik jelita din gagah perkasa telah berdiri di depannya dan menodongkan pedang yang runcing tajam di dadanya!
Camat Gu bukanlah seorang lemah. Sedikit banyak dia pernah mempelajari ilmu silat, maka melihat ada orang menodngnya, apalagi yang menodongnya hanya seorang dara remaja, dia herseru keras, tubuhnya bergerak ke samping dan dari simping dia melayangkan kakinya menendang ke arah tangan yang memegang pedang, disusul oleh cengkeraman tangannya ke arah pundak dara itu! Cepat juga gerakan Camat Gu ini, akan tetapi gerakan kilatnya yang hanya biasa saja itu mana dapat dipakai untuk menandingi seorang dara yang selama duabelas tahun digembleng seorang sakti seperti Lui Sian Lojin! Kui Eng menarik pedangnya, menggunakan tangan kiri untuk menyabet kaki yang menendang sambil miringkan tubuh mengelak dari cengkeraman tangan.
"Dukkk! aihhh!!"
Gu taijin yang kena dihantam kakinya oleh tangan kiri kecil yang dimiringkan itu, mengaduh-aduh dan memegangi kaki yang dipakai untuk menendang sambil berloncatan lucu. Wajahnya meringis akan tetapi ketika kembali ujung pedang itu menyentuh
dadanya, menembus bajunya dan menggigit kulitnya dia lalu menjatuhkan diri berlutut, tubuhnya menggigil ketakutan dan dengan suara gemetar dia berkata.
"Lihiap ampunkan saya"."
Sementara itu, para, tukang pukul telah dapat dihajar babak belur dan jatuh bangun oleh Beng Han dan Bun Hong. Senjata mereka berserakan di mana-mana, dan dengan tubuh bengkak-bengkak, ada juga yang patah tulangnya mereka merangkak-rangkak dan mencoba bangun sambil memaudang ke arah camat Gu yang agaknya telah dibuat tidak berdaya oleh dara perkasa itu, dengan mata terbelalak.
Melihat betapa sumoi mereka telah menodong seorang yang berpakaian mewah Beng Han dan Bun Hong cepat meloncat dan mendekati. Pedang mereka kini juga ditodongkan ke tubuh camat itu dari kanan kiri, membuat Gu-taijin makin ketakutan.
"Apakah engkau camat Gu?"
Beng Han membentak dan ujung pedangnya menggigit kulit punggung pembesar itu.
"Be.. benar harap ampunkan saya""
"Orang she Gu!"
Kui Eng membentak dan kini pedangnva menempel di batang leher kepala daerah itu.
"Apakah kau benar-benar ingin hidup?"
Dengan tubuh menggigil seperti orang terserang demam; Gu taijin mengangguk-angguk kepalanya.
"Ampunkan saya"
Saya akan memenuhi permintaan sam-wi berapa tahilkah yang samwi inginkan?"
"Desss!"' Kui Eng menendang sehingga tubuh itu terjengkang, Gu taijin mengeluh dan memandang pucat.
Kui Eng menudingkan pedangnya dekat hidung pembesar itu.
"Keparat! Kaukira kami sebangsa perampok macam engkau?"
Pedangnya bergerak, akan tetapi lengannya disentuh oleh Beng Han sehingga dara itu mengurungkan niatnya,
"Gu-taijin!"
Kata Beng Han, suaranya tegas dan nyaring.
"Kalau kau ingin hidup, mulai sekarang engkau harus merobah peraturan pajak pada para petani yang miskin. Engkau adalah pembesar di daerah ini dan seorang pembesar sepatutnya menjadi ayah dan pembimbing yang baik dari seluruh penduduk, mengatur, membela, dan menjaga agar semua orang hidup dalam kebahagiaan. Akan tetapi, sebaliknya engkau malah memeras mereka yang sudah hidup miskin itu, dan engkau hidup mewah dari hasil cucuran peluh dan darah mereka!"
"Anjing macam ini sebaiknya dibunuh saja, suheng!"
Kata Bun Hong dengan suara sengaja dibikin nyaring untuk menakut-nakuti kepala daerah itu.
"Benar, bunuh saja suheng!"
Kata pula Kui Eng vang maklum akan maksud ji-suhengnya (kakak seperguruan ke dua).
Makin ngerilah hati pembesar itu. Maklumlah dia sekarang bahwa yang datang mengamuk ini bukan sebangsa perampok yang hendak merampok harta kekayaan melainkan tiga orang pemuda pendekar.
"Baik"
Baik"
Akan saya atur sebaiknya, akan tetapi bagaimanakah kami dapat mengurangi pajak yang sudah ditetapkan? Kami hanya menjalankan perintah atasan..."
Dia membela diri.
"Siapa yang menentukan besarnya pajak-pajak itu?"
Tanya pula Beng Han
"Kami menerima perintah dari atasan kami yaitu Yap-taijin."
"Hemm"
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Di mana tinggalnya Yap-taijin itu?"
"Beliau beliau adalah Bupati An-kian dan tinggal di kota itu, daerah kecamatan ini Hongyang dan seluruh dusun di sekitarnya, termasuk wilayahnya dan berada di bawah kekuasaan beliau""
Beng Han mengangguk-angguk.
"Hemm, kami akan mendatangi bupati keparat itu. Akan tetapi mulai sekarang, engkau harus membubarkan semua tukang pukulmu dan jangan berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat. Kalau engkau tidak merobah kelakuanmu, pasti kami akan datang kembali dan mengambil kepalamu!"
Bun Hong berkata dengan suara mengancam.
"Dan jangan mengira bahwa kami hanya mengeluarkan ancaman kosong belaka!"
Kata Kui Eng.
"Lihat, apakah lehermu lebih keras dari pada balok itu?"
Gadis itu memandang ke atas di mana terdapat sebatang balok sebesar pinggang orang melintang dan penyangganya adalah sebatang balok yang lebih besar lagi. Kui Eng sudah meloncat ke atas dan pedang di tangan kanannya berkelebat ke arah balok penyangga yang merupakan tiang itu Melihat perbuatan ini, Beng Han dan Bun Hong juga meloncat ke atas dan pedang mereka berkelebat menyambar balok. Kemudian mereka meloncat pergi tanpa pamit lagi dan dengan beberapa loncatan saja tubuh tiga orang pendekar muda itu lenyap dari situ.
Gu-taijin dan para tukang pukulnya memandang dengan bimbang. Setelah mereka yakin bahwa tiga orang itu sudah pergi jauh, mereka lalu cepat memeriksa dan gegerlah keadaan di situ ketika mereka memperoleh kenyataan betapa tiang penyangga itu, tepat di bagian paling atas telah terbabat putus seperti digergaji saja, di tiga tempat! Tiang itu demikian besar, terbuat dari kayu yang amat kuat, dan tempat yang dibacok itu demikian tinggi, namun dengan sekali loncatan saja tiga orang muda itu sudah dapat membabatnya putus seperti digergaji. Tentu saja Gu-taijin bergidik menyuksikan kehebatan ini.
Hari itu juga, Gu-taijin memanggil tukang kayu untuk menggantikan tiang itu agar rumahnya di bagian depan tidak sampai ambruk, kemudian dia membubarkan semua tukang pukulnya. Semenjak hari itu, benar saja Gutaijin mengadakan perobahan terhadap semua sepak terjangnya dan dia melakukan tugasnya sebagai seorang pembesar yang baik sehingga penduduk Kecamatan Hongyang dan sekitirnya merasa beruntung sekali. Mereka mendengar cerita tentang perbuatan tiga orang pendekar muda yang telah menundukkan Camat Gu, maka mereka amat berterima kasih kepada tiga orang muda itu dan karena sepak terjang mereka seperti amukan tiga ekor naga sakti dari langit, maka mereka itu menamakan mereka Tiga Naga Sakti.
Telah diceritakan di bagian depan bahwa nyonya Gan atau Ong Siok Nio, ibu dan Gan Beng Han, yang melarikan diri sambil menggendong anak perempuannya yang bernama Gan Beng Lian, ketika diganggu oleh para perampok telah diselumatkan oleh seorang nikouw yang berpakaian putih dan herjuluk Pek I Nikouw, ketua dari Kwanimbio di luar tembok kota Ankian. Setelah tinggal di dalam bio(kuil) itu, akhirnya Ong Siok Nio atau nyonya Gan ini lalu mencukur rambutnya dan menjadi nikouw dengan julukan Siok Thian Nikouw.
Beng Lian hidup didalam lingkungan para nikouw, bahkan diangkat murid oleh Pek I Nikouw. Semenjak kecil dia telah digembleng oleh Pek I Nikow dalam ilmu silat tinggi, dan juga dia belajar ilmu membaca dan menulis dari para nikouw yang lain.
Sebelas tahun kemudian, yaitu setahun yang lalu sebelum tiga orang pendekar Kwihoasan turun gunung, terjadi peristiwa yang amat menarik di kota Ankian. Dan peristiwa ini juga membuka rahasia dara remaja Kuil Kwanimbio yang kelihatan lemah lembut itu sebagai seorang wanita muda yang berkepandaian tinggi, gadis manis berusia limabelas tahun yang dengan kegagahannya telah menggemparkan kota Ankian.
Ketika itu, kota Ankian geger karena gangguan seorang penjahat yang melakukan pencurian-pencurian dan juga melakukan gangguan terhadap wanita-wanita anak isteri orang. Seorang jai-hoa-cat (penjahat pemetik bunga, pemerkosa wanita) yang selain memperkosa wanita kemudian ada yang dibunuhnya, juga mencuri benda benda berharga, seorang penjahat yang kabarnya amat lihai sekali. Telah ada beberapa rumah orang hartawan di Ankian didatanginya dan sejumlah besar emas permata telah dicurinya. Bahkan sudah ada lima orang wanita yang diperkosanya, seorang diantara mereka itu dibunuhnya ketika melawan. Dan dua orang gadis lagi menggantung diri sampai mati karena mereka telah ternoda dan hilang kehormatannya, suatu aib yang mereka anggap lebih hebat dari pada maut dan yang akan membuat hidup mereka selanjutnya akan penuh dengan aib dan kehinaan.
Tentu saja peristiwa-peristiwa itu menimbulkan kegemparan di dalam kota Ankian. Para hartawan memperkuat penjagaan rumah mereka, dan para orang tua yang merasa mempunyai anak-anak perempuan yang cantik, juga mereka yang merasa mempunyai isteri-isteri cantik, setiap malam merasa gelisah karena sewaktu-waktu penjahat pemetik bunga itu boleh jadi akan datang mengganggu mereka!
Pembesar di kota Ankian adalah Bupati Yap Kam Kun. Yap-taijin ini adalah seorang pembesar yang berbeda dengan para pembesar lainnya di waktu itu. Jarang pada jaman itu menemui seorang pembesar seperti Yap-taijin. Dia melakukan tugasnya dengan taat dan keras menurut perintah dari atasannya, menurut hukum yang sudah ditentukan. Sedikitpun dia tidak melakukan perbuatan yang bersifat buruk dan tidak mau melakukan korupsi sehingga keadaannya tidaklah kaya raya seperti halnya lain-lain pembesar pada umumnya.
Ketika Yap-taijin mendengar pelaporan tentang gangguan penjahat yang berani mengacaukan kotanya, dia menjadi marah dan mengerahkan pasukan untuk menangkap jai-hoa-cat itu. Akan tetapi, ternyata penjahat itu memiliki kepandaian silat yang tinggi dan ketika beberapa kali dia kepergok dan dikepung, dia tidak dapat ditangkap. Sebaliknya malah, banyak anggota petugas penjaga keamanan yang roboh terluka, dan ada beberapa orang yang tewas oleh luka-lukanya itu. Tentu saja hal ini sangat menggemparkan, terutama sekali ketika kepala penjaga, seorang perwira yang terkenal gagah dan memiliki kepandaian tinggi, juga telah terluka dadanya oleh golok penjahat itu.
Yap-taijin menjadi penasaran juga khawatir kalau dia tidak cepat-cepat memperoleh jalan untuk membasmi atau menangkap penjahat itu, tentu Ankian dan sekitarnya menjadi tidak aman, penduduk akan merasa gelisah dan pengacauan penjahat itu sama saja dengan menantang dia sebagai kepala daerah Kabupaten Ankian! Sudah lama dia mendengar bahwa ketua Kuil Kwan imbio yang berjuluk Pek I Nikouw adalah seorang pendeta wanita yang berilmu tinggi, maka ke sanalah pembesar ini menuju pada suatu pagi, untuk menjumpai nikouw itu dan minta bantuan pendeta wanita itu agar suka turun tangan menangkap si penjahat yang mengganggu kota An-kian.
Pek I Nikouw menerima pembesar ini dengan ramah. Akan tetapi alisnya berkerut ketika dia mendengar permintaan dan Yap taijin. Dengan suara halus dia berkata.
"Taijin, pinni (saya) adalah seorang wanita tua yang lemah dan tidak memiliki kemampuan apa-apa. Urusan ini adalah menjadi tanggung jawab taijin sebagai pembesar di tempat ini. Mengapa taijin tidak mendatangkan perwira-perwira yang gagah untuk membasmi penjahat ini? Tidak sepatutnya kalau seorang nikouw harus mengurus segala macam kejahatan."
Pek I Nikouw, seperti hampir semua orang gagah, memang merasa kurang puas terhadap para petugas pemerintah yang sebagian besar hanya pandai memeras rakyat dan mengumpulkan harta benda untuk diri sendiri belaka.
"Maafkan saya, suthai."
Kata Yap Kam Kun dengan sikap hormat.
"Memang seharusnya saya tidak boleh mengganggu ketenteraman hidup suthai, dan memang sudah menjadi kewajiban saya untuk mengurus sendiri hal ini. Akan tetapi, siapa lagi yang dapat saya harapkan untuk menghadapi penjahat yang amat lihai ini? Para penjaga keamanan telah berusaha menangkapnya namun selalu gagal, bahkan kepala penjaga telah menderita luka parah. Kalau suthai tidak sudi mengulurkan tangan membantu, apakah akan jadinya dengan kota kita ini?"
Pek 1 Nikouw menarik napas panjang.
"Taijin pandai mengumpulan hasil pajak untuk disetorkan kepada pemerintah, mengapa tidak pandai menolak bahaya yang sedemikian kecilnya saja? Apakah akan kata rakyat yang telah memeras keringat untuk membayar pajak apabila gangguan sekecil ini saja pihak pemerintah tidak mampu mengatasinya?"
Yap Kam Kun adalah seorang yang bijaksana maka karena dia maklum akan kenyataan yang buruk dari para petugas pemerintah, maka mendengar sindiran ini dia hanya menundukkan kepalanya. Dia maklum akan keburukan
pemerintah pada waktu itu akan tetapi sebagai seorang pembesar yang hanya berpangkat bupati, dia dapat berbuat apakah? Yang dapat dia lakukan hanya mentaati peraturan pemerintah melalui atasannya dan menjalankan tugasnya sebaik mungkin tanpa penyelewengan untuk keuntungan diri pribadi.
Melihat pembesar itu tidak dapat menjawab dan diam saja, Pek I Nikouw berkata lagi.
"Mengapa kaisar tidak teringat akan ajaran Nabi Khong Cu tentang Sembilan Jalan Kebenaran sebagai syarat memimpin negara dan rakyat? Tahukah taijin akan maksud pinni? Apakah taijin masih ingat syarat keenam dari pada sembilan jalan kebenaran itu?
YAP-TAIJIN menganggukkan kepalanya.
"Saya masih ingat dengan baik. Syarat ke enam itu kalau tidak salah berbunyi: Mencintai rakyat seperti anak sendiri."
"Nah, itulah! Mengapa sekarang rakyat bukan diberi kecintaan dan kasih sayang, diperhatikan nasib mereka dan diperlakukan seadiladilnya sehingga mereka itu dapat bekerja dengan gembira dan memperbanyak hasil pertanian? Sebaliknya, rakyat diperas habis-habisan, diperlakukan dengan tidak adil, dibiarkan menderita dan sengsara. Kalau timbul kejahatan-kejahatan yang datang dari kegelapan pikiran disebabkan oleh semua penderitaan ini, salah siapakah itu?"
Yap-taijin mendengar semua ucapan pendeta wanita itu dengan kepala tunduk dan tidak dapat membantah. Memang, dia sendiripun maklum bahwa kaisar yang sekarang memegang kendali pemerintah, amat lemah sehingga lupa akan segala petunjuk dan nasihat yang diajarkan oleh para cerdik pandai, para arif bijaksana di jaman dahulu. Ujar Nabi KongCu yang disinggung oleh Pek I Nikouw tadi adalah ujar ujar yang terdapat dalam kitab Tiong Yong yang berbunyi demikian:
Untuk mengatur negara dam memimpn rakyat terdapat sembilan jalan kebenaran. Memperbaiki diri pribadi menghargai para cerdik pandai mencintai seluruh anggauta keluarga menghormati pembesar-pembesar tinggi membimbing pembesar-pembesar rendahan mencintai rakyat seperti antfk sendiri mengundang ahli-ahli pembangunan menyambut tamu dengan ramah tamah memupuk persahabatan dengan negara lain.
Setelah mendengarkan segala macam ucapan yang dikeluarkan oleh Pek I Nikouw sebagai penyesalan dan teguran kepada keadaan pemerintah pada waktu itu yang timbul dari penyesalan dan kemarahan yang lama ditahantahan dalam hati nikouw itu Yap-taijin lalu berkata, suaranya tenang dan halus.
"Semua ucapan suthai memang benar belaka, akan tetapi apakah daya kita? Suthai hanya seorang pendeta, akan tetapi saya pun hanya seorang petugas yang tidak mempunyai wewenang untuk mencampuri urusan ketatanegaraan yang berada dalam tangan para pembesar tinggi di kota raja. Mungkin baru sepatah kata saja keluar dan mulut saya, saya akan ditangkap dan dihukum bersama seluruh keluarga saya. Dituduh memberontak. Oleh karena itu, suthai, kalau memang suthai sudi menolong dan bermurah hati, hendiknya jangan suthai mengingat akan keadaan pemerintah. Hendaknya suthai menganggap bahwa suthai tidak menolong seorang bupati petugas pemerintah, melainkan menolong rakyat atau penduduk Ankian yang sedang berada dalam kegelisahan dan ketakutan dengan adanya gangguan penjahat itu."
Pek I Nikouw mengangguk-angguk.
"Yaptaijin, Pinni sudah tahu akan keadaanmu dan sering kali pinni hanya dapat menarik napas panjang. Seorang pembesar bijaksana seperti taijin sesungguhnya tidak layak menghambakan diri kepada pemerintah seburuk yang berkuasa sekarang ini. Alangkah baiknya kalau taijin menjadi pembesar pemerintahan yang baik. Tentu penduduk di daerah ini akan menikmati hidup sebagaimana mestinya. Akan tetapi segala peristiwa yang terjadi pada seseorang timbul dari perbuatannya sendiri, sebagai buah dari pada pohon yang ditanamnya sendiri. Lain seorang yang jujur dan bersih, akan tetapi sayang sekali taijin kurang memperhatikan keadaan keluarga sendiri sehingga tidak tahu bahwa didalam rumah telah ada seorang penjaga yang cukup tangguh."
Yaptaijin terkejut dan memandang kepada nikouw itu dengan bingung dan heran.
"Apakah maksud suthai?"
Pek I Nikouw tersenyum.
"Sudahlah, nanti taijin tentu akan mengerti sendiri. Sekarang pulanglah dengan hati tenteram karena malam hari ini pinni akan mengutus murid pinni pergi mencari dan menangkap penjahat itu."
Bukan main girangnya hati pembsar itu. Walaupun dia belum tahu siapa adauya murid nikouw itu, akan tetapi dia telah merasa lega oleh karena kalau murid itu tidak pandai, tidak nanti nikouw tua ini akan mengutusnya menangkap penjahat yang ganas. Dia lalu menjura dan menghaturkan terima kasihnya, lalu pulang ke gedungnya.
Setelah pembesar itu pergi, Pek I Nikouw lalu memanggil Beng Lian. Gadis yang telah berusia limabelas tahun ini menghadap gurunya dan mendengarkan katakata gurunya dengan penuh perhatian.
"Muridku, Beng Lian, engkau belum pernah bertempur menghadapi lawan yang sungguh-sungguh, maka berhati-hatilah engkau melakukan tugas yang hendak pinni berikan kepadamu ini."
"Tugas apakah, subo?"
Pek 1 Nikouw lalu menceritakan tentang penjahat cabul yagg mengacau kota Ankian, dan tentang permintaan bantuan dari Yap taijin sendiri yang baru saja meninggalkan kuil.
"Agaknya penjahat itu bukan penjahat biasa dan memiliki kepandaian tinggi. Oleh karena itu, malam ini kau pergilah menyelidik di atas genteng rumah-rumah kota An kian. Kalau engkau tidak berhasil menemukan sesuatu, sebaiknya engkau bersembunyi di wuwungan yang paling tinggi dan mengintai. Siapa tahu penjahat itu muncul. Akan tetapi, jangan sembarangan engkau mempergunakan jarummu kalau penjahat itu ternyata tidak terlalu kuat untuk kaulawan."
Pek 1 Nikouw memberi banyak nasihat kepada Beng Lian yang segera mempersiapkan diri untuk melakukan tugas pertama semenjak dia belajar ilmu silat. Biarpun usianya pada waktu itu baru limabelas tahun, namun dia memiliki ketabahan hati yang besar dan keberaniannya ini dipertebal oleh pengertiannya bahwa dia sedang menghadapi semacam tugas yang baik, yaitu menolong orang-orang terhindar dari pengaruh dan kekuasaan jahat yang merajalela di Ankian.
Sementara itu, setelah hari menjadi gelap, di atas genteng gedung Yap taijin nampak sesosok bayangan putih berkelebatan cepat sekali dan kalau kebetulan ada orang yang melihatnya, tentu dia akan ketakutan dan menyangka bahwa yang bergerakgerak itu adalah bayangan iblis. Akan tetapi bagi yang berpandangan tajam dan dapat mengikuti gerakan cepat itu tentu akan terheran-heran mengenal bahwa bayangan itu bukan lain adalah Pek I Nikouw, pendeta wanita tua yang menjadi kepala dari Kuil Kwanimbio di luar tembok kota Ankian. Dengan gerakan amat cepat, amat jauh bedanya dengan sikap sehari-hari nikouw itu yang lemah lembut, Pek I Nikouw meloncat ke bagian belakang gedung, melayang turun dan tak lama kemudian dia sudah mengintai diri jendela kamar yang berada di sudut kiri ruangan belakang.
Di dalam kamar itu nampak seorang pemuda tampan yang sedang membaca sebuah kitab tebal dengan asyiknya. Karena gerakan Pek 1 Nikouw dilandasi ginkang yang sudah sempurna sehingga amat ringan dan sama sekali tidak menimbulkan suara apaapa, seperti gerakan seekor kucing saja, maka pemuda itu yang sedang tenggelam dalam dunia khayal dari isi kitab yang dibacanya, sama sekali tidak mendengar sesuatu. Tiba-tiba nikouw itu mengayunkan tangan kirinya dan sebuah benda putih melayang dan menancap didepan pemuda itu, di atas meja dekat tangannya!
Dan kini terjadi hal yang luar biasa. Pemuda yang tampan berpakaian seperti seorang sasterawan itu, yang kelihatannya lemah dan seorang kutu buku tulen, tiba-tiba dengan cepat sekali telah meniup padam lampu di atas meja, kemudian sekali dia mengayun tubuhnya, dari atas kursi itu dia telah meloncat ke jendela, membuka daun jendela dan di lain saat tubuhnya telah meloncat ke atas genteng. Gerakannya amat ringan dan indah ketika dia melayang naik ke atas genteng karena dia telah mempergunakan gerak loncat Yan cucoan in (Burung Walet Menerjang Awan).
Akan tetapi, betapapun ringan dan cepatnya gerakan pemuda itu, ketika dia telah berada di atas genteng dan menengok ke sanasini mencaricari, dengan matanya yang bersinarsinar tajam, di situ kosong dan sunyi saja, tidak nampak bayangan seorangpun manusia! Pemuda itu menarik napas panjang, dapat menduga bahwa orang yang menyambitkan sesuatu tadi memiliki ginkang yang amat tinggi dan orang itu agaknya memang sengaja tidak hendak menjumpainya, maka diapun meloncat turun lagi, memasuki kamarnya dan menyalakan kembali lampu yang dipadamkannya tadi. Diatas meja nampak sehelai kertas yang dilipat-lipat dan kertas ini tadi telah dibawa melayang sebatang jarum yang disambitkan dan yang kini menancap di atas meja.
Pemuda itu mengerutkan alisnya, memeriksa jarum itu di bawah sinar lampu tanpa menyentuhnya. Setelah dia merasa yakin bahwa jarum itu tidak beracun barulah dia mencabutnya, dan membuka lipatan kertas yang ternyata merupakan sepucuk surat yang ditulis dengan tulisan tangan halus. Dibacanya dengan cepat, lalu dia menggelenggeleng kepala dan berbisik.
"Aihh, benar lihai sekali Pek I Nikouw! Tepat seperti yang pernah dikatakan oleh suhu "
Dia membaca lagi surat itu penuh perhatian.
Yap Kongcu,
Kentang akan menjadi busuk kalau disimpan saja. Ilmu kepandaian akan menjadi sia-sia tanpa dipergunakan. Suhumu melarang engkau menonjolkan dan menyombongkan kepandaian, akan tetapi tentu akan marah pula melihat kongcu enakenak saja membiarkan penjahat mengganggu rakyat di kota kongcu sendiri. Jangan khawatir gurumu tidak senang melihat engkau turun tangan membabmi penjahat, pinni yang akan bertanggung jawab kalau dia marah kepadamu.
Dari pinni, Pek I Nikouw.
Pemuda tampan itu tcrmenung agak bingung. Tentu saja dia sudah mendengar akan jaihoacat yang mengganggu kota An-kian. Akan tetapi karena teringat akan pesan suhunya yang dengan keras melarang dia untuk memperlihatkan kepandaian silatnya, maka dia diam saja dan hanya mengharapkan penjahat itu pada suatu malam berani datang rnengganggu gedung ayahnya schingga dia dapat turun tangan membunuhnya dengan diam-diam. Kini, menerima surat Pek 1 Nikouw, hatinya bingung.
Siapakah pemuda ini? Dia adalah putera tunggal dari Yaptaijin, namanya Yu Tek. Semenjak kecil, Yap Yu Tek tekun mempelajari ilmu sastera, sesuai dengan kehendak ayahnya. Akan tetapi, sesungguhnya semenjak dia masih kecil, pemuda itu ingin sekali mempelajari ilmu silat. Dia tertarik akan ilmu silat setelah dia membaca sejarah dan, cerita-cerita tentang kepahlawanan dan kegagahan para pendekar budiman. Berkalikali dia minta kepada ayahnya agar supaya dia diperbolehkan belajar ilmu silat. Akan tetapi ayahnya berpendirian lain. Menurut pendapat orang tua ini, ilmu silat hanya akan mendatangkan malapetaka saja!
"Lihatlah, betapa orangorang kasar, tukang-tukang pukul, dan orang-orang hukuman sebagian besar terdiri dari orang-orang yang tadinya belajar ilmu silat. Mereka mempergunakan kepandaian mereka untuk melakukan kejahatan!"
Kata pembesar itu kepada anak tunggalnya. Yu Tek amat berbakti kepada ayahnya dan dia tidak berani banyak membantah, pernah dia mengemukakan pendapatnya.
"Ayah, bukankah segala macam kejahatan yang timbul itu tergantung dari batin seseorang?"
"Memang demikian kalau dipikirkan secara sepintas lalu saja. Akan tetapi, orang-orang yang tadinya lemah dan tidak berkesempatan melakukan kejahatan, keculi dia memiliki kepandaian dan kekuatan, dia lalu menjadi lupa dan berubah menjadi jahat! Keadaan di luar seringkali lebih berkuasa dari pada tenaga batin dan keadaan di luar sering kali menguasai batin seseorang. Jangan, anakku, tidak perlu engkau mempelajari segala macam ilmu menukul atau membunuh orang, lebih baik engau pergunakan waktumu untuk mempelajari kesusasteran dan filsafat hidup yang akan lebih berguna untukmu."
Dengan adanya pernyataan ayahnya ini, Yu Tek tidak lagi berani bicara tentang ilmu silat. Pada suatu malam dia membaca cerita tentang pahlawan-pahlawan di jaman dahulu. Demikian tertarik hatinya sehingga dia berkata seorang diri yang diucapkan dengan katakata cukup keras.
"Aihh, alangkah akan senangnya hatiku kalau aku bisa melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh para pendekar gagah ini"
Tibatiba dari jendela terdengar suara orang menjawab katakatanya itu.
"Apa sukarnya? Kemauan besar disertai ketekunan memungkinkan segala hal terjadi!"
Yu Tek terkejut sekali dan anak yang baru berusia sepuluh tahun itu menghampiri jendela dan dia menjenguk keluar. Dilihatnya seorang tua yang berpakaian penuh tambalan sedang duduk di luar kamarnya. Entah bagaimana kakek pengerhis itu dapat memasuki pekarangan yang dikelilingi tembok yang tinggi itu. Kakek ini membawa sebatang tongkat bambu di tangan kirinya dan tangan kanannya memegang sebuah cawan arak yang usang. Melihat kakek pengemis ini, Yu Tek mengerutkan alisnya, terheranheran, kemudian dia bertanya.
"Kakek tua, engkaukah yang mengucapkan kata kata tadi?"
"Di sini tidak ada orang lain, kalau bukan aku yang mengucapkan kata-kata tadi, tentulah bayang-bayanganku!"
Jawab kakek itu sambil memandang dengan matanya yang bersinar aneh dan tajam.
Yu Tek mengamatamati pengemis itu dan hatinya meragu.
"Kakek,"
Katanya dengan suara mengandung celaan.
"Engkau sendiri kulihat kurang memiliki kemauan keras dan ketekunan!"
Kakek itu bangkit berdiri dan memandang kepada Yu Tek dengan sinar mata penuh keheranan. Setelah berdiri, ternyata bahwa kakek itu amat tinggi dan kurus.
"Eh, kongcu, apakah artinya ucapanmu tadi?"
"Kakek tua, engkau tadi mengatakan bahwa dengan ketekunan dan kemauan besar, segala hal mungkin dicapai. Akan tetapi, kalau engkau memiliki ketekunan dan kemauan besar, tidak mungkin engkau berada dalam keadaan begini miskin dan sengsara."
"Hahaha ha! Hahahaaa!"
Kakek itu tertawa bergelak sehingga suaranya bergema di seluruh gedung. Ayah Yu Tek yang kebetulan lewat tidak jauh dari tempat itu segera menghampiri kamar anaknya dan mendengar langkah kaki orang mendatangi dari dalam, tiba-tiba saja tubuh kakek pengemis itu mencelat ke atas, berpusing-pusing dan lenyap ditelan kegelapan malam!
Yap Kam Kun muncul dan memandang kepada anaknya yang berdiri di dekat jendela. Dia bertanya heran.
"Yu Tek, suara apakah tadi yang kudengar? Seperti orang tertawa keras? Apakah engkau tidak mendengarnya?"
Yu Tek yang sedang berdiri termenung itu terkejut melihat betapa tubuh pengemis itu menghilang seperti itu. dan dia masih bingung ketika ayahnya muncul, maka dia hanya dapat menjawab gagap.
"Suara apakah? Ah, mungkin suara burung malam, ayah."
Bupati Yap masuk ke dalam kamar puteranya, menjenguk keluar jendela, lalu menutupkan daun jendela itu sambil berkata.
"Sudah jauh malam, Yu Tek, tidurlah. Tidak baik membuka jendela. di waktu malam, kau bisa terserang angin."
Setelah merasa yakin bahwa tidak ada sesuatu yang mencurigakan, pembesar ini meninggalkan kamar puteranya.
Yu Tek menanti sampai langkah kaki ayahnya tidak terdengar lagi. Kemudian dia bergegas menghampir jendela dan membukanya. Ternyata kakek pengemis yang tadi menghilang, kini telah berdiri lagi di tempat semula, di luar jendela kamarnya!
"Kongcu, engkau mempunyai pertimbangan yang wajar dan kecerdasan yang mengagumkan. Tadi kau mengagumi para pendekar. Maukah engkau memiliki kegagahan seperti para pendekar itu?"
"Hemm, bicara tentang keinginan memang mudah, kakek tua. Akan tetapi bagaimana mungkin?"
"Kalau kongcu suka belajar ilmu silat tinggi, pasti ada jalan keluar!"
"Tentu saja aku suka sekali, akan tetapi ayah selalu melarangku. Pula, siapakah yang akan sanggup mengajar ilmu silat tinggi kepadaku sehingga aku dapat memiliki kegagahan seperti para pendekar itu?"
"Kongcu, biarpun tua dan buruk, kiranya aku, Tiongsan Lokai (Pengemis Tua dari Tiongsan), masih sanggup menggemblengmu menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa."
"Akan tetapi, kakek tua, keadaanmu sendiri"
O ya, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."
"Tentang kemiskinanku? Haha, kongcu, kalau aku ingin kaya raya, apakah sukarnya? Akan tetapi aku lebih suka menjadi pengemis tua, hidup mengembara seperti seekor burung, bebas lepas di udara dan aku mengemis bukan untuk mencari sesuap nasi, melainkan aku mengemis untuk membebaskan diriku dari segala keinginan yang tiada habisnya."
Ucapan kakek tua ini terlalu sulit untuk dimengerti oleh Yu Tek, akan tetapi sikap kakek ini menarik hatinya. Kakek ini memang benar bukan seperti pengemis-pengemis lainnya. Biasanya, seorang pengemis selalu akan bersikap menjilat-jilat dan selalu mengeluh dan merasa iba kepada din sendiri. Akan tetapi kakek ini kelihatan begitu bebas, begitu jelas kelihatan tidak terikatoleh apapun juga, biarpun sikap dan wataknya aneh namun wajar dan tidak dibuatbuat, tidak menyembunyikan suatu pamrih tertentu untuk keuntungannya sendiri. Yu Tek makin tcrtarik dan akhirnya dia mempLrsilakan kakek itu memasuki kamarnya lewat jendela dan mereka berdua lalu bercakapcakap sampai jauh malam!
Pengemis tua itu bukanlah orang sembarangan. Dia seorang tokoh luar biasa yang berilmu tinggi dan dunia kangouw hanya mengenal nama julukannya, yaitu Tiong san Lokai. Ketika kakek ini tanpa disengaja mendengar ucapan anak bupati itu, kemudian melihat ketajaman otak dan melihat bakat
(Lanjut ke Jilid 04)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
yang amat baik pada diri anak itu, pula mendengar akan keinginan Yu Tek untuk belajar silat dan menjadi seperti para pendekar gagah perkasa di jaman dahulu, kakek ini merasa tertarik sekali. Apa lagi setelah mereka berdua bicara di dalam kamar itu sampai jauh malam, kakek itu makin menjadi kagum karena bocah itu benarbenar luar biasa sekali, semuda itu telah mempunyai pengetahuan yang amat luas tentang sastera, sejarah dan filsafat hidup yang didapatnya dari kitabkitab lama.
Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Kilat Pedang Membela Cinta Karya Kho Ping Hoo