Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 5


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Hemm, dia sombong sekali!"

   Kui Eng berkata, bersungut-sungut.

   "Kalau tidak kusambut tantangannya, tentu dia akan menjadi besar kepala!"

   "Sebetulnya bukan gadis baju putih itu yang sombong, melainkan kita sendiri yang terlalu memandang rendah lawan. Tidak kusangka bahwa gadis itu demikian tinggi ilmu silatnya, juga pemuda yang bersenjata bambu itu amat lihai,"

   Kata Bun Hong sejujurnya.

   "Dan kau sudah menerima tantangannya, sumoi, tak dapat dihindarkan lagi kita akan menghadapi lawan-lawan tangguh karena tentu fihak mereka telah siap siaga. Baru saja turun gunung kita sudah menanaui bibit permusuhan dengan orang-orang gagah,"

   Kata pula Beng Han yang amat mengkhawatirkan keselamatan sumoinya itu.

   Ditegur oleh dua orang suhengnya, hati Kui Eng menjadi panas dan dia bangkit berdiri, memandang kepada dua orang suhengnya itu di bawah sinar empat batang lilin yang mereka nyalakan di ruangan kuil tua itu, lalu dia berkata dengan nada suara marah dan bibir cemberut.

   "Twa-suheng dan ji-suheng, kalau sekiranya merasa takut menghadapi gadis baju putih itu, biarlah besok pagi aku sendiri yang akan datang kesana memenuhi tantangannya dan kalian berdua tinggallah saja bersembunyi disini!"

   Mendengar ucupan ini dan me'ihat kemarahan sumoi mereka, Beng Han dan Bun Hong yang duduk di atas lantai itu saling pandang lalu tertawa.

   "Ah, sumoi, mengapa kau berkata demikian?"

   Beng Han berseru sambil tcrsenyum.

   "Kau tentu mengerti bahwa aku bersedia membelamu dengan taruhan nyawaku!"

   "Memang kau tidak adil, sumoi, menyangka kami takut dan tidak suka membelamu. Aku tidak akan membiarkan kau menghadapi lawan seorang diri saja!"

   Bun Hong menyambung sambil memandang tajam.

   Kui Eng menatap wajah kedua orang suhengnya itu berganti-ganti, kemudian tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah dan sambil menundukkan muka dan duduk kembali ke atas lantai, dia bertanya dengan lirih.

   "Kalian baik sekali kepadaku dan bahkan bersedia membelaku dengan taruhan nyawa, mengapakah?"

   Melihat sikap Kui Eng dan mendengar pertanyaan ini, dua orang pemuda itu tertegun, saling pandang dan seolah olah mereka dapat membaca isi hati masing-masing, mereka lalu menundukkan muka pula dan tidak dapat menjawab. Jantung mereka berdebar tercengang dan tanpa mereka sadari, muka merekapun menjadi merah. Tiga orang saudara seperguruan itu duduk di lantai ruangan kuil tua, dibawah penerangan empat batang lilin yang berkelap-kelip tertiup angin yang masuk dari luar melalui dinding-dinding yang retak, menunduk dan tidak mengeluarkan kata-kata, masing-masing tenggelam dalam lamunannya sendiri. Baru saat itulah terasa dan terpikir oleh mereka apa yang sebenarnya terkandung di dalam hati sanubari mereka masing-masing. Tanpa disadarinya sebelum ini, baik Bun Hong maupun Beng Han mengandung perasaan cinta yang besar dalam hati mereka terhadap sumoi mereka ini, bukan hanya cinta kasih scbagai seorang suheng terhadap seorang sumoinya, melainkan cinta kasih dari seoiang pria terhadap seorang wanita! Kesadaran akan kenyataan yang timbul sebagai jawaban atas pertanyaan Kui Eng ini membuat Bun Hong membungkam dan hanya mengangkat muka memandang kepada Kui Eng dengan sinar mata tajam, bibirnya bergerak-gerak tanpa suara karena ditahan-tahannya agar jangan menyalurkan teriakan suara hatinya yang menyatakan cinta! Adapun Beng Han yang lebih tenang dan lebih kuat batinnya, sudah dapat menenangkan hatinya kembali dan dia segera berkata dengan suara tenang dan mantap untuk membuyarkan suasana yang menekan, menegangkan dan mencekam hati itu.

   "Aih, sumoi! Kita adalah saudara-saudara seperguruan, kalau kita tidak saling membela, habis siapakah yang akan membela kita? Kalau misalnya engkau melihat aku atau sute berkelahi dengan orang lain, apakah engkau juga tidak akan segera membantu tanpa diminta lagi?"

   Lega rasa hati Kui Eng dan Bun Hong ketika mendengar ucapan ini yang seketika melenyapkan canggung, sungkan dan malu yang tadi menekan hati mereka. Kini barulah mereka dapat mengangkat muka dan saling memandang tanpa perasaan ragu-ragu atau malu-malu.

   "Ucapan suheng benar sekali!"

   Kata Bun Hong, betapapun juga, kita tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan gadis baju putih itu. Maka kalau besok kita pergi ke Kuil Kwan-im-bio, kita harus mendasarkan kedatangan kita itu untuk berpibu (mengadu ilmu silat) saja, tidak ada hubungannya dengan penyerbuan kita kegedung tihu."

   "Memang sebaiknya begitu,"

   Kata Beng Han.

   "Yang membuat aku heran adalah mengapa dua orang itu secara mati matian membela Yap-tihu? Mereka itu nampaknya bukan seperti pengawal-pengawal atau tukang-tukang pukul bayaran, lebih patut kalau mereka itu segolongan dengan kita yang mencontoh sepak terjang para pendekar. Akan tetapi kalau Yap tihu seorang pembesar jahat yang suka menindas rakyat demi keuntungan diri sendiri, bagaimana dia dapat dibela oleh dua orang muda yang demikian lihainya itu?"

   "Siapa tahu kalau pemuda itu adalah putera tihu sendiri. Kulihat wajahnya mirip sekali dengan wajah Yap-tihu,"

   Kata Kui Eng.

   "Hal ini harus kita selidiki lebih mendalam,"

   Beng Han berkata sambil mengerutkan alisnya.

   "Kita tidak boleh bertindak sembarangan. Besok setelah kita mengunjungi Kwan-im-bio, sebaiknya kita menjumpai tihu lagi dan mencari penjelasan secara bilk baik. Kalau memang dia seorang jahat yang tidak mau menginsyafi kekeliruannya dan hendak menggunakan kekerasan, baru kita turun tangan dan jangan memberi ampun kepadanya lagi."

   "Memang sebaiknya begitu, suheng, Kita mendengar bahwa dia menjadi biang keladi kesengsaraan rakyat dengan peraturan pajak yang mencekik leher, hanya dari mulut Gu-taijiu. Siapa tahu kalau-kalau dia melakukan fitnah atas diri Yap-tihu! Maka besok kita selidiki dulu dengan bertanya-tanya kepada para penduduk kota ini. Mereka tentu tahu orang macam apa adanya tihu itu!"

   Tiga orang pendekar muda itu saling menyetujui dan mereka lalu mengaso dan tidur secara bergiliran. Dua orang tidur dan seorang menjaga agar jangan sampai mereka diserbu musuh sewaktu ketiganya pulas.

   Sementara itu, setelah tiga orang penyerang muda itu melarikan diri, Yap-tihu memanggil para kepala pengawal dan melarang mereka melakukan pengejaran.

   "Mereka bukan penjahat, maka tidak perlu dikejar. Mereka itu pendekar-pendekar gagah, tentu akan dapat membedakan orang setelah mereka melakukan penyelidikan."

   Demikian katanya kepada para kepala pengawal.

   Kemudian Yap-tihu mengajak Yu Tek dan Beng Lian ke dalam dan mengadakan perundingan.

   "Aku merasa heran sekali terhadap mereka. Siapakah mereka bertiga itu? Aku merasa yakin bahwa mereka itu bukan datang dengan niat merampok atau niat buruk lainnya. Akan tetapi kalau mereka itu pendekar-pendekar gagah seperti yang kuduga, mengapa mereka memusuhi aku dan memaki aku sebagai pembesar lalim yang memeras rakyat? Sungguh aneh dan mengherankan."

   Yap-tihu menggeleng-geleng kepalanya.

   "Ayah, mungkin mereka itu adalah anak-anak atau kawan-kawan dari orang-orang jahat yang merasa sakit hati kepada ayah yang telah menyuruh tangkap dan menghukum mereka, dan mereka bertiga itu datang untuk membalas dendam dengan dalih memburukkan nama ayah,"

   Kata Yu Tek.

   "Entahlah, akan tetapi sikap mereka tidak seperti orang-orang jahat, bahkan menurut pendapatku, mereka itu adalah pendekar pendekar muda yang membela rakyat, karena ketika gadis itu mengeluarkan kata kata, dia menegurku yang dia tuduh memeras rakyat dengan pajak yang berat."

   "Betapapun juga, mereka itu telah menjatuhkan fitnah dan bertindak terlalu sembarangan tanpa menyelidik terlebih dahulu, seolah olah mereka hendik menyombongkan ilmu kepandaian mereka! Mereka telah menghina kita tanpa menyelidiki lebih dulu Ayah adalah seorang pejabat yang jujur dan memegang teguh peraturan serta menjalankan tugas dengan baik, sedikitpun tidak pernah memeras rakyat untuk keuntungan pribadi. Mengapa mereka berani berlancang mulut dan menuduh yang bukan-bukan?"

   Yu Tek berkata dengan marah.

   "Juga mereka itu amat sombong, seolah-olah hanya mereka saja yang memiliki kepandaian,"

   Kata Beng Lian dengan penasaran.

   "Sungguh merendahkan orang-orang An-kian. Karena itu saya telah menantang mereka untuk datang mengadu pandaian besok pagi di kuil. Kalau benar-benar kita sampai kalah, biarlah subo yang turun tangan memberi hajaran kepada mereka."

   "Kita harus hati-hati, moi-moi. Hal ini sebaiknya kita beritahukan kepada gurumu agar kita jangan sampai salah tangan dan bermusuhan dengan pendekar-pendekar kang-ouw."

   "Benarsekali pendapat Yu Tek"

   Kata Yap-tihu.

   "Urusan ini menyangkut orang-orang kang-ouw, maka sebaiknya kalau kita minta nasihat dari Pek I Nikouw. Sebaiknya sekarang juga kalian pergi menghadap orang tua itu mohon nasihatnya agar kita dapat bersiap-siap untuk menghadapi mereka besok pagi."

   Yu Tek dan Beng Lian lalu pergi ke Kuil Kwan-im-bio dan menceritakan segala peristiwa yang terjadi itu kepada Pek I Nikouw. Nenek ini menarik napas panjang dan berkata kepada mereka.

   "Semenjak lama hati pinni telah mengkhawatirkan bahwa sewaktu-waktu akan terjadi hal seperti ini. Hanya kita yang mempunyai hubungan dekat dengan Yap-tihu sajalah yang mengetahui bahwa dia adalah seorang pembesar yang jujur dan baik, akan tetapi orang luar belum tentu akan menganggapnya demikian. Yu Tek, ayahmu menguasai seluruh dusun di wilayah ini dan ayahmulah yang memberi perintah langsung kepada para kepala kampung dalam hal menjalankan peraturan, termasuk pemungutan pajak dan penentuan besarnya dan lain-lain. Padahal, kita semua tahu bahwa perintah yang disampaikan oleh ayahmu tentang pemungutan pajak tani itu, yang datangnya dari kotaraja, adalah peraturan yang tidak adil dan mencekik leher para petani. Tentu saja orang-orang gagah akan menyangka bahwa ayahmulah yang bersalah dalam hal ini."

   "Akan tetapi, suthai, semua uang pajak itu tidak ada yang dimakan oleh ayah, melainkan seluruhnya disetorkan kepada pemerintah!"

   "Benar, akan tetapi siapa tahu akan hal itu?"

   Nikouw tua ini menarik napas panjang.

   "Jamannya sudah berubah, para pejabat pemerintah hampir semua melakukan korupsi dari yang tingkat paling rendah sampai yang paling tinggi, maka segelintir dua gelintir pembesar yang jujur dan baik di antara mereka itu tentu akan nampak buruk pula. Siapa bisa percaya bahwa di jaman seperti ini ada pembesar seperti ayahmu yang tidak melakukan korupsi demi keuntungan diri pribadi?"

   "Betapapun juga, suthai, orang yang disebut pendekar seharusnya melakukan sesuatu dengan teliti dan menyelidiki dengan seksama terlebih dahulu sebelum bertindak. Tidak seperti mereka itu yang bertindak secara sembarangan sajal"

   Kata Yu Tek dengan nada suara jengkel.

   Nikouw itu menarik napas panjang.

   "Kalian tadi menceritakan bahwa mereka adalah orang-orang yang masih muda sekali, sebaya dengan kalian, karena itu mereka masih berdarah panas. Bagaimana mereka akan dapat bersikap sabar dan teliti? Orang-oiang muda selalu terdorong oleh darah panas. Biarlah, kalau besok mereka dntang ke sini, pinni yang akan menyambut mereka dan mcmbereskan kesalahfahaman ini."

   "Akan tetapi, subo, sebelum itu biarkanlah teecu mencoba dulu kepandaian mereka itu!"

   Kata Beng Lian, bibirnya masih cemberut karena masih panas dan marah hatinya teringat akan gadis yang menjadi lawannya itu.

   Pek I Nikouw tersenyum mendengar ini.

   "Nah, apa kata pinni? Orang muda selalu terpengaruh oleh darah panas!"

   Dia lalu berkata kepada Yu Tek.

   "Sebaiknya engkau pulang dulu dan menjaga ayahmu. Besok pagi-pagi ke sini untuk menyambut mereka. Dan kau sebaiknya mengaso dan tidur agar besok pagi badanmu sehat untuk menghadapi pibu yang kauinginkan itu, Beng Lian."

   Yu Tek lalu memberi hormat, berpamit dan pergi. Sedangkan Beng Lian lalu memasuki kamarnya di mana ibunya masih duduk membaca doa. Ketika Siok Thian Nikouw mendengar penuturan anaknya tentang peristiwa itu, hatinya menjadi gelisah dan dia berkata.

   "Beng Lian, jangan kau bersikap angkuh dan terlalu mengandalkan kepandaianmu untuk berkelahi. Kau harus mentaati kata-kata gurumu dan menyerahkan hal itu kepada gurumu yang akan bertindak bijaksana."

   Semua nikouw dalam Kuil Kuan-im-bio telah mendengar tentang peristiwa itu dan ramailah mereka membicarakan hal itu. Mereka merasa tertarik sekali ketika mendengar bahwa besok pagi akan datang tiga orang gagah untuk mengadu ilmu silat melawan Beng Lian dan Yu Tek di ruangan kuil.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Yu Tek telah datang ke Kuil Kwan-im-bio bersama ayahnya! Mula-mula Pek I Nikouw merasa heran melihat kedatangan tihu ini, apa lagi karena kedatangannya hanya berdua dengan Yu Tek, sama sekali tanpa pengawal. Akan tetapi hati nikouw tua ini menjadi kagum dan senang ketika dia mendengar penjelasan Yap-tihu bahwa pembesar itu ingin sekali bertemu dengan para penyerbu itu untuk mengadakan pembicaraan secara mendalam dan kalau perlu mengadakan perundingan untuk menghindarkan salah faham.

   "Sikap Yap-taijin dalam hal ini amat bijaksana. Kalau semua pembesar bersikap seperti taijin, tidak mengandalkan kedudukan untuk bersikap congkak dan bertindak sewenangwenang, maka keadaan negara tentu tidak akan sekacau ini, rakyat akan hidup tenang dan tenteram, di mana-mana tidak akan timbul ketidakpuasan dan penasaran."

   Yap-tihu menghela napas panjang.

   "Saya tidak berpamrih sesuatu, suthai, tidak bermaksud agar dianggap sebagai pembesar baik. Saya hanya bertindak sebagaimana mestinya dan menjalankan tugas saya sebaiknya. Hanya itulah."

   "Omitohud, semoga Kwan Ini Pouwsat memberkahi niat hati taijin yang bijaksana."

   Mereka semua sudah berkumpul di situ. Yap-tihu dan Pek 1 Nikouw duduk di atas bangku dan dua orang muda itupun duduk, dekat mereka. Siok Thian Nikow dan beberapa orang nikouw pimpinan duduk di belakang dan nikouw-nikouw lain berdiri.

   Hati mereka tegang dan waktu dirasakan merayap lambat sekali. Setelah matahari naik cukup tinggi dan keadaan menjadi terang, datanglah tiga orang muda yang telah ditunggu-tunggu itu. Mereka datang dari pintu depan, disambut oleh seorang nikouw penjaga. Dengan suara tenang Kui Eng menyatakan kepada penjaga ini bahwa dia bersama dua orang suhengnya datang untuk memenuhi undangan nona baju putih di Kuil itu. Nikouw penjaga yang memang sudah tahu, segera mempersilakan mereka langsung menuju ke lian-bu-thia yang letaknya di belakang kuil, sebuah pekarangan terbuka yang luas,

   "Silakan, sam-wi telah ditunggu di lian-bu-thia,"

   Katanya. Seorang nikouw lain mengantar mereka memasuki pekarangan itu.

   Kui Eng berjalan di depan dengan langkah lebar dan sikap yang gagah. Dengan pakaiannya yang berwarna hijau, gadis ini nampak cantik jelita dan gagah perkasa sehingga menimbulkan rasa kagum dalam hati para nikouw yang berdiri di kanan kiri jalan masuk kuil itu.

   Ketika mereka bertiga memasuki pekarangan dan melihat banyak nikouw bcrdin dan memandang kepada mereka Kui Eng, Bun Hong, dan Beng Han merasa agak sungkan dan malu juga karena para pendeta wanita itu mengingatkan mereka bahwa mereka berada di tempat suci. Mereka datang ke sebuah kuil dari para pendeta yang memuja Kwan Im Pouwsat, dewi kebajikan dan betas kasih bukan untuk bersembahyang atau memuja, melainkan untuk pibu dan mengadu kepandian silat!

   Beng Han sendiri mulai berdebar jantungnya. Hatinya terasa. tidak enak sekali karena sungguh tidak masuk akal kalau orang yang hendak mereka lawan itu adalah seorang jahat. Mungkinkah seorang jahat dapat tinggal di tempat suci itu? Maka dia lalu mendekati sumoinya dan berbisik.

   "Sumoi, harap kau suka menahan kesabaranmu, tidak baik bersikap kurang pantas kepada orang lain di tempat suci ini."

   Kui Eng mengerti akan maksud hati su-hengnya, maka dia mengangguk. Dia sendiripun sudah mulai meragu. Namun tiga orang pendekar muda yang merasa tidak enak hati ini tidak merasa jerih dan mereka memasuki lian-bu-tlua dengan langkah tetap. Di pintu pekarang.m ini, mereka disambut oleh Beng Lian yang berpakaian serba putih, amat sederhana. Gadis ini berdiri menyambut bersama Yu Tek. Kedua orang muda ini menjura ketika menyambut kedatangan Kui Eng bertiga kemudian terdengar Beng Lian berkata dengan suara lantang.

   "Sahabat yang gagah ternyata telah menepati janji! Mari, silakan masuk ke lian-bu-tia di mana kita boleh bermain-main tanpa khawatir untuk dikeroyok!"

   Ucapan Beng Lian yang bersikap normal ini mengandung tantangan, maka tanpa banyak cakap lagi Kui Eng mengangguk dan mengikuti Beng Lian dan Yu Tek memasuki lian-bu-thia itu bersama dua orang suhengnya.

   Ruangan yang merupakan pekarangan terbuka dengan lantai batu ini amat luas dan ke-tika tiga orang pendekar muda itu masuk ke tempat itu, mereka melihat bahwa disitu telah duduk Yap-tihu, Pek I Nikouw dan Siok Thian Nikouw bersama nikouw-nikouw pimpinan lainnya. Orang-orang tua ini hanya duduk dengan diam saja karena memang mereka telah memberi kesempatan kepada Beng Lian dan Yu Tek untuk mengadakan penyambutan lebih dulu dan menguji ilmu kepandaian para tamunya.

   Tiga orang pcndekar itu terkejut sekali melihat hadirnya Yap-tihu di tempat itu Akan tetapi karena tidak nampak para pengawal yang ada hanya beberapa orang nikou tua yang tidak mereka kenal, dan karena tuan rumah itupun hanya duduk diam, maka mereka juga diam saja tidak menegurnya.

   "Nah, di tempat ini kita bisa main-main seorang lawan seorang dalam mencoba ilmu kepandaian masing-masing untuk menghilaugkan rasa penasaran,"

   Kata Beng Lian sambil tersenyum kepada para tamunya.

   "Silahkan seorang di antara samwi enghiong maju untuk main-main sebentar!"

   Melihat sikap pihak tuan rumah yang sederhana dan gagah, sama sekali tidak membayangkan kesombongan itu, Kui Eng segera melangkah maju dan menjawab.

   "Biarlah aku yang bodoh memperlihatkan kcbodohanku."

   Bun Hong dan Beng Lian segera mengundurkan diri dan berdiri dengan kedua kaki terpentang di sudut lian-bu-thia itu.

   "Ah, kalau kau yang maju, biarlah aku yang melayanimu,"

   Kata Beng Lian dengan masita iersenyum. Seperti mendapat komando maju,.. kedua orang gadis itu telah mencabut pedang mereka secara berbareng.

   Sementara itu, Siok Thian Nikouw memandang ke arah wajah Beng Han dengan jantung berdebar keras. Kedua kakinya menggigil dan tubuhnya agak gemetar ketika dia menatap wajah itu, dan tahi lalat ditengah dahinya mengingatkan dia kepada puteranya yang dulu tewas dalam kekacauan ketika terjadi perang pemberontakan. Alangkah sama wajah pemuda itu dengan wajah mendiang puteranya. Hampir saja nikouw ini membuka mulut untuk. bertanya, akan tetapi oleh karena pada saat itu puterinya telah mencabut pedang dan berhadapan dengan gadis gagah berbaju hijau yang memegang pedang pula, terpaksa dia mengalihkan pandangan mata dan perhatiannya kini tertuju kepada Beng Lian dengan hati cemas.

   "Anakku, jangan berkelahi sungguh-sungguh!"

   Dia tidak dapat menahan hatinya dart mengeluarkan kata-kata ini kepada Beng Lian.

   Beng Lian menoleh kepada ibunya dan tersenyum.

   "Jangan kuatir, ibu, ini hanya pibu ntuk mengukur kepandaian masing-masing."

   Kemudian Beng Lian menghadapi Kui Eng dan berkata dengan sikap tenang.

   "Nah, silahkan, sobat yang manis!"

   Setelah kini bertemu dengan gadis baju putih itu di siang hari dan dapat melihat wajahnya dengan jelas, melihat suasana di tempat itu dan mendengar ucapan nikouw yang disebut ibu oleh gadis lawannya itu, kemarahan hati Kui Eng semalam kini menjadi buyar. Dia melihat betapa wajah gadis baju putih itu manis dan sikapnya lemah lembut sehingga menimbulkan rasa suka di dalam hatinya. Kini dia mengerti bahwa sikap keras gadis baju putih ini malam tadi adulah karena keadaan, karena dia dan dua orang suhengnya adalah penyerbu-penyerbu yang diunggap jahat tentu saja!

   Di lain pihak, melihat kecantikan Kui Eng sikapnya yang gagah dan tidak mengenal takut ketika memasuki kuil bersama dua orang suhengnya untuk memenuhi tantangannya, membuat Beng Lian merasa kagum dan suka. Ketika mereka berhadapan dengan pedang di tangan masing-masing, mereka bcicjua mendapat perasaan seolah-olah mereka sedang menghadapi seorang kawan yang mengajak berlatih silat, bukan menghadapi seorang lawan pibu yang harus dijatubkan.

   Kui Eng tidak berlaku sungkan lagi dan dia segera berseru.

   "Lihat pedang!"

   Dan mulailah dia menyerang dengan gerakan indah dan kuat. Beng Lian menangkis dengan baik dan balas menyerang. Serangan pertama ini menyisihkan keraguan dan kebimbangan mereka karena mereka maklum bahwa lawan yang dihadapi dapat menjaga diri dengan baik dan memiliki kepandaian tinggi, maka mereka segera mempercepat gerakan dan terjadilah pertandingan adu pedang yang amat seru dan menarik.

   Dua orang dara ini memiliki ginkang yang seimbang, mereka keduanya memiliki kelincahan, maka gerakan mereka yang cepat itu membuat tubuh mereka sebentar saja lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka yang menjadi satu. Sinar terang bergulung-gulung, saling tekan dan saling dessk. Langkah-langkah kaki mereka hampir tidak terdengar, tertutup oleh bersiutnya dan berdesingnya suara pedang memecah hawa dan disusul berdencingnya pedang beradu yang menimbulkan bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata. Para nikouw, terutama sekali Siok Thian Nikouw, menjadi cemas juga menyaksikan pertempuran yang seru dan hebat itu. Akan tetapi Pek I Nikouw, Yap Yu Tek, dan kedua orang suheng dari Kui Eng yang memiliki kepandaian tinggi menonton dengan sikap tenang saja. Bahkan Pek I Nikouw nampak tersenyum karena dia dapat melihat betapa kedua orang dara yang sedang bertanding dengan hebat dan seru kelihatannya itu ternyata secara mengherankan sekali, telah saling mengalah dan tidak menyerang dengan sungguh-sungguh! Mereka tidak mau saling mengeluarkan jurus-jurus yang berbahaya, melainkan bertanding seperti orang mendemonstrasikan keindahan dan kelincahan mereka saja! Mereka bahkan seperti dua orang yang sedang berlatih saja!

   Kui Eng maklum bahwa kalau pertempuraan itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, dia tidak perlu merasa khawatir karena dia masih menang dalam hal ginkang, dan gerakan pedangnya lebih ganas. Akan tetapi, oleh karena malam tadi dia melihat betupa gesit dan lihainya gadis baju putih mempergunakan jarum-jarum halus sebagai senjara rahasia, kalau lawannya mempergunakan jarum-jarumnya, dia harus berlaku hati-hati sekali. Kini melihat lawannya sama sekali tidak mau mempergunakan jarum-jarumnya, diapun tahu bahwa gadis itu tidak bermaksud buruk, maka dia sendiripun tidak terlalu mendesak. Kalau dia mau tentu dia dapat mendesak lawannya dengan pedangnya yang memang setingkat lebih tinggi dari pada lawan.

   Beng Lian juga maklum akan hal ini, maka setelah, bertempur hampir seratus jurus, dia terus melompat kebelakang sambil berseru.

   "Sobat yaug cantik, kepandaianmu benar amat hebat aku Gan Beng Lian mengaku kalah!"

   Tiba-tiba Beng Han mengeluarkan seruan "eh"

   Dan memandang kepada Beng Lian dengan wajah pucat. Tak terasa lagi dia melompat ke depan, gerakannya demikian gesitnya sehtngga mengejutkan Beng Lian bahkan Yu Tek juga sudah melompat kedepan untuk melindungi kekasihnya Akan tetapi pemuda vang bertahi lalat di dahinya itu tidak menyerang, melainkan menatap waiah Beng Lian seperti orang melihat setetan ditengah hari, dan berkata seperti orang mabok.

   "Coba kausebutkan namamu lagi!"' Beng Lian terbelalak, memandang wajah pemuda itu dengan tajam seperti orang mengingat-ingat, lalu berkata gagap.

   "Aku adalah Gan Beng Lian dan... dan.... kau mengingatkan aku akan wajah seorang yang pernah kukenal""

   "Beng Lian, ya Tuhan! Kalau tidak keliru dia itu adalah kakakmu sendiri!"

   Suara ini gemetar bercampur isak dan mendengar ini Beng Han cepat menengok. Ketika dia bertemu pandang dengan Siok Thian Nikouw, tiba-tiba seluruh tubuhnya menggigil. Sekarang dia mengcnal wajah nikouw yang kepalanya gundul ini! Selagi dia memandang dengan bimbang, nikouw itu sudah bangkit dan terhuyung menghampirinya.

   "Bukankah engkau anakku Beng Han?"

   Bukan main terkejut hati Beng Han mendengar suara ini. Lenyap segala keraguan hatinya. Beng Lian melangkah mundur dua tindak sambil memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Ketika mereka berpisah dahulu, Beng Lian baru berusia empat tahun, akan tetapi oleh karena ibunya sering kali membicarakan tentang kakaknya, kini dia masih dapat mengingatnya dengan baik. Melihat pemuda itu memandang kepada ibunya dengan air mata meleleh dan menitik turun laksana permata terlepas dari untaiannya, Beng Lian lalu menjerit.

   "Kau benar-benar Beng Han kakakku!"

   Lalu ditubruknya pemuda itu dan dipeluknya sambil menangis.

   Beng Han balas memeluk adiknya dan keduanya lalu berlutut dan merangkul kedua kaki Siok Thian Nikouw yang air matanya bercucuran, mukanya pucat, bibirnya bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara dan kedua tangannya diangkat dan dikembangkan ke atas seolah-olah menghaturkan terima kasih kepada Thian.

   "Beng Han anakku kau benar-benar masih hidup?"

   "Ibu!"

   Beng Han mendekap dan menciumi kaki ibunya.

   "Terima kasih kepada Kwan Im Hud couw! Terima kasih kepada Thian."

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Siok

   Thian Nikouw lalu berlutut dan mendekap kepala puteranya. Ibu dan kedua orang anaknya itu berpeluk-pelukan sambil menangis karena terharu dan girang. Pertemuan yang sama sekali tidak disangka-sangka!

   "Omitohud betapa maha murah dan maha adilnya Thian yang selalu memberkahi me-reka yang benar""

   Pek I Nikouw berkemak-kemik membaca doa karena betapapun juga, perasaan hatinva tersentuh keharuan yang membuat dia segera berdoa dan memejamkan kedua matanya.

   Melihat peristiwa itu tak terasa pula Kut Eng ikut mengucurkan air matanya. Dia teringat akan kcluarganya sendiri, teringat akan ibunya yang dilarikan penjahat, dan ayahnya yang terbunuh mati. Juga Bun Hong berdiri bagaikan patung, memandang kearah tiga orang yang sedang saling rangkul itu dengan bingung karena iapun teringat akan kedua orang tuanya yang telah tcwas oleh kaum pemberontak.

   Setelah keharuan hati mereka agak reda, Siok Thian Nikouw lalu bertanya kepada pu-teranya.

   "Beng Han, mengapa pula kedua orang kawanmu ini?"

   "Ibu, mereka adalah adik seperguruanku, sute Bun Hong dan sumoi Kui Eng."

   Beng Han memperkenalkan dan kedua orang muda itu lain menjura sebagai pemberian hormat kepada nikow itu. Beng Lian lalu memegang tangan Kui Eng dan berkata dengan wajah berseri girang,

   "Aihh, cici! Kiranya engkau adalah sumoi dari kakakku! Aku sungguh merasa girang dapat berkenalan dengan engkau yang cantik jelita dan gagah ini!"

   Kui Eng tersenyum manis dan berkata "Engkau pandai sekali dan mam adik Beng Lian. Kalau saja kuketahui bahwa engkau adik perempuan suhengku, tentu aku tidak akan berani berlaku kurang ajar. Maafkan saja kekasaranku tadi terhadapmu."

   Beng Lian lalu memperkenalkan subonya kepada ketiga orang pendekar muda itu.

   "Ini adalah guruku, Pek I Nikouw, ketua dari Kwan im-bio ini."

   Terkejutlah tiga orang muda itu Kui Eng memandang kepada Pek I Nikouw yang duduk tenang sambil tersenyum ramah Baru Beng Lian saja sudah memiliki ilmu pedang sehebat itu, apa lagi gurunya! Untunglah bahwa perempuran itu tidak menjadi permusuhan hebat karena kalau demikian halnya, tentu dia dan kedua orang suhengnya akan menghadapi lawan yang luar biasa tangguhnya.

   Kui Eng, Bun Hong dan Beng Han lalu menjura kepada Pek t Nikouw. Beng Han mewakili dua orang adik seperguruannya, berkata: "Suthai yang mulia, maafkanlah teeeu bertiga yang tidak tahu diri dan telah bersikap kurangajar di tempat suthai yang suci ini."

   Pek I Nikouw tersenyum.

   "Omitohud orang-orang muda yang gagah perkasa! Sungguh terbukti betapa Thian adalah adil dan murah hati. Pinni memang telah menyangka bahwa kalian tentulah orang-orang, gagah pembela rakyat. Tidak tahunya seorang di antara kalian bahkan masih kakak dari muridku sendiri."

   Siok Thian Nikouw lalu berkata kepada Beng Han.

   "Anakku, biarpun aku merasa girang sekali dan mengucap syukur kepada Thian Yang Maha Kuasa, akan tetapi terus terang saja aku merasa tidak puas melihat sepak terjangmu ini. Kau dan kedua adik seperguruanmu ternyata terlampau menurutkan hati yang terburu nafsu dengan memusuhi Yap-tihu. Tahukah kau sisa adanya pemuda ini? Dia ini adalah Yap Yu Tek, putera Yap-tihu dan dia adalah calon adik iparmu karena dia adalah tunangan dari adikmu Beng Lian. Dan Yap-tihu adalah seorang pembesar budiman yang bijaksana dan adil. Apa sebabnya kalian bertiga memusuhinya?"

   Beng Han dan dua orang adik seperguruannya itu tercengang. Beng Han merasa girang sekali mendengar bahwa adiknya telah bertunangan dengan seorang pemuda tampan yang telah dia kenal kelihaiannya itu, maka ketika Yu Tek menjura dan memberi hormat kepadanya, dia lalu membalas penghormatan itu dan berkata girang.

   "Ah, saudaraku yang baik, harap kau memaafkan aku yang ceroboh!"

   "Sebaliknya twako,"

   Kata Yu Tek sambil tersenyum.

   "aku merasa kagum sekali melihat twako dan kedua orang gagah ini."

   Kui Eng yang keras hati masih merasa penasaran mendengar teguran ibu Beng Han itu, dan mendengar pernyataan bahwa pembesar itu adalah bijaksana dan adil, dia tidak dapat menahan rasa penasaran di batinya dan tanpa menujukan kata katanya kepada orang tertentu seperti hieara kepada diri sendiri, dia berkata.

   "Kalau memang benar bahwa Yap-tihu adalah seorang pembesar yang adil dan bijaksana, mengapa dia mengadakan peraturan pemungutan pajak yang mencekik leher rakyat kecil yang miskin?"

   Sambil berkata demikian dia memandang kc arah tihu yang telah berdiri dan orang tua ini tersenyum sedih.

   "Sam-wi enghiong."

   Katanya dengan suara halus "Memang, dipandang sepintas lalu, aku tidak lain adalah seorang pembesar yang berlaku sewenang-wenang. Ini sudah menjadi nasib burukku yang bekerja kepada pemerintah yang kurang memperhatikan keadaan rakyatnya. Silahkan duduk dan harap suka dengarkan penuturanku yang sebenamya dan apa adanya, bukan untuk membela diriku."

   Pembesar itu lalu duduk dan tiga orang muda itupun duduk di atas bangku yang sudah disediakan oleh para nikouw.

   "Orang-orang muda, dengarlah penjelasan pinni,"

   Liba-tiba Pek I Nikouw berkata.

   "Kalau Yap-taijin yang memberi penjelasan, tentu kalian akan menganggap bahwa dia berbohong atau setidaknya mencari-cari alasan untuk membersihkan diri. Pinni adalah orang luar yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan pemerintahan, maka keterangan pinni kiranya dapat kalian cerna dan percaya."

   "Teecu bertiga bersedia mendengarkan dan akan percaya keterangan suthai,"

   Kata Beng Han.

   "Yap-tihu adalah seorang pejabat yang setia dan memegang peraturan dengan keras. Hal ini tidak boleh disalahkan, bahkan patut dipuji oleh karena memang seharusnya demikian sikap seorang pembesar yang bijaksana. Peraturan-peraturan yang dia perintahkan kepada semua kepala kampung adalah peraturan yang datanguya dari kotaraja dan sebagai seorang pejabat, tentu saja Yap-tihu tidak berani menentangnya. Menentang perintah atasan berarti membangkang atau bahkan dianggap memberontak. Adapun mengenai dirinya sendiri, pinni yang cukup tahu dan mengenal bahwa dia, adalah seorang pembesar yang adil dan bijaksana, yang sama sekali tidak pernah bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya, yang sama sekali pantang untuk bertindak korupsi demi untuk kesenangan diri dan keluarga sendiri. Peraturan yang dirasakan amat menekan. rakyat petani itu bukanlah peraturan yang dibuat oleh Yap-tihu sendiri, dan dia hanyalah seorang pelaksana yang setia kepada tugasnya. Hal ini harus kalian mengerti baik baik."

   Mendengar penuturan ini, insaflah tiga orang muda itu. Mereka merasa tidak enak sekali dan maklumlah kini bahwa selama ini mereka hanya menegur petugas-petugas yang menjadi pelaksana belaka. Para petugas itu hanyalah ranting-ranting dan daun-daun saja. Kalau pohon itu menghasilkan buah yang buruk, maka membabati ranting-ranting dan daun-daunnya, mengobati ranting-ranting dan daun daunnya akan sia-sia belaka. Penyakit itu letaknya adalah pada si pohon, yaitu pada pusatnya, pada pemerintahannya atau pejabat tinggi yang berwewenang menentukan pajak itu. Kalau mau mengobati, haruslah pohonnya, dan kalau mereka hendak membela rakyat, mereka harus mendatangi yang menjadi pusat penyakit itu Di kota raja!

   Mereka bangkit menjura kepada Yap-tihu dan Beng Han mewakili mereka berkata.

   "Ah, kalau demikian halnya, taijin, harap sudi memaafkan kami bertiga orang-orang muda yang bodoh dan ceroboh sehingga kami telah mendatangkan kekacauan dan berkalu kurang ajar kepada taijin dan mengganggu ketenteraman keluarga taijin."

   Pembesar itu menarik napas panjang dan wajahnya kelihatan sedih, wajah itu nampak lebih tua dari pada usianya.

   "Tidak apa, tidak apa!"

   Jawabnya.

   "Bahkan aku merasa malu sekali bahwa kalian orang-orang muda mempunyai semangat dan pribadi yang jauh lebih tinggi dari pada aku. Biarlah besok pagi aku akan mengajukan permohonan berhenti dari jabatanku."

   "Ayah!"

   Yap Yu Tek berkata lirih dan memandang ayahnya dengan kaget.

   Pek I Nikouw juga terkejut sekali mendengar ini dan cepat berkata.

   "Yap-taijin janganlah taijin berkata demikian! Ingatlah kalau orang lain yang menjadi pembesar di kota ini, tentu keadaan rakyat bahkan menjadi makin tertindas! Pembesar lain biasanya selain menjalankan peraturan yang datang dari kota raja, mereka tentu akan melakukan penindasan-penindasan lain yang timbul dari nafsu ingin menimbun harta untuk kepentingan diri sendiri. Kasihanilah rakyat di An-kian dan daerahnya dari penghisapan seperti itu, taijin. Kalau terjadi taijin mengundurkan diri dan An-kian dipimpin oleh pembesar lain yang korup dan sewenang-wenang, agaknya pinni sendiri akan mengikuti jejak tiga orang muda ini dan menentang mereka dengan kekerasan!"

   Yap-tihu menghela napas panjang dan berkata.

   "Suthai yang baik, memang itulah yang membuat saya hingga sekarang masih menguatkan hati untuk memegang jabatan ini. Ah, ijinkanlah saya pulang dulu karena hal ini benar-benar mendukakan hati saya dan membingungkan pikiran saya."

   Yap-tihu lalu menjura kepada semua orang dan berjalan pulang, diikuti oleh Yap Yu Tek yang juga merasa berduka melihat keadaan ayahnya itu. Dia dapat menyelami perasaan ayahnyadan merasa kasihan sekali karena ayahnya menghadapi hal yang amat sulit untuk dipilih. Terus merjabat kedudukan itu berlawahan dengan hati nurani karena peraturan dari atasan amat menghimpit rakyat. Keluarpun tidak tepat karena kedudukannya akan diganti oleh pembesar lain yang lebih menyengsarakan rakyat pula!

   Kini terbukalah mata Kui Eng. Bun Hong dan Beng Han. Diam-diam mereka merasa menyesal bahwa mereka telah salah tangan menuduh seorang yang bijaksana sebagai seorang jahat. Kemarahan mereka kini beralih ke kota raja, dan diam-diam mereka mengambil keputusan untuk sewaktu-waktu pergi ke kotaraja melihat keadaan dan menyelidiki para pembesar tinggi yang menjadi biang keladi kesengsaraan rakyat jelata.

   "Sam wi enghiong, sebenarnya siapakah guru kalian? Permainan pedang nona ini mengingatkan pinni kepada seorang kenalanku. yaitu Lui Sian Lojin,"

   Kata Pek I Nikouw.

   "Memang teecu adalah murid Lui Sian Lojin!"

   Kata Kui Eng dengan girang.

   "Omitohud! Syukurlah! Kiranya masih orang segolongan sendiri. Ah, suhunya amat lihai, tentu saja murid muridnya gagah perkasa pula!"

   Demikianlah, pertemuan yang semula dikhawatirkan akan berekor menjadi permusuhan ini ternyata berubah menjadi pertemuan mesra dan menghasilkan persahabatan yang akrab diantara mereka. Siok Thian Nikouw memaksa puteranya untuk bermalam di kuil itu agar mereka dapat melepas rindu dan bercakap-cakap, menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah. Pek I Nikouw yang dimintai perkenan, mengijinkan dengan senang hati karena dia percaya penuh kepada murid-murid Lui Sian Lojin ini. Kalau bukan putera Siok Thian Nikouw dan murid-murid Lui Sian Lojin, tidak mungkin dua orang pria itu diperkenankan bermalam di situ; karena merupakan pantanganlah bagi seorang pria untuk bermalam di kuil nikouw itu. Pek I Nikouw lalu menyuruh seorang nikouw mempersiapkan sebuah kamar untuk Beng Han dan Bun Hong, sedangkan Kui Eng mendapat kamar bersama Beng Lian yang telah menjadi kawan baiknya.

   Malam hari itu, Beng Han berada di ruang belakang, bercakap cakap dengan ibunya, menuturkan semua pengalamannya sehingga ibunya merasa girang sekali.

   "Anakku, tadinya aku telah menganggap bahwa engkau juga menjadi korban keganasan para pemberontak liar itu, syukurlah bahwa Thian masih melindungimu dan dapat mempertemukan kita kembali. Bagiku, kau seakan-akan seorang anak yang baru bangkit kembali dari kuburan""

   Ia menyusut air matanya.

   "Beng Han, karena tadinya menyangka bahwa kau telah tewas, maka aku tanpa sengaja mendahului, kutunangkan adikmu dengan putera Yap-tihu."

   Beng Han tersenyum girang.

   "Aku girang sekali melihat hal itu. Menurut pandanganku, Yu Tek adalah seorang pemuda yang amat baik dan pantas sekali menjadi suami adikku. Dan ayahnya juga seorang pembesar yang bijaksana, hal ini baru kuketahui sekarang."

   "Akan tetapi, Beng Han, menurut kebiasaan dan adat-istiadat kita, seorang saudara muda tidak boleh dikawinkan sebelum kakaknya menikah. Kau sekarang telah berusia hampir duapuluh tahun, dan semenjak aku masuk menjadi nikouw, tidak ada kebahagiaan lain yang kuharapkan selain melihat engkau dan adikmu hidup bahagia dan mendapatkan jodoh yang cocok. Kau senangkanlah hati ibumu, anakku, dan janganlah adikmu itu harus menanti terlalu lama kau harus menikah dulu sebelum dia dapat menjadi isteri Yu Tek, anakku."

   Wajah pemuda itu menjadi merah sekali ketika dia mendengar kata-kata ibunya itu. Jantungnya berdebar tidak karuan dan selama hidupnya baru sekali inilah dia memikirkan bahwa dia adalah seorang pria yang sudah dewasa, dan sudah tiba saat baginya untuk memikirkan tentang perjodohan!

   "Ibu, aku masih belum mempunyai pikiran tentang hal itu sama sekali""

   Jawabnya dambil menundukkan mukanya.

   Hening sejenak. Nikouw itu menatap wajah puteranya yang menunduk, kemudian dia berkata.

   "Beng Han, kulihat sumoimu, nona Kui Eng itu adalah seorang gadis yang cantik dan berilmu tinggi, juga baik sekali. Menurut pandanganku, dia memiliki wajah yang menunjukkan keluhuran budi dan kemurnian hati. Kalau saja engkau suka dan kalau saja ada harapan, aku akan merasa girang sekali mempunyai mantu seperti dia."

   Jantung di dalam dada Beng Han berdebar keras mendengar ini, mukanya makin merah karena dia malu sekali. Memang dia amat mencinta gadis yang menjadi sumoinya itu dan dia akan merasa berbahagia kalau dia dapat memperisteri gadis yang selalu menjadi kenangannya itu, kalau dia dapat untuk selamanya berdampingan dengan Kui Eng sebagai suami isteri, melindunginya selama hidupnya dengan taruhan nyawanya! Dia telah bergaul dengan Kui Eng semenjak mereka berdua masih kanak-kanak, dia telah tahu dan mengenal betul isi hati dan perangai gadis itu. Akan tetapi dia merasa ragu-ragu apakah gadis itu akan suka menjadi isterinya! Hal ini sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya.

   "Dan kau cinta padanya, bukan?"

   Kembali Beng Han menundukkan mukanya, sama sekali tidak dapat menjawab, jantungnya berdebar tegang dan mukanya terasa panas. Kalau dia tidak merasa begitu tegang dan berdebar-debar sehingga telinganya penuh dengan bunyi degup jantungnya sendiri, agaknya dia akan dapat mendengar suara yang tidak wajar di luar ruangan itu karena biasanya pemuda ini amat waspada dan memiliki pendengaran yang amat tajam. Akan tetapi, percakapan dengan ibunya tentang Kui Eng membuat dia kehilangan kewaspadaannya.

   "Jawablah anakku. Engkau mencinta gadis yang menjadi sumoimu itu, bukan?"

   Pertanyaan itu mengandung desakan karena hati ibu ini ingin sekali melihat puteranya lekas-lekas mendapatkan jodoh yang tepat.

   "Ibu, bagaimana aku berani menyatakan cinta kasihku kepadanya kalau aku belum mengetahoi perasaan hatinya?"

   Akhirnya Beng Han menjawab sejujurnya, karena dia tidak sangsi lagi bahwa dia mencinta sumoinya, hanya apakah sumoinya juga mencinta dia, itulah yang membuatnya ragu-ragu.

   "Ah, kalau begitu engkau mencintai dia! Bagus, anakku, aku akau menyuruh adikmu untuk bertanya tentang hal itu kepndanya."

   "Jangan, ibu!"

   Beng Han berkata dengan ragu-ragu karena dia khawatir sekali kalau-kalau Kui Eng akan menolaknya. Dia merasa ngeri membayangkan penolakan sumoinya itu dan betapa akan malu dan sedihnya kalau sumoinya sampai menolak cinta. Dari pada mengalami hal yang mengerikan itu, lebih baik tidak menyampaikan sama sekali dan masih terus berhubungan dengan sumoinya seperti

   biasa dan sewajarnya saja.

   "Beng Han, dengarlah. Dari pada menyimpan rahasia hati dan menanggung rindu seorang diri yang berarti menyiksa batin sendiri, lebih baik berterus terang. Berlakulah sebagai laki-laki yang gagah! Bukankah sejak kecil engkau dilatih untuk menjadi orang gagah? Mengapa kini engkau merasa ngeri menghadapi segala kemungkinan ini? Bersiaplah untuk menerima pukulan yang bagaimana hebatpun dengan gagah, anakku. Aku tahu bahwa engkau khawatir kalau-kalau pinangunuiu ditolaknya, bukan?"

   Beng Han mengangguk tanpa menjawab, alisnya berkerut dan dia termenung.

   "Beng Han, kurasa sumoimu tidak akan menolaknya. Pula, andaikata dia menolakmu hal itu malah lebih baik bagimu untuk mengetahui bahwa harapan dan kandungan hatimu ini tak mendapat balasan dan dengan pengetahuan ini engkau tidak akan menderita karena mengharap-harapkan hal yang takkan mungkin terjadi! Lebih baik kau mendengar penolakannya sehingga engkau dapat melenyapkan kerinduan dan harapan hatimu dari pada engkau menyimpannya saja menjadi semacam penyakit yang akan meracuni hatimu."

   Setelah hening sejenak, akhirnya Beng Han berkata dengan suara halus penuh perasaan.

   "Memang sesungguhnyalah, ibu. Aku menyayang dan mencinta sumoi semenjak kami masih kecil. Ketika aku pertama kali bertemu

   dengan suhu dan kami dibawa kepuncak gunung, kuanggap sumoi sebagai pengganti adikku. Akan tetapi, setelah kami menjadi dewasa, aku mempunyai perasaan lain terhadap dirinya, aku cinta padanya, ibu."

   "Baiklah, anakku. Besok akan kubicarakan hal ini dengan dia agar hatiku menjadi puas dan tenteram."

   Ucapan Siok Thian Nikouw ini membuat muka Beng Han menjadi kemerahan dan hatinya merasa girang sekali. Dia tidak tahu bahwa ucapan itu membuat muka orang lain yang berdiri mendengarkan percakapan itu di luar ruangan menjadi pucat sekali. Orang itu adalah Bun Hong! Pemuda ini keluar dari kamar hendak mencuri Beng Hun dan tidak sengaja dia ikut mendengarkan pengakuan Beng Han akan cintanya kepada Kui Eng dan janji ibu suhengnya itu untuk meminang Kui Eng.

   Bun Hong merasa seperti disambar petir dan cepat dia memejamkan matariya mengatasi kepeningannya agar dia jangan sampai terhuyung. Rasa duka menyelinap di dalam hatinya, rasa duka bercampur penasaran dan juga marah dan kecewa. Dia menaruh hati cinta kepada sumoinya itu yang timbul semenjak mereka berdua menjadi dewasa. Dan kini mendengar pengakuan suhengnya bahwa suhengnya juga mencinta Kui Eng dan mendengar bahwa suhengnya itu hendak dijodohkan dengan Kui Eng, dia merasa hatinya tertikam dan seperti diremas hancur.

   Setelah rasa peningnya hilang, dengan hati-hati sekali Bun Hong meninggalkan tempat itu, cepat kembali ke kamarnya dengan kedua kaki lemas. Dia segera berkemas dan setelah menggunakan pena bulu dan kertas yang dicoret-coret membuat sepucuk surat yang ditinggalkan di atas meja, dia lalu diam-diam meninggalkan kamar itu sambil membawa semua bungkusan pakaiannya, kemudian melompat ke atas genteng dan menghilang di malam gelap!

   Setelah dia berhasil keluar dari Kuil Kwan-im-bio itu tanpa ada yang tahu, barulah Bun Hong melepaskan kedukaannya dan terdengar dia berlari sambil terisak-isak menangis! Semenjak kehilangan seluruh keluarganya kemudian menjadi murid suhunya, baru sekali inilah Bun Hong mengalami kedukaan yang amat hebat, yang membuat dia menangis seperti anak kecil!

   Perasaan cinta yang terkandung dalam hati seorang pria terhadap seorang wanita atau sebaliknya, memang merupakan suatu "permainan"

   Yang amat hebat, aneh, dan berkuasa sekali dalam kebidupan manusia! Semenjak sejarah berkembang, persoalan "cinta"

   Ini telah menjadi bahan inspirasi dari para sasterawan dan seniman. Betapa banyaknya cerita-cerita dan sajak-sajak indah tentang cinta ditulis, dipanggungkan, dan dinyanyikan para seniman. Kisah-kisah cinta selalu mengandung segi segi kehidupan manusia yang penuh dengan romantika, kebahagian dan kedukaan, suka duka dan manis pahit yang membumbui kehidupan manusia. Kisah cinta bisa terjadi sedemikian bahagianya sampai mengharukan hati dan memancing keluarnya air mata, akan tetapi sebaliknya juga dapat terjadi sedemikian menyedihkannya sampai menghancurknu perasaan dan memancing air mata pula. Dapat mengangkat seseorang ke sorga yang paling tinggi namun dapat pula menjerumuskan seorang ke neraka yang paling rendah! Hampir sebagian banyak dari usia manusia dikuasai oleh apa yang dinamakan cinta ini, cinta antara pria dan wanita!

   Akan tetapi, sungguh menyedihkan betapa jarang ada manusia yang sungguh-sungguh mengenal cinta! Walaupun setiap mulut pernah menyebut cinta, namun benarkah cinta yang kita dengung-denguugkan dalam cerita-cerita, dalam sajak-sajak, dalam nyanyian-nyanyian itu? Ataukah itu hanyalah namanya saja cinta akau tetapi di dalamnya mengandung pengejaran akan kesenangan? Baik kesenangan itu berupa ingin menguasai, ingin memiliki, ingin melampiaskan nafsu berahi, yang pada hakekatnya hanyalah pengejaran kesenangan untuk diri pribadi?

   Betapa indahnya cinta! Indah dan suci! Tanpa cinta, tanaman takkan berbunga, pohon takakan berbuah, kembang kehilangan harumnya, kicau burung kehilangan merdunya, matahari kehilangan sinarnya! Namun, betapa bahayanya nafsu pengejaran kesenangan, nafsu pementingan diri yang kita namakan cinta itu! Berbahaya dan kalau sudah mencengkeram kita, dia mempermainkan kita dan mampu menyeret kita menjadi permainan antara kesenangan dan penderitaan! Mampu membangkitkan cemburu dan benci. Bahkan tidak jarang seorang korban menjadi gila, atau membunuh diri sebagai korban "cinta"

   Seperti itu. Atau membunuh saingannya, atau menyeretnya menjadi orang yang kehilangan kesusilaan, kehilangan pedoman hidup, kehilangan segala-galanya!

   Dengan hati penuh keriangan dan harapan, Beng Han kembali ke dalam kamarnya setelah mengadakan pembicaraan dengan ibunya. Dia merasa heran ketika melihat kamar itu kosong Ke mana perginya Bun Hong? Dia mencari-cari dengan matanya, akan tetapi di sekitar tempat itu tidak nampak bayangan sutenya itu maka dia lalu memasuki kamar dan tampaklah olehnya sehelai surat yang ditinggalkan oleh Bun Hong di atas meja tadi. Didekatinya surat itu, diambil lalu dibacanya.

   Suheng Gan Beng Han,

   Maaf, tanpa kusengaja aku telah mendengar tentang pertunanganmu dengan sumoi. Kionghi (selamat), suheng. Kudoakan semoga engkau hidup berbahagia dengan sumoi. Tidak ada pemuda lain yang lebih berharga untuk menjadi suami sumoi selain dari pada engkau!

   Aku hendak pergi ke kota raja, membasmi para pembesar jahat kalau perlu kaisarnya sekalian, demi keselamatan rakyat kecil yang tertindas!

   Sutemu yang sebatang kara

   Tan Bun Hong

   Beng Han duduk termenung sambil memegangi surat itu dan membacanya sampai beberapa kali. Seolah-olah dia mendengar kata-kata yang dituliskan itu dari mulut sutenya sendiri, diucapkan dengan suara sedih dan mengharukan. Terbayanglah didepan matanya semua sikap Bun Hong terhadap Kui Eng dan kepedihan hebat mengganggu hatinya. Tiba-tiba sadarlah dia bahwa sangat boleh jadi bahwa sutenya itu juga mencinta Kui Eng! Dia merasa terharu sekali, karena kalau memang benar demikian halnya, maka ternyata bahwa sutenya itu telah bersikap mengalah terhadap dia dan telah pergi dengan membawa hati yang patah.

   Peristiwa ini sekaligus melenyapkan perasaan gembira yang tadi memenuhi hatinya. Dimasukkannya surat itu ke dalam saku bajunya dan semalam suntuk dia tidak dapat memejamkan kedua matanya. Dia membayangkan keadaan sutenya dan berulang kali dia menarik napas panjang. Tidurnya gelisah sekali. Terjadi perang dalam batinnya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa mereka bertiga, yang semenjak kecil tak pernah berpisah kini terpaksa berpisah dalam keadaan yang amat tidak menyenangkan itu, berpisah karena sama-sama mencinta Kui Eng!

   Sampai pada keesokan harinya, karena semalam tidak dapat pulas, Beng Han turun dari tempat tidurnya. Setelah mencuci muka, dia tidak berani lagi keluar dari kamarnya. Dia maklum bahwa pagi hari itu ibunya dan adiknya akan bicara dengan Kui Eng untuk mengajukan pinangan terhadap gadis itu. Dia merasa malu untuk bertemu muka dengan Kui Eng, maka dia berdiam saja di dalam kamarnya dengan jantung berdebar penuh ketegangan, penuh kekhawatiran kalau-kalau pinangannya ditolak. Kalau sampai ditolak, alangkah akan sedih dan malunya. Akan tetapi seandainya diterima dan Kui Eng mendengar tentang kepergian Bun Hong, bagaimana nanti? Apakah sumoinya itu tidak akan mengerti juga akan duduknya persoalan, tidak akan menduga bahwa Bun Hong pergi karena ikatan jodoh antara mereka?

   Susah senang, puas kecewa, itulah isinya kehidupan manusia! Baik susah maupun senang, puas maupun kecewa, adalah akibat dari adanya keinginan! Makin banyak keinginan seseorang, makin banyak pula dia diombang-ambingkan antara susah, senang, puas kecewa. Kalau tercapai apa yang diinginkannya tentu puas dan senang. Kalau tidak tercapai apa yang diinginkan, tentu kecewa dan susah akan tetapi baik senang maupun susah, hanyalah sementara saja, selewat saja! Yang tercapai keinginannya dan senang, hanya sebentar saja senang karena kembali dia akan dicengkeram oleh keinginan lain yang lebih besar atau dianggap lebih menarik dan begitu dia dicengkeram oleh keinginan baru ini berarti dia membuka kemungkinan untuk mengalami susah atau senang yang baru lagi, puas atau kecewa yang berikutnya lagi! Sebaliknya, yang tidak tercapai keinginannya dan menjadi susah kecewa, itupun hanya sebentar saja karena diapun dapat menghibur hatinya dengan harapan baru untuk memperoleh senang dari keinginan yang baru lagi. Tidak ada kesenangan maupun kesusahan yang abadi, semua itu hanya lewat sekelebatan saja, berselang-seling, ganti berganti seperti siang dan malam. Akan tetapi yang penting, dapatkah kita hidup terbebas dari cengkeraman nafsu keinginan yang menyeret kita dalam permainan gelombang susah senang, puas kecewa ini? Kita dapat melibat perubahan setiap saat dari susah senang sebagai akibat keinginan itu dalam diri kita sendiri setiap hari, setiap saat!

   Tepat seperti dugaan Beng Han yang sedang duduk gelisah seorang diri di dalam kamarnya, pagi hari itu Siok Thian Nikouw bersama puterinya, Gan Beng Lian, berhadapan dengan Kui Eng di kamar dalam itu. Dengan suara yang halus nikouw itu membuka percakapan setelah secara manis Kui Eag menghaturkan selamat pagi.

   (Lanjut ke Jilid 06)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 06

   "Nona Kui Eng, sebelum pinni melanjutkan pembicaraan ini harap suka memaafkan kami""

   Kui Eng tersenyum dan memandang wajah nikouw itu dengan lucu.

   "Aih, kenapa suthai berkata demikian? Kalau ada yang sepatutnya minta maaf, adalah saya yang telah mengganggu ketenteraman suthai."

   "Nona, pinni telah mengadakan pembicaraan yang sungguh-sungguh dengan puteraku Beng Han dan karenanya pinni sudah mengetahui sampai jelas hubunganmu yang amat baik dengan dia sebagai saudara-saudara seperguruan. Setelah pinni mendengar semua penuturannya itu dan pinni melihat engkau, nona timbullah keinginan dalam hati pinni untuk mempererat hubungan itu menjadi hubungan keluarga. Terus terang saja, nona Kui Eng, pinni ingin sekali menjodohkan Beng Han dengan kau, dan apabila kau tidak merasa keberatan, pinni akan merasa sangat berbahagia dan bersyukur kepada Thian Yang Maha Agung untuk mempunyai calon mantu seperti engkau, nona Kui Eng."

   Kui Eng membelalakkan matanya, mulutnya berkali-kali mengeluaikan suara "ahh"

   Dan "ohh", mukanyu kadang-kadang menjadi pucat dan kadang-kadang merah, lalu dia menundukkan mukanya dan tak terasa lagi air matanya mengulir turun membasahi kedua pipinya. Melihat ini, Beng Lian yang duduk di dekatnya lalu memeluknya dengan mesra. Sampai lama Kui Eng tidak mampu mengeluarkan kata-kata, dan dia berusaha keras untuk menekan gelora hatinya yang membuat dadanya na-ik turun dan napasnya terengah-engah.

   "Ah, suthai ohhh""

   "Tenanglah, enci Kui Eng, tenanglah."

   Beng Lian berbisik di dekat telinganya.

   Siok Thian Nikouw tersenyum menyaksikan sikap dara itu dan berkata.

   "Omitohud harap kau tenang, nona. Bukan maksud pinni untuk membuat kau begitu gugup."

   Ucapan yang halus dari nikouw itu dan sikap yang manis dari Beng Lian akhirnya dapat menenangkan hati Kui Eng. Dia menghapus air matanya dengan saputangannya, kemudian menatap wajah nikouw yang tersenyum penuh kesabaran itu.

   "Suthai, mohon di maafkan sebanyaknya. Saya merasa terharu sekali dan menghaturkan banyak terima kasih atas budi kecintaan hati suthai yang telah memberi penghormatan besar sekali kepada saya yang bodoh dan tidak berharga ini. Akan tetapi, suthai, pada waktu sekarang ini, selain saya belum mempunyai pikiran sama sekali tentang persoalan perjodohan, juga saya harus terlebih dahulu mencari ibu saya dan kemudian tentang soal perjodohan itu, terserah kepada orang tua saya itulah."

   

   Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini