Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 35


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 35



Kembali dara itu mengerling dan tersenyum malu-malu sinar matanya seperti mengeluarkan seribu satu kata-kata yang jelas namun yang tidak mau Sian Lun menerimanya.

   Melihat dara itu berlutut di depannya dan kini menengadah, nampak wajahnya yang ayu, dan karena dara itu berlutut di sebelah bawah, dia dapat melihat belahan dada muda yang padat di antara lipatan bajunya yang tipis, darah tersirap naik di dalam tubuh Sian Lun. Pemuda ini memejamkan kedua matanya, menarik naas panjang lalu berkata.

   "Bangkitlah, nona dan duduklah. Kita bicara baik-baik."

   Ada sesuatu dalam suara pemuda itu yang membuat Siang Bwee mengerutkan alisnya dengan gelisah, dan membuat dia tidak berani membantah, perlahan dia bangkit berdiri lalu dengan halus menghampiri sebuah bangku bundar di balik meja, kemudian duduk dengan patuh dan mukanya menunduk namun sepasang matanya mengerling ke atas, menatap wajah yang tampan itu penuh selidik.

   "Tan-taihiap"""

   Bisiknya khawatir melihat pemuda itu masih duduk tak bergerak sambil memejamkan kedua matanya.

   Sian Lun membuka matanya dan sejenak pandang mata mereka bertemu. Akan tetapi Sian lun lalu mengalihkan pandang matanya ke bawah.

   "Nona, mengapa di depan sri baginda nona berani minta kepadaku untuk membawa pergi dari istana?"

   Tiba-tiba Sian Lun bertanya, suaranya penuh teguran karena selain hal itu dianggapnya terlalu sekali, juga itulah sebabnya mengapa kini sri baginda, dinasihati oleh Thio-thaikam agaknya, menyerahkan gadis ini sebagai hadiah kepadanya! Kalau Siang Bwee tidak bersikap seperti itu, tentu tidak mungkin gadis itu kini berada di dalam kamarnya, membuat dia kebingungan karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kehadiran gadis ini menghilangkan rasa gembiranya telah memperoleh kedudukan dan kesempatan membantu pemerintah.

   "Ahhh"". maafkan saya, taihiap".."

   Gadis itu menunduk dan alisnya yang kecil hitam melengkung indah itu bergerak dan ada kesedihan membayang di wajah yang berkulit halus seperti sutera yang menutupi tubuhnya itu.

   "Memang sikap itu amat tidak patut, akan tetapi" .aku memang takut berada di istana, dan aku""

   Aku ingin menghambakan diri kepadamu, taihiap."

   Makin bingunglah rasa hati Sian Lun mendengar ini.

   "Hemm, mengapa begitu? Bukankah engkau telah menjadi selir sri baginda di malam terjadinya keributan itu?"

   Wajah itu menjadi merah, sepasang mata itu terbelalak memandang kepada Sian Lun kemudian menunduk lagi dan berobah pucat.

   "Ahhh".. itulah sebabnya, taihiap. Aku belum menjadi selir sri baginda! Tidak""..! Belum terjadi, taihiap, kalau sudah terjadi, apa taihiap kira aku masih mau hidup? Aku sudah mengambil keputusan malam itu bahwa kalau sampai aku dipaksa dan tidak dapat melawan, besoknya aku akan membunuh diri! Dan itu pulalah sebabnya mengapa aku merasa berhutang budi kepadamu, taihiap, lebih dari nyawaku. Engkau telah membebaskan diriku dari peristiwa yang tak kukehendaki itu, kemudian engkau malah membebaskan aku dari malapetaka lebih hebat lagi ketika aku diculik penjahat "

   Mendengar penuturan ini, Sian Lun mulai memperhatikan gadis itu yang masih menunduk. Sungguh aneh sekali gadis ini! "Eh, nona. Bukankah semua wanita akan merasa berbahagia sekali kalau terpilih menjadi selir sri baginda?"

   Wajah yang ayu itu diangkat kembali dan kini sinar mata yang memandang Sian Lun bersinar-sinar penuh semangat dan kedua pipi yang tadinya pucat itu kini menjadi kemerahan seperti buah tomat masak. Sian Lun makin terheran-heran melihat betapa pipi itu dapat demikian cepatnya berobah warna, sebentar pucat sebentar merah! Kalau saja yang memiliki pipi itu seorang ahli sinkang, dia tidak akan merasa heran karena dia sendiri setiap saat dapat saja membuat mukanya menjadi pucat kehilangan darah atau menjadi kemerahan penuh aliran darah. Akan tetapi gadis ini berobah-robah mukanya karena perobahan perasaan hatinya! Betapa peka dan halusnya!

   "Tan-taihiap, harap engkau ketahui bahwa aku bukanlah termasuk wanita yang gila kehormatan, kemuliaan dan harta benda! Aku bukan wanita yang suka mengorbankan badan dan batin demi untuk mengejar kesenangan!"

   Ucapan ini keluar dengan semangat berapi api sehingga mulai berobah pandangan Sian Lun terhadap gadis ini.

   Sampai agak lama mereka berdiam diri sehingga suasana dalam kamar itu menjadi sunyi, Kemudian terdengar Sian Lun berkata.

   "Akan tetapi mengapa engkau mau menerima ketika diserahkan kepadaku, bahkan tadi engkau mengatakan bahwa engkau berbahagia sekali dapat berada di sini?"

   Sambil berkata demikian, Sian Lun memandang wajah itu penuh selidik. Kembali wajah itu yang tadi sudah merah penuh semangat, kini bahkan menjadi makin merah sampai ke leher dan telinganya. Sejenak gadis itu tidak mampu menjawab, hanya menunduk, kemudian terdengar kata-katanya lirih,

   "Tan-taihiap. bagaimana aku tak akan merasa berbahagia? Engkau telah menyelamatkan diriku, aku berhutang budi, berhutang nyawa dan kehormatan. Aku ingin membalas budi taihiap itu dengan jalan menghambakan diri, melayani taihiap"".."

   "Hemm, hanya itu? Jadi engkau"".. akan suka menjadi"".isteriku, atau"". selirku?"

   Gadis itu memejamkan kedua matanya sambil tetap menunduk dia berkata.

   "Aku bersedia dengan segenap kerelaan hatiku, taihiap!"

   "Nona""" "

   "Namaku Ci Siang Bwee, taihiap, harap jangan menyebut nona""

   Aku adalah hambamu, taihiap."

   "Baiklah, Siang Bwee. Sekarang jawablah dengan sejujurnya, apakah engkau cinta kepadaku?"

   Gadis itu memandang terbelalak dan sejenak dia bengong, kemudian dia menunduk kembali.

   "Aku"". aku tidak tahu".., taihiap"..aku tidak tahu"".."

   "Hemm, tanpa cinta engkau bersedia menyerahkan diri kepadaku. Lalu apa bedanya dengan kalau engkau menyerahkan diri kepada sri baginda?"

   "Jauh bedanya! Aku berhutang budi kepadamu, aku ingin membayar, aku ingin membalas budimu, dan selain itu"". aku kagum kepadamu, taihiap, aku memujamu karena taihiap mengingatkan aku akan mendiang Tan-taihiap lain yang semenjak kecil sudah menjadi tokoh pahlawan dalam hatiku. Aku membayangkan taihiap seperti Tan-taihiap pujaanku itulah, maka aku bersedia melayanimu. Perasaan kagum dan pujaanku terhadap taihiap mungkin melebihi rasa cinta, taihiap."

   Sian Lun makin tertarik dan dia mengerutkan alisnya.

   "Sudahlah jangan kau bicara tentang melayani aku, Siang Bwee. Ketahuilah bahwa aku belum berniat untuk mempunyai isteri, apa lagi selir! Aku hanya menerimamu karena aku tidak dapat menolak, karena menolak berarti akan menghina kaisar ."

   "Tapi"".. tapi"".. kalau sri baginda dan terutama sekali""

   Thio-taijin tahu bahwa taihiap akhirnya tidak menerimaku, tentu hal itu amat"". tidak baik bagimu, taihiap. Taihiap akan dianggap menolak anugerah kaisar, dan selain mungkin aku akan diambil kembali, juga taihiap dapat dituduh menghina. Ah, jangan lakukan itu, taihiap, jangan sampai aku dibawa kembali ke harem kaisar"".."

   Gadis itu menangis dan tiba-tiba kembali dia menjatuhkan diri berlutut.

   "Tenanglah, Siang Bwee, tenanglah dan kau duduklah "

   Sian Lun menariknya berdiri dan menyuruhnya duduk kembali dengan halus. Dia tidak berani lama-lama menyentuh lengan gadis itu yang hangat dan halus, apa lagi ketika dekat dia mencium bau yang harum menggairahkan.

   "Jangan khawatir. Siang Bwee. Engkau kuterima di sini, dan biarlah engkau boleh pura-pura menjadi""

   Eh, selirku. Akan tetapi engkau harus tahu bahwa aku sama sekali tidak niat mempunyai selir, maka hanya terhadap orang luar saja kita pura-pura menjadi""..eh, suami isteri. Mengertikah engkau? Semua itu hanya demi menjaga agar jangan sampai engkau diambil kembali ke dalam istana dan aku dituduh menolak pemberian kaisar."

   "Terima kasih, aku memang selalu yakin bahwa taihiap adalah seorang pendekar budiman. Akan tetapi".. aku juga khawatir kalau kalau kehadiranku taihiap terima dengan terpaksa dan taihiap merasa terganggu karena""

   Apakah".. taihiap tidak".. cinta padaku".?"

   Kini wajah Sian Lun yang berobah merah. Tanpa berani memandang wajah cantik itu dia menjawab.

   "Aku tidak tahu. Siang Bwee. Aku tidak tahu tentang cinta"".."

   "Tapi taihiap tidak membenciku, bukan?"

   "Sama sekali tidak, aku tidak benci padamu, aku malah suka sekali kepadamu karena engkau seorang gadis yang aneh dan baik, juga jujur."

   "Dan aku amat memujamu taihiap, seolah-olah Tan taihiap pujaanku semenjak aku kecil Itu kini hidup kembali dalam dirimu. Setiap malam aku akan bersembahyang untuk keselamatan dan kebahagianmu, taihiap.

   "

   Mendengar ini, Sian Lun merasa terharu, akan tapi juga tertarik karena gadis ini beberapa kali menyebut nama seorang Tan-taihiap lain yang dikenal oleh gadis itu semenjak kecil.

   "Eh, Siang Bwee, siapakah dia Tan taihiap yang kausebut sebut tadi itu?"

   Aneh sekali, sebelum menjawab, Siang Bwee menoleh ke kanan kiri, kemudian mendekat dan berbisik.

   "Namanya adalah mendiang Tan Bun Hong""."

   Tentu saja Sian Lun menjadi terkejut bukan main seperti mendengar suara halilintar Dia bangkit dari tempat duduknya dan mengulang nama itu.

   "Tan Bun Hong""..?"

   "Sssttt, taihiap, harap jangan meneriakkan nama itu keras-keras. Kalau terdengar orang lain, amat berbahaya""."

   Sian Lun sudah menguasai hatinya yang terguncang tadi. Dia tadi hanya terkejut karena tidak menyangka sama sekali bahwa dayang ini akan menyebutkan nama mendiang ayahnya "Hemm, mengapa begitu. Siang Bwee? Dan bagaimanakah engkau bertemu dengan pendekar yang bernama Tan Bun Hong itu? Ceritakanlah kepadaku "

   "Taihiap, aku sendiri ridak pernah bertemu dengan beliau, akupun hanya mendengar cerita itu dari ibuku yang juga amat memujanya bagai seorang pendekar budiman yang bernasib malang. Tan-taihiap itu menjadi mantu dari Pangeran Song, dan ketika itu ibuku adalah seorang di antara selir Pangeran Song. Ketika Tan-taihiap dan seluruh keluarga Pangeran Song terbasmi pemerintah karena dituduh memberontak, ibuku yang cantik dan masih muda tidak ikut dibunuh melainkan dihadiahkan kepada seorang pengawal."

   Siang Bwee lalu menceritakan riwayatnya. Ibunya, bekas selir Pangeran Song yang masih muda dan cantik itu terhindar dari hukuman mati karena ditolong oleh Thio-thaikam dan dihadiahkan kepada seorang pengawal yang berjasa. Setelah menjadi isteri pengawal she Ci bekas selir itu melahirkan seorang anak perempuan, yaitu Siang Bwee. Ibu yang selalu masih terkenang kepada keluarga Song inilah yang menceritakan kepada puteri tunggalnya tentang keluarga Song dan tentang seorang pendekar bernama Tan Bun Hong yang amat dikaguminya, dan ibu ini selalu berpesan kepada puterinya agar kelak puterinya dapat berjodoh dengan seorang pendekar gagah perkasa dan berbudi seperti Tan-taihiap itu. Sayang sekali bahwa ayahnya, pengawal she Ci itu tewas dalam tugasnya, dan ibunya juga meninggal dunia ketika dia berusia sepuluh tahun. Maka dia lalu dipelihara oleh Thio-thaikam sebagai pelayan dalam, Dan akhirnya karena dia cantik dan pandai, oleh Thio-thaikam dia dihadiahkan kepada kaisar sebagai dayang.

   Siang Bwee bercerita pula tentang semua yang didengar dari ibunya mengenai riwayat pendekar Tan Bun Hong. Betapa pendekar itu menentang pembesar-pembesar yang bertindak sewenang-wenang menindas rakyat, betapa pendekar itu menentang Thio-thaikam sehingga dikejar-kejar dan tentu sudah celaka kalau tidak ditolong oleh keluarga Pangeran Song sehingga akhirnya menjadi mantu Pangeran Song yang budiman.

   "Akan tetapi"".. Thio-thaikam dan kaki tangannya mengenalnya sehingga akhirnya Tan-taihiap itu dikeroyok dan tewas, sedangkan seluruh keluarga Song ditangkap dan dihukum mati semua"".."

   "Ahh"".!"

   Sian Lun menjadi pucat sekali setelah mendengar semua penuturan Siang Bwee. Memang pernah dia mendengar dari paman dan bibinya, mendiang Gan Beng Han dan Kui Eng yang tinggal di Cin-an tentang ayahnya. Akan tetapi mereka itu hanya menceritakan bahwa ayahnya adalah seorang pendekar yang menentang pembesar-pembesar jahat dan betapa ayahnya itu kemudian tewas dalam tugasnya membasmi pembesar murtad, dan ibunya beserta semua keluarga ibunya juga tewas karena tuduhan memberontak. Kini, dari gadis ini dia mendengar kesemuanya dengan jelas. Jadi kematian ayahnya itu karena Thio-thaikam!

   "Apakah ibumu pernah menceritakan kepadamu siapakah yang telah membunuh".. pendekar Tan Bun Hong itu Siang Bwee?"

   Tanyanya, menekan suaranya yang terdengar agak gemetar .

   "Tidak, taihiap. ibuku hanya menceritakan bahwa ketika itu yang menjadi kaki tangan dan pembantu pembantu utama dari Thio-thaikam adalah Tek Po Tosu, Bong Kak Liong dan Bong Kak Im."

   Sian Lun mengepal tinjunya.

   "Di mana adanya mereka itu sekarang?"

   "Dua orang saudara Bong itu menurut ibuku telah tewas di tangan para pendekar, sedangkan tosu itu kini tidak lagi membantu Thio-taijin, hanya mewakilkan muridnya yang menjadi kepala pengawal pribadi Thio taijin"

   "Ah, kaumaksudkan Liem Kiat itu?"

   Sian Lun teringat akan pengawal yang bertubuh jangkung kurus bermata sipit dan berhidung pesek itu. Siang Bwee mengangguk dan menoleh ke kanan kiri.

   "Sudahlah, taihiap tidak baik membicarakan mereka dan"". eh, kenapakah engkau, taihiap? Engkau"". engkau...". menangis?"

   Siang Bwee memandang terbelalak melihat pemuda perkasa itu mengepal tinjunya dan kedua matanya menitikkan beberapa tetes air mata. Memang Sian Lun tak dapat menahan air matanya ketika dia mendengar tentang ayah ibunya yang tewas. Sungguh celaka, mereka itu tewas di tangan Thio-thaikam dan dia sendiri kini menjadi kaki tangan Thio-thaikam! Itulah yang membuat dia tidak dapat menahan beberapa titik air matanya tanpa disadarinya sehingga nampak oleh Siang Bwee yang bertanya karena heran.

   Sian Lun dapat mempercaya wanita ini, bahkan inilah satu-satunya orang yang boleh dipercaya mengenai keadaan pribadinya, rnaka dia mengusap kedua mata dengan lengan baju, menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya, kerpudian dia berkata lirih.

   "Dengar baik baik, Siang Bwee, engkau adalah satu-satunya orang yang kupercaya di sini, maka demi arwah mendiang ibumu dan mendiang ayah bundaku, ketahuilah bahwa aku adalah putera tunggal dari Tan Bun Hong dan Song Kiu Bwe."

   "Ohhh"".. ohhh".."

   Siang Bwee terbelalak memandang, dari kedua matanya kini bercucuran air mata dan mulutnya ternganga keheranan. Akhirnya dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sian Lun.

   "Kiranya taihiap adalah putera mereka""

   Ah, aku ikut menangis di waktu masih kecil mendengar penuturan ibu bahwa Tan-taihiap mempunyai seorang putera yang entah ke mana hilangnya namun ibu yakin bahwa putera itu tidak ikut terbasmi. Kalau tidak salah ingat, ibu pernah mengatakan nama putera itu, kalau tidak salah"".. Sian Lun namanya""."

   "Ibumu benar, akulah Tan Sian Lun. dan aku berhasil diselamatkan oleh mendiang paman dan bibiku"".."

   Kembali Sian Lun merasa hatinya tertusuk mengingat akan kebaikan Gan Beng Han dan Kui Eng yang juga tewas terbunuh orang. Mengapa semua orang baik-baik di dunia ini terbunuh oleh orang-orang jahat? Mengapa semua orang baik-baik di dunia ini bernasib malang dan orang orang jahat bahkan bernasib baik dan hidup makmur dan bahagia?

   Pendapat seperti apa yang saat itu mengganggu pikiran Sian Lun merupakan semacam "penyakit"

   Yang dimiliki oleh hampir semua orang di dunia ini. Kita sudah terbiasa semenjak kecil untuk memandang diri sendiri sebagai yang terbaik, yang terbersih, yang terpandai dan yang paling sebagainya lagi. Diri sendiri itu dapat diperluas meniadi keluarga sendiri, kelompok sendiri, suku sendiri, bangsa sendiri. Karena pandangan ini, maka setiap kali ada kemalangan atau malapetaka menimpa diri kita, maka kita memperbesar iba diri dengan keluhan mengapa orang "sebaik"

   Kita ini tertimpa kemalangan, malapetaka dan sebagainya lagi! Dan hal ini merupakan satu di antara sebab sebab yang menimbulkan rasa penasaran, dendam, ketidakpuasan dan kebencian.

   Selama hidup aku tidak pernah menipu atau merugikan orang, kenapa sekarang aku ditipu dan dirugikan orang? Selama hidup aku suka menolong orang dan aku hidup sebagai orang yang baik hati, mengapa nasibku selalu malang dan sengsara? Selama hidup aku baik terhadap orang lain, mengapa tidak ada orang yang baik kepadaku? Demikianlah kita selalu mengeluh dengan hati penasaran! Kalau kita membuka mata memandang diri sendiri, kiranya kita akan mendapat kenyataan bahwa "penyakit"

   Macam itu juga ada pada kita! Tidaklah demikian halnya?

   Mengapa kita selalu ingin menonjolkan diri sebagai yang terbaik? Mengapa pula kita mengharapkan suatu imbalan atau hadiah bagi semua tindakan yang kita anggap baik itu? Tidak, aku tidak minta imbalan atas kebaikanku, bantah seseorang mungkin. Akan tetapi, kalau sekali waktu tertimpa kemalangan lalui "mengeluh"

   Mengapa dia yang baik itu tertimpa kemalangan, bukankah hal ini sama saja dengan mengharapkan imbalan, agar KEBAIKANNYA iiu menjauhkan segala kemalangan. Apakah kebaikan yang mengandung pamrih memperoleh imbalan itu kebaikan namanya? Bukankah itu merupakan suatu kemunafikan yang menyulap suatu daya upaya memperoleh keuntungan menjadi suatu kebaikan? Mengapa kita selalu cenderung menganggap bahwa setiap kemalangan tidak patut dijatuhkan kepada kita, sebaliknya setiap keberuntungan memang sudah tepat menjadi milik kita? Pendapat ini hanya mengundang datangnya sesal dan kecewa, yang menuntun kepada rasa penasaran, kebencian, dan kesengsaraan batin.

   Yang dinamakan KEBAIKAN itu bukan lagi kebaikan kalau sudah kita sadari sebagai kebaikan! Misalnya ada seorang kelaparan, kita lalu memberinya makan. Kalau perbuatan ini kita lakukan karena dorongan iba hati terhadap orang yang kelaparan itu, maka inilah perbuatan wajar, perbuatan yang mengandung cinta kasih. Akan tetapi kalau kita menyadari bahwa itu adalah perbuatan baik, dan demi "kebaikan"

   Itu kita lalu menolongnya, sadar bahwa kita telah melakukan kebaikan, maka kebaikan macam ini adalah kebaikan yang condong berpamrih. Macam-macamlah pamrihnya itu, mungkin untuk mencari pujian dari orang lain, mungkin untuk menerima syukur dan terima kasih dari yang ditolong, mungkin untuk memuaskan perasaan sendiri yang telah "berbuat baik", bahkan mungkin lebih luas dan tinggi lagi yaitu mengharapkan agar kebaikannya itu dicatat di "sana"

   Sebagai tabungan untuk kelak diambil kalau sudah mati atau di raktu perlu.

   Perbuatan yang oleh umum dianggap baik itu lenyap sifat kebaikannya kalau di waktu melakukannya kita sadari sebagai kebaikan. Hanva orang lainlah yang menilai. Kita sendiri hanya beibuat dengan dasar cinta kasih yang dapat berbentuk belas kasih atau iba hati. Segala macam peristiwa yang menimpa diri kita hanyalah merupakan akibat dari segala macam perbuatan kita. Peristiwa yang menimpa diri kita merupakan pemetikan buah dari pohon perbuatan yang kita tanam sendiri, dan ini terjadi tanpa kita sadari. Semua perbuatan kita atau pohon yang kita tanam sehari-hari, hanja dapat bersih dan sehat apabila kita mau waspada setiap saat, waspada dengan membuka mata memandang diri sendiri, pikiran sendiri perbuatan sendiri sehingga kita dapat waspada dan sadar setiap saat dan dengan kewaspadaan ini kita pasti akan dapat menyingkirkan semua perbuatan yang tidak benar yang berarti kita menghindarkan penanaman pohon yang jahat, yang kelak sudah pasti tanpa kita sadari atau minta, akan menghasilkan buah yang jahat pula yang harus kita petik sendiri.

   Oleh karena itu, setiap kali datang kemalangan atau malapetaka menimpa diri kita, dari pada kita mengeluh dan merasa penasaran mengapa kita yang "begini baik"

   Tertimpa mala petaka yang "begitu buruk", adalah jauh lebih bermanfaat apabila kita merenung dan meneliti diri sendiri dan selalu waspada terhadap segala apa yang terjadi, haik di sebelah dalam maupun di luar diri kita, tanpa menamakan peristiwa itu sebagai yang baik ataupun yang buruk, tanpa menyesal kepada Tuhan, kepada musia lain. maupun kepada setan atau kepada alam. Kita meneliti diri sendiri setiap saat karena diri pribadi adalah SUMBER dari terjadinya segala sesuatu atas diri kita itu.

   Sampai lama Sian Lun dan Siang Bwee diam saja. Sian Lun menunduk, termenung, sedangkan Siang Bwee memandang kepada pemuda ini dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Sama sekali tidak disangka-sangkanya bahwa pemuda yang amat dikaguminya dan dipujanya karena telah menyelamatkannya itu, pemuda yang mengingatkan dia akan tokoh pujaannya, yaitu mendiang Tan-taihiap yang semenjak dia kecil merupakan tokoh pujaannya, ternyata pemuda ini adalah putera tuugaI tokoh pujaannya itu! Betapa anehnya.

   "Thian Yang Maha Kuasa""!"

   Gadis itu mengucapkan bisikan seperti berdoa "Sungguh untung sekali aku"". ah. makin rela aku untuk menghambakan diri kepadamu, taihiap."

   Sian Lun juga sudah dapat menguasai dirinya lagi. Dia teringat akan nasehat gurunya bahwa dia harus mengesampingkan urusan pribadinya dan mendahulukan kepentingan negara.

   Kini. dia tahu siapa yang mencelakakan ayah bundanya. Thio-thaikam dan kaki tangannya, yaitu yang masih ada hanya Tek Po Tosu, guru dari Liem Kiat, kepala pengawal pribadi Thio-thaikam! Akan tetapi yang amat mengherankan hatinya adalah keadaan Thio-thaikam. Mendiang ayahnya memusuhinya dan tentu hal itu terjadi karena Thio-thaikam merupakan seorang pembesar lalim yang menindas rakyat. Akan tetapi mengapa seorang panglima seperti Ong-ciangkun yang dia tahu gagah perkasa itu memuji Thio-thaikam sebagai pembesar yang baik? Dan dia melihat sendiri betapa pembesar kebiri itu amat dipercaya dan disuka oleh kaisar.

   "Siang Bwee, katakanlah sejujurnya?, apakah engkau tidak suka kepada Thio-taijin?"

   Tanpa berpikir lagi Siang Bwee berkata "Tidak, aku sama sekali tidak suka, kepadanya, aku bahkan membencinya, taihiap. Sebaiknya taihiap jangan mau menjadi pembantunya, sebaiknya, taihiap menjauhi saja orang itu!"

   "Eh, kenapa begitu? Mengapa engkau membencinya?"

   "Karena dialah yang telah menghancurkan keluarga ayah taihiap! Sejak dahulu, begitu mendengar dari ibu bahwa Thio-taijin menjadi biang keladi kehancuran mendiang Tan-taihiap dan keluarga Pangeran Song, aku sudah membencinya"

   "Maksudku,bagaimana engkau melihat kehidupan Thio-taijin? Bagaimana kenyataannya? Lepas dari soal dia menghancurkan kehidupan ayah bundaku, apakah dia itu seorang pembesar yang baik ataukah jahat?"

   Kini Siang Bwee mengerutkan alis berpikir sampai agak lama.

   "Terus terang saja, taihiap. semenjak ibu meninggal dan dalam usia sepuluh tahun aku dipeliharanya, aku tidak pernah melihat atau mendengar bahwa dia itu seorang pembesar yang sewenang-wenang. Aku memang sering kali merasa heran mengapa dahulu ibu menceritakan kepadaku bahwa Thio-taijin adalah seorang pembesar yang menindas rakyat. Kini dia tidak mengurus pemasukan uang pajak seperti dahulu, melainkan lebih menguruskan keamanan dan hubungan dengan bangsa asing. Oleh karena itu maka dia tidak kelihatan melakukan penindasan terhadap rakyat. Akan tetapi aku tetap benci kepadanya karena dia telah menghancurkan kehidupan ayah bunda taihiap."

   Sian Lun menarik napas panjang. Urusan negara harus didahulukan, pikirnya. Tidak baik menuruti nafsu perasaan dan dendam atas kematian ayah bundanya. Pula, dia dapat mengerti mengapa ayahnya dan keluarga ibunya dihukum mati, tentu karena ayahnya melawan pembesar dan pemerintah, maka dianggap pemberontak. Apapun alasan ayahnya tetap saja kenyataannya ayahnya melawan pemenntah sehingga menerima hukuman. Dia harus dapat melihat kenyataan ini, dan sudah menjadi kewajiban Thio-thaikam dan kaki tangannya untuk menentang pemberontak dan mengabdi kepada negara. Dia sama sekali tidak boleh mendendam karena urusan antara ayahnya dan Thio-thaikam bukan merupakan urusan pribadi, melainkan urusan antara yang menentang pemerintah dan yang membela pemerintah. Dan dalam hal itu, dia tidak dapat menyalahkan Thio-thaikam. Pikiran ini membuat hatinya agak lega dan hilanglah rasa penasaran dan dendam yang membuat hatinya panas tadi.

   "Sudahlah, Siang Bwee, mulai sekarang kita tidak perlu membicarakan tentang mereka lagi, dan mulai sekarang, bagi orang lain engkau telah menjadi"".. eh, selirku seperti yang dikehendaki oleh kaisar."

   (Lanjut ke Jilid 36)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 36

   Siang Bwee mengangguk dan hatinya seperti tertusuk. Dia sendiri tidak boleh mengharapkan lebih, akan tetapi dia akan merasa berbahagia sekali kalau Sian Lun benar-benar mau menerimanya sebagai selir atau lebih lagi, sebagai isteri. Dia tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepala pemuda perkasa ini semenjak pemuda itu melepaskannya dari pencemaran oleh kaisar kemudiau menolongnya dari tangan penjahat, dan cintanya semakin mendalam setelah dia mengetahui bahwa pemuda ini adalah putera tunggal dari pendekar pujaannya.

   "Hanya bagi orang lain... baiklah, taihiap, aku mengerti."

   Sian Lun memandang wajah yang menunduk itu dan agaknya dia dapat merasakan kekecewaan gadis itu, dan dia menarik napas panjang, tidak, dia sama sekali belum memikirkan wanita, belum memikirkan tentang cinta. Tugasnya masih menggunung di depannya.

   Pada saat itu terdengar pintu kamar diketuk orang dan ketika Sian Lun menyuruh pengetuk itu masuk, seorang pengawal melaporkan bahwa Ong-ciangkun datang dan mohon bertemu dengan Tan-ciangkun. Sian Lun girang sekali dan berkata.

   "Persilakan beliau masuk!"

   Akan tetapi dari luar pintu kamar itu terdengar suara orang tertawa.

   "Ah, aku sudah berada di sini!"

   Itulah suara Ong-ciangkun yang sambil tertawa sudah muncul dan memasuki kamar itu.

   "Aku datang untuk menghaturkan selamat, Tan-taihiap""

   Eh, maksudku Tan-ciangkun! Aku telah mendengar akan pengangkatan itu yang ditentukan sendiri oleh sri baginda. Sungguh aku ikut merasa girang. Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!"

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata panglima muda itu dengan wajah berseri dan mengangkat kedua tangan, dikepal di depan dada.

   "Terima kasih, Ong-ciangkun, semua ini terjadi karena hasil bantuan dan jerih payahmu,"

   Sian Lun cepat menjawab sambil tersenyum dan memberi hormat pula.

   Tiba-tiba Ong-ciangkun melihat Siang Bwee yang sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya, berdiri di sudut.

   "Eh, dia ini"". ah, tak salah lagi, tentu dia ini nona yang dihadiahkan oleh sri baginda kepadamu, bukan?"

   Wajah Sian Lun berobah merah dan dia hanya mengangguk sambil menahan senyumnya.

   "Bukan main! Engkau sungguh beruntung, Tan-ciangkun. Sekali lagi kionghi untuk kebahagiaanmu ini dan kuharap kalian akan menikmati bulan madu kalian, ha-ha!"

   Makin merah wajah Sian Lun, juga Siang Bwee makin menunduk untuk menyembunyikan kekecewaan hatinya karena ucapan selamat itu baginya seperti juga ejekan yang amat menyakitkan hati.

   "Terima kasih, terima kasih. sahabatku yang baik. Mari kita duduk di ruangan dan bicara dengan enak sambil mencoba kiriman arak harum yang baru saja kudapat dari Thio-taijin."

   Sambil bergandeng tangan, dua orang sahabat itu keluar dari dalam kamar, dan dengan cekatan Siang Bwee lalu lari ke dapur dan mempersiapkan arak dan hidangan seadanya untuk tamu yang menjadi sahabat majikannya itu.

   Ketika Siang Bwee dengan diikuti dua orang pelayan wanita mengeluarkan hidangan makanan dan arak wangi, dia mendapatkan dua orang perwira muda itu tengah asyik bercakap cakap Dengan sikap lemah lembut dan sopan santun, Siang Bwee mempersilakan tuan rumah dan tamunya makan minum, kemudian dengan membungkukkan tubuh dengan lemah gemulai dia mengundurkan diri bersama para pelayan.

   Semenjak tadi Ong-ciangkun memandang wanita ini dan sinar matanya membayangkan kekaguman besar. Setelah Siang Bwee pergi, dia berkata dengan sikapnya yang jujur kepada Sian Lun.

   "Tan ciangkun, sungguh engkau berbahagia sekali memperoleh seorang isteri seperti dia itu. Kapankah diadakan upacara pernikahan sehingga aku dapat minum arak pengantin sampai mabok?"

   "Ah, terus terang saja, aku belum memikirkan tentang pernikahan atau isteri, Ong-ciangkun."

   "Eh? Jadi kalau begitu dia hanya menjadi selirmu?"

   "Beginilah. Eh apa katamu tadi tentang gerakan gerombolan yang menentang pemerintah? Benarkah bahwa gerombolan Im-yang-kauw kini mempunyai seorang pemimpin wanita yang amat pandai dan telah mengobrak abrik sepasukan tentara? Sukar dipercaya seorang wanita yang masih muda dapat mengobrak-abrik dan memaksa pasukan yang terdiri dan seratus limapuluh orang sampai mundur."

   "Tadinya aku sendiripun tidak percaya. Akan tetapi setelah aku melakukan pemeriksaan, ternyata bahwa berita itu tidak bohong. Seorang perwira yang ikut dalam pasukan itu menceritakan sendiri kepadaku betapa lihainya wanita muda itu Katanya, wanita itu cantik jelita dan memiliki kesaktian yang amat hebat! sehingga setiap orang yang berani mengeroyok dan mendekatinya pasti dirobohkannya dengan mudah, bahkan perwira itu sendiri biru kena disambar angin pukulannya saja sudah terlempar dan jatuh dari atas punggung kudanya. Padahal perwira itu kukenal sebagai seorang yang tidak rendah ilmu silatnya."

   "Hemm, kalau tidak salah, wanita pemimpin Im-yang-kauw itu pastilah Im-yang kauwcu yang bernama Kim-sim Niocu, seorang wanita yang memang memiliki kesaktian hebat Bukankah wanita itu berpakaian serba putih dan pandai memainkan sabuk hitam?"

   Sian Lun mendapatkan keterangan tentang Kim-sim Niocu dari ayah dan ibu Yap Wan Cu.

   "Ah, engkau sudah mengenalnya, Tan ciangkun? Memang kabarnya dia berpakaian putih dan cantik sekali, akan tetapi apakah dia pandai memainkan sabuk hitam atau tidak, aku tidak mendengar beritanya. Hanya yang jelas, dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Memang aku sendiri pernah mendengar tentang Kim sim Niocu itu, akan tetapi bukankah dia dan anak buahnya telah diserbu dan dibasmi oleh pasukan pemerintah yang dibantu oleh para pendekar, beberapa tahun yang lalu?"

   Tentu saja Sian Lun juga tahu akan hal ini. Dalam penyerbuan itulah matinya paman Gan Beng Han dan bibi Kui Eng, pikirnya. Merekapun tewas oleh Kim sim Niocu itu, dalam pertandingan yang adil, dan memang wanita itu lihai bukan main.

   "Tentu dia telah menghimpun kekuatan lagi. Aku akan suka sekali kalau ditugaskan membawa pasukan dan membasmi gerombolan itu"

   "Mengapa tidak? Kalau sekarang kita menghadap Thio taijin dan membicarakan hal itu. tentu dia setuju sepenuhnya kalau engkau memimpin pasukan menyerbu Im-yang-kauw yang kabarnya kini telah bergabung dengan Pek lian-kauw itu. Kurasa memang hanya engkau yang akan dapat menandingi wanita sakti itu, Tan ciangkun."

   Dua orang sahabat yang sama-sama muda, gagah perkasa dan memiliki kedudukan tinggi dalam ketentaraan Kerajaan Tong tiauw itu, kini meninggalkan rumah gedung Sian Lun untuk pergi mengunjungi Thio-thaikam. Di sepanjang perjalanan menuju ke istana thaikam ini, Sian Lun memancing agar Ong-ciangkun suka bercerita tentang keadaan orang she Thio itu.

   "Ong ciangkun, engkau mengerti bahwa Thio-thaikam menjadi orang atasanku, oleh karena itu aku harus mengenal betul pribadinya. Melihat sikapnya, dia itu bukan seorang ahli perang dan tidak memiliki kepandaian bu (silat), mengapa dia dapat berkuasa dalam bidang pertahanan dan keamanan?"

   "Memang benar, Tan-ciangkun. Dahulu Thio-thaikam giat dalam urusan pemerintahan, bahkan kalau tidak salah dia dahulu pernah menjabat sebagai pengumpul dana dan pengatur pajak. Akan tetapi semenjak beberapa tahun ini, dia lebih giat mengurus soal keamanan dan sepanjang yang kudengar, dia amat baik dan menjalankan segala nasihat dan petunjuk Menteri Han Gi yang bijaksana Memang sebaiknya dia menjabat kedudukannya yang sekarang dari pada dia menjadi pengumpul dana, karena""."

   Perwira itu tidak melanjutkan.

   "Karena apa, Ong ciangkun?"

   Melihat keraguan temannya itu, Sian Lun memberanikan-nya dengan berterus-terang.

   "karena seperti yang pernah kudengar, beliau itu menindas rakyat dengan peraturan pajaknya?"

   "Ssst, lebih baik kita tidak membicarakan hal itu, sahabatku. Urusan itu sudah lama lewat dan kalaupun beliau pernah mendapatkan nama buruk dari pekerjaannya itu, kini nama buruknya telah terhapus dan tertutup oleh jasa-jasa dan nama baiknya Orang tidak selamanya jahat dan tidak selamanya pula baik, bukan?"

   Sian Lun mengangguk. Biarpun singkat, ucapan Ong Gi itu beralasan. Tidak adillah kalau menilai seseorang dari satu perbuatan yang pada suatu saat saja, dengan menekankan pada perbuatannya yang satu itu. Ada kalanya orang berbuit baik, ada kalanya pula berbuat sebaliknya. Ayah bundanya tewas sebagai korban keadaan saja. Hatinya lebih lapang ketika dia bersama sahabatnya tiba di depan istana Thio taijin, sungguhpun semenjak mendengar penuturan Siang Bwee, terdapat ganjalan di dalam dadanya terhadap pembesar ini.

   Kurang lebih seratus orang itu berbaris dengan rapi dan muncul bersama dengan terbitnya matahari pagi di muara Sungai Huang-ho, di pantai lautan Po-hai itu. Mereka terdiri dari anggauta-anggauta Pek-lian kauw dan anggauta-anggauta Im yang kauw yang dapat dilihat dari pakaian mereka. Para anggauta Pek lian kauw mempunyai tanda gambar teratai putih di dada mereka sedangkan para anggauta im-yang-kauw memakai tanda gambar Im Yang di dada mereka. Mereka berjalan dalam barisan tanpa mengeluarkan suara, dan sikap mereka keren sekali. Di bagian depan dari pasukan yang berjalan kaki ini berjalan empat orang. Yang pertama adalah seorang Bangsa Uighur yang bertubuh seperti raksasa hitam, otot-otot lengannya nampak menjendol dan gerak-geriknya membayangkan seorang yang bertubuh kokoh kuat dan bertenaga besar.

   Dia ini bukan lain adalah Gu Lam Seng, tokoh Uighur yang kepalanya di bungkus sorban, jago silat dan gulat Bangsa Uighur yang dikirim oleh bangsanya untuk bekerja sama dengan fihak Pek-lian-kauw, dai lm-yang-kauw. Di samping Gu Lam Sing berjalan Thai-kek Seng-jin, kakek berkepala botak yang membawa tongkat bambu Sisik Naga, ketua Pek-lian kauw wilayah timur yang memiliki kepandaian silat dan sihir yang lihai itu. Di belakang mereka ini berjalan Kok Beng Thiancu, kakek yang masih nampak gagah dan tampan, berpakaian sederhana akan tetapi sikapnya penuh wibawa itu. Di sebelahnya berjalan seorang dara yang kelihatan gagah dan cantik jelita, berpakaian sutera putih tanpa kembang tanpa tanda apapun, sabuknya merah dan di balik pakaian sutera putih itu membayang pakaian dalam warna kehijauan.

   Gadis ini cantik sekali, terutama sepasang matanya yang lebar dan jernih bersinar tajam. Gadis ini bukan lain adalah Gan Ai Ling yang kini telah menjadi pengganti Im-yang kauwcu yang telah tewas di tangannya! Akan tetapi rentu saja Ling Ling tidak mau menjadi kauwcu, biarpun sedikit-sedikit dia mempelajari pula Im-yang-kauw untuk mengenal agama ini. Kalau dulu dia suka berpakaian serba hijau, kini dia suka berpakaian putih, bukan untuk meniru mendiang Im-yang kauwcu, melainkan karena dia ingin berkabung untuk ayah bundanya sungguhpun kini pembunuh ayah bundanya itu telah dia balas dan bunuh pula.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, gadis yang amat lihai dan tinggi ilmu silatnya akan tetapi masih kurang pengalaman ini terjatuh ke dalam kekuasaan sihir dari Thai-kek Seng-jin ketua Pek-lian-kauw yang mengingatkan kepada gadis itu betapa ayah bundanya dahulu adalah pembela rakyat penentang pembesar pembesar lalim, Ling Ling dapat terbujuk dan gadis ini sekarang menganggap bahwa Pek-lian-kauw dan Im-yang-kauw adalah perkumpulan orang-orang gagah, kaum patriot yang membela rakyat yang tertindas!

   Memang mudah bagi kita untuk mencela Ling Ling sebagai seorang dara yang hijau dan tidak berpengalaman dan bodoh, mau saja ditipu oieh bujuk rayu ketua Pek-lian-kauw sehingga dia mati-matian membela perkumpulan itu! Sebaiknya kalau kita menilai diri kita sendiri. Bukankah kita semua ini juga tidak banyak bedanya dengan keadaan Ling Ling?! Sampai sekarangpun, peristiwa yang menimpa diri Ling Ling itu masih terus berulang dan tanpa kita sadari, kita mendiri juga menjadi koiban Semua kelompok, semua perkumpulan, semua partai di dunia ini dalam perjuangannya tentu selalu mengangkat diri sebagai pembela rakyat.!

   Semua pemimpin golongan selalu mendengung-dengungkan perjuangan demi membela rakyat jelata, dengan kata kata penuh semangat dan amat menarik sehingga kita semua percaya secara membuta dan membantu serta membela usaha golongan itu, membela usaha partai itu,! berjuang menurut apa yang mereka gariskan secara mati-matian dan fanatik. Padahal, hampir selalu dan hal ini dapat dibuktikan dari sejarah, para pemimpin kelompok, golongan atau partai itu pada hakekatnya hanya mengejar sukses bagi diri mereka sendiri saja yang pada saat pengejarannya selalu menggunakan nama demi rakyat, demi negara dan sehagainya lagi.

   Buktinya? Sudah terlalu banyak, sudah terlalu sering, namun baru disadari setelah terlambat. Betapa banyaknya golongan atau partai yang gagal dalam perjuangannya, menjadi pecundang, menjadi buronan, yang pertama-tama menjadi korban adalah para pengikut yang tadinya tidak tahu apa-apa itulah. Dan para pemimpinnya? Para pimpinan dari partai yang kalah dan gagal itu? Sudah berbondong-bondong berlumba untuk menyelamatkan diri, melarikan diri sambil membawa harta benda yang berhasil mereka kumpulkan! Kita semua sudah melihat sendiri kenyataan ini dan telah terjadi pula di seluruh pelosok dunia.

   Dan bagaimana seandainya gotongan atau partai yang kita bela karena kita terkena bujukan itu memperoleh kemenangan dan jaya? Tak perlu kita berpura-pura, dapat kita lihat pula betapa yang jaya hanyalah beberapa gelintir orang yang tadinya menjadi pimpinan itulah. Sedangkan para pengikut yang tadinya membela perjuangan itu secara mati-matian? Dilupakan sudah! Para pengikut yang tidak tahu apa-apa itu hanya diperlukan di waktu terjadi perebutan, di waktu terjadi pertentangan, di waktu terjadi perang dan permusuhan. Kalau kalah? Para pengikut ini mati konyol lebih dulu. Kalau menang? Para pengikut ini hanya menjadi penonton dari mereka yang mabok kemenangan dan hanya menggigit jari, atau kalau kebagianpun hanya sisanya Bagaimana dengan para pemimpin yang pandai membujuk? Kalau kalah mereka berlomba melarikan diri. Kalau menang mereka berlomba pula memperkaya diri!

   Yang dipaparkan di sini bukan sekedar pendapat penuh sentimen belaka, melainkan kenyataan yang tak dapat ditutup-tutupi lagi. Demikian pula Ling Ling. Dara ini, seperti juga kita, telah terpikat oleh segala slogan dan bujuk rayu sehingga dia percaya bahwa apa yang diperbuatnya itu adalah tindakan yang benar dan gagah perkasa, bahwa dia membantu dan membela perkumpulan yang patriotik! Inilah sebabnya mengapa ketika golongannya bertemu dengan pasukan pemerintah dan pasukan itu hendak menangkap orang-orang Pek-lian-kauw yang dianggap pemberontak, dia telah mengamuk dan merobohkan banyak perajurit, mengobrak-abrik pasukan itu dengan mengandalkan kedua tangan dan kakinya yang ampuh!

   Akan tetapi, karena Ling Ling tidak mau memperkenalkan namanya, dan hal ini juga menurut nasihat Thai kek Seng jin, maka dia terkenal sebagai Im-yang-kauwcu! "Menentang pemerintah lalim sebaiknya menyembunyikan nama sendiri karena hal itu akan membahayakan diri kita. Tentu saja pemerintah mempunyai mata-mata di manapun, sehingga kalau nama kita sudah dikenal, tentu kehidupan kita menjadi tidak pernah aman, biarpun berada di mana juga."

   Demikian Thai kek Seng-jin menasihatkan. Tentu saja tujuan nasihatnya itu berbeda sama sekali dari pada yang diduga oleh Ling Ling.

   Kakek cerdik ini bermaksud agar dunia kang ouw tangan ada yang tahu bahwa puteri mend ang Gin Beng Han itu kini membantu Pek lian-kaiw, karena hal ini temtn akan mengundang banyak tokoh kang ouw untuk datang dan menyadarkan Ling Ling! Dan agaknya Ling Ling, biarpun tidak mau secara resmi menjadi Im yang-kauweu, tidak merasa rendah disangka orang sebagai ketua Im-yang-kauw yang baru, pengganti dari Kim sim Niocu. Pagi hari itu, setelah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, para tokoh Pek lian-kauw dan Im-yang-kauw ini, ditemani oleh tokoh Uighur itu, memimpin serombongan orang Pek lian kauw dan Im-yang kauw untuk menyerbu sarang Beng-kauw!

   Seperti telah diceritakan di bagian depan. Gin San pernah membuat geger di Pek-lian-kauw ketikaka dia mencari Im-yang kauwcu. Biarpun Gin San sudah bertanding beberapa gebrakan melawan Ling Ling, namun kedua orang muda ini tidak saling mengenal karena keadaan yang gelap remang-remang. Akan tetapi setelah melihat ilmu kepandaian tinggi dari pemuda itu, apa lagi ketika Gin San mampu menandingi ilmu sihir dari Thai-kek Seng-jin, para tokoh Pek lian-kauw dan Im-yang-kauw itu dapat menduga bahwa pemuda itu tentu seorang tokoh Beng-kauw. Hal ini kemudian dipastikan oleh penjelasan Liang Kok Sin bahwa memang pemuda lihai itu adalah sute dari tiga orang ketua Beng kauw.

   Kenyataan bahwa ada tokoh Beng-kauw berani mengacau itu mendatangkan rasa penasaran dan marah sekali dalam hati Thai-kek Seng-jin dan Kok Beng Thiancu. Mereka lalu membujuk Ling Ling untuk membantu. Tentu saja Ling Ling suka sekali membantu, pertama tama karena dia memang ingin sekali membasmi Beng-kauw yang menjadi biang keladi utama yang menyebabkan kematian ayah bundanya, dan ke dua karena dia memang ingin membantu semua perjuangan Pek lian-kauw dan Im-yang-kauw yang patriotik, dan ketiga kalinya karena dia ingin sekali mengadu kepandaian dengan pemuda tokoh Beng kauw yang lihai itu.

   Di antara para anak buah Im yang kauw, terdapat pula Liang Kok Sin dan Liang Hwi Nio, karena kakak beradik yang pernah menyerbu Beng-kauw ini bertugas sebagai penunjuk jalan. Demikianlah, pada pagi hari itu mereka telah mendekati sarang Beng-kauw yang masih sunyi. Guha-guha di sepanjang pantai Po-hai yang menjadi sarang Beng-kauw itu masih gelap dan sunyi, belum dimasuki sinar matahari dan agaknya orang-orang Beng-kauw masih tidur nyenyak!

   Akan tetapi, kelirulah kalau menduga bahwa orang-orang Beng-kauw itu lengah. Sebaliknya malah. Kedatangan rombongan orang Pek-lian-kauw dan Im yang kauw itu jauh-jauh telah diketahui mereka! Mereka itu sejak subuh tadi sudah siap sedia dan begitu rombongan musuh itu semua telah berkumpul di depan guha guha. tiba-tiba terdengar suitan-suitan saling sahut di sekeliling tempat itu dan muncullah para anggauta Beng-kauw dari belakang batu-batu dan para anggauta Beng-kauw yang berjumlah kurang lebih seratus orang inipun sudah mengurung tempat itu.! Orang-orang Pek-lian-kauw dan Im-yang-kauw terkejut dan bersiap siap untuk menyerbu, akan tetapi mereka melihat betapa Kok Beng Thiancu dan Thai kek Seng-jin memberi isyarat agar mereka semua tenang saja, sedangkan dara perkasa yang mereka andalkan itu berdiri tegak saja memandang dengan senyum merendahkan. Maka besarlah hati mereka dan para anggauta dua perkumpulan itu pun hanya berdiri tegak dan siap untuk bergerak apabila aba-aba sudah dikeluarkan.

   Kok Beng Thiancu yang dianggap sebagai pimpinan penyerbuan ini karena dialah ketua dari Im-yang pai, segera membuka mulut berkata, suaranya dalam dan mengandung getaran amat kuat karena kakek yang gagah ini sudah mengerahkan khikangnya untuk membuat suaranya bergema sampai jauh.

   "Kami pimpinan Im-yang-pai mengundang pimpinan Beng-kauw agar keluar dan bicara dengan kami sebagai laki-laki, bukan hanya bersembunyi dan mengandalkan anak buah untuk menakut nakuti kami!"

   Karena suara itu bergetar hebat, maka para anggauta Beng-kauw menjadi terkejut juga, dan suasana menjadi sunyi setelah gema suara itu lenyap. Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dari sebuah guba yang besar tak jauh dari situ, suara ketawa inipun bergema dengan nyaringnya, apa lagi karena keluar dari sebuah guha maka gaungnya lebih kuat dari pada suara Kok Beng Thiancu yang membuyar di tempat terbuka.

   "Ha-ha-ha, sudah lengkaplah persekutuan busuk itu! Kok Beng Thiancu dari lm-yang-pai Thai-kek Seng-jin dari Pek-lian-kauw, dan Gu Lam Sing dari Uighur! Agaknya menghimpun kekuatan untuk menentang kami, ha ha-ha!"

   Suara itu belum lenyap gaungnya ketika tiba tiba dari dalam guha itu keluar gulungan asap hitam dan dari dalam asap ini muncullah tiga orang kakek ketua Beng-kauw yang melangkah menghampiri pimpinan Pek-lian-kauw dan Im-yang-pai itu sambil tersenyum lebar dan pandang mata mengejek. Mereka itu adalah Kwan Cin Cu, Hok Kim Cu dan Thian Bhok Cu. Melibat munculnya tiga orang ketua mereka para anak buah Beng-kauw menjadi tabah dan besar hati, maka merekapun tersenyum-senyum mengejek dan membusungkan dada.

   Setelah mereka berhadapan muka. Kok Beng Thiancu menjadi merah mukanya karena dia teringat betapa Beng-kauw telah banyak melakukan hal-hal yang merugikan perkumpulannya. Akan tetapi, sesuai dengan sikap seorang pemimpin besar perkumpulan Im-yang-pai yang terkenal, dia menjura kepada mereka dan berkata.

   "Agaknya kami berhadapan dengan tiga orang ketua Beng-kauw yang bernama Kwan Cin Cu, Hok Kim Cu, dan Thian Bok Cu. Benarkah?"

   Kwan Cin Cu yang biasanya pendiam itu kini maju menjawab. Menghadapi tamu penting seperti ini, maka dialah yang meniawab sendiri selaku ketua nomor satu dari Beng-kauw wilayah utara dan timur ini.

   "Dugaanmu benar, Kok Beng Thiancu. Biarpun baru sekarang kita saling bertemu muka, namun kita sudah saling mengenal nama lama sekali. Ketua lm-yang pai datang bersama sekutunya dan anak buahnya, apakah demikian pengecut untuk tidak datang sendiri melainkan mengandalkan banyak orang?"

   Sepasang mata Kok Beng Thiancu seperti mengeluarkan sinar kilat.

   "Sudah lama kami mendengar nama besar tiga ketua dari Beng-kauw dan merasa beruntung hari ini dapat berhadapan muka. Kami adalah laki-laki sejati, bukan seperti orang-orang yang suka berlaku curang dan pengecut, menggunakan nama perkumpulan lain untuk mengacau di Cin-an seperti yang telah dilakukan oleh Beng-kauw beberapa tahun yang lalu. Kemudian tokoh terbesar dari Beng-kauw telah begitu tak bermalu pula untuk melayani murid-murid kami yang muda. Telah terlalu banyak perhitungan bertumpuk antara Beng-kauw dan Im-yang-pai. maka hari ini sengaja kami datang untuk menyelesaikannya!"

   Tiga orang ketua Beng-kauw itu masih tenang-tenang saja dan tersenyum mengejek. Melihat yang muncul hanya ketua Im-yang pai, ketua Pek-lian-kauw wilayah timur , dan tokoh pertengahan Uighur, bersama seorang dara yang masih amat muda, mereka sama sekali tidak merasa jerih karena mereka sudah mendengar sampai di mana kelihaian tiga orang tokoh itu dan merasa bahwa mereka masih mampu menandingi lawan. Juga jumlah anak buah

   fihak musuh kurang lebih seratus orang itu bukan merupakan lawan berat. Tadinya mereka masih khawatir kalau Im-yang-kauwcu ikut bersama fihak lawan, karena mereka tahu bahwa kauwcu yang cantik itu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari ayahnya, ketua Im-yang-pai. Akan tetapi ternyata wanita cantik itu tidak ikut datang sehingga hati mereka merasa lega.

   "Kok Beng Thiancu, kami adalah fihak tuan-rumah, akan tetapi kami sudah biasa menghargai tamu. Nah, sekarang boleh kau pilih sendiri, apakah kalian akan majukan jagoan untuk melawan kami seorang lawan seorang, ataukah akan main keroyokan? Silakan pilih sesukamu!"

   Tantangan yang keluar dari mulut Kwan Cin Cu ini tentu saja merupakan ejekan yang amat memandang rendah kepada fihak lawan.

   Kok Beng Thiancu memang sudah bersepakat dengan sekutunya bahwa untuk menghadapi tiga orang ketua Beng-kauw, yang akan maju adalah dia sendiri, Thai-kek Seng-jin, dan Ling Ling. Maka mendengar tantangan itu dia menjawab.

   "Kami tahu bahwa semua kejahatan yang dilakukan oleh Beng-kauw terhadap kami adalah diatur oleh kalian bertiga. Oleh karena itu, kedatangan kami untuk membuat perhitungan dengan kalian bertiga pula, kalau mungkin, tanpa mencampurkan anak buah kita ke dalam pertandingan. Tiga ketua Beng-kauw, kami bertiga menantang kalian untuk mengadu kepandaian secara adil dan gagah!"

   Ketika ketua Im-yang-pai berkata demikian, Thai-kek Seng-jin dan Ling Ling telah maju dan berdiri di sampingnya.

   Tiga orang ketua Beng-kauw itu terkejut melihat majunya Ling Ling. Sama sekali tidak disangkanya bahwa gadis itu yang akan maju, mereka menyangka bahwa tentu jago Uighur itu yang akan menjadi orang ke tiga. Akan tetapi mereka tidak merasa khawatir dan ketiganya tertawa bergelak. Mereka tahu bahwa di antara para lawan ini, hanya Thai-kek Seng-jin yang memiliki kepandaian tinggi dan yang merupakan lawan berat. Maka mereka bertiga lalu saling memberi isyarat, tangan mereka bergerak dan nampaklah sinar berkilauan ketika Kwan Cin Cu sudah mencabut golok peraknya, Hok Kim Cu mengeluarkan pedang emasnya, dan Thian Bbok Cu menggerakkan tongkat kayunya.

   "Ha-ha, kami bertiga sudah siap. Kalian majulah kalau sudah bosan hidup!"

   Kata Kwan Cin Cu yang menghadapi Thai-kek Seng-jin, sedangkan Hok Kim Cu menghadapi Kok Beng Thiancu sedangkan Thian Bhok .Cu menghadapi Ling Ling.

   "Tahan dulu!"

   Tiba-tiba Ling Ling membentak nyaring, suaranya mengandung getaran yang amat kuat.

   "Harap ji-wi mundur dulu dan biarkan aku bicara dengan manusia iblis ini!"

   Katanya kepada Kok Beng Tbiancu dan Thai-kek Seng-jin. Dua orang kakek ini mengangguk dan melangkah mundur, karena memang mereka ingin mempergunakan dara yang amat lihai ini untuk menghadapi para musuh mereka.

   Tiga orang ketua Beng kauw kini memandang kepada Ling Ling dengan alis berkerut. Kwan Cin Cu yang selalu berhati-hati tidak memandang rendah, hanya menduga-duga siapa gadis ini, karena kalau gadis ini seorang tokoh Im yang-kauw atau Pek lian kauw, mengapa namanya belum pernah terkenal di dunia kang-ouw, sebaliknya kalau bukan tokoh besar, tidak mungkin diajukan sebagai jagoan. Hok Kim Cu memandang dengan wajah berseri, menaksir naksir dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau dia bisa memperoleh keturunan dari seorang gadis yang begini cantik jelita dan gagah perkasa. Sedangkan Thian Bhok Cu yang selamanya tidak suka kepada wanita itu memandang Ling Ling dengan penuh kebencian."

   "Eh. kalian tiga orang kauwcu dari Beng-kauw. Kalau kalian bukan pengecut-pengecut tak tahu malu, tentu kalian akan mengakui semua perbuatan kalian dan berani bertanggung jawab. Aku bertanya, apakah sepuluh tahun yang lalu orang-orang kalian mengacau di Cin-an dengan menyamar sebagai orang-orang Im-yang-pai.

   Kwan Cin Cu merasa tidak perlu lagi menutupi kenyataan itu karena memang dia tahu ketika datang Cin Beng Thiancu dan dua orang muda Im-yang-kauw tempo hari bahwa fihak Im-yang-kauw telah mengetahui rahasia itu. Maka dengan mengangkat dada dia berkata.

   "Kalau benar demikian, engkau mau apakah dan siapakah engkau, nona muda?"

   "Perbuatan Beng-kauw yang pengecut dan curang itu telah menjadi sebab kematian pendekar Gan dan isterinya,"

   Kata Ling Ling yang tidak mau memperkenalkan diri.

   "kedatanganku ini untuk menebus kematian mereka. Pertama-tama aku ingin sekali bertemu dengan mereka yang sepuluh tahun lalu mengacau di Cin-an, kalau tidak salah, ada beberapa orang saikong dan nenek iblis. Aku tantang mereka untuk keluar dan melawanku, sebelum kami membuat perhitungan dengan kalian tiga orang ketua Beng-kauw!"

   Ucapan yang lantang ini membuat semua anggauta Beng-kauw merasa penasaran. Gadis itu masih muda sekali, kelihatan lemah, mengapa berani mengeluarkan suara besar seperti itu?

   Kwan Cin Cu saling pandang dengan dua orang saudaranya. Dia berpikir bahwa gadis ini agaknya seorang tokoh baru fihak musuh, sama sekali tidak terkenal sehingga sukar untuk mengukur kepandaiannya. Sekarang gadis itu menantang murid-murid mereka yang dahulu bertugas mengacau di Cin-an, sungguh merupakan kesempatan baik untuk mengujinya. Maka dia lalu memandang ke kiri dan berkata.

   "Ui-bin dan Hek-bin, kalian ditantang, majulah dan layani nona ini!"

   Sejak tadi memang Ui-bin Sai-kong dan Hek bin Sai-kong yang merasa penasaran menyaksikan sikap para musuhnya, apalagi mendengar tantangan gadis itu. Kini, mendapat perintah guru mereka, keduanya sudah cepat meloncat ke depan dan menghadapi Ling Ling.

   "Kami berdua yang dulu mengacau di Cin-an!"

   Kata Hek-bin Sai-kong yang bermuka hitam penuh brewok itu.

   "Engkau siapakah dan mau apa?"

   Ling Ling memandang kedua orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dia mengingat-ingat dan dia mengenal mereka itu. Ya, dia teringat akan dua orang saikong yang dulu hampir saja membunuh dia dan Sian Lun ketika mereka berdua membantu Pek I Nikouw melawan dua orang saikong ini. Maka dia mengangguk-angguk dan berkata.

   "Benar, aku ingat kepada kalian! Akan tetapi mana itu dua orang nenek iblis yang dulu mengacau di belakang Kuil Ban-hok-tong di Cin-an? Suruh mereka berdua maju sekalian untuk kubereskan!"

   Dua orang saikong itu terkejut dan marah. Mereka tentu saja tidak mengenal lagi gadis ini sebagai anak perempuan yang dulu membantu Pek I Nikouw. Ketika dara remaja ini bertanya tentang dua orang nenek yang bukan lain adalah Mo-kiam Kui-bo dan Leng-kiam Kui bo, mereka makin marah, teringat betapa dua orang sumoi mereka itu telah tewas pula di tangan dua orang muda Im-yang kauw.

   "Bocah sombong! Untuk menghadapi engkau, cukup dengan kami berdua!"

   Bentak Ui-bin Sai-kong sambil menggerakkan kedua tangannya yang memegang senjata kongce, semacam tombak trisula yang pendek. Hek-bin Sai-kong juga sudah mencabut sepasang pedangnya dan memasang kuda-kuda.

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini