Kisah Tiga Naga Sakti 42
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 42
"Siang Bwee""..!"
An Hun Kiong berbisik dan masuk ke dalam kamar.
"Taijin, kenapa sampai begini malam"" "
Siang Bwee berbisik dan setelah An Hun Kiong duduk, dia cepat berlutut di depannya untuk membuka sepatunya.
"Apakah taijin ingin mandi? Apakah perlu dipersiapkan makanan?"
Semua ini ditanyakannya dengan sikap amat manis, dengan kerling mata tajam memikat dan senyum yang manisnya melebihi madu An Hun Kiong sampai tak mampu menjawab, dan akhirnya setelah Siang Bwee selesai membuka kedua sepatunya, dia meraih, memegang lengan wanita itu dan menariknya duduk di atas pangkuannya. Siang Bwee tersenyum dan memandang malu-malu, membuang muka dengan sikap yang malu-malu kucing namun makin menarik hati dan membangkitkan gairah,
"Siang Bwee"". sayangku"". mimpikah aku"""? Benarkah engkau ini yang bersikap begini manis kepadaku...""?"
"Taijin aneh"". siapa lagi kalau bukan Siang Bwee"".? Apakah taijin mengira aku siluman rase?"
Siang Bwee tersenyum dan tertawa kecil. An Hun Kiong memeluknya dan dengan lembut memalingkan wajah cantik itu menghadapinya. Sejenak mereka bertemu pandang dan An Hun Kiong makin kagum melihat mata itu sama sekali tidak seperi kemarin, bahkan tidak seperti siang tadi kini berseri penuh gairah.
"Tapi"". tapi mengapa engkau...". selama dua hari hanya menangis dan nampak muram?"
"Ahhh"". taijin""., pantaskah bagi seorang perawan untuk bersikap gembira pada saat menyerahkan diri untuk pertama kali kepada, seorang pria?"
An Hun Kiong mengangguk-angguk.
"Dan sekarang?"
"Sekarang aku adalah milikmu, dan karena taijin amat mencintaku, maka hidupku penuh kebahagiaan"".
"
"Siang Bwee""..!"
An Hun Kiong girang bukan main dan dia lalu mendekap, menciumi wajah itu, mata dan mulut itu, dengan penuh kemesraan. Makin giranglah dia ketika merasakan betapa wanita itupun membalas cumbu rayunya, membalas ciumannya. Sunyi kamar itu, dan keduanya tenggelam dalam lautan kemesraan yang belum pernah dialami oleh An Hun Kiong selama ini.
Menjelang tengah malam, An Hun Kiong rebah dengan wajah berseri dan tubuh lelah, sambil merangkul leher kekasihnya. Dia mengelus rambut yang halus itu, mengusap sedikit keringat di dahi kekasihnya, lalu mencium pipinya dengan lembut.
"Aku sayang padamu, Siang Bwee. Ah. betapa aku cinta padamu...".
"
Bisiknya.
"Kenapa engkau begitu lama tadi meninggalkan aku, taijin? Sampai capai aku menantimu. Ada urusan apakah yang menahanmu dan ada apakah terjadi ribut-ribut tadi? Aku hanya mendengar dan para pengawal akan terjadinya keributan di istana. Ada apakah?"
Siang Bwee memancing sambil merangkul pinggang pembesar atau perwira yang gagah itu.
"Ah, ada tiga orang pemberontak mengacau. Mereka itu amat lihai akan tetapi akhirnya tertawan juga."
"Siapakah mereka, taijin?"
"Yang seorang adalah orang yang amat kaukenal. Dia adalah bekas majikanmu, Tan-ciangkun!"
"Ahh""!"
Tiba-tiba Siang Bwee bangkit duduk, tidak mcmperdulikan rambutnya yang terurai dan selimut yang menutupi dadanya terbuka sehingga An Hun Kiong melihat pemandangao yang amat menggairahkan hatinya. Akan tetapi perwira ini terkejut juga melihat kekasihnya itu bangkit duduk dan kelihatan marah, mengepal tinju dan matanya bersinar .sinar .
"Ada apakah, Siang Bwee?"
Tanyanya dengan khawatir.
"Bagus sekali dia tertangkap! Aku.... aku benci kepada orang itu, taijin!"
Kata Siang Bwee.
An Hun Kiong sudah duduk dan merangkul tubuh itu, memangkunya dan menciumnya.
"Heran, bukankah dia bekas majikanmu?"
Tanyanya sambil memancang penuh selidik.
"Bukan hanya majikan, akan tetapi aku dihadiahkan oleh sri baginda kaisar kepada Tan ciangkun, untuk menjadi isterinya! Akan tetapi, ia manusia kejam itu sama sekali tidak memperdulikan aku, dia menghinaku, tidak pernah mendekatiku sehingga aku hanya dianggap sebagai pelayan saja!"
"Ah, mana mungkin? Wanita secantik engkau....."
"Taijin, perlukah engkau ragu-ragu lagi? Bukankah aku masih perawan ketika untuk pertama kali menyerahkan diri kepadamu?"
An Hun Kiong merangkul dan menciumnya.
"Aku percaya dan memang benar demikian, akan tetapi, mengapa orang she Tan itu tidak menjamahmu? Apakah dia banci?"
"Entahlah, dan hal itu amat menyakitkan hatiku, taijin."
Hemm, tenangkan hatimu. Besokpun dia akan dihukum gantung di depan pintu gerbang!"
Siang Bwee menahan perasaan ngeri yang mengiris jantungnya. Lalu dia turun dari pembaringan dan berkata dengan suara marah.
"Penasaran! Kalau aku belum membalas penghinaannya, dan dia sudah keburu mati, sungguh penasaran! Taijin, kalau memang tatjin mencintaku, tolonglah agar aku dapat membalas dendam ini, kalau tidak"".. ah, kelak kalau aku melahirkan anak, tentu akan terpengaruh buruk oleh dendam yang tak terbalas ini!"
An Hun Kiong tersenyum. Disebutnya anak mendatangkan rasa mesra dan baru dalam hatinya. Dia lalu merangkul pinggang Siang Bwee dan menariknya sehingga wanita itu terjatuh ke atas pangkuannya.
"Engkau makin cantik saja kalau marah-marah, Siang Bwee, engkau begitu membencinya, lantas, apa yang hendak kaulakukan? Aku dapat menyiksanya dulu sebelum dia dihukum mati, kalau itu yang kau hendaki!"
"Tidak, hatiku takkan pernah puas kalau bukan aku sendiri yang menghinanya, yang menyiksanyai Taijin, kalau besok dia dihukum mati, akan terlambatlah dan selama hidup aku akan menyesal sekali. Maka, bawalah aku sekarang kepadanya, taijin, berilah kesempatan kepadaku untuk membalas penghinaannya, untuk mentertawakannya, sampai puas hatiku!"
An Hun Kiong mengangguk-angguk. Wanita ini baru saja memperlihatkan bahwa cintanya telah mendapatkan sambutan, dan wanita ini tadi baru saja membuktikan bahwa telah bertunas cinta penuh kemesraan baginya. Tentu saja dia tidak ingin kehilangan kelembutan dan kemesraan yang nikmat itu, dan betapapun dia harus dapat memenuhi permintaannya. Permintaan yang pantas, pikirnya, karena tentu Siang Bwee merasa dihina dan malu telah ditampik oleh seorang pria! Dan pula, apa salahnya kalau dia membiarkan wanita ini melampiaskan dendamnya? Para tawanan itu tidak berdaya, masih pingsan mungkin dan dalam keadaan terbelenggu rantai baja, apa lagi di luar banyak terdapat pengawal dau penjaga. Hanya, kalau sampai terlihat para tokoh lain bahwa dia memenuhi permintaan yang bukan-bukan dari hati wanita yang mendendam itu, tentu dia merasa tidak enak dan malu. Maka, permintaan ini harus dilakukan sekarang menjelang tengah malam sehingga tidak akan ada yang melihatnya. Kalau besok tentu terlambat, pula, kalau waktu siang akan nampak oleh banyak orang.
"Baiklah, Siang Bwee Memang aku menjadi kepala bagian tawanan, maka mudahlah untuk membawamu ke sana."
Dia tidak tabu betapa jantung di dalam dada Siang Bwee berdebar tegang, dan dia tidak mengira bahwa memang Siang Bwee telah lebih dulu menyelidiki pangkat dan kekuasaannya di situ sehingga tentu saja wanita itu telah tahu bahwa dialah yang menjadi kepala bagian tawanan. Oleh karena itulah maka wanita ini tadi menggunakan akal untuk merayu dan melayaninya semanis mungkin, sungguhpun hal itu dilakukan dengan hati hancur penuh pengorbanan diri demi pelaksanaan usahanya menyelamatkan kekasihnya.
"Terima kasih, taijin"".terima kasih".."
"Hushh, jangan sebut tajin lagi, lupa lagi engkau"".. bisikan tadi""..?"
Kedua pipi wanita cantik itu menjadi merah sekali. Bagi An Hun Kiong tentu dianggap sebagai tanda malu, padahal merahnya wajah Siang Bwee itu adalah karena marah! Seujung rambutpun tidak ada perasaan cinta terhadap pria ini, bahkan yang ada hanya rasa muak dan benci, benci sekali karena terpaksa dia harus menyerahkan diri kepada orang ini.
Akan tetapi demi keselamatan Sian Lun, ah, segalanya demi Sian Lun, dia akan mau melakukan, apapun, bahkan mengorbankan nyawa sekalipun. Maka dia lalu berkata dengan muka merah dan tersenyum malu-malu.
"Baiklah"". ko-ko"". terima kasih atas kebaikanmu"".."
An Hun Kiong tersenyum girang dan meraih leher kekasihnya, menciumnya dengan mesra dan lama sekali dan baru melepaskannya ketika Siang Bwee meronta perlahan dan mendorongnya dengan halus.
"Ah, koko, bukankah engkau hendak mengajak aku ke sana sekarang? Nanti kalau aku sudah puas membalas dendam. Kita masih mempunyai banyak waktu untuk itu"".."
An Hun Kiong tertawa girang dan mereka lalu berpakaian. Tentu saja An Hun Kiong mengenakan pakaian panglima karena dia hendak mengunjungi tempat para tawanan dan tak lama kemudian keluarlah mereka berdua. Biarpun, hatinya merasa agak tidak enak terhadap para anak buahnya karena dia mengunjungi tawanan bersama kekasihnya, akan tetapi dia menahan perasaan ini demi cintanya kepada wanita ini yang telah memberi kesenangan dan kepuasan kepadanya oleh sikap yang tiba-tiba berobah amat mesra dan manis itu. Tentu saja para pengawal dan penjaga memandang dengan mata terbelalak, akan tetapi tidak ada seorangpun yang berani bertanya apa lagi membantah ketika mereka melihat An Hun Kiong bersama wanita cantik itu memasuki rumah tahanan.
"Nah, itulah dia"".!"
An Hun Kiong berkata ketika mereka tiba di depan kamar tahanan yang kokoh dan terjaga ketat itu. di mana Sian Lun, Gin San, dan Ling Ling ditahan.
Dapat dibayangkan betapa hancur dan penuh rasa iba hati Siang Bwee ketika dari luar dia melihat kekasih pujaan hatinya itu terbelenggu kaki tangannya dan berdiri menggelantung pada belenggu kedua tangannya dalam keadaan pingsan. Akan tetapi dia menahan perasaan hatinya itu, kemudian berkata lirih kepada An Hun Kiong,
"Koko, harap buka pintunya, biarkan aku mendekat."
An Hun Kiong memberi tanda kepada para penjaga untuk tetap berjaga di luar dan siap dengan anak panah mereka, kemudian dia menggunakan kuncinya membuka pintu kamar tahanan itu dan menggandeng tangan Siang Bwee memasukinya. Tiga orang tawanan itu memang masih dalam keadaan pingsan. Biarpun An Hun Kiong maklum betapa lihainya tiga orang muda itu, namun mereka itu masih pingsan, juga terbelenggu dengan amat kuatnya, dan dia yakin benar bahwa tidak mungkin ada manusia dapat mematahkan belenggu pada kaki tangan mereka itu yang terbuat dari baja tebal. Selain itu, di situ masih ada belasan orang penjaga dengan anak panah siap di tangan. Tiga orang tawanan itu takkan mampu memberontak sama sekali, pikirnya dengan tenang.
"Ah"".dia""..dia sudah mati""!"
Siang Bwee berkata, menahan kehancuran hatinya dan suaranya yang gemetar lemah disangka oleh An Hun Kiong sebagai suara orang kecewa.
"Tidak, Siang Bwee, dia belum mampus."
"Akan tetapi"".. apa artinya kalau dia tidak mampu melihatku, mendengarku atau merasakan sesuatu? Aku ingin dia dapat mendengar dan melihat, agar dia dapat merasakan pembalasanku, koko."
An Hun Kiong tersenyum, makin besar wanita ini memperlihatkan kebenciannya terhadap pemuda itu makin baik, karena betapapun juga ada rasa cemburu di dalam hatinya mendengar bahwa wanita yang dicintanya itu dahulu oleh kaisar dihadiahkan kepada pemuda ini.
"Mudah saja, sayang. Kautunggu sebentar!"
An Hun Kiong lalu minta kepada seorang penjaga di luar kamar tahanan itu untuk mengambil air dalam ember. Tak lama kemudian datanglah penjaga itu membawa seember air. Sambil tertawa An Hun Kiong lalu mengambil ember itu dan menyiramkan sebagian air ember ke muka Sian Lun! Dia tahu bahwa satu-satunya alat untuk menyadarkan orang yang pingsan karena
asap bius adalah air.
"Koko, biarkan teman temannya itu sadar juga agar merekapun melihat siksaan yang kulakukan! Aku ingin benar benar puas membalas dendam!"
Siang Bwee berkata Dalam kegembiraannya, An Hun Kiong tertawa dan diapun menyiramkan sisa air ke wajah Ling Ling dan Gin San.
Dengan hati berdebar penuh ketegangan. Siang Bwee memandang kepada Sian Lun. Hatinya terasa nyeri dan ngeri melihat betapa kaki tangan kekasihnya itu dibelenggu dengan rantai yang amat kuat sehingga seekor gajah-pun belum tenru akan dapat mematahkan ranta baja sepeiti itu. Dilihatnya perlahan-lahan kedua lengan yang tergantung itu menggigil, jari jari tangannya bergerak gerak tanda bahwa pemuda itu sudah hampir sadar dari pingsannya. Muka dan lehernya basah kuyup, rambut kepalanya juga basah dan air menetes-netes turun dari hidung dan dagunya. Ingin Siang Bwee menubruk kekasihnya, menangisi dan mengeringkan muka yang basah itu. Air yang menetes netes itu nampak olehnya seperti air mata pemuda itu!
Siang Bwee lalu mendekati An Hun Kiong dan berkata.
"Koko, pinjamkan pedangmu kepadaku!"
An Hun Kiong terbelalak dan mulutnyi tersenyum lebar.
"Eh, mau apa engkau? Dia dan teman temannya itu belum boleh dibunuh Bwee rnoi! Kalau engkau membunuhnya tentu aku akan kesalahan. Mereka harus dibunuh di depan umum besok, sebagai peringatan agar tidak ada lagi yang berani memberontak!"
"Jangan khawatir, koko, akupun mengerti dan aku tidak akan membunuhnya, hanya akan menakut nakutinya dan menyiksanya,"
Jawab Siang Bwee.
Au Hun Kiong melolos pedangnya dan sambil tersenyum dia menyerahkan pedang yang mengkilap tajam itu kepada kekasihnya. Betapapun juga, dia berada di situ dan dia dapat mencegah kalau kekasihnya meluap kemarahannya sehingga lupa dan akan membunuh tawanan itu. Kini Siang Bwee berdiri menghadapi Sian Lun yang sudah mulai menggerak-gerakkan pelupuk matanya.
An Hun Kiong berdiri di belakang Siang Bwee simbil bertolak pinggang dan tersenyum lebar, ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan oleh kekasihnya itu untuk membalas dendam dan menghina tawanan mu. Siang Bwee melangkah maju menghampiri Sian Lun dan pedang telanjang itu ditodongkan ke dada pemuda itu. Sian Lun mengejap-ngejapkan kedua matanya, mengeluh lirih lalu membuka matanya. Dia terbelalak, lalu mengejap-ngejapkan matanya lagi seolah-olah tidak percaya akan apa yang dilihatnya ketika pertama kali membuka mata dia melihat wajah yang amat dikenalnya, wajah cantik dari Siang Bwee! Akan tetapi melihat wanita itu berdiri di depannya sambil menodongkan sebarang pedang ke dadanya, dia hampir tidak percaya akan apa yang disaksikannya dan mengira bahwa dia sedang dalam mimpi!
"Mimpikah aku"".?"
Dia bertanya dengan suara lirih, karena sungguh dia merasa seperti dalam mimpi saja, semenjak bertemu dengan sute dan sumoinya sampai mereka bertiga menyerbu istana dan tertawan. Dia menarik-narik kedua tangannya akan tetapi baru dia sadar bahwa kedua tangan dan kakinya terbelenggu rantai kuat! Kembali dia memandang Siang Bwee.
"Hi-hik!"
Siang Bwee tertawa aneh! "Tidak. Tan Sian Lun, engkau tidak sedang mimpi, dan kaudengarkan kata kataku baik-baik. jangan banyak bergerak kalau tidak ingin pedang ini menembusi jantungmu!"
Sian Lun terbelalak, bukan mendengar ucapan itu, melainkan melihat betapa mata kiri Siang Bwee berkedip kedip, jelas memberi isyarat kepadanya! Dia melihat An Hun Kiong di belakang wanita itu dan Sian Lun bukanlah seorang bodoh! Sebaliknya, dia cerdas sekali dan kini, melihat orang Khitan yang kabarnya merupakan orang yang diberi hadiah oleh Thio-thaikam berupa diri Siang Bwee yang dipaksa oleh orang kebiri itu, melihat pula sikap Siang Bwee, dia tahu bahwa wanita yang mencintanya ini tentu sedang bermain sandiwara. Maka diapun lalu berkata dengan suara dingin,
"Nona, setelah aku tertawan, apa kaukira aku takut mati! Mau bunuh, lakukanlah!"
Dengan sedikit kata-kata ini dia sudah memberi tahu kepada Siang Bwee bahwa diapun ikut bersandiwara dan Siang Bwee mengertilah. Biasanya, Sian Lun tidak pernah menyebutnya nona, melainkan menyebut namanya saja, dan pemuda itu sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan dan tidak bertanya apa-apa, hal ini menandakan bahwa Sian Lun tentu sudah mengerti atau mendengar akan keadaannya dan tahu bahwa dia bersandiwara. Jantungnya berdebar tegang dan dia mengerling ke arah Gin San dan Ling Ling, dengan kerling yang diulang dan penuh arti, kemudian berkata, suaranya terdengar ketus dan galak.
"Tan Sian Lun, engkau laki-laki sombong, engkau laki-laki yang besar kepala! Sekarang, setelah engkau menjadi tawanan, engkau bisa apakah? Huh, besok engkau akan digantung! Hayo, perlihatkan lagakmu sekarang! Huh, kalau boleh, aku sendiri ingin sekali membunuhmu!"
Sian Lun sama sekali tidak memperhatikan ucapan-ucapan Siang Bwee karena tabu bahwa semua ucapan itu hanya kosong belaka dan di balik sikapnya ini. Siang Bwee tentu menghendaki sesuatu dan diapun mengertilah. Siang Bwee mengerling ke arah Gin San dan Ling Ling, agaknya hendak memberi waktu kepada dua orang itu untuk sadar, dan ketika dia menoleh kepada mereka, hatinya girang sekali melihat bahwa sutenya dan sumoinya itupun mulai sadar dan melihat betapa merekapun basah kuyup, dia tahu bahwa merekapun disiram air.
Hal ini mungkin juga merupakan hasil siasat Siang Bwee. Tentu Siang Bwee mengharapkan mereka bertiga dapat meloloskan diri maka berani bersikap seperti itu. Diam dia dia lalu mengumpulkan hawa sakti di dalam pusarnya dan mencoba-coba rantai di kaki dan tangannya. Kuat bukan main rantai itu, pikirnya dan mematahkannya dengan tenaga agaknya tidak mungkin. Akan tetapi, rantai rantai itu tertanam ke dalam tembok! Biarpun mematahkan rantai baja merupakan hal yang agaknya tidak mungkin, akan tetapi menjebol rantai itu dari tembok tentu akan dapat dilakukannya"
"Dahulu engkau berlagak, memandang rendah kepadaku. Sekarang? Hemm, engkau menjadi tawanan, engkau hampir mampus, dan aku berdiri di sini menghinamu, sebagai isteri seorang yang berkua. Hi-hik, betapa akan celaka nasibku kalau dahulu engkau bersikap ramah dan aku menjadi isterimu, Sian Lun! Rasakan engkau sekarang!"
Sian Lun memperhitungkannya dan dia melihat bayangan para penjaga yang siap dengan anak panah di luar kamar itu. Jalan satu-satunya hanyalah menangkap An Hun Kiong sebagai sandera sebagai perisai! Dan dia mengerling lagi kepada sute dan sumoinya, melihat bahwa merekapun saling pandang dan kaki tangan mereka tergetar, tanda bahwa merekapun sedang memperhitungkan keadaan! Suasana amat menegangkan baginya, dan hal ini agaknya terasa pula oleh An Hun Kiong, Melihat sikap tiga orang itu yang diam saja akan tetapi mata mereka begitu lincah dan tajamnya memandang ke kanan kiri dengan kerlingan kerlingan penuh perhatian dan perhitungan, dia merasa ngeri dan tidak enak juga.
"Siang Bwee-moi, sudah cukuplah. Mari kita pergi dari kandang ini. Kau boleh melukainya asal jangan membunuh, lalu mari kita pergi saja dari sini!"
Kata An Hun Kiong sambil melangkah mendekati kekasihnya. Akan tetapi, Siang Bwee sudah merasa gelisah bukan main dan hampir putus harapan melihat betapa Sian Lun masih saja mengerling ke sana ke mari dan belum juga dapat meloloskan diri dari belenggu! Tadinya dia harapkan pemuda itu yang dia tahu amat lihai, akan dapat memperoleh akal untuk membebaskan dirinya. Akan tetapi ternyata bahwa agaknya pemuda itu benar-benar tidak berdaya sehingga percuma sajalah semua siasat yang dijalankannya. Kegelisahan karena putus harapan ini membuat wanita ini menjadi nekat dah tiba tiba dia meloncat ke depan, merangkul pinggang Sian Lun dengan lengan kirinya sedangkan tangan kanannya masih memegar pedang, matanya memandang kepada An Hun Kiong dengan sinar berapi penuh kebencian mukanya pucat sekali dan dia berkata denga suara nyaring.
"Manusia busuk An Hun Kiong! Aku tidak berhasil membebaskan dia, akan tetapi aku akan mati bersamanya!"
Lalu dia menoleh dan berbisik kepada Tan Sian Lun.
"Tan taihiap"
Besok engkau akan dihukum mati"".. biarlah aku mendahuluimu, dan aku akan menantimu...".."
Berkata demikian, Siang Bwee membalikkan pedang dan hendak menggorok lehernya sendiri.
"Bwee-moi"".!"
An Hun Kiong berseru kaget.
Pada saat itu, Sian Lun menggerakkan pinggulnya dan sisi pinggul ini menumbuk tangan kanan Siang Bwee. Wanita itu berseru kaget, tangannya terasa nyeri dan pedang itu terlepas dari pegangannya, mengeluarkan bunyi nyaring di atas lantai batu. Dan pada saat itu, Sian Lun telah menggerakkan seluruh tenaganya menarik belenggu rantai baja pada kaki dan tangannya. Terdengar suara keras, batu-batu berantakan dan debu mengebul tebal ketika rantai-rantai itu jebol dari tanamannya di tembok! Pemuda itu telah berhasil membebaskan diri, sungguhpun rantai-rantai itu masih bergantungan pada kaki dan tangannya.
"Taihiap"".!"
Siang Bwee berteriak girang dan kaget bukan main, akan tetapi Sian Lun telah merangkulnya dan melindunginya dari runtuhan batu-batu dari tembok yang berhamburan.
"Minggirlah engkau, Siang Bwee"".!"
Kata Sian Lun dan mendorong tubuh wanita itu dengan halus ke belakangnya.
Pada saat itu, berturut-turut terdengar suara hiruk-pikuk dan batu batu dari tembok berhamburan, debu mengebul makin tebal ketika Ling Ling dan Gin San juga sudih berhasil menarik belenggu-belenggu kaki tangan mereka sampai jebol dan terlepas dari tembok.
Melihat ini, Ang Hun Kiong hendak melarikan diri. Akan tetapi Ling Ling yang memiliki ginkang luar biasa itu sudah meloncat seperti seekor naga sakti menyambar dan tahu-tahu dia telah menampar ke arah kepala An Hun Kiong. Orang she An ini bukan seorang lemah, melainkan murid terkasih dari Tai-lek Hoat-ong, maka tentu saja dia melihat tamparan ini dan cepat mengelak. Akan tetapi, gerakan Ling Ling terlampau cepat baginya dan sebelum dia mampu menyelamatkan diri, sebuah tendangan kilat dari dara sakti itu mengenai lututnya dan diapun roboh terpelanting. Gin San sudah meloncat dekat dan mengayun belenggu di tangan kanannya untuk menghancurkan kepala orang Khitan itu.
"Tringggg!"
Belenggu itu tertangkis oleh belenggu lain, yaitu rantai belenggu yang digerakkan oleh Sian Lun.
"Sute jangan bunuh dia! Kita butuh dia untuk sandera!"
Teriak Sian Lun dan barulah Gin San sadar bahwa dia tadi melakukan hal yang sangat ceroboh dan terburu nafsu karena
terdorong kemarahan.
(Lanjut ke Jilid 43)
Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 43
"Engkau benar, suhengl"
Katanya dan sekali jari tangannya rnenotok, tubuh An Hung Kiong telah menjadi lemas.
Sian Lun cepat menarik berdiri tubuh orang she An itu, kemudian membentak kepada para penjaga yang menjadi bingung dan yang sudah mempersiapkan anak panah di busur masing-masing.
"jangan bergerak, atau kami bunuh An Hun Kiong ini!"
Melihat betapa orang penting dari Khitan yang menjadi kepala mereka itu telah tertawan musuh, para penjaga menjadi bingung sekali, tak tahu apa yang harus mereka lakukan, dan beberapa orang di antara mereka yang berada di belakang, cepat lalu berlari untuk memberi laporan ke dalam istana.
"Taihiap"".. cepat"".. kunci-kunci ada di saku bajunya!"
Kata Siang Bwee dengan wajah pucat akan tetapi sepasang matanya yang indah itu kini berseri dan berkilat penuh kegembiraan, harapan dan semangat setelah melihat betapa keadaannya berobah sama sekali. Kalau tadinya dia sudah putus harapan dan nekat hendak membunuh diri, kini ternyata semua berjalan seperti yang direncanakan dan diharapkannya! Sian Lun telah bebas, bahkan dua orang kawannya yang gagah itupun telah bebas dan lebih dari itu malah, mereka telah dapat menawan An Hun Kiong sebagai sandera!
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, Siang Bwee"""
Terima kasih""."
Kata Sian Lun ketika dia memeriksa dan menemukan kunci-kunci di dalam saku baju tawanan itu, termasuk kunci-kunci untuk membuka belenggu kaki dan tangan mereka bertiga. Kini mereka benar-benar telah bebas dan mereka bertiga sudah siap menghadapi musuh. Sian Lun yang melindungi tubuh Siang Bwee dan memegang tubuh An Hun Kiong sebagai perisai di depannya, segera berkata kepada sute dan sumoinya.
"Mari kita keluar, jangan berada dalam ruangan"""!"
Mereka bertiga sudah tahu akan bahayanya kalau mereka berada dalam ruangan seperti ketika mereka tertangkap, maka kini ketiganya cepat keluar dari pintu itu. Para penjaga mundur mundur dengan ketakutan dan bingung karena mereka tentu saja tidak berani melepaskan anak panah, bahkan tidak berani bergerak menyerang karena khawatir kalau kalau An Hun Kiong dibunuh.
Kini mereka berada di luar kamar kurungan.
"Sute, cepat bebaskan para tawanan lain!"
Kata Sian Lun sambil melemparkan seikat kunci kepada sutenya. Dia tahu bahwa para tawanan itu adalah panglima-panglima dan pembesar-pembesar, juga orang-orang gagah yang telah mempertahankan dan melawan para penyerbu Tibet itu, orang-orang penting yang tertangkap kemudian dijebloskan ke dalam penjara. Jumlah mereka ada tigapuluh orang lebih dan kini Gin San membuka semua kamar tahanan membebaskan mereka tanpa perlawanan dari para penjaga yang kehabisan akal melihat kepala mereka tertangkap.
Setelah mereka semua bebas, para tawanan itu cepat merampasi senjata tombak, golok dan dang dari para penjaga, dan mereka siap untuk melakukan perlawanan mati-matian. Tiba-tiba datang serombongan pasukan dikepalai oleh Ba Mou Lama, Tai-lek Hoat-ong, Sin Beng Lama, Pek-ciang Cin-jin Ouw Sek, dan Kim-sim Niocu Bu Siauw Kim! Tiba-tiba Pek ciang Cin-jin Ouw Sek meloncat ke depan, kedua tangannya diangkat ke atas dan terdengar dia mengeluarkan suara teriakan melengking nyaring yang membuat beberapa orang perajurit terguling roboh, disusul suaranya yang penuh wibawa dan terdengar aneh mengeluarkan getaran hebat,
"Siapa berani menawan An Hun Kiong sicu! Hayo lepaskan dia, lepaskan dia, lepaskan dia"". aku memerintahkanmu untuk melepaskan dia!"
Kedua tangannya digerak-gerakkan dan tiba-tiba Sian Lun merasa kedua kakinya gemetar, matanya terbelalak seperti orang ketakutan dan dia melepaskan cekalan pada kedua lengan An Hun Kiong!
Akan tetapi tiba tiba terdengar suara melengking lain dan sebelum An Hun Kiong sempat bergerak karena tubuhnya lemas tertotok, Coa Gin San telah menyambar lengannya dan menarik tawanan ini.
"Suheng, jangan perdulikan dia! Gertak sambalnya itu tidak ada artinya!"
Mendengar suara Gin San yang juga mengandung getaran kuat dan berpengaruh ini, Sian Lun sadar kembali dan dia segera mengumpulkan kekuatan sinkangnya untuk menjaga diri dari kekuatan ilmu sihir lawan. Dia merasa ada tangan halus menyentuh lengannya dart belakang. Dia menoleh dan melihat Siang Bwee berdiri ketakutan. Dia tersenyum kepada wanita itu dan berbisik.
"Jangan takut""."
Siang Bwee juga tersenyum biarpun wajahnya pucat. Kini dia tidak takut lagi. Setelah berada di samping pria yang dicintanya, menghadapi apapun dia tidak takut. Paling hebat dia akan mati akan tetapi mati di samping kekasihnya merupakan kebahagiaan baginya, jauh lebih bahagia dari pada hidup namun terpisah!
"Mati hidup aku bersamamu, taihiap"".
"
Bisiknya.
Melihat kini para jagoan fihak lawan telah siap untuk mengepung dan mengeroyok, hanya mereka itu masih ragu karena melihat An Hun Kiong menjadi tawanan, Sian Lun lalu berkata tanpa ragu ragu lagi kepada Siang Bwee.
"Cepat, kau naiklah ke punggungku, biar kugendong dan kulindungi."
Tentu saja Siang Bwee merasa sungkan sekali, sungguhpun diam-diam dia merasa amat berbahagia akan kesudian orang yang dicintanya itu untuk menggendong dan melindunginya.
"Akan tetapi, taihiap"".."
Katanya dan tiba-tiba mukanya berubah merah sekali.
"Ssttt""cepatlah sebelum terlambat!"
Kata pula Sian Lun yang maklum bahwa satu-satunya jalan bagi mereka bertiga untuk lolos agaknya harus mengadu nyawa dan dia tidak mungkin dapat melindungi Siang Bwee dengan baik kecuali kalau menggendongnya. Meninggalkan Siang Bwee di situ berarti wanita itu tentu akan mati tersiksa karena sudah mengkhianati An Hun Kiong dan kalau terjadi pertempuran melawan orang orang pandai itu, sukar baginya untuk melindungi Siang Bwee jika terpisah darinya. Mendengar suara mendesak itu, Siang Bwee lalu merangkul leher Sian Lun dari belakang dan merasa betapa pinggulnya didorong oleh telapak tangan Sian lun sehingga dia terangkat ke atas dan duduklah dia di punggung pria yang dicintanya itu.
"Rangkul leherku kuat kuat"".."
Bisik lagi Sian Lun. Tidak perlu disuruh Siang Bwee sudah merangkul leher orang yang dicinta itu dengan pasrah dan dia sudah mengambil keputusan untuk mati hidup bersama orang yang di kaaihinya ini.
Ba Mou Lama dan para orang Tibet, juga termasuk Ouw Sek dan Bu Siauw Kim, sudah siap menerjang akan tetapi tiba-tiba Tai-lek Hoat-ong, tokoh Khitan yang sakti itu, berseru dengan suara penuh kekhawatiran.
"Harap jangan menggunakan kekerasan!"
Tentu saja dia merasa khawatir sekali melihat keadaan muridnya yang sudah dibekuk oleh Gin San itu dan maklumlah dia bahwa kalau tiga orang muda yang sakti itu hendak membunuh murid nya, dia tidak akan mungkin dapat menolongnya. Dan tadi ilmu sihir yang dipergunakan oleh Ouw Sekpun sudah gagal. Menggunakar kekerasan menyerang mereka berarti membunuh muridnya!
"Jangan serang mereka". ah, jangan dulu""
Kembali Tai-lek Hoat-ong atau Tayatonga itu berseru ketika melihat sikap para sekutunya dan dia cepat meloncat ke depan, menghadapi Sian Lun dan memandang pemuda ini dengan sinar mata tajam.
"Kenapa kalian bertiga begini pengecut, mempergunakan An-sicu sebagai sandera dan tidak berani menghadapi kami secara gagah?"
Bentaknya.
"Omong kosong!"
Bentak Gin San mewakili suhengnya.
"Bicara tentang kecurangan dan sifat pengecut, siapakah yang lebih pengecut? Kalian menggunakan kekuatan pasukan dan pengeroyokan untuk mengepung kami! Hayo mundur, atau.... kuhancurkan kepala dia ini!"
Sambil berkata demikian, Gin San sudah mengangkat tangannya didekatkan kepada kepala An Hun Kiong yang berwajah pucat dan sinar matanya membayangkan ketakutan hebat itu. Melihat ini, Tai-lek Hoat-ong mundur dan dia mengeluarkan ucapan dalam bahasa asing kepada Ba Mou Lama dan kawan-kawannya. Dan para tokoh itu lalu mundur, dan terdengar aba-aba Ba Mou Lama kepada para penjaga untuk memberi jalan kepada tiga orang tawanan yang terlepas itu.
"Kami melepaskan kalian, akan tetapi kalianpun harus membebaskan An-sicu"
Teriak Tai lek Hoa-ong dari balik pasukan yang berdiri di kanan kiri jalan memberi jalan kepada tiga orang muda itu.
"Kita lihat saja nanti!"
Gin San berseru pula. Melihat betapa fihak musuh sudah memberi jalan, Sian Lun lalu menurunkan Siang Bwee dan wanita ini berjalan sendiri, dengan pedang pinjaman dari An Hun Kiong tadi masih di tangannya. Ketika mereka berempat keluar dari kamar tahanan, Siang Bwee tidak lupa untuk memungut pedang itu, karena dianggapnya pedang itu berguna bagi kekasihnya. Dia tidak tahu bahwa orang yang sudah memiliki tingkat kepandaian seperti mereka bertiga itu, tidak memerlukan lagi bantuan senjata tajam.
Tiga orang pendekar perkasa itu kini berjalan perlahan dengan hati-hati penuh kewaspadaan. Mula-mula Gin San berjalan di depan sambil menelikung An Hun Kiong yang ditekuk lengannya kebelakang dan diancam kepalanya dengan tangan kiri. Kemudian di belakangnya berjalan Siang Bwee dengan pedang di tangan, dilindungi dari belakang oleh Sian Lun. Dan di belakang sendiri berjalan Ling Ling untuk menjaga dari belakang sehingga dara ini melangkah setindak demi setindak sambil mundur, sikapnya waspada dan gagah sekali, siap menghadapi serangan dari manapun juga datangnya!
Ketika mereka bertiga tiba di tempat terbuka yang lebar, yaitu di tepi taman bunga, dari istana, tempat itu ternyata amat terang, dipasangi banyak lampu penerangan dan di situ telah menanti para tokoh sakti fihak musuh bersama pasukan besar pengawal yang segera mengurung tempat itu! Kiranya fihak musuh menggiring mereka ke tempat terbuka yang luas sehingga mudah untuk mengepung tiga orang buronan itu!
Melihat keadaan ini, Sian Lun cepat berbisik kepada sutenya.
"Sute, lemparkan dia di tengah-tengah biar dijaga oleh Siang Bwee dan kita melindungi di sekelilingnya!"
Gin San maklum akan maksud suhengnya, maka dia lalu menotok lagi tubuh An Hun Kiong yang menjadi lumpuh sama sekali tanpa mampu menggerakkan tubuhnya dan melemparkan tubuh orang Khitan ini ke tengah-tengah
"Siang Bwee, jaga dia dengan pedangmu dan jangan kau pergi menjauhinya.
"
Kata pula Sian Lun. Siang Bwee maklum bahwa kekasihnya dan dua orang temannya itu akan melawan musuh, maka diapun mengangguk dan dia lalu mendekati An Hun Kiong yang rebah miring, berdiri menodongkan pedang di tangannya itu ke dada orang yang amat dibencinya ini. Tiga orang pendekar muda itu lalu menjaga di sekelilingnya, membentuk segitiga, membelakangi Siang Bwee menghadap ke luar dengan sikap gagah. Mereka bertiga maklum bahwa mereka akan menghadapi pengeroyokan hebat, namun sedikit juga mereka tidak nerasa gentar. Dengan adanya dua orang saudara seperguruan yang semenjak kecil saling berpisah namun yang kini dapat bersatu kembali, mereka masing masing merasakan adanya suatu semangat yang bernyala nyala, bahkan ada juga sedikit perasaan untuk berlumba dan saling memperlihatkan kelihaian dan kegagahan masing-masing.
Biarpun mengepung ketat, jelas nampak pada wajah para perajurit pengawal itu bahwa mereka merasa gentar sekali menghadapi tiga orang pendekar ini. Mereka maklum bahwa tiga orang itu amat berbahaya dan betapa nyawa mereka sendiri amat terancam, karena mereka sudah melihat sendiri betapa sebelum tertawan, banyak di antara kawan mereka yang roboh daa tewas oleh tiga orang yang lihai ini. Maka, mereka menjadi ragu-ragu bahkan nampak jerih sekali. Hanya para perajurit dan perwira Tibet yang tadi tidak ikut mengeroyok, yang nampak berani dan merekalah yang sudah siap untuk turun tangan begitu aba aba. diberikan.
Tai-lek Hoat-ong memandang dengan alis berkerut. Dia maklum bahwa dia tidak mungkin lagi mencegah Ba Mou Lama mengerahkan orang-orangnya untuk mengeroyok, tanpa memperdulikan keselamatan An Hun Kiong yang berada di tangan tiga orang itu. Tahulah kini tokoh Khitan itu bahwa dalam persekutuan ini fihaknya kena diakali oleh para tokoh Tibet, karena setelah mereka semua berhasil menduduki kota raja, orang-orang Tibet inilah yang memperlihatkan kekuasaannya, dan fihak Khitan hanya dianggap sebagai sekutu dan pembantu saja yang harus mentaati kehendak para pimpinan Tibet. Kini bahkan nyawa An Hun Kiong tidak diperdulikan lagi oleh Ba Mou Lama, maka diam-diam dia merasa khawatir dan marah sekali, memandang dengan wajah pucat ke arah An Hun Kiong yang rebah miring ditodong pedang oleh Siang Bwee. Dari para penjaga dia sudah tahu akan duduknya peristiwa, tahu bahwa An Hun Kiong dapati tertipu oleh wanita itu yang ternyata telah berkhianat dan bersekutu dengan tiga orang buronan itu.
Orang-orang Beng-kauw, yaitu bekas anak buah Beng-kauw utara yang kini menjadi anak buah Ouw Sek dan diperbantukan di istana, juga nampak jerih karena di situ terdapat Coa Gin San yang mereka kenal sebagai tokoh Beng-kauw yang amat lihai itu! Maka ketika Ba Mou Lama akhirnya memberi aba-aba.
"Serbu!"
Yang bergerak maju hanyalah beberapa belas orang perwira dan perajurit Tibet yang agaknya ingin berlomba untuk merobohkan atau menangkap tiga orang muda itu. Dan ternyata bahwa di antara mereka ini lebih banyak yang menerjang kepada Ling Lmg, mungkin karena mereka mengira bahwa tentu di antara mereka bertiga, dara yang cantik manis ini yang paling lemah, atau mungkin terdorong oleh sifat mata keranjang merekat.
Tidak kurang dari sepuluh orang menerjang Ling Ling, dan hanya lima enam orang saja menerjang Gin San dan Sian Lun. Akan tetapi, hasilnya sama saja. Ketika orang-orang itu menyerbu dengan senjata-senjata tajam mereka, dan dengan tangan-tangan terulur rakus ke arah tubuh Ling Ling, segera nampak senjata beterbangan disusul pekik dan teriakan hiruk-pikuk, kemudian tubuh orang-orang yang menyerbu ini terpelanting ke kanan kiri dan belakang dan dalam beberapa gebrakan saja, semua penyerbu telah roboh dan kalau tidak tewas tentu terluka parah! Mereka itu benar-benar seperti sekelompok nyamuk menyerbu api lilin!
Makin jerihlah para perajurit menyaksikar kehebatan tiga orang pendekar itu, dan Siang Bwee yang tadinya ketakutan sekali kini memandang dengan wajah berseri dan pandang mata penuh kagum kepada pria yang dicintanya dan dua orang temannya itu! Sebaliknya. Ba Mou Lama menjadi marah bukan main. lelah banyak dia kehilangan anak buah dan semua korban itu hanya untuk menghadapi tiga orang muda yang datang membikin kacau istana!
"Semua pasukan siap! Kepung mereka jangan sampai ada yang lolos, Kami sendiri yang akau menghadapi mereka!"
Dia lalu minta kepada para tokoh lihai yang membantunya untuk maju.
"Biar Aku yang menghadapi bocah ini!"
Kata Ouw Sek sambil menghampiri Gin San dan pendeta berusia setengah abad yang berpakaian mewah, tampan dan gagah ini sudah menerjang dengan senjatanya yang istimewa, yaitu tongkat emas yang mengeluarkan sinar berkilauan. Karena tokoh Beng kauw ini pernah menghadapi Gin San, maka diapun tidak berani memandang ringan karena dia tahu bahwa pemuda ini sungguh memiliki ilmu silat yang tinggi sekali dan biarpun dia pernah mengalahkan Gin San. namun kekalahan itu tipis sekali maka dia harus berhati hati dan tidak memandang rendah, sungguhpun pendeta pesolek ini menyerang sambil tertawa tawa. Di lain fihak Gin San juga sudah mengenal orang ini, tahu akan kesaktiannya, maka diapun sudah siap dan menyambut serangan itu dengan pengerahan tenaga dan dengan hati hati sekali.
Ba Mou Lama dibantu oleh Sin Beng Lama dan beberapa orang Panglima Tibet yang cukup lihai, segera maju menerjang Sian Lun. Pemuda ini sudah siap dan diapun tahu akan kelihaian pendeta Tibet itu, maka dia tidak berani memandang rendah, apa lagi pendeta ini dibantu oleh Sin Beng Lama dan tiga orang Panglima Tibet yang cukup tangguh. Tai-lek Hoat-ong sendiri, dibantu oleh beberapa orang Khitan lalu maju menerjang Ling Ling yang menyambutnya dengan marah. Ketika itu. Bu Siauw Kim juga meloncat dan membantu kekasihnya, Ouw Sek. Akan tetapi Ouw Sek mengerutkan alisnya dan berkata.
"Siauw Kim, jangan kau bantu aku. Dia ini musuh besarku. Lebih baik kau bantu Tai-lek Hoat-ong yang kewalahan menghadapi naga betina di sana itu!"
Bu Siauw Kim menoleh dan memang benarlah. Ling Ling terlampau hebat bagi Tai-lek Hoat-ong dan empat orang Khitan itu. Maka sambil berseru nyaring dia sudah meloncat dan menerjang Ling Ling yang mendesak Tai-lek Hoat-ong dengan pukulan-pukulan dahsyat.
"Dukkkl"
Ling Ling menangkis sehingga tubuh Bu Siauw Kim terpental. Kedua orang wanita yang sama cantiknya ini saling pandang, Siauw Kim tersenyum mengejek sedangkan Ling Ling memandang penuh kemarahan dan kebencian. Musuh besar ayah bundanya ini masih hidup dan sekarang dia memperoleh kesempatan untuk menghadapinya dan membunuhnya.
"Bagus, engkau datang mengantar nyawa!"
Bentaknya dan dia segera menerjang musuh besarnya itu dengan lompatannya yang amat cekatan seperti seekor burung walet menyambar. Memang Ling Ling telah mewarisi ginkang dari Bu Eng Lojin sehingga dia dapat bergerak luar biasa cepatnya.
Bu Siauw Kim sendiri yang termasuk seorang wanita sakti dan memiliki ginkang istimewa, Sampai terkejut bukan main dan cepat diapun mengelak sambil menggerakkan tangan menangkis karena hanya mengelak saja amat berbahaya menghadapi kecepatan kilat itu. Kembali lengan mereka bertemu dan tahu-tahu Ling Ling sudah menyerangnya lagi. Bu Siauw Kim terdesak dan untung baginya karena saat itu, Tai-lek Hoat-ong sudah menerjang Ling Ling sehingga dara ini terpaksa membagi perhatiannya. Dia lalu dikeroyok dua dan terjadilah perkelahian yang amat seru, tidak kalah serunya dengan perkelahian yang terjadi antara Gin San melawan Ouw Sek.
Kalau Ouw Sek yang menandingi Gin San dan Tai-lek Hoat-ong dibantu Bu Siauw Kim yang menandingi Ling Ling itu membuat dua orang pendekar ini memperoleh tandingan yang amat kuat, di lain fihak Sian Lun sebenarnya terlampau kuat bagi Ba Mou Lama dibantu Sin Beng Lama. Akan tetapi, di samping guru dan murid ini terdapat tiga orang Panglima Tibet yang tangguh, dan setiap kali Sian Lun merobohkan tiga orang panglima ini, muncul tiga orang lain sehingga dia selalu tetap dikeroyok oleh lima orang lawan!.
Karena itu, maka keadaannya tidak lebih baik dari pada keadaan dua orang sute dan sumoinya dan dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk menghadapi lawan, dan di samping itu juga selalu waspada agar tidak ada musuh yang dapat menyelinap ke dalam lingkaran dan menyerang Siang Bwee atau menolong dan membebaskan An Hun Kiong. Siang Bwee memandang dengan alis berkerut dan penuh kekhawatiran. Musuh terlampau banyak dan biarpun tiga orang pendekar itu amat sakti, namun dikurung oleh demikian banyaknya musuh, keadaannya menjadi berbahaya juga. Dia tahu akan hal ini akan tetapi sikapnya tetap tenang.
Betapapun juga, Sian Lun berada di situ dan kalau dia melihat pemuda pujaan hatinya itu roboh dan tewas, diapun tidak mungkin dapat hidup lagi dan dia tentu akan membunuh diri dengan pedangnya, akan tetapi tentu saja lebih dulu dia akan membunuh An Hun Kiong yang amat dibencinya. Kalau sejak tadi dia belum membunuh An Hun Kong padahal kesempatan berada di lengannya, adalah karena dia menganggap bahwa orang Khitan ini masih penting bagi tiga orang pendekar itu, sebagai sandera. Padahal, tangannya sudah gatal-gatal untuk segera menusukkan pedang di tangannya itu ke dalam dada Panglima Khitan itu, sampai menembus jantungnya!
An Hun Kiong juga maklum bahwa nyawanya berada di ujung rambut. Semenjak tadi dia memandang Siang Bwee dan ketika kebetulan wanita itu memandang kepadanya, An Hun Kiong berkata, suaranya penuh dengan kelembutan dan kasih sayang.
"Bwee moi mengapa..."
Mengapa kau lakukan ini"".?"
Siang Bwee tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebencian dan ujung pedangnya menempel di dada orang Khitan itu, sampai menembus baju dan terasa nyeri pada kulit dada.
"Bwee-mol, aku"".. aku cinta kepadamu...". kau tahu ini, dan kau"".. bukankah engkau telah menjadi isteriku, bukankah engkaupun suka kepadaku? Kenapa kau berbalik sikap dan memusuhiku? Sayangku, aku cinta padamu, aku adalah suamimu, ingatlah ini"" "
"Crott!"
Ujung pedang itu menikam sehingga masuk satu senti ke dalam daging di dada An Hun Kiong, membuat orang Khitan itu menyeringai menahan nyeri.
"Keparat jahanam!"
Siang Bwee mendesis penuh kepedihan hati.
"Siapa sudi padamu? Aku menyerahkan diri hanya karena ingin menyelamatkan Tan-taihiap! Engkau anjing hina! Aku bersumpah untuk membunuhmu, karena engkau telah memaksa aku mengorbankan kehormatanku!"
Sampai di sini. Siang Bwee tidak dapat menahan dua titik air mata penyesalan jatuh.
"Tapi"".. tapi aku tidak pernah memaksamu...""
Dan malam tadi, engkau demikian manis"".. demikian penuh penyerahan, kemesraan"".. aughhh!"
Kembali pedang itu ditekan dan dari dada An Hun Kiong mengucur darah karena ujung pedang telah melukai dadanya.
"Bangsat! Aku berbuat demikian untuk membujukmu membawaku kepadn Tan-taihiap! Tunggu saja""aku pasti akan membunuhmu, keparat!"
Siang Bwee berkata lagi penuh penyesalan dan kedukaan. Dia merasa betapa dirinya menjadi kotor dan hina, tidak berharga lagi bagi Sian Lun. Akan tetapi dia harus bertahan sampai pendekar itu benar benar terbebas dari bahaya.
Akan tetapi, agaknya, harapan Siang Bwee jauh dari pada kenyataan. Tiga orang pendekar itu menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh karena pengeroyokan yang tiada hentinya sehingga mereka mulai merasa lelah setelah malam mulai larut dan pagi menjelang tiba.
Gin San sendiri tadinya masih dapat mengimbangi Ouw Sek. Kedua orang ini yang mempunyai sumber kepandaian yang sama, tentu saja saling mengenai ilmu-ilmu masing-masing. Hanya Ilmu Cap sha Tong thian ciptaan mendiang Maghi Sing tidak dikenal oleh Ouw Sek, akan tetapi Ouw Sek juga memiliki pukulan-pukulan simpanan yang tidak dikenal Gin San, dan betapapun juga dasar dari pada pukulan mujijat ini masih satu sumber, maka keduanya masih mampu menghindarkan diri. Untungnya bagi Gin San, biarpun dia kalah matang dalam latihan, pemuda ini telah mewarisi tenaga mujijat dari mendiang gurunya itu sehingga dalam hal tenaga sinkang, bukan saja dia dapat mengimbangi Ouw Sek, bahkan dia lebih kuat sedikit dibandingkan dengan Ouw Sek yang banyak menghamburkan tenaganya dalam pengejaran kesenangan dunia dan untuk melampiaskan nafsu nafsu berahinya.
Karena kekalahan latihan namun kemenangan tenaga sin-kang inilah maka perkelahian antara kedua orang tokoh Beng-kauw ini benar-benar hebat dan sampai sekian lamanya tidak ada yang menang atau kalah. Akhirnya, beberapa orang tokoh Tibet yang merasa tidak sabar terjun ke dalam gelanggang perkelahian, mengeroyok Gin San karena di antara tiga orang pendekar muda itu, hanya Gin San yang sejak tadi tidak dikeroyok. Majunya beberapa orang ini tentu saja membuat Gin San terdesak, dan seperti halnya Sian Lun dan Ling Ling, begitu dia merobohkan dua tiga orang pengeroyok, tubuh atau mayat mereka itu dihalau pergi dan sebagai gantinya telah ada pengeroyok-pengeroyok lain yang bertenaga segar maju menggantikan.
Tiga orang pendekar inipun maklum bahwa keadaan amat gawat dan berbahaya. Mereka telah merobohkan entah berapa banyak orang pengeroyok yang selalu diganti oleh yang baru, dan mereka sudah kehilangan banyak tenaga. Mereka maklum bahwa kalau keadaan seperti ini dilanjutkan, akhirnya mereka akan roboh, juga karena lelah. Akan tetapi untuk melarikan diripun tidak mungkin. Tempat itu dikepung ketat, tidak ada jalan keluar sama sekali! Maka ketiganya, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, sudah mengambil keputusan untuk melawan sampai hembusan napas terakhir!
Sinar matahari pagi telah mulai menyorot dan perkelahian di taman itu masih berlangsung dengan hebatnya.
"Desak terus, serbu terus!"
Ba Mou Lama berteriak ketika melihat betapa tiga orang muda perkasa itu sudah mulai lamban gerakannya saking lelahnya. Akan tetapi, seolah-olah sebagai jawaban atas teriakannya itu, tiba-tiba terdengar suara gegap-gempita di luar istana yang disusul oleh suara gemuruh dan teriakan-teriakan yang amat gaduh. Semua orang terkejut dan tak lama kemudian, suara itu kian gemuruh, dan muncullah beberapa orang perajurit berlarian ke tempat pertandingan itu. Kemudian terdengar teriakan-teriakan gugup,
"Musuh datang menyerbu!"
"Pintu gerbang kota raja sudah bobol!" "Musuh sudah berada di depan istana!" "Bantu memperkuat pintu gerbang istana!" "Celaka, musuh membobolkan pintu gerbang!"
Teriakan-teriakan itu menggegerkan mereka yang sedang mengeroyok tiga orang pendekar itu. Sebaliknya, Sian Lun, Gin San dan Ling Ling girang bukan main. Saat yang mereka tunggu-tunggu sudah tiba. Pasukan-pasukan kaisar telah berhasil menyerbu dan memasuki kota raja, bahkan telah mengepung istana dan sudah membobolkan benteng dan pintu gerbang istana! Tentu saja kenyataan ini menambah semangat bagi mereka, memulihkan tenaga mereka sehingga dengan gerakan tangkas sekali Ling Ling mampu menendang lutut Tai-lek Hoat-ong, membuat tokoh Khitan itu terguling dan sebelum Bu Siauw Kim sempat mencegah, Ling Ling telah meloncat ke depan dan sekali kakinya bergerak, dia telah menginjak kepala Tai-lek Hoat-ong. Terdengar lengking mengerikan dan kepala itupun pecah!
Bu Siauw Kim terkejut bukan main, akan tetapi karena saat itu Ling Ling sudah menerjangnya dengan pukulan pukulan maut yang dilakukan bertubi tubi, Bu Siauw Kim mengelak dan terus mundur. Tiga orang Khitan yang menyerang Ling Ling membuat dara ini tidak dapat mendesak terus akan tetapi kemarahannya meluap-luap dan tubuhnya bergerak cepat sehingga tiga orang itupun terpelanting dan roboh tewas terkena tamparan tamparan maut dari dara ini!
Sementara itu, Sian Lun juga mendejak Ba Mou Lama yang nampak gugup. Pendeta ini lalu melompat ke belakang, mengucapkan kata kata dalam Bahasa Tibet kepada murid dan para pembantunya, kemudian pendeta Lama berjubah merah ini sudah berlari meninggalkan gelanggang perkelahian karena dia harus memimpin pasukan untuk menghadapi penyerbuan musuh. Sian Lun mengamuk seperti seekor naga sakti dan dalam beberapa jurus saja, biarpun dia dikeroyok banyak orang Tibet, dia berhasil menendang roboh Sin Beng Lama. Pendeta ini masih sempat menusukkan tongkatnya ke dada Sian Lun, akan tetapi Sian Lun mengibaskan tangannya dan tongkat itu membalik, langsung menancap dada pemiliknya. Sin Beng Lama berteriak dan roboh, tewas seketika!
"Hendak lari ke mana kau?"
Gin San membentak ketika melihat Ouw Sek meloncat ke belakang dan melarikan diri. Ouw Sek ini orangnya cerdik sekali. Mendengar akan datangnya serbuan musuh, tentu saja dia merasa gentar dan paling perlu adalah menyelamatkan dirinya sendiri, maka tanpa berkata apa apa dia sudah meloncat dan melarikan diri.
"Sute, jangan kejar!"
Teriak Sian Lun karena merasa khawatir kalau-kalau Gin San akan terjebak. Mendengar seruan ini, terpaksa Gin San menahan diri dan hanya mengamuk dan merobohkan orang orang Tibet dan Khitan yang kini menjadi makin panik karena selain para pemimpinnya roboh dan mundur, juga suara-suara serbuan pasukan musuh makin dekat dan membuat mereka makin gentar.
"Siluman betina jangan lari kau!"
Ling Ling juga berteriak ketika melihat tiba-tiba Bu Siauw Kim lari meninggalkan gelanggang menyelinap di antara kekacauan para perajurit Tibet.
"Sumoi, jangan kejar!"
Kembali Sian Lun berseru dan Ling Ling terpaksa menghentikan niatnya, apa lagi karena memang tidak mudah mengejar musuh yang lenyap di antara para perajurit pengawal Tibet dan Khitan yang mulai berlarian ke sana sini seperti serombongan semut yang dikacau itu. Akhirnya tidak ada lagi musuh yang mengeroyok mereka dan ketiga orang muda sakti itu baru merasa betapa letihnya kedua tangan dan kaki mereka. Mereka lalu menghampiri Siang Bwee dan melihat wanita ini menangis.
"Jangan""..!!"
Tiba-tiba Sian Lun meloncat, namun terlambat. Pedang di tangan Siang Bwee itu sudah amblas ke dalam dada An Hun Kiong. Orang Khitan itu terbelalak, mengeluarkan jerit tertahan dan tubuhnya berkelojotan, darah menyembur keluar ketika dengan sekuat tenaga Siang Bwee mencabut kembali pedang itu. Kemudian, sambil menangis, wanita yang sudah nekat ini menggerakkan pedang menggorok leher sendiri! Akan tetapi, semenjak menggagalkan percobaan membunuh diri dari Siang Bwee di dalam kamar tahanan, Sian Lun telah waspada, maka begitu melihat wanita itu menggerakkan pedang, dia sudah meloncat ke depan, menubruk dan merampas pedang itu, melemparnya! jauh-jauh.
"Siang Bwee, apa yang kau lakukan ini?"
Bentaknya, dengan nada penuh teguran. Siang Bwee menoleh, memandang kepada pria itu, kemudian dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu.
"Taihiap untuk apa aku hidup lagi".? Hidup sebagai seorang yang hina, kotor dan tercemar"".? Ahh, mengapa taihiap mencegah aku mati? Apakah taihiap begitu tidak menaruh kasihan kepadaku.... ingin melihat aku hidup tersiksa"".?"
Ling Ling mengerutkan alisnya, dan juga Gin San maklum apa yang telah terjadi dan menimpa gadis yang lemah namun berwatak gagah dan berani ini. Seperti juga Ling Ling, dia dengan mudah dapat menduga bahwa gadis ini amat mencinta Sian Lun, mengorbankan diri untuk Sian Lun! Dan harus mereka akui bahwa tanpa bantuan gadis ini, mereka bertiga mungkin takkan mampu menyelamatkan diri.
Sian Lun juga mengerti dan hatinya terharu bukan main.
"Siang Bwee, jangan kau membunuh diri, jangan kau mati! Aku akan berduka dan merana sekali kalau engkau melakukan hal itu."
Sepasang mata yang basah air mata itu terbelalak, muka yang pucat itu berdongak memandang.
"Be"".. benarkah ucapanmu itu, taihiap? Engkau.... engkau menhendaki aku hidup"".?"
Sian Lun mengangguk "Aku ingin melihat engkau hidup, sehat dan bahagia!"
"Tapi"".. aku hanya dapat berbahagia kalau hidup di dekatmu, taihiap! Bolehkah aku terus di sampingmu?"
Kembali Sian Lun mengangguk dengan hati terharu, dan dia mengangkat bangun gadis itu yang kembali menangis, akan tetapi kini menangis karena berbahagia. Kalau dia boleh hidup di dekat Sian Lun, tentu saja dia mau hidup seribu tahun lagi!
"Terima kasih, taihiap. Aku tidak akan membunuh diri, sama sekali tidak!"
"Tapi kau harus benar benar memegang janjimu itu,"
Kata Sian Lun.
"Katakan, siapakah yang memaksamu"". menyerahkan diri kepada An Hun Kiong?"
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Thio-taijin si keparat itu!"
Kata Siang Bwee sambil mengepal tinju tungannya yang kecil.
"Hayo kauantar aku mencarinya!"
Katanya, kemudian menoleh kepada sute dan sumoinya.
"Sute, dan kau sumoi, tentara kerajaan sudah menyerbu, lekas kalian membantu dan jangan biarkan penghianat keji itu meloloskan diri. Aku akan menyerbu masuk ke istana mencari Thio-thaikam!"
Setelah berkata demikian, Sian Lun menggandeng tangan Siang Bwee diajak memasuki istana untuk menjadi petunjuk jalan.
Sementara itu, Ling Ling sejenak tertegun menyaksikan sikap Sian Lun dan Siang Bwee. Dia dapat melihat betapa Siang Bwee amat mencinta Sian Lun, dan melihat pula betapa suhengnya itu amat terharu dan agaknya suhengnya takkan mampu membiarkan gadis itu melepas budi yang sedemikian besarnya tanpa membalasnya. Hal ini mendatangkan rasa tidak enak di dalam hatinya. Dia tidak tahu betapa Gin San memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kagum dan mesra. Barulah dia terkejut ketika Gin San menyentuh tangannya.
"Sumoi, kita baru saja lolos dari lubang maut!"
Kata pemuda ini gembira. Ling Ling membiarkan tangannya dipegang sebentar , kemudian menarik tangannya dengan halus.
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo