Ceritasilat Novel Online

Maling Budiman Pedang Perak 3


Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



Kini riuh rendahlah sambutan penonton! Ketiga saudara Ban itu bertambah marah dan bersamaan dengan itu mereka mencabut pedang mereka.

   "Bangsat rendah! Kalau hari ini kami tidak dapat membunuh kau, jangan panggil kami Seng-koan Sam-eng lagi!"

   Teriak Ban Kok.

   "Baik! Mulai hari ini kalian akan kusebut Seng-koan Sam-ti (Tiga Babi dari Sengkoan)."

   Tentu saja hinaan ini menimbulkan suara tertawaan dari penonton. Mendengar hinaan ini ketiga saudara Ban itu makin bertambah marah. Pedang mereka bergerak seperti kilat menyambar ke arah tubuh Tan Hong. Dalam kemarahannya itu, ketiga orang ini lupa akan kesopanan berpibu. Seharusnya mereka tidak boleh menyerang lawan yang belum mengeluarkan senjata, akan tetapi oleh karena mereka sedang marah dan juga oleh karena mereka maklum bahwa Tan Hong adalah seorang lawan yang tangguh, maka mereka sengaja mendahuluinya tanpa mengenal malu!

   Melihat kenekatan mereka ini, timbul marah dalam hati Tan Hong.

   "Baik, kalian mencari celaka sendiri!"

   Tiba-tiba terlihat sinar berkilauan ketika pemuda itu tahu-tahu telah memegang sebatang pedang berwarna putih seluruhnya dan sekali putar saja pedangnya, maka ketiga senjata musuhnya dapat ditangkis semua.

   "Kau ... kau Gin-kiam Gi-to?"

   Ujar Ban Kok setelah ia melihat pedang ini.

   "Matamu awas juga, orang she Ban!"

   Jawab Tan Hong sambil memutar pedangnya balas menyerang. Mendengar nama ini ketiga Seng-koan Sam-eng tiba-tiba menjadi sangat gentar, maka permainan pedang mereka menjadi kacau-balau. Apalagi ketika Tan Hong mengubah gerakan pedangnya yang semula hanya mempertahankan diri saja, kini menjadi ganas menyerang dengan tipu-tipu berbahaya, ketiga pengeroyok itu menjadi terdesak dan terkurung oleh sinar pedang Tan Hong.

   Pada saat yang tepat, Tan Hong berseru keras.

   "Lepaskan pedangmu!"

   Dan terdengar jerit kesakitan dari ketiga orang pengeroyok ini, disusul dengan terlepasnya pedang mereka dari tangan masing-masing. Lengan kanan mereka telah terluka oleh guratan pedang yang memanjang dari siku sampai ke tangan. Luka ini biarpun tidak berbahaya, namun karena telah mengiris kulit, darah keluar banyak juga.

   "Seng-koan Sam-eng, biarlah ini menjadi pelajaran bagi kalian bertiga! Lain kali kalau kau bertiga masih menggunakan kepandaian untuk melakukan pemerasan dan korupsi berkedok sebagai panitia, akan kutujukan pedangku ini ke arah lehermu!"

   Setelah memberi peringatan ini kepada ketiga jagoan yang kini telah mati kutunya itu, Tan Hong lalu menghadapi para hartawan yang duduk dengan mata terbelalak heran dan tercengang itu, ia lalu menujukan kata-katanya kepada semua penonton.

   "Cu-wi sekalian! Daerahmu ini sedang terserang bahaya banjir hingga timbul bahaya kelaparan di kalangan penduduk miskin. Sudah sepatutnyalah apabila saudarasaudara sekalian mengulurkan tangan membantu meringankan beban penderitaan mereka. Saudara sekalian harus sadar dan ingat sekalian gandum dan beras yang tiap hari memasuki perut kita dan membuat tetap tinggal hidup, adalah hasil jerih payah dan tetesan peluh para kaum tani yang justeru pada waktu ini menjadi korban banjir! Bayangkan saja, kita di sini makan enak sekenyang-kenyangnya dan gandum serta beras kita bertumpuk-tumpuk di gudang sampai membusuk, sedangkan mereka yang dulu menanam dan menghasilkan semua gandum dan beras itu, kini menderita kelaparan! Apakah ini adil? Memang kalian berhak atas segala bahan makanan itu yang telah kalian beli, akan tetapi ingatlah lagi, andaikata kaum tani itu semua mati kelaparan karena tak makan, hingga tak ada seorang jua yang akan mengerjakan sawah ladang, apakah yang harus kita lakukan kelak? Apakah saudara sekalian terutama para hartawan, bisa mengerjakan sawah ladang itu? Maka, pergunakanlah kesempatan ini untuk membalas jasa para petani. Ayoh, siapa yang hendak menyumbang lagi?"

   Orang-orang menyambut ucapan ini dengan riuh gembira dan banyak lagi lainnya yang menyumbang dengan suka rela. Maka Tan Hong lalu mengumpulkan semua sumbangan itu, dan setelah semua dikumpulkan, maka jumlah gandum yang sudah terkumpul menjadi tiga ribu karung lebih! Semua bahan makanan dan uang yang ada lalu diangkut dengan gerobak yang ada di kota itu dan yang sengaja dikerahkan untuk pengangkutan istimewa ini.

   Maka berangkatlah gerobak-gerobak itu menuju ke daerah banjir, diikuti oleh Tan Hong dan orang-orang yang menaruh minat, yang kebanyakan terdiri dari mereka yang telah menyumbang. Juga Seng-koan Sam-eng dengan lengan terbalut ikut pula mengantar.

   Para korban banjir yang tinggal berkelompok-kelompok dalam gubuk-gubuk kecil di pinggir sawah, menerima kedatangan para penolong ini dengan sangat girangnya. Gandum lalu dibagi rata dan semua penderita banjir menerima sumbangan gandum dan uang. Orangorang menjadi terharu ketika melihat betapa wajah para korban banjir itu menerima sumbangan ini dengan air mata berlinang, karena bahan makanan yang mereka terima hari ini benar-benar merupakan penyambung nyawa keluarga mereka, dan mereka menjadi sangat heran, karena sumbangan yang diberikan pada mereka yang menderita dengan suka rela, tanpa minta syarat seperti yang biasa berlaku dari si kaya pada mereka! Akhirnya para korban banjir mengetahui ketika mendengar bahwa semua ini adalah berkat sepak terjang Gin-kiam Gi-to. Kemudian bersama-sama mereka lalu maju berlutut di depan Tan Hong!

   Akan tetapi Tan Hong tidak mau menerima kehormatan ini, bahkan ia lalu berkata.

   "Saudara-saudara sekalian! Jangan berterima kasih kepadaku, karena aku tidak memberi apa-apa kepada kalian. Berterima kasihlah kepada para dermawan dari Seng-koan, dan juga kepada Seng-koan Sam-eng, karena semenjak hari ini ketiga orang ini akan benar-benar menolong saudara sekalian dengan jujur dan adil!"

   Mendengar ucapan pemuda yang tahu membawa diri ini, semua orang dari Seng-koan menjadi terharu, bahkan Seng-koan Sam-eng sendiri merasa seakan-akan muka mereka mendapat tamparan hebat dan mereka lalu insyaf akan kekeliruan mereka yang sudah-sudah. Mereka telah menyombongkan diri sebagai jagoan-jagoan yang tak terkalahkan, sama sekali tidak ingat bahwa di dunia ini tidak ada orang yang terpandai dan segala kepandaian pasti ada yang melebihi. Maka diam-diam mereka berjanji dalam hati hendak merobah tabiat mereka.

   Pembagian gandum dan uang itu berlangsung sehari penuh, karena daerah yang dilanda banjir itu banyak jumlahnya. Setelah semua tempat dikelilingi dan gandum serta uang telah habis dibagikan sama sekali, Tan Hong lalu berkata kepada semua orang.

   "Saudara sekalian. Sekarang, setelah kalian melihat sendiri cara pembagian yang adil, jujur dan tanpa syarat, saya percaya bahwa lain kali Panitia Penolong Korban Banjir akan dapat bekerja lebih aktif dan jujur. Apabila terdapat kecurangan-kecurangan, aku akan kembali dan akan memberi pelajaran kepada mereka yang bersalah itu! Akan tetapi aku percaya penuh kepada Seng-koan Sam-eng yang tentu akan menjaga jangan sampai terjadi kembali hal demikian, bukan?"

   "Kami akan menjaga, taihiap!"

   Kata Ban Kok dengan terharu.

   Setelah itu, Tan Hong lalu meninggalkan Seng-koan, diikuti oleh pandangan mata kagum dari seluruh penduduk.

   ***

   Ketika Tan Hong yang melanjutkan perjalanannya memasuki sebuah rimba belantara, ia berjalan perlahan sambil termenung. Bayangan nona Lo Siok Lan yang selama ini tak pernah meninggalkan bayangan matanya, kini sangat mempengaruhi otaknya, setelah ia merasa kesunyian seorang diri di dalam hutan yang luas itu. Bahkan kini perasaannya seolah-olah ia melihat wajah Siok Lan yang sebenarnya muncul di mana-mana, di tempat-tempat mana yang dilaluinya. Tiba-tiba saja wajah yang jelita dan gagah itu terbayang di sela-sela daun-daun hijau dan di antara kembang-kembang merah.

   "Ah, aku sudah menjadi gila!"

   Tan Hong mengoceh pada dirinya di bawah sebatang pohon untuk beristirahat. Akan tetapi, makin celaka, setelah ia berhenti dan duduk, bayangan Siok Lan makin jelas kelihatan dan makin bertambah hebat menggoda pikirannya! Ia lalu melompat bangun dari duduknya dan melanjutkan perjalanannya.

   Tiba-tiba kedua matanya terbelalak, hatinya berdebar kegirangan dan penuh harapan ketika ia menujukan pandangan matanya ke arah gerombolan pohon. Di situ muncul tubuh seorang wanita dengan pedang di tangan. Sesaat lamanya, wajah wanita itu dalam pandangan Tan Hong kelihatan seperti wajah Siok Lan itu berubah menjadi wajah seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih yang sedang berduka, pada wajahnya yang muram itu dapat diterka bahwa ia dalam kesusahan.

   Akan tetapi, ketika wanita itu melihat Tan Hong, wajahnya berubah menjadi bengis dan sekali melompat saja ia telah berada di depan Tan Hong terus membentak.

   "Sobat, berhenti dulu!"

   Tan Hong jadi terperanjat dan melihat gerakan wanita ini, menunjukkan bahwa ia memiliki kepandaian yang cukup baik. Ia memandang wanita itu dengan rasa kagum dan lalu bertanya.

   "Apakah perlunya Toanio menahan perjalananku?"

   Wanita itu memandang ke arah pakaian Tan Hong dan ketika melihat bahwa Tan Hong tidak berbekal bungkusan pakaian atau barang lain, jelas nampak perubahan pada mukanya yang menjadikan ia kecewa. Kemudian setelah ia melihat gagang pedang dari perak yang tersembul keluar di belakang punggung Tan Hong, maka ia lalu berkata.

   "Anak muda, kalau kau ingin melanjutkan perjalananmu denga selamat, serahkanlah pedangmu itu kepadaku!"

   "Eh, mengapa begitu? Pedang ini adalah senjata untuk melindungi diriku apabila aku diserang oleh binatang buas di dalam hutan. Kalau pedang ini kau minta, dengan apakah aku dapat melindungi diri lagi?"

   Mendengar jawaban ini, wanita itu memandang Tan Hong dengan tajam.

   "Kalau kau perlu memakai senjata juga, pakailah pedangku ini, dan sebagai gantinya pedangmu itu harus kauberikan kepadaku, (Lanjut ke Jilid 03)

   Maling Budiman Berpedang Perak/Gian Kiam Gi To (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   mengerti!"

   Tan Hong memandang pedang wanita itu, ternyata pedang itu adalah pedang yang telah berkarat dan buruk sekali, agaknya seringkali digunakan untuk membelah kayu! Tanpa disadarinya Tan Hong tertawa geli.

   "Eh, eh, Toanio kau ini sedang main-main atau benar-benar hendak merampok?"

   "Jangan banyak bicara!"

   Hardiknya.

   "Kauserahkan pedang itu atau tidak!"

   Sambil berkata demikian, wanita itu mengancam dengan ujung pedangnya yang telah tumpul itu!

   "Bagaimanakah kiranya, jika aku tak mau memberikannya?"

   "Akan kupaksa!"

   Kata wanita, lalu maju menyerang dengan pedang tumpulnya. Akan tetapi serangan ini membuat Tan Hong hampir berseru terkejut karena pedang yang telah tumpul ini dengan tepat sekali menyerang ke arah jalan darahnya! Ah, tak disangkanya bahwa wanita ini adalah ahli tiam-hwat (ilmu menotok jalan darah) maka, ia segera mengelak dengan cepat. Serangan kedua dan ketiga menyusul cepat dan semua serangan tertuju ke arah jalan darah yang berbahaya.

   "Hebat benar!"

   Tan Hong memuji dan iapun segera mencabut pedangnya untuk mempertahankan diri karena ternyata wanita ini betul-betul tangguh. Segera mereka bertempur dengan seru. Tan Hong bersilat dengan hati-hati dan penuh cermat. Ia kagum juga melihat ilmu pedang wanita ini benar-benar hebat, lebih tinggi daripada ilmu kepandaian Seng-koan Sam-eng! Maka ia melawan dengan hati-hati dan waspada. Ia masih belum dapat menduga mengapa wanita ini ingin sekali memiliki pedangnya. Sebaliknya, ketika ia melihat bahwa pemuda ini bukan makanan empuk, wanita ini kelihatannya sangat kesal dan menyerang kembali dengan nekad. Seakan-akan ia seorang yang telah terlanjur berbuat suatu kesalahan yang tak mungkin dapat dimaafkan lagi!

   Melihat kenekatan wanita ini, Tan Hong lalu memperlihatkan kepandaiannya, berkelahi dengan menggunakan ilmu pedang Ngo-heng Lian-hoan Kiam-hwat yang memiliki gerakan luar biasa. Sebentar saja wanita ini sudah sangat terdesak oleh serangan Tan Hong yang bertubi-tubi itu, hingga akhirnya pedang tumpulnya itu terlempar jauh lepas dari genggamannya. Baiknya tubuh wanita ini tidak cedera atau luka oleh pedang Tan Hong.

   Anehnya, setelah menderita kekalahan, wanita itu tiba-tiba menjatuhkan diri duduk di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu.

   Tan Hong mengerutkan alisnya dan menyimpan pedangnya.

   "Toanio, kau sangat aneh. Kepandaian dan kiam-hoat (ilmu pedang) mu cukup tinggi, akan tetapi mengapa kau ingin merampas pedangku? Apakah kau suka kepada pedangku ini?"

   Mendengar suara Tan Hong yang sopan dan lemah lembut, wanita ini mengangkat mukanya lalu memandang.

   "Eng-hiong, aku ... aku tadi memang sengaja hendak merampas pedangmu.

   "

   "Mengapa demikian?"

   Wanita itu menggelengkan kepalanya.

   "Bukan karena aku suka pedang orang lain, tetapi aku tertarik karena yang kau miliki pedang yang berharga yang mana gagangnya terbuat daripada perak!"

   Tan Hong tercengang dan ia memandang penuh perhatian. Ternyata pakaian wanita itu compang-camping dan penuh tambalan, menandakan bahwa ia seorang miskin, sedangkan wajahnya yang kurus pucat menandakan pula bahwa wanita ini tentu terkena penyakit kelaparan! Tiba-tiba, Tan Hong merasa terharu.

   "Toanio ... kau hanya ingin mendapat sedikit perak ini? Sampai demikian besar minat kau untuk memiliki perak?"

   Pertanyaan ini dikeluarkan dengan perlahan dan ragu-ragu.

   Wajah wanita itu memerah karena malu.

   "Bukan untukku sendiri taihiap, sungguh mati, bukan untukku sendiri, tapi untuk anak-anakku!"

   Tan Hong makin tertarik dan kasihan. Melihat pandangan pemuda itu, wanita tadi lalu menuturkan keadaannya dengan suara pilu.

   "Aku adalah seorang janda she Yo dan ditinggal mati suamiku dengan tiga orang anak masih kecil-kecil. Rumah dan sawah kami habis dilanda air bah. Tidak ada orang yang suka menolong kami, karena mereka yang merasa kasihan kepada kami itu adalah para pengungsi yang senasib dengan kami, sedangkan untuk mengisi perut mereka sendiripun mereka tak mampu. Sebaliknya para kaum mampu, hanya mau menolong kami dengan syarat-syarat kejinya!"

   Tan Hong mengangguk-angguk mengerti.

   "Apakah yang bisa dilakukan oleh seorang janda seperti aku? Justeru karena anakanakku menderita kelaparan dan aku tidak bisa mencarikan makannya dengan cara yang wajar, maka terpaksalah aku mencoba merampok. Akan tetapi dasar nasibku malang dan nasib anak-anakku yang harus mati kelaparan, karena pertama-tama aku mencoba merampok, aku langsung berhadapan dengan kau, dengan orang yang jauh lebih tinggi ilmu silatnya dariku dan yang memiliki pedang perak ajaib, dengan gampang mengalahkanku! Taihiap, bunuh sajalah aku agar tamat riwayatku yang penuh derita ini. Aku tidak sanggup pulang ke rumah dengan tangan kosong dan melihat anak-anakku mati kelaparan!"

   Nyonya janda Yo itu lalu menangis terisak-isak.

   Tan Hong menghela napas dalam-dalam. Lagi-lagi seorang korban bencana banjir! Tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik. Nyonya ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, apa sukarnya mencarikan pekerjaan untuknya?

   "Toanio, jangan kau bersedih. Selama nyawa masih dikandung badan, tak boleh sekali-kali kita berputus asa. Aku mempunyai kenalan baik di kota Seng-koan, marilah kau dan anak-anakmu kuantarkan ke sana agar kau dapat tertolong."

   Nyonya Yo hendak berlutut menghaturkan terima kasih, akan tetapi Tan Hong segera mencegahnya. Kemudian ia lalu ikut nyonya Yo mengambil ketiga orang anaknya yang kecilkecil dan kurus kering itu, lalu diantarkannya nyonya itu ke Seng-koan. Di kota ini Tan Hong menyerahkan nyonya Yo bersama ketiga orang anaknya kepada Panitia yang dipimpin oleh Seng-koan Sam-eng, dan setelah menuturkan keadaan nyonya janda itu serta menyatakan bahwa kepandaian silat nyonya ini cukup tinggi, akhirnya nyonya Yo diperbantukan kepada Panitia itu dan mendapat jaminan hidup yang lumayan.

   Seselesainya pemuda yang menolong jiwanya dan ketiga orang anaknya menyerahkan kepada panitia korban banjir itu di Seng-koan ia segera berlalu meninggalkan kota itu untuk melanjutkan perjalanannya.

   ***

   Tan Hong teringat akan janjinya kepada To Tek Hosiang, tokoh persilatan Houw-sanpai yang pernah dikalahkannya dulu dan yang menantangnya agar ia suka datang berpibu di kelentengnya, yakni kuil Kim-ci-tang di kota Wi-ciu. Kebetulan sekali hari itu adalah tepat pada hari perjanjiannya, maka ia lalu cepat-cepat menuju ke kota Wi-ciu.

   Di dalam hati Tan Hong tidak suka sekali-kali mencari permusuhan dengan orangorang dari dunia kang-ouw, akan tetapi sebagai seorang ksatria, ia harus memegang teguh jamjinya. Ia maklum bahwa To Tek Hosiang masih belum mau mengalah, maka sebagai seorang pemuda yang menghargai orang tua, apalagi orang tua itu adalah seorang hwesio dan tokoh ternama di dunia persilatan, ia harus datang memenuhi janjinya. Ia dapat menduga pula bahwa kali ini hwesio itu tentu berusaha hendak menebus kekalahannya yang dulu, akan tetapi Tan Hong tidak perduli. Pemuda yatim piatu yang hidup seorang diri di dunia ini memang tidak khawatir akan dirinya terhadap segala macam bahaya yang bakal menimpa dirinya.

   Kelenteng Kim-ci-tang adalah sebuah kelenteng yang besar dan mempunyai ruangan yang amat luas. Kebetulan sekali ketika Tan Hong tiba di kuil tersebut, hari itu banyak sekali tamu-tamu memenuhi ruang depan kelenteng dan para hwesio penyambut para tamu sibuk menyediakan segala macam keperluan sembahyang. Kepenuhan kelenteng ini ada hubungannya dengan bencana banjir yang mengamuk di mana-mana hingga orang-orang pada datang minta berkah dan bersembahyang di kelenteng itu. Orang-orang hartawan bersembahyang untuk minta perlindungan bagi keselamatan sekeluarganya. Ada pula yang minta supaya sanak keluarganya yang tinggal di daerah banjir mendapat perlindungan, dan banyak pula yang lainnya hanya datang umtuk minta jodoh, minta peruntungan baik dan sebagainya. Memang, di manapun juga, selalu dunia ini penuh dengan kebutuhan dan permintaan manusia yang tak ada batasnya dan tak pula puas-puasnya!

   Melihat banyaknya para tamu yang datang, Tan Hong menjadi ragu-ragu. Ia merasa kurang baik kalau mengganggu ketenteraman mereka itu dengan maksudnya mengadu kepandaian, karena hal ini akan mendatangkan sangkaan, bahwa ia sengaja datang hendak mangacaukan suasana yang aman tenteram itu. Apakah To Tek Hosiang sudah lupa akan janjinya? Diam-diam ia merasa girang juga, karena iapun tidak ada nafsu untuk bertempur memperbesar rasa permusuhan.

   Tan Hong lalu mengikuti orang-orang yang bersembahyang dan agar jangan menimbulkan curiga pada para hwesio penyambut tamu, iapun membeli hiosoa (dupa) dan bersembahyang pula, sungguhpun ia menyalakan hiosoa dan mengangkat-angkatnya itu hanya sekedar memberi hormat belaka.

   Akan tetapi, setelah ia selesai bersembahyang dan keluar dari ruang sembahyang, tiba-tiba saja To Tek Hosiang telah berdiri di depannya dan berkata.

   "Ha, Gin-kiam Gi-to, ternyata kau benar-benar menepati janji!"

   Tan Hong segera mengangkat tangannya sambil tersenyum.

   "Losuhu, apakah selama ini kau baik-baik saja? Kukira kau telah lupa akan janji kita."

   Berubah air muka To Tek Hosiang mendengar hal ini.

   "Tan-sicu (tuan she Tan yang gagah), seorang laki-laki, sekali mengeluarkan janji, selamanya takkan lupa. Sayang sekali hari ini tak kusangka-sangka tamu datang begini banyak, maka terpaksa pinceng tak dapat melayanimu. Kalau kau tidak berkeberatan, harap kau datang nanti malam dan pinceng tentu telah bersedia untuk menyambut dan melayanimu."

   Tan Hong tertawa.

   "Losuhu, benar-benarkah kau masih berhati muda dan masih suka berkelahi? Baiklah, aku hanya memenuhi keinginanmu saja."

   Tiba-tiba pemuda ini tak mau berbicara lagi, karena ia melihat bahwa di situ ada beberapa orang yang memandang ke arah mereka dengan tajam. To Tek Hosiang lalu menjura memberi hormat kepada Tan Hong dan berkata.

   "Sahabatku yang baik. Pinceng menanti kedatanganmu nanti malam."

   Setelah berkata demikian, To Tek Hosiang lalu mengundurkan diri ke ruang dalam, sedangkan Tan Hong-pun lalu menuju keluar. Tiba-tiba pemuda itu menyelinap di antara para pengunjung dan menyembunyikan dirinya di belakang tubuh orang-orang lain, karena pada saat itu ia melihat dua orang pengunjung yang membuat hatinya berdebar-debar. Mereka ini tidak lain ialah Siok Lan dan ayahnya! Tan Hong merasa heran kepada dirinya sendiri, mengapa ketika ia melihat nona itu beserta ayahnya, hatinya secara mendadak menjadi berdebar-debar dan ia menjadi malu, hingga tak berani memperlihatkan mukanya! Ia berbuat begitu, karena ia sadar bahwa pakaiannya sangat buruk dan memalukan, maka secara diam-diam ia mengintai dan memandang ke arah Siok Lan dengan mata berseri dari jauh. Alangkah cantiknya gadis itu, hingga ia serasa melihat seorang bidadari yang baru saja turun dari kahyangan. Ketika ia mengetahui betapa banyak mata laki-laki lain, pengunjung kuil itu, juga tertuju kepada Siok Lan dengan kagumnya, timbullah rasa kurang senang di hatinya!

   "Haaa, apakah aku sudah gila?"

   Bisiknya dalam hati dan ketika ia melihat Siok Lan dan ayahnya masuk ke ruang sembahyang, ia lalu melangkah keluar. Akan tetapi, ketika ia hendak meninggalkan kelenteng itu, kakinya terasa amat berat. Sebetulnya hatinyalah yang terasa berat, berat untuk meninggalkan gadis itu. Kemudian diam-diam Tan Hong lalu bersembunyi di belakang sebatang pohon yang tumbuh di kelenteng itu, pura-pura beristirahat dan duduk menyandar pada sebatang pohon. Tetapi sebenarnya ia memperhatikan pintu kelenteng dengan penuh perhatian, melihat kalau-kalau Siok Lan dan ayahnya keluar dari situ.

   Sejurus lamanya ia menanti dengan sabar, dan akhirnya ia melihat nona itu keluar dari pintu kelenteng sambil berbisik-bisik dengan ayahnya, entah apa yang sedang dibicarakannya. Mereka berdua keluar dari kelenteng dan terus berjalan menuju ke utara, Tan Hong diamdiam mengikuti mereka dari belakang untuk mengetahui ke mana kedua orang itu hendak pergi. Ternyata bahwa Siok Lan dan ayahnya tinggal di sebuah rumah penginapan yang tak jauh dari kelenteng itu. Tan Hong benar-benar seperti orang yang tidak waras otaknya. Sehari itu, ia berdiri saja di satu tempat yang tak jauh dari rumah penginapan itu dan memandang ke arah hotel dengan penuh harap melihat gadis itu kalau-kalau keluar. Akan tetapi ia kecewa, karena Siok Lan dan ayahnya Lo Cin Ki si Garuda Sakti, sampai sore tidak muncul-muncul keluar dari hotel itu.

   Tan Hong terpaksa meninggalkan tempat itu, karena ia harus pergi ke kelenteng Kimci-teng untuk memenuhi janjinya dengan To Tek Hosiang. Ia mengambil keputusan, apabila malam nanti urusannya dengan To Tek Hosiang telah beres, ia akan mengunjungi susioknya itu.

   Hari telah mulai gelap dan ketika Tan Hong meninggalkan tempat itu hendak menuju ke kelenteng, tiba-tiba dari atas pohon di mana ia tadi berdiri terdengar suara laki-laki yang parau menegur.

   "Sahabat, berhenti dulu!"

   Tan Hong terkejut dan bersiap sedia. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa di atas pohon itu ada orang. Orang itu melompat turun dan ternyata yang melompat turun dari atas pohon itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Biarpun tubuhnya tinggi besar dan gerakannya lamban, akan tetapi sepasang matanya membayangkan kecerdikan dan ketika ia melompat turun tadi, Tan Hong dapat menduga bahwa orang itu memiliki kepandaian tinggi.

   Tan Hong berhenti dan menghadapi orang tinggi besar itu.

   "Sahabat, bukankah kau Gin-kiam Gi-to?"

   Tegur si muka hitam itu.

   Tan Hong tercengang mendengar pertanyaan ini, akan tetapi ia tidak mau menyangkal.

   "Bagaimana kau bisa tahu?"

   Tanya Tan Hong.

   Si muka hitam tertawa dan ketika ia tertawa, maka mukanya yang hitam itu nampak menarik dan gagah.

   "Mudah saja. Kau mempunyai gerakan yang menyatakan bahwa kau pandai ilmu silat, sedangkan pedang yang berada di punggungmu itu bergagang perak. Pakaianmu juga serba hitam seperti biasanya pakaian seorang ya-heng-jin (orang pejalan malam). Siapa lagi selain seorang pencuri berilmu tinggi yang memiliki pedang perak yang bernama Gin-kiam Gi-to?"

   Tan Hong merasa kagum juga akan kejituan orang ini, maka ia lalu berseru.

   "Ah, kau benar-benar orang luar biasa, kawan. Apakah kau ini seorang penyelidik atau penjaga keamanan?"

   Pertanyaan ini diucapkannya dengan tenang, menandakan bahwa ia sama sekali tidak takut.

   "Bukan! Aku hanya merasa heran sekali, mengapa Gin-kiam Gi-to yang namanya tersohor sebagai seorang gagah, ternyata kini diam-diam mengintai seorang gadis cantik seperti lakunya seorang bangsat rendah! Ayoh kau ikut aku pergi kepada gadis itu untuk minta maaf!"

   Merahlah muka Tan Hong mendengar celaan ini. Ia harus datang kepada Siok Lan untuk minta maaf?

   "Kau ngigau! Siapa sudi menuruti permintaanmu yang bukan-bukan itu?"

   Si muka hitam tertawa lagi dan tiba-tiba ia mencabut pedangnya.

   "Jangan kau banyak tingkah! Orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi aku Hek-bin-mo (Setan Muka Hitam) Ong Kai tidak nanti takut kepadamu! Apakah kau harus ikut aku pergi menemui gadis itu atau pedangku akan bicara?"

   "Sudahlah, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk bertengkar dengan segala iblis muka hitam!"

   Kata Tan Hong, lalu ia membalikkan tubuhnya dan lari cepat. Akan tetapi Ong Kai juga melompat dan berseru.

   "Baik, pedangku akan bicara. Awas serangan!"

   Teriaknya dan ia mengirim tusukan dengan pedangnya. Tan Hong berlaku waspada, dan iapun sudah mencabut gin-kiamnya dan segera menangkis. Terkejut juga ia ketika merasa betapa tenaga si muka hitam itu benar-benar kuat dan mengejutkan. Si muka hitam tertawa lagi dan terus menyerang dengan sengit. Ilmu pedangnya sungguh hebat, segalanya ini di luar dugaan Tan Hong. Diam-diam Tan Hong mengeluh, karena sebelum ia menghadapi To Tek Hosiang, ternyata sekarang bertemu dengan seorang lawan yang tangguh, kukwai (aneh), lihai dan mempunyai maksud yang bukanbukan! Terpaksa ia melayani dan mengerahkan tenaganya dengan maksud menjatuhkan pedang lawan. Akan tetapi, gerakan Ong Kai benar-benar di luar terkaannya dan untuk beberapa lama keduanya bertempur seru dalam keadaan seimbang.

   
Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara suitan nyaring yang terdengar jelas sampai ke tempat itu. Mendengar suara suitan yang tidak mempunyai arti apa-apa bagi Tan Hong ini, si muka hitam menghela napas dan berkata.

   "Sayang sekali! Baru saja enak-enak bertempur denga lawan yang menyenangkan, suhu telah memanggilku! Sudahlah, maling! Kali ini aku mengampunimu, akan tetapi lain kali kalau aku melihat kau mengintai gadis-gadis lain nanti, awas, aku takkan berhenti berusaha untuk dapat merobohkanmu!"

   "Iblis Muka Hitam yang bodoh!"

   Tan Hong memaki gemas, akan tetapi si muka hitam sudah melompat jauh meninggalkannya. Tan Hong tidak mau mengejar, karena ia harus pergi ke tempat To Tek Hosiang. Diam-diam ia kagum juga melihat ketangkasan dan kehebatan si muka hitam itu, dan ingin sekali mengetahui siapakah suhunya yang tadi bersuit memberi tanda panggilan. Alangkah anehnya orang-orang di kalangan kang-ouw, dan alangkah banyaknya orang-orang pandai di dunia ini! Peristiwa tadi memberi pelajaran lagi bagi Tan Hong, bahwa orang-orang yang berkepandaian tinggi sungguh banyak jumlahnya di dunia ini.

   Ketika Tan Hong tiba di kuil Kim-ci-tang, hari telah mulai gelap, akan tetapi di ruang depan kuil itu nampak terang karena dipasangi lampu beberapa buah. Agaknya di situ ada tamu, karena di meja besar duduk empat orang hwesio bercakap-cakap. Ternyata bahwa To Tek Hosiang sedang menghadapi tiga orang hwesio lain yang gemuk-gemuk dan berpakaian mewah, ternyata jubah yang dipakai hwesio terbuat daripada sutera halus! Dari luar Tan Hong dapat melihat betapa sikap To Tek Hosiang hormat sekali terhadap ketiga orang tamunya yang nampaknyapun lemah-lembut dan sikapnya seperrti hwesio-hwesio yang berilmu tinggi dan sopan-santun.

   Oleh karena ini, tan Hong tidak mau mengganggu dan berdiri di tempat gelap. Akan tetapi, To Tek Hosiang yang mempunyai pandangan dan pendengaran tajam, telah dapat melihatnya, maka hwesio ini lalu menghadap ke arah Tan Hong dan berkata.

   "Selamat datang, Tan-sicu. Silahkan masuk!"

   Tan Hong lalu masuk dan menjura kepada To Tek Hosiang sambil berkata.

   "Maafkan apabila aku mengganggu, agaknya losuhu masih sibuk melayani tamu."

   "Tidak apa, tidak apa! Tamu-tamu ini adalah orang-orang segolongan dengan pinceng."

   Kemudian To Tek Hosiang berkata kepada ketiga tamunya.

   "Mohon dimaafkan, karena pinceng terpaksa meninggalkan sam-wi sebentar untuk melayani pemuda ini menyelesaikan perhitungannya dengan pinceng, dan malam ini juga kami hendak main-main sedikit guna menambah pengertian dalam ilmu silat."

   Ketiga hwesio yang menjadi tamu itu sangat senang mendengar ini.

   "Kebetulan sekali, sudah lama pinceng tidak melihat pertunjukan silat. Silahkan, To Tek suhu, kami bertiga bahkan lebih senang melihat pertunjukan silat daripada pertunjukan lain."

   Setelah mendapat persetujuan ketiga orang tamunya To Tek Hosiang lalu menghadapi Tan Hong dan berkata.

   "Tan-sicu, marilah kita sekarang main-main sebentar untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Harap kau berlaku murah kepada seorang hwesio tua!"

   Katanya sambil tersenyum.

   "Losuhu, aku yang muda minta pengajaran."

   To Tek Hosiang lalu mengambil toyanya yang telah disediakan di satu sudut, Tan Hong lalu mencabut pedangnya dan bersiap dengan waspada.

   Sebelum mereka bertanding, seorang di antara ketiga tamu itu bertanya kepada To Tek Hosiang.

   "Siapakah sebenarnya anak muda yang gagah ini?"

   To Tek Hosiang tertawa lalu memperkenalkan.

   "Inilah Gin-kiam Gi-to yang terkenal di mana-mana dan mempunyai ilmu pedang yang tinggi."

   Hwesio itu mengangguk-angguk dan dari mata ketiga orang tamu ini memancarlah cahaya berkilat yang ganjil dan bersinar-sinar akan tetapi Tan Hong tidak sempat memperhatikan karena pada saat itu To Tek Hosiang yang sudah siap dengan toyamya lalu berseru.

   "Tan-sicu, awaslah terhadap toyaku!"

   Hwesio itu lalu maju menggerakkan toyanya dalam sebuah serangan yang hebat. Mula-mula To Tek Hosiang menggunakan gerakan Ouwliong-cut-tong atau Naga Hitam Keluar Gua, yakni sebuah gerakan ilmu toya dari cabang Siauwlim, akan tetapi ketika Tan Hong dapat mengelak dengan cepat, ia lalu memutar toyanya dan menyerang dengan menyapu ke arah paha pemuda itu dalam tipu Hing-sau chian-kun atau Menyerampang Bersih Ribuan Prajurit. Tan Hong memperlihatkan kelincahannya dan untuk menghindarkan diri dari serampangan yang hebat ini ia melompat ke atas dengan cepat dan ringannya. Ketika tubuhnya melayang turun, ia balas menyerang dengan tipu Chong-eng-kim-touw atau Garuda Menyambar Kelinci. To Tek Hosiang menangkis cepat, akan tetapi Tan Hong lalu merobah serangannya, menarik kembali pedangnya dan maju menyerang lagi dengan gerak tipu Pek-hong-koan-jit atau Bianglala Putih Menutup Matahari. Akan tetapi To Tek Hosiang juga dapat menangkis dengan tepatnya.

   Demikianlah, kedua lawan ini mengeluarkan ilmu silat masing-masing dan berusaha mengalahkan lawan secepat mungkin. To Tek Hosiang yang maklum akan kehebatan Tan Hong, hendak mendahuluinya dan segera memutar toyanya dan memainkan ilmu silat toya asli dari partai silatnya yakni Houw-san-pai. Tan Hong tidak kurang waspada, maka iapun lalu mengeluarkan ilmu pedang warisan suhunya, yakni ilmu pedang dari Bok-san-pai. Makin lama mereka bertempur, makin hebatlah gerakan senjata mereka hingga yang kelihatan hanya sinar pedang yang berkilauan bagaikan seekor burung garuda menyambar, sedangkan toya To Tek Hosiang-pun mengamuk bagaikan seekor naga yang ganas.

   Berkali-kali ketiga orang hwesio gemuk yang menjadi tamu itu memuji.

   "Bagus, bagus!"

   Namun betapapun hebat To Tek Hosiang yang telah bersiap sedia dan setiap hari melatih ilmu toyanya khusus untuk digunakan menghadapi Tan Hong, namun pemuda itu masih menang setingkat. Perlahan-lahan ia mulai mendesak dan sinar toya To Tek Hosiang makin lemah dan makin mengecil, sedangkan pedang peraknya makin menyambar dengan ganas dan garang.

   Pada saat itu, tiba-tiba menyambar angin yang dahsyat diiringi suara keras, To Tek Suhu mundurlah dan biarkan pinceng menghadapi pemuda maling ini!"

   Ternyata yang datang melompat ke tengah lapangan pertandingan adalah seorang hwesio gemuk, yakni seorang di antara tiga tamu tadi. To Tek Hosiang terkejut sekali, karena sama sekali ia tak pernah menyangka bahwa ketiga tamunya yang datang dari barat ini memiliki ilmu silat yang tinggi. Ia hanya berdiri di pinggir dan memandang dengan heran. Ia bersyukur karena ia telah tertolong. Ia maklum bahwa kalau pertandingan tadi diteruskan, akhirnya dia pasti akan kalah dan roboh untuk kedua kalinya oleh pemuda itu.

   Tangan kiri hwesio gemuk itu memegang sebatang hudtim (kebutan pertapa) dan ia berdiri menghadapi Tan Hong dengan mulut menyeringai. Lagak hwesio ini sungguh menyebalkan, karena mirip dengan lagak seorang pemuda tengik yang menganggap dirinya sendiri yang gagah dan tampan!

   "Losuhu, kau siapa dan apa sebabnya maka kau datang-datang hendak mengajak aku bertempur?"

   Tanya Tan Hong.

   "Ha, ha, ha, Gin-kiam Gi-to! Sudah lama pinceng mendengar namamu yang besar, hingga suara itu bergema di empat penjuru membuat telingaku menjadi bising dan sakit. Pinceng adalah Beng Kong Hwesio, dan kedua suhengku yang duduk itu adalah Bhok Kong Hwesio dan Kim Kong Hwesio. Barangkali nama ini belum pernah kau dengar, maka akan lebih muda dikenal kiranya apabila pinceng sebutkan bahwa kami bertiga disebut orang Pekhoa Sam-sian atau Tiga Dewa dari Pek-hoa-san!"

   Kini bukan saja Tan Hong yang terkejut, bahkan To Tek Hosiang sendiripun sangat terkejut karena nama Tiga Dewa dari Pek-hoa-san ini amat terkenal sebagai tokoh-tokoh dan pendiri-pendiri cabang persilatan Pek-hoa-san-pai yang termasyur itu! Tadi ketika datang, ketiga tamu To Tek Hosiang itu hanya memperkenalkan nama-nama mereka, sama sekali tidak disangkanya bahwa ia mendapat kehormatan menerima tamu-tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang telah masuk golongan tertinggi itu!

   Biarpun Tan Hong maklum bahwa tokoh-tokoh Pek-hoa-san ini menurut suhunya dulu adalah orang-orang yang berilmu silat tinggi, akan tetapi suhunya pernah menyatakan bahwa mereka bertiga itu bukanlah orang baik-baik, maka pemuda ini sedikitpun tidak memperlihatkan rasa gentar. Ia bahkan tersenyum dan berkata dengan tenang.

   "Ah, kiranya Pek-hoa Sam-sian yang kuhadapi! Lalu apakah kehendakmu?"

   kembali Beng Kong Hwesio tertawa gelak-gelak.

   "Sudah pinceng katakan tadi bahwa telah lama pinceng mendengar nama Maling Budiman Berpedang Perak yang kesohor. Dan kebetulan sekali, kami bertiga paling benci dengan segala macam maling, baik yang besar maupun yang kecil. Maka sekarang, setelah pinceng berhadapan dengan seorang maling, biarlah pinceng mewakili To Tek Hosiang untuk menangkapnya dan menyerahkannya kepada yang berwajib!"

   "Hwesio gundul jangan kau sombong!"

   Tan Hong berseru marah sambil menggerakkan pedangnya.

   "Bagus, bagus! Mainkanlah pedangmu, hendak kulihat sampai di mana kehebatan ilmu pedang dari Bok-san-pai!"

   Tan Hong tercengang juga mendengar bahwa hwesio ini telah mengenal ilmu pedangnya, akan tetapi dengan hati-hati ia terus menyerang sambil mengerahkan tenaga serta kepandaiannya. Benar saja, ilmu silat Beng Kong Hwesio benar-benar luar biasa, kebutannya digerakkan dengan cepat dan bulu-bulu yang halus dari kebutan itu menyambar-nyambar dan tak boleh dipandang ringan karena bulu-bulu yang halus ini berkat tenaga lwekangnya yang tinggi, merupakan senjata yang sangat berbahaya. Sedangkan tangan kanan hwesio itu memainkan ujung lengan bajunya yang panjang, lebar dan berujung kecil pula. Ujung lengan baju ini tak kurang berbahayanya, karena digerakkan untuk menotok jalan darah lawan dengan gerakan tetap dan kuat sekali! Ketika serangannya yang bertubi-tubi itu dapat dihindarkan oleh lawannya yang masih muda, Beng Kong Hwesio merasa sangat kesal. Ia berseru keras dan kedua tangannya memainkan kebutan dengan ujung lengan baju dengan lebih hebat! Kedua senjata istimewa itu mengurung dan menyerang Tan Hong dari kiri kanan dan dari atas dan bawah dengan gencar, dan setiap sambarannya membawa hawa maut!

   Akan tetapi, selain memiliki dasar ilmu silat tinggi, Tan Hong adalah seorang pemuda yang berhati tabah dan bersikap tenang serta waspada. Ia maklum bahwa ilmu silatnya masih kalah jika dibandingkan dengan kepandaian lawannya dan ia mungkin tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang. Akan tetapi dengan keuletan yang mengagumkan, ia mempertahankan diri dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya hingga setelah bertempur seratus jurus lebih, belum juga hwesio itu dapat merobohkannya! Hal ini tentu saja membuat Beng Kong Hwesio merasa gemas dan marah, tapi kagum juga. Belum pernah ia mendapat lawan semuda ini yang memiliki daya tahan selama itu!

   Pada saat itu, tiba-tiba dari atas genteng melayang turun tiga bayangan orang dan orang terdepan membentak dengan nyaring.

   "Pek-hoa Sam-sian! Bagus sekali, akhirnya kami dapat juga menemukan kalian!"

   Tiga bayangan orang itu melayang turun dengan gerakan yang gesit dan ringan seperti tiga ekor burung. Serentak Bhok Kong Hwesio dan Kim Hong Hwesio bangun dari duduknya dan mencabut senjata mereka, masing-masing bersenjatakan sebatang kebutan yang berbulu merah!

   Biarpun sedang bertanding dan didesak oleh lawannya, akan tetapi Beng Kong Hwesio dapat memperhatikan ketiga orang yang datang itu, Tan Hong dapat juga melirik sekejap dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat dengan jelas, bahwa yang datang itu tidak lain ialah Lo Cin Ki atau yang dijuluki Jian-jiauw-sin-eng si Garuda Sakti Berkuku Seribu, yakni susioknya (paman gurunya) sendiri, nona Lo Siok Lan, dan si muka hitam Ong Kai yang sore tadi pernah bertempur dengannya!

   Melihat bahwa yang bertempur melawan seorang di antara Pek-hoa Sam-sian adalah pemuda yang sore tadi bertempur dengannya, Ong Kai lalu maju menerjang dengan pedang di tangan dan berkata.

   "Eh, Maling Budiman, kau juga bertempur melawan mereka? Jangan takut, kini kita bersatu menghadapi mereka dan aku akan membantumu!"

   Akan tetapi, serbuan si muka hitam ini lalu disambut oleh To Tek Hosiang, karena hwesio ini berpikir bahwa sudah selayaknya ia membela para tamunya, apalagi karena tamutamunya itu adalah tokoh-tokoh besar dari Pek-hoa-san! Ia berpikir bahwa orang-orang yang datang membantu Maling Budiman ini tentulah golongan maling atau perampok juga. Apalagi melihat Ong Kai yang tinggi besar, kasar dan bermuka hitam, tak salah lagi, orang ini tentulah kepala perampok yang buas dan ganas. Ia lalu memutar toyanya dan membentak, Bangsat pemaling dan perampok hina dina! Jangan kau kotorkan kelentengku yang suci ini!"

   Ong Kai tercengang dan mengurungkan niatnya membantu Tan Hong. Ia pandang To Tek Hosiang dengan sepasang matanya yang bundar lebar, lalu bertanya.

   "Eh, eh, ini ada lagi kepala gundul yang berkedok agama! Baik, baik kau mampuslah di tanganku agar segera masuk ke neraka!"

   Maka ia lalu menyerang To Tek Hosiang kembali dengan sengit dan keduanya lalu bertempur seru!

   Sementara itu, Lo Cin Ki melompat maju dan berhadapan dengan Bhok Kong Hwesio dan Kim Kong Hwesio, lalu menuding dengan pedangnya.

   "Hwesio gadungan! Serahkan nyawa kalian untuk menebus dosa yang telah kaulakukan terhadap keponakan Lie-sio-cia!"

   "Ha, ha, ha! Jadi inikah si Garuda Sakti Berkuku Seribu? Kau mengantarkan jiwa tuamu! Apakah kau sudah bosan hidup?"

   Sambil berkata demikian, Kim Hong Hwesio lalu maju menyerbu, disambut dengan sengit oleh Lo Cin Ki.

   Lo Cin Ki adalah seorang tokoh Bok-san-pai yang memiliki ilmu silat yang tinggi sekali serta bertenaga besar, maka begitu kebutan Kim Kong Hwesio bertemu dengan pedang si Garuda Sakti, hwesio itu terhuyung ke belakang! Bukan kepalang kagetnya, karena tak pernah diduganya bahwa tenaga orang tua itu melebihi tenaganya sendiri! Semetara itu, ketika Bhok Kong Hwesio melihat betapa suhengnya tak dapat merobohkan Lo Cin Ki, malah jelas sekali nampak olehnya bahwa suhengnya kalah tenaga. Ia lalu ikut maju menyerbu dan mengeroyok jago tua dari Bok-san itu!

   Sebetulnya, kalau saja Bok-san-pai tidak lebih mengutamakan ilmu pengobatan dan khusus memajukan ilmu silatnya, cabang persilatan ini akan memperoleh kemajuan besar, karena memang dasar-dasar persilatan Bok-san-pai kuat dan sempurna sekali. Akan tetapi Lo Cin Ki lebih suka mempelajari secara mendalam ilmu pengobatan, maka dalam hal silat, boleh dibilang ia hanya mencapai tingkat delapan bagian saja. Namun kepandaian ini agaknya cukup untuk mengimbangi kedua pengeroyoknya itu!

   Ketika Lo Siok Lan melihat betapa ayahnya dikeroyok, walaupun ia maklum bahwa kepandaian kedua hwesio gemuk itu jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri, ia lalu membentak.

   "Bangsat gundul curang! Jangan maju mengeroyok ayahku!"

   Gadis yang tabah inipun lalu menggerakkan pedangnya hendak membantu ayahnya, akan tetapi si Garuda Sakti berseru.

   "Jangan Lan-ji! Kaubantu saja suhengmu Tan Hong yang terdesak oleh iblis gundul itu!"

   Ternyata, biarpun ia sendiri terdesak, jago tua ini masih ingat kepada orang lain dan minta puterinya membantu Tan Hong!

   Biarpun dengan hati ragu-ragu, namun gadis itu tidak berani membantah perintah ayahnya. Ketika ia memandang, benar saja bahwa keadaan Tan Hong amat terdesak, sungguhpun pemuda itu telah memainkan pedangnya sedemikian rupa merupakan sebuah benteng baja yang kuat sekali, hingga andaikata disiram airpun takkan membasahi tubuhnya yang terlindung sedemikian rapatnya oleh gerakan pedang! Tanpa mengeluarkan suara apaapa. Siok Lan lalu memutar pedangnya menyerbu dan menahan serangan Beng Kong Hwesio. Hwesio ini terkejut juga, melihat gerakan nona ini tidak kalah hebatnya daripada gerakan Tan Hong yang baginya sukar sekali untuk dirobohkan. Sebaliknya, ketika Tan Hong melihat betapa nona impiannya itu datang membantunya, timbullah semangatnya. Ia serasa dalam mimpi karena saat itu ia dapat bertempur melawan musuh bersama nona yang menjadi idamannya itu!

   Dalam kegirangannya, Tan Hong beberapa kali mengerling dan memandang nona itu hingga Siok Lan menjadi tertekan oleh serbuan Beng Kong Hwesio yang mengamuk padanya, karena gerakan Tan Hong menjadi terlambat.

   "Ayoh, kauseranglah dia! Mengapa ... lelah?"

   Tegur gadis itu tanpa melihat Tan Hong, namun ia merasa betapa pemuda itu gerakannya agak mengendur.

   Tan Hong terkejut dan bagaikan baru sadar dari mimpi ketika mendengar teguran ini. Wajahnya berubah merah karena malu kepada diri sendiri. Ia lalu menggertakkan giginya dan maju dengan semangat berapi-api! Kini keadaan menjadi berbalik. Beng Kong Hwesio yang menghadapi Tan Hong seorang diri saja hanya menang sedikit, tetapi tidak sanggup merobohkannya, kini menghadapi keroyokan Tan Hong dan Siok Lan yang memiliki kepandaian setingkat dengan Tan Hong, tentu saja sangat terdesak dan tak lama kemudian tubuhnya sudah mandi keringat dan napasnya terengah-engah!

   Sementara itu, To Tek Hosiang yang menghadapi Ong Kai bertempur dengan seru pula, karena kepandaian si muka hitam inipun hebat pula dan setingkat dengan To Tek Hosiang! Mereka saling serang dengan mati-matian, akan tetapi sebegitu jauh belum terlihat siapa yang akan menang di antara mereka. Melihat pertempuran hebat ini di ruang kelentengnya itu, diam-diam To Tek Hosiang menjadi ragu-ragu dan bingung. Apalagi ketika tadi ia mendengar nama orang tua itu yang disebut si Garuda Sakti, ia menjadi tambah ragu-ragu karena sepanjang pendengarannya, nama ini adalah nama seorang tokoh persilatan yang termasyur sebagai seorang pendekar tua pembela keadilan! Tadinya ia bermaksud mengukur kepandaian Tan Hong si Maling Budiman, tapi sekarang ia telah terlibat dalam pertempuran antara mati dan hidup yang belum diketahui sebab-sebabnya. Oleh karena inilah maka ia berkelahi sambil mundur dan mendekati Tan Hong untuk mengajukan pertanyaan!

   Pada saat itu, Beng Kong Hwesio sudah sangat terdesak, akhirnya dengan sebuah tendangan kilat dari Tan Hong yang berhasil mengenai tepat pada tulang kakinya menyebabkan hwesio ini serta-merta roboh terguling. Siok Lan dengan gemas sekali lalu menubruk maju dan menusuk dengan pedangnya! Tan Hong terkejut melihat niat Siok Lan ini, maka cepat-cepat ia memegang tangan nona itu dan berkata.

   "Nona ... sumoi ... ! jangan sembarangan membunuh!"

   Siok Lan merenggutkan tangannya dengan gemas.

   "Kau tahu apa? Ketiga hwesio cabul ini telah menculik dan membunuh piauwmoi-ku (adik perempuan misan)!"

   Sambil berkata demikian, gadis ini dengan marah sekali melanjutkan serangannya dan pedangnya menancap ke dada Beng Kong Hwesio. Dan sejurus kemudian terdengar pekik nyaring Beng Kong Hwesio dan ia tewas pada saat itu juga!

   Mendengar keterangan gadis ini, Tan Hong terkejut sekali hingga ia berdiri diam tak kuasa mencegah gadis itu membunuh Beng Kong Hwesio, sedangkan To Tek Hosiang ketika mendengar keterangan inipun lalu melompat ke belakang dan berseru.

   "Tahan dulu! Pinceng tidak tahu bahwa mereka ini hwesio-hwesio jahat!"

   Si muka hitam yang dalam keadaan masih marah hendak menyerbu terus, akan tetapi Siok Lan berseru.

   "Tahan ... ! Suheng!"

   Sungguh heran, si muka hitam yang tinggi besar ini segera menghentikan serangannya, demikian taat dan tunduk ia rupanya terhadap dara itu.

   Akan tetapi, pada saat itu terdengar keluhan Lo Cin Ki dan ketika mereka semua memandang, ternyata dalam satu benturan nekad, Lo Cin Ki telah berhasil memukul pundak Bhok Kong Hwesio membuat ia terhuyung ke belakang, akan tetapi sebaliknya, ujung kebutan Kim Kong Hwesio-pun telah menghantam ke belakang dan mengeluarkan darah dari mulutnya!

   "Ayah ... !"

   Siok lan memburu dan memeluk ayahnya, sedangkan Kim Kong Hwesio yang melihat Beng Kong Hwesio sudah tewas dan Bhok Kong Hwesio juga terluka pada pundaknya, secepatnya ia mengangkat tubuh Beng Kong Hwesio yang sudah menjadi mayat itu, lalu mengajak Bhok Kong Hwesio pergi dari tempat itu. Ia berpikir sia-sia saja untuk terus melawan, karena biarpun Lo Cin Ki telah menderita luka berat, akan tetapi di situ masih ada tiga orang muda yang hebat itu, bahkan ada pula To Tek Hosiang yang agaknya hendak membalik dan membantu mereka!

   Tan Hong dan Ong Kai hendak mengejar, tetapi karena Siok Lan sedang sibuk menangisi ayahnya, maka mereka berdua tidak berdaya dan merasa tidak sanggup menghadapi Kim Kong dan Bhok Kong hwesio sekalipun ia telah luka, tetapi masih kelihatan gesit dan kuat jua.

   Ong Kai yang bertubuh tinggi besar lalu mengangkat tubuh suhunya dan atas petunjuk To Tek Hosiang yang tadi bertempur mati-matian dengannya, jago tua yang terluka itu dibawa masuk ke dalam sebuah kamar di kuil itu.

   Ternyata bahwa Lo Cin Ki telah mendapat luka yang berbahaya di dalam tubuhnya. Pukulan ujung hudtim itu buruk sekali akibatnya, karena pukulan ini telah mematahkan dua buah tulang iga di dada Lo Cin Ki dan menggoncangkan paru-parunya! Untung Siok Lan juga telah mempelajari ilmu pengobatan, maka setelah memeriksa luka di dada ayahnya yang masih pingsan itu, gadis ini dengan jari-jari tangannya yang halus, tapi cekatan itu lalu menyambung tulang-tulang yang patah dan menggunakan obat gosok dan obat minum yang dimasukkannya ke dalam mulut ayahnya.

   Pada keesokan harinya, setelah berkali-kali diminumkan obat, jago tua itu siuman dari pingsannya. Selama ia masih pingsan, semua orang, termasuk juga To Tek Hosiang, diam saja dan tak berani berkata apa-apa, sedangkan Tan Hong dan Ong Kai hanya saling pandang dan menghela napas. Mengapa Tan Hong tidak pergi dari tempat itu? Ia merasa tak sampai hati meninggalkan Siok Lan, sekalipun gadis itu tak sepatah katapun mau berbicara dengannya.

   Akan tetapi setelah ayahnya siuman kembali, wajah gadis itu tampak berseri, lalu ia berkata kepada Tan Hong.

   "Tan-suheng, kiam-hoatmu sungguh hebat!"

   Merahlah muka Tan Hong mendengar pujian ini.

   "Ah ... ! Sumoi, kepandaianku masih belum dapat dibandingkan dengan kepandaianmu yang tinggi itu!"

   Sementara itu, setelah Lo Cin Ki siuman, ia lalu menggunakan jari-jari tangannya meraba dadanya. Ia menarik napas panjang ketika ia mengetahui bahwa dua tulang iganya patah, akan tetapi ia memuji kecekatan puterinya yang telah melakukan penyambungan tulang iganya dengan sempurna.

   Ketika semua orang datang ke kamar, untuk menjenguknya, ia menghela napas dan berkata kepada Tan Hong.

   "Tan hong! Untung kau telah lebih dulu turun tangan, kalau tidak, mungkin kerugian besar yang akan kita derita."

   Tan Hong mengeluarkan ucapan merendah diri untuk sebagai jawaban atas pujian susioknya ini padanya, sedangkan To Tek Hosiang buru-buru tunduk memberi hormat kepada Lo Cin Ki sambil berkata.

   "Lo-enghiong, maafkan pinceng yang telah sesat dan telah pula membantu orang-orang jahat. Percayalah, hal ini pinceng lakukan tanpa pinceng sadari, bahkan sampai sekarangpun pinceng masih bingung dan tidak tahu duduk perkara sebenarnya."

   

Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini