Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 41


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 41



Sekali kita diperhamba oleh bayang bayang yang kita kejar yang kita namakan cita cita, ambisi, dan sebagainya, maka untuk selamanya kita akan diperbudak olehnya, kita terseret ke dalam arus keinginan yang tak kunjung habis. Segala sesuatu yang ada tidak nampak lagi, tidak indah lagi, tidak menyenangkan lagi karena yang dianggap paling menyenangkan adalah yang belum dicapai atau didapatkan itulah, si bayang-bayang itulah! Jelas bahwa pengejaran terhadap bayang-bayang yang dianggap paling menyenangkan, dianggap akan mendatangkan bahagia ini, merupakan awal dari serangkaian penderitaan hidup yang tiada habisnya. Karena itu, pertanyaan yang amat penting untuk kita renungkan adalah: Mungkinkah kita hidup bebas dari bayang-bayang ini, bebas dari segala keinginan untuk mencapai atau mendapatkan sesuatu yang tidak atau belum ada? Mungkinkah kita hidup tanpa mengejar sesuatu yang belum ada? Melainkan hidup sepenuhnya dengan apa yang ada?

   Baru saja terlaksana apa yang dicitakan oleh Thio-thaikam untuk dapat menguasai istana, mulailah dia melihat keadaan-keadaan yang amat menggelisahkan dan amat membingungkan hatinya, yang sama sekali tidak indah seperti yang dibayang-bayangkan semula. Mulailah dia bingung melihat betapa pasukan pasukan asing itu tidak saja merampok, membunuh, dan memperkosa penduduk kota raja, bahkan para pimpinan Tibet, Khitan dan anak buah mereka itu agaknya mendesak agar puteri-puteri istana diserahkan kepada mereka!

   Biarpun dia telah mengkhianati kaisar, namun semua itu dilakukan demi untuk memenuhi ambisinya, untuk mencari dan memperebutkan kedudukan yang tertinugi baginya, akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa dia merasa benci bangsanya. Sama sekali tidak, dan tetutama sekali dia tidak ingin melihat puteri-puteri istana menjadi korban para orang asing yang telah menduduki kota raja ini. Semenjak kanak-kanak dia tinggal di dalam istana, maka dia merasa seperti telah menjadi keluarga istana, mana mungkin dia menyerahkan para putri itu kepada para pimpinan bangsa liar.

   Dia tidak menghendaki puteri-puteri istana dihina maka dia telah mengumpulkan para puteri, termasuk keluarga kaisar, ke dalam harem dan dijaga oleh pasukan pengawal orang-orang thaikam yang memiliki kepandaian, dia tidak memperkenankan siapapun juga memasuki daerah ini. Kalau Thio thaikam sudah bersekutu dengan orang-orang Tibet dan Khitan, hal ini dilakukan bukan karena dia suka kepada bangsa-bangsa yang dianggapnya liar ini, melainkan karena dia membutuhkan tenaga bantuan mereka untuk mencapai cita-citanya, yaitu merebut kekuasaan tertinggi di istana. Dia sama sekali tidak bermaksud tunduk kepada mereka.

   Menghadapi desakan para pimpinan orang liar itu yang menghendaki agar para puteri diserahkan kepada mereka, Thio-thaikam lalu menggunakan akal, yaitu dia memaksa para dayang yang rata rata masih muda dan cantik cantik di istana, untuk mewakili para puteri itu melayani para pimpinan orang Tibet dan Khitan! Sungguh patut dikasihani para dayang ini. Mereka itu sebagian besar adalah perawan-perawan yang masih muda, cantik dan pandai. Kini mereka seperti sekumpulan domba-domba yang lemah digiring memasuki kandang dimana menanti segerombolan serigala yang haus darah! Mereka tidak berani menolak atau membantah karena maklum bahwa hal itu percuma saja, bahkan nasib mereka akan menjadi makin buruk.

   Ada beberapa orang dayang yang berani menolak, dan mereka ini malah dipaksa dan diserahkan kepada para anak buah rendahan dan mereka menderita nasib yang amat mengerikan, diperkosa oleh banyak sekali orang yang buas sampai mereka tewas dalam waktu beberapa hari saja! Jauh lebih baik diberikan kepada para pimpinan pasukan musuh, karena dengan demikian mereka dikuasai oleh satu orang saja! Karena inilah maka para dayang itu terpaksa menyerahkan diri kepada siapa mereka diserahkan oleh Thio-thaikam, dan memaksa senyum di balik air mata mereka.

   Kalau menghadapi para pimpinan orang Tibet bagi Thio-thaikam masih mudah dan dia dapat memuaskan hati mereka dengan penyuguhan dayang-dayang muda cantik sebagai pengganti para puteri istana, tidak demikian ketika dia menghadapi tuntutan Ah Hun Kiong! Orang ini yang merasa sebagai keponakan mendiang pemberontak An Lu Shan yang juga sudah pernah berhasil merampas tahta kerajaan, dan merasa bahwa dia berdarah "bangsawan", maka An Hun Kiong menjadi penasaran dan marah ketika dia hendak disuguhi seorang dayang pilihan.

   Dia merasa direndahkan dan dia menuntut agar seorang puteri istana diserahkan kepadanya! bingunglah Thio-thaikam! Akan tetapi, pembesar yang cerdik ini segera teringat akan seorang wanita, Ci Siang Bwee! Ya, siapa lagi yang dapat menolongnya kecuali gadis itu. Gadis itu biarpun tidak sepenuhnya berdarah bangsawan, namun tidak ada bedanya dengan puteri istana, baik mengenai kecantikannja maupun kepandaian dan tata susila istana. Maka dia cepat menyuruh panggil wanita ini dari gedung panglima baru yang kini belum juga kembali ke kota raja semenjak diberi tugas membasmi perkumpulan Pek-lian kauw itu.

   Dengan wajah agak pucat karena khawatir Ci Siang Bwee datang memenuhi panggilan thaikam ini. Dia merasa tidak enak dan gelisah sekali. Semenjak terjadi keributan, dia selalu bersembunyi di dalam kamar dan merasa khawatir sekali karena majikannya atau pria yang dikasihinya, Tan Sian Lun, belum juga pulang. Untung baginya bahwa rumah itu tidak diganggu oleh. para penyerbu, karena Tan Sian Lun dianggap sebagai seorang di antara anak buah Thio thaikam dan gedung ini dijaga oleh anak buah Thio thaikam.

   Ketika melihat gadis cantik itu berlutut didepannya dengan wajah pucat dan tubuh agak gemetar, Thio thaikam cepat berkata.

   "Ah, baik sekali engkau datang, Siang Bwee. Sekaranglah saatnya engkau membalas segala budi yang selama ini kulimpahkan kepadamu. Aku berada dalam kesulitan besar dan hanya engkaulah ang akan dapat menolongku!"

   Siang Bwee mengerutkan alisnya. Orang macam pembesar ini bagaimana bisa berada dalam kesulitan, pikirnya. Begitu mendengar bahwa Thio-thaikam berkhianat dan bersekutu dengan orang-orang Tibet yang menyerbu dan menduduki kota raja, kebencian dalam hati Siang Bwee terhadap

   pembesar kebiri ini makin mendalam.

   "Taijin, bagaimana mungkin seorang seperti saya ini dapat menolong taijin?"

   Tanyanya dengan suara gemetar dan jantungnya berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan.

   "Siang Bwee yang manis, yang baik budi,, sekali ini tanpa pertolonganmu, aku akan celaka, bahkan seluruh keluarga kaisar akan celaka!"

   Hemm, seolah-olah engkau memperdulikan nasib keluarga kaisar, pikir Siang Bwee. Justeru pengkhianatanmulah yang mencelakakan kaisar dan sekeluarganya!

   "Taijin, apakah yang dapat saya lakukan?"

   Tanyanya karena dia ingin segera mendengar apa yang dikehendaki oleh manusia yang berhati palsu ini.

   "Siang Bwee, An sicu, yaitu An Hun Kiong pemimpin orang-orang Khitan itu, dia menghendaki seorang puteri istana. Aku tidak dapat menolaknya, dan satu-satunya jalan bagiku hanya mengharapkan pertolonganmu. Engkau seoranglah yang pantas untuk mewakili dan menyamar sebagai puteri istana, dan melayaninya.!"

   Seketika pucatlah wajah cantik dari Siang Bwee ketika dia mendengar ucapan pembesar yang berperut gendut dan bersikap kewanita-wanitaan itu. Matanya terbelalak memandang wajah thaikam itu dan sejenak dia tidak mampu mengeluarkan suara karena rasa takut dan ngeri seperti mencekik lehernya dari dalam.

   "Tapi"".. tapi""."

   "Tidak ada tapi, Siang Bwee. Ingat, kita harus membela negara, harus menyelamatkan keluarga istana! Kalau enekau menolak, berarti keluarga istana terancam bahaya dan engkau sendiripun akhirnya tidak akan dapat menyelamatkan diri. Sebaliknya, kalau engkau menerima dengan suka rela, bukan hanya engkau berjasa terhadap istana, terhadap negara, terhadap aku, akan tetapi juga engkau akan hidup terhormat dan mulia karena An sicu adalah seorang yang berpengaruh dan berkedudukan tinggi "

   Ingin Siang Bwee memaki dan mengingatkan bahwa orang macam Thio-thaikam tidak patut bicara tentang membela negara! Seorang pengkhianat seperti pembesar ini dapat membujuk orang lain untuk berkorban demi keselamatan keluarga kaisar! Sungguh tidak tahu malu sekali dan bermuka tebal. Akan tetapi dia tahu bahwa di balik kemanisan sikap dan kata-kata ini, Thio-thaikam mengancam dan pembesar ini mempunyai kekuasaan mutlak atas dirinya, apa lagi karena sampai sekarang Tan-ciangkun yang merupakan satu-satunya orang yang dapat dipercaya dan diharapkan untuk menolongnya, belum juga pulang.

   "Tapi""..taijin, saya"".saya tidak mungkin melakukan itu"".harap taijin ingat bahwa saya".. saya bukan gadis lagi, saya adalah isteri Tan-ciangkun".."

   Siang Bwee berkata dengan suara terputus-putus, mengharapkan Thio-taijin akan membatalkan niatnya itu mengingat bahwa dia bukan gadis lagi, dan juga mengharapkan agar pembesar ini akan jerih mengingat kepada Tan-ciangkun yang lihai. Akan tetapi, hatinya menjadi semakin kecut dan gelisah ketika dia melihat pembesar gendut itu tertawa bergelak mendengar ucapannya,

   "Ha-ha ha, Siang Bwee, apakah engkau kira aku begitu bodoh sehingga tidak tahu bahwa sampai saat ini engkau masih seorang gadis tiada bedanya seperti dahulu sebelum engkau diserahkan kepada Tan-ciangkun oleh kaisar? Engkau belum pernah disentuh oleh Tan-ciangkun! Engkau tidur terpisah dari Tan-ciangkun, semenjak engkau memasuki gedungnya sampai sekarang. Tidak perlu engkau membohongi aku!"

   Siang Bwee terkejut bukan main. Tahulah dia kini bahwa di dalam rumah Tan-ciangkun tentu terdapat mata-mata, dan bukan tidak boleh jadi bahwa seorang di antara para pelayan itu adalah mata-mata pembesar ini. Dia tidak mampu membantah dan hatinya terasa makin gelisah. Akan tetapi karena dia didesak dan tidak melihat jalan keluar untuk melarikan diri lagi, dia lalu menangis dan dengan nekat dia lalu berkata.

   "Tidak taijin! Saya tidak mau"". dan kalau saya dipaksa, saya akan membunuh diri""..! Saya adalah milik Tan-ciangkun"". dan sampai mati saya akan setia kepadanya!"

   Marahlah Thio-thaikam.

   "Hemm, Siang Bwee, lupakah engkau kepada siapa engkau bicara? Kalau tidak ada aku, apa kaukira engkau akan bisa menjadi seorang seperti sekarang ini? Aku telah mengangkat derajatmu, mendidikmu dan memeliharamu, kemudian mengangkatmu sampai engkau menjadi dayang kaisar dan bahkan terpilih dan hampir menjadi selir kaisar, kemudian atas bujukanku pula engkau diserahkan kepada Tan-ciangkun oleh kaisar, dan sekarang engkau berani bicara seperti ini kepadaku?"

   Siang Bwee menangis dan menyentuh lantai dengan dahinya.

   "Ampun, taijin"". akan tetapi""". saya mencinta Tan-ciangkun, dan ya"".. saya akan bersetia kepadanya sampai mati"".."

   "Perempuan bodoh! Engkau ditampik olehnya dan engkau masih ingin bersetia sampai mati? Engkau mencintanya padahal dia tidak cinta kepadamu? Apakah engkau akan menyia-nyiakan dirimu, kecantikanmu dan kemudaanmu? Siang Bwee, kini kesempatan baik terbuka bagimu, Kerajaan Tong-tiauw telah jatuh dan An-sicu adalah seorang yang tinggi kedudukannya. Siapa tahu engkau akan menjadi seorang yang paling tinggi kedudukanmu kelak. Buanglah segala sikap kekanak-kanakanmu itu dan pergunakan kesempatan ini!"

   Akan tetapi Siang Bwee yang masih berlutut itu menangis sampai mengguguk sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Tidak"..! uhu-huh"".. tidak"".."

   Melihat bahwa bujukan-bujukannya tidak berhasil dan bahwa mempergunakan paksaan amat tidak baik karena tentu An Hun Kiong tidak akan merasa senang menerima seorang wanita yang dipaksa, apa lagi mungkin saja Siang Bwee akan benar-benar membunuh diri, maka pembesar yang cerdik itu lalu merobah siasat. Dia tahu bahwa gadis ini jatuh cinta kepada Tan Sian Lun, biarpun pemuda itu tidak pernah menjamahnya, maka dia hendak menggunakan kelemahan ini untuk memaksanya,

   "Baiklah! Engkau hendak bersetia sampai mati? Engkau hendak membunuh diri kalau dipaksa melayani An-sicu? Hemm, tidak semudah dan seenak itu, Siang Bwee. Sebelum engkau mati, engkau akan lebih dulu melihat Tan-ciangkun kusuruh tangkap dan kusuruh siksa di hadapanmu sampai mati!"

   Tiba-tiba suara sesenggukan itu terhenti seketika dan wajah yang pucat dan basah air mata itu diangkat, memandang kepada wajah Thio-thaikam dengan mata terbelalak, kepalanya digoyang-goyang dan bibirnya yang gemetar itu berkata lirih.

   "Tidak"", jangan"". jangan taijin""

   Ahhh, jangan bunuh dia""."

   "Hal itu sepenuhnya berada dalam telapak tanganmu sendiri. Siang Bwee. Jangan engkau minta kepadaku karena engkaulah yang menentukan apakah Tan-ciangkun akan mati atau hidup. Kalau engkau mau menyerahkan diri secara sukarela kepada An-sicu, berarti Tan-ciangkun selamat, bahkan aku sendiri yang akan melindunginya kalau dia kembali ke kota raja Akan tetapi kalau engkau menolak"".!"

   "Saya terima"". ah, apapun akan saya lakukan demi keselamatannya"".."

   Dan gadis itu menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya dan hatinya menjeritkan nama Sian Lun.

   "Nah, itu baru benar dan baik. Siang Bwee. engkau mengorbankan diri demi negara dan erajaan. Pula, engkau akan dihormati, dimuliakan dan dicinta, maka hal itu sama sekali bukan pengorbanan diri, engkau malah akan hidup beruntung dan mulia!"

   Persetan dengan negara dan kerajaan dan Thio-thaikam! Demikian hati gadis itu memaki. Dia meogorbankan diri demi kcselamatan Tan Sian Lun, itu saja! Andaikata tidak untuk pemuda itu, biar dia diangkat menjadi permaisuri sekalipun, dia tidak akan sudi!

   "Nah, engkau berkemaslah dan rias dirimu baik-baik dan secantik-cantiknya. Ingat, engkau akan kuserahkan kepada An sicu bukan sebagai seorang dayang istana, bukan pula sebagai dayang dari Tan-ciangkun, melainkan sebagai seorang puteri istana Maka engkau harus mengenakan pakaian puteri istana dani bersikap sebagai puteri istana."

   Sambil menangis, Siang Bwee lalu mengundurkan diri dan terpaksa dia merias dirinya kemudian dia dibawa dalam sebuah joli, diantar ke istana, ke kamar An Hun Kiong, dituntun ke kamar itu seperti seekor domba dituntun memasuki kandang harimau untuk menjadi mangsa harimau buas!

   Dan Siang Bwee hanya bisa menangis ketika dia terpaksa menyerahkan dirinya kepada An Hun Kiong. Biarpun pria ini cukup gagah dan tampan, namun dia memejamkan mata dan membayangkan bahwa dia menyerahkan diri bukan kepada orang lain, melainkan kepada Sian Lun! Hanya secara demikianlah maka dia mampu menyerahkan dirinya dalam pelukan dan rayuan pria itu.

   Malam yang sunyi dan gelap, Kota raja seperti kota mati semenjak pasukan Tibet dan Khitan mendudukinya sepekan yang lalu. Selain banyak penduduk kota raja yang melarikan diri mengungsi ke selatan, yang masih tinggal di dalam kota raja tidak berani keluar rumah, apalagi di malam hari. Bahkan rumah-rumah yang biasanya kalau malam diberi lampu gantung di depannya, kini gelap sama sekali. Hal ini tentu saja menambah gelap jalan-jalan raya dan menambah sunyi menyeramkan malam itu. Di sana-sini terdengar ratap tangis dari keluarga yang kehilangan anak gadisnya, kehilangan suami, kehilangan harta.

   Namun ratap tangis itu ditahan-tahan, karena di samping kedukaan yang besar itu terdapat pula rasa takut kalau-kalau mereka akan tertimpa malapetaka lebih hebat lagi dari pada sekedar kehilangan itu, yaitu malapetaka yang berupa maut. Yang nampak di jalan-jalan hanyalah para perajurit Tibet yang mabok-mabokan, ada pula beberapa orang penduduk kota raja yang sudah berbaik dengan mereka ini, bahkan mempergunakan kesempatan itu untuk mengeruk keuntungan dari persahabatan ini, dengan jalan menjilat-jilat.

   Dalam keadaan kacau, makin banyak bermunculan orang-orang seperti ini. Mereka ini sudah kehilangan rasa malunya, bahkan mereka itu berjalan di samping perajurit-perajurit Tibet dengan dada dibusungkan, seolah-olah pengkhianatan dan penjilatan mereka itu merupakan suatu keberanian yang patut dibanggakan! Mereka ini bahkan lebih ganas dari pada para perajurit musuh itu sendiri! Mereka menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan keuntungan lahir dan batin, menjadi petunjuk bagi para perajurit yang berpesta-pora itu untuk menunjukkan di mana para perajurit itu bisa mendapatkan gadis-gadis muda dan cantik. Tentu saja mereka sendiripun mendapatkan bagian Orang orang seperti ini tinggal mendatangi sebuah keluarga yang sudah setengah mati ketakutan itu, mengancam akan melaporkan mereka sebagai mata mata kalau tidak mau menyerahkan anak gadisnya, atau sejumlah uang atau perhiasan, kepada orang orang yang mempergunakan kesempatan untuk melampiaskan nafsu-nafsu jahat mereka itu.

   Peristiwa-peristiwa seperti itu bukanlah dongeng kosong belaka. Dapat dilihat terjadi di manapun di bagian dunia ini, dari jaman dahulu sampai sekarang di jaman modern. Manusia telah begitu diperhamba oleh nafsu nafsu keinginan mengejar kesenangan, dan di dalam pengejaran ini timbullah kekerasan kekerasan dan kekejian-kekejian, tidak memperdulikan kesengsaraan orang lain, perasaan cinta kasih antar manusia lenyap sama sekali.

   Nafsu-nafsu keinginan menyesak di dalam dada dan menanti kesempatan. Maka begitu terdapat kesempatan, pecahlah semua bendungan dan nafsu-nafsu ini merajalela, menyeret manusia ke dalam segala perbuatan biadab yang amat keji! Hukum rimba selalu masih mencengkeram batin manusia, baik di jaman dahulu maupun di jaman sekarang ini. Siapa kuat dia menang dan siapa menang dia berkuasa, kemudian siapa berkuasa dia MESTI BENAR! Demikianlah maka terjadi penindasan penindasan, menggunakan hak kekuasaan untuk bersikap dan bertindak sewenang-wenang, menindas yang lemah dan tidak berdaya.

   Kenyataan seperti ini terjadi di mana-mana di seluruh dunia ini dan siapakah yang dapat menyangkal kebenarannya? Segala cara yang ditempuh manusia telah mengalami kegagalan sama sekali! Tidak akan ada cara apapun, tidak akan ada orang lain yang dapat merobah keadaan ini yang disebabkan oleh KITA SENDIRI. Kita semua bertanggung jawab akan terciptanya "peradaban"

   Dan "kebudayaan"

   Yang bejat seperti ini. Kita semua yang harus menanggulangi, bukan dengan jalan merobah keadaan yang disebabkan oleh kita sendiri, bukan dengan cara merobah orang lain, melainkan dengan satu-satunya cara, yaitu: ADANYA PEROBAHAN PADA DIRI SENDIRI! Kita ini penyebab semua itu, penyebab kebencian, persaingan, permusuhan, iri hati, perbedaan suku dan bangsa, perang.

   Oleh karena itu, selama kita tidak berobah, maka keadaan yang menjadi akibat dari pada sikap batin dan perbuatan kita itu tak mungkin dapat berobah pula! Perebahan diri sendiri hanya mungkin terjadi kalau kita mengenal diri sendiri, dan pengenalan diri sendiri, kepalsuan sendiri, kemunafikan sendiri, kekotoran sendiri, ini baru terlaksana kalau kita membuka mata, mengamati diri sendiri lahir batin setiap saat!

   Berbagai macam agama memenuhi dunia ini, dipeluk oleh manusia. Semenjak ribuan lahun yang lalu manusia sudah mengenal agama, dan di jaman ini kiranya tidak ada orang yang tidak memeluk sesuatu agama, kepercayaan, atau aliran tertentu. Akan tetapi mengapa dunia masih begini kalut, mengapa perang masih selalu merajalela dan berkobar, mengapa cinta kasih antar manusia masih jauh dari kenyataan hidup sehari-hari, mengapa kebencian, pertentangan, permusuhan masih selalu memenuhi kehidupan kita ini? Kalau kita mau membuka mata melihat keadaan seperti apa adanya, kalau kita mau mengenal diri sendiri, maka akan nampaklah nyata bahwa semua itu adalah karena semua agama, kepercayaan dan aliran atau isme apapun juga hanya menjadi semacam tempat pelarian saja bagi kita. Kita ini mau enaknya saja, hanya mau memperoleh hiburan, jaminan, kepuasan kesenangan, dari agama-agama, kepercayaan, aliran yang kita anut.

   Kita mau enaknya saja, tanpa menghayati isinya atau intinya. Kita tidak memperoleh apinya, hanya mengejar abu dan asapnya saja. Orang yang betul-betul beragama, bukan hanya mengaku beragama, tidak akan mengenal kebencian, tidak akan mengenal permusuhan Sayang, kita ini hanya pandai mengaku saja bahwa kita beragama, padahal, agama tidak mungkin terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Agama dalam arti yang sebenarnya adalah hidup benar, hidup bajik, hidup bersih! Dan ini baru menjadi kenyataan kalau batin kita penuh dengan sinar cinta kasih! Tanpa adanya sinar cinta kasih dalam batin, maka semua yang kita lakukan adalah pura pura dan palsu belaka. Tidakkah kita dapat melihat kenyataan semua ini kalau kita membuka mata?

   Suasana di kota raja amat menyeramkan. Kesunyian hanya kadang-kadang dipecahkan oleh suara ketawa perajurit-perajurit Tibet atau Khitan atau antek-anteknya yang mabok dan berjalan sempoyongan di tengah jalan bergandeng tangan, bernyanyi dengan suara parau. Ada pula lapat-lapat terdengar jerit jerit tertahan suara wanita ketakutan. Perkosaan masih terjadi di mana saja, baik di tepi. tepi jalan, di dalam rumah-rumah penduduk sampai ke dalam istana! Di antara wanita yang menangis terisak-isak di waktu malam itu termasuk pula Siang Bwee!

   Akan tetapi tangisnya itu telah terjadi dua hari yang lalu, dan kini dia hanya tinggal rebah terlentang dengan sepasang mata sayu, seperti tak bersemangat lagi, rebah di samping tubuh seorang pria yang tergolek di sampingnya, yang lengan kirinya masih memeluk pinggangnya, tubuh An Hun Kiong yang telah menjadi suaminya tanpa pernikahan! Dia menerima nasib, air matanya telah kering, namun bayangan wajah Sian Lun tak pernah lenyap dari depan matanya, baik di waktu dia terpaksa harus melayani An Hun Kiong maupun selagi dia rebah tak dapat pulas itu, walaupun dia mengalami keletihan lahir batin.

   Tiga sosok bayangan hitam berkelebat di atas wuwungan rumah-rumah di kota raja. Mereka itu berloncatan yang luar biasa, cepat namun tetap waspada dan hati-hati. Kaki tiga orang ini sama sekali tidak pernah menimbulkan suara, mengerahkan ginkarg mereka dan berloncatan dari atap ke atap. Mereka adalah Tan Sian Lun, Gan Ai Ling, dan Coa Gin San, Tan Sian Lun berjalan di depan sebagai penunjuk jalan karena pemuda yang telah menjadi seorang perwira di kota raja ini mengenal jalan.

   Seperti telah diceritakan di bagian depan, tiga orang muda ini saling berjumpa dan bersama-sama mereka pergi mengunjungi keluarga Yap Yu Tek yang tinggal di An-kian. Di An-kian inilah mereka mendengar tentang penyerbuan pasukan Tibet yang menduduki kota raja. Mendengar ini tiga orang muda yang sakti itu lalu pergi ke kota raja dan sebelum memasuki kota raja, dengan kaget Sian Lun mendengar bahwa berhasilnya pasukan Tibet itu menduduki kota raja adalah atas pengkhianatan Thio-thaikam dan para pembantunya yang kabarnya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Tentu saja Sian Lun menjadi marah sekali kepada musuh besar yang telah mengakibatkan tewasnya ayah bundanya bahkan, seluruh keluarga ibunya itu, dan makin bencilah dia kepada pembesar itu.

   Tentu saja tiga orang muda yang gagah perkasa ini tidak hanya menuruti hati panas saja tidak secara ceroboh memasuki kota raja. Mereka lebih dulu menemui Panglima Ong Gi dan para panglima lain yang sudah meropersiapkan pasukan besar untuk menyerbu dan merebut kembali kota raja, bahkan mereka bertiga juga mengumpulkan semua anggauta Im-yang-pai, Ling Ling minta kepada Kok Beng Thiancu dan Cin Beng Thiancu untuk membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang yang masih setia kepada negara, dan juga untuk membersihkan nama mereka agar mereka membawa anak buah Im-yang-pai menyelundup ke kota raja dan bersiap-siap membantu penyerbuan pasukan pemerintah itu.

   Setelah semua persiapan dilakukan dan pasukan-pasukan pemerintah bergerak dari empat penjuru menuju ke kota raja, barulah tiga orang pendekar muda itu mendahului mereka dan malam hari itu mereka menyelinap ke dalam kota raja mempergunakan ginkang mereka yang tinggi sehingga mereka dapat memasuki kota raja dengan mudah tanpa diketahui para penjaga Tibet dan Khitan. Nampaklah mereka kini berkelebatan di atas wuwungan rumah-rumah di kota raja, menuju ke gedung tempat tinggal Sian Lun. Pendekar muda ini nenuju ke rumahnya, diikuti oleh dua orang temannya atau adik-adik seperguruannya di waktu kecil, dengan hati berdebar tegang. Hati pemuda perkasa ini diliputi

   (Lanjut ke Jilid 42)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 42

   penuh kekhawatiran kan keselamatan Siang Bwee. Akan tetapi dia menaruh harapan bahwa Siang Bwee akan berada dalam keadaan aman. Bukankah dia dianggap sebagai pembantu Thio-thaikam dan setelah ini Thio-thaikam menguasai istana, tentu gedungnya tidak diganggu dan Siang Bwee yang oleh semua orang dianggap sebagai selirnya itu akan aman pula.

   Lega hati Sian Lun ketika dia dan dua orang muda lainnya itu tiba di atas gedungnya karena dari wuwungan itu dia dapat melibat bahwa gedungnya masih terpelihara baik dan tidak nampak bekas bekas kerusakan, tanda bahwa gedungnya memang tidak pernah mengalami gangguan. Bahkan di sekitar gedungnya itu dia melihat beberapa orang perajunt pengawal Thio-thaikam sendiri melakukan penjagaan, betapapun juga, pemuda ini tidak berani sembarangan mengajak Ling Ling dan Gin San masuk. Dia memberi isyarat kepada dua orang itu untuk tetap bersembunyi di atas wuwungan karena dia hendak turun sendiri lebih dulu untuk memeriksa keadaan. Kemudian dia melayang turun melalui belakang gedung dan menyelinap masuk ke dalam gedung melalui pintu belakang yang kelihatan sunyi.

   Seorang pelayan wanita hampir menjerit kaget ketika melihat munculnya seorang laki-laki secara tiba-tiba seperti setan di depannya Akan tetapi begitu dia mengenal wajah Sian Lun, dia cepat menjatuhkan diri berlutut dan menangis. Pelayan wanita itu adalah pelayan pribadi dari Siang Bwee dan amat mencintai gadis itu, juga wanita inilah satu-satunya pelayan yang tahu akan rahasia mereka.

   "Ciangkun"". celaka"". celaka.....non Siang Bwe"".."

   Dia sesenggukan.

   Sian Lun menangkap lengan pelayan itu dengan lembut "Ssstt, jangan keras-keras, mari kita bicara di dalam saja!"

   Bisiknya dan dia menarik pelayan itu memasuki kamar pelayan itu di bagian belakang. Sian Lun khawatir, kalau-kalau percakapan mereka terdengar oleh para penjaga, yaitu para pengawal Thio-thaikam karena bagaimanapun juga dia masih merasa curiga kepada para pengawal ini, mengingat pengkhianatan Thio-thaikam. Setelah berada di dalam kamar, pelayan itu berkata dengan suara bisik-bisik, sambil menahan banjirnya air mata,

   "Siocia".,telah dipaksa oleh Thio taijin...". dibawa ke istana dan diberikan kepada...".. seorang pembesar Khitan".."

   Terkejutlah hati Sian Lun mendengar ini, dan jantungnya berdebar, mukanya terasa panas tanda bahwa dia marah sekali.

   "Apa? Diberikan kepada orang Khitan? Kenapa dia mau""..?!"

   Pelayan kepercayaan Siang Bwee itu, seorang wanita yang usianya sudah empatpuluh tihun, telah mendengar penuturan Siang Bwee sebelum nona itu pergi, maka kini tanpa ragu-ragu lagi dia berkata.

   "Ciangkun, siocia pergi karena terpaksa, karena Thio-taijin mengancam bahwa kalau dia tidak mau, maka Thio-taijin akan menangkap ciangkun dan akan menyiksa ciangkun sampai mati di depan siocia! Itulah yang membuat siocia tidak berdaya dan terpaksa menurut, demi keselamatan ciangkun! Tadinya siocia sudah mau membunuh diri saja, akan tetapi mengingat akan ancaman Thio-taijin, dia terpaksa menurut"".."

   Wanita ini menangis lagi.

   Wajah Sian Lun berobah-robah, sebentar pucat sebentar merah, hatinya seperti ditusuk rasanya. Dia tahu betapa Siang Bwee amat mencintanya, dan kini dia merasa amat terharu. Wanita itu telah membuktikan cintanya yang amat mendalam, dengan cara yang paling mengerikan, yaitu rela berkorban diri dan kehormatan demi keselamatannya

   "Kapan dia"". dibawa ke istana?"

   Tanyanya, menahan marah.

   "Sudah dua hari, ciangkun. Aduh, kasihan sekali dia..."". harap ciangkun suka menolongnya, dengan jalan apapun"""

   Pelayan itu berkata lirih sambil terisak.

   "Siapa nama orang Khitan itu?"

   "Disebutnya An-sicu, entah siapa namanya yang lengkap"""

   Akan tetapi kabarnya dia merupakan orang paling penting di istana sekarang, pemuka orang-orang Khitan di sana..."" "

   "Hemm"", aku akan segera ke sana, tenangkan hatimu dan jangan menceritakan kepada siapapun juga tentang kedatanganku ini". Setelah berkata demikian, Sian Lun meloncat keluar dan terus melayang naik ke atas genteng. Dia melihat Gin San dan Ling Ling masih mendekam di atas wuwungan, maka dia lalu memberi isyarat kepada dua orang itu untuk mengikutinya. Melihat betapa Sian Lun meloncat pergi tanpa mengeluarkan kata-kata dan dari sinar bulan dapat dilihat sepasang matanya bersinar tajam, Gin San dan Ling Ling merasa heran dan mereka itu hanya dapat cepat mengejar.

   Tiga bayangan orang ini kembali tampak berkelebatan di atas wuwungan rumah-rumah di kota raja, dan Sian Lun membawa dua orang temannya itu menuju ke istana! Terkejutlah hati Gin San dan Ling Ling menuju bangunan istana yang dikelilingi tembok benteng yang kuat dan terjaga ketat oleh pasukan Tibet dan Khitan itu. Mereka mendekam di tempat gelap, tak jauh dari pintu gerbang, mengintai. Kesempatan ini pergunakan oleh Ling Ling untuk berbisik,

   "suheng, mengapa engkau mengajak kami kesini? Bukankah di depan itu istana?"

   Sian Lun mengangguk, sukar menjawab, dadanya bergelombang tanda bahwa pemuda tu

   amat marah.

   "Suheng, apakah kita akan menyerbu istana?"

   Gin San juga berbisik dan memandang kepada Sian Lun dengan alis berkerut karena kalau memang itu yang dikehendaki suhengnya, maka amatlah berbahaya. Mana mungkin mereka bertiga saja menghadapi pasukan pengawal istana yang tentu amat banyak jumlahnya, di samping adanya banyak orang pandai di situ? Dia tidak percaya bahwa suhengnya akan demikian ceroboh!

   Akan tetapi Sian Lun mengangguk! "Aku"". aku harus menyelamatkan seorang dari sana..."!"

   Jawabannya demikian pasti dengan suara demikian kering sehingga Ling Ling dan Gin San saling pandang dan tidak berani bertanya lagi.

   "Mari kalian ikut bersamaku"".

   "

   Akhirnya Sian Lun berbisik dan tanpa menanti jawaban pemuda ini sudah menyelinap di antara bayangan-bayangan gelap mencari-cari bagian tembok yang kiranya dapat dilewatinya untul memasuki daerah istana. Untuk ini, mereka kembah berlompatan ke atas wuwungan rumah rumah yang berada di sekitar tembok kokoli kuat yang mengelilingi daerah istana itu.

   Tiba tiba Ling Ling menyentuh lengan Sian Lun yang berlari di depannya. Pemuda ini berhenti, juga Gin San berhenti. Ling Ling berbisik.

   "Dengar""..!"

   Dua orang pemuda itu mencurahkan perhatian dan terdengar oleh mereka jerit tertahan seorang wanita, agak jauh di sebelah kanan. Sian Lun mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala, lalu menuding ke arah istana. Jelas maksudnya untuk mencegah sumoinya itu mencampuri urusan itu karena mereka ada pekerjaan di dalam istana. Akan tetapi Ling Ling berkata.

   "

   Kalau kalian tidak mau menolong, biarlah aku sendiri yang pergi menolong!"

   Setelah berkata demikian, tanpa banyak cakap lagi dia lalu meloncat ke kanan, terus berloncatan ke arah wuwungan rumah dari mana dia mendengar suara jerit tertahan seorang wanita tadi. Setelah dia berada di atas wuwungan, jelas terdengar tangis seorang wanita yang diseling suara wanita itu mengeluh dan merintih, minta-minta ampun.

   Ling Ling cepat membuka genteng rumah dan apa yang nampak olehnya membuat dara ini mengatupkan gigi keras-keras dan mengepal kedua tinju tangannya. Di dalam ruangan di bawah genteng itu dia melihat pemandangan yang amat mengerikan. Mayat seorang laki-laki rebah miring di atas lantai dengan leher hampir putus dan melihat betapa darah masih mengalir dari leher itu, dapat diketahui bahwa pria itu belum lama dibunuh. Dan dekat mayat itu, di atas lantai, nampak seorang wanita muda, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, dengan wajah manis namun pucat dan matanya liar ketakutan, rambutnya yang hitam panjang itu terurai.

   Pakaiannya robek-robek sehingga nampaklah sebagian besar dadanya dan pahanya, berlutut mendekap seorang anak berusia baru beberapa bulan dan melihat keadaan anak itu jelas bahwa anak itupun telah menjadi mayat dan agaknya mati dipukul atau dibanting karena tidak ada lukanya. Lima orang laki-laki bangsa Iibet yang tinggi besar mengerumuni wanita itu, agaknya mereka ini gembira sekali melihat wanita itu meratap sambil mendekap anaknya yang telah mati, di dekat mayat suaminya. Wanita itu menangis terengah-engah.

   Tiba-tiba seorang Tibet yang berkumis panjang melingkar ke bawah, yang agaknya merupakan pemimpin dari teman-temannya, melangkah maju dan sekali renggut dia telah merampas mayat anak kecil itu dari dekapan ibunya dan melemparkannya ke sudut. Wanita itu menjerit, bangkit berdiri dan hendak mengejar anaknya, akan tetapi orang Tibet berkumis panjang dan bertubuh tinggi besar itu kembali menggerakkan tangannya dan menangkap pundak wanita itu.

   Terdengar suara berbrebet dan semua pakaian yang masih bersisa di tubuh itu terobek dan wanita itu menjadi telanjang sama sekali. Mereka berlima tertawa dan si kumis itu sudah memondong tubuh wanita ini dan melemparkannya ke atas dipan yang berdiri di sudut. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan hijau berkelebat dan Ling Ling sudah melayang turun ke dalam ruangan itu. Dara ini sekarang telah berganti pakaian dengan warna kesukaannya yaitu warna hijau muda, tidak lagi berpakaian serba putih seperti ketika dia masih membantu lm-yang-pai. Saking marahnya, begitu dia melayang turun, dengan ginkangnya yang memang luar biasa, Ling Ling sudah menyambar ke arah orang Tibet yang hendak memperkosa wanita itu dan sekali tangannya bergerak, terdengar suara "prakkk!"

   Dan tubuh pria itu terjengkang dan tewas di saat itu juga dengan kepala retak!

   Empat orang temannya terkejut dan majulah mereka ketika melihat munculnya seorang dara cantik berpakaian hijau yang kini berdiri dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan memandang kepada mereka. Empat orang Tibet ini sudah mencabut senjata Mereka masing-masing, yaitu sebatang golok yang besar dan tajam berkilauan. Namun Ling Ling yang sudah-marah sekali itu tidak memperdulikan hal ini, bahkan dia sudah melengking nyaring dan tubuhnya menyambar ke depan. Empat orang itu menyambutnya dengan bacokan golok masing-masing, akan tetapi tahu tahu bayangan dara itu lenyap dan sebelum mereka dapat melihat ke mana perginya dara itu, seorang di antara mereka memekik,dan roboh tewas pula dengan kepala retak, dipukul dari samping oleh jari-jari tangan halus yang mengandung kekuatan dahsyat itu!

   Pada saat-itu, berkelebat dua bayangan lain dan Sian Lun bersama Gin San sudah berada di situ pula. Mereka tadi melihat dari atas dan ikut merasa marah sekali menyaksikan kekejian yang dilakukan oleh lima orang Tibet itu, maka mereka kini melayang turun setelah Ling Ling merobohkan dua orang. Hampir berbareng tiga orang pendekar muda ini bergerak dan tiga orang Tibet itu sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk mengelak atau melawan karena gerakan tiga orang pendekar itu terlalu cepat bagi mereka sehingga mereka itu dalam segebrakan saja sudah roboh dan tewas semua.

   "Aihhh"""!"

   Ling Ling menjerit. Dua orang suhengnya menengok dan mereka itu menarik napas panjang melihat betapa wanita yang telanjang bulat dan hampir diperkosa oleh lima orang Tibet itu kinipun sudah menggeletak di samping suaminya sambil mendekap anaknya, dan sebatang golok menancap di dadanya. Kiranya wanita ini sudah putus asa dan nekat melihat suami dan anaknya tewas, maka dia mengambil sebatang golok milik seorang Tibet yang tewas, lalu dia membunuh diri selagi tiga orang pendekar itu menghadapi tiga orang Tibet tadi. Kini wanita itu rebah dengan darah bercucuran dan tewas seketika karena goloknya menembus jantung. Ling Ling yang meloncat dekat dan memeriksanya, melepaskan lagi wanita itu dan bangkit berdiri sambil mengepal tinju.

   "Manusia-manusia biadab keparat!"

   Dia menendang kepala seorang di antara lima mayat orang Tibet itu.

   Gin San memeriksa seluruh rumah akan tetapi tidak ada orang lain di tempat itu kecuali mayat ayah ibu dan anak itu ditambah mayat lima orang Tibet.

   "Kita bakar saja rumah ini"

   Katanya.

   "Jangan!"

   Kata Sian Lun.

   "Hal itu akan menarik perhatian dan menghalangi kita masuk istana!"

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Akan tetapi, suheng, memasuki istana amat berbahaya, dan kita sudah berjanji untuk membantu pasukan kerajaan menyerbu kota raja...".."

   Gin San membantah.

   "Mari""."

   Sian Lun tidak banyak cakap lagi dan sudah meloncat keluar rumah itu. Terpaksa Ling Ling dan Gin San, setelah saling pandang dan pemuda ini mengangkat kedua

   pundaknya, cepat pula mengejar.

   Dengan menggunakan kepandaian mereka tiga orang muda perkasa itu akhirnya berhasil meloncati pagar tembok yang mengelilingi daerah Istana dan mereka menyelinap melalui bayangan-bayangan gelap. Sian Lun selalu menjadi penunjuk jalan, biarpun pemuda ini sendiri belum begitu hafal akan keadaan daerah istana sedikitnya dia pernah memasuki istana dan dapat mengira-ngira di mana letaknya tempat tinggal Thio-thaikam. Karena pembesar inilah yang akan didatanginya. Dia sudah mengatur siasat ketika melakukan perjalanan tadi. Dia harus lebih dulu menangkap pembesar ini, menjadikannya sebadai sandera untuk memaksa pembesar ini membebaskan Siang Bwee! Pada saat itu, Sian Lun sudah tidak memikirkan hal-hal lain lagi, bahkan sudah melupakan rencana penyerbuan pasukan kerajaan. Yang teringat olehnya hanyalah satu hal, yaitu menyelamatkan Siang Bwee!

   Kita tidak bisa menyalahkan Sian Lun dalam hal ini. Memang demikianlah kita manusia pada umumnya, selalu hanya memikirkan kepentingan diri sendiri belaka. Semua perbuatan kita dikendalikan oleh pikiran, dan pikiran ini mencinta si aku yang paling penting! Semua perbuatan seperti itu bersumber kepada aku atau kepada orang-orang atau benda benda yang terikat dengan si aku. Maka yang terpenting adalah keluargaku, suku bangsa negaraku, agamaku, sahabatku dan selanjutnya lagi, pendeknya milikKu. Jangan ganggu uangku, keluargaku, agamaku, akan tetapi kalau mengganggu uang orang lain, keluarga atau agama orang lain, terserah!

   Hal ini sudah begitu mendalam mempengaruhi kehidupan kita sehingga dianggap sudah layak dan benar, sudah menjadi kebudayaan kita! Cinta kita bukan lagi cinta murni antar manusia, melainkan cinta kepada diri sendiri karena yang kita cinta itu adalah sumber kesenangan untuk diri kita sendiri. Maka begitu sumber kesenangan itu diganggu, berarti mengganggu diri kita sendiri lan marahlah kita! Kesenangan ini menimbulkan ikatan-ikatan, dan ikatan membuat kita memihak Tentu saja hal ini mendatangkan permusuhan karena masing-masing mempertahankan sumber kesenangan sendiri-sendiri. Ikatan terhadap sumber kesenangan inilah yang kita hias dengan kata "cinta"!

   Demikian pula dengan Sian Lun. Karena ia menganggap Siang Bwee sebagai seorang wanita yang amat baik kepadanya, yang telah ia berkorban untuknya, maka timbullah ikatan dalam batinnya terhadap dara itu. Marahlah ia ketika mendengar bahwa Siang Bwee direbut orang. Dan dalam keadaan seperti itu, yang diingat hanyalah menolong Siang Bwee seorang, dan andaikata tidak ada Ling Ling yang memaksa, kiranya diapun tidak akan perduli mendengar jerit tangis seorang wanita lain. Seperti juga kita tidak pernah memperdulikan penderitaan orang lain karena kita menjadi buta oleh perasaan iba diri terhadap penderitaan sendiri, oleh rasa ke-aku-an yang selalu mengembang dan meluas itu.

   Maka timbul pertanyaan kepada diri sendiri. Mungkinkah kita hidup bebas, dalam arti kata tanpa adannya ikatan dalam batin kita terhadap apa dan siapapun juga? Kembali, pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban lisan, karena jawaban kata-kata hanya akan merupakan pendapat-pendapat dan teori-teori usang yang hanya berguna untuk dipergunakan dalam perbantahan dan perdebatan yang menyesatkan saja. Jawabannya hanya dapat kita cari dalam penghayatan, dalam kehidupan kita sehari hari.

   Dari para pengawal yang menjaga gedung itu tahulah Sian Lun bahwa Thio-thaikam kini telah tinggal di dalam istana bagian barat, di mana dahulu menjadi tempat tinggal keluarga kaisar sendiri! Maka ke tempat inilah Sian Lun mengajak sute dan sumoinya pergi, berindap indap dengan hati-hati sekali. Dia tidak tahu di mana Siang Bwee ditahan, tidak tahu di mana adanya orang she An, orang Khitan yang kini memiliki dara itu. Maka dia sudah mengambil keputusan untuk menangkap Thio-thaikam! Dapat dibayangkan betapa gembira hatinya ketika tiba tiba dia mendengar suara thaikam itu tertawa-tawa dan bercakap-cakap. Cepat dia memberi isyarat kepada Ling Ling dan Gin San untuk mengikutinya, berindap-indap menuju ke sebuah ruangan di dalam, menyelinap melalui pagar rendah dengan lompatan-lompatan kilat.

   Akhirnya tibalah mereka di sebuah ruangan di mana nampak Thio thaikam duduk minum arak, ditemani oleh dua orang sambil tertawa-tawa dan bercakap-cakap. Seorang di antara mereka dikenal oleh Sian Lun karena orang ini bukan lain adalah Tiat-liong Liem Kiat, pengawal pribadi Thio-thaikam yang lihai itu. Dan di sebelahnya duduk seorang kakek tua yang berpakaian seperti seorang tosu, sikapnya masih gagah dan tosu ini agaknya tidak memantang makanan berdarah. Dia makan daging dan minum arak dengan sikap biasa saja, biarpun dia tidak ikut tertawa-tawa seperti yang dilakukan oleh Thio thaikam dan Liem Kiat.

   Melihat bahwa Thio-thaikam hanya ditemani oleh Liem Kiat dan tosu yang tidak dikenalnya itu, Sian Lun kehilangan kewaspadaannya. Dia merasa yakin akan dapat menangkap pembesar kebiri gendut itu maka tanpa banyak cakap lagi dia lalu meloncat ke dalam ruangan itu! Melihat ini, tentu saja Ling Ling dan Gin San juga cepat mengikutinya, berloncatan ke dalam ruangan.

   "Aha, kiranya baru muncul sekarang!"

   Liem Kiat mengejek dan perwira ini sudah bangkit berdiri melindungi Thio-thaikam, sedangkan tosu tua itupun bangkit berdiri dan dengan tenang memandang Sian Lun.

   "Thio-thaikam, engkau manusia keparat, pengkhianat keji!"

   Sian Lun sudah membentak dan menerjang ke depan dengan maksud menangkap pembesar itu, akan tetapi Liem Kiat menyambutnya dengan pukulan Ang-se-ciang yang sudah dipersiapkannya semenjak tadi. Melihat pukulan ini, Sian Lun mengelak dan kakinya menyambar sedemikian cepatnya sehingga hampir saja lambung Liem Kiat terkena tendangan kalau dia tidak cepat melempar tubuhnya ke belakang sambil

   berteriak,

   "Suhu"".!"

   Tosu itu sudah melompat ke depan dan dialah yang menangkis pukulan lanjutan yang dilakukan Sian Lun terhadap Liem Kiat.

   "Dukkk"".!"

   Keduanya terkejut dan Sian Lun memandang tajam kepada tosu itu, jantungnya berdebar mendengar Liem Kiat menyebut suhu kepada tosu itu. Teringat dia akan penuturan Siang Bwee tentang kaki tangan Thio thaikam yang dahulu memusuhi ayahnya.

   "Engkaukah Tek Po Tosu?"

   Bentaknya.

   Tek Po Tosu, tosu tua itu, memang sudah mendengar dari Thio-thaikam bahwa putera keturunan Tan Bun Hong kini telah menjadi perwira, bahkan menjadi kaki tangan atau bawahan Thio-thaikam. Ketika Sian Lun tadi muncul, melihat wajahnya saja dia sudah menduga karena memang wajah pemuda ini mirip mendiang ayahnya.

   "Menyerahlah kepada pinto, orang muda,"

   Katanya lembut, akan tetapi dengan kemarahan meluap Sian Lun sudah menerjang maju lagi, dengan maksud menangkap Thio thaikam. Akan tetapi tosu itu menghalangi dan dia lalu menyerangnya.

   

   Sementara itu, secara tiba-tiba, tempat itu telah penuh dengan pengawai dan nampak pula beberapa orang yang membuat Ling Ling dan Gin San terkejut bukan main. Di antara tokoh-tokoh yang dikenalnya, seperti An Hun Kiong, Tayatonga atau Tai-lek Hoat-ong, Ba Mou Lama, Sin Beng Lama dan lain-lain, nampak pula di situ Kim sim Niocu Bu Siauw Kim dan juga Pek-ciang Cin-jin Oaw Sek! Tentu saja melihat dua orang ini, Ling Ling dan Gin San menjadi terkejut dan juga marah bukan main.

   "Perempuan iblis, engkau hendak lari ke mana sekarang?"

   Bentak Ling Ling dan dia segera menerjang Bu Siauw Kim dengan kemarahan meluap-luap. Bu Siauw Kim tersenyum dan meloncat mundur. Tempatnya segera digantikan oleh enam orang pengawal yang serentak maju mengepung Ling Ling. Dara ini marah dan mengamuk seperti seekor naga sakti.

   Demikian pula, ketika melihat Ouw Sek, Gin San memandangnya dengan muka merah. Dia memang sudah mendengar berita kejatuhan kota raja ke tangan Tibet itu memperoleh bantuan dari orang-orang Beng-kauw, bekas anak buah Beng-kauw utara yang sudah hancur. Tahulah dia kini setelah dia melihat ke hadiran Ouw Sek di kota raja bahkan di istana, bahwa tentu orang-orang Beng-kauw itu dihasut dan diperalat oleh murid Beng-kauw yang murtad ini. Beng-kauw telah diseret ke dalam lumpur pemberontakan dan pengkhianatan oleh Ouw Sek.

   "Ouw Sek, manusia busuk! Kiranya engkau yang menggerakkan sisa anggauta Beng-kauw utara!"

   Bentaknya.

   Ouw Sek tertawa.

   "Ha-ha, murid keponakanku yang baik. Kenapa engkau tidak lekas berlutut kepada paman gurumu? Aku telah berhasil mengangkat Beng-kauw, kalau engkau mau membantu, aku akan memberi kedudukan lumayan kepadamu"".."

   "Jahanam!"

   Gin San sudah menerjang dan Ouw Sek yang amat lihai itu sambil tertawa lalu meloncat ke belakang dan kembali enam orang pengawal yang menggantikan tempatnya mengeroyok Gin San.

   Tek Po Tosu yang segera dapat melihat bahwa ilmu kepandaian putera mendiang Tan Bun Hong itu amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pads tingkat kepandaian mendiang ayah pemuda itu, dan jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri, bersama muridnya, Liem Kiat, dia sudah meloncat mundur dan enam orang pengawalpun sudah menggantikannya. Kini, tiga orang muda itu dikeroyok oleh belasan orang pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi dan memang ternyata bahwa mereka bertiga itu sudah dinanti oleh Thio-thaikam!

   Kini, Sian Lun melihat betapa pembesar itu lenyap dari situ, yang ada hanya jagoan-jagoannya yang berilmu tinggi, yang kini mengurung tempat itu sambil menonton belasan orang pengawal mengeroyok mereka bertiga! Tiga orang itu mengamuk dengan hebat sekali. Sepak-terjang mereka laksana tiga naga sakti bermain-main di angkasa, beterbangan dan berkelebatan ke sana ke mari dan dalam waktu beberapa menit saja mereka masing-masing telah merobohkan enam orang pengeroyok itu! Akan tetapi, begitu ada yang roboh, muncul lagi pengawal-pengawal lainnya sehingga mereka bertiga tetap terkurung terus dengan ketat.

   Para pengawal itu sama sekali bukanlah lawan tiga orang pendekar sakti ini, mereka seperti mentimun melawan durian saja dan dalam beberapa jurus kemudian, kembali masing masing pendekar merobohkan enam orang pengeroyoknya. Akan tetapi tiba-tiba mereka kehilangan semua lawan dan ruangan itu ternyata telah tertutup dari luar. Selagi mereka bersiap untuk menerjang keluar dan mendobrak pintu, tiba-tiba dari empat penjuru terdengar suara mendesis dan nampaklah asap kekuningan memasuki ruangan itu, ditiupkan atau disemprotkan dari luar.

   "Sute, sumoi"".awas"". asap beracun ..!"

   Sian Lun berseru kaget sekali.

   "Tahan napas"".!"

   Gin San juga berseru kaget. Ketiganya lalu cepat berusaha mendobrak pintu, akan tetapi pintu itu terbuat dari baja yang tebal dan kokoh kuat sehingga mereka tidak sanggup mematahkannya. Sian Lun meloncat ke arah jendela dan sekali kakinya menendang, jendela itu pecah terbuka, akan tetapi dari jendela ini menyambar belasan batang anak panah sehingga dia terpaksa mengelak, kemudian dari jendela itu disemprotkan pula asap beracun sehingga tentu saja mereka tidak berani mendekati jendela.

   Kamar itu makin penuh dengan asap dan betapapun mereka bertahan, akhirnya mereka tidak dapat menghindarkan asap memasuki hidung dan mulut karena dari luar berhamburan senjata-senjata rahasia yang membuat mereka berloncatan ke sana-sini dan karena pengerahan tenaga ini terpaksa mereka harus menyedot hawa. Dan robohlah tiga orang pendekar sakti yang mengamuk seperti tiga ekor naga sakti itu, terbius oleh asap beracun. Para pengawal yang menutupi muka dengan saputangan yang sudah diberi obat penawar segera berlompatan ke dalam, dipimpin oleh An Hun Kiong yang sudah membawa pedang untuk membunuh mereka.

   "Jangan bunuh mereka! Tangkap dan belenggu agar besok dapat kita hukum untuk menakut-nakuti teman-teman mereka yang masih berkeliaran!"

   Tiba-tiba terdengar Ba Mou Lama berseru. Karena yang menduduki kota raja dan istana adalah pasukan besar Tibet, maka tentu saja yang paling berkuasa pada saat itu adalah Ba Mou Lama. Mendengar seruan ini, An Hun Kiong tidak jadi menggunakan pedangnya dan dia lalu memerintahkan orang-orangnya untuk membelenggu ketiga orang itu dan menyeret mereka ke dalam ruang tahanan di belakang istana di mana terdapat puluhan orang tahanan lain.

   Tiga orang ini dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat, dan mereka masing-masing dibelenggu pengan rantai baja pada kaki tangan mereka pada dinding tembok sehingga tubuh mereka yang pingsan itu bersandar pada tembok dau tergantung kepada kedua tangan mereka yang terbelenggu pergelangannya. Selain terbelenggu kaki tangan mereka dengan gelangan yang ditanam di tembok, juga belasan orang penjaga dengan anak panah siap di busur menjaga di luar kamar itu, siap melepaskan anak panah membunuh mereka andaikata mereka itu berusaha hendak meloloskan diri. Setelah melihat betapa tiga orang ini tak berdaya dan terjaga ketat, barulah An Hun Kiong yang bertugas mengepalai para penjaga ruang tahanan ini, meninggalkan pesan kepada para penjaga untuk waspada menjaga tiga orang itu, kemudian pergilah dia pulang ke tempatnya di bagian kiri istana, kembali ke kamarnya untuk mengaso.

   Sementara itu, Ci Siang Bwee yang tadinya duduk di atas pembaringan dalam kamar mewah itu sambil menangis mengenangkan nasibnya, mendengar pula akan keributan di dalam istana. Dari para dayang dan pengawal, dia mendengar bahwa kekasihnya, Tan-ciangkun bersama dua orang lain telah menyerbu dan menimbulkan kekacauan dan bahwa mereka bertiga itu akhirnya dapat ditangkap dan dimasukkan dalam kamar tahanan untuk menanti hukuman yang akan dijatuhkan besok pagi. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Siang Bwee mendengar berita ini, lemas dan lemah lunglai rasa seluruh tubuhnya!

   Dia merasa ditipu oleh Thio thaikam! Dia telah dengan hati hancur lebur menyerahkan dirinya kepada An Hun Kiong memenuhi permintaan Thio-thaikam, semata mata untuk menyelamatkan nyawa Tan Sian Lun yang dicintanya. Selama dua malam berturut-turut dia menangisi nasibnya, dengan amat berduka dia membiarkan dirinya dikuasai oleh orang Khitan itu, memejamkan mata dan memperkuat batinnya dengan bayangan bahwa apa yang dilakukannya itu adalah demi cintanya terhadap Tan Sian Lun. Dan sekarang, setelah dua hari dua malam dia menyerahkan dirinya untuk dipermainkan oleh An Hun Kiong, dia mendengar bahwa Sian Lun telah ditangkap dan akan dihukum mati!

   Air matanya sudah diperasnya habis selama dua hari dua malam ini. Tidak, dia tidak hanya akan menangis saja, dia harus mencari akal untuk menyelamatkan kekasihnya! Siang Bwee timbul semangatnya ketika mengingat bahwa kekasihnya itu membutuhkan pertolongannya, kalau tidak akan matilah pria yang dipuja dan dicintanya itu. Dan waktunya hanya tinggal malam ini! Siang Bwee mondar-mandir di dalam kamar itu, dengan kedua tangan terkepal, alisnya berkerut, keadaannya seperti seekor harimau betina dalam kurungan yang merasa tidak betah di situ dan hendak mencari jalan keluar. Akhirnya, dia lalu cepat pergi ke kamar mandi, membersihkan badan dan memakai minyak harum, berganti pakaian dan merias diri secantik cantiknya!

   Dengan tubuh lelah An Hun Kiong memasuki gedungnya. Begitu menginjakkan kaki di lantai gedungnya, teringatlah dia kepada Siang Bwee dan alisnya berkerut.

   Hatinya amat kecewa. Dia telah mendapatkan seorang wanita yang cantik dan amat menyenangkan hatinya, seorang gadis yang masih perawan, yang amat pandai membawa diri, akan tetapi juga seorang gadis yang patah hati! Gadis itu hanya menangis saja, dan biarpun tidak pernah menolak segala tuntutan dan permintaannya, dan telah menyerahkan diri dengan sukarela tanpa paksaan, namun dia tahu bahwa dara itu tidak menyerahkan hatinya dan menyerahkan dirinya secara terpaksa sekali. Dara itu selalu bermuram durja dan menangis saja. Kesal juga hatinya. Dia suka kepada wanita itu, dia ingin wanita itu bahagia dan dapat tersenyum dalam pelukannya, dapat membalas kasih sayang dan kemesraan yang dilimpahkannya. Namun gadis itu selalu muram wajahnya dan tidak pernah mau mengaku mengapa gadis itu berduka. Sebetulnya, ingin sekali dia memasuki kamar itu, hatinya sudah penuh kerinduan, akan tetapi bayangan wajah muram itu membuat hatinya kesal, apa lagi tubuhnya sedang lelah, maka diapun melewati kamar itu dan hendak pergi ke kamarnya sendiri untuk mengaso.

   "Engkau sudah pulang, taijin""".?"

   An Hun Kiong terkejut dan cepat menengok. Pintu kamar wanita yang diambilnya sebagai selir, karena belum dinikahinya, itu telah terbuka sedikit dan nampak Siang Bwee mengintai dari dalam, tersenyum kepadanya dan memandang dengan wajah berseri namun nampak malu-malu Hampir saja An Hun Kiong tidak dapat percaya akan pandangan matanya sendiri dan dia segera menghampiri. Pintu dibuka lebar dan kembali dia terpesona. Betapa cantiknya Siang Bwee! Pakaiannya serba baru, rambutnya yang dia tahu amat halus dan hitam panjang itu digelung indah, wajah yang amat dikenalnya dengan kulit halus kemerahan itu kini dibedaki halus dan dalam jarak satu meter lebih saja dia sudah mencium keharuman semerbak dari tubuh dan rambut itu. Dan wajah itu, sama sekali tidak muram, melainkan berseri-senl Dan mulut yang biasanya cemberut itu dan yang amat menggairahkan karena bentuknya yang indah, kini tersenyum dikulum, amat manisnya. Dan mata yang biasanya sayu dan basah air mata itu kini berkilauan penuh api gairah dan penuh tantangan!

   

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini