Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 7


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



Bun Hong telah membuka kartunya dan mulai memperkenalkan diri yang sebenarnya.

   Sejenak lamanya Pangeran Song memandang tajam kepada pemuda itu, kemudian dia berkata.

   "Tan-sicu, kata-katamu memang benar, biarpun kalau ucapanmu tadi terdengar oleh pembesar lain, tak salah lagi kau akan ditangkap dan dituduh memberontak! Ketahuilah bahwa aku memang bertugas menerima dan mengumpulkan hasil-hasil pajak dari para pembesar daerah yang menerimanya dari rakyat, akan tetapi peraturan-peraturan yang dilaksanakan itu adalah keputusan dari kaisar sendiri. Aku adalah seorang anggota keluarga kerajaan dan seorang penjabat pula, sudah lama aku merasa sedih melihat betapa kaisar sekarang berada dalam kekuasaan para pembesar thaikam yang mempengaruhinya, sehingga boleh dibilang yang berkuasa di istana adalah para thaikam, orang seperti aku ini mempunyai kekuasaan apakah? Tidak lain aku hanya menjalankan tugas yang telah diberikan kepadaku. Ketahuilah Tan-sicu!, bahkan kaisar sendiri agaknya sungkan untuk menentang para thaikam, apa lagi aku, seorang pangeran yang hanya berpangkat bendahara!"

   Kemudian secara panjang lebar Pangeran Song menceritakan tentang kekuasaan para thaikam, terutama sekali Thio-thaikam yang mempunyai pengaruh besar sekali. Pangeran Song seperti juga para pembesar lain, merasa takut dan benci kepada Thio-thaikam walaupun mereka tidak berani memperlihatkan kebencian itu secara berterang, oleh karena Thio-thaikam yang berpangkat koksu (guru negara) itu memandang rendah kepada semua pembesar. Kedudukannya amat tinggi, semua nasehatnya diurut belaka oleh kaisar dan pengaruhnya amat luas. Selain mempunyai pengaruh besar terhadap kaisar, juga Thio-thaikam mempunyai banyak kaki tangan yang berilmu tinggi.

   Sebenarnya, di luar tahunya orang lain, adanya kaisar amat segan dan tunduk kepada thio-thaikam ialah karena pembesar kebiri ini mempunyai hubungan erat dengan pemerintah Turki barat yang disebut Bangsa Shalo. Thio thaikam merupakan sekutu dari pemerintah ini yang mengadakan hubungan baik dengan kaisar. Maka, mengingat akan kelemahan sendiri, terpaksa kaisar selalu menuruti kehendak Thio-thaikam sehingga boleh dibilang kaisar telah menjadi boneka yang digerakkan oleh thio-thaikam!.

   Pangeran Song sendiri tidak tahu akan persoalan dengan Kerajaan Shato itu. Dia hanya menceritakan betapa koksu itulah yang sesungguhnya mengatur segala ketetapan pajak dan lain-lain. Mendengar akan keadaan di istana itu, betapa kaisar seperti boneka yang digerakkan oleh seorang pembesar kebiri, Bun Hong merasa marah sekali. Kini tahulah dia siapa orangnya yang harus ditentangnya, siapa yang menjadi biang keladi kesengsaraan rakyat itu. Dia harus dapat menentang dan kalau mungkin membunuh Thio-thaikam!.

   Dengan mata berapi dia mengepal tinju dan berkata.

   "Kalau begitu, biarlah saya pergi memenggal leher keparat itu!"

   Pucatlah wajah Pangeran Song mendengar ucapan ini. Setelah memandang ke kanan kiri dan mendapat kenyataan bahwa ucapan pemuda itu tadi tidak terdengar oleh orang lain, baru legalah hatinya.

   "Tan-sicu, harap kau jangan terlalu ceroboh mengucapkan kata-kata seperti itu. Ketahuilah bahwa pengaruh Thio-thaikam besar sekali sehingga boleh dibilang di setiap tempat terdapat kaki tangannya. Berlaku hati-hati, sicu, dan kalau bisa, buanglah jauh-jauh niatmu itu. Maksud hatimu itu kalau dilaksanakan sukarnya melebihi kalau engkau hendak mencari buah sian-tho di taman sorga! Selain penjagaan yang mengawal diri Thio-thaikam amat kuat sekali, juga rumah gedung Thio-thaikam penuh dengan perwira yang berilmu tinggi. Sebelum kau melewati pintu pertama, kau tentu sudah akan tertangkap atau terbunuh."

   Pangeran Song sengaja mengeluarkan kata-kata ini untuk memanaskan hati pendekar muda itu, karena sesungguhnya, tidak ada kegembiraan yang lebih besar baginya selain mendengar bahwa pada suatu hari pembesar kebiri yang dibencinya itu akan mati dibunuh orang!.

   "Terima kasih, taijin. Tentu saja saya akan berlaku hati-hati sekali. Sebenarnya saya hanya menjalankan tugas sebagai seorang yang menjunjung tinggi keadilan, karena mengandalkan bantuan pembesar-pembesar lain, agaknya tidak akan ada gunanya karena semua pembesar agaknya lebih mementingkan kesenangan mereka sendiri dari pada memperhatikan penderitaan rakyat jelata."

   Merah wajah Pangeran Song mendengar ini.

   "Orang muda, hendaknya jangan engkau terlalu memandang rendah kepada kami. Terus terang saja, pernah aku mengajukan protes dan minta pengurangan tentang pemungutan pajak ini, akan tetapi apa hasilnya? Hampir saja aku mendapat bencana dari Thio-thaikam kalau aku tidak mempergunakan banyak sekali uang emas untuk menyenangkan hatinya. Kalau tidak ada dia dan para thaikam lain yang semua menjadi kaki tangannya, orang-orang seperti aku ini tidak akan membiarkan rakyat tercekik, dan kami pasti akan mengajukan surat permohonan kepada kaisar agar peraturan itu dirubah."

   Berseri wajah Bun Hong mendengar ini.

   "Kalau begitu, ijinkanlah saya mengundurkan diri, taijin, dan dengarkanlah saja, tidak lama lagi thaikam keparat itu tentu takkan berada di samping kaisar lagi!"

   Pangeran Song berdiri dan mengantar tamunya keluar.

   "Terserah kepadamu saja, Tan-sicu, akan tetapi ingat bahwa aku tidak ikut-ikut dalam urusan ini, dan ingatlah bahwa aku telah memperingatkanmu akan bahayanya niatmu itu. Betapapun juga, setiap saat engkau memerlukan bantuan, asalkan tidak berada di luar kemampuanku, pasti aku akan membantui mu."

   "Terima kasih, taijin, akan saya ingat janji itu dan ternyata taijin adalah seorang pembesar yang amat bijaksana dan hanya melaksanakan tugasnya sebaik mungkin. Sudah dua orang pembesar yang kujumpai, pertama adalah Yap tihu dari An-kian dan ke dua adalah taijin sendiri. Selamat tinggal."

   Setelah pertemuannya dengan Pangeran Song, bangkit lagi jiwa kependekaran di dalam diri Bun Hong. Dia merasa girang sekali bahwa akhirnya dia bisa mendapat tahu siapa biang keladi yang menelurkan peraturan pajak yang demikian mencekik leher rakyat itu Akhirnya dia akan dapat melakukan perbuatan menggemparkan yang gagah perkasa sebagaimana yang diidamkan oleh suhunya. Dia tidak akan merasa kalah terhadap suhengnya kalau ita berhasil. Kalau dia berhasil membunuh thaikam itu, kemudian dengan bantuan Pangeran Song dan para pembesar lain dapat memperingan peraturan pajak itu, berarti bahwa dia telah dapat menolong jiwa puluhan ribu atau ratusan ribu rakyat kecil yang miskin. Dan untuk usaha seperti itu, biarpun harus mengorbankan nyawa, ia akan rela! .

   Istana Thio thaikam menyambung dengan istana kaisar dan letaknya di sebelah belakang istana kaisar itu Istana thaikam ini tinggi dan besar, megah sekali, dikelilingi tembok yang tebal dan tinggi pula. Di setiap pintu gerbangnya terdapat penjaga-penjaga yang siang malam menjaga dengan tertib dan keras.

   Bun Hong menyelidiki tempat itu di waktu siangnya, berjalan-jalan dan seakan-akan mengagumi keindahan gedung itu dari luar. Karena di jalan di luar istana itu banyak pula orang yang datang dari luar kota raja dan mengagumi istana itu, maka penyelidikannya itu dak menimbulkan kecurigaan. Setelah berjalan nengelilingi istana itu, maklumlah Bun Hong bahwa untuk dapat masuk ke dalam istana melalui pintu gerbang adalah hal yang tidak mungkin.

   Dengan jalan melompati pagar tembok juga amat sukar sekali karena tembok itu tinggi bukan main dan di atasnya dipasangi tombak-tombak runcing yang menghalangi setiap orang yang hendak meloncat dari bawah. Selain itu, di atas tembok-tembok yang tinggi itu dipasangi lampu-lampu penerangan kalau malam sehingga tempat itu dapat dilihat oleh para penjaga di pintu gerbang. Akan tetapi, Bun Hong tidak menjadi putus asa dan beberapa kali dia mengelilingi pagar tembok itu, mencari-cari bagian yang lemah dan yang sekiranya dapat membantunya memasuki istana thaikam itu.

   Malam itu gelap gulita. Tidak ada sedikitpun bulan di malam itu. Bahkan bintang-bintang yang memenuhi angkasa kinipun tidak kelihatan karena tertutup mendung yang tipis namun rata dan luas itu. Di dalam lindungan kegelapan malam ini, Bun Hong menyelinap dengan amat gesitnya mendekati pagar tembok yang mengelilingi istana Thio-thaikam. Tadi siang dia telah menyelidiki dengan seksama dan telah menemukan jalan yang dianggapnya akan dapat menolongnya masuk ke lingkungan istana tanpa diketahui penjaga. Di ujung barat terdapat sebagian tembok yang gelap oleh karena di dekat tempat itu terdapat sebatang pohon yang besar. Daun-daun pohon inilah yang menghalangi sinar penerangan dan bayangannya menggelapkan sebagian dari tembok itu. Sudah direncanakan semenjak siang hari tadi bagaimana dia harus memasuki istana.

   Dengan amat hati-hati Bun Hong melompat dan bersembunyi di belakang batang pohon yang besar itu sambil mengintai ke arah pintu gerbang yang berada tidak jauh dari situ Dilihatnya bayangan beberapa orang penjaga berdiri dan berjalan hilir-mudik dengan tombak di tangan. Setelah dilihatnya penjaga penjaga itu berjalan menuju ke timur sehingga agak menjauhi pohon, secepat monyet bergerak, dia memanjat pohon itu dan sebentar saja dia sudahi berada di atas cabang pohon, bersembunyi di balik daun-daun pohon yang lebat dan mengintai pula. Dia tadi tidak meloncat karena kalau dia meloncat, setidaknya dia tentu akan menimbulkan goyangan pada cabang pohon. Dengan memanjat dia dapat bergerak lebih hati-hati dan tidak menimbulkan guncangan-guncangan.

   Bun Hong menanti beberapa saat lamanya karena para penjaga itu kini sudah membalikkan tubuh lagi dan berjalan kembali ke arah barat sampai di dekat pohon. Dia mendengar mereka bercakap-cakap perlahan kemudian membalikkan tubuh dan berjalan kembali ke timur. Kesempatan ini dipergunakan nya untuk melontarkan sehelai tali ke atas, dan tali itu mengait ujung tombak yang berada di atas pagar tembok. Kemudian dengan cekatan sekali dia mengayun tubuhnya ke atas sambil berpegang kepada tali itu dan dapat hinggap di atas tombak-tombak itu seperti seekor burung saja. Orang yang tidak memiliki ginkang yang hebat jangan mencoba-coba untuk meloncat ke atas ujung tombak-tombak yang runcing itu!.

   Bun Hong segera menyelinap dan berjongkok di belakang barisan tombak sambil mengintai ke bawah. Para penjaga itu masih jauh dan tidak ada yang melihat lompatannya tadi. Sebetulnya, ia sama sekali tidak takut menghadapi beberapa orang penjaga itu. Akan tetapi kalau sampai dia ketahuan, biarpun dia akan sanggup merobohkan mereka dengan mudah, akan tetapi kalau mereka berteriak membual gaduh, tentu para pengawal dan para perwira yang berada di dalam gedung itu akan mende ngar dan mereka akan keluar semua sehingga sebelum dia berhasil memasuki istana, dia akan mengalami pengeroyokan hebat yang berarti menggagalkan usahanya.

   Dengan hati-hati Bun Hong mengikatkan ujung tali kuat-kuat pada sebatang tombak besi dan melemparkan tali itu bergantungan ke bawah, di sebelah dalam tembok. Setelah melihat bahwa keadaan di sebelah dalam tembok itupun gelap dan sunyi, dia lalu merayap turun melalui tali yang panjang itu ke sebelah dalam. Begitu kakinya menyentuh tanah, dia berjongkok di dalam bayangan tembok yang gelap, lalu bergerak maju dengan cepat setelah dia memeriksa untuk mengenal tempat di mana talinya bergantung itu. Dengan sepasang mata terbuka lebar penuh kewaspadaan, juga telinganya mendengar kan setiap suara, seluruh urat syarafnya menegang dalam keadaan siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Dia berada di daerah musuh, tempat yang amat berbahaya. Akan tetapi tugasnya amat penting dan mulia, tugas seorang pendekar, seorang pembela kebenaran dan keadilan demi untuk menolong rakyat jelata! Pikiran ni menenangkan hatinya, mendatangkan ketabahan luar biasa.

   Benar sebagaimana yang dikatakan oleh pangeran Song, penjagaan di istana itu kuat sekali dan di mana-mana dipasangi teng atau lampu penerangan yang menerangi seluruh tempat. Di mana-mana terdapat penjaga yang suaranya dapat didengarnya ketika mereka itu bercakap-cakap. Bun Hong merasa gemas juga. Jalan yang menghubungkan pekarangan belakang di mana dia berada dengan kompleks istana itu melalui sebuah pintu saja, sebuah pintu tembusan tanpa daun pintu yang nampak sunyi. Akan tetapi di atas pintu tembusan terdapat sebuah lentera besar yang bernyala terang sehingga kalau dia berlari di bawahnya tentu dia akan terlihat oleh para penjaga yang terdapat di sekitar tempat itu.

   Untuk melompat naik ke atas genteng, terlalu banyak resikonya karena dia masih berada di luar halaman gedung pertama sehingga dia akan mudah terlihat dari luar. Bun Hong bersembunyi di balik semak-semak sambil memutar otak mencari akal, kemudian wajahnya berseri dan dia lalu memilih sebuah batu kerikil yang bundar dan ditimang-timangnya batu kecil itu di dalam tangan kanannya. Kemudian dia menahan napas, memusatkan panca inderanya dan dilontarkannya batu kecil itu ke arah lentera.

   Bidikannya tepat. Batu kecil itu dilontarkan melalui atas lentera dan tepat sekali masuk ke dalam lentera melalui lubang di atasnya dan batu itu tepat jatuh menimpa sumbu lampu sehingga sumbu yang bernyala itu seketika menjadi padam ketika tertutup batu. Cepat sekali Bun Hong mempergunakan kesempatan selagi keadaan menjadi gelap pekat itu untuk berlari, mempergunakan ginkangnya dan dengan ilmu berlari cepat dia berkelebat memasuki pintu.

   Baiknya dia berlaku cepat sekali karena segera dia mendengar suara orang berkata.

   "Leng ko, lentera di atas pintu kiri itu padam."

   "Ah, mungkin kehabisan minyak!"

   "Baru kemarin diisi lagi! "

   "Kalau begitu tentu sumbunya minta diganti atau tertiup angin. Biarlah, tempat itu sudah cukup mendapat penerangan dari lentera lain."

   Jawab orang ke dua yang dari suaranya terdengar bahwa dia sedang merasa malas.

   Bun Hong tidak memperdulikan semua itu dan dia cepat menuju dekat gedung, kemudian dia mengenjot tubuhnya ke atas genteng. Tubuhnya melayang dengan ringannya dan kedua kakinya tidak mengeluarkan suara ketika dia menginjak genteng karena dia tadi telah mempergunakan ilmunya meringankan tubuh ketika meloncat.

   Untuk beberapa lama dia mendekam di belakang wuwungan yang gelap, memandang ke kanan kiri. Ternyata keadaan di atas istana itu sunyi sekali, maka dia lalu bergerak maju dengan perlahan dan hati-hati, menyusuri bagian atas genteng yang gelap. Dia mulai menjadi bingung karena bangunan itu besar sekali sehingga dia tidak tahu harus menyelidiki bagian mana. Akhirnya dia melompat saja ke atas genteng dari bangunan yang paling tinggi karena di bawah genteng itu kelihatan yang paling terang! Dengan amat hati-hati dia membuka genteng di bagian ini dan mengintai ke bawah. Ruangan di bawah itu luas dan diterangi oleh beberapa buah lampu besar sehingga keadaannya terang sekali.

   Ruangan yang selain luas juga amat mewah, dengan perabot-perabot rumah yang bahkan lebih mewah daripada yang dia lihat di dalam istana Pangeran Song. Bun Hong memandang dengan teliti dan melihat bahwa ada beberapa orang laki-laki duduk mengelilingi sebuah meja besar sambil bercakap-cakap dan makan minum. Empat orang laki-laki yang berpakaian seperti pembesar-pembesar duduk bercakap-cakap dengan dua orang yang mukanya agak kehitaman dan hidungnya mancung sekali, pakaiannyapun aneh menandakan bahwa mereka adalah orang-orang asing. Ketika melihat kepala mereka mengenakan sorban, Bun Hong dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang dari barat. Dia pernah melihat beberapa orang dari Nepal, India dan Turki di kota raja. Di sudut duduk tiga orang yang berpakaian seperti panglima atau perwira pengawal.

   Bun Hong menjadi bingung lagi. Dia tidak tahu yang mana di antara mereka adalah Thio-thaikam orang yang dicarinya itu, bahkan dia tidak tahu apakah di antara mereka terdapat orang itu. Maka dia menjadi ragu ragu dan hanya mengintai sambil mendengarkan percakapan mereka. Memang dia sudah memperoleh keterangan dan gambaran dari Pangerar Song tentang thraikam itu, akan tetapi karena empat orang itu semua berpakaian pembesar, maka dilihat dari atas, muka mereka itu hampir sama. Hanya ada seorang di antara merek berempat yang tubuhnya agak gemuk dan mukanya merah dan yang inilah menurut persangkaannya tentu Thio-thaikan. Hanya dia harus berlaku hati-hati dan yakin dulu sebelum turun tangan dan menyerang orang yang lain dari pada yang dicarinya.

   Hatinya girang bukan main ketika dia melhat seorang di antara dua orang asing itu berkata dalam Bahasa Han yang kaku sambil mengangguk kepada pembesar gemuk bermuka merah itu.

   "Pendapat Thio-taijin benar sekali dan kami merasa setuju sepenuhnya!" .

   Kini yakinlah hati Bun Hong bahwa pembesar gemuk bermuka merah itu adalah orang yang dicari-carinya. Dengan dada berdebar tegang dia lalu mencabut keluar pisau belati yang sudah dipersiapkan sebelumnya, lalu dia nengeluarkan pula sehelai kertas putih yang sudah ditulisnya dengan huruf-huruf besar":

   PEMBESAR LALIM PEMERAS RAKYAT HARUS MATI DI UJUNG PEDANG.

   Kertas itu ditusuknya dengan pisau tadi dan dipegangnya dengan tangan kiri. Kemudian tangan kanannya mencabut pedangnya dan dengan cepat dia menyabetkan pedang itu ke arah genteng beberapa kali sehingga terdengar suara hiruk pikuk dan terbukalah lubang yang cukup besar.

   "Pembesar laknat rasakanlah pembalasan rakyat tertindas!"

   Teriaknya sambil melompat turun melalui lubang itu dengan gerakan liong-jip-hai (Naga Hitam Masuk ke Laut).

   Ketika Bun Hong menggunakan pedangnya membuat lubang di atap itu, orang-orang yang berada di sebelah bawah sudah merasa terkejut dan heran. Kini melihat seorang pemuda berpakaian hitam yang memakai saputangan menutupi muka dari bawah mata ke bawah, melompat atau melayang turun dari atas dengan kecepatan seperti burung terbang dan membawa pedang di tangan, mereka menjadi makin kaget. Bun Hong memang lebih dulu menutupi mukanya dengan saputangan sebelum dia melompat turun tadi untuk menjaga agar dia jangan di kenal orang andaikata usahanya gagal.

   Tiga orang perwira yang tadi duduk di sudut segera mencabut senjata masing-masing, bahkan dua orang asing yang duduk di situ juga mencabut golok mereka yang bentuknya lengkung dan lebar. Ketika tubuh Bun Hong sudah tiba dibawah tiga orang perwira dan dua orang asing itu menerjangnya sambil memutar senjata mereka, Seorang perwira berseru keras, ''Bangsat kecil engkau mengantar kematianmu sendiri."

   Bun Hong tidak gentar menghadapi mereka dan dia segera menggerakkan pedangnya dengan hebat. Akan tetapi, kagetlah dia ketika para lawannya itu menangkis dan dia mendapatkan nyataan bahwa tenaga para lawannya itu besar sekali dan gerakan mereka juga cepat dan dahsyat. tanda bahwa mereka itu memiliki kepandaian tinggi. Dia tidak tahu bahwa perwira-perwira itu memang jagoan-jagoan di situ dan dua orang asing itu adalah panglima-panglima Turki yang menjadi utusan dan tentu saja memiliki kepandaian yang hebat pula.

   Namun Bun Hong tidak menjadi takut. Dia mengamuk dan memutar pedangnya sehingga pedangnya berubah menjadi segulung sinar yang menyilaukan mata tertimpa sinar lampu, dan dia sudah menghadapi lima orang lawan itu dengan nekat. Yang paling lihai di antara mereka adalah perwira yang tinggi kurus. Ilmu golok perwira ini luar biasa lihainya sehingga setelah bertenpur beberapa belas jurus saja Bun Hong maklum bahwa amat sukarlah bagi dia untuk dapat menangkan lima orang ini yang mengeroyoknya. Maka dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring, pedangnya berkelebatan mendesak lima orang pengeroyoknya dan tangan kirinya bergerak, mengayun pisau itu ke arah pembesar gemuk bermuka merah tadi.

   "Syuuuuttt....... cappp!" Pembesar gemuk itu menjerit dan mendekap pundak kanan yang tertancap pisau itu dengan tangan kirinya. Ketika tadi ada sinar menyambar ke dadanya, ia berusaha mengelak, namun kurang cepat sehingga pisau itu masih menancap di pundak kanannya. Pembesar itu terhuyung ke belakang, merobek kertas yang berada di pisau itu, membaca tulisannya dan mukanya menjadi makin merah.

   "Pemberontak hina! Tangkap penjahat kurang ajar ini! Tangkap dia hidup-hidup, jangan lepaskan dia!"

   Dia berteriak-teriak dan bersama tjga orang pembesar lain dia lalu lari melalui sebuah pintu.

   Menghilangnya pembesar-pembesar itu di susul dengan munculnya banyak pengawal yang mengurung tempat itu! Pembesar yang bertubuh gemuk bermuka merah itu memang benar Thio-thaikam adanya, dan tiga pembesar lainnya adalah juga thaikam-thaikam yang menduduki tempat penting dan menjadi kaki tangannya. mereka sedang menerima utusan-utusan dari Turki itu menjamunya sambil bercakap-cakap ketika Bun Hong datang menyerbu.

   Bun Hong segera dikurung rapat-rapat. Ketika melihat betapa beberapa perwira datang lagi mengurungnya, dia menjadi gelisah dan putus asa. Usahanya gagal sama sekali bahkan sambitannya tadi hanya melukai pundak pembesar itu. Untuk menghadapi lima orang lawan pertama ini saja dia sudah merasa kewalahan, apa lagi kalau ditambah lebih banyak lagi. Kini dia mendapat kenyataan bahwa keterangan Pangeran Song bahwa di situ banyak terdapat perwira lihai memang benar adanya. Dia menjadi marah dan sambil mengeluarkan teriaka n dahsyat dia memutar pedangnya dan mainkan jurus jurus ilmu Pedang Kwi-hoa Kiam hoat yang amat lihai itu.

   Bun Hong memang memiliki ginkang yang baik sekali dan kegesitannya berkat ginkangnya ini banyak menolongnya dalam pertempuran yang berat sebelah itu. Dia dapat mengelak lincah dan selalu berlompatan ke sana-sini sehingga sukarlah bagi para lawannya untuk dapat mengurungnya.Untung baginya ruangan itu luas sekali. Dia menggunakan tiang-tiang batu yang banyak terdapat di ruangan itu untuk berlindung, lari ke tiang sana melompat ke belakang tiang sini, dan selalu mencari kesempatan untuk melarikan diri.

   Kalau ada seorang lawan yang berani mendekatinya, ia cepat mendesaknya dengan gerakan-gerakan kilat sehingga dengan cara demikian, dia dapat terlepas dari kepungan dan berhasil merobohkan lima orang pengeroyok yang kurang tinggi kepandaiannya. Dengan siasat seperti ini. karena kelincahannya dan ilmu pedangnya yang tinggi tingkatnya sehingga kalau hanya menghadapi mereka seorang lawan seorang atau paling banyak tiga orang saja dia takkan kalah, maka semua lawan yang mengeroyoknya! menjadi gemas dan kewalahan juga.

   "Panggil bala bantuan, kepung tempat ini! Jangan biarkan anjing itu melepaskan diri! "

   Terdengar bentakan Thio-thaikam yang sidah dibalut luka di pundaknya dan kini menonton dari jauh dengan kawalan ketat.

   Bun Hong maklum bahwa keadaannya yang dia sadari berbahaya itu akan bertambah celaka kalau bala bantuan didatangkan pula. Apa lagi tempat itu dikepung ketat, maka akari lenyaplah harapan untuk meloloskan diri. Maka saatnya untuk meloloskan diri adalah sekarang ini.

   "Awas pisau!!"

   Teriaknya.

   Lima orang yang mengeroyoknya dibantu oleh pendatang pendatang baru yang sudah banyak yang roboh itu tadi telah melihat betapa lihainya pemuda ini menyambit dengan pisau sehingga melukai Thio-taijin. maka gertakan itu membuat mereka berlaku hati-hati dan melompat mundur menjauhi agar jangan menjadi sasaran pisau yang disambilkan dari jarak terlalu dekat. Akan tetapi, Bun Hong hanya menggertak belaka dan dia mempergunakan kesempatan selagi mereka meloncat ke belakang itu untuk cepat berlari keluar dari ruangan itu, merobohkan empat orang pengawal yang mencoba untuk menghadangnya di pintu, kemudian setelah tiba di luar dia cepat mengayun tubuhnya meloncat naik ke atas genteng.

   Para pengeroyoknya dan beberapa orang perwira lain yang sudah datang mengejar, juga berloncatan naik ke atas genteng, terus mengejarnya. Bun Hong mengerahkan tenaganya untuk berlari secepat mungkin, akan tetapi ke nanakah dia harus lari? Tempat di sekitar istana itu dikelilingi tembok tinggi dan apabila dia lari ke tembok di mana tergantung talinya tadi, sebelum dia dapat memanjat naik, tentu dia akan lebih dulu dapat disusul. Maka dia lalu berlari ke jurusan lain agar para pengejarnya tidak melihat tali yang masih tergantung di sebelah dalam tembok tadi. Sambil berlari dia mencari akal.

   Dia teringat bahwa para penjaga di sebelah dalam dan luar tembok memakai semacam mantel berwarna biru panjang dan memakai sebuah topi yang khas. Ia mendapat akal baik dan ketika mendengar teriakan-teriakan para pengejarnya dari belakang, dia lalu melompat ke kanan dan segera turun dari atas genteng. Akan tetapi, di bawahpun sudah banyak terdapat penjaga-penjaga yang ketika melihat dia melompat turun segera mengeroyoknya sambil berteriak-teriak.

   Dengan mudah Bun Hong merobohkan beberapa orang pengeroyok yang terdiri dari penjaga-penjaga biasa itu Akan tetapi para perwira yang tadi mengejarnya telah sampai pula ke tempat itu dan mereka menyerbu sambil berseru.

   "Kurung dan tangkap dia hidup hidup ini perintah Thio-taijin!".

   Perintah ini menguntungkan Bun Hong. Nafsu Thio-thaikam yang ingin melihat dirinya tertangkap hidup-hidup, memeriksanya dan menyiksanya agar mengaku siapa yang menyuruhnya, telah menyelamatkan nyawa Bun Hong!. Kalau semua pengeroyok itu mengarah nyawanya dan mengeroyoknya mati matian, agaknya dia tidak mungkin akan dapat mempertahankan dirinya lagi.

   Akan tetapi oleh karena mereka hanya berusaha merampas pedangnya, berusaha menangkapnya, maka sampai sekian lamanya Bun Hong masih dapat melawan dengan baik. bahkan telah banyak pengeroyok yang kepandaiannya tidak tinggi, roboh dan menjadi korban amukan pedangnya. Di antara para perwira pelindung Thio-thaikam. yang merupakan pengawal-pengawal pribadinya terdapat tiga orang yang amat terkenal sebagai orang-orang yang sakti dan memiliki ilmu silat amat tinggi. Orang pertama adalah seorang pendeta tosu yang telah berhasil di "beli"-nya.

   Tosu ini bernama Tek Po Tosu, seorang tokoh dari kun-lun-san yang lihai sekali ilmu silatnya, terutama sekali permainan siang-kiam (sepasang pedang) dan tenaga sinkangnya juga amat kuat. Tosu ini merupakan pelindung dan penasihatnya, menjadi pengawalnya yang nomor satu dan mendapatkan tempat dalam sebuah kamar besar di istana pembesar itu.

   Orang ke dua adalah seorang panglima pengawal bertubuh tinggi besar bernama Bong Kak Im, seorang ahli silai yang keahliannya bermain senjata kampak yang besar dan tajam mengerikan. Senjata ini adalah sepasang kampak, dimainkan dengan gerakan cepat, aneh, dan didorong oleh tenaga otot yang amat kuat sehingga sukarlah mengalahkan sepasang kampak di tangan Bong Kak Im ini. Adapun orang ke tiga adalah Bong Kak Liong, juga seorang perwira dan dia ini adalah adik kandung dari Bong Kak Im. Bong Kak Liong pandai sekali bermain golok tunggal.

   Pada saat terjadi penyerbuan yang dilakukan oleh Bun Hong itu, kebetulan sekali Tek Po Tosu dan Bong Kak Im tidak berada di dalam istana, sedang menjalankan tugas ke luar kota, menjadi utusan Thio thaikam. Hal ini tentu saja amat menguntungkan Bun Hong oleh karena apabila seorang di antara dua orang tokoh itu berada di istana, tentu dia akan dapat dirobohkan dan ditangkap dengan mudah.

   Kini yang menyerangnya dengan hebat hanyalah Bong kak Liong, perwira tinggi kurus yang memainkan golok secara luar biasa sekali itu. Di antara semua pengeroyoknya, hanya perwira tinggi kurus ini saja yang merepotkan Bun Hong, karena gerakan goloknya memang dahsyat sekali dan pemuda itu terpaksa mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untak menjaga diri. Kalau dia bertanding melawan Bong Kak Liong seorang saja, belum tentu dia akan kalah, akan tetapi oleh karena perwira yang tangguh ini dibantu oleh banyak perwira yang rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka keadaan Bun Hong benar-benar terjepit. Namun dia masih berhasil mempertahanlan dirinya dan dia tidak pernah mau melepaskan saputangan yang menyembunyikan mukanya.

   Melihat betapa amat sukarnya menangkap pemuda ini, Bong Kak Liong menjadi marah bukan main. Marah, penasaran dan juga malu! Dia disohorkan orang sebagai jagoan nomor tiga di istana Thio-thaikam. seorang jagoan yang disegani, akan tetapi sekarang, dibantu oleh puluhan orang anak buahnya, dia masih belum juga dapat merobohkan seorang pengacau muda! Kalau tidak ada pesan keras dari Thio-thaikam agar jangan membunuh pemuda ini melainkan menangkapnya hidup-hidup, tentu sudah dibunuhnya pemuda ini!.

   Bun Hong sudah merasa lelah, maka diapun berlaku nekat. Dia harus merobohkan dulu perwira kurus yang memegang golok ini. Kalau tidak demikian, agaknya tak mungkin dia akan dapat lolos! Maka sambil mengerahkan tenaganya, tiba-tiba Bun Hong menubruk ke arah perwira itu, menyerangnya dengan cepat .

   Perwira kurus itu mengeluarkan bentakan nyaring dan mengerahkan sinkangnya, menggerakkan goloknya untuk menangkis dengan sekeras-kerasnya, dibarengi dengan sambaran kakinya yang melakukan tendangan Soan-hong-twi, yaitu tendangan angin berputaran yang amat berbahaya bagi lawan.

   Bun Hong terkejut bukan main karena selain tangkisan golok dan tendangan itu, pada saat yang sama dua batang pedang perwira lain sudah menyambar ke arah kedua kakinya! Ternyata bahwa fihak lawan kini menggunakan siasat lain, biarpun tidak membunuhnya namun bertekad mati-matian untuk menangkapnya kalau perlu merobohkan dan melukainya asal tdak membunuhnya.

   Dengan lompatan kilat Bun Hong dapat menghindarkan diri dari tendangan Soan-hong-wi dan bacokan pedang pada kakinya, akan tetapi tangkisan golok yang amat keras itu membuat pedangnya terlempar dari pegangannya!. Ternyata bahwa karena bertempur terlalu lama dan dia sudah lelah sekali menghadapi sekian banyaknya pengeroyok, telapak tangan Bun Hong mengeluarkan keringat sehingga gagang pedangnya menjadi basah dan licin. Ketika pedang itu terlempar, Bun Hong masih menghadapi tendangan Soan-hong-twi yang masih dilanjutkan.

   Tendangan ini memang merupakan tendangan berantai, yang dilakukan dengan kedua kaki yang susul-menyusul, makin lama makin cepat! Bun Hong tahu apa yang harus dilakukannya. Cepat dia menggerakkan tubuhnya dalam gerakan atau langkah yang dinamakan Jiauw pouw poan-soan, yaitu bertindak berputar-putar dengan gesitnya menghindarkan diri dari tendangan-tendangan lawan yang bertubi tubi itu. Gerakannya cepat dan indah sehingga perwira tinggi kurus itu mengeluarkan seruan kagum.

   Bun Hong makin lelah. Tahulah dia bahwa kalau dia terus mengadakan perlawanan, akhirnya dia akan roboh tertawan, kehabisan tenaga. Maka kini dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika seorang pengawal menyerangnya dengan tusukan tombak, dia menangkap tombak ini. menariknya kuat-kuat dan berhasil menangkap pengawal itu. Diangkatnya tubuh pengawal itu dan diputar-putarnya sebagai perisai! Tentu saja para pengeroyoknya cepat menarik kembali senjata mereka agar tidak melukai kawan sendiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Hong untuk mundur dan dia lalu melemparkan tubuh pengawal itu ke arah para pengeroyoknya. Setelah itu, dia lalu melompat naik ke atas genteng pula, yang segera dikejar oleh para perwira, dipimpin oleh Bong Kak Liong. Kembali terjadi kejar-kejaran diatas genteng dan Bun Hong merasa makin lelah.

   Dengan cepat Bun Hong menuju ke sebelah istana sambil memutar otak dengan cepat ia mencari akal. Ketika melihat penjaga yang bermantel biru dan bertopi lebar berkumpul dan berjaga-jaga di situ, di bawah genteng kemudian berteriak-teriak memandang kepadanya, dia melompat turun di tengah-tengah mereka! Tentu saja para penjaga itu menjadi terkejut dan gempar. Bun Hong menggunakan kaki tangannya dan beberapa orang penjaga roboh terjungkal.

   Tadinya dia berniat merampas sebatang pedang, akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan akal yang hendak dipergunakannya, maka dia lalu menangkap seorang penjaga, menotok jalan darah sehingga tubuh penjaga itu menjadi lemas!. Dia memutar-mutar tubuh penjaga itu membuka jalan, kemudian segera berlari menuju ke bagian barat dari istana itu. Sambil berlari tangan kirinya mengambil beberapa buah batu dan ketika lewat di bawah lentera-lentera, dia menyambiti sehingga kaca lentera-lentera itu pecah dan apinya padam. Keadaan menjadi agak gelap dan cepat dia menyeret tubuh penjaga itu ketempat gelap, melepaskan mantel birunya dan topi-penjaga, dan segera memakai mantel dan topi itu.

   Dengan penyamaran ini, dia lalu berlari lagi menuju ke tembok di mana tadi dia meninggalkan talinya yang masih bergantung. Dia bernapas lega ketika melihat bahwa talinya masih berada di tempat tadi. Maka cepat di melompat dan memanjat tali itu naik ke atas .

   Pada saat itu, para perwira yang mengejar dan mencari-carinya tiba di tempat itu. dm ketika mereka melihat seorang penjaga memanjat tali, mereka berteriak-teriak.

   "Haii Ke mana larinya bangsat itu?"

   Bun Hong tidak menjawab, bahkan memanjat makin cepat ke atas. Seorang perwira memegang tali itu dan menggoyang-goyangnya sehingga tubuh Bun Hong ikut pula tergoyang-goyang.

   "Heiii! Kau tahu ke mana larinya penjahat tadi?"

   Teriak perwira itu. Pada saat itu tubuh Bun Hong sudah sampai di atas tembok tinggal beberapa kaki saja dari tombak yang terpasang di atas tembok, maka dia memberanikan hatinya dan menjawab.

   "Dia lari melalui tali ini! Aku akan mengejarnya!"

   Untung sekali bahwa tempat itu agak gelap, tertutup oleh bayangan pohon yang menjulang tinggi di luar tembok, maka orang-orang di bawah tidak melihat bahwa pakaian orang di atas itu berbeda dengan pakaian penjaga, perbedaan yang tidak begitu kentara karena selain gelap juga tertutup oleh mantel berwarna biru dan topi yang lebar itu.

   Para perwira lalu menyerbu ke arah pintu gerbang, hendak mencari penjahat itu di luar tembok. Sementara itu, Bun Hong sudah sampai di atas tembok dan cepat dia melompat ke cabang pohon, karena untuk menggunakan tali, hanya membuang-buang waktu saja. Gerak cepatnya mendatangkan kecurigaan kepada para perwira. Bong Kak Liong yang melihat gerakan itu, tahu bahwa mereka telah tertipu oleh karena tidak mungkin ada seorang penjaga biasa yang memiliki ginkang sehebat itu!.

   "Kejar!"

   Serunya sambil lari ke arah pintu gerbang.

   "Dialah penjahatnya!"

   Ketika rombongan perwira itu keluar dari pintu gerbang, Bun Hong telah berhasil melompat turun dari pohon dan setelah membuang mantel dan topi pinjaman itu, dia lalu melarikan diri secepatnya. Para perwira tetap mengejarnya, dan ketika Bun Hong melompot naik ke atas genteng rumah-rumah di kota raja itu, para perwira yang dikepalai oleh Bong Kak Liong juga melompat naik dan terus mengejarnya.

   Pada waktu itu, mendung telah tertiup angin dan membuka langit di atas kota raja. Bintang-bintang memenuhi angkasa sehingga mendatangkan cahaya yang remang-renang. Dengan adanya cahaya bintang-bintang ini, bayangan Bun Hong dapat terlihat menghitam di atas genteng-genteng rumah, memudahkan para perwira untuk mencari dan mengikuti jejaknya, Bun Hong menjadi gelisah sekali.

   Biarpun dia telah dapat meninggalkan para pengejarnya agak jauh di belakang, namun dia telah merasa lelah sekali. Kedua kakinya telah menjadi lemas dan kini dia tidak bersenjata lagi. Kalau dia kembali ke hotelnya, tentu mereka akan mengejar ke sana, dan semua hotel tentu akan diperiksa.

   Berlari keluar kota raja tidak mungkin karena semua penjaga pintu gerbang tentu telah mendapat perintah untuk memperketat penjagaan! Tidak ada tempat persembunyian yang baik baginya di kota raja dan kemanapun dia bersembunyi, akhirnya pasti akan tertangkap juga sebelum dia sempat keluar dari kota raja. Memang benar bahwa para perwira itu tidak ada yang pernah melihat wajahnya yang sejak tadi tertutup saputangan, akan tetapi dia adalah seorang asing di kota raja, kalau bertemu dengan mereka tentu akan di curigai dan akhirnya ketahuan juga.

   Betapapun juga, dia harus dapat bersembunyi dan beristirahat. Kalau tenaganya sudah pulih, kalau dia sudah dalam keadaan siap lagi dia tak takut menghadapi apapun juga.Dia akan melawan mati-matian. Akan tetapi sekarang, dia telah kehabisan tenaga. Dalam berlari-lari dengan tenaga terakhir ini, tak terasa lagi dia tiba di atas genteng rumah gedung atau istana Pangeran Song Hai Ling! Tiba-tiba timbul sebuah pikiran di otak nya.

   Pangeran itu adalah seorang yang baik hati dan juga mempunyai pengaruh besar. Mengapa dia tidak menggunakan kesempatan ini untuk minta perlindungan kepadanya? Bukankah pangeran itu pernah menyatakan bahwa dia bersedia membantunya?

   Tanpa berpikir panjang lagi karena dia sudah hampir tidak kuat melanjutkan pelariannya, Bun Hong melayang turun ke dalam gedung itu dan menggunakan tenaganya untuk membuka jendela kamar, lalu melompat naik ke dalam! Beberapa orang penjaga yang melihatnya sudah maju menubruk, akan tetapi ketika mereka melihat Bun Hong yang dikenal oleh mereka sebagai sahabat majikan mereka maka mereka menjadi ragu ragu. Pada saat itu muncullah Pangeran Song Hai Ling sendiri dari dalam.

   "Kau, kau........? "

   Tanyanya dengan kaget sekali.

   "Taijin, sekaranglah waktunya bagi taijin untuk menolong saya!"

   Kata Bun Hong dengan napas terengah-engah karena lelahnya.

   Dengan isyarat tangannya, pangeran itu menyuruh para pengawalnya untuk menutupkan jendela yang dibuka secara paksa dari luar oleh Bun Hong tadi, lalu berkata.

   "Jangan memberi tahu tentang kedatangan sicu ini kepada siapapun juga."

   Lalu dia menggandeng tangan Bun Hong dan diajaknya pemuda itu memasuki ruangan dalam.

   "Sicu, apakah yang terjadi?"

   Tanya pangeran itu dengan alis berkerut dan mata penuh selidik setelah dia mengajak Bun Hong duduk di ruangan itu.

   ''Celaka, saya telah gagal membunuh keparat she Thio itu, taijin. Saya hanya berhasil melukai pundiknya, sekarang perwira-perwiranya mengejar-ngejar saya, sedangkan pedang saya telah lenyap dan tubuh saya amat lelah........ tolonglah saya, taijin."

   Wajah pangeran itu menjadi pucat sekali dan dia nampak gugup.

   "Celaka.......! Kalau mereka tahu bahwa engkau bersembunyi di sini, akan celakalah kami sekeluarga, sicu! Harap kau suka menaruh kasihan kepada kami sicu. Bersembunyilah di tempat lain. Tidak mungkin aku dapat menolongmu tanpa membahayakan keluargaku sendiri,"

   Katanya denga suara mengandung ketakutan hebat.

   Bun Hong tercengang dan menjadi bingung juga.

   "Jadi taijin tidak mau menolong saya....?! "

   '"Bukan tidak mau, akan tetapi.........?"

   Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan di luar istana itu, dibarengi dengan ketukan ketukan pada pintu yang dilakukan dengan keras sekali.

   "Celaka........!"

   Tubuh pangeran itu menjadi gemetar saking takut dan khawatirnya, Tiba-tiba dia memegang tangan Bun Hong dan ditariknya pemuda itu ke dalam.

   "Hayo cepat kau ikut aku ke dalam!"

   Bun Hong menurut saja karena sudah merasa tidak berdaya dan keduanya lalu berlari keruangan sebelah dalam, bahkan pangeran itu terus membawanya ke bagian ruangan wanita. Dia mengetuk pintu sebuah kamar dan ketika pintu dibuka dari dalam, ternyata bahwa kamar itu adalah kamar tidur dari Song Kim Bwee dan Song Kim Hwa, dua orang putri remaja dari pangeran itu!.

   Bukan main terkejut dan herannya kedua orang dara remaja itu ketika mereka melihat ayah mereka datang bersama seorang pemuda yang berpeluh pada dahinya dan yang berpakaian ringkas berwarna hitam. Lebih heran lagi mereka ketika mereka berdua mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang kemarin mendatangkan rasa kagum di hati mereka ketika terjadi keributan di Kuil Bhok-thian-si.

   "Ada....... ada apakah, ayah.......?"

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Song kim Bwee bertanya dengan mata terbelalak.

   "Lekas, kau sembunyikan Tan-sicu ini lekas, kalau mereka tahu dia berada di rumah kita, binasalah kita semua!"

   Kata Pangeran Song dengan cepat dan tubuhnya menggigil, mukanya pucat sekali.

   "Kim Bwee, kau berpura-pura sakit dan suruh adikmu menjagamu. Sembunyikan Tan sicu dalam kamar ini. Di mana saja! Cepat!!"

   Pangeran Song lalu keluar dari kamar, menutupkan pintunya dan berlari ke arah pintu depan yang masih digedor orang dari luar dan di mana para pengawal telah berkerumun akan tetapi tidak berani membukanya tanpa perkenan dari Pangeran Song itu.

   Ketika atas perintah Pangeran Song pintu itu dibuka, yang muncul adalah Panglima Bong Kak Liong dan di belakangnya terdapat banyak perwira yang memegang senjata di tangan. Sebenarnya, tidak akan ada orang berani menggedor pintu gedung Pangeran Song di tengah malam buta seperti itu! Pangeran itu adalah seorang anggota keluarga kaisar, dan seorang pembesar yang berkedudukan tinggi, akan tetapi, Bong Kak Liong adalah seorang panglima yang menjadi kepercayaan dan tangan kanan Thio-thaikam, apa lagi malam ini dia melaksanakan perintah Thio-thaikam, maka dengan berani dia menggedor-gedor pintu gedung pangeran itu karena dia merasa yakin bahwa penjahat yang mengacau di istana majikannya dan dikejar-kejarnya itu tadi masuk dan bersembunyi di dalam gedung pangeran ini.

   Dia tidak takut menghadapi kemarahan Pangeran Song Hai Ling, karena bukankah dia melaksanakan perintah Thio thaikam? Biar istana kaisar akan dimasuki tanpa takut-takut kalau Thio-thaikam yang memerintahkannya! Betapapun juga, dia bersikap hormat di depan pangeran itu dan cepat dia menjura untuk memberi hormat dan berkata dengan sikap hormat dan sungguh-sungguh,

   "Maafkan hamba, taijin......."

   Dengan sikap tenang dan mengerutkan alisnya tanda bahwa perbuatan perwira itu amat mengganggunya, Pangeran Song Hai Ling berKata, nada suaranya penuh tegoran.

   "Ah, kiranya Bong-ciang-kun yang datang di tengah malam begini dan menggedor pintu. Tidak tahu ada urusan apa gerangan yang membuat kami sekeluarga menjadi terkejut sekali?"

   Betapapun juga, Bong Kak Liong merasa tidak enak juga. Kalau sampai pencariannya gagal dan dia dituduh menghina pangeran ini dan kemudian Pangeran Song melapor ke istana, tentu sedikitnya dia? akan mendapat tegoran keras dan Thio-thaikam akan memarahinya. Maka cepat-cepat dia mengangkat kedua tangan memberi hormat.

   "Mohon maaf sebanyaknya apa bila hamba berani mengganggu taijin, karena menggedor pintu ini semata-mata untuk menjaga keselamatan taijin sekeluarga,"

   Bong Kak Liong berkata dengan sikap hormat dan amat hati-hati.

   "Maaf, taijin. Di dalam rumah taijin bersembunyi seorang penjahat berbahaya yang tadi sudah menyerang dan mengacau di dalam istana Thio-taijin."

   Pangeran Song Hai Ling kini tidak perlu lagi bermain sandiwara berpura-pura kaget karena berita itu memang sudah membuat dia merasa amat cemas dan terkejut sekali sehingga mukanya berubah pucat dan tubuhnya agak menggigil.

   ''Apa........? Pen...... penjahat? Bagaimana dia bisa masuk ke gedungku? Tidak mungkin, ciangkun, engkau tentu keliru dan salah lihat!?"

   "Harap paduka jangan khawatir, taijin, kami akan mencarinya sampai dapat dan menyeretnya keluar dari dalam gedung ini,"

   Jawab Bong-ciangkun.

   "Kalau begitu silakan, memang sebaiknya begitu. Akan tetapi harap ciangkun dan para perajurit jangan bersikap kasar agar tidak mengagetkan keluarga kami. Carilah sampai dapat!"

   Kata sang pangeran dengan wajah pucat.

   Bong Kak Liong menghaturkan terima kasih, kemudian dengan golok di tangan dia memimpin anak buahnya untuk menggeledah dan mencari penjahat di dalam gedung itu. Biarpun tadi dia mengatakan bahwa dia hendak menolong pangeran itu dari ancaman penjahat yang diduga bersembunyi di situ, akan tetapi sebenarnya dia melakukan penggeledahan, seolah-olah dia sudah menduga bahwa sang pangeran itu sengaja menyembunyikan penjahat yang dikejar-kejarnya tadi.

   Dia mencari di seluruh kamar, bahkan kamar Pangeran Song dan isterinya, juga kamar-kamar para selirpun tidak dilewatinya. Dan biarpun mulut dan tangan para penggeledah itu tidak berani mengatakan dan menyentuh apa-apa, namun pandang mata mereka mengusap usap tubuh dan wajah para selir muda yang cantik-cantik, merayu dan membelai mereka itu dengan pandang mata mereka dan senyum mereka yang penuh arti.

   Bukan main marah dan mendongkolnya rasa hati pangeran itu melihat kekurang ajaran ini, akan tetapi dia tidak dapat berbuat apa-apa karena mereka itu tidak melakukan atau mengatakan sesuatu, dia tidak berani menegur karena khawatir kalau-kalau pemuda yang bersembunyi itu akhirnya akan ditemukan dan dia tidak akan dapat menyangkal pula. Akhirnya, saat yang amat ditakuti dan dinanti-nanti penuh debaran jantung yang gelisah itupun tibalah. Bong Kak Liong tiba di depan kamar puterinya yang daun pintunya tertutup dari dalam. Kamar di mana pemuda itu tadi disuruhnya bersembunyi!

   "Taijin, kamar siapakah ini?"

   Tanya Bong Kak Liong sambil menuding daun pintu dengan goloknya, seolah-olah dia hendak membuka pintu itu dengan sekali bacok.

   "Ciangkun, jangan buka kamar ini. Kamar ini adalah kamar puteriku, harap kau tidak mengganggu dia!"

   Bong Kak Liong cepat menjura dengan hormat.

   "Taijin, hamba tidak begitu berani mati ntuk mengganggu siocia. Akan tetapi maafkanlah hamba, taijin. Hamba hanya melakukan tugas yang diperintahkan oleh Thio-taijin. Penjahat itu harus dapat ditangkap dan sudah hamba ceritakan bahwa penjahat itu lihai bukan main dan amat berbahaya. Tadi hamba melihat dia menyelinap dan lenyap di halaman rumah ciangkun, maka hamba harus mencarinya sampai dapat, selain untuk menangkapnya juga untuk membebaskan keluarga ciangkun dari ancaman bahaya maut. Bagaimana kalau dia memasuki kamar ini dan bersembunyi di didalam?"

   Pangeran Song memperlihatkan muka marah "Bong-ciangkun! Berani benar kau mengeluarkan kata-kata yang bukan-bukan! Kamar ini! adalah kamar kedua orang puteriku, bahkan!! puteriku yang sulung sedang kurang enak badan,! apakah kau begitu tidak percaya kepada kami?"

   Ucapan itu dikeluarkan dengan suara keras dan memang menjadi maksud hati sang pangeran agar ucapannya terdengar oleh kedua orang puterinya yang berada di dalam kamar itu.

   Bong Kak Liong merasa ragu ragu, karena dia merasa khawatir kalau-kalau pangeran ini akan marah, akan tetapi dia harus melakukan tugasnya dan harus berhasil menangkap penjahat tadi. Rasa takutnya terhadap pangeran ini tidak ada artinya apa bila dibandingkan dengan rasa takutnya terhadap Thio-taijin. Pula, dia dan anak buahnya sudah lama mendengar dan melihat bahwa dua orang puteri pangeran ini cantik-cantik seperti bidadari, maka setelah sekarang terbuka kesempatan, mengapa tidak sekalian menjenguk kamar mereka sekedar nengobati jerih payah mereka?

   "Harap taijin suka memaafkan kami dan suka memaklumi tugas hamba yang amat berat ini. Betapapun juga hamba harus mendapatkan kepastian dan menyaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa penjahat itu tidak bersembunyi didalam kamar ini. Bukan hamba menuduh yang tidak-tidak, akan tetapi bagaimana kalau penjahat itu mengancam ji-wi siocia di sebelah dalam kamar? Bagaimana pula hamba akan melapor kepada Thio-taijin kalau ditanya nanti dan beliau mendengar bahwa ada sebuah kamar yang hamba lewati dan tidak hamba periksa?"

   Perwira yang cerdik ini sengaja membawa-bawa nama Thio-taijin untuk menggertak atau untuk perisai. Pada saat keadaan menjadi tegang itu karena betapapun juga tentu saja Pangeran Song Hai Ling tidak ingin melihat rahasianya terbuka, apa lagi membiarkan orang-orang ini menemukan penjahat bersembunyi di dalam kamar puteri-puterinya, tiba-tiba saja daun pintu kamar itu terbuka dari dalam dan muncullah Song Kim Hwa di ambang pintu. Dara remaja ini cantik bukan main, dengan rambut sedikit awut-wutan dan pakaian longgar karena dia mengenakan pakaian tidur, dengan muka tanpa bedak akan tetapi kelihatan halus dan kemerahan. segar seperti setangkai bunga bermandi embun di pagi hari.

   Sepasang matanya yang lebar dan indah itu terbuka dengan penuh kekagetan melihat demikian banyaknya orang asing di depun kamarnya, dan bibirnya yang mungil dan merah basah itu bergerak manis ketika dia bertanya.

   "Ayah, ada apakah ramai ramai ini? Mengapa terdapat begini banyak orang berada di sini? Cici sedang sikit, mengapa ayah membiarkan saja orang orang kasar ini membuat gaduh?"

   Bong Kak Liong menjadi merah mukanya sedangkan semua anak buahnya bengong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga terpesona menghadapi dara remaja yang demikian cantiknya itu. Cepat perwira itu menjura dengan hormat kepada Song Kim Hwa sambil berkata dengan sikap sopan,

   "Harap sioci sudi memaafkan hamba. Hamba khawatir kalau-kalau penjahat berbahaya yang sedang kami kejar-kejar itu bersembunyi di dalam kamar ini dan mencelakai ji-wi siocia."

   Pucatlah muka Kim Hwa mendengar ucapan ini saking gelisahnya, dan hal ini baik sekali karena memang Bong Kak Liong mempunya persangkaan bahwa dara remaja yang cantik ini merasa terkejut dan takut mendengar ada penjahat sehingga menimbulkan kesan bahwa dara ini tidak tahu apa-apa tentang penjahat itu. Dan Kim Hwa tergolong seorang dara remaja yang cerdik sekali, maka diapun cepat menahan jerit di belakang punggung tangannya.

   "Penjahat........? Aihhh, lekas kau tangkap dia, ciangkun! Benar-benarkah ada penjahat di dalam gedung kami?"

   "Kami sedang mencari-carinya,"

   Kata Pangeran Song yang merasa lega karena dia melihat bahwa kamar itu kosong, tidak nampak bayangan Bun Hong, sedangkan Kim Bwee nampak berbaring di atas pembaringan sambil berkerudung selimut.

   "Apakah betul-betul tidak ada siapa-siapa di dalam kamarmu, anakku? "

   Kim Hwa memandang kepada ayahnya.

   "Yang ada hanyalah cici yang mulai panas lagi tubuhnya, ayah."

   Sambil berkata demikian, dia membuka daun pintu itu agak lebar sehingga Bong Kak Liong dapat melihat dengan jelas betapa kamar itu benar-benar kosong, hanya terdapat seorang gadis cantik lainnya yang sedang rebah di atas pembaringan sambil menutupi tubuhnya dengan selimut,

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   mukanya nampak pucat sekali karena sedang menderita sakit.

   Bong Kak Liong meneliti kamar itu dengan pandang matanya yang tajam. Tidak ada apa-apa yang mencurigakan, maka dia cepat menjura kembali.

   "Maaf........ maaf......., siocia! harap suka menutupkan kembali pintu kamar itu, tidak baik bagi saudaramu kalau terkena angin malam. Maafkanlah kami."

   Kim Hwa menutupkan daun pintunya kembali dan Bong Kak Liong lalu memimpin anak buahnya untuk mencari di lain bagian. Akan tetapi, di dalam gedung itu sama sekali tidak mereka temukan bayangan Bun Hong. Bong ciangkun merasa penasaran sekali, akan tetapi karena terbukti bahwa penjahat muda itu tida bersembunyi di situ, terpaksa dengan hati kecewa dan penuh penasaran dia minta maaf lagi dan berpamit dari pangeran itu. Setelah melihat bahwa pemuda itu tidak dapat ditemukan di dalam gedungnya, barulah Pangeran Song Hai Ling berani memperlihatkan kemarahannya.

   "Bong-ciangkun, kelakuanmu tadi sungguh sungguh tidak patut! Apa kaukira kami menyembunyikan seorang penjahat? Bagus, bagus Di manakah adanya aturan-aturan lama? Sampai-sampai seorang perwira biasapun berani saja menghina keluarga kami!"

   Bong Kak Liong cepat berlutut dengan sebelah kaki dengan penuh perasaan menyesal dan khawatir.

   "Harap taijin sudi mengampunkan hamba. Hamba hanyalah petugas yang menjalankan perintah Thio-taijin belaka......."

   "Apakah Thio-taijin juga memberi perintah kepadamu untuk memeriksa semua kamar-kamarku dan juga kamar puteriku, seakan-akan kami sekeluarga bersekongkol dengan penjahat dan menyembunyikan seorang penjahat didalam kamar kami!"

   "Tidak........ tidak....... akan tetapi....... ampun.....

   "

   Baru saja Bong Kak Liong berkata dengar gagap tidak karuan sampai di situ, Pangeran Song Hai Ling sudah membanting daun pintu didepan hidung perwira itu. Bong-ciangkun segera pergi dengan hati mendongkol bukan main. Dia segera memaki-maki para anak buahnya yang disebutnya tolol dan bodoh sehingga mengejar seorang penjahat saja sampai tidak dapat tertangkap.

   Memang demikianlah selalu keadaan hidup dalam kebudayaan dan masyarakat kita. Yang di atas selalu memarahi dan menekan, menginjak yang di bawah. Bong-ciangkun yang dimaki oleh orang yang lebih tinggi kedudukanya, tidak berani membalas ke atas lalu meluapkan kemendongkolannya ke bawah, kepada anak buahnya. Nanti, tentu saja, si anak buah yang mendapat kemarahan dari atasannya ini dan tidak berani membalas, akan melampiaskan kemarahannya kepada yang lebih bawah lagi, mungkin pembantunya, mungkin kepada isterinya atau kepada anaknya!

   Kebudayaan kita memberi contoh betapa yang di atas menginjak yang di bawah, sehingga hukum yang didengungkan sebadai alat antuk menjadi cermin keadilan bagi semua orang tanpa pandang tingkat, ternyata hanya menjadi alat bagi mereka yang berada diatas untuk menginjak yang di bawah ''berdasarkan hukum". Oleh adanya kenyataan seperti ini. anehkah itu kalau semenjak kecil, manusia dididik oleh keadaan untuk berlumba memperebutkan kedudukan setinggi mungkin? Lebih baik menginjak daripada diinjak, lebih baik menekan daripada ditekan, demikianlan agaknya yang menjadi pedoman hidup semua orang. Betapa menyedihkan jadinya kehidupan di dunia kita ini .

   Bong-ciangkun selain merasa mendongkol karena ditegur dan dimarahi pangeran itu, juga dia merasa penasaran dan heran sekali. Dia telah melakukan penggeledahan dengan cermat sekali dan selagi dia memimpin penggeledahan gedung itu telah dikurung, juga di atas genteng dilakukan penjagaan sehingga penjahat itu tidak mungkin untuk keluar dan melarikan diri dari dalam gedung itu. Padahal tadi mereka melihat sungguh-sungguh betapa penjahat itu lenyap di sekitar halaman gedung Pangeran Song. Maka dia lalu memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk mengadakan pengintaian di sekeliling gedung itu sambil bersembunyi, sedangkan dia sendiri lalu kembali dengan cepat memberi laporan kepada Thio-thaikam.

   

Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini