Kisah Tiga Naga Sakti 33
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 33
Terkejut juga hati Gin San melihat perobahan gerakan ini dan dia merasakan betapa dari gerakan-gerakan itu meluncur tenaga-tenaga rahasia yang amat dahsyat sehingga dalam belasan jurus saja hampir telinga kirinya tertusuk ujung tongkat. Dia melempar diri kebelakang dan lawannya terus mendesaknya sehingga kini pemuda itu berada dalam keadaan terdesak hebat.
Tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan dalam keadaan terdesak itu tiba-tiba dia membuat gerakan aneh, tubuhnya direndahkan setengah berjongkok dan kedua tangannya mendorong ke depan. Angin dahsyat menerjang ke depan dan biarpun Thai-kek Seng jin cepat mengelak, namun tetap saja hawa pukulan itu menerjangnya dengan dahsyat. Dia menangkis dengan tongkatnya.
"Krakkk!"
Tongkat bambu yang amat kuat itu bertemu dengan tangan Gin San dan patah, sedangkan tubuh kakek itu terdorong ke belakang, dia terhuyung dengan muka pucat. Itulah jurus ke tiga yang aneh dan Ilmu Cap-sha Tong-thian dari Gin San! Pada saat itu dari atas pintu gerbang menyambar turun sesosok bayangan yang amat cepat gerakannya, seperti seekor burung rajawali menyambar mangsanya. Begitu melayang turun, Ling Ling langsung menerjang pemuda itu
"Plakk"".
"
Gin San terkejut melihat serangan itu dan cepat menangkis dengan kedua lengannya.
"Ahhh""!"
Seruan ini keluar dari mulut mereka berdua, karena pertemuan antara lengan dan kaki itu membuat tubuh Ling Ling terpaksa membuat gerakan jungkir balik, poksai (bersalto) tiga kali baru turun ke atas tanah, sedangkan Gin San yang menangkis juga terhuyung ke belakang, terdorong oleh kekuatan dahsyat dari tendangan itu. Keduanya terkejut dan maklum bahwa lawan memiliki sin-kang yang amat hebat! Akan tetapi ketika Gin San melihat bahwa penyerangnya yang lihai itu adalah seorang wanita yang cantik jelita, dia lalu bertolak pinggang dan tertawa.
"Ha-ha, kiranya siluman betina Kim-sim Niocu akhirnya muncul jugal. Bagus, kita boleh membuat perhitungan!"
"Tutup mulutmu yang lancang dan buka lebar-lebar matamu! Jangan sembarangan menyamakan aku dengan orang yang sudah mati!"
Bentak Ling Ling.
"Apa? Siapa yang mati? Kau"".. kau bukan Kim-sim Niocu, ketua dari Im-yang-kauw?"
Tanya Gin San sambil menatap wajah yang cantik itu, yang tidak dapat dilihatnya dengan jelas karena penerangan di situ memang hanya remang-remang.
"Apakah matamu sudah buta?"
Ling Ling membentak.
"Mendiang Im-yang-kauwcu dua kali lebih tua dariku, tolol!"
"Ehhh"".. jadi dia benar-benar sudah mati? Kim-sim Niocu, atau Im-yang-kauwcu itu sudah"".. sudah mendiang""."
"Cerewet! Biarpun tidak ada dia, jangan kira di sini tidak ada orang berani melawanmu, dan jangan kira kau boleh seenak perutmu sendiri berlagak di sini. Terimalah ini!"
Berkata demikian, Ling Ling sudah menerjang dengan hebatnya, memukul dengan tangan kiri disusul dengan tamparan tangan kanan.
Mendengar suara angin bercicit nyaring keluar dari kedua tangan dara itu, Gin San merasa terkejut dan kagum bukan main. Cepat dia menggunakan ginkangnya untuk mengelak dari pukulan tangan kiri dara itu, akan tetapi betapa kagetnya ketika dara itu mengimbangi kecepatannya dan tangan kanan yang menampar itu telah menyusul cepat, mengarah lehernya!
"Ehh""..!"
Gin San berseru kaget akan tetapi tangan kirinya cepat menangkis dan dia mengerahkan sinkangnya ketika menangkis ini.
"Dukk!"
Kembali keduanya menahan seruan kaget karena pertemuan lengan itu membuat tubuh mereka tergetar hebat, sampai terasa hampir lumpuh lengan mereka masing-masing!
Pada saat itu, Thai-kek Seng-jin dan Kok Beng Thiancu sudah menerjang maju diikuti pula oleh para anak buah Pek-lian-kauw dan Im-yang-pai yang menyerbu dari setiap penjuru. Melihat ini, Gin San lalu meloncat tinggi ke belakang, berjungkir balik dan cepat menerobos keluar dari kepungan dan melarikan diri. Tadi dia memperhatikan dan melihat ada bendera dan tanda-tanda kain putih, tandi berkabung di pintu gerbang, maka dia percaya bahwa Kim-sim Niocu memang sudah meoinvgul dunia, maka perlu apa dia bertahan terus? Pula, gadis cantik itu lihai bukan main, jauh lebih lihai dari pada ketua Im-yang-pai atau bahkan ketua Pek-lian kauw! Melawan gadis itu saja sudah merupakan lawan tangguh dan berbahaya, apa lagi ditambah dua orang kakek itu dan semua anak buahnya!
Dia tidak gentar, akan tetapi untuk apa dia mempertaruhkan nyawa menghadapi mereka tanpa alasan sama sekali? Yang dimusuhinya hanyalah Im-yang kauwcu, setelah wanita itu meninggal dunia, tidak ada alasan baginya untuk bermusuh dengan Im-yang pai atau Pek lian kauw. Apa lagi mengingat betapa Beng kauw pernah melakukan perbuatan curang dan bersalah terhadap Im-yang pai. Maka larilah Gin San dikejar-kejar oleh para anggaota Pek-lian-kauw dan Im yang pai. Akan tetapi malam itu gelap dan pemuda itu dapat berlari cepat sekali sehingga sebentar saja para pengejarnya sudah kehilangan jejaknya.
Seorang gadis masih terus mengejar dan tiba-tiba tangan seorang pemuda memegang lengannya.
"Hwi-moi, cukup, tak perlu mengejar lagi!"
Kata Liang Kok Sin yang memegang lengan adiknya, Liang Hwi Nio.
"Pula, kita tidak mampu melawannya, mau apa kau mengejarnya?"
Liang Hwi Nio menoleh dan memandang kepada kakaknya Di bawah sinar bintang-bintang di langit yang suram, dia memandang kepada kakaknya dan pemuda itu melihat bahwa adiknya itu tadi mengejar sambil bercucuran air mata.
"Hemm, kau menangis? Karena dia""..?"
Gadis itu terisak dan merangkul kakaknya, membenamkan muka di dada kakaknya.
"Koko, aku""..aku cinta padanya"".."
"Hemmm!"
Kok Sin menggeram gemas.
"Apa artinya cintamu kalau dia tidak cinta padamu?"
"Dia cinta padaku, aku yakin akan hal itu. Dia cinta padaku seperti aku juga cinta padanya koko""".."
"Hwi Nio, jangan bodoh! Ingat, dia adalah tokoh Beng-kauw, mengerti? Dan siapakah yang membunuh ayah kita? Ayah kita mati di tangan orang-orang Beng-kauw dan kau jatuh cinta kepada seorang tokoh Beng-kauw?"
"Tapi"".. tapi bukan dia pembunuh ayah"""dan dia". dia telah menyelamatkan kita, koko"".."
"Diam! Apa kau ingin semua orang tahu bahwa puteri mendiang Liang Bin Cu yang terbunuh oleh Beng-kauw kini tergila-gila kepada seorang tokoh Beng kauw?"
"Koko"".!"
Hwi Nio menangis dan dia masih sesenggukan ketika kakaknya mengajaknya pulang, diam-diam tangan kanannya menggenggam potongan mata rantai perak ikat pinggang pemuda yang dipujanya itu, menggenggamnya dan menekankannya pada dadanya. Sementara itu, Kok Beng Thiancu dan Thai-kek Seng jin merasa penasaran dan marah sekali setelah mereka kembali ke dalam gedung dan membicarakan pemuda itu bersama dengan Ling Ling.
"Takkan salah dugaanku!"
Kata Thai-kek Seng-jin sambil mengepal tinjunya.
"Bocah itu tentu datang dari Beng-kauw! Sungguhpun aku sendiri tidak mengenal ilmu silatnya yang lihai, atan tetapi dia paham ilmu sihir! Dan memang tiga orang ketua Beng-kauw adalah ahli-ahli sihir."
"Agaknya dia seorang murid dari tiga ketua Beng-kauw,"
Kata Kok Beng Thiancu.
Mendengar ini, Thai-kek Seng-jin menggeleng kepala keras-keras.
"Tidak mungkin! Aku pernah menyaksikan tingkat kepandaian mereka bertiga, dan terus terang saja, menghadapi mereka bertiga, kiranya aku tidak akan kalah. Akan tetapi tingkat kepandaian bocah itu luar biasa sekali!"
"Sungguh aneh, belum pernah aku mendengar akan seorang tokoh Beng-kauw yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari tiga orang ketuanya dan masih sedemikian mudanya. Ah, belum lama ini Kok Sin dan Kwi Nio menyerbu Beng-kauw, kiranya mereka tentu melihat atau pernah mendengar tentang tokoh itu,"
Kata Kok Beng Thiancu dan segera dia memanggil dua orang murid keponakan itu. Wajah Hwi Nio masih pucat, akan tetapi hanya Ling Ling yang memandang heran karena dara ini tahu benar bahwa Hwi Nio habis menangis!
"Kalian berdua kupanggil untuk kami tanya tentang pemuda yang tadi mengacau di sini. Ketika kalian berdua menyerbu Beng-kauw, apakah kalian tidak melihat pemuda itu? Kami menduga bahwa dia adalah seorang tokoh Beng-kauw,"
Tanya Kok Beng Thiancu.
Hwi Nio menunduk saja, akan tetapi tiba-tiba Kok Sin berkata.
"Memang benar, supek. Pemuda itu adalah seorang tokoh Beng-kauw, kalau tidak salah dia adalah adik seperguruan dari ketiga orang ketua Beng-kauw, karena disebut sute oleh mereka."
"Ahhh"".!"
Kok Beng Thiancu dan Thai-kek Seng-jin saling pandang.
"Sute dari ketiga orang ketua Beng-kauw? Kalau begitu dia murid terakhir dari Maghi Sing!,"
Kok Beng Thiancu mengangguk-angguk.
"Boleh jadi sebelum mati, Maghi Sing telah meninggalkan ilmu yang lebih tinggi kepada muridnya yang terakhir itu."
Thai-kek Seng-jin juga mengangguk-angguk, kemudian berkata.
"Beng-kauw telah berani secara terang-terangan memusuhi Pek-lian-kauw dengan mengirim bocah itu mengacau di Pek-lian-kauw. Oleh karena itu, akan merendahkan nama kita kalau kita tidak segera turun tangan, membalas dan menyerbu Beng-kauw yang sombong. Gan-Iihiap, harap lihiap sudi membantu kami, karena inilah saatnya lihiap membalas kepada Beng-kauw yang dulu pernah mengacau di Cin-an menggunakan nama Im-yang-pai."
"Aku memang ingin sekali menandingi tokoh-tokoh Beng-kauw,"
Kata Ling Ling yang merasa penasaran karena tadi tidak sempat bertanding sampai puas melawan pemuda sombong itu karena dua orang kakek ini turun tangan mengeroyok bersama anak buahnya dan pemuda itu keburu melarikan diri.
"Selama beberapa hari ini, kami sudah mengadakan hubungan dengan para pembantu kami. Sekutu kami, yaitu jagoan-jagoan Uighur, akan datang malam nanti, dan juga beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw akan berkumpul malam nanti. Besok pagi kita berangkat menyerbu ke sarang Beng-kauw di tepi pantai Po-hai, di muara Sungai Huaug-ho!"
Demikianlah Thai-kek Seng-jin dan Kok beng Thiancu segera mempersiapkan jagoan-jagoannya, untuk diajak menyerbu Beng-kauw dan hati mereka besar karena di samping mereka terdapat Gan Ai Ling yang boleh mereka andalkan. Tadipun mereka melihat sendiri betapa pemuda Beng-kauw yang amat lihai itu menemukan tandingan ketika bergebrak melawan Ling Ling. Dara ini sendiri bersikap tenang karena dia tidak memperdulikan urusan Pek-lian-kauw ataupun Im-yang-pai. Kalau dia mau bersama mereka untuk menghadapi Beng-kauw adalah karena dia sendiri tidak senang kepada Beng-kauw yang telah berlaku curang dan yang menjadi penyebab dari kematian ayah bundanya.
"Tan-taihiap"". Ah, sungguh girang hatiku bertemu dengan taihiap di sini! Sudah lamakah taihiap berada di kota raja? Selamat datang dan silakan duduk!"
Perwira Ong yang gagah perkasa itu meloncat dari tempat duduknya ketika dia menerima kunjungan Sian Lun, wajahnya berseri dan matanya yang lebar dan tajam itu bersinar sinar. Mereka saling memberi hormat dan dengan hati gembira pula bertemu dengan perwira muda perkasa yang memang dicarinya ini, Sian Lun lalu duduk bersama tuan rumah dalam ruangan tamu.
Seperti kita ketahui, Sian Lun telah berjumpa dengan keluarga Yap Yu Tek, bahkan telah membantu keluarga itu ketika diserang oleh tokoh-tokoh Beng-kauw, Tibet dan Khitan. Melihat betapa negara terancam oleh gerombolan-gerombolan asing yang bersekutu dengan pemberontak-pemberontak, Sian Lun tergerak hatinya, terutama memang tadinya sudah digerakkan oleh percakapannya dengan Ong-ciangkun, maka diapun lalu berpamit dari keluarga yang menariknya sebagai calon mantu itu untuk pergi ke kota raja dan mencari Ong-ciangkun. Tidak sukar baginya menemukan tempat tinggal Perwira Ong Gi yang biarpun masih muda sudah amat terkenal itu, dan seperti yang dibayangkannya kedatangannya itu disambut secara ramah dan gembira oleh tuan rumah,
"Aku sengaja datang ke kota raja untuk mencarimu, Ong-ciangkun,"
Kata Sian Lun, terus terang.
"Ah, bagus! Dan engkau tidak mengalami kesukaran mendapatkan tumahku ini, bukan?"
"Tidak, mudah sekali. Kiranya semua orang mengenal belaka kepada Perwira Ong Gi yang gagah perkasa."
Sian Lun memandang ke sekitar ruangan tamu itu. Sebuah rumah yang tidak berapa besar, sederhana namun cukup menyenangkan.
"Hemm, enak tempat tinggalmu ini Ong-ciangkun. Engkau tinggal bersama keluargamu?"
Sambil tersenyum lebar perwira itu menggleng kepalanya.
"Orang tuaku adalah keluarga petani, sejak nenek moyang menjadi petani, mana mungkin mau meninggalkan sawah ladang untuk tinggal di kota yang berisik dan berdebu? Hanya aku seorang yang menyeleweng dari pekerjaan nenek moyang. Ha ha!"
Ong-ciangkun tertawa.
Sian Lun tersenyum juga. Orang ini selain gagah perkasa, juga amat jujur dan sama sekali tidak memandang rendah kepada kaum petani yang biasanya dianggap sebagai golongan masyarakat yang rendah dan bodoh. Dia bahkan seperti bangga mengaku datang dari keluarga petani. Benar-benar perwira ini hebat, pikirnya kagum.
"Maksudku bukan keluarga orang tuamu yang terhormat, ciangkun, melainkan keluarga mu sendiri."
"Aku? Berkeluarga? Ha ha, aku belum berkeluarga, seperti""
Engkau juga agaknya. Orang yang pekerjaannya perang dan selalu diancam maut seperti aku ini, apa baiknya berkeluarga? Jangan-jangan hanya akan meninggalkan janda muda dan anak-anak kecil tanpa ayah!"
Kembali perwira itu tertawa, kemudian sambungnya dengan suara yang lebih sungguh-sungguh.
"Engkau datang tentu membawa keperluan penting, taihiap. Cukup kiranya sendau-gurau ini. Apa keperluanmu? Katakan saja dan jangan khawatir, di sini tidak ada orang lain kecuali beberapa orang pelayan yang berada di belakang. Aku tinggal seorang diri saja di rumah ini."
"Memang benar, ciangkun. Kedatanganku ini adalah karena aku ingat akan anjuranmu dahulu, dan aku ingin menyumbangkan tenaga untuk membantu pemerintah menghalau gerombolan-gerombolan yang mengancam keamanan rakyat dan negara"
Sian Lun lalu menceritakan pengalamannya ketika dia melawan orang orang Beng-kauw, Khitan dan Tibet.
"Ketika pasukanmu menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw dan Uighur, aku masih belum yakin benar akan bahaya itu. Akan tetapi selelah aku melihat sendiri gerombolan ke dua, yaitu Beng-kauw, Khitan dan Tibet, yang hendak menyerang keluarga Yap-taijin, baru aku merasa yakin dan aku mengambil keputusan untuk membantu pemerintah menghadapi mereka sampai bersih."
"Bagus! Aku girang sekali, taihiap! Kalau pemerintah dapat memperoleh bantuan orang-orang muda seperti engkau, aku yakin dalam waktu singkat saja negara kita akau dapat kita bersihkan dari gangguan gerombolan-gerombolan itu. Mari, mari kau ikut bersamaku menghadap Thio taijin."
"Siapakah Thio-taijin itu, ciangkun?"
"Thio taijin? Ah, semua orang di kota raja ini semua kota besar mengenal siapa beliau! Thio-taijin adalah penghimpun orang-orang gagah dan beliau adalah seorang kepercayaan Kaisar. Marilah, engkau akan senang bertemu dengan Thio taijin yang bijaksana,"
Kata Ong-cingkun dan hati Sian Lun girang sekali bahwa akan dipertemukan dengan orang yang kedudukannya demikian tinggi, kepercayaan Kaisar.
Siapakah Thio-taijin yang dimaksudkan oleh Ong Gi itu? Dia ini bukan lain adalah Thio-thaikam! Pembesar kebiri yang gendut bermuka merah itu ternyata kini masih berkuasa di istana! Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, belasan atau duapuluh tahun yang lalu. Thio thaikam sudah menjadi pembesar kebiri yang amat berpengaruh di istana bahkan menjadi orang kepercayaan nomor satu dari Kaisar tua, yaitu Kaisar Hian Tiong atau Kaisar Beng ong (712"755).
Ketika terjadi penggantian Kaisar setelah kematian Kaisar tua, diganti oleh puteranya, yaitu Kaisar Su Tiong, dengan amat pandainya Thio-thaikam dapat menempatkan dirinya sedemikian rupa sehingga Kaisar muda inipun terjatuh ke dalam pengaruhnya, sungguhpun kini keadaan agak berlainan dan Thio-thaikam itu seakan-akan dapat menyulap dirinya menjadi seorang pembesar yang amat keras dan baik! Dengan cerdiknya dia dapat menahan diri dan dapat menyembunyikan keserakahan dan korupsinya, kini dia menjadi seorang pembesar yang berjiwa patriot! Apa lagi Kaisar baru, bahkan sasterawan Han Gi yang bijaksana dan yang kini diangkat menjadi Penasehat Angkatan Perang itupun dapat dikelabui dan menganggap bahwa Thio-thaikam adalah seorang pembesar setia yang amat baik!
Thio-thaikam dengan sikap keras memusuhi dua gerombolan yang anti pemerintah, yaitu gerombolan gabungan Beng-kauw-Tibet-Khitan dan gabungan Im-yang-kauw, Pek-lian-kauw dan Uighur. Dengan pandainya, Thio-thaikam dapat menarik hati orang-orang gagah dan dengan dalih menindas kaum pemberontak dan gerombolan-gerombolan asing itu, dia malah dapat menarik fihak Siauw-lim-pai, Thai-san-pai dan lain-lain untuk memihak pemerintah. Hal ini sebetulnya ada sebabnya. Seperti telah kita ketahui, belasan tahun yang lalu Thio-thaikam ini diam-diam bersekutu dengan orang-orang Turki dan dia sendiri mempunyai ambisi untuk merampas tahta kerajaan.
Akan tetapi usahanya itu gagal di tengah jalan dan untuk membersihkan namanya, dia terpaksa kini harus memakai jubah patriot, apa lagi karena pemberontakan Beng-kauw, Im-yang-kauw dan Pek-lian kauw itu sebagian besar disebabkan karena tidak puas dengan adanya para pembesar korup dan jahat, terutama sekali karena perkumpulan-perkumpulan itu amat membenci dia. Inilah sebabnya maka dengan gigihnya Thio-thaikam berusaha untuk menghancurkan mereka dengan bersembunyi di balik pasukan-pasukan pemerintah dan dengan dalih membela negara membasmi kaum pemberontak!
Perang, permusuhan, pertentangan terjadi di mana-mana di permukaan bumi ini. Umum hanya menganggap bahwa perang itu terjadi; antar bangsa, antar ideologi, antar ras, antar agama, tanpa ada yang. mau membuka mata melihat kenyataan apakah sebenarnya yang menjadi SEBAB UTAMA dari semua pertentangan dan perang itu! Seperti jalannya seekor ular, dari leher ke bawah sampai ke ekornya, hanya mengikuti saja dengan membuta ke mana sang kepala membawanya!
Demikian pula dengan anggauta-anggauta partai, anggauta-anggauta kelompok ras, anggauta-anggauta perkumpulan agama, dan keluarga rakyat jelata. Maka jelaslah bahwa yang menentukan adalah sang kepala! Kalau sang kepala itu merupakan seorang manusia yang masih besar nafsu-nafsunya, masih mementingkan diri sendiri belaka, mementingkan ambisi pribadinya, maka jelaslah bahwa segala sepak terjangnya akan didasarkan kepada pengejaran kesenangan untuk pribadinya, dan untuk ini dia tidak segan-segan menempuh segala cara, kalau perlu mengenakan jubah perjuangan rakyat dan negara untuk menutupi ambisi pribadinya yang mengejar ke senangan dalam bentuk apapun juga.
Kesenangan pribadi ini dapat berupa pengejaran harta benda, pengejaran kedudukan, pengejaran kemuliaan, pengejaran nama dan sebagainva lagi. Beruntunglah rakyat yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang tidak lagi menjadi hamba dari nafsu nafsu pribadinya, karena pemimpin seperti itu tentu benar benar memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dan segala tindakannya ditujukan demi untuk mendatangkan kebahagiaan kepada rakyatnya. Akan tetapi, pemimpin yang mengutamakan kepentingan nafsu pribadi akan menyeret rakyat ke dalam permusuhan dan perang, menyeret rakyat ke dalam kematian, bunuh-membunuh, dan kesengsaraan!
Sudah menjadi kenyataan yang tak dapat dibantah lagi bahwa perang, dengan dalih apapun juga, hanya mendatangkan kesengsaraan bagi manusia, di manapun juga di dunia ini! Dalam perang, baik bagi yang kalah maupun bagi yang menang, pasti muncul kebencian, dendam, bunuh-membunuh, yang akan berekor panjang sekali, dan yang kesemuanya akan menjerumuskan manusia ke dalam kesengsaraan belaka. Mungkin ada segelintir manusia yang menikmati kesenangan akibat menang perang, yaitu para pemimpin yang berambisi untuk kepentingan pribadi dan yang memperoleh kemenangan dalam perang, dan di samping beberapa gelintir manusia ini, juga"".. iblis sendiri!
Thio-thaikam adalah seorang manusia hamba dari nafsu dan ambisinya. Demi pengejaran kesenangan bagi dirinya sendiri, kalau perlu dia mampu untuk beralih rupa, dan semenjak sasterawan Han Gi menjadi pembesar tinggi, dia merobah taktiknya dan kini Thio-thaikam berobah menjadi seorang pembesar "patriot"
Yang terkenal dan disegani karena pengaruh dan kekuasaannya yang besar di istana.
Sian Lun merasa seperti seorang asing, dan seperti seorang bodoh ketika dia memasuki gedung besar di kompleks istana itu. Segala-galanya serba besar, serba megah dan indah sehingga beberapa kali dia menjadi bengong dan takjub. Patung-patung dan ukiran-ukiran besar dan indah, warna warni yang belum pernah dilihat sebelumnya, lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan bergaya indah tergantung di ruangan-ruangan yang amat luas, semua itu membuat dia melongo keheranan. Juga pengawal-pengawal yang berpakaian megah dan gemerlapan menjaga di tempat-tempat yang dilaluinya dengan sikap tegak seperti arca batu membuatnya kagum. Namun dia merasa senang melihat betapa setiap orang pengawal selalu bersikap hormat kalau bertemu dengan Ong-ciangkun dan akhirnya Ong ciangkun disambut oleh kepala pengawal.
Setelah Ong ciangkun menyatakan bahwa dia ingin menghadap Thio-thaikam membawa seorang tamu yang merupakan seorang pemuda lihai yang ingin menyumbangkan tenaganya kepada kerajaan, pengawal itu lalu mempersilakan mereka menanti di dalam ruangan tamu yang luas sekali. Ong-ciangkun mengajak Sian Lun duduk dalam ruangan itu dan Sian Lun melihat bahwa ruangan itu luasnya sampai tiga-puluh meter persegi, hanya terdapat beberapa tempat duduk di sudut dan dinding ruangan itu terhias oleh lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan yang bersifat gagah. Di sudut-sudut ruangan itu berdiri seorang pengawal dengan tombak di tangan.
Tak lama kemudian, pintu di sebelah dalam terbuka dan muncul empat orang pengawal mendahului datangnya seorang laki-laki berusia enampuluhan tahun, tubuhnya gendut dan mukanya merah dan dihias senyum ramah, pakaiannya mewah dan kepalanya memakai topi ke-besaran yang terhias emas. Di belakang laki-laki gendut ini berjalan lima orang pengawal pribadinya yang berpakaian ringkas dan kelihatannya sigap dan kuat. Ketika laki-laki gendut itu yang bukan lain adalah Thio-thaikam melihat Ong-cian-kun, wajahnya berseri dan senyumnya makin melebar. Dia mengangkat tangan ke atas sebagai salam dan berseru
"Aih, kiranya Ong-ciangkun yang datang!"
Ong-ciangkun cepat bangkit dan memberi hormat, diikuti
oleh Sian Lun.
"Taijin, hamba datang membawa berita yang menggembirakan paduka,"
Kata panglima muda itu dengan penuh hormat. Memang, Thio-thaikam telah memiliki kedudukan yang demikian tingginya, tidak kalah oleh kedudukan para menteri negara sehingga panglima muda itu amat menghormatinya.
"Ha-ha, kedatanganmu saja sudah menggembirakan, apa lagi kalau ditambah dengan berita yang
(Lanjut ke Jilid 34)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 34
menggembirakan. Duduklah, ciangkun, dan engkau pula, orang muda,"
Katanya mempersilakan. Dua orang muda itu duduk kembali menghadapi pembesar itu yang duduk di alas kursi kebesarannya, terhalang meja. lima orang pengawal pribadinya berdiri dengan sikap gagah di belakangnya, siap menjaga keselamatan pembesar itu dengan taruhan nyawa mereka. Sedangkan para pengawal lain, tanpa diperintah telah mengerti akan tugas mereka, semua bubar dan meninggalkan ruangan itu untuk menjaga di luar ruangan itu agar mereka tidak dapat mendengar percakapan si pembesar gendut. Hanya lima orang pengawal pribadi itu saja yang selalu diperbolehkan mendengarkan semua percakapan Thio-thaikam, karena mereka itu adalah pengawal-pengawal pribadi yang sudah amat dipercaya dan amat setia terhadap Thio-thaikam.
"Taijin, hamba datang untuk menghadapkan kepada paduka, seorang pendekar muda yang berkepandaian tinggi dan inilah Tan Sian Lun taihiap, yang menyatakan ingin membantu pemerintah untuk menumpas para pemberontak. Hamba sendiri ketika menggiring tawanan orang-orang Pek-lian kauw tentu akan gagal bahkan mungkin tewas kalau tidak ada Tan-taihiap yang telah menolong hamba."
Mendengar ucapan itu, Thio-thaikam menendang kepada Sian Lun dengan sinar mata penuh selidik dan jelas dia tertarik bukan main Memang pembesar ini suka sekali mengumpulkan orang-orang pandai untuk menjadi pembantu pembantunya, dan tentu saja dengan dalih mengamankan negara namun sesungguhnya diam-diam dia ingin menarik para orang lihai itu agar setia kepadanya, bukan kepada negara!
"Ah, sungguh menyenangkan sekali! Siapakah orang tua Tan-taihiap dan dari perguruan atau golongan manakah taihiap?"
Tanya pembesar gendut itu dengan senyum ramah dan dia menatap wajah pemuda yang tampan gagah itu dengan kagum. Semenjak dia dikebiri dan tidak lagi mampu melakukan hubungan dengan wanita, sifat orang she Thio ini berubah dan dia mulai merasa suka kepada pria-pria muda yang tampan.
Makin tua, kesukaan ini makin mendalam dan akhir-akhir ini dia dikenal sebagai seorang pembesar yang mempunyai banyak pelayan pria-pria muda tampan yang menjadi "peliharaan"
Dan kekasihnya! Tentu saja dalan hal memuaskan kesenangan istimewa ini, Thio-thaikam berlaku hati-hati sekali dan dia tidak mau sernbarangan memperlihatkan kepada orang lain, juga tidak berani mencoba-coba menggoda para pembantunya yang muda dan umpan, sungguhpun di dalam hatinya dia merasa suka sekali. Maka, orang-orang muda gagah dan tampan seperti Ong-ciangkun belum pernah digoda olehnya sehingga, Ong-ciangkun sendiri menolak desus-desus yang pernah didengarnya tentang kesukaan aneh, dari pembesar gendut ini.
Mendengar pertanyaan itu, Sian Lun mengerutkan alisnya. Dia pernah mendengar dari pamannya, Gan beng Han berdua, bahwa ayah dan ibunya telah tewas ketika ayahnya yang: menjadi pecdekar itu sedang berjuang membasmi pembesar yang murtad, dan ibunya terkena akibatnya, terbunuh pula bersama keluarga ibunya, yaitu keluarga Pangeran Song yang dicap, sebagai pemberontak.
Tentu saja dia tidak ingin menceritakan tentang orang tuanya itu, maka dengau hormat dia menjawab.
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Semenjak bayi, hamba telah ditinggal mati ayah ibu hamba sehingga hamba sendiri tidak pernah mengenal ayah bunda, dan hambapun tidak menjadi anggauta dari golongan atau perguruan manapun juga."
"Hemm, sungguh aneh kalau taihiap memiliki kepandaian yang begitu tinggi akan tetapi tidak termasuk golongan manapun. Siapakah yuru taihiap?"
"Guru hamba hanyalah seorang pertapa yang tiada nama, taijin, dan beliau tidak termasuk golongan manapun, dan sekarang suhu hamba telah meninggal dunia maka harap taijin sudi memaafkan karena hamba tidak berani menyebut-nyebut namanya."
Biarpun pemuda itu seperti hendak menyembunyikan keadaan dirinya, namun karena sikapnya merendah dan hormat, Thio-thaikam tidak merasa kecewa atau marah. Selama beberapa lama ini, dia sudah banyak berhubungan dengan orang-orang kang-ouw dan sudah banyak melihat keanehan-keanehan sikap para tokoh kang ouw itu, maka sikap pemuda ini yang hendak menyembunyikan keadaan dirinya dianggap biasa saja.
"Kebetulan sekali bahwa istana membutuhlah beberapa orang pengawal bagian dalam yang baru, Karena ada beberapa orang pengawal tua yang dipensiun. Akan tetapi, untuk menjadi pengawal istana, apa lagi pengawal bagian dalam, haruslah memenuhi dua syarat, yaitu pertama, harus memiliki ilmu kepandaian yang boleh diandalkan, dan ke dua, harus memiliki kesetiaan yang telah teruji dan terbukti pula. Maka, bagaimana kalau sekarang, di depan Ong-ciangkun, kami hendak menguji kepandaianmu, Tan taihiap?"
"Kalau paduka sudah sudi untuk menguji hamba, itu berarti bahwa paduka sudah menaruh kepercayaan kepada hamba. Hamba tahu bahwa tidak mudah masuk menjadi pengawal, maka kalau paduka hendak menguji, silakan,! hamba sudah siap,"
Jawab Sian Lun dengan sikap tenang.
"Bagus!"
Ong-ciangkun berseru girang.
"Akan tetapi harap paduka jangan menyuruh hamba yang mengujinya. Kepandaian hamba tidak ada seperempat bagian dari kepandaian Tan taihiap, tajjin!"
Makin girang hati Thio thaikam mendengar pengakuan jujur dari Ong-ciangkun ini. Kepandaian panglima muda itu saja sudah cukup terkenal, akan tetapi panglima muda itu begitu merendah, maka jelaslah bahwa ilmu kepandaian pemuja she Tan ini tentu hebat. Akan tetapi dia belum yakin benar, maka dia lalui memberi isyarat dengan mata dan tangan kepada seorang di antara pengawal pribadinya.
Pengawal kepala ini adalah seorang laki laki yang bertubuh jangkung kurus, bermata sipit sekali dan hidungnya pesek. Dia merupakan orang terlihai di antara lima orang pengawalnya, dan bahkan lebib lihai dari pengawal-pengawal istana pada umumnya. Orang ini bernama Liem Kiat dan berjuluk Ang see-ciang Tiat-liong ( Naga Besi Bertangan Pasir Merah). Usianya kurang lebih empatpuluh tahun dan semenjak masih muda menjadi pengawal pribadi dari Thio-thaikam maka dia amat dipercaya dan kini menjadi kepala pengawai pribadi yang amat dipercaya.
"Liem Kiat, kau ujilah kepandaian Tan-taihiap ini,"
Kata si pembesar dengan senyum lebar Banyak sudah orang-orang yang mengaku pandai setelah dihadapkan kepada pengawalnya ini, dihajar babak belur sehingga pergi lagi dengan malu dan dia tidak ingin kecelik dan memperoleh pembantu-pembantu macam begitu,
Liem Kiat melangkah maju memberi hormat kepada majikannya, kemudian berjalan menjauh ke tengah ruangan yang luas itu, lalu menghadap ke arah Sian Lun simbil membungkuk dan berkata.
"Saudara Tan, majulah dan mari kita main-main sebentar."
Dari sebutannya itu saja, kepala pengawal iui masih belum mau mengakui bahwa pemuda sederhana ini pantas disebut taihiap, maka dia menyebutnya saudara. Sungguhpun di depan majikannya dia tidak berani bersikap congkak namun jelas dari pandang matanya, yang sempit dan sipit itu dia amat memandang rendah kepada Sian Lun. Pemuda ini menoleh kepada Ong-ciangkun yang mengangguk-angguk seperti memberi dorongan kepadanya dan agar tidak ragu-ragu untuk melayani tantangan dan ujian pembesar itu.
Sian Lun menoleh kepada pembesar gendut itu, menarik napas panjang dan berkata.
"Baiklah, taijin, maafkan hamba!"
Lalu dia menghadap pengawal jangkung itu dan berkata.
"Kau mulailah!"
Pengawal itu tentu saja ingin sekali memperlihatkan kepandaiannya kepada majikannya yang tentu akan merasa bangga kalau dia mampu merobohkan pemuda yang kelihatan sederhana ini secepat mungkin. Oleh karena itu. diapun lalu memasang kuda-kuda, kemudian membentak nyaring untuk memberi tanda kepada lawan bahwa dia mulai menyerang dan langsung saja dia sudah menerjang dengan jurus yang paling diandalkannya, dan pukulan bertubi dengan kedua tangannya itu dilakukan dengan pengerahan tenaga sekuatnya.
Julukan Liem Kiat si jangkung ini adalah Ang-see ciang Tiat-liong. Mungkin saja julukan Tiat-liong (Naga Besi) itu hanya kosong belaka, akan tetapi julukan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) bukanlah kosong. Sian Lun melihat betapa kedua tangan lawannya itu. sampai ke pergelangaa tangan, kelihatan kemerahan dan tahulah dia bahwa kedua tangan lawan itu amat berbahaya, telah digembleng dengan semacam pukulan ampuh yang mungkin beracun. Oleh karena itu, diapun tidak mau memandang rendah dan begitu menangkis, dia sudah mengeluarkan sebagian tenaga sinkangnya.
"Plak"". desss!!"
Bukan main terkejut dan menyesalnya hati Sian Lun, Kiranya dia terlalu banyak mengeluarkan tenaga sehingga begitu kedua lengan bertemu, tubuh lawannya terlempar jauh ke belakang sampai membentur dinding! Dia yang belum banyak pengalaman ini belum dapat menilai sampai di mana ketinggian ilmunya sendiri sehingga dia tidak menyangka bahwa Ilmu Ang-see-ciang yang boleh jadi amat ganas bagi lawan kebanyakan itu baginya tidak ada artinya sama sekali!
"Uhhhhh"".!"
Si jangkung mengeluh dan bangkit dengan muka pucat, matanya yang sipit agak dilebarkan karena dia benar-benar terkejut dan tidak mengerti bagaimana dalam segebrakan saja dia sudah terlempar seperti itu. Dia tadi hanya merasa betapa tubuhnya seperti dilanda angin badai yang tak dapat ditahannya!
"Maafkan".. Maafkan"""
Kata Sian Lun sambil menjura ke arah si jangkung itu yang masih merasa agak pening kepalanya.
"Bagaimana, Liem Kiat. apakah engkau tidak akan melawannya lagi?"
Thio-taijin bertanya dengan hati tegang karena pembesar inipun terkejut bukan main melihat betapa pengawal pribadinya yang amat diandalkannya itu ternyata kalah dalam segebrakan saja! Sungguh hal ini sukar dapat dipercaya!
Pengawal itu cepat melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan majikannya dengan wajah masih pucat.
"Mohon paduka sudi memberi ampun kepada hamba. Tan-taihiap adalah seorang sakti, hamba bukan lawannya sama sekali dan hamba yakin bahwa tak ada seorangpun pengawal di istana ini yang akan mampu melawannya."
Wajah Thio-taijin makin terheran dan sepasang matanya bersinar-sinar. Banyak sudah dia berkenalan dan menerima bantuan orang pandai, akan tetapi belum pernah dia bertemu dengan seorang yang masih begitu muda namun telah memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.
"Kalau begitu kau lekas panggil Ciong Bu-su ke sini!"
Perintahnya kepada pengawalnya yang kalah itu. Liem Kiat memberi hormat kemudian pergi meninggalkan ruangan itu. Thio-taijin lalu menoleh kepada Sian Lun yang masih berdiri agak menanti di tengah ruangan.
"Tan-taihiap, harap kau duduk dulu. Kami masih ingin mengujimu untuk menghadapi seorang komandan pengawai dari istana yang akan menentukan apakah engkau akan dapat diterima sebagai pengawal dalam di istana atau tidak."
Sian Lun menjura lalu dengan tenang dia kembali duduk di atas kursinya yang tadi. Ong-ciangkun memandangnya dengan sinar mata penuh kagum, akan tetapi diam-diam Sian Lun merasa menyesal mengapa tadi dia terlalu mengerahkan tenaga sehingga dalam segebrakan saja dia telah mengalahkan pengawal Thio-taijin. Bukan niatnya untuk terlalu menonjolkan atau memamerkan kepandaiannya. Maka dia mengambil keputusan untuk lebih berhati-hati dengan kepandaiannnya kalau menghadapi lawan dalam ujian itu lagi nanti.
Tak lama kemudian datanglah Liem Kiat bersama seorang laki laki berusia limapuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan bermuka agak kehitaman. Dari potongan badan dan sigapnya saja sudah nampak jelas bahwa orang ini memiliki tenaga yang besar dan tubuhnya kukuh kuat seperti pagoda besi! Pakaiannya indah gemerlapan karena dia berpakaian komandan pasukan pengawal Gi lim kun, yaitu pasukan pengawal Kaisar, merupakan pasukan pengawal pribadi yang bertugas di sebelah dalam istana, dan yang biasanya mengawal Kaisar ke manapun Kaisar pergi. Sebagai komandan pasukan Gi lim-kun, tentu saja orang ini sudah mempunyai kedudukan yang cukup tinggi akan tetapi begitu berhadapan dengan Thio-taijin yang memanggilnya begitu saja, dia cepat memberi hormat dengan sikap merendah.
Hal ini saja sudah membuktikan bahwa Thio-taijin memang memiliki pengaruh dan kekuasaan besar di dalam istana sehingga komandan yang menjadi orang kepercayaan Kaisar, bahkan yang bertugas melindungi keselamatan Kaisar ini demikian menghormatnya. Kepada Ong-ciangkun dia hanya melirik saja dan mengangguk sedikit, sedangkan kepada Sian Lun dia tidak memperdulikannya sama sekali.
"Taijin memanggil saya, ada keperluan, apakah?"
Tanyanya dengan singkat dan agaknya memang komandan pasukan pengawal ini tidak pandai bicara dan tidak biasa banyak bicara, karena memang biasanya dia lebih banyak bertindak dari pada bicara.
"Ciong Bu-su, aku menemukan seorang calon pengawal sri baginda yang baik sekali. Tan taihiap inilah orangnya, harap Ciong Bu-su suka mengujinya lebih dulu agar kita sama mengetahui bahwa dia memang benar benar memenuhi syarat"
Ternyata terhadap komandan pengawal Kaisar ini Thio-taijin juga mengambil sikap cukup hormat.
Kini Ciong Bu-su, komandan pengawal tinggi besar itu, mulai menaruh perhatian kepada Sian Lun. Dia menoleh dan memandang Sian Lun dengan sinar mata tajam seperti menaksir dan menilai, dari atas ke bawah dan agaknya timbul keraguan dalam pandang matanya. Thio-taijin melihat hal ini dan dia tertawa.
"Ciong Bu-su harap jangan pandang rendah kepada Tan-taihiap. Aku berani tangguug bahwa di antara seluruh anggauta pasukan Gi-1im kun, tidak ada seorangpun yang akan mampu menandinginya."
Mendengar ini. sinar mata yang memandang pemuda itu mengalami perobahan, kini bersinar-sinar penuh perhatian dan kedua alisnya berkerut. Tanpa banyak cakap lagi Ciong Bu-su bangkit berdiri, lalu melangkah ketengah ruangan sambil berkata kepada Sian Lun.
"Orang muda, mari kita saling mengukur kepandaian."
Orang ini wataknya terbuka dan terus terang, pikir Sian Lun. Mengajaknya bertanding tanpa banyak basa-basi lagi! Maka diapun bangkit berdiri, menjura ke arah Thio taijin dan pembesar ini sambil tersenyum lebar menggerakkan tangannya dengan girang karena menganggap bahwa pemuda tampan itu sungguh gagah perkasa dan tahu aturan pula! "Ciangkun. maafkau kelancanganku dan silakan!"
Sian Lun berkata setelah dia berhadapan dengan orang tinggi besar bermuka hitam itu. Sejenak mereka berdiri berhadapan tanpa bergerak, hanya dua pasang mata itu saling pandang seperti hendak mengukur keadaan lawan dengan pandang mata. Sian Lun berdiri seenaknya saja sedangkan Ciong Bu-su mulai memasang kuda kuda. Dari pasangan kuda kuda ini saja sudah dapat nampak oleh Sian Lun bahwa orang ini memiliki tenaga yang amat kuat, jauh lebih kuat dari pada pengawal jangkung tadi. Maka diapun bersikap waspada, sungguhpun kini dia lebih hati hati dan tida ingin mengulangi kesalahan seperti tadi sehingga dia mengalahkan lawan hanya dalam segebrakan saja.
Tadinya Ciong Bu-su menanti agar pemuda itu memasang kuda kuda karena dari pasangan kuda kuda, itu dia akan mencoba untuk mengenal aliran persilatan yang dimiliki oleh pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu berdiri biasa saja, seenaknya dan sama sekali tidak memasang kuda-kuda yang kuat. Hal ini hanya dapat diartikan bahwa pemuda itu hanya seorang ahli silat yang masih mentah, atau sebaliknyi seorang ahli silat yang telah memiliki ilmu amat tinggi sehingga tidak dapat dikenal kuda-kudanya karena setiap gerakan, setiap kedudukan badan sudah merupakan kuda-kuda dan setiap saat seluruh urat syaraf dalam badan seorang ahli yang sudah mencapai tingkat tinggi selalu siap sedia!
"Awas serangan!"
Tiba-tiba Ciong Bu-su berseru dengan suara nyaring sekali dan tubuhnya sudah menerjang ke depan. Gerakannya kuat dan cepat, jauh bedanya dengan gerakan Liem Kiat tadi, yang hanya mengandalkan tenaga kasar dan terutama hanya mengandalkan Ang-see-ciang. Serangan Ciong Bu-su ini mendatangkan hawa pukulan yang amat kuatnya, berhawa panas dan sebelum pukulannya tiba, lebih dulu ada hawa panas menyambar ke arah Sian Lun. Dengan mudah Sian Lun mengelak dan dari sambaran angin itu dia sudah dapat mengukur sampai di mana kekuatan lawan. Setelah dia dapat mengira-ngira, barulah pada serangan selanjutnya dia berani menangkis dengan kekuatan yang seimbang, tidak seperti ketika menangkis serangan pengawal jangkung tadi sehingga dia terlalu kuat bagi lawan. Serangan bertubi-tubi dari Ciong Bu-su dihadapinya dengan elakan dan kadang-kadang
dia menangkis.
"Duk-duk-dukk!"
Ciong Bu-su mengeluarkan seruan kaget karena setiap kali tertangkis dia merasakan lengannya sakit sekali! Tak disangkanya bahwa pemuda itu benar-benar memiliki kekuatan luar biasa! Dia merasa penasaran dan menyerang terus dengan lebih dahsyat, namun percuma saja, semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh Sian Lun! Dan pemuda itu sama sekali tidak pernah membalas. Setelah lewat limapuluh jurus, Ciong Bu-su merasa puas dan tahulah dia bahwa kalau pemuda itu membalas serangannya, belum tentu dia akan mampu bertahan sampai limapuluh jurus!
"Sudahlah, pemuda ini behar-benar memenuhi syarat, taijin!"
Katanya sambil menghentikan serangannya dan memandang dengan mata terbelalak karena heran dan kagum kepada Sian Lun.
"Eh, kenapa berhenti, Ciong Bu-su? Dia atau engkau belum ada yang kalah!"
Kata Thio. taijin heran. Komandan pengawal Gi-lim-kun itu menghampiri Thio-taijin dan mengulur kedua lengan, memperlihatkan lengannya sambil menggulung lengan baju Kiranya kedua lenganeya nampak matang biru!
"Inilah buktinya bahwa pemuda itu memang hebat, taijin. Dia cukup pandai untuk menjadi anggauta pengawal Gi-lim-kun."
"Bagus, bagus! Kalau begitu, biarlah dia kau terima menjadi anak buahmu untuk menguji kesetiaannya. Aku titipkan dulu kepadamu dan kalau kelak dia berjasa, akan kuajukan kepada sri baginda sendiri."
Ciong Bu-su mengangguk. Sudah sering dia menjadi penguji dan akhirnya orang-orang pandai yang telah memperlihatkan jasanya diambil oleh pembesar istana ini sebagai pembantu dan diberi kedudukan yang lebih tinggi.
"Akan tetapi, Thio-taijin yang bertanggung jawab""?"
Tanyanya.
"Tentu saja! Dia datang bersama Ong-ciangkun tentu dapat dipercayai"
Jawab pembesar gendut itu sambil menoleh ke arah Ong Gi.
"Hamba menanggungnya dengan taruhan nyawa hamba!"
Kata Ong-ciangkun yang menjadi gembira dan bangga bukan main melihat betapa Sian Lun telah berhasil lulus dari ujian, bahkan tadi dia menyaksikan betapa pemuda itu dapat menghadapi semua serangan hebat dari Ciong Bu-su selama limapuluh jurus tanpa membalas sedikitpun! Hal ini saja sudah amat luar biasa. Mendengar ucapan ini, diam . diam Sian Lun merasa terharu karena ucapan itu hanya dapat keluar dari hati yang sudah menaruh kepercayaau sepenuhnya kepadanya. Dia tidak akan memalukan Ong-ciangkun dan tidak akan mengecewakan kepercayaan itu, demikian dia berjanji seorang diri. Dengan pandainya, Thio-thaikam lalu menjamu mereka bertiga dengan hidangan hidangan mewah dan dalam perjamuan ini dia memuji-muji Sian Lun. Dan pada hari itu juga, diterimalah Sian Lun sebagai anggauta dari pasukan Gi-lim kun, bertugas menjaga di dalam istana. Karena dia belum membuktikan kesetiaannya, maka tentu saja Ciong Bu-su belum berani menugaskan dia untuk mengawal pribadi Kaisar di tempat tempat terbuka, melainkan hanya menugaskannya untuk meronda di dalam istana dan menjaga keselamatan istana.
Seperti telah kita diketahui, Tiongkok baru saja dilanda perang dan pemberontakan yang besar, perang saudara yang amat mengerikan dan menjatuhkan korban banyak sekali di antara rakyat. Dan biarpun pemberontakan itu telah berhasil dipadamkan, namun akibatnya masih terasa sampai belasan tahun lamanya. Perang terbuka memang sudah tidak terjadi lagi, namun perang dalam batin masih terus berlangsung, berupa dendam golongan dan pribadi karena kerugian dan bencana yang mereka derita di waktu perang. Yang menang mabuk kekuasaan, yang kalah memupuk dendam. Keadaan seperti ini mana mungkin dapat diharapkan adanya ketenteraman? Hanya kalau yang mabok kekuasaan di satu fihak dan yang memupuk dendam di lain fihak sudah tidak ada lagi maka barulah dapat diharapkan adanya ketenteraman dan perdamaian yang sungguh-sungguh.
Setelah pemberontakan yang dimulai oleh An Lu Shan dapat dipadamkan. Kaisar Su Tiong dan para menterinya hidup dalam keadaan mulia dan gembira, lupa diri dan mabok kemenangan, sama sekali tidak menghiraukai adanya fihak fihak yang menaruh dendam karena di samping berenang dalam lautan kemenangan, mereka itu telah mempercayakan keselamatan diri mereka pada bala tentara yang dikerahkan untuk melakukan pembersihan di mana-mana. Hal ini menimbulkan tindakan sewenang wenang dari mereka yang menang, dan untunglah bahwa Kaisar Su Tiong mengangkat Sasterawan Han Gi menjadi penasihat sehingga sasterawan yang bijaksana ini dapat mengendalikan dan mencegah terjadinya kesewenang-wenangan lebih lanjut lagi. Namun tentu saja pembesar baru yang bijaksana ini tidak akan dapat mengawasi seluruh pelaksana yang tersebar di mana-mana itu, dan masih saja terjadi hal hal yang bertentangan dengar kehendaknya Kalau saja peraturan yang diadakan oleh Han Gi ditaati oleh semua petugas agaknya negara akan menjadi aman dan dendam dendam dan penasaran akan mereda dan akhirnya menghilang karena adanya peratuian-peraturan yang menguntungkan rakyat.
Akan tetapi, sebagian para pembesar tentu hanya lahirnya yang menyetujui peraturan-peraturan yang meringankan beban rakyat itu, akan tetapi pada batinnya mereka sama sekali tidak setuju karena peraturan peraturan itu biarpun meringankan beban rakyat, memperkecil hasil yang dapat mengalir ke dalam kantung mereka sendiri, maka diam-diam mereka mengadakan aturan aturan sendiri yang menyimpang dari pada peraturan yang ditentukan oleh Menteri Han Gi. Maka, tetap saja rakyat menderita di bawah kelaliman pembesar seperti ini, dan perasaan dendam dan penasaran menjadi makin menebal.
Akibat dari perang saudara itu, kekuatan pemerintah menjadi lemah dan di sana sini muncul gerombolan-gerombolan penjahat yang menyaingi tindakan para penbesar lalim untuk mengganggu dan menggerogoti kehidupan rakyat jelata. Akan tetapi banyak pula gerombolan yang mendendam kepada pemerintah, dan gerombolan-gerombolan seperti ini banyak memperoleh dukungan rakyat yang memang sudah penasaran terhadap pemetintah sehingga timbullah pengacauan pengacauan di man-mana oleh gerombolan-gerombolan itu.
Di antara gerombolan-gerombolan yang menentang pemerintah ini terdapat gerombolan yang menamakan dirinya Hek-san-pang (Perkumpulan Kipas Hitam). Hek san pang bukanlah perkumpulan baru, bahkan sudah ada semenjak duapuluh tahun lebih yang lalu. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini. Hek-san-pang pernah dihancurkan oleh pendekar wanita Kui Eng atau nyonya Gan Beng Han ketika wanita itu masih muda. dan perkumpulan itu dibubarkan, sarangnya dibakar oleh pendekar wanita ini. Akan tetapi tiga saudara Can yang menjadi ketua Hek-san-pang masih hidup dan mereka bertiga lalu diam-diam membentuk lagi perkumpulan mereka, bahkan akhir-akhir ini Hek-san-pang terkenal karena pengacauan-pengacauan mereka terhadap pemerintah dimana-mana. Mulah kemudian mereka berani mengadakan kekacauan di sekitar kota raja!
Tiga orang ketua Hek-san-pang yang bernama Can Kok, Can An, dan Can Sam kini tidak lagi memimpin perkumpulan itu. Yang menggantikan mereka adalah Can Hun Sek, putera tunggal dari Can Sam yang telah meninggal dunia. Can Kok juga sudah meninggai dunia dan yang masih hidup diantara ketiga saudara Can itu hanyalah Can An, kakek pendek kate bermuka putih yang kini usianya sudah enampuluh lima tahun dan dia sudah tidak mau berurusan lagi dengan dunia ramai, tinggal dipensiun oleh keponakannya yaitu Can Hun Sek.
Kalau tiga orang ketua Can itu dahulu terkenal dengan kepandaian mereka, terutama sekali permainan senjata kipas mereka, makn kini kepandaian Can Hun Sek malah lebih hebat dari pada kepandaian ayahnya atau kedua orang pamannyal Selain mewarisi ilmu-ilmu dari ketiga orang ketua Hek-san-pang itu, dia juga berguru kepada banyak guru silat yang pandai sehingga dia menguasai banyak macam ilmu silat, akan tetapi tentu saja yang menjadi keahliannya adalah permainan kipasnya dan ilmunya menotok yang menjadi ilmu andalan
mendiang ayahnya.
Can Hun Sek berusia tigapuluh lima tahun, tubuhnya tinggi tegap, sikapnya lincah, pakaiannya mewah dan dia memang seorang pesolek yang berwajah tampan, bersikap genit dan cabul. Sampai berusia tigapuluh lima tahun dia tidak mau menikah, sungguhpun dia mempunyai belasan orang selir dan masih suka mengganggu wanita-wanita di luar, baik yang sudah bersuami maupun yang belum, dengan mempergunakan ketampanannya atau kepandaiannya. Selain sifat-sifat itu, Can Hua Sek ini paling membenci pemerintah, dan dia bahkan berusaha untuk dapat membunuh Kaisar yang amat didibencinya, karena dia menganggap bahwa Kaisarlah yang bersalah sehingga dia sampai menjadi anak penjahat dan hidup di lingkungan keluarga penjahat!
Memang kedengarannya aneh sekali! Seperti kita ketahui dari bagian depan, mendiang Can Sam adalah adik angkat dari dua saudara kate Can Kok dan Can An, dan sebetulnya Can Sam bukanlah seorang yang berwatak jahat. Dia hanya terseret saja oleh dua orang kakak angkatnya itu. Biarpun dia tidak dapat membantah kepada dua orang kakak angkatnya dan terpaksa menjadi ketua ke tiga dari Hek-san pang, namun di dalam hatinya, Can Sam merasa selalu berduka dan penasaran bahwa dia sampai terjerumus menjadi ketua dari perkumpulan yang sering melakukan kejahatan itu. Maka, ketika dia memperoleh seorang putera, diam diam dia mendidik puteranya agar menjadi seorang yang baik, menjejali puteranya itu dengan pelajaran pelajaran yang patriotic dan dia mengharapkan puteranya menjadi seorang pendekar yang budiman!
Akan tetapi, pelajaran yang langsung bagi seorang anak adalah kelakuan dari orang tuanya! Tidak mungkin seorang ayah mengajar anaknya agar jangan memaki kalau si ayah sendiri mempunyai kebiasaan memaki! Seorang penjudi tidak mungkin mengajar anaknya agar jangan suka berjudi. Demikian pula dengan Can Sam, Dia mengajar anaknya agar menjauhi kejahatan akan tetapi dia sendiri bergelimang kejahatan dan kehidupan di sekeliling anaknya itu penuh dengan kejahatan! Maka, biarpun pikiran anak itu dijejali kebaikan kalau setiap harinya dia berada di lingkungan yang jahat, akan sia sialah semua pelajaran itu.
Kebaikan kebaikan itu hanya akan menjadi semacam pengetahuan kosong belaka! Apalagi setelah Can Sam meninggal dunia dalam suatu pertempuran menghadapi pasukan pemerintah, tidak ada lagi yang mengamati kelakuan Can Hun Sek dan anak ini tumbuh meniadi seorang yang tidak ada bedanya dengan semua anggauta lingkungannya! Bahkan lebih hebat iagi karena memang dia memiliki bakat yang amat baik dalam ilmu silat sehingga dia dapat mewarisi kepandaian tiga orang ketua Hek-san pang, bahkan karena dia amat senang ilmu silat, dia memperdalam ilmunya itu dengan belajar dari guru guru silat lain.
Akhirnya, sebagai orang paling kuat di Hek-san pang, setelah Can An merasa lemah dan tua, Can An mengangkat keponakannya ini menjadi ketua Hek-san pang dan semenjak Can Hun Sek menjadi ketua, perkumpulan itu menjadi makin kuat akan tetapi juga makin jahat!
Karena jejalan pelajaran dari mendiang ayahnya itulah yang membuat Can Hun Sek kadang-kadang merasa menyesal sekali mengapa dia tidak bisa menjadi seorang pendekar yang baik! Dan semua ini dia salahkan kepada Kaisar! Apa lagi ditambah dengan dendam bahwa ayahnya tewas ketika bertempur melawan pasukan kerajaan, membuat kebenciannya terhadap Kaisar dan kerajaan makin mendalam.
Dia merencanakan untuk membunuh Kaisar? Inilah tujuan satu satunya dalam hidupnya, dan dia akan merasa bahagia kalau sampai berbasil membunuh Kaisar. Tumpuan harapan satu-satunya ini merupakan hasil dari kumpulan pendidikan ayahnya yang mengharapkan dia menjadi seorang pendekar budiman. Can Hun Sek menganggap bahwa kalau sampai dia berhasil membunuh Kaisar yang dianggapnya lalim dan membikin sengsara dia dan rakyat, maka jasanya itu akan mengatasi jasa semua pendekar yang bagaimanapun juga! Maka, sejak bertahun tahun yang lalu dia mengatur siasat untuk mendapatkan kesempatan mendekati dan membunuh Kaisar! Untuk itu, dia berusaha menyelundupkan anak buahnya dan akhirnya, beberapa bulan yang lalu, dia berhasil menyelundupkan seorang gadis cmtik yang menjadi dayang dalam istana Kaisar!
Gadis itu jatuh dalam rayuannya, akan tetapi Hun Sek yang cerdik tidak mau mengganggunya dan berjanji mengawininya menjadi isteri kalau gadis itu dapat membantunya sampai berhasil. Berkat rayuannya yang lihai, akhirnya gadis itu bersedia membantunya dan dengan perantaraan seorang pembesar di kota raja yang dapat pula dipengaruhinya, Su Hong, gadis itu diterima menjadi dayang dalam istana Kaisar!
Can Hun Sek girang bukan main, akan tetapi dia harus sabar menanti sampai berbulan-bulan karena gadis pembantunya itu harus pandai-pandai membawa diri agar dapat menjadi kepercayaan Kaisar. Karena kalau hanya menjadi dayang yang bekerja di sebelah luar saja maka belum memenuhi syarat untuk membantu dengan rencananya yang besar, yaitu membunuh Kaisar!
Akhirnya, yang dinanti-nanti oleh Can Hun Sek itupun tibalah. Gadisnya itu, Su Hong, berhasil diangkat menjadi pelayan di sebelah dalam sehingga dia bebas keluar masuk di dalam kamar-kamar Kaisar. Biarpun dia tidak dipilih oleh Kaisar untuk melayaninya dan menjadi calon selir seperti diharapkan oleh semua pelayan atau dayang, namun oleh kepala dayang dia dipercaya untuk bekerja di sebelah lain! Berita ini didengar oleh Hun Sek dengan girang dan bahkan pada suatu hari dia memperoleh kesempatan untuk datang berkunjung kepada Su Hong dengan mengaku sebaga kakak kandungnya! Kunjungan ini dimanfaatkan untuk mempelajari keadaan istana dan diam diam dia mengatur rencana untuk dapat menyerbu istana dalam usahanya membunuh Kaisar, dan tentu saja dia mengatur siasatnya itu dengan Su Hong.
Sementara itu, Kaisar yang selalu hidup dalam kesenangan sama sekali tidak pernah menduga bahwa ada orang yang berani mengatur rencana untuk menyerbu istana, apa lagi membunuhnya! Pada jaman itu, kehidupan seorang Kaisar sedemikian senang, mulia dan penuh kuasa sehingga akan amat sukarlah dipercaya oleh orang-orang yang hidup di jaman sekarang Kaisar dianggap sebagai "wakil Tuhan"
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Iblis Dan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo