Ceritasilat Novel Online

Kisah Tiga Naga Sakti 9


Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Karena dia sudah merasa bosan mendengar sebutan "lihiap" (pendek wanita), dan menganggap bahwa sebutan nona lebih halus dan lebih mengesankannya sebagai seorang wanita yang berperasaan halus.

   Cepat dia membalas dengan pemberian hormat, mengangkat kedua tangannya dan membungkuk dengan gerakan yang lemah lembut, sama sekali bukan gerakan seorang pendekar wanita yang tangguh, melainkan gerakan seorang dara remaja yang lemah lembut. Sedapat mungkin Kui Eng hendak menghilangkan sifat-sifat kegagahannya dan alangkah akan girang hatinya kalau pada saat itu dia mengenakan pakaian seorang wanita biasa saja seperti yang biasa dipakai oleh gadis-gadis lain, bukan pakaian wanita perantau yang serba ringkas seperti yang dipakainya di waktu itu.

   "Sam-wi kongcu, harap jangan terlalu membesarkan hal yang tidak berarti. Sebagai seorang yang sopan, saya yang bodoh tidak dapat tinggal diam saja melihat kekasaran si muka hitam tadi"

   "Ang-heng,"

   Tiba-tiba Lie Kang Po, pemuda yang nampak gembira dan yang paling muda usianya di antara mereka, paling banyak berusia enambelas tahun, berkata.

   "kalau perjalanan kita selanjutnya dapat bersama dengan nona yang gagah perkasa ini, kita tidak usah takut akan gangguan segala macam orang jahat dan kurang ajar!"

   Min Tek memandang kepada kawannya itu dengan alis dikerutkan, lalu menegurnya.

   "Kang Po! Jangan kau bicara sembarangan saja!"

   Kemudian dia berbalik menghadapi Kui Eng dan berkata lagi.

   "Harap siocia maafkan temanku yang muda ini, karena dia masih belum tahu benar akan kekurangajaran kata-katanya tadi. Mana bisa seorang siocia seperti nona ini melakukan perjalanan bersama tiga orang pemuda?"

   Kui Eng tersenyum manis dan dia makin tertarik kepada pemuda she Ang yang tampan halus dan amat sopan santun itu.

   "Tidak mengapa, Ang-kongcu, karena temanmu itu tidak sengaja. Pula, memang perjalanan ke kota raja melalui tempat-tempat berbahaya. Kebetulan sekali sayapun sedang menuju ke sana maka biarpun kita tidak melakukan perjalanan bersama, akan tetapi saya dapat mengamat-amati sehingga tidak ada orang yang akan berani mengganggu kalian bertiga."

   Berserilah wajah Min Tek yang tampan itu. Dia segera menjura dan berkata dengan nada suara girang sekali.

   "Bagaikan kejatuhan bulan rasa hati kami mendengar itu! Nona sungguh merupakan seorang yang amat berbudi mulia"".."

   Kui Eng tersenyum lagi.

   "Namaku adalah Kui Eng"".."

   "Terima kasih sekali lagi kami ucapkan nona Kui Eng."

   Kata Min Tek.

   Demikianlah, tiga orang muda itu melanjutkan perjalanan mereka, sedangkan Kui Eng mengikuti mereka dari jauh. Entah mengapa ada sesuatu yang amat menarik hatinya, yang membuat dia merasa bahwa dia tidak dapat meninggalkan tiga orang muda itu. Ada apakah ini? Apakah karena perpisahannya dengan dua orang suhengnya membuat dia merasa begitu kesepian sehingga begitu bertemu dengan tiga orang muda yang menyenangkan hatinya ini dia lalu tertarik dan ingin selalu berdekatan? Betapapun juga, dia harus melindungi mereka sampai ke kota raja.

   Biasanya, Kui Eng melakukan perjalanan dengan cepat. Akan tetapi sekarang, oleh karena dia harus mengikuti tiga orang muda yang melakukan perjalanan seenaknya dan dengan lambat itu, dia harus berjalan lambat pula. Akan tetapi aneh bukan main, dia sama sekali tidak merasa kesal, bahkan kini dia melakukan perjalanan dengan hati gembira. Tanpa disadarinya sendiri, sikap lemah lembut dan sopan santun dari Ang Min Tek telah membetot hatinya, menggerakkan perasaan wanitanya yang halus, telah merampas perhatiannya dan membuatnya merasa tertarik sekali.

   Hatinya yang biasanya amat keras itu mencair dan lunak dan dia sendiri menduga-duga apakah dia telah "jatuh hati"

   Kepada pemuda tampan dan halus itu, pemuda pelajar yang biarpun lemah karena tidak memiliki kepandaian ilmu silat, namun telah membuktikan bahwa dia memiliki sifat gagah perkasa dan keberanian besar ketika menghadapi bahaya itu. Ketabahan hati seorang pemuda yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, seperti kedua orang suhengnya misalnya, tidak sangat membuatnya kagum, akan tetapi melihat betapa seorang pemuda pelajar yang lemah dan tidak memiliki kepandaian silat seperti Min Tek berani menghadapi bahaya maut dengan mata tak berkedip dan semangat tetap berkobar, benar-benar membuat dia tunduk dan kagum sekali.

   Dalam pandangannya, Min Tek merupakan seorang laki-laki yang memenuhi syarat kejantanan dan hatinya runtuh oleh sikap yang lemah-lembut, terutama oleh kesopanan pemuda itu! Sementara itu, tiga orang pemuda sasterawan itupun melanjutkan perjalananmereka dengan hati gembira. Biarpun mereka tidak berani menengok ke belakang oleh karena hal itu dilarang oleh Min Tek, namun mereka maklum bahwa nona pendekar yang cantik jelita dan gagah perkasa itu juga melakukan perjalanan yang sama, di belakang mereka! Hanya satu kali saja Min Tek menengok dan memandang ke arah Kui Eng sambil tersenyum dan hal ini sudah cukup mendebarkan hati Kui Eng.

   Betapa anehnya cinta! Tanpa kata-kata, cukup hanya dengan pandang mata, namun begitu mesra, menyentuh perasaan danmendebarkan jantung! Cinta memang langsung terasa oleh perasaan, oleh batin, sama sekali tidak ada hubungannya dengan pikiran karena pikiran menonjolkan "aku yang ingin senang dan ingin untung". Kekhawatiran hati Kui Eng bahwa pemuda pemuda itu akan mendapat gangguan di tengah perjalanan ternyata berbukti. Hek-houw si muka hitam yang merasa telah dibikin malu dan menjadi sakit hati itu telah mengadakan hubungan dengan beberapa orang kawannya yang menjadi perampok dan mereka sengaja menghadang perjalanan Ang Min Tek dan dua orang kawannya.

   Jalan yang mereka lewati itu sunyi dan diapit oleh batu-batu besar di kanan kiri jalan juga di sebelah kiri jalan terdapat hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar. Matahari telah agak condong ke barat, tengah hari telah lewat dan mendapatkan jalan yang dilindungi bayangan pohon-pohon itu tiga orang muda ini menjadi gembira. Dari jauh saja sudah kelihatan betapa jalan itu tentu amat menyenangkan, teduh dan dapat melindungi mereka dari terik matahari siang,

   Akan tetapi, ketika mereka tiba di tempat tu, tiba-tiba dari belakang batu-batu besar itu muncul belasan orang tinggi besar yang rata-rata berwajah menyeramkan dan di tangan mereka nampak golok dan senjata lain yang tajam mengkilap. Ketika Min Tek dan kawan-kawannya mengenal Hek-houw berada di antara mereka, tahulah tiga orang pelajar ini bahwa mereka menghadapi ancaman bahaya. Min Tek membentangkan kedua lengannya di depan dua orang temannya, seolah-olah hendak melindungi mereka.

   "Hek-houw-ko! Bukankah antara kita tidak ada urusan lagi? Mengapa kau masih hendak menghadang perjalanan kami?"

   Min Tek berkata dengan sikap tenang sungguhpun dia tahu bahwa kini urusan menjadi besar.

   Sementara itu, Kui Eng juga telah melihat gerombolan itu maka dengan beberapa lompatan saja pendekar wanita ini telah berada di situ dan tubuhnya berkelebat menjadi bayangan hijau, tahu-tahu dia telah berdiri di depan Min Tek, membelakangi tiga orang pemuda itu dan menghadapi para perampok dengan wajah dan sikap tenang namun alisnya berkerut karena hatinya sudah marah sekali.

   "Kalian ini menghadang perjalanan orang mempunyai maksud apakah?"

   Tanyanya dengan suara nyaring penuh wibawa, kedua tangannya yang kecil itu bertolak pinggang, jari-jari ke dua tangannya seolah-olah dapat melingkail pinggangnya yang kecil itu.

   "Inilah dia perempuan setan itu!"

   Tiba-tiba Hek-houw berkata kepada kepala perampok yang bertubuh tinggi besar dan bersenjata sebatang golok besar pula.

   Kepala perampok itu memandang kepada Kui Eng lalu tertawa bergelak, kemudian berkata kepada Hek-houw dengan lagak sombong.

   "Saudaraku yang baik. Apakah benar-benar engkau dan kawan-kawanmu kalah oleh gadis yang cantik manis ini? Ha ha ha, sukar untuk dipercaya!"

   Kemudian dia melangkah maju menghadapi Kui Eng dan bertanya dengail suaranya yang besar dan parau.

   "Eh, nona manis. Benarkah engkau telah berani berlancang tangan mengganggu saudara-saudaraku ini?"

   Kui Eng mundur selangkah. Kepala perampok itu ketika bicara, dari mulutnya berhamburan percikan ludah. Bibirnya tidak pernah rapat maka kalau bicara, ludahnya menyemprot-nyempot seperti hujan dan dari mulutnya keluar bau yang memuakkan. Dengan sikap masih tenang Kui Eng menjawab.

   "Mereka itu adalah orang-orang jahat yang bertindak sewenang-wenang. Tidak kubunuhpun mereka masih untung sekali, dan kau ini siapakah dan apa maksudmu menghadang kami? Apakah kau hendak membela penjahat-penjahat kecil itu?"

   Kepala perampok itu tertawa lagi, seperti seorang dewasa yang geli menyaksikan lagak seorang anak-anak.

   "Nona manis, jangan kau begitu galak! Ketahuilah bahwa daerah ini berada dalam kekuasaanku dan setiap orang yang lewat harus membayar uang jalan kepada kami! Bagi kau dan kawan-kawanmu ini, asalkan kalian berempat suka meninggalkan semua barang-barang bawaan kalian, juga ditambah lagi seluruh pakaian, luar dan dalam, yang menempel ditubuhmu itu kautinggalkan kepadaku, barulah kalian mendapatkan ampun dan boleh melanjutkan perjalanan! Ha-ha-ha "

   Belasan orang perampok itu tertawa bergelakmendengar ucapan itu dan mereka sudah membayangkan dengan air liur memenuhi mulut betapa mereka akan melihat tubuh polos nona cantik itu di depan mereka, tanpa sehelaipun kain yang menyembunyikan tubuh yang ramping itu!

   "Bangsat bermulut kotor!"

   Kui Eng membentak marah.

   "Kiranya kalian adalah perampok-perampok hina. Menjadi perampok belum termasuk dosa yang terlalu besar, akan tetapi engkau telah berani menghina aku, berarti engkau mencari mampus sendiri!"

   Tadi ketika kepala rampok itu mengucapkan penghinaannya, yaitu minta pakaian yang dipakai oleh Kui Eng, para anak buah perampok tertawa menyeringai, akan tetapi sekarang mendengar ancaman yang keluar dari mulut Kui Eng, mereka tertawa makin keras lagi.

   

   "Nona manis, agaknya engkau belum tahu siapa adanya orang gagah yang berdiri di depanmu! Dengarlah baik-baik. Aku adalah Tiat-thouw Koai-to (Golok Setan Kepala Besi) yang tidak biasa membunuh orang-orang lemah akan tetapi aku paling suka membikin jinak kuda-kuda betina liar seperti engkau ini. Ha-ha-ha! Kalau kau tanpa banyak membantah menanggalkan semua pakaian luar dalam yang kaupakai, meninggalkan semua bawaan, maka kalian boleh pergi dengan aman dan aku tidak akan mengganggumu. Akan tetapi, kalau kau berani melawan, tidak saja ketiga orang kekasihmu yang tampan-tampan ini harus mampus, bahkan engkaupun harus ikut denganku selama satu bulan penuh untuk melayaniku!"

   "Jahanam keparat! Kau benar-benar bosan hidup! Kalau kau seorang jantan, mari kita bertempur secara jantan, jangan main keroyokan. Kalau aku sampai kalah olehmu, aku akan mengangkat guru kepadamu!"

   Kui Eng sudah meloncat mundur dan mencabut pedangnya. Dia merasa khawatir kalau kalau para perampok itu melakukan pengeroyokan. Bukan khawatir kalau dia dikeroyok, sama sekali tidak. Biar ditambah dua kali lipat, dia tidak akan gentar menghadapi pengeroyokan mereka. Akan tetapi kalau pengeroyokan itu terjadi, bagaimana dia akan dapat melindungi tiga orang pemuda itu? Tentu mereka itu akan celaka di tangan kawanan perampok kejam ini. Oleh karena itulah, maka dia menahan kemarahannya dan sengaja mengeluarkan tantangan itu untuk bertempur seorang lawan seorang, untuk menghindarkan pengeroyokan terhadap tiga orang pemuda pelajar lemah itu.

   "Nona, watak perampok selalu suka main keroyokan secara pengecut dan tak tahu malu!"

   Tiba-tiba Min Tek berkata dengan suara mengandung sindiran.

   "Orang ini hanya besar mulut belaka, mana dia berani menghadapi nona seorang diri!"

   Pemuda ini memang cerdas sekali dan dia sudah dapat mengerti akan maksud hati Kui Eng yang menantang kepala perampok itu untuk bertanding satu lawan satu maka dia sengaja mengeluarkan kata-kata itu untuk membakar hati si kepala perampok.

   Benar saja, Tiat-thouw Koai-to menjadi marah sekali sehingga dia memutar-mutar goloknya. Golok itu besar dan berat, ketika diputar-putar mengeluarkan suara bercuitan dan berdesing-desing mengerikan. Sambil memutar golok besarnya, kepala perampok itu menghampiri Min Tek yang berdiri dengan sikap tenang saja dan sama sekali tidak berkisar dari tempatnya berdiri. Kui Eng memandang dengm penuh kewaspadaan, siap untuk melindungi pemuda itu.

   "Cacing buku!"

   Kepala perampok itu membentak.

   "Kalau pelindungmu itu kalah olehku engkau harus merangkak di depanku dengan telanjang bulat dan menggonggong seperti seekor anjing!"

   "Sudahlah jangan banyak mengobrol omongan yang tidak ada harganya,"

   Jawab Min Tek dengan berani.

   "Kalau kau memang berani menghadapi dia, lawanlah dengan golokmu! bukan dengan mulutmu yang besar, kotor dan berbau!"

   Kepala perampok itu menjadi makin marah dan sekali dia menggerakkan tangan, goloknya menyambar dengan suara bercuitan ke arah leher Min Tek. Akan tetapi, tiba-tiba sebatang pedang meluncur cepat dan menangkis golok itu.

   "Tranggg""..!"

   Dan bunga api berpijar ketika dua batang senjata itu beradu.

   "Tiat-thouw Koai-to, akulah yang menantangmu, apakah kau berani? Lawanmu berada di sini!"

   Kata Kui Eng sambil berdiri dan memandang tersenyum penuh ejekan.

   "Baik, baik, agaknya engkau memiliki sedikit kepandaian. Biarlah kujatuhkan kau lebih dulu sebelum aku menyembelih domba-domba ini!"

   Setelah berkata demikian, kepala perampok itu telah melompat dan mengeluarkan gerengan keras, menyerang Kui Eng dengan goloknya yang mempunyai gerakan cepat dan kuat itu, tanda bahwa kepala perampok memang bertenaga besar sekali sehingga mampu menggerakkan golok seberat itu dengan kecepatan yang tinggi.

   Akan tetapi, Kui Eng mengelak dengan gerakan ringan, lalu membalas dengan tusukan ke arah lambung lawan yang segera dapat menangkisnya. Mereka lalu berkelahi dengan seru, ditonton oleh para anak buah perampok dan oleh tiga orang pemuda yang diam-diam merasa cemas juga itu.

   Tiga orang pemuda itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Maka melihat gerakan kepala perampok itu yang kelihatan menyeramkan, gerakannya cepat dan hebat, tenaganya amat kuat sehingga golok itu berdesing desing dan anginnya menyambar-nyambar, sebaliknya gerakan gadis itu indah dan halus, mereka merasa khawatir dan mengira bahwa kepandaian kepala perampok itu terlalu hebat dan kuat bagi Kui Eng.

   Akan tetapi, setelah bertempur belasan jurus lamanya, tahulah Kui Eng bahwa kepandaian kepala perampok ini tidaklah berapa tingginya, hanya lagaknya saja yang sombong dan tenaganya saja yang besar, akan tetapi hanya merupakan tenaga kasar dari otot-otot terlatih. Setelah bergebrak selama belasan jurus, tahulah Kui Eng bahwa dia akan dapat merobohkan lawan setiap saat yang dikehendakinya.

   Akan tetapi Kui Eng adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Kalau dia mengeluarkan kepandaiannya dan mendesak kepala perampok itu tentu kaki tangan perampok itu akan mulai mengeroyok dan bukan tidak mungkin tiga orang pemuda pelajar itupun akan diserang oleh mereka. Maka dia lalu berkelahi dengan lambat dan sengaja membiarkan dirinya diserang bertubi-tubi dan kelihatannya dia yang terdesak!

   Kepala, perampok itu sudah tertawa terkekeh-kekeh sambil menghujani tubuh Kui Eng dengan serangan-serangannya, sedangkan semua anak buahnya sudah bersorak-sorak girang. Sementara itu, Min Tek dan dua orang temannya menjadi gelisah sekali. Apa lagi Min Tek yang memang berwatak gagah. Dia tidak takut mati, akan tetapi dia tidak rela kalau melihat wanita itu celaka karena melindungi dia dan teman-temannya!

   "Tai-ong (raja besar, sebutan kepala perampok), jangan bunuh si manis ini, sayang cantiknya!"

   Teriak seorang perampok dengan suara mengejek dan tertawa-tawa.

   "Benar, kalau tai-ong tidak suka, boleh diserahkan kepada kami, ha-ha!"

   Teriak yang lain. Kui Eng tak dapat menahan kemarahannya lagi, apa lagi ketika dia mengerling ke arah Min Tek dan kawan-kawannya dan melihat betapa pemuda itu nampak khawatir sekali, kemarahannya memuncak.

   Tiba-tiba terdengar Min Tek berseru keras.

   "Tai-ong! Kau boleh mengganggu kami, boleh merampas semua barang kami, boleh bunuh kami tiga orang laki-laki. akan tetapi janganlah kauganggu nona itu! Bukan perbuatan laki-laki gagah untuk mengganggudan menghina seorang wanita!"

   Kui Eng merasa terharu sekali mendengar bentakan Min Tek ini. Ternyata bahwa di dalam pemuda itu berusaha menolongnya, mengorbankan diri dengan gagah berani tanpa mengenal takut.

   Tiba-tiba kepala perampok itu berseru dengan heran dan terkejut karena tiba-tiba saja tubuh lawannya lenyap dan pedang lawan berubah menjadi segulung sinar yang berkeredepan menyambar ke arah dada dan mukanya. Dia menjadi bingung sekali dan tahu tahu pipinya terasa perih sekali dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, tangan kiri Kui Eng telah rnenotok pergelangan tangannya hingga goloknya terpental jatuh dan dia terhuyung ke belakang! Ketika ia meraba pipinya, dia mengaduh aduh karena ternyata bahwa pinggir mulutnya keadaan yang berdaya kelemahannya, keadaan dia sendiri terancam keselamatannya, tidak karena dalam masih untuk dan telah terobek pedang sampai ke pipinya. Dalam kecemasannya, Kui Eng telah merobek mulut kepala perampok itu dengan ujung pedangnya!

   Kawanan perampok menjadi marah dan hendak maju mengeroyok, akan tetapi Kui Eng telah melompat di depan ketiga orang pemuda itu dan berdiri dengan gagah sambil melintangkan pedang di depan dada.

   "Siapa sudah bosan hidup, boleh coba maju!"

   Bentaknya.

   Kawanan perampok menjadi ragu-ragu, empat orang yang agak tabah melompat maju berbareng, akan tetapi dengan gerak tipu Hui-pauw-liu-coan (Air Terjun Bertebaran), nampak sinar pedang berkelebatan dan terdengar mereka menjerit sambil melepaskan senjata masing masing karena Kui Eng telah melukai lengan mereka dengan gerakannya yang cepat sekali dan yang tidak dapat mereka lihat datangnya. Perampok-perampok yang lain menjadi terkejut bukan main dan mereka segera mundur sambil memapah kawan-kawan mereka yang terluka.

   Ang Min Tek dan dua orang temannya merasa kagum sekali. Untuk kedua kalinya dara perkasn ini telah menolong nyawa mereka dengan gagah berani. Saking girang dan terharunya, Min Tek lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kui Eng!

   "Telah dua kali siocia menolong kami sehingga kami berhutang nyawa kepadamu. Entah dengan jalan apakah kami dapat membalas budi yang tak terkira besarnya ini?"

   Sambil tersenyum manis Kui Eng yang sudah menyimpan kembali pedangnya, menggunakan kedua tangan untuk memegang kedua pundak Min Tek, dan mengangkatnya bangun sambil berkata.

   "Ah, kongcu, sudah selayaknja bagi manusia untuk saling menolong. Untuk apakah aku belajar ilmu silat kalau aku tidak mempergunakan ilmu kepandaian itu untuk menolong sesama hidup dan menentang kejahatan? Sebaliknya engkau, Ang-kongcu, yang tidak memiliki ilmu kepaudaian silat, namun engkau memiliki ketabahan yang mengagumkan hatiku, bahwa engkau telah berani membelaku. Dalam hal kegagahan, kau tidak kalah oleh pendekar-pendekar yang berilmu silat tinggi!"

   Sambil berkata demikian, sepasang mata yang indah dari dara itu memandang tajam justeru pada saat Min Tek juga menatap wajahnya sehingga dua pasang mata bertemu, melekat sebentar dan membuat wajah kedua orang muda Itu menjadi merah sekali. Kui Eng cepat menundukkan mukanya dengan hati yang berdebar tidak karuan. Harus diakuinya bahwa selama hidupnya belum pernah dia merasai kegembiraan yang demikian besar dan jantungnya juga belum pernah memberontak seperti pada saat itu.

   Karena hari telah menjelang senja, merela lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat karena di luar daerah hutan terdapat sebuah kota di mana mereka dapat bermalam. Kini hubungan di antara mereka menjadi lebih akrab dan Kui Eng tidak merasa sungkan lagi untuk melakukan perjalanan bersama, sungguhpun sambil berjalan mereka itu berdiam diri.

   Setibanya di dalam kota, mereka lalu mencari kamar di rumah penginapan. Kang Coan dan adiknya menyewa sebuah kamar, Min Tek di kamar lain, sedangkan Kui Eng menyewa kamar yang agak jauh dari situ, di sebelah belakang.

   Semenjak memasuki rumah penginapan itu, mereka tidak lagi saling jumpa karena Min Tek dan kawan-kawannya menjaga agar jangan sampai orang luar menyangka yang bukan bukan terhadap diri Kui Eng sebagai seorang gadis baik-baik. Menurut anggapan tiga orang muda yang semenjak kecil digembleng dengan kesusasteraan, kebudayaan dan kesusilaan yang masih kuno menurut kitab-kitab itu, tidak selayaknyalah kalau mereka mendekati Kui Eng di depan umum. Hal ini mereka anggap sebagal perbuatan yang merendahkan nama gadis itu. Memang, pada waktu itu orang-orang yang memperoleh pendidikan kesopanan dari orang-orang tua atau guru-guru kesusasteraan yang amat kukuh, terutama sekali bagi mereka yang masih berdarah bangsawan, masih mempertahankan kesopanan kuno di mana hubungan antara wanita dan pria amat jauh, bahkan merupakan pantangan besar bagi pria dan wanita untuk saling bertemu dan berdekatan!

   Kui Eng sejak kecil dibesarkan di kalangan orang dusun, bahkan dididik ilmu silat. Sungguhpun dia juga belajar membaca dan menulis namun dia tidak dikekang oleh segala macam peraturan tradisi, maka hidupnya lebih bebas dan dia tidak tahu akan semua peraturan itu. Maka sikap Min Tek dan teman-temannya itu menimbulkan rasa geli di dalam hatinya dan dia merasa betapa pemuda itu luar biasa "pemalu"

   Dan canggungnya, dalam hubungannya dengan teman seorang wanita. Akan tetapi, biarpun dia gagah dan jujur, sebagai seorang wanita, tentu saja diapun tidak berani dan malu untuk bersikap mendesak dan mendekati mereka.

   Akan tetapi, justeru hal inilah yang mendatangkan bencana. Kalau saja Min Tek tidak demikian kukuh mempergunakan sopan santun yang berlebihan, yang ditanamkan di dalam dirinya semenjak dia kecil, tentu Kui Eng akan berlaku lebih waspada karena berada lebih dekat dengan dia.

   Kini, dara itu yang juga merasa lelah, berdiam di dalami kamarnya saja dan semalam suntuk itu dia tidur dengan nyenyaknya. Akan tetapi, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali dia menjadi terkejut sekali ketika pintu kamarnya digedor orang dengan keras. Ketika dia membuka daun pintu, ternyata bahwa yang menggedor pintu kamarnya itu adalah Lie Kang Coan dan Lie Kang Po, dua orang sahabat Min Tek itu, dan kedua orang pemuda ini menangis!

   "Eh, ji-wi kongcu, pagi-pagi begini mengetuk pintu sambil menangis, apakah yang telah terjadi?"

   Sambil berkata demikian Kui Eng mencari-cari Min Tek dengan pandang matanya dan ketidak hadiran pemuda itu membuat dia merasa cemas sekali.

   "Dia""..dia diculik orang"".!"

   Akhirnya Kang Coan dapat berkata sambil mengusap air matanya yang mengalir turun di kedua pipinya.

   Bagaikan disambar halilintar, Kui Eng meloncat keluar dari dalam kamarnya lalu berlari menuju ke kamar Min Tek di mana telah berkumpul pengurus hotel dan para tamu lain yang telah mendengar akan nasib pemuda yang diculik orang itu. Melihat seorang gadis cantik jelita dan bersikap gagah datang memasuki kamar, mereka lalu memberi jalan dan Kui Eng segera masuk ke dalam kamar, di mana pengurus hotel sedang memeriksa keadaan dalam kamar. Ketika melihat Kui Eng masuk, dia bertanya.

   "Siocia, apakah siocia sahabat kongcu yang diculik orang ini?"

   Kui Eng hanya mengangguk dan ketika pengurus hotel itu menuding ke arah dinding Kui Eng lalu menengok dan ternyata bahwa di atas dinding yang putih itu terdapat tulisan kasar dengan coretan-coretan buruk yang berbunyi :

   Kalau hendak menyusul pemuda tampan datanglah di tempat kemarin kau menghina orang!

   Kui Eng mengerti bahwa tulisan itu memang ditujukan kepadanya dan tentu telah dilakukan oleh kawan-kawan perampok yang dipimpin oleh Tiat-thouw Koai to kemarin maka dia lalu berkata kepada Kang Coan dan Kang Po yang sudah menyusul ke dalam kamar itu dengan suara tenang.

   "Harap ji-wi jangan terlalu khawatir. Tunggulah saja di sini, aku yang akan menyusul dan menolong Ang-kongcu!"

   Setelah berkata demikian, sambil membawa pedangnya, Kui Eng lalu berlari cepat sekali menuju ke hutan di mana kemarin dia memberi hajaran kepada Tiat-thouw Koai-to dan anak buahnya.

   Semua orang di hotel itu ketika mendengar ucapan Kui Eng dan melihat dara itu berlari pergi dengan cepatnya, beramai-ramai lalu mengajukan pertanyaan kepada dua orang muda sasterawan itu siapa adanya dara yang cantik dan gagah itu. Terpaksa Kang Coan dan adiknya lalu menceritakan pengalaman mereka, betapa dengan amat gagahnya nona itu menolong mereka dari gangguan para perampok. Tentu saja hal ini membuat semua orang merasa kagum bukan main dan sebentar saja nama Kui Eng menjadi bahan percakapan semua orang di kota itu.

   Kui Eng mempergunakan ilmu berlari cepat. Sebentar saja dia sudah keluar kota dan tak lama kemudian dia telah tiba di hutan ing kemarin. Hatinya penuh kekhawatiran dan kemarahan. Dadanya terasa panas ketika dia melihat bahwa tepat seperti yang diduganya, dia melihat Tiat-thouw Koai-to dan kawan-kawannya telah menanti di tempat itu. Akan tetapi dia tahu bahwa Tiat-thouw Koai-to tidak nanti berani bertindak selancang itu kalau tidak ada yang diandalkan, dan yang diandalkan itupun nampak berada di deretan paling depan.

   Di depan rombongan itu Nampak seorang kakek tua yang bertubuh tinggi besar berdiri tegak. Kakek ini sikapnya gagah bukan main, matanya lebar dan usianya tentu sudah lebih dari limapuluh tahun. Biarpun mukanya belum memperlihatkan usia yang sangat tua, akan tetapi anehnya, sepasang alisnya telah berwarna putih seluruhnya, padahal rambutnya masih hitam, belum beruban, demikian pula jenggotnya yang tipis panjang itu masih berwarna hitam.

   Keanehan warna alisnya inilah yang membuat kakek ini dijuluki orang Pek-bi Lojin (Kakek Alis Putih). Pek-bi Lojin bukanlah sembarangan orang. Dia merupakan seorang tokoh persilatan yang terkenal sekali, dan mempunyai murid-murid yang banyak jumlahnya. Tiat-thouw Koai-to adalah seorang di antara murid-muridnya. Kemarin, ketika dilukai pipinya oleh Kui Eng, dengan hati mengandung penasaran dan malu karena merasa terhina Tiat-thouw Koai-to lalu lari ke tempat tinggal suhunya yang letaknya tidak jauh dari situ. Sambil menangis dan memperlihatkan luka pada mukanya, kepala perampok mi menceritakan kepada suhunya betapa dia telah diserang dan dikalahkan secara menghina sekali oleh seorang wanita yang berwatak sombong, ketika dia bersama kawan-kawannya sedang "minta uang jalan"

   Kepada tiga orang sasterawan muda yang lewat di hutan. Memang, bagi Pek-bi Lojin, tidak ada salahnya kalau muridnya menjadi orang-orang yang biasa disebut tokoh-tokoh liok-lim.

   Pada masa itu, keadaan negara sedang kacau, para pembesar bersikap sewenang-wenang dan rakyat kecil amat tertekan hidupnya. Banyak orang-orang yang merasa penasaran dan tidak suka kepada kaisar dan para pembesar, lalu menceburkan diri menjadi perampok. Pek-bi Lojin adalah seorang tua yang gagah dan jujur, maka dia telah memberi peringatan keras kepada semua muridnya yang menjadi anggauta liok-lim agar supaya melakukan perampokan dengan memilih korban dan jangan serampangan saja, dan agar terutama yang dijadikan sasaran adalah para pembesar yang lewat dan para hartawan, dan sama sekali mereka tidak diperbolehkan mengganggu rakyat dusun yang memang sudah tertekan hidupnya.

   Ketika Pek-bi Lojin mendengar bahwa yang hendak dirampok oleh muridnya ini adalah sasterawan-sasterawan yang hendak melakukan ujian di kota raja dan dianggap sebagai keluarga pembesar atau calon-calon pembesar, maka dia tidak menyalahkan muridnya. Dan marahlah hati kakek yang jujur dan keras ini ketika mendengar betapa muridnya terluka hebat dan menderita penghinaan dari seorang wanita muda yang congkak, yang agaknya menjadi pengawal atau bahkan menjadi kekasih tiga orang pemuda sasterawan calon pembesar-pembesar itu.

   Malam hari tadi, dia mempergunakan kepandaiannya mendatangi rumah penginapan dimana Min Tek dan teman-temannya bermalam. Dia menculik pemuda she Ang itu dan sengaja meninggalkan tulisan di dinding untuk menantang Kui Eng

   Setelah berhadapan dengan gerombolan perampok itu, dengan marah Kui Eng lalu mencabut pedangnya yang digunakan untuk menuding ke arah muka Tiat-thouw Koai to sambil membentak.

   "Tiat-thouw Koai-to! Percuma saja kau mau berpura-pura menjadi orang gagah karena perbuatanmu hanya menunjukkan bahwa engkau seorang pengecut besar yang tak tahu malu! Kau hanya berani mengganggu orang orang lemah yang tidak dapat melawan. Hayo kaubebaskan Ang-kongcu dengan baik, kalau tidak jangan kausesalkan apa bila pedangku akan membasmi sampai habis semua penjahat jang berada di sini!"

   "Uwaahhh, gagah benar!"

   Tiba-tiba kakek beralis putih itu berseru, suaranya nyaring dan keras, mengejutkan hati Kui Eng yang cepat membalikkan tubuhnya menghadapi kakek itu.

   "Nona, ketahuilah, yang menculik Ang-kongcu bukan lain orang, akan tetapi adalah aku sendiri. Aku tidak akan mengganggu Ang-kongcu karena maksudku tidak lain hanya hendak mengundang engkau datang ke sini."

   Kui Eng memandang kakek itu dengan sinar mata tajam menyelidiki. Melihat sikap kakek itu, dia dapat menduga bahwa kakek itu tentu bukan orang sembarangan maka dia lalu mengangkat kedua tangan ke dada sambil bertanya.

   "Dengan siapakah aku yang muda berhadapan?"

   "Nona muda yang gagah, dengarlah, aku orang tua yang lemah tiada guna disebut orang Pek-bi Lojin dan Tiat-thouw Koai-to si dungu ini adalah seorang muridku. Nona yang begini gagah mengapa telah berlaku demikian kejamnya melukai muridku secara menghina sekali dan mengapa pula engkau memusuhi golongan liok-lim? Apakah nona begitu merendahkan diri menjadi kaki tangan para pembesar dan ikut pula untuk menindas rakyat jelata? Ataukah nona menganggap diri sendiri paling pandai di kolong langit ini dan hendak menyombongkan kepandaian?"

   Kui Eng adalah seorang pendekar wanita yang baru saja menerjunkan diri di dunia kang-ouw. Tentu saja dia belum pernah mendengar nama Pek-bi Lojin yang terkenal itu. Maka mendengar ucapan itu dia lalu berkata dengan penuh kegemasan hati.

   "Locianpwe! Kalau kepala perampok ini benar-benar adalah muridmu, maka engkaupun ikut pula bertanggung jawab. Kalau saja dia melakukan perampokan dan menggunakan aturan, minta sumbangan sekedar untuk biaya hidup anak buahnya, aku tentu tidak akan berani mengganggu dan bahkan dengan senang hati akan membantunya. Akan tetapi, dia membuka mulut besar, berlaku sewenang-wenang kepada tiga orang pelajar yang lemah, bahkan dia telah berani mengeluarkan ucapan kasar dan kotor untuk menghinaku, orang wanita! Memang aku sengaja merobek mulutnya karena mulutnya itulah yang jahat dan kotor!"

   
Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pek-bi Lojin terkenal mempunyai watak yang keras akan tetapi jujur dan adil sekali. Ketika dia menculik Min Tek dan membawa pemuda itu ke dalam hutan, Min Tek telah menjelaskan kepadanya tentang kejahatan Tiat-thouw Koai-to yang bertindak sewenang-wenang dan menghina orang. Melihat sikap Min Tek yang biarpun lemah lembut akan tetapi gagah berani dan sedikitpun tidak memperlihatkan rasa takut itu, Pek-bi Lojin sudah merasa kagum bukan main dan amat tertarik, akan tetapi ia belum mempercayai penuh kata-kata pemuda itu. Betapapun juga, dia melarang keras muridnya untuk mengganggu Min Tek dan pemuda itu ditahan di dalam sebuah pondok dalam hutan, tidak boleh diganggu. Kini mendengar ucapan Kui Eng yang gagah, Pek-bi Lojin lalu menoleh kepada muridnya dan membentak.

   "Apakah kau masih hendak menyangkal pula??"

   "Teeeu masih belum tahu kesalahan apakah yang telah teecu lakukan. Mohon diberi penjelasan, suhu,"

   Kepala perampok itu membela diri.

   "Hem, hem, bagus sekali, Tiat-thouw Koai-to! Kulihat engkau masih menghormat dan menghargai suhumu!"

   Kata Kui Eng sambil tersenyum penuh ejekan.

   "Kau masih belum mau menerima kesalahanmu? Kau telah memerintahkan aku menanggalkan seluruh pakaian yang menempel di tubuhku baru boleh melanjutkan perjalanan, bukankah itu berarti bahwa engkau telah menghina seorang wanita secara keterlaluan sekali? Kemudian, bukankah mulutmu pula yang mengatakan bahwa kalau aku kalah bertanding, tiga orang pemuda itu akan kaubunuh dan aku harus ikut denganmu selama satu bulan? Dan mulutmu yang kotor pula yang telah memaki aku sebagai kekasih tiga orang pemuda sasterawan yang terhormat itu? Tiat-thouw Koai-to, kalau aku ingat lagi ucapan-ucapanmu yang kotor itu mau rasanya aku menambah sekali tusukan lagi pada mulutmu."

   "Betulkah itu??"

   Pek-bi Lojin membentak muridnya dengan sinar mata berapi-api.

   Tiat-thouw Koai-to kini tidak berani menjawab lagi, hanya menundukkan mukanya dengan hati penuh rasa takut. Dia menyesal mengapa dia mencari perkara dengan mendatangkan suhunya, siapa kira suhunya tidak segera turun tangan bahkan seperti sedang mengadilinya dengan wanita itu menjadi penuntut!

   "Betul atau tidak! Hayo kaujawab!"

   Kakek itu kembali membentak dengan suara menggeledek sehingga tidak saja Tiat-thouw Koai-to menjadi pucat mukanya, bahkan kawan-kawannyapun menjadi pucat mukanya dan kaki mereka menggigil.

   "Teecu mohon ampun, suhu. Ucapan-ucapan itu teecu

   keluarkan karena sedang marah"!"

   "Plakk!!"

   Tangan Pek-bi Lojin menyambar dan tubuh Tiat-thouw Koai-to terlempar jauh dan terbanting lalu bergulingan. Kepala perampok itu merintih dan ternyata bahwa pipi kanannya yang tidak terluka pedang Kui Eng itu telah ditampar dan kini membengkak matang biru, sedangkan dari mulutnya mengucur darah.

   "Sekali lagi kau melakukan perbuatan melalukan dan mencemarkan nama orang yang menjadi gurumu itu, pasti akan kucabut nyawamu!"

   Kakek beralis putih itu berkata penuh geram.

   "Muridmu terkena bujukan seorang penjahat rendah bernama Hek-houw, maka maafkanlah dia locianpwe,"

   Kata Kui Ing yang merasa kasihan juga melihat nasib kepala perampok itu.

   Mendengar ini, kakek itu mengangguk-angguk dan berkata, suaranya penuh penyesalan.

   "Nona, kalau begitu aku sudah melakukan kekeliruan dengan menculik pemuda itu, karena ternyata bahwa engkau bukanlah seorang sebagaimana yang kukira semula. Akan tetapi, betapapun juga, aku si tua bangka ini mempunyai semacam penyakit, yaitu apa bila bertemu dengan orang gagah, tua maupun muda, sebelum mencoba ilmu kepandaiannya, hatiku selalu akan merasa penasaran dan tidak bisa tidur. Oleh karena itu, harap jangan sia-siakan kedatanganmu ini, nona, dan berilah sedikit petunjuk kepada orang tua yang tak tahu diri ini agar puas!"

   "Locianpwe, kalau hanya ingin mengajak pibu, mengapa tidak langsung saja mendatangi aku? Mengapa harus mengganggu seorang pemuda pelajar yang melakukan perjalanannya hendak menempuh ujian di kota raja?"

   Kui Eng mencela dan menegur berani.

   "Ang-kongcu telah menceritakan kepadaku bahwa kau dan tiga orang pemuda itu tidak mempunyai hubungan apa-apa, maka bukan main heran hatiku melihat betapa engkau demikian memperhatikan nasibnya,"

   Kata Pek-bi Lojin sehingga wajah dara itu berubah menjadi merah.

   "Hayo cepat jemput tamu agung kita itu dan persilakan dia datang ke sini i"

   Kakek itu memerintah dan tergopoh-gopoh Tiat-thouw Koai-to sendiri yang terhuyung-huyung memasuki hutan untuk menjemput Ang Min Tek yang ditahan di dalam sebuah pondok.

   Tak lama kemudian muncullah Min Tek diiringkan oleh kepala perampok itu. Melihat betapa pemuda itu tidak menderita sesuatu dan berada dalam keadaan selamat, legalah rasa hati Kui Eng. Min Tek memandang kepada Kui Eng dengan sinar mata mengandung keharuan dan kekaguman. Kembali dara pendekar itu telah menolongnya, bahkan telah berani mendatangi sarang perampok dan mempertaruhkan keselamatan diri sendiri untuk keselamatannya. Tentu saja di depan para perampok itu, Kui Eng tidak sudi memperlihatkan perasaannya terhadap pemuda itu, maka dia hanya memandang sebentar saja kemudian dia menoleh kepada Pek-bi Lojin sambil berkata dengan tenang.

   "Locianpwe, setelah kau membebaskan kembali Ang-kongcu, perkenankanlah kami meninggalkan tempat ini "

   "Eh, eh, nanti dulu, nona. Sudah kukatakan tadi bahwa sebelum mengukur kepandaian seorang gagah yang kebetulan bertemu dengan aku maka aku akan selalu merasa penasaran. Kalau hanya orang gagah biasa saja, akupun malas untuk bermain-main. Akan tetapi engkau adalah seorang wanita muda yang jarang tandingannya, maka amat menarik hatiku untuk mengukur kepandaianmu, nona. Marilah kita main-main sebentar untuk menambah pengalaman, kemudian baru kau boleh pulang bersama Ang-kongcu."

   Kui Eng merasa ragu-ragu karena khawatir kalau kalau ini hanya merupakan tipu muslihat belaka. Akan tetapi tiba-tiba Min Tek sudah berkata dengan suaranya yang nyaring,

   "Locianpwe adalah seorang tua yang gagah sejati, maka pasti akan memegang teguh janjinya."

   Mendengar ini, Pek-bi Lojin tersenyum dan berkata kepada Kui Eng.

   "Nona, mendengar bahwa ilmu pedangmu hebat bukan main. Aku orang tua yang bodoh pernah mempelajari sedikit ilmu golok yang canggung maka ingin sekali aku mencoba ilmu pedangmu yang lihai itu. Marilah, dan jangan kau bersikap seji (sungkan)!"

   Setelah berkata demikian, tangan kanan kakek itu bergerak ke arah punggungnya dan tahu-tahu dia telah mencabut keluar sebatang golok tipis yang ringan dan tajam sekali. Melihat gerakan ini, diam-diam Kui Eng merasa terkejut karena dia maklum bahwa kakek ini memang lihai sekali. Maka dia bersikap hati-hati sekali dan tidak mau menyerang lebih dulu.

   "Silakan, locianpwe,"

   Katanya sambil melintangkan pedangnya di depan dada.

   "Ha-ha-ha, kau terlalu sungkan, nona!"

   Pek-bi Lojin berseru sambil tertawa, kemudian dia melangkah maju dan berteriak "Awas golok!"

   Goloknya berubah menjadi sinar putih yang menyilaukan mata, sinar yang bergulung-gulung menyambar ke arah Kui Eng.

   Ilmu golok dari kakek ini adalah semacam ilmu golok sakti yang berdasarkan Ilmu Lohan-to-hoat (Ilmu Golok Orang Tua Gagah) dari Siauw-lim-pai yang telah dirubah dan ditambah dengan gerakan dan lain-lain cabang persilatan. Gerakan goloknya cepat dan kuat, bagaikan seekor naga sakti, menyambar-nyambar mengeluarkan angin bersiutan dan suara berdesing-desing mengerikan. Memang benar kata ahli-ahli persilatan bahwa golok yang dimainkan oleh tangan seorang ahli, merupakan raja senjata yang berbahaya sekali. Golok yang tipis dan lebar itu setelah dimainkan oleh Pek-bi Lojin, lenyap bentuk goloknya dan berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung yang berkeredepan. Tidak hanya para perampok, akan tetapi bahkan Min Tek yang tidak mengerti ilmu silat, menjadi kagum sekali menyaksikan permainan golok yang selain hebat, juga amat indah dipandang itu. Di dalam hatinnya pemuda ini mulai merasa khawatir akan keselamatan Kui Eng Sanggupkah dara itu menandingi permainan golok sehebat ini?

   Akan tetapi, Kui Eng adalah seorang dara yang berbakat dan yang telah memperoleh gemblengan hebat dari suhunya yang sakti. Permainan pedangnya hebat, ginkangnya sudah mencapai tingkat tinggi. Dia berhati tabah dan tenang, bagaikan seekor naga betina muda yang baru turun dari langit dan semangatnya besar. Biarpun dia maklum bahwa kakek yang menjadi lawannya ini lihai sekali permainan goloknya, namun sedikitpuh dia tidak merasa ngeri atau gentar. Dan menggerakkan pedangnya dengan sama cepatnya dan mengandalkan ginkangnya untuk berkelebat ke sana ke sini dengan loncatan-loncatan yang amat gesit menghindarkan diri dari sambaran sinar golok dan membalas dengan serangan yang sama cepat dan kuatnya.

   Pertandingan itu benar-benar amat hebat dan menyeramkan. Makin lama, perkelahian itu berjalan makin cepat sehingga semua mata yang menyaksikan pertandingan itu akhirnya menjadi berkunang dan kabur karena tubuh kedua orang itu telah lenyap terbungkus gulungan sinar golok dan pedang yang diputar secara luar biasa cepatnya. Diam-diam Tiat-thouw Koai-to bengong terlongong dan mengucap untung karena melihat kehebatan ilmu pedang dara itu, kalau dikehendaki oleh dara itu, kemarin tentu dalam segebrakan saja kepalanya sudah akan berpisah dari tubuhnya.

   Sinar pedang dan golok bergulung-gulung dan saling membelit. Hanya bunyi golok bertemu dengan pedang saja yang kadang-kadang terdengar, amat nyaring disusul bunga api berhamburan, menandakan bahwa di dalam gulungan sinar pedang dan golok itu terdapat dua orang yang sedang mengadu kepandaian, sukarlah bagi para penonton, baik yang telah memiliki kepandaian seperti Tiat thouw Koai-to sekalipun, untuk menentukan siapa di antara kedua orang itu yang lebih unggul dalam perkelahian pibu (mengadu kepandaian silat) itu.

   Hanya dua orang yang sedang bertanding itulah yang maklum bahwa dalam hal kepandaian ilmu silat, ternyata bahwa tingkat Pek-bi Lojin lebih tinggi setingkat dan lebih matang permainan goloknya, akan tetapi kakek itu harus mengakui bahwa dalam hal ilmu meringankan tubuh, gadis itu masih lebih menang! Maka diam-diam hati kakek ini sudah merasa kagum bukan main karena belum pernah selamanya dia bertemu tanding seorang dara semuda ini dengan kepandaian sehebat itu.

   Pek-bi Lojin memperhebat gerakan goloknya sehingga Kui Eng dapat didesaknya mundur dan dara ini melindungi dirinya dengan putaran pedangnya sambil mengandalkan gin-kang untuk menghindarkan diri dari ancaman golok lawan. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan keras. Dia sudah terlalu gembira memperoleh lawan tangguh ini maka dia sengaja hendak mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya. Kini dia mengubah ilmu goloknya dan mainkan Ilmu Golok Tee-tong-to, yaitu permainan golok yang dilakukan sambil bergulingan di atas tanah! Tubuhnya menggelinding ke sana-sini mengejar lawan seperti trenggiling, tubuh itu selalu di dalam lindungan sinar golok dan dari gulingan-gulingan itu kadang-kadang mencuat sinar golok yang panjang untuk menjerang ke arah kaki atau pusar lawan!

   Menghadapi serangan yang cepat dan berbahaya ini, Kui Eng terkejut sekali Terpaksa dia berlompatan tinggi dengan niat membalas serangan dari atas. dengan berjungkir balik seperti burung garuda menghadapi seekor ular. Akan tetapi, Pek bi Lojin benar-benar hebat dan memiliki banyak pengalaman. Dia sudah cepat melompat berdiri sebelum dara itu berjungkir balik dan kini menggunakan goloknya memukul ke arah kaki Kui Eng. Pukulan ini dilakukan dengan golok membalik, jadi dia hanya menyerang dengan punggung golok yang tidak tajam.

   Akan tetapi, dalam keadaan terdesak hebat ini, Kui Eng memperlihatkan ginkangnya yang benar-benar amat mengagumkan. Ketika dulu dia mempelajari ginkang, suhunya menyuruh nya berlompatan di atas ujung bambu-bambu runcing yang dipasang di atas tanah, bahkan setelah kepandaian dara ini menjadi matang suhunya memegang dua batang bambu runcing dan menyuruh Kui Eng melompat ke atas dan berdiri di atas bambu-bambu yang dipegangnya itu sambil melompat lagi dan hinggap lagi, bermain-main di atas ujung kedua bambu runcing yang dipegangnya. Kini, melihat serangan golok lawan ke arah kakinya sedangkan tubuhnya masih melompat di udara, Kui Eng lalu menggunakan ujung kakinya untuk menginjak gagang golok dan sekali dia mengenjot tubuhnya, maka tubuhnya mencelat lagi ke atas dan segera melayang ke tempat yang jauhnya tidak kurang dari lima tombak, turun ke atas tanah dalam keadaan tegak dan sama sekali tidak bergoyang!

   Bukan main kagumnya hati Pek-bi Lojin melihat ginkang hebat ini. Dia menoleh kepada muridnya yang memandang bengong, lalu membentak.

   "Orang macam engkau berani melawan nona pendekar seperti dia?"

   Lalu dia menghampiri Kui Eng setelah menyelipkan goloknya di punggung.

   Kui Eng yang tahu bahwa kakek itu tadi menyerangnya dengan golok dibalik, cepat menyimpan pedangnya dan menjura.

   "Locianpwe sungguh lihai, aku menyerah kalah."

   "Ha-ha-ha, sudah pandai ilmu silatnya, pandai merendahkan diri pula. Nona Kui Eng, ginkangmu sungguh membuat mataku yang tua ini terbuka lebar. Kau benar-benar patut dipuji. Tidak tahu, siapakah nama suhumu yang mulia?"

   Melihat sikap polos dari kakek itu, Kui Eng tidak menyembunyikan nama gurunya.

   "Suhu berjuluk Lui-Sian Lojin dari Kwi-hoa san."

   Tak tersangka-sangka olehnya ketika mendengar jawaban ini, Pek-bi Lojin kelihatan terkejut bukan main dan tiba-tiba saja dia menjura dengan amat hormatnya, bahkan Tiat-thouw Koai-to kelihatan menjatuhkan diri berlutut di depannya!

   "Ah, maaf"".. maaf"".., tidak tahunya lihiap adalah murid dari in-kong (tuan penolong) kami"".."

   Kata Pek-bi Lojin sambil menarik napas panjang, kemudian menoleh kepada Tiat-thouw Koai-to sambil membenak "Hemm, kalau hal ini terdengar oleh in-kong ke mana kita harus menyembunyikan muka kita?"

   "Lihiap, ampunkan saya yang bermata buta dan mohon jangan lihiap menceritakan kekurangajaran saya kepada Lui Sian locianpwe""

   Kata Tiat-thouw Koai-to dengan suara memohon

   Kui Eng menjadi heran sekali melihat sikap mereka.

   "Apakah locianpwe telah mengenal suhu?"tanyanya.

   "Ah, lihiap, harap jangan menyebut saya dengan sebutan locianpwe. Lihiap membuat saya merasa malu saja. Ah, kalau tidak ada guru lihiap, kiranya saat ini sudah tidak ada lagi manusia seperti saya dan murid saya yang dungu itu!"

   Pek-bi Lojin lalu menceritakan betapa dahulu, dia dan muridnya pernah mendapatkan pertolongan Lui Sian Lojin ketika mereka berdua dikeroyok oleh musuh-musuh mereka, yaitu orang-orang dari perkumpulan Hek-san-pang (Perkumpulan Kipas Hitam). Kalau tidak ada Lui Sian Lojin yang datang menolong, tentu Pek-bi Lojin, Tiat-thouw Koai-to dan beberapa orang anak murid kakek itu telah binasa semua oleh para anggauta Hek-san-pang! Setelah mendengar bahwa dara pendekar itu adalah murid Lui Sian Lojin, sikap Tiat-thouw Koai-to berubah sama sekali. Dia sangat menghormat, bahkan setelah menjura dia minta maaf kepada Ang Min Tek, diapun lalu berkata.

   "Ang-kongcu, perjalanan dari sini ke Kota raja masih cukup jauh dan melalui tempat-tempat berbahaya. Oleh karena itu perkenankanlah saya dengan beberapa orang kawan menemani kongcu dan teman-teman sampai di kota raja".

   Tentu saja Ang Min Tek merasa senang sekali dan menghaturkan terima kasihnya. Tiat-Thouw Koai-to lalu mempersiapkan tiga ekor kuda untuk tunggangan Ang Min Tek dan dua orang temannya itu.

   Sementara itu, Kui Eng yang mendengar disebutnya kawanan Hek-san-pang, tertarik sekali dan minta penjelasan lebih lanjut dari Pek-bi Lojin Kakek ini dengan sungguh-sungguh lalu berkata.

   "Lihiap, sebetulnya, ketika menyaksikan kepandaian lihiap tadi sudah timbul niat saya untuk mohon bantuan lihiap, yaitu untuk menemani saya pergi menyerbu ke sarang mereka. Dengan tenaga kita berdua, saya rasa kita akan cukup kuat untuk menghadapi tiga orang ketua dari Hek-san-pang yang kuat itu. Akan tetapi, karena lihiap sedang melakukan perjalanan ke kota raja, tentu saja saya tidak berani menghalangi dan mengganggu maksud perjalanan lihiap."

   Kui Eng memandang kepada Min Tek yang masih berada di situ. Sebetulnya, dia tidak mempunyai kepentingan sesuatu di kota raja, karena kepergiannya ke kota raja sesungguhnya karena hanya ingin melindungi pemuda itu. Kemudian ia lalu menjawab.

   "Aku tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalananku, dan aku dapat pergi ke mana saja kedua kakiku membawa, lo-enghiong."

   Kini dia menyebut kakek itu lo-enghiong (pendekar tua),

   Pandangan mata gadis itu diarahkan kepadanya, Min Tek maklum bahwa gadis itu bermaksud minta persetujuannya, maka dia lalu berkata.

   "Kami bertiga mana berani berbuat keterlaluan dan mengganggu Kui-siocia terus. Setelah ada saudara ini yang demikian baik mengawal, kami sama sekali tidak ingin membikin capai kepada Kui-siocia. Hanya harapan saya, apa bila siocia sekali waktu mengunjungi kota raja, dan ada waktu, hendaknya sudi mampir di pondok paman saya yang buruk,

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Kisah Tiga Naga Sakti (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   yaitu di toko obat Yok-goan-tong. Atas segala bantuan dan budi pertolongan Kui-siocia, kami bertiga sampai matipun tidak akan dapat melupakannya."

   Ang Min Tek menjura dengan penuh hormat kepada Kui Eng yang memandangnya dengan hati terharu. Dia merasa kecewa juga harus berpisah dengan pemuda yang amat menarik hatinya ini, maka jawabnya.

   "Ang-kongcu, tidak ada budi dan terima kasih antara kita. lupakanlah saja hal yang sudah lewat. Siapa tahu, lain kali akulah yang perlu mendapatkan bantuanmu. Apa bila aku pergi ke kota raja, pasti akan kucari toko obat pamanmu itu."

   Kemudian, setelah sekali lagi memandang dengan penuh pernyataan terima kasih kepada dara itu, Min Tek lalu meninggalkan tempat itu sambil naik kuda, dikawal oleh Tiat-thouw Koai-to dan lima orang kawannya sambil menuntun dua ekor kuda untuk Lie Kang Coan dan Lie Kang Po.

   Kui Eng memandang dan mengikuti bayangan pemuda yang menunggang kuda itu sampai lenyap di tikungan jalan. Dia merasa seolah-olah semangatnya terbawa pergi dan merasa betapa sunyinya keadaan sekelilingnya. Akhirnya dia menghela napas panjang dan menoleh kepada kakek itu.

   "Lo-enghiong, apa dan siapakah sebenarnya perkumpulan Hek-san-pang itu?"

   "Mari kita duduk di tempat teduh, di bawah pohon sana dan dengarlah penuturanku, lihiap,"

   Kata kakek itu dan mereka lalu duduk di bawah pohon yang teduh di mana Kui Eng mendengarkan penuturan Pek-bi Lojin.

   Perkumpulan Hek-san pang (Perkumpulan Kipas Hitam) adalah perkumpulan orang-orang golongan sesat yang bersarang di lereng Bukit Ma-kun-san. Perkumpulan ini memang kuat sekali dan terkenal sesat dan jahat. Mereka itu bukan hanya melakukan pekerjaan merampok akan tetapi juga ada bagian yang melakukan pemerasan di dusun dusun, mengancam kepala kepala kampung untuk memberi sumbangan dengan jumlah besar yang telah ditentukan juga mereka tidak segan segan untuk merampas hasil-hasil sawah untuk ransum anak buah mereka.

   Jumlah pengikut mereka cukup banyak kurang lebih ada seratus orang. Hek-san-pang dipimpin oleh tiga orang she Can yang berilmu tinggi, merupakan jagoan-jagoan yang lihai. Yang pertama bernama Can Kok, ke dua Can An dan ke tiga Can Sam. Belasan tahun nng lalu, Hek-san-pang dipimpin oleh seorang hwesio yang menyeleweng, atau lebih tepat dinamakan seorang penjahat yang menyamar sebagai hwesio, berjuluk Lauw Pit Hwesio. Di bawahpimpinan hwesio yang menjadi susiok (paman guru) dari tiga orang saudara Can itu, Hek-san-pang merajalela dan terkenal sebagai pengganggu dusun-dusun di sekitar wilayah mereka.

   Hal ini memuat Pek-bi Lojin menjadi marah dan dia membawa para anak muridnya untuk menyerang ke Bukit Ma-kun-san. Akan tetapi, kekuatan Hek-san pang demikian besar sehingga Pek-bi Lojin dan semua muridnya nyaris terbunuh dalam pertempuran itu kalau saja tidak muncul Lui Sian Lojin yang kebetulan melakukan perjalanan merantau dan tiba di situ. Berkat pertolongan Lui Sian Lojin, maka Lauw Pit Hwesio dapat dibinasakan dan perkumpulan itu diobrak-abrik sehingga menjadi bubar.

   Akan tetapi, diam-diam tiga orang saudara Can yang menjadi murid-murid keponakan dari Lauw Pit Hwesio, telah memperdalam ilmu kepandaian mereka, lalu mengumpulkan semua bekas anak buah Hek-san-pang, kemudian mendirikan lagi perkumpulan yang telah hancur itu dan bersarang di lereng Bukit Ma kun-san. Kedudukan mereka kini bahkan jauh lebih kuat dari pada dahulu.

   Pek-bi Lojin yang menentang mereka karena penindasan mereka terhadap rakyat di dusun-dusun, beberapa kali mencoba untuk menyerbu. Akan tetapi dia dan para muridnya selalu terpukul mundur, bahkan banyak anak muridnya yang tewas dalam penyerbuan itu. Oleh karena ini, tumbuhlah permusuhan yang mendalam antara Pek-bi Lojin dan perkumpulan Hek-san-pang itu.

   "Beberapa hari yang lalu,"

   Demikian Pek-bi Lojin melanjutkan ceritanya.

   "secara kurang ajar sekali mereka telah mengirim surat tantangan kepadaku, tantangan untuk mengadu kepandaian secara jujur untuk menentukan siapa di antara kami yang lebih kuat."

   Dia lalu mengeluarkan sehelai kertas yang berisi surat tantangan itu kepada Kui Eng. Dara ini membaca surat itu dan ternyata surat yang menantang kepada Pek-bi Lojin untuk diajak pibu itu ditandatangani oleh Can Kok, Can An dan Can Sam sebagai tiga orang ketua dari Perkumpulan Kipas Hitam.

   "Saya masih merasa ragu-ragu, lihiap, oleh karena terus terang saja, apabila menghadapi mereka bertiga seorang diri saja, agaknya saya akan sukar memperoleh kemenangan. Kalau melawan mereka seorang demi seorang, saya tidak akan kalah, akan tetapi mereka itu curang sekali dan saya masih merasa bingung bagaimana saya harus menyambut tantangan mereka itu. Kebetulan sekali saya bertemu dengan lihiap, maka kalau lihiap sudi menolong dan kita maju berdua, saya kira kita tidak akan dapat mereka kalahkan. Tentu saja saya tidak berani memaksa, lihiap, dan terserah kepada lihiap untuk mengambil keputusan."

   Selama melakukan perjalanan, pernah sekali Kui Eng mendengar nama Hek-san-pang disebut-sebut orang dengan penuh rasa takut dan benci. Karena itulah maka tadi ketika mendengar nama ini, dia merasa tertarik. Kini, mendengar penuturan Pek-bi Lojin, dia tidak berani secara lancang dan ceroboh untuk menyanggupi begitu saja, oleh karena dia belum yakin betul akan keadaan dan kejahatan perkumpulan itu seperti yang diceritakan oleh Pek-bi Lojin Orang yang membenci tentu saja akan menceritakan hal-hal yang amat buruk saja dari mereka yang dibencinya. Biarpun Pek-bi Lojin mempunyai watak yang gagah dan jujur, namun orang tua ini berdekatan dengan perampok-perampok, bahkan muridnya juga menjadi kepala perampok. Maka apabila permusuhan antara kakek ini dan Hek-san-pang merupakan permusuhan pribadi, permusuhan antara sama-sama golongan hitam, dia tidak akan campur tangan. Sebaliknya kalau memang benar Perkumpulan Kipas Hitam adalah segerombolan orang-orang jahat yang suka mengganggu rakyat, tentu dia akan siap untuk menentang mereka.

   

Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini