Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 43


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 43



"Berkat pertolongan Siang Bwee, ji-suheng. Mari kita mengamuk keluar, aku ingin sekali dapat membekuk batang leher siluman betina Bu Siauw Kim! Aku ingin dapat membalas kematian ayah bundaku,"

   "Mari kubantu engkau, sumoi. Akupun belum puas kalau belum dapat merobohkan penjahat Ouw Sek!"

   Biarpun tadi mereka amat lelah, namun istirahat sejenak itu telah memulihkan tenaga mereka dan ketika teringat akan musuh-musuh mereka, Ling Ling dan Gin San menjadi bersemangat lagi dan larilah keduanya keluar dari istana di mana telah terjadi pertempuran karena fihak pasukan sudah mulai menyerbu. Di antara para penyerbu terdapat beberapa orang anggauta Im yang-pai yang memberi hormat ketika mereka melihat dua orang muda perkasa itu. Sementara itu, Sian Lun bersama Siang Bwee telah memasuki istana dan dengan wanita itu menjadi petunjuk jalan, Sian Lun memasuki gedung di mana Thio-thaikam tinggal semenjak istana diduduki oleh pasukan Tibet. Akan tetapi kedatangannya terlambat karena pembesar itu telah melarikan diri dari tempat itu. Dari seorang dayang yang menggigil ketakutan Sian Lun mendapat keterangan bahwa Thio thaikam baru saja ikut melarikan diri bersama para pembesar lain melalui pintu belakang, dikawal oleh para pengawal pribadinya.

   Melihat bahwa pasukan pasukan pemerintah telah menyerbu, Sian Lun yang juga melihat adanya beberapa orang Im-yang-pai lalu menyuruh lima orang Im-yang-pai untuk menjaga dan melindungi Siang Bwee. Tentu saja lima orang itu merasa bangga dan girang dipercaya oleh pendekar ini.

   "Siang Bwee, kautunggu di sini dulu, aku harus mengejar keparat itu!"

   Kata Sian Lun dan tanpa menanti jawaban, tubuhnya sudah melesat cepat, lenyap di antara keributan dan banyak orang dan dia sudah melakukan pengejaran terhadap Thio-thaikam.

   Setelah keluai dari istana, ternyata olehnya bahwa kota raja telah penuh dengan pasukan kerajaan dan hatinya menjadi lega. Orang-orang Tibet dan Khitan banyak yang telah roboh, sebagian besar berusaha untuk melarikau diri dan terjadi pertempuran di mana-mana, akan tetapi selalu fihak pasukan kerajaan yang mendesak dan menghimpit karena selain jumlah mereka lebih banyak, juga semangat mereka lebih besar dibandingkan dengan fihak musuh ang sudah gentar menerima pembalasan hebat itu.

   Sian Lun mencari jalan sambil merobohkan beberapa orang musuh. terdekat, dan setelah bertanya sana-sini akhirnya dia memperoleh jejak Thio-thaikam dan rombongannya yang melarikan diri lewat pintu gerbang barat. Cepat dia melakukan pengejaran dan akhirnya dia melihat rombongan Thio-thaikam ini sedang bertempur melawan pasukan kerajaan tepat di luar pintu gerbang sebelah barat itu. Girang hatinya melihat ini, apalagi ketika dia mengenal bahwa pasukan itu dipimpin oleh sahabatnya. Panglima Ong Gi! Biarpun pasukan Ong-ciangkun ini jauh lebih banyak jumlahnya, namun karena Thio thiikam yang berkuda itu dikawal oleh orang-orang pandai, maka agaknya Ong-ciangkun menghadapi kesukaran dan banyak perajuritnya sudah roboh sungguhpun bagi rombongan Thio-thaikam sukar pula untuk dapat menyelamatkan diri karena sudah terkepung rapat.

   Ong-ciangkun sendiri yang dibantu oleh beberapa orang perwira sedang mencoba untuk mengepung dan merobohkan dua orang yang kelihatan amat lihai, dan segera Sian Lun mengenal mereka ini sebagal Tiat-liong Liem Kiat dan gurunya, yaitu Tek Po Tosu. Mengenal Tek Po Tosu, bangkit kemarahan Sian Lun. Itulah orangnya yang menurut Siang Bwee adalah tangan kanan Thio-thaikam yang memusuhi ayahnya dahulu. Maka dia segera menyerbu sambil berseru,

   "Ong ciangkun, serahkan tosu siluman ini kepadaku!"

   Elihat munculnya pemuda ini, Ong Gi girang bukan main,

   "Tan-ciangkun"".!"

   Serunya dan dengan kagum dia menyaksikan betapa dengan sekali terjang saja. Sian Lun telah berhasil merobohkan empat orang perajurit pengawal musuh dan kini pemuda perkasa itu sudah mendesak Tek Po Tosu dan muridnya. Melihat ini, Ong Gi lalu memerintahkan para perwira bawahannya untuk memperkuat pengepungan terhadap Thio-thaikam yang masih dilindungi oleh banyak pengawal itu.

   Tek Po Tosu terkejut dan merasa jerih menyaksikan sepak terjang Sian Lun yang sekali terjang telah merobohkan empat orang itu. Dia sudah cepat menggerakkan sepasang pedang di tangannya, menyilangkan sepasang pedang itu di depan dada, sikapnya melindungi diri saja karena dari gerakan pemuda itu maklumlah dia bahwa pemuda ini amat lihai, jauh lebih lihai dari pada mendiang pendekar Tan Bun Hong, ayah kandung pemuda ini. Liem Kiat yang sudah pernah merasakan kelihaian pemuda itupun sudah melintangkan pedangnya, dan membiarkan para pengawal mengepung pemuda itu.

   Dengan mata bersinar penuh kemarahan Sian Lun memanding kepada tosu tua itu dan membentak,

   "Tek Po Tosu, ingatkah engkau akan dosa-dosamu kepada mendiang ayahku, pendekar Tan Bun Hong?"

   Tek Po Tosu tidak menjawab, hanya memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya agak pucat, jantungnya berdebar ngeri karena dalam pandangannya, wajah Sian Lun pada saat itu serupa benar dengan pendekar Tan Bun Hong ketika pendekar itu mengamuk di gedungnya belasan atau duapuluh tahun yang lalu. Liem Kiat juga gentar terhadap pemuda ini, maka dia cepat mengeluarkan aba-aba untuk menggerakkan pasukan pengawalnya yang segera mengeroyok Sian Lun. Pemuda ini mengamuk seperti seekor naga dan banyaklah perajurit pengawal yang terpelanting ke kanan kiri.

   "Lun-koko""".!"

   Seruan ini membuat Sian Lun menengok dan dia melihat bahwa ada pasukan baru yang datang dan di antara mereka terdapat Yap Wan Cu yang baru saja berteriak memanggilnya itu, di samping ayah bunda gadis itu yang menyerbu musuh dengan gagah perkasa! Tentu saja Sian Lun menjadi gembira sekali.

   "Wan Cu moi-moi"

   Teriaknya dan cepat dia menyambung.

   "Kau hadapi tikus-tikus ini agar aku dapat menghadapi tosu keparat itu"

   "Baik. Koko!"

   Wan Cu mengamuk dan memutar pedangnya membuat para pengawal itu kocar-kacir. Hati dara ini gembira dan penuh semangat begitu dia melihat pemuda perkasa yang dicintanya itu dalam keadaan selamat. Tadinya dia sudah khawatir bukan main ketika ada berita bahwa Sian

   Lun bersama dua orang temannya tertawan musuh.

   Setelah Wan Cu datang membantu, Sian Lun lalu melompat dan menerjang Tek Po Tosu yang menyambut serangannya dengan bacokan pedang kiri disusul tusukan pedang kanan. Serangan ini cukup dahsyat, akan tetapi bagi Sian Lun hanya merupakan serangan lemah seorang tua yang ketakutan. Dengan merendahkan tubuh dia membiarkan bacokan pedang lewat dan ketika pedang ke dua menusuk, dia miringkan tubuh dan tangannya bergerak ke depan. Tek Po Tosu berseru keras karena tiba-tiba saja tangan kanannya terasa lumpuh dan pedang di tangan kanan yang menusuk tadi telah pindah ke tangan lawan!

   Saat itu Liem Kiat yang membantu gurunya menerjang dari belakang. Tanpa menoleh Sian Lun melontarkan pedang rampasannya ke belakang. Pedang meluncur bagaikan anak panah cepatnya menyambut tubuh Liem Kiat.

   "Creppp!"

   Pedang itu menusuk perut dan menembus punggung Liem Kiat. Pengawal kurus ini terjengkang roboh dan tewas seketika. Tek Po Tosu marah dan juga ketakutan. Dia menjadi nekat, menggunakan pedang di tangan kiri untuk menubruk, sedangkan tangan kanannya melakukan pukulan yang mengandung tenaga lweekang

   "Plakk! Krekk!"

   Tosu itu mengeluh, pedangnya terlempar dan lengan kanannya patah tulangnya ketika bertemu dengan lengan Sian Lun! Ternyata menghadapi musuh besar ini, Sian Lun telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga tentu saja Tek Po Tosu tidak dapat menahannya. Tahu bahwa nyawanya terancam, kakek ini lalu melompat dan hendak melarikan diri. Akan tetapi Sian Lun telah menyambar pedang musuh itu dan sekali melontarkan pedang itu, pedang telah meluncur cepat mengejar. Tek Po Tosu mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh menelungkup, punggungnya tertembus pedangnya sendiri dan tewaslah dia.

   Setelah berhasil membunuh musuh lama ayahnya, Sian Lun lalu menyerbu ke arah pasukan pasukan pengawal yang mempertahankan Thio-thaikam. Thaikam gendut itu kelihatan pucat dan menggigil di atas kudanya melibat betapa pasukan pengawalnya mulai terhimpit. Dia sendiri memegang sebatang pedang, namun pedang itu hanya dipegang dengan tangan gemetar, karena dia tidak berani ikut bertempur. Sian Lun maklum bahwa pembesar ini mempunyai dosa besar, telah berkhianat terhadap pemerintah, maka dia lalu melompat, melampaui kepala para pengawal dan meluncur turun di tengah-tengah, tak jauh dari pembesar itu. Melihat pemuda ini tiba-tiba berada di depan kudanya, Thio-thaikam terkejut bukan main. Akan tetapi dasar orang yang terlalu mementingkan diri sendiri dan yang diingat hanya keselamatan dirinya sendiri, dia masih ada muka untuk berkata,

   "Tan-ciangkun, selamatkan saya""

   Dan selaksa tail emas akan kuberikan kepadamu""!"

   Tentu saja ucapan itu merupakan minyak yang disiramkan dalam api kebencian Sian Lun. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan melompat ke depan. Pembesar gendut itu mencoba untuk membacokkan pedangnya, akan tetapi sekali sampok saja pedang itu terpental dan di lain saat tubuhnya sudah diseret turun dari atas kuda oleh Sian Lun yang menarik lengan tangan pembesar itu.

   "Aduhhh"""

   Aduhh"""

   Mati aku""!"

   Thio-thaikam berteriak-teriak seperti seekor babi disembelih. Akan tetapi Sian Lun yang maklum akan pentingnya orang ini, tidak mau membunuhnya, hanya menariknya bangun dan berteriak nyaring.

   "Thio-thaikam telah kutangkap! Hayo kalian semua

   menyerah!"

   Semua pasukan pengawal itu hanya melindungi Thio-thaikam karena menerima upah besar. Kesetiaan mereka hanyalah kesetiaan belian saja. maka kini melibat betapa pembesar itu telah tertawan, nyali dan semangat mereka lenyap. Mereka membuang senjata dan menjatuhkan diri berlutut, menyerah saja ketika mereka digiring oleh para pasukan di bawah pimpinan Panglima Ong Gi.

   Sementara itu, Gin San dan Ling Ling yang tadi mengejar keluar istana, tidak lagi dapat menemukan bayangan Ouw Sek dan Bu Siauw Kim. Ketika mereka tiba di luar pintu gerbang utara, mereka melibat rombongan Ba Mou Lama sedang mengamuk, dikeroyok oleh pasukan kerajaan yang merasa kewalahan juga menghadapi pendeta yang sakti ini, sungguhpun jumlah mereka jauh lebih banyak dari pada jumlah para pengikut Ba Mou Lama. Melihat ini, dua orang muda perkasa itu sudah menerjang masuk. Gin San langsung menghadapi Ba Mou Lama sedangkan Ling Ling mengamuk dan menerjang para pengikut Ba Mou Lama, yaitu para pendeta dan Panglima Tibet yang melarikan diri bersama pemimpin besar mereka itu.

   Ba Mou Lama adalah seorang pendeta Lama Jubah Merah yang sakti. Kelompok Lama Jubah Merah memang terkenal sebagai kelompok pendeta di Tibet yang selain berpengaruh juga memiliki banyak tokoh yang pandai dan Ba Mou Lama merupakan seorang di antara mereka yang telah berhasil menjadi seorang di antara pimpinan Kerajaan Tibet.

   Kini, karena petualangannya telah gagal, dan ternyata pasukannya hanya mampu bertahan beberapa hari saja di kota raja, dia merasa kecewa dan juga menyesal karena Kerajaan Tibet tidak segera mengirim pasukan besar untuk memperkokoh kedudukannya di kota raja. Maka dia menjadi nekat dan begitu melihat Gin San terjun ke dalam medan pertempuran dan dia tahu benar akan kelihaian pemuda ini, dia sudah menyambut dengan serangan-serangan maut! Namun, Gin San dapat menghindarkan diri dengan amat mudah, lalu dia langsung mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu jurus-jurus dari Cap-sha long-thian. Dia tidak mau menghamburkan waktu karena diapun maklum bahwa lawannya adalah seorang pandai yang perlu dihadapi dengan jurus-jurus ilmu simpanan ini.

   Melihat gerakan aneh yang mendatangkan angin dahsyat berputaran itu, Ba Mou Lama terkejut bukan main. Pukulan menyamping dari Gin San yang dilakukan dengan tubuh agak direndahkan itu disambutnya dengan dorongan kedua telapak tangannya pula, dan pendeta Lama ini berteriak kaget karena angin berpusing yang keluar dari pukulan pemuda itu sedemikian kuatnya sehingga dorongan kedua tangannya yang menyambut itu tidak kuat bertahan dan tubuhnya sudah terpelanting ke belakang dan terbanting ke atas tanah tanpa dapat dicegahnya lagi

   Melihat betapa pendeta Tibet yang telah merobohkan banyak sekali perwira dan perajurit ini akhirnya telah terpelanting roboh, terdengar para perajurit kerajaan bersorak gembira dan belasan orang perajurit menubruk maju seperti berebutan untuk membunuh musuh yang ditakuti akan tetapi juga dibenci ini.

   "Jangan""..!"

   Gin San berseru kaget, namun seruannya terlambat. Pendeta yang sudah terpelanting itu tiba tiba mengeluarkan teriakan nyaring melengking dan empat orang di antara belasan orang perajurit yang menerjang itu terlempar ke belakang menabrak kawan-kawan sendiri dan mereka itu tewas seketika dengan dada atau kepala pecah terkena pukulan-pukulan maut Ba Mou Lama! Ternyata pertemuan tenaga dengan Gin San tadi hanya membuat dia terpelanting dan tenaganya masih amat kuat sehingga dalam segebrakan saja dia kembali telah membunuh empat orang pengeroyok. Terkejutlah para perajurit itu dan mereka mundur kembali dengan gentar dan marah. Beberapa orang di antara mereka melontarkan tombak untuk membalas kematian empat orang kawan mereka tadi. Akan tetapi setiap kali Ba Mou Lama ynng kini telah bangkit kembali itu bergerak, tombak-tombak itu tertangkis dan terpental ke samping.

   Akan tetapi kini Gin San sudah berada di depannya kembali.

   "Ba Mou Lama lihat, para pengikutmu telah kocar-kacir, riwayatmu telah habis, apakah engkau tidak juga mau menyerah?"

   Bentak Gin San yang ingin menawan kakek ini karena dia tahu bahwa kakek ini adalah biang keladi atau pimpinan tertinggi dari fihak musuh yang telah menduduki kota raja dan merupakan orang penting.

   Ba Mou Lama maklum bahwa dengan adanya pemuda tangguh ini, jalan untuk lari membebaskan diri baginya sudah terputus, dan diam-diam dia merasa menyesai sekali terhadap para pembantunya yang ternyata dalam keadaan seperti itu telah pergi mencari keselamatan masing-masing. Kalau di situ misih ada Pek-ciang Cin-jin Ouw Sek, tentu masih ada harapan baginya untuk membebaskan diri. Maka dia menjadi nekat dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Gin San.

   "Orang muda keparatl Dari pada menyerah lebih baik mati!"

   "Hemm, engkau sendiri yang cari mati!"

   Kata Gin San dan diapun cepat menangkis karena kakek yang nekat itu sudah menyerangnya dengan ganas. Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat. Para perajurit membuat lingkaran dan menonton, karena tidak ada di antara mereka yang berani memasuki gelanggang perkelahian ini. Baru angin pukulan kedua orang sakti ini saja yang menyambar-nyambar terasa seperti angin badai dan membuat mereka gentar bukan main. Maka mereka membentuk lingkaran lebar dan berdiri agak jauh.

   Memang hebat luar biasa perkelahian itu. Ba Mou Lama merupakan tokoh paling lihai di antara semua pimpinan musuh, kecuali Pek-ciang Cin-jin Ouw Sek tentu saja. Apa lagi kini dalam keadaan tersudut seperti seekor harimau yang terkurung dan tidak lagi melihat jalan keluar untuk menyelamatkan diri, Ba Mou Lama menjadi nekat. Dia amat membenci pemuda yang melawannya karena pemuda inilah yang tidak memungkinkan dia melarikan diri Kalau tidak ada pemuda ini, agaknya masih ada harapan baginya untuk lari. Pemuda ini yang menjadi rintangan terbesar, maka dia menyerang dengan ganas, serangan nekat untuk mengadu nyawa. Pemuda ini harus mati, baru ada harapan baginya untuk menyelamatkan diri, atau kalau tidak, biar dia mati dari pada tertawan dan mengalami hinaan-hinaan.

   Kenekatan Ba Mou Lama memperlipat-gandakan kekuatannya dan membuat Gin San menjadi agak kewalahan. Pendeta itu tidak lagi memperdulikan pertahanan atau perlindungan dirinya, melainkan mencurahkan seluruh perhatian dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang. Oleh karena itu, serangan-serangannyapun nekat dan hebat sekali, memaksa Gin San untuk bersikap waspada karena setiap serangan kakek itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Tentu saja dengan kenekatan lawan seperti itu dia melihat lowongan-lowongan terbuka, akan tetapi karena serangan-serangan Ba Mou Lama datang bertubi-tubi, dia belum sempat mengirim serangan balasan dan hanya sibuk menghindarkan semua serangan lawan dengan cara mengelak atau kadang kadang menangkis.

   Sementara itu, tak jauh dari situ, Ling Ling mengamuk dengan ganasnya. Dia berloncatan ke sana-sini, berkelebatan seperti seekor naga sakti beterbangan dan kemanapun tubuhnya berkelebat, tentu ada seorang dua orang lawan yang roboh! Sepak terjangnya ini mengagumkan para perajurit kerajaan dan beberapa kali mereka bersorak penuh kagum dan girang memperoleh bantuan dua orang seperti Gin San dan Ling Ling itu. Semangat para pengikut Ba Mou Lama menjadi makin kecil dan akhirnya mereka mencoba untuk melarikan diri, dikejar-kejar oleh para perajurit yang tidak mengenal ampun. Hampir seratus jurus lamanya Gin San selalu bertahan. Kemudian dia melihat betapa gerakan lawan makin mengendur. Tahulah dia bahwa Ba Mou Lama telah terlalu banyak mengerahkan tenaganya dan mungkin karena dihimpit penyesalan, kekecewaan dan juga kegelisahan maka kakek itu mulai menjadi lemah. Ketika melihat kesempatan baik ini, begitu melihat kedua tangan kakek itu kembali menyerangnya dengan dorongan yang mengandung tenaga dahsyat, dia tidak mengelak atau menangkis melainkan menyambutnya dengan kedua telapak tangannya pula.

   "Plakk!!"

   Dua pasang tangan yang mengandung tenaga sinkang amat kuat itu saling temu dan melekat! Ba Mou Lama cepat menggerakkan kakinya untuk menendang, akan tetapi Gin San sudah waspada akan hal ini maka begitu lawan menggerakkan kaki, diapun menggerakkan kaki menangkis.

   "Krekkk!"

   Ba Mou Lama mengeluh dan kaki kirinya menjadi lumpuh karena tulang betisnya patah! Akan tetapi dia masih nekat dan mengerahkan seluruh tenaga pada kedua tangannya. Gin San merasa betapa ada hawa yang kuat dan panas menyerangnya melalui telapak tangan, maka diapun mengerahkan tenaga sekuatnya.

   Hebat adu tenaga ini. Tidak nampak, namun terasa oleh para penonton betapa hebatnya dua orang itu mengadu tenaga. Akhirnya, setelah mukanya penuh dengan peluh yang menetes-netes turun dan kepalanya mengeluarkan uap putih. Ba Mou Lama mengeluh lagi dan kakinya yang tinggal sebelah yang dapat bertahan itu melangkah mundur, hampir dia roboh dan pada saat itu, Gin San mengeluarkan bentakan keras sambil mendorong. Tak dapat di tahan lagi tubuh Ba Mou Lama terjengkang kemudian terbanting roboh, kedua tangannya masih kaku dilonjorkan ke depan. Gin San yang maklum akan kekuatan lawan, sudah menyusulkan serangan dengan jurus dari Cap-sha Tong-thian. Tangan kanannya menyambar dari atas ke bawah. Ba Mou Lama menggerakkan kedua lengan yang masih kaku itu untuk menangkis.

   "Dess!!"

   Debu mengebul tinggi dan tubuh kakek itu terguling-guling lalu berhenti dan tak bergerak lagi karena dia sudah tewas! Terdengar sorak-sorai gegap-gempita dan hal ini membuat sisa para pengikut Ba Mou Lama makin cemas sehingga mudah saja mereka itu dirobohkan oleh Ling Ling dan para perajurit kerajaan. Habislah semua pengikut Tibet itu dan tempat itu menjadi tempat pembantaian yang amat mengerikan!

   Dalam waktu setengah hari saja, habislah sudah semua riwayat Ba Mau Lama dengan petualangannya. Dia telah mengguncangkan sejarah dengan keberhasilannya menduduki kota raja dan bahkan menduduki istana, dengan bantuan orang orang Khitan di bawah pimpinan An Hun Kiong dan dengan bantuan dari dalam istana oleh Thio-thaikam!

   Petualangannya ini sama sekali tidak direstui oleh Kerajaan Tibet, oleh karena itu Kerajaan Tibet tidak mengirim pasukan bala bantuan sehingga petualangannya itupun hanya dapat bertahan selama beberapa hari saja. Memang Kerajaan Tibet tidak merestui petualangan ini, tidak menyetujui kelancangan Ba Mou Lama yang tidak memperhitungkan kekuatan sendiri. Kalau Ba Mou Lama sampai dapat berhasil, semua itu adalah berkat bantuan Thio thaikam y"ng tidak saja telah dapat mempermainkan kaisar, akan tetapi pembesar kebiri yang lihai sekali ini bahkan dapat mengelabui pembesar tinggi yang bijaksana seperti Penasehat Militer Han Gi dan yang lain-lain!

   Boleh dibilang hampir semua pengikut Ba Mou Lama dan An Hun Kiong tewas dalam serbuan balasan dari pasukan kerajaan, dan sebagian dari mereka yang berhasil melarikan diri dan bersembunyi di antara rakyat selalu menjadi orang-orang buruan. Dengan segala kegembiraan dan kebesaran akhirnya kaisar kembali ke istana di mana diadakan pesta kemenangan yang meriah. Dalam pesta itu, nama tiga orang pendekar Tan Sian Lun, Gan Ai Ling, dan Coa Gin San disebut-rebut, bahkan mereka bertiga dipanggil untuk menghadap kaisar dan menerima pahala dari kaisar bahkan menaikkan pangkat Sian Lun menjadi seorang panglima muda.

   Akan tetapi karena Ai Ling atau Ling Ling dan Gin San tidak mau menerima pangkat, mereka ini hanya menerima benda-benda berharga, dan di antaranya mereka masing-masing menerima tanda kesetiaan dan orang kepercayaan kaisar, yaitu sebatang pedang yang sarungnya terbuat dari pada emas ukir ukiran. Dengan pedang ini, mereka mempunyai kekuasaan untuk setiap waktu datang dan minta menghadap kaisar, dan pedang inipun membuat mereka menjadi tamu tamu agung bagi para pembesar di seluruh negeri!

   (Lanjut ke Jilid 44)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 44

   Thio thaikam dijatuhi hukuman mati, demikian pula ratusan orang pengikutnya yang tertangkap hidup-hidup. Selebihnya telah tewas dalam penyerbuan itu. Yang kalah menjalani hukuman mati sedangkan yang menang mengadakan pesta pora sampai tiga hari tiga malam!

   Tiga orang muda perkasa itu begitu keluar dari istana disambut oleh keluarganya Yap Yu Tek yang sudah menanti sejak tadi. Yap Yu Tek, Gan Beng Lian dan puteri mereka, Yap Wan Cu, semenjak membantu pasukan kerajaan untuk menyerbu kota raja dan merampasnya dari tangan pasukan Tibet, tidak pernah meninggalkan kota raja karena mereka menanti sampai kaisar kembali ke istana dan kemudian dengan girang mereka mendengar tentang unugerah yang dilimpahkan kaisar kepada para pendekar muda yang telah berjasa besar itu.

   "Kiong hi (selamat), Lun koko!"

   Wan Cu menyambut keluarnya tiga orang muda itu dengan ucapan selamat kepada Sian Lun dengan wajah berseri dan sinar mata bercahaya gembira.

   "Anugerah hebat apakah yang kauterima dari sri baginda?"

   Dengan tersipu-sipu Sian Lun menceritakan kenaikan pangkatnya dan suami isteri Yap juga memberi selamat, demikian pula kepada Ling Ling dan Gin San mereka memberi selamat.

   "Sian Lun, kiranya sekarang sudah tiba waktunya bagi keluarga kami untuk membicarakan urusan antara kita."

   Tiba tiba Yap Yu Tek berkata ketika mereka berenam memasuk sebuah restoran besar di mana keluarga Yap hendak menjamu tiga orang muda ini.

   Mendengar itu, tiba-tiba wajah Wan Cu menjadi merah sekali dan dia membuang muka sambil menahan senyum. Melihat ini, Sian Lun juga menjadi tersipu-sipu dan dia cepat memberi hormat kepada Yap Yu Tek sambil berkata.

   "Harap paman dan bibi sudi memaafkan saya. Tapi"".. tapi"".. ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan kepada paman dan bibi berdua saja""" "

   Ling Ling dan Gin San saling bertukar pandang. Dua orang muda ini sudah tahu akan persoalan Siang Bwee dan biarpun Sian Lun tidak pernah mengatakan sesuatu, namun mereka berdua tahu bahwa tidak mungkin Sian Lun dapat melupakan Siang Bwee, wanita yang amat mencintanya dan sudah mengorbankan segala-galanya untuk Sian Lun.

   Dua orang muda itu bangkit berdiri.

   "Biarlah kami pergi dulu""""

   "Eh, eh"", jangan, Ling Ling! Kalian duduk saja di sini, temani Wan Cu. Mari, Sian Lun, kita bicara di dalam!"

   Kata Yap Yu Tek yang lalu bangkit bernama isterinya dan mengajak Sian Lin untuk bicara di ruangan dalam restoran besar itu. Karena baru saja ada perang, maka restoran itu belum didatangi tamu dan pemiliknya hanya melayani permintaan keluarga Yap yang hendak menjamu tiga orang pendekar muda yang mendapat anugerah dari kaisar itu. Oleh karena itu, maka Yap Yu Tek dan isterinya dapat bicara dengan leluasa bersama Sian Lun di sebelah dalam. Setelah paman dan bibinya itu duduk berhadapan dengan dia di ruangan dalam, Sian Lun berkata dengan suara tenang,

   "Harap bibi dan paman sudi memaafkan saya. Sebetulnya berat bagi saya untuk membicarakannya dengan paman berdua, akan tetapi apa boleh buat, karena menyimpannya sebagai rahasia lebih tidak baik lagi."

   Suami isteri itu saling pandang dengan sinar mata khawatir, akan tetapi Yap Yu Tek segera berkata dengan lembut kepada pemuda yang menundukkan kepala itu.

   "Sian Lun, antara kita terdapat ikatan kekeluargaan, kita bukanlah orang-orang lain, maka memang tidak semestinya kalau ada hal-hal yang disembunyikan. Di samping ikatan perjodohan antara engkau dan Wan Cu, engkau adalah keponakan kami. Nah, katakanlah apa yang hendak kausampaikan kepada kami?"

   Dengan hati-hati dan singkat Sian Lun lalu menceritakan pengalamannya ketika dia menyelamatkan kaisar dan oleh kaisar dia diberi hadiah seorang gadis bernama Ci Siang Bwee yang oleh kaisar dimaksudkan agar menjadi isterinya atau selirnya.

   "Saya tidak mungkin berani menolak pemberian itu,"

   Sian Lun melanjutkan kepada Yap Yu Tek dan Gan Beng Lian yang mendengarkan penuh perhatian.

   "Akan tetapi sayapun tidak mempunyai keinginan untuk beristeri atau berselir, oleh karena itu, berkat bantuan Siang Bwee, biarpun gadis itu tinggal sebagai pembantu rumah tangga saja, namun di luar dia saya perkenalkan sebagai selir. Hal ini untuk menjaga agar jangan sampai sri baginda tersinggung dan merasa saya tolak anugerah beliau""".."

   Sampai di sini, wajah Sian Lun menjadi merah sekali dan Yap Yu Tek mengangguk-angguk sambil tersenyum. Pemuda ini benar-benar seorang muda yang hebat, pikirnya. Mengambil selir, apa lagi setelah memperoleh kedudukan panglima, apa sih salahnya?. Pada jaman itu, bagi seorang pria berkedudukan, memiliki selir bukanlah hal yang patut dibuat malu, bahkan pada sebagian besar orang merupakan kebanggaan. Sungguhpun dia sendiri tidak pernah mempunyai selir!

   "Lanjutkanlah ceritamu, Sian Lun. Aku dapat mengerti keadaanmu,"

   Katanya,

   Sian Lun lalu melanjutkan ceritanya. Betapa dia, Ling Ling, dan Om San menyerbu ke istana dan akhirnya tertawan. Betapa mereka bertiga sudah berada di ambang maut, dan agaknya tidak mungkin dapat tertolong lagi kalau saja tidak muncul Siang Bwee! Dia menceritakan betapa oleh Thio-thaikam Siang Bwee dihadiahkan secara paksa kepada An Hun Kiong, dengan ancaman bahwa kalau wanita itu menolak, maka Sian Lun akan dibunuh.

   "Dia"""..dia terpaksa mentaati karena hendak menolong saya, kemudian...". ketika kami bertiga tertawan dan sudah tidak ada harapan lagi. Siang Bwee muncul bersama An Hun Kiong dan dengan membiarkan diri terancam maut, dia telah berhasil menolong kami sehingga dapat bebas"".."

   Sian Lun menceritakan bagian ini dengan sejelasnya, dan dengan suara tergetar karena merasa terharu.

   "Setelah kami semua lolos dari bahaya, Siang Bwee membunuh An Hun Kiong dan akan membunuh diri kalau saja tidak keburu saya cegah. Dia merasa terhina dan merasa kotor dan rendah, dia ingin mati saja. Akan tetapi saya telah berhutang budi kepadanya, maka saya berjanji bahwa dia boleh hidup selamanya di samping saya. Nah, inilah yang perlu saya ceritakan kepada paman dan bibi dalam hubungan ikatan jodoh yang paman berdua usulkan."

   Hening sejenak setelah Sian Lun selesai menceritakan semua itu. Sebagai orang-orang yang menjunjung kegagahan, suami isteri itu diam-diam merasa kagum akan kejujuran pemuda ini. Oleh karena iiu, tanpa merasa sungkan lagi, Gan Beng Lian juga mengajukan pertanyaan yang terbuka dan jujur, sambil memandang tajam kepad wajah pemuda yang

   tampan gagah dan tenang itu.

   "Sian Lun, jawablah sejujurnya. Apakah engkau cinta kepada Wan Cu dan apakah engkau suka menjadi suaminya?"

   Yap Yu Tek sendiri sampai terkejut mendengar pertanyaan isterinya yang demikian terbuka dan seolah-olah merupakan serangan yang amat hebat itu. Dia melihat betapa wajah Sian Lun tiba-tiba berobah merah dan tahulah dia bahwa pemuda ini benar-benar tersudut oleh serangan yang demikian tiba-tiba. Akan tetapi diapun melihat pentingnya pertanyaan itu diajukan, karena ikatan jodoh itu menyangkut masa depan puteri tunggal mereka, maka haruslah dilakukan penjajagan secara mendalam dan jelas.

   Setelah menelan ludah menenteramkan jantungnya yang agak terguncang menghadapi pertanyaan itu, Sian Lun lalu memandang kepada bibinya itu sambil berkata.

   "Bibi, kalau boleh saya berkata terus terang, saya amat kagum dan suka kepada Wan Cu moi moi, dan saya tentu saja suka untuk menjadi suaminya."

   Lapang rasa dada Yap Yu Tek mendengar ini dan dia menghela napas panjang, akan tetapi Gan Beng Lian masih terus "menyerang"

   Dengan pertanyaan yang lebih mengguncangkan lagi.

   "Sian Lun, apakah engkau mencinta wanita yang bernama Ci Siang Bwee itu?"

   "Lian moi""..!"

   Yap Yu Tek berseru tertahan karena betapapun dia merasa bahwa isterinya tidak berhak mengajukan pertanyaan itu. Akan tetapi Sian Lun mengangkat tangan kirinya ke atas dan suaranya terdengar sungguh-sungguh dan halus.

   "Biarlah, paman. Memang sebaiknya kalau-berterus terang dalam hal ini agar kelak tidak menimbulkan penyesalan apa-apa. Begini, bibi, dan paman, Sesungguhnya saja saya sendiri tidak atau belum tahu apakah yang dinamakan cinta itu, dan saya sendiri tidak tahu apakah saya pernah jatuh cinta. Akan tetapi, kalau paman berdua ingin mengetahui perasaanku saat ini, aku kagum dan suka kepada Wan Cu moi-moi. dan terhadap Siang Bwee, saya merasa kasihan dan hutang budi yang harus saya bavar dengan membahagiakan dia sebagai balas budi. Nah, kiranya sudah jelas bagi paman berdua, dan selanjutnya, tentang ikatan jodoh itu terserah kepada paman dan bibi."

   Kembali hening sampai agak lama setelah Sian Lun membuka isi hatinya secara amat jujur itu. Kini Beng Lian memandang suaminya seolah-olah isteri ini minta pertimbangan dan pendapat suaminya setelah calon mantu itu menyatakan isi hatinya secara demikian terbuka. Yap Yu Tek menarik napas panjang.

   "Kalau begitu, tidak ada halangannya. Kurasa Wan Cu juga tidak akan keberatan kalau suaminya mempunyai seorang selir seperti wanita yang amat setia itu."

   Gan Beng Lian mengerutkan alis, lalu menarik napas panjang pula.

   "Sebenarnya aku sendiri paling tidak suka melihat pria mempunyai lebih dari seorang isteri, akan tetapi dalam keadaan seperti Sian Lun, kurasa juga tidak ada halangannya kalau dia mengambil Siang Bwee sebagai selir untuk membalas budi setelah wanita itu melakukan segalanya itu untuknya. Wan Cu tentu akan dapat mengerti."

   Wajah Sian Lun berobah merah, akan tetapi diam-diam dia merasa lega juga.

   "Nah, Sian Lun, dengan pernyataan kami ini maka ikatan jodoh dapat dilanjurkan dan diresmikan,"

   Kata Yap Yu Tek lagi sambil memandang wajah pemuda itu.

   "Nanti dulu, paman dan bibi. Ada suatu hal lagi. Saya telah berjanji kepada sute Coa Gin San dan sumoi Gan Ai Ling bahwa saya akan membantu mereka mengejar dan membalas kepada Pek-ciang Cin-jin Ouw Sek dan Kim-sim Niocu Bu Siauw Kim. Ouw Sek adalah musuh sute karena Oaw Sek membawa Beng-kauw ke dalam kesesatan maka perlu dibasmi, sedangkan Bu Siauw Kim adalah pembunuh dari mendiang paman Gan Beng Han dan isterinya, jadi musuh besar sumoi. Setelah kami bertiga selesai dengan urusan mengejar mereka berdua itu, barulah saya akan mentaati kemauan paman dan bibi."

   Yap Yu Tek dan Gan Beng Lian saling pandang, lalu keduanya mengangguk.

   "Baiklah,, kami setuju, Sian Lun. Betapapun juga, mulai sekarang engkau sudah resmi menjadi tunangan Wan Cu, dan mari kita kembali kepada mereka."

   Wan Cu, Gin San dan Ling Ling memandang kepada tiga orang yang datang itu dengan wajah berseri, dan Wan Cu cepat menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Wan Cu, tunanganmu ini hendak membantu sute dan sumoinya mengejar musuh-musuh besar, setelah itu baru kita akan meresmikan...".."

   Kata Gan Beng Lian.

   "Ibu, aku sudah mendengar dari enci Ling Ling!"

   Wan Cu memotong dengan muka merah dan dia mengerling ke arah Sian Lun sambil tersenyum.

   Yap Yu Tek dan isterinya tidak mau bicara tentang Siang Bwee di depan banyak orang, dan mereka semua lalu melanjutkan makan minum sampai malam. Kemudian mereka berpisah Yap Yu Tek dan isterinya mengajak puteri mereka untuk kembali ke An-kian, sedangkan Sian Lun lalu kembali ke gedungnya. Gin San dan Ling Ling ikut bersama suheng mereka itu karena mereka akan bermalam di gedungnya dan akan menentukan keberangkatan mereka melakukan pengejaran terhadap Ouw Sek dan Bu Siauw Kim,

   Baru sekarang Sian Lun mempunyai kesempatan kembali ke gedungnya. Ternyata gedungnya itu tidak rusak, bahkan kini para pelayannya telah kembali bekerja dan menyambut kedatangan majikan mereka dengan penuh kegembiraan, apa lagi mereka semua telah mendengar akan kenaikan pangkat majikan mereka. Sian Lun terkejut, girang dan juga merasa heran bagaimana para pelayannya itu masih lengkap dan dapat berada di situ menantinya, padahal bukankah baru saja mereka ini mengalami keributan dengan munculnya orang-orang Tibet yang menguasai segalanya di istana dan kota.

   "Bagaimana kalian dapat berkumpul di sini?"

   Tanyanya.

   "Hamba""..semua menerima panggilan dari siauw-thui thai (nyonya muda), ciangkun.

   "

   Jawab pelayan tertua di antara mereka.

   "Hanya ada dua orang pelayan yang ternyata adalah mata-mata yang dipasang oleh mendiang Thio-thaikam yang kini entah berada di mana dan tidak datang."

   Sian Lun mengangguk angguk dengan girang. Katanya Siang Bwee yang mengatur semuanya! Bagi para pelayan. Siang Bwee adalah "nyonya muda"

   Yang berarti selirnya! Jantungnya berdebar dan pandang matanya mencari-cari, namun tidak nampak Siang Bwee menyambut di situ. Diam-diam hatinya merasa gelisah. Dia lalu mengantar sute dan sumoinya ke kamar masing-masing dan mempersilakan mereka mandi dan tidur karena dia tahu betapa lelahnya mereka itu.

   Di depan sute dan sumoinya, dia merasa sungkan untuk menanyakan Siang Bwee kepada para pelayannya, akan tetapi setelah sute dan sumoinya itu memasuki kamar masing-masing, dia bergegas ke sebelah dalam dan langsung ke kamarnya. Perlahan-lahan dia membuka pintu kamar dan". Siang Bwee telah berdiri menyambutnya dengan muka menunduk, muka yang pucat akan tetapi kedua pipinya kemerahan dan sepasang mata yang lembut itu menunjukkan kekhawatiran amat besar.

   "Siang Bwee"..!"

   Suara Sian Lun berbisik dan bersama panggilan ini lenyaplah semua kegelisahan hatinya, terganti perasaan lega dan girang melihat wanita itu ternyata berada di situ. Siang Bwee menjura.

   "Maafkan saya, taihiap...". saya""..saya tidak keluar menyambut ketika mendengar taihiap datang bersama Coa-taihiap dan Gan-lihiap karena saya.....saya khawatir akan menangis di depan mereka....."

   Wanita itu lalu menggunakan ujung lengan baju mengusap dua butir air matanya.

   "Tidak apa, Siang Bwee, hanya aku tadi khawatir karena tidak melihatmu "

   Sian Lun lalu duduk di atas kursi dengan hati lega. Siang Bwee sudah cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat kakinya dan jari-jari tangan yang halus kecil itu sudah sibuk membukakan sepatunya.

   "Begitu mendengar taihiap datang, saya sudah suruh pelayan mempersiapkan air hangat sebaiknya taihiap mandi dulu baru nanti saya suruh persiapkan makanan.

   "

   Sian Lun menunduk dan melihat wanita itu melepas kedua sepatu dan kaus kakinya. Kedua kaki itu terasa nyaman sekali setelah terbebas dari bungkusan sepatu yang ketat. Pada saat itu pelayan datang memberi tahu bahwa air hangat sudah tersedia. Sian Lun segera bangkit dan pergi ke kamar mandi tanpa banyak cakap Dia menerima pakaian bersih yang sudah dipersiapkan pula oleh Siang Bwee. Untung bahwa gedungnya itu agaknya terlindung dari gerayangan tangan para pemberontak Tibet sehingga pakaiannya apa masih utuh. Setelah mandi dan merasa tubuhnya segar, Sian Lun kembali duduk di atas kursi.

   "Akan saya persiapkan makanan, taihiap."

   "Tidak usah, Siang Kwee. Aku sudah makan tadi bersama sute dan sumoi. Jangan kau pergi, duduklah di sini, aku ingin bicara tentang hal penting denganmu,"

   Kata pemuda itu ketika melihat Siang Bwee hendak meninggalkan kamarnya. Wanita itu berhenti, memutar tubuh memandang kepada Sian Lun dengan sepasang matanya yang indah dan bersinar lembut, sepasang mata yang masih mengandung rasa ngeri dan takut akibat pengalamannya yang amat menyiksa perasaannya, dan kini mata itu memandangnya dengan harap-harap cemas.

   "Tutupkan pintu kamar itu dan ke sinilah Siang Bwee,"

   Kata pula Sian Lun.

   Wanita itu nampak terkejut, sepasang matanya berkeredepan seperti bintang, sepasang mata yang agak basah dan kini sinar harap-harap cemas makin membayang di wajah cantik itu. Betapa dia tidak akan terkejut dan heran.

   Sebelum ini, tak pernah Sian Lun mau bicara dengannya di dalam kamar, apa lagi dengan pintu kamar tertutup! Sekarang pemuda itu menyuruh dia menutupkan pintu kamar, bahkan memanggilnya untuk duduk bersama pemuda itu! Akan tetapi, seperti patung bergerak dia menutupkan pintu kamar, kemudian dengan langkah langkah lembut dia menghampiri Sian Lun, berdiri sambil menunduk di depan pemuda itu.

   "Duduklah di kursi itu, Siang Bwee. Aku mau bicara,"

   Kata Sian Lun sambil menunjuk ke arah kursi ke dua di depannya, terhalang meja kecil.

   Sian Bwee tidak menjawab, melainkan menggerakkan kakinya dan duduk di atas kursi itu, duduk di tepi kursi, pinggulnya menempel sedikit saja dengan ringannya di bibir kursi, seolah olah kursi itu ada durinya. Dia merasa canggung, cemas, karena Sian Lun bersikap lain dari biasanya, menambah kesan betapa dia sekarang memang sudah menjadi wanita lain! Dia telah menjadi seorang wanita yang rendah dan hina! Melihat sikap Siang Bwee penuh keraguan itu, Sian Lun tersenyum menenangkan.

   "Jangan gelisah, Siang Bwee, aku hendak bicara denganmu tentang diriku, tentang keadaanku."

   Sinar kegelisahan itu lenyap dari pandang mata Siang Bwee, namun dara ini masih menduga duga dan dengan lirih dia bertanya sambil menatap wajah pria yang dipuja dan dikasihinya.

   "Silakan, taihiap, saya sudah siap mendengarkan. Soal apakah yang hendak taihiap sampaikan kepada saya?"

   "Siang Bwee, aku telah bertemu dengan keluarga paman Yap Yu Tek yang tinggal di An-kian. Paman Yap adalah putera bupati di An-kian dan hubunganku dengan dia sesungguhnya lewat isterinya.Isterinya adalah bibi Gan Beng Lian, yaitu adik kandung dari pamanku atau juga guruku mendiang Gan Beng Han"

   Kemudian dengan singkat Sian Lun bercerita kepada Siang Bwee tentang keluarga itu dan hubungannya dengm mendiang ayahnya dan mendiang paman dan gurunya. Semua itu didengarkan dengan penuh kesabaran dan perhatian, sungguhpun diam-diam dia merasa makin terheran-heran mengapa pemuda itu bercerita tentang keluarga Yap yang asing baginya itu. Ketika cerita Sian Lun tiba pada penggambaran tentang diri Yap Wan Cu, puteri tunggal dari keluarga itu, diam-diam jantung Siang Bwee berdebar keras dan dia mulai dapat menduga dengan hati agak khawatir.

   "Ketahuilah, Siang Bwee, paman Yap dan isterinya, kurang lebih setahun yang lalu telah mengusulkan untuk menjodohkan aku dengan adik Yip Wan Cu."

   Sian Lun berhenti dan memandang tajam wajah yang agak menunduk itu. Akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang membayangkan perasaan hati wanita itu, maka dia lalu melanjutkan.

   "Dan malam ini, ketika aku bersama sute dan sumoi menerima jamuan makan dari keluarga Yap, paman dan bibi mendesakku tentang perjodohan itu."

   Sian Lun berhenti dan suasana menjadi sunyi sekali dalam kamar itu. Diam-diam Sian Lun merasa heran mengapa dia mengajak wanita ini berbincang tentang perjodohannya itu? Akan tetapi, ada siapa lagi di dunia ini selain Siang Bwee yang dapat diajaknya bicara tentang keadaan hidupnya? Dan Siang Bwee yang merasa jantungnya berdebar dan agak nyeri, menunduk, dan diapun diam-diam merasa heran mengapa pendekar yang dipujanya ini menyampaikan semua itu kepadanya!

   Karena sampai lama mereka berdiam saja, Sian Lun lalu bertanya.

   "Siang Bwee, mengertikah engkau akan semua yang telah kuceritakan kepadamu tadi?"

   Siang Bwee mengangkat muka. Dua pasang mata itu bertemu pandang sampai agak lama dan akhirnya Siang Bwee mengangguk. Dengan suara agak gemetar dia bertanya.

   "Apa maksud taihiap menceritakan semua itu kepada saya?"

   "Aku""

   Aku ingin mendengar pendapatmu. Siang Bwee. Aku masih bingung dan ragu akan usul dari paman Yap berdua tentang ikatan jodoh itu"

   Siang Bwee tersenyum untuk menutupi keperihan hatinya. Dia sungguh mencinta pemuda ini, dia hanya ingin melihat pemuda ini selamat dan bahagia. Dia harus melupakan diri sendiri dan mencurahkan seluruh pikiran dan perhatiannya demi kepentingan pemuda ini.

   "Taihiap, apakah"". apakah taihiap mencinta Yap-siocia itu?"

   Sian Lun mengerutkan alisnya. Mengapa pertanyaan ini yang diajukan oleh ibu Wan Cu kini diulang lagi oleh Siang Bwee?

   "Aku tidak tahu tentang cinta, Siang Bwee. Akan tetapi aku kagum dan suka kepadanya."

   "Dan taihiap suka kalau dia menjadi isteri taihiap?"

   Sian Lun mengangguk, tanpa menjawab.

   "Kalau begitu, tidak ada halangannya lagi, taihiap. Seorang wanita yang disuka oleh taihiap tentulah seorang yang amat baik. Apa lagi dia adalah cucu seorang pembesar, dan menurut taihiap, keluarga Yap adalah keluarga gagah perkasa, jadi sudah sesuai dengan keadaan diri taihiap sendiri. Akan tetapi"""

   Mengapa taihiap menanyakan pendapat saya dalam urusan yang amat penting ini?"

   "Siang Bwee, aku sudah berjanji kepadamu bahwa engkau selamanya boleh hidup di sampingku, oleh karena itu, dalam urusan perjodohan dengan Yap Wan Cu ini, tentu saja aku harus bertanya kepadamu."

   Siang Bwee terkejut bukan main, girang dan juga amat terharu. Penuda ini gagah perkasa, bahkan memiliki kesaktian bebat, namun jiwanya demikian sederhana, polos dan bersih Keharuan membuat dia cepat turun dari kursinya, menghampiri pemuda itu dan berlutut di depan kakinya.

   "Taihiap".. engkau adalah pujaanku, junjunganku""

   Dan saya""".. ya hanya seorang wanita hina yang akan merasa bangga dan bahagia kalau dapat menjadi pelayan taihiap untuk selamanya""."

   Tak terasa lagi beberapa butir air mata seperti mutiara berderai turun ke atas sepasang pipinya.

   "Siang Bwee"". bukan begitu maksudku"".."

   Sian Lun memegang kedua bahu wanita itu dan menariknya sehingga bangkit berdiri.

   "sampai mati aku takkan dapat melupakan cintamu yang penuh kesetiaan dan pengorbanan itu, aku bahkan secara terus terang telah menceritakan keadaanmu kepada keluarga Yap. dan aku katakan bahwa aku hanya mau menjadi mantu mereka kalau mereka juga mau menerimamu sebagai""

   Selirku"""

   Yaitu kalau..."..kalau""". kau mau"".."

   Sepasang mata itu terbelalak memandang, dengan air mata masih memenuhi pelupuk mata, mulut itu tersenyum karena bahagia

   "Apa katamu taihiap"..? Kalau..... kalau aku mau"..? Ahh"

   Tentu saja"".. tidak ada kebahagiaan melebihi itu, aku mau! Aku mau"".! Ah, aku mau sekali, taihiap"".!"

   Entah siapa yang bergerak lebih dulu, akan-tetapi tahu-tahu Siang Bwee telah berada di atas pangkuan Sian Lun yang merangkulnya, mereka saling berpelukan dan saling berciuman seperti dengan sendirinya tanpa disengaja lagi, lengan hati penuh kemesraan dan cinta yang membara.

   Malam itu Siang Bwee tidak kembali lagi ke kamarnya, melainkan tidur bersima Sian Lun dalam kamar pemuda itu. Malam itu merupakan malam pengantin bagi mereka. Sian Lun adalah seorang pemuda yang belum pernah berdekatan dengan wanita, sedangkan Siang Bwee biarpun pernah melayani seorang pria, namun pelayanan itu dilakukan dengan terpaksa, hampir tiada bedanya dengan perkosaan. Oleh karena itu, dalam hal cinta asmara, mereka berdua masih hijau dan bodoh. Akan tetapi, rasa cinta mereka membuat mereka tahu apa yang harus diperbuat, membuat mereka tahu segala-galanya, karena cinta membuat orang ingin melakukan segala yang dapat membahagiakan dan menyenangkan orang yang dicinta. Dalam hubungan wanita dan pria sebagai suami isteri, kalau sudah ada keinginan saling menyenangkan dan membahagiakan, tentu terdapat kemesraan yang mendalam.

   Sian Lun memang sengaja hendak memilih Siang Bwee sebagai wanita pertama yang digaulinya, bukan hanya untuk membalas budi yang amat besar, melainkan juga karena dia sudah yakin akan cinta kasih wanita ini kepadanya, dan juga karena ada dorongan hasrat yang dia sendiri tidak tahu berada dalam dirinya, tidak tahu bahwa sebenarnya dia juga mencinta Siang Bwee!

   Dan pada jaman itu, di dalam kamus kebudayaan jaman itu, tidak terdapat pantangan atau sebutan aib atau buruk bagi seorang pria untuk mempunyai selir! Bahkan kalau pria itu berkedudukan atau berharta, mempunyai selir sampai berapapun banyaknya merupakan hal wajar dan tidak ada seorangpun yang akan menganggapnya buruk atau melanggar sesuatu. Dan sesungguhnyalah pandangan umum terhadap hal-hal yang dianggap pantas atau tidak adil, bersusila atau asusila, semua itu hanya tergantung dari. pada kebiasaan dan tradisi belaka! Apa yang dianggap baik oleh suatu golongan atau suatu bangsa atau suatu agama, belum tentu dianggap baik, bahkan mungkin taja dianggap buruk oleh golongan atau bangsa atau agama lain!

   Semua tergantung dari tradisi atau kebiasaan atau kepercayaan masing-masing. Maka jelaslah bahwa apa yang dinamakan baik atau buruk hanyalah pandangan sepihak atau pendapat belaka yang berdasar kepada tradisi atau agama masing-masing, juga berdasar kepada keinginan untuk menyenangkan diri masing-masing. Karena itu seringkali timbul kenyataan bahwa pendapat baik buruk adalah yang menguntungkan atau menyenangkan aku adalah baik, dan yang merugikan atau menyusahkan aku adalah buruk! Dengan dasar ini, tentu saja timbul kenyataan bahwa yang baik untukmu mungkin buruk untukku, dan yang burukmu belum tentu buruk untukku! Si kenyataan sendiri, si kejadian atau si keadaan apa adanya itu sendiri tidaklah baik atau buruk.

   Tiga hari kemudian, berangkatlah Sian Lun, Ling Ling, dan Gin San meninggalkan kota raja untuk mulai dengan perjalanan mereka mencari Ouw Sek dan Bu Siauw Kim ke selatan, ketika menceritakan maksud kepergiannya kepada Siang Bwee, wanita ini tidak membantah dan menyimpan rasa kecewanya dalam hati saja. Tidak mengherankan kalau dia kecewa. Dia seperti pengantin baru, selama tiga hari hidup dalam lautan madu asmara yang penuh kemesraan, yang baginya merupakan obat yang amat manjur untuk menghapus semua sisa penderitaan yang telah dialaminya ketika dia terpaksa harus melayani An Hun Kiong. Akan tetapi, Siang Bwee adalah seorang wanita bijaksana dan cintanya terhadap Sian Lun sama sekali bukan cinta yang hanya mengejar kesenangan diri pribadi belaka.

   Dia maklum akan pentingnya kepergian Sian Lun bersama sute dan sumoinya maka dia menghormati keberangkatan itu Bahkan selama tiga hari ini, biarpun dia dalam kemesraan yang membara dengan Sian Lun namun di luar kamar dia selalu bersikap seperti seorang pelayan, bukan hanya terutama di depan Ling Ling dan Gin San, bahkan juga di depan para pelayan lainnya sehingga diam diam Sian Lun makin sayang dan kagum kepada wanita ini. Sungguh seorang wanita yang rendah hati dan pandai membawa diri. sama sekali tidak dikotori oleh kesombongan. Makin giranglah pendekar ini karena dia merasa bahwa pilihannya tidaklah keliru, yaitu bahwa dia sengaja menyerahkan diri untuk pertama kali dilam hidupnya kepada Siang Bwee, wanita yang amat mencintanya.

   Sebagai seorang panglima, apa lagi yang baru saja mendapat anugerah dari kaisar, tentu saja Sian Lun juga berpamit kepada kaisar. Kaisar memberi persetujuan dengan girang karena memang penting sekali untuk membasmi orang orang macam Ouw Sek dan Bu Siauw Kim yang jelas telah merupakan pengkhianat-pengkhianat yang membantu Bangsa Tibet untuk menyerbu kota raja dan mendudukinya. Bahkan kaisar mengusulkan agar Sian Lun membawa pasukan yang kuat Akan tetapi pemuda ini dengan hati hati menyatakan bahwa untuk menghadapi penjahat-penjahat itu cukup dengan dia dan dua orang adik seperguruannya.

   Mereka berangkat dan diantar oleh Siang Bwee yang kelihatan tersenyum cerah sampai di pintu halaman Akan tetapi ketika tiga ekor kuda yang ditunggangi oleh tiga orang pendekar itu menjauh, biatpun mulutnya masih tersenyum, namun kedua mata Siang Bwee berlinang linang air mata dan batinnya merasa gelisah sekali. Betapapun juga, pujaan hatinya atau kekasihnya, juga majikannya itu sedang pergi menempuh bahaya, mencari penjahat-penjahat yang menurut Sian Lun memiliki kepandaian yang amat tinggi! Setelah memasuki rumah kembali, Siang Bwee cepat mengatur meja sembahyang dan bersembahyanglah wanita ini dengan penuh kesungguhan hati untuk minta. kepada Thian agar kekasihnya itu dilindungi dan dijauhkan dari pada segala mara bahaya.

   Gin San tahu ke mana dia harus mencari Siauw Sek. Maka dia lalu mengajak suheng dan sumoinya itu pergi ke selatan, di mana terdapat pusat Agama Beng kauw selatan yang tadinya berpusat di Yun-an akan tetapi kemudian dipindahkan oleh mendiang Bu Heng Locu ke Kiang-si, di tepi Telaga Po-yang. Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketika Pek-ciang Cin-jin Ouw Sek mengacau di Beng kauw pusat sehingga mengakibatkan kematian Bu Heng Locu ketua Beng-kauw. Ouw Sek ini dipukul mundur oleh Gin San yang kemudian mengangkat Kwan Liok menjadi ketua Beng-kauw. Tiga orang pendekar itu membalapkan kuda mereka dan hanya berhenti untuk memberi kesempatan kepada kuda mereka untuk beristirahat. Gin San menyatakan kekhawatirannya tentang Beng kauw di selatan.

   "Aku khawatir kalau kalau Ouw Sek itu mengacau lagi di Beng kauw. Betapapun jug dia masih memegang sebuah bendera keramat tanda kekuasaan Beng-kauw."

   Ling Ling dan Sian Lun yang telah mendengar cerita Gin San tentang Ouw Sek justru merata khawatir.

   "Akan tetapi, andaikata benar demikian, kalau kita datang ke sana, kita dapat menggempurnya. Menurut ceritamu, semua anak buah tidak suka kepadanya dan kalau engkau muncul, tentu semua anak buah Beng Kauw akan membelamu, ji suheng."

   "Kuharap begitu, hanya aku khawatir kalau kalau dia telah menimbulkan malapetaka dan merampas kedudukan ketua dengan kekerasan. Dia lihai sekali dan di Beng kauw sana tidak ada yang mampu menandinginya."

   Sian Lun yang juga sudah banyak mendengar dari sutenya itu tentang Beng kauw, dan Ouw Sek berkata.

   "Kurasa dia tidak akan sebodoh itu, sute. Kalau dia menggunakan kekerasan merebut kedudukan, tentu dia akan di benci oleh para anggauta Beng-kauw, dan apa artinya bagi dia menjadi

   ketua Beng-kauw kalau para anak buahnya membencinya?

   Pendapat ini masuk akal dan menenangkan hati Gin San. Maka bertiga harus berganti kuda sampai tiga kali dan biarpun Sian Lun memiliki tanda pangkat yang dibawanya, sedangkan Gin San dan Ling Ling memiliki masing-masing sebatang pedang dari kaisar sebagai tanda kekuasaan seorang kepercayaan kaisar, namun mereka bertiga tidak mau minta bantuan pembesar setempat, bahkan tidak pernah memperkenalkan diri dan membeli kontan kuda yang mereka butuhkan untuk mengganti kuda yang sudah lelah dan untuk keperluan ini .mereka telah membawa bekal uang yang cukup.

   Pada suatu hari, ketika mereka bertiga menjalankan kuda memasuki wilayah Telaga Po-yang, mereka melihat banyak orang menuju ke arah yang sama Mereka bertiga merasa heran karena mengenal bahwa orang orang itu tentulah orang orang dunia kangouw, hal ini selain nampak pada gerak-gerik mereka, juga dari pakaian mereka yang campur aduk. Ada orang-orang yang berpakaian seperti ahli-ahli silat, ada pula yang berpakaian jubah dengan kepala gundul, yaitu hwesio hwesio yang bersikap alim dan tenang, ada pula tosu-tosu tua yang sederhana dan bersikap aneh. Mereka semua itu, agaknya sedang menuju ke Telaga Po-yang pula.

   Karena merasa curiga dan tertarik, dan menduga tentu telah terjadi sesuatu yang luar biasa, Gin San melompat turun dari atas punggung kudanya, menuntun kuda itu mendekati seorang tosu yang berjalan sendirian, kemudian dengan sikap hormat ia bertanya.

   "Maaf totiang. Apakah totiang juga hendak pergi mengunjungi Beng kauw?"

   Todongannya itu ternyata tepat sekali. Selelah menoleh dan memandang kepada pemuda itu dan agaknya dapat melihat kegagahan yang tersembunyi pada diri Gin San, kakek itu menjawab.

   "Tentu saja, sicu! Siapa oranguya yang tidak akan tertarik mendengar bahwa Beng-kauw mengadakan pesta dan mengundang semua orang kang ouw yang suka

   hadir? Tentu akan ramai di sana!"

   "Ada keramaian apakah maka diadakan pesta di Beng-kauw, totiang?"

   Tanya Gin San dan melihat tosu itu memandang heran, dia cepat menyambung.

   "Maaf, saya baru saja tiba dari utara sehingga tidik tahu apa yang terjadi di sini. Sudikah totiang memberi tahu mengapa Beng-kauw mengadakan pesta?"

   "Siancai, sicu datang dan utara? Tentu melihat keributan di kota raja ketika diduduki orang-orang Tibet, bukan? Kalau begitu tentu sicu tidak tahu keadaan di Beng-kauw. Beng kauw merayakan pesta untuk menghormati ketua mereka yang baru, dan juga untuk merayakan persahabatan antara Beng kauw dan Lam ong!"

   

Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini