Maling Budiman Pedang Perak 4
Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
Oleh karena ia tahu bahwa apabila ia banyak berkata-kata, maka hal ini akan mengganggu kesehatannya, Lo Cin Ki lalu mendesak muridnya untuk menceritakan hal yang telah terjadi sehingga mereka datang mencari Pek-hoa Sam-sian untuk membalas dendam.
Ong Kai lalu bercerita yang didengarkan oleh Tan Hong dan To Tek Hosiang dengan penuh perhatian.
***
Ong Kai adalah murid tunggal dari Lo Cin Ki si Garuda Sakti Berkuku Seribu yang telah menamatkan pelajarannya dan bekerja sebagai seorang piauwsu di kota Lui-koan-bun. Ia adalah seorang pemuda yang biarpun beradat kasar, akan tetapi ia mempunyai kecerdikan luar biasa. Sayang sekali, bakatnya dalam hal ilmu silat kurang baik, maka biarpun telah lama ia belajar silat, paling banyak ia hanya dapat mewarisi setengah bagian saja dari kepandaian suhunya, bahkan ia masih kalah oleh Siok Lan.
Lo Cin Ki mempunyai seorang adik perempuan yang telah menjadi janda dan adiknya ini mempunyai seorang anak gadis yang cukup cantik dan halus budi bahasanya. Gadis ini bernama Kiu Hwa dan semenjak kecil menjadi sahabat baik Siok Lan yang lebih tua setahun daripadanya. Siok Lan berbakat baik dalam ilmu silat, sebaliknya Kiu Hwa tidak suka belajar silat, ia lebih suka menjadi seorang gadis yang lemah-lembut. Dan dalam hal kepandaian tangan, ia jauh lebih pandai daripada Siok Lan.
Lo Cin Ki tahu, sekalipun mukanya hitam, akan tetapi hatinya tetap suci bersih. Ia mengusulkan kepada adiknya untuk mengambil Ong Kai si muka hitam itu jadi iparnya. Demikianlah, tak lama kemudian pemuda ini dipertunangkan dengan Kui Hwa.
Beberapa hari yang lalu datanglah malapetaka menimpa diri Kiu Hwa. Pada suatu malam, kota Lui-koan-bun didatangi oleh tiga orang penjahat besar, yang tidak lain ialah Pekhoa Sam-sian, tiga hwesio gemuk berbatin kotor itu. Di sepanjang jalan mereka ini melakukan perbuatan-perbuatan yang keji yaitu, mengganggu anak bini orang.
Walaupun Kiu Hwa adalah seorang gadis lemah-lembut, akan tetapi memiliki kenekatan besar. Melihat ketiga orang hwesio biadab itu berniat jahat terhadap dirinya, ketika ia diculik dan dibawa ke sebuah kelenteng rusak di luar kota. Gadis ini mendapat kesempatan untuk mencabut tusuk kondenya yang terbuat daripada perak yang tajam seperti pisau belati itu dari rambutnya. Dengan nekad Kiu Hwa lalu memasukkan benda tajam itu ke tenggorokannya hingga ia tewas pada saat itu juga!
Saat itu Ong Kai sedang berada di luar kota karena sedang menjalankan tugasnya mengawal barang-barang. Ketika pada keesokan harinya ia kembali ke rumah dan mendengar tunangannya diculik orang, bukan main marah dan geramnya. Pemuda ini lalu melakukan penyelidikan di rumah tunangannya di mana calon ibu mertuanya didapati sedang menangis sedih dan berkali-kali ia jatuh pingsan memikirkan nasib gadisnya. Oleh karena tidak melihat tanda-tanda yang mendatangkan curiga dalam kamar tunangannya itu, Ong Kai dapat menduga bahwa yang melakukan penculikan tentu seorang penjahat berilmu tinggi, maka ia terus melakukan penyelidikan. Kebetulan sekali ketika tiga orang hwesio biadab itu sedang membawa lari Kiu Hwa yang dalam keadaan meronta-ronta, terlihat oleh seorang petani di luar kota, akan tetapi karena takutnya, petani itu menyembunyikan diri di balik pohon. Dari petani inilah Ong Kai tahu bahwa orang yang melarikan tunangannya itu adalah tiga orang hwesio gemuk. Ia segera melakukan pengejaran sampai ke kuil tua itu. Dan alangkah hancur rasa hatinya ketika mendapatkan tunangannya rebah di lantai kuil dalam keadaan telah tak bernyawa lagi.
Sebaliknya, di dalam kesedihannya, Ong Kai merasa bangga dan lega juga melihat kematian tunangan yang dicintainya itu adalah karena membunuh diri dengan tusuk konde! Dalam menangisi jenazah Kiu Hwa, dalam hatinya Ong kai memuji kesucian gadis ini dan bersumpah hendak membalas dendam dan mencari ketiga orang hwesio gemuk itu.
Ong Kai yang cerdik itu lalu melakukan pengejaran dan penyelidikan. Untung baginya bahwa Pek-hoa sam-sian adalah tokoh-tokoh persilatan yang mempunyai adat sombong dan menganggap bahwa di dunia ini tidak ada orang yang berani melawan mereka. Karena kesombongannya inilah, ketiga orang hwesio gemuk ini sama sekali tidak ada niat untuk menyembunyikan diri atau berusaha agar jejak mereka nanti tidak diikuti dan dicari orang. Secara terang-terangan mereka berjalan di jalan umum melanjutkan perjalanan mereka hingga akhirnya mereka sampai di Wi-ciu.
Ong Kai tentu dengan mudah saja dapat mengikuti jejak ketiga orang hwesio gemuk itu, dan ketika melihat mereka masuk di kota Wi-ciu, dengan cepat Ong Kai lalu menuju ke rumah suhunya yang berada tak jauh dari kota Wi-ciu itu.
Tak terkira marah hatinya Lo Cin Ki dan Lo Siok Lan mendengarkan bencana yang menimpa diri Kiu Hwa, maka tidak ayal lagi ayah dan anak ini melakukan penyelidikan ke Wi-ciu untuk membalas dendam. Oleh karena inilah maka Tan Hong sampai melihat Siok Lan dan ayahnya berkunjung ke kelenteng Kim-ci-tang, di mana gadis dan ayahnya itu sedang menyelidiki keadaan kelenteng. Dan ini pulalah sebabnya mengapa Tan Hong dapat bertemu dengan ong Kai yang tadinya mencurigainya.
Setelah mendengar penuturan Ong kai sambil mengalirkan air mata karena teringat akan tunangannya itu, Tan Hong menjadi terharu sekali.
"Saudara Ong kai, jangan kau khawatir. Biarpun aku bodoh, akan tetapi aku bersumpah hendak membantumu mencari dan membinasakan dua orang iblis yang masih hidup itu!"
Juga To tek Hosiang menyatakan penyesalannya mengapa matanya seakan-akan telah buta, tidak melihat dan membedakan mana orang jahat dan mana yang baik. Berkali-kali hwesio ini menyebut nama dewata, karena heran dan terkejut mendengarkan kejahatan dan kekejian yang dilakukan oleh tiga orang hwesio yang berkepandaian tinggi dan yang terkenal sebagai tokoh-tokoh dunia persilatan itu!
Ketika mereka menengok keadaan Lo Cin Ki lagi, orang tua ini berkata dengan suara menyesal kepada Ong Kai.
"Ong Kai ... ! Sungguh menyesal aku, sebab kurang hati-hati hingga aku dapat dilukai oleh Kim Kong Hwesio! Dan menurut pemeriksaanku, lukaku ini sedikitnya dalam waktu satu bulan baru bisa sembuh dan pulih kembali seperti sediakala. Aku menyesalkan juga, Ong Kai, karena luka ini menghalangiku untuk membantumu menangkap dan menewaskan musuh-musuh besar kita itu,"
Lo Cin Ki menarik napas dalam-dalam.
"Tidak apa, suhu. Biarlah teecu sendiri yang akan pergi berhadapan dengan mereka!"
Kata Ong kai dengan kesal dengan menggertakkan giginya.
"Ong-suheng, mengapa kau berkata begitu? Jangan khawatir, aku akan mewakili ayah membantumu!"
Kata Siok Lan dengan perkasanya.
"Dan akupun bersedia setiap detik menjadi pembantumu, saudara Ong!"
Kata Tan Hong dengan muka berseri.
"Baik sekali, kalian anak-anak muda memiliki semangat demikian besar,"
Kata Lo Cin Ki dengan girangnya.
"Memang, sudah seharusnya demikianlah watak dan sikap orangorang ksatria, pantang mundur menghadapi bahaya besar dalam membela kebenaran. Dan dengan adanya kalian bertiga, apabila maju bersama, kurasa takkan sangat berat menghadapi dua orang hwesio iblis itu.
"
Ong Kai tidak berani membantah, lalu kemudian ia memandang wajah Tan Hong dengan ragu-ragu. Mengapa pemuda maling ini dibawa-bawa? Bukankah pemuda inipun menuntut penghidupan yang tidak layak? Lo Cin Ki agaknya dapat menduga apa yang dipikirkan oleh muridnya, maka ia lalu berkata.
"Ong Kai, ketahuilah. Tan Hong ini adalah Gin-kiam Gi-to yang biarpun menjadi maling, akan tetapi bukan untuk diri sendiri. Untuk melakukan kebajikan dengan jalan apa yang akan diambil seseorang, dapat dipilihnya menurut pertimbangannya sendiri. Pokoknya asalkan berdasarkan kebenaran dan kebaikan, maka jalan itu adalah jalan satu-satunya yang dianggap baik. Lagi pula, agaknya kau belum tahu bahwa Tan Hong ini sebenarnya masih suhengmu sendiri!"
Terbelalak kedua mata Ong Kai memandang gurunya yang segera tersenyum.
"Bukankah kau pernah mendengar ceritaku tentang suhengku yang bernama Cin Cin Tojin? Nah, pemuda ini adalah murid tunggal Cin Cin Tojin!"
Ong Kai yang berwatak jujur itu menjadi bertambah girang mendengar hal ini.
"Ah! Pantas saja ilmu kepandaianmu lebih tinggi dari kepandaianku! Rupanya kau murid Cin Cin Supek. Pantas, pantas! Tan-suheng, kalau demikian, kita adalah masih sekeluarga dan tentu saja kau harus ikut membantuku!"
Tan Hong tersenyum dan merasa girang melihat kejujuran pemuda muka hitam yang mengalami kesedihan ditinggalkan mati oleh tunangannya dalam keadaan menyedihkan itu. Diam-diam ia lalu bertekad untuk membalas sakit hatinya itu.
Demikianlah setelah mendapat doa restu dari Lo Cin Ki, ketiga anak muda itu, Ong Kai, Tan Hong dan Siok Lan berangkat untuk mengejar Bhok Kong Hwesio dan kim Kong Hwesio ke mana saja.
***
Kali ini, karena maklum bahwa musuh-musuh mereka yang hebat itu tentu takkan membiarkan mereka melarikan diri begitu saja. Bhok Kong dan Kim Kong Hwesio melarikan diri dengan cara bersembunyi dan diam-diam. Mereka berdua juga merasa sakit hati sekali. Setelah mengubur jenazah Beng Kong Hwesio di sebuah hutan mereka berjanji dalam hati akan membalaskan sakit hati sute mereka ini. Akan tetapi, kedua hwesio ini maklum bahwa mereka takkan dapat melawan Lo Cin Ki dan pembantu-pembantunya yang gesit dan cekatan itu. Maka keduanya lalu mengambil keputusan untuk kembali ke Pek-hoa-san dan mencari daya upaya untuk menjaga kedatangan musuh dan sekalian membasmi mereka.
Mereka lalu mengambil jalan memutar dan mencari seorang kawan mereka yang bernama Ti Bong Hosiang, seorang hwesio perantau yang memiliki kepandaian tinggi dan jauh lebih lihai daripada mereka sendiri. Mereka bermaksud untuk mengajak kawan ini naik ke Pek-hoa-san bersama beberapa orang kawan lain untuk memperkuat kedudukan mereka sambil menjaga kedatangan Lo Cin Ki dan pembantu-pembantunya.
Sementara itu Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan mencari jejak mereka sambil bertanya-tanya sepanjang jalan. Tiap kali mendengar cerita orang tentang dua orang hwesio gemuk, mereka lalu pergi menyelidik dan mengejar. Akan tetapi hasilnya nihil belaka, karena kedua musuh besar yang dicari-carinya itu telah pergi lagi tanpa meninggalkan jejak. Memang tidak mudah untuk mengejar dua orang musuh yang berkepandaian tinggi dan yang telah berlaku hati-hati dan melarikan diri secara sembunyi-sembunyi. Maka tak lama kemudian, ketiga orang anak muda itu telah kehilangan jejak kedua musuhnya hingga Ong Kai menjadi tambah sakit hati. Pemuda muka hitam ini merasa tidak sabar dan kalau mungkin, menurut hatinya, ingin sekali ia segera bertemu dan menyabung jiwa dengan pembunuh-pembunuh tunangannya yang tercinta itu!
Melihat kemurungan Ong Kai, Siok Lan menghibur.
"Ong-suheng! Sudahlah, jangan kau bersedih terus, ingat, kesedihan yang berlarut-larut dapat merusak kesehatan, justeru pada waktu ini kau harus dapat menjaga kesehatanmu untuk dapat menunaikan tugasmu membalas dendam!"
Kata-kata Siok Lan ini membangkitkan semangat Ong Kai.
"Aku telah bersumpah untuk membunuh kedua iblis itu!"
Katanya dengan geram.
"Ucapan sumoi tadi benar, Ong-sute. Memang tak perlu kau terlalu berduka cita, sebaliknya yang terpenting ialah kita bersama mencari daya upaya dan jalan bagaimana kita bisa menyusul dan mendapatkan tempat persembunyian mereka itu,"
Kata Tan Hong.
"Tak dinyana bahwa selain kejam dan jahat, mereka itupun pengecut sekali. Tidak tahu malu, namanya saja besar sebagai tokoh-tokoh Pek-hoa-san, tetapi menghadapi musuh, mereka lari dan bersembunyi!"
Ong Kai berkata dengan gemas yang meluap-luap.
Mendengar nama bukit ini, tiba-tiba wajah Tan Hong berseri.
"Ah ... ! Benar juga! Tentu mereka itu telah lari kembali ke Pek-hoa-san! Mari kita mengejar ke sana! Tahukah kalian di mana Pek-hoa-san itu?"
Kedua kawannya menyatakan tidak tahu, maka mereka lalu mulai mencari keterangan di mana adanya Bukit Pek-hoa-san. Dari para penduduk yang sering mengadakan perantauan mereka mendapat keterangan bahwa Pek-hoa-san adalah sebuah bukit di barat yang letaknya jauh juga dari tempat itu. Sesudah mereka mendapat keterangan, hari ini juga mereka lalu memulai perjalanan, mereka ke barat untuk mencari musuh-musuh mereka di sarang kedua hwesio itu.
Malam hari itu mereka bermalam di sebuah rumah penginapan. Tan Hong sekamar dengan Ong Kai, sedangkan Siok Lan mengambil kamar terpisah seorang diri.
Pada waktu itu, bekas-bekas kerusakan yang diakibatkan oleh bencana banjir masih terasa sekali, maka Tan Hong tidak melupakan pekerjaannya yang telah biasa ia lakukan. Ia lalu berpamitan dengan Siok Lan dan Ong Kai untuk pergi sebentar mencuri uang dari rumah para hartawan, lalu kemudian membagi-bagikannya kepada penderita korban banjir.
Ong Kai berkata.
"Aah, aku tidak perduli akan segala pekerjaan mencuri ini! Kalau ini memang sudah menjadi tugasmu untuk menolong sesama manusia yang menderita sengsara, silahkan kaupergi, Tan-suheng. Akan tetapi berhati-hatilah."
Tan Hong tersenyum.
"Biarlah kau tinggal di kamar saja, sute. Memang pekerjaan ini adalah pekerjaanku sendiri yang tak dapat kutinggalkan. Semalam saja aku tidak melakukan pekerjaan ini, aku merasa seakan-akan berhutang kepada rakyat dusun yang menderita dan sengsara yang perlu ditolong. Nah! Sute, dan kau juga sumoi, tinggallah baik-baik di sini, aku akan pergi malam ini dan besok pagi-pagi aku tentu telah kembali ke sini untuk melanjutkan perjalanan kita."
Ketika Tan Hong telah melayang naik ke atas genteng untuk melakukan pekerjannya sebagai Maling Budiman, tiba-tiba dari bawah melompat pula bayangan orang yang gerakannya tidak kalah gesitnya. Tan Hong menengok dan ternyata bahwa yang mengejarnya adalah Siok Lan sendiri!
"Sumoi, mengapa kau menyusul?"
Tanyanya.
"Tan-suheng, perkenalkanlah aku ikut denganmu. Aku menjadi tertarik dan ingin sekali menyaksikan hasil pekerjaanmu. Aku ingin menambah pengalamanku."
(Lanjut ke Jilid 04)
Maling Budiman Berpedang Perak/Gian Kiam Gi To (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
"Eh ... eh ... ! Kau ingin belajar menjadi ... maling?"
Tan Hong menggoda, akan tetapi hatinya girang bukan alang kepalang karena ditemani oleh sumoinya yang telah merebut hati sanubarinya itu.
Wajah Siok Lan memerah.
"Suheng! Jangan kau memperolok-olokkanku! Dulu aku masih belum mengerti betul tentang sifat pekerjaanmu ini, bahkan sekarangpun aku masih belum tahu jelas. Oleh karena itu sekarang aku hendak menyaksikan sendiri dan kemudian barulah aku dapat memutuskan apakah pekerjaanmu ini baik atau tidak.
"
Di dalam hatinya Tan Hong berkata seorang diri.
"Hmm! Jadi kau hendak ... mengujiku? Baik ... nona manis! Akan kaulihat nanti bahwa aku Tan Hong bukanlah seorang jahat."
Akan tetapi kepada Siok Lan ia hanya tersenyum dan berkata.
"Baiklah sumoi, akan tetapi apakah kau sudah memberi tahu kepada Ong-sute? Jangan-jangan nanti ia mencarimu dan merasa khawatir bila ia tidak mendapatkan kau berada di dalam kamarmu."
"Perlu apa memberi tahu orang lain? Segala sesuatu yang kulakukan tak perlu harus mendapat izin dulu dari siapapun juga!"
Diam-diam Tan Hong merasa heran juga melihat kekerasan hati gadis ini, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya mengajaknya.
"Marilah kita berangkat, sumoi. Dan jangan lupa, kalau berada di rumah yang kita jadikan sasaran, harap kau suka menutupi mukamu dengan saputangan agar tak mudah dikenal orang."
Siok Lan hendak membantah dan menyatakan bahwa perbuatan ini bersifat penakut, akan tetapi Tan Hong mendahuluinya dan berkata.
"Ingat, sumoi! Pada saat ini kita adalah maling, dan tahukah kau apa kewajiban maling? Yakni, seorang maling harus mengambil barang atau uang orang dengan diam-diam dan menjaga sedapat mungkin agar jangan sampai dikenal mukanya!"
Siok Lan tak dapat membantah lagi, lalu mangangguk sambil tersenyum pula. Mereka lalu melompat pergi dan penduduk kota itu tentu akan geger dan ribut apabila mereka mengetahui bahwa di saat itu diatas genteng-genteng rumah mereka terdapat dua sosok bayangan hitam yang gerakannya gesit sekali, yakni sepasang Maling Budiman sedang menjalankan tugasnya!
Dengan matanya yang tajam Tan Hong mencari-cari rumah-rumah gedung yang besar dan yang tak salah lagi menjadi tempat kediaman seorang hartawan, baik ia seorang pedagang maupun seorang pembesar. Akhirnya ia melihat sebuah gedung yang mempunyai wuwungan tinggi. Gedung ini besar sekali, temboknya tebal dan disekeliling tembok tebal dan tinggi berwarna hijau. Tan Hong memberi tanda kepada Siok Lan dan keduanya lalu menggunakan ilmu loncat mereka dan bagaikan dua ekor burung kepinis mereka melayang masuk ke dalam taman itu.
"Sumoi, ikuti saja aku,"
Bisik Tan Hong yang segera maju menghampiri gedung itu dengan jalan menyusup di antara tumbuh-tumbuhan di dalam taman. Hati Siok Lan berdebardebar juga karena selama hidupnya baru kali ini ia bertindak dengan jalan sembunyi dan menyusup-nyusup sebagai lakunya seorang maling tulen! Ia merasa heran sekali karena dadanya berdebar gembira dan ia teringat akan masa kanak-kanak dulu ketika dengan Kiu Hwa ia bermain kejar-kejaran dan sembunyi-sembunyian. Pada saat itu iapun merasa girang dan dadanya berdebar gembira seperti sekarang ini, rasa gembira dan berdebar yang ditimbulkan oleh rasa takut kalau-kalau dilihat orang! Ia ikut menyusup-nyusup di belakang Tan Hong dan kagum melihat betapa Tan Hong bergerak demikian gesit dan cepat, tetapi amat hati-hati hingga daun-daun kering yang terpijak oleh pemuda itu seakan-akan tak mengeluarkan suara! Iapun lalu berjalan dengan ujung kakinya agar tidak menimbulkan suara berisik.
Dari balik batang pohon, Tan Hong mengintai ke sekeliling gedung itu. Setelah merasa pasti bahwa di situ aman dan tidak ada orang, ia lalu memberi isyarat kepada sumoinya dan dengan cepat sekali tubuhnya melayang ke atas genteng gedung itu. Siok Lan lalu ikut melompat. Kembali ia mendapatkan Tan Hong mendekam di atas wuwungan bagaikan seorang sedang bersembunyi. Iapun ikut mendekam pula dan keduanya lalu memandang ke sekeliling dengan mata tajam. Ketika tak disengaja mereka saling pandang, hampir Siok Lan tak dapat menahan ketawanya, demikian pula Tan Hong. Entah mengapa, mereka merasa gembira dan geli, merasa bahwa mereka kembali ke masa kanak-kanak dan sedang bermainmain sembunyi untuk dicari oleh kawan lain.
Setelah mencari letak kamar besar di dalam gedung itu, Tan Hong lalu membuka genteng dengan cepat kemudian mereka lalu mengintai ke dalam. Dengan hati ingin tahu sekali, Siok Lan-pun mengincar ke dalam kamar.
Tan Hong dan Siok Lan yang mengintai di atas genteng melihat sebuah kamar besar yang mewah dan indah. Di dalam kamar itu duduk seorang setengah tua bersama isterinya. Mereka ini adalah pemilik rumah dan mereka sedang sibuk bekerja. Yang kali-laki menulis dalam sebuah buku, mencatat-catat dan yang perempuan sedang menghitung uang emas yang bertumpuk-tumpuk di atas meja!
Melihat betapa Tan Hong diam saja tak bergerak, gadis itu menjadi heran dan memberi isyarat dengan tangannya sambil menuding ke bawah. Akan tetapi Tan Hong menggelengkan kepala, bahkan lalu berdiri menjauhi tempat itu sambil memberi tanda kepada Siok Lan supaya ikut. Setelah mereka berada agak jauh dari kamar itu, Tan Hong berkata.
"Kita tak dapat bertindak sekarang, mereka masih sibuk dan belum pergi tidur.
"
Katanya perlahan.
Siok Lan merasa heran sekali.
"Mengapa kau takuti mereka suheng? Bukankah mereka itu orang-orang lemah yang mudah saja disingkirkan?"
Sekali lagi Tan Hong menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kau masih belum memahami sifat pekerjaanku ini, sumoi. Ingatlah bahwa aku adalah seorang maling, bukan seorang perampok yang mengambil barang orang dengan kekerasan dan menggunakan senjata. Aku hanya mengambil uang orang tanpa diketahui oleh pemiliknya."
Siok Lan tidak puas mendengar keterangan ini.
"Kalau kau tidak mau terlihat oleh mereka, bukankah ada jalan lain yang lebih mudah? Mengapa harus menanti sampai mereka tidur?"
Bagaimana kalau mereka semalam ini tidak tidur?"
"Kita harus menanti di atas genteng."
"Apa ... ? Menanti di sini sampai mereka tidur dan membiarkan diri kedinginan di atas genteng menjadi korban tiupan angin malam yang dingin ini? Alangkah bodohnya!"
Tan Hong tersenyum.
"Memang pekerjaan ini memerlukan kesabaran besar, sumoi. Atau, barangkali kau mempunyai cara lain yang lebih sempurna?"
Siok Lan merasa bahwa sekarang iapun telah menjadi kawanan maling yang merundingkan cara bagaimana untuk mencuri barang orang lain! Ia merasa mendapat kegembiraan luar biasa dalam pekerjaan baru yang tadinya dianggap hina ini.
"Mengapa kita tidak membuat mereka tidak berdaya tanpa terlihat? Dengan menggunakan tiam-hwat (ilmu menotok urat) yang dilakukan dengan sambitan benda keras, kita mudah saja membuat mereka tak berdaya!"
Tan Hong mengangguk-angguk dan menganggap bahwa usul ini baik juga. Memang kalau ia mau, mudah saja ia membikin kedua orang di dalam kamar itu tidak berdaya tanpa mereka sempat melihat dirinya. Ia lalu bermufakat dan keduanya lalu turun mencari beberapa buah kerikil yang halus, kemudian keduanya melompat pula ke atas dan mengintai dari atas genteng.
Kedua suami isteri hartawan yang tidak mendengar sesuatu dan tak pernah menyangka akan datangnya bahaya itu masih sibuk bekerja, yang perempuan menghitung-hitung uang, yang laki-laki mencatatkan besarnya hasil yang mereka dapat dalam perdagangan mereka. Tiba-tiba dari atas genteng, melalui lubang yang dibuat oleh Tan Hong, dua butir batu kecil melayang cepat dan dengan tepat dua butir batu kecil itu menotok jalan darah di leher suami isteri hartawan itu. Tanpa dapat mengeluarkan suara apa-apa, keduanya menjadi lemas dan pingsan di tempat masing-masing!
Tak lama kemudian, Tan Hong dan Siok Lan melayang turun ke dalam kamar itu. Tanpa memandang kepada kedua korban itu, Tan Hong lalu mengeluarkan dua buah kantong kuningnya dari saku baju dan mengisi kantong itu penuh-penuh dengan uang perak dan emas yang bertumpuk di atas meja, bahkan ditambahnya pula dengan uang perak yang tersimpan di dalam lemari. Ketika ia telah selesai dengan pekerjaannya dan menoleh kepada Siok Lan, ia melihat betapa gadis ini berdiri bagaikan patung memandang kepada dua orang itu. Wajah gadis itu memperlihatkan perasaan iba kepada mereka. Tan Hong memandang kepada mereka dan melihat bahwa kedua orang suami isteri itu mempunyai wajah yang baik dan sabar, mempunyai watak yang baik dan tidak kikir. Akan tetapi ia tidak memperdulikan semua ini dan segera memegang tangan sumoinya untuk diajak pergi dari situ. Siok Lan tidak berkata apa-apa, akan tetapi segera ikut melompat keluar dari kamar itu dengan wajah masih menyatakan tidak tega dan tidak senang. Ketika mereka tiba di luar, ia berkata kepada Tan Hong.
"Tan-suheng! Betapapun juga aku tidak suka melihat pekerjaanmu ini."
"Mengapa, sumoi?"
Tanya Tan Hong dengan tenang.
"Kuanggap terlalu kejam!"
"Mengapa kejam? Bukankah kau sendiri yang mengusulkan tindakan itu dan totokan kita itu tidak berbahaya, dan paling lama satu jam lagi mereka akan sadar kembali tanpa menderita sakit?"
"Bukan itu maksudku. Tapi ketika aku melihat wajah kedua orang itu, aku merasa pasti bahwa mereka adalah orang-orang yang baik hati. Kini uangnya kau curi, bukankah mereka akan merasa kecewa dan sedih? Suheng ... ! Kau begitu tega membuat orang lain menderita sedih?"
Tan Hong tersenyum.
"Sabarlah, sumoi, dan jangan kau berlaku kepalang tanggung. Marilah ikut aku dan saksikanlah sendiri pekerjaanku yang kauanggap kejam dan hina ini sampai selesai. Kalau sudah selesai, barulah kau boleh memberi komentar dan kritik."
Biarpun masih merengut, namun Siok Lan menganggap bahwa ucapan ini benar juga, maka ia terus mengikuti pemuda itu menuju ke dusun-dusun. Alangkah bedanya keadaan di kota dan di dusun. Pada saat itu, bulan telah muncul setengah dan dari atas genteng Siok Lan dapat melihat jelas perbedaan ini. Baru genteng-gentengnya saja sudah jauh berbeda. Kalau rumah-rumah di kota tinggi-tinggi dan mempunyai wuwungan serta genteng yang kokoh kuat dan berwarna merah, adalah rumah di dusun-dusun jarang yang mempunyai genteng dari tanah. Kebanyakan hanya dipasangi daun-daun kering sebagai atap dan rumah-rumahnya rendah lagi kecil pula. Jika dibuat perbandingan, agaknya kandang kuda para hartawan di kota jauh lebih besar dan bagus daripada rumah orang-orang kampung ini.
Apalagi ketika itu kemiskinan sedang merajalela akibat bencana alam yang mengamuk dan yang paling merasakan akibatnya adalah orang-orang miskin ini.
Biasanya, apabila melakukan pekerjaan membagi-bagi hasil curiannya, Tan Hong tidak banyak memilih dan melemparkan potongan perak begitu saja dari atas atap ke atas pembaringan orang, akan tetapi kini ia sengaja membuka atap dan minta supaya Siok Lan menengok ke dalam. Tergetar juga hati Siok Lan melihat tubuh orang-orang yang kurus kering dengan pakaian tambal-tambalan serta dalam keadaan rumah yang benar-benar kosong dan miskin menyedihkan, tidur meringkuk kedinginan oleh karena mereka tidak mempunyai selimut untuk melindungi diri dari serangan angin yang dapat masuk melalui celah-celah bilik mereka yang bobrok.
Tan Hong sengaja melemparkan uang perak ke atas pembaringan dengan mengerahkan tenaga hingga uang itu menimpa papan pembaringan mengeluarkan suara keras.
Biasanya ia melempar dengan perlahan hingga tidak mengagetkan tuan rumah dan kebanyakan, mereka yang mendapat bagian ini pada keesokan harinya baru akan dapat melihat potongan uang di atas pembaringannya.
Karena suara nyaring yang ditimbulkan oleh bantingan uang di atas pembaringan itu, orang-orang yang tidur di dalam kamar menjadi terkejut dan terbangun. Alangkah kaget mereka ketika melihat tiga potong perak yang bercahaya di dalam gelap. Mereka segera menyalakan lampu minyak dan ketika melihat bahwa barang berkilau itu benar-benar uang perak, semua orang lalu merubung dan dengan mata terbelalak memandang.
Tan Hong mengajak Siok Lan pergi dari atas rumah itu, akan tetapi Siok Lan masih sempat melihat betapa orang-orang di dalam rumah itu menjatuhkan diri berlutut dan mengucapkan terima kasih kepada dewata yang telah memberi pertolongan kepada mereka!
Tanpa banyak cakap Tan Hong mengajak Siok Lan ke sebuah rumah lain dan secara bergilir ia membagi-bagikan potongan perak dan emas kepada penghuni-penghuni rumah gubuk di desa-desa itu. Banyak sekali pemandangan yang menimbulkan ngeri dan haru dalam hati gadis itu malam ini. Ia melihat pemandangan-pemandangan di dalam rumah yang benar-benar hebat mengharukan. Ada penghuni rumah yang sedang menangisi tubuh seorang anggota keluarga yang telah kaku dan mati. Ada pula yang sedang menangisi anaknya yang sakit, dan banyak sekali yang mengeluh dan menangis karena menderita lapar!
Yang paling mengesan di hati sanubari Siok Lan ketika mereka melihat dari atap ke dalam sebuah rumah yang amat bobrok. Seorang wanita muda tapi kurus kering dan pucat sedang menangisi mayat suaminya yang membuyur di atas balai-balai rusak dan seorang anak laki-laki berusia paling banyak enam tahun menangis pula memeluki ibunya.
"Ibu ... ! ibu ... ! ayah mengapa ... ibu ... ?"
Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wanita itu tidak dapat menjawab, hanya menangis makin keras dan memeluki anaknya. Dari gerakan wanita itu, Siok Lan dapat menduga bahwa wanita itu juga menderita sakit payah, tubuhnya demikian lemah tak bertenaga.
"Sian-ji ... anakku ... jaga dirimu baik-baik nak ... kalau kau merasa lapar ... jangan malu-malu ... mintalah kepada orang lain ... minta belas kasihan orang-orang ... !"
"Aku harus mengemis, ibu ... ?"
Tanya anak itu.
"Terpaksa, Sian-ji ... ! Apa boleh buat, kau tidak boleh mati kelaparan seperti orang tuamu ... ! Kau masih anak-anak, perlu hidup lebih lama ... anakku ... ! Oh, anakku Sian ji ... !"
Wanita itu memeluk anaknya dan dekapan ini agaknya akan merupakan dekapan terakhir apabila wanita itu tidak segera mendapat pertolongan yang berupa obat-obat bagi penyakitnya dan beras bagi perutnya yang telah berhari-hari tidak diisi.
Akhirnya, setelah kesedihan dan keharuan itu agak mereda, terdengar ibu itu bertanya.
"Sian-ji ... ! Kau ... lapar, nak?"
Lama tidak terdengar jawaban, tapi kemudian terdengar juga suara anak itu lemah.
"Ti ... tidak, ibu ... aku tidak lapar!"
"Sian-ji, jangan kau membohong, ibu dapat mendengar suara perutmu berkeruyuk ...
"
"Tidak, ibu!"
Suara anak itu tetap dan keras.
"Selama kau belum bisa mendapat makanan, aku takkan mau merasa lapar!"
Tak tertahan pula hati Siok Lan memandang dan mendengar semua ini, dan terdengarlah isak tangis gadis ini di atas atap! Dipegangnya lengan Tan Hong yang berjongkok di dekatnya.
"Ah! Suheng ... kasihan sekali mereka itu ... tolonglah mereka!"
Tan Hong lalu mengambil semua sisa uang emas dan perak yang masih ada beberapa belas potong lagi lalu dilemparkannya uang itu ke dalam kamar tersebut.
Tak terdengar suara apa-apa di dalam kamar, seakan-akan kedua manusia yang berada di dalamnya merasa terkejut dan takut. Kemudian terdengar anak itu berseru lemah.
"Ibu, ibu ... lihat, apakah ini?"
"Uang ... ! Ya Tuhan, uang emas dan perak ... Sian-ji ...
"
Terdengar wanita itu menangis lagi dan Siok Lan yang tak dapat menahan tangisnya, lalu melompat pergi dari situ sambil terisak-isak!"
Tan Hong mengejarnya dan segera memegang lengan sumoinya.
"Sumoi, tenanglah! Pemandangan seperti itu bagiku tidak aneh lagi, dan sekarang nyatakanlah pendapatmu tentang pekerjaanku ini."
Sambil berkata demikian, Tan Hong mengebut-ngebutkan kedua kantong kuningnya yang telah kosong dan memasukkan ke dalam saku bajunya. Siok Lan memandang semua ini dengan mata berlinang penuh air mata, kemudian ia berkata.
"Ah, Tan-suheng, tak kusangka di dunia ini ada pemandangan yang demikian menyedihkan. Tak kusangka bahwa banyak sekali bangsa kita yang hidup sengsara! Ah, kini aku mengerti mengapa kau menjadi maling!"
Tan Hong menghela napas lega.
"Sumoi, ternyata kau juga mempunyai keadilan dan kejujuran serta hati welas asih. Memang, jangan kaukira bahwa akupun tidak kasihan melihat kedua suami isteri hartawan yang kucuri uangnya tadi. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa selain harta yang kucuri, mereka itu masih mempunyai banyak harta lain yang takkan habis mereka makan selama hidup bersama anak cucu mereka! Dibandingkan dengan kesengsaraan para rakyat miskin itu, apakah arti kesedihan kedua suami isteri hartawan yang kehilangan sedikit uangnya itu?"
"Kau benar, suheng. Mulai sekarang aku tidak mau memandang rendah lagi kepada pekerjaanmu.
"
"Sumoi! Baru melihat saja keadaan orang-orang yang miskin dan menderita kelaparan, hatimu telah tidak kuat, itu tanda seorang berbudi mulia. Kau baru melihat saja sudah ikut merasa sengsara, apalagi aku telah mengalami sendiri!"
Tan Hong menghela napas karena teringat akan pengalamannya di waktu masih kecil.
"Engko Hong, kau pernah mengalami ... kelaparan?"
Tanyanya dan panggilannya berubah "engko"
Yang lebih mesra daripada "suheng". Perubahan ini terloncat keluar dari mulutnya tanpa dirasainya, sedangkan kedua matanya memandang dengan bersinar penuh perasaan iba.
Tan Hong tersenyum sedih.
"Ayah ibuku meninggal karena kelaparan! Hal ini baru kepadamu saja kuceritakan dan tak perlu aku malu akan hal itu. Sedangkan aku sendiripun hampir saja mati kelaparan kalau tidak ditolong oleh suhu."
Siok Lan makin tertarik dan mendesak supaya Tan Hong menceritakan pengalamannya dengan singkat dan Siok Lan yang mendengar penuturan ini, mengucurkan air mata karena terharu dan kasihan.
"Alangkah malang nasibmu, engko Hong. Kini mengertilah aku mengapa kau selalu bermuram durja seperti seorang yang telah menderita kesengsaraan hebat, dan tahu pula aku mengapa kau demikian memperhatikan nasib-nasib orang-orang yang menderita kelaparan hingga rela menjadi maling untuk menolong mereka! Kau mencuri semata-mata untuk menolong rakyat miskin hingga kau melupakan dirimu sendiri, dan lihatlah pakaianmupun sudah penuh tambalan. Ah, aku dulu sala sangka, engko Hong. Kau benar-benar seorang maling budiman yang mulia dan suci!"
"Terima kasih, adikku yang baik. Sekarang aku tidak menderita lagi, bahkan aku merasa hidupku penuh bahagia. Terutama sekali semenjak kita bertemu."
Tan Hong memandang tajam dan untuk sesaat Siok Lan membalas pandang, mata pemuda itu, akan tetapi gadis ini segera menundukkan muka dengan malu.
"Ah, hari telah mulai terang, mari kita pulang. Tentu Ong-suheng menanti-nanti kita!"
Katanya sambil melompat jauh. Tan Hong mengejar dan mereka lalu lari dengan cepat menuju ke rumah penginapan.
***
Ketika mereka tiba di atas genteng rumah penginapan itu, alangkah terkejut mereka melihat betapa Ong Kai sedang mengamuk dan dikeroyok oleh lima orang yang berpakaian sebagai piauwsu!
Ternyata ketika Ong Kai berada seorang diri di dalam kamarnya dan tidur nyenyak, menjelang fajar, tiba-tiba ia mendengar suara banyak kaki orang berada di atas genteng kamarnya. Pemuda ini menyangka bahwa tentu ada orang-orang jahat hendak menyerbu, maka cepat ia mencabut pedangnya dan keluar dari jendela kamarnya. Benar saja, di atas genteng ia melihat bayangan beberapa orang memegang pedang.
Ong Kai memang pemberani dan tabah. Ia segera mengayun tubuhnya melompat ke atas sambil membentak.
"Bangsat-bangsat kecil, mau apa pagi-pagi datang mengganggu orang?"
Kelima orang yang berada di atas genteng melihat pemuda muka hitam ini, berseru.
"Nah, ini dia orangnya! Tangkap! Bunuh!"
Mereka lalu maju mengeroyok tanpa banyak pertanyaan lagi!
Tentu saja Ong Kai sangat marah. Ia maklum tentu telah terdapat salah paham dan salah sangka, akan tetapi dasar ia berhati keras dan tabah, ia tidak mau banyak bertanya pula. Dengan sengit ia memutar-mutar pedangnya dan kelima orang piauwsu yang mengepungnya itu terpaksa mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk menahan amukan pemuda muka hitam itu! Biarpun ia hebat dan keras hati, namun Ong Kai masih dapat membedakan orang jahat dan orang baik, maka iapun tidak mau menurunkan tangan kejam, dan hanya memainkan pedangnya sedemikian rupa untuk memamerkan kepandaian saja tanpa mengirim serangan yang dapat mendatangkan bahaya bagi kelima orang musuhnya!
Pada saat itu datanglah Tan Hong dan Siok Lan. Melihat bahwa para pengeroyok Ong Kai berpakaian piauwsu, Tan Hong segera berseru.
"Saudara-saudara, tahan dulu! Saudaraku inipun seorang piauwsu, mengapa kalian mengeroyoknya?"
Kelima orang piauwsu itu memang telah terdesak hebat dan tak berdaya, maka ketika mendengar teriakan Tan Hong ini mereka lalu melompat mundur dan berdiri berjajar sambil memandang tajam.
Ong Kai tertawa bergelak-gelak.
"Ha, ha, ha! Piauwsu kampungan! Bagaimana, sudah kenal kehebatanku? Tiada hujan tiada angin kalian datang mengeroyokku, apakah di rumah tidak mempunyai pekerjaan lalu iseng-iseng memamerkan kepandaianmu?"
Seorang di antara kelima piauwsu itu tidak lain adalah Lim-piauwsu dari Wi-ciu yang pernah bertempur dan mengejar dan berusaha menangkap Tan Hong ketika pemuda ini berada di Wi-ciu. Melihat kedatangan Tan Hong, Lim-piauwsu terkejut dan segera menjura.
"Ah, Gin-kiam Gi-to datang, tentu taihiap akan dapat menerangkan sejelasnya kepada kami, oleh karena kami percaya bahwa taihiap bukan tergolong para perampok hina!"
"Sabarlah dulu kawan-kawan, sebenarnya apakah yang telah terjadi?"
Tanya Tan Hong.
"Mereka berlima ini datang-datang menyerbuku tanpa memberi kesempatan sedikitpun!"
Seru Ong Kai dengan suara marah.
Lim-piauwsu menghela napas.
"Mungkin sekali kami salah sangka, harap kau sudi memberi maaf,"
Katanya kepada Ong Kai. Kemudian kepada Tan Hong ia berkata.
"Marilah kita turun ke bawah saja, kurang leluasa bicara di atas genteng.
"
Semua orang lalu melayang turun dan oleh karena rombongan piauwsu-piauwsu itu telah dikenal dan dihormati semua penduduk sebagai orang-orang gagah, maka mudah saja bagi Lim-piauwsu untuk minta kepada pengurus hotel agar supaya ruang belakang disediakan khusus untuk mereka dan tidak boleh diganggu orang lain.
Setelah memasuki ruang belakang dan makan suguhan bakpauw dan air teh yang dipesan Lim-piauwsu, sebelum bercerita, Lim-piauwsu minta kepada Tan Hong supaya memperkenalkan si muka hitam dan si nona cantik itu.
"Ini adalah suteku bernama Ong Kai dan pekerjaannya juga menjadi piauwsu di Luikoan-bun, dan nona ini adalah sumoi-ku bernama Lo Siok Lan.
"
Lim-piauwsu kembali menyatakan penjelasannya yang telah salah melihat orang dan minta supaya Ong Kai suka memberi maaf.
"Nanti dulu!"
Kata Ong Kai.
"Soal minta maaf tidak ada artinya. Yang penting aku ingin sekali mengetahui, kalian sangka siapa aku ini?"
Dengan sejujurnya Lim-piauwsu menjawab.
"Kami tadinya menyangka bahwa kau adalah Hek-bin-mo!"
"Hai!!"
Oang Kai bangun dari tempat duduknya dengan kaget dan heran, sedangkan Tan Hong dan Siok Lan juga merasa terkejut sekali. Akan tetapi kelima piauwsu itu memandang heran tidak mengerti mengapa ketika orang muda itu menjadi demikian kaget.
"Apakah kalian ini kembali hendak mencari perkara dengan aku? Jangan kalian main-main!"
Ong Kai membentak dan wajahnya yang hitam itu menjadi makin hitam oleh karena darah merah menjalar di urat-urat mukanya.
"Lim-piauwsu, suteku ini memang bernama Hek-bin-mo!"
Kata Tan Hong.
Kini Lim-piausu dan kawan-kawannyalah yang terkejut sekali dan Lim-piauwsu buruburu berdiri menjura kepada Ong Kai.
"Maaf ... ! Maaf ..., sekali lagi terjadi salah paham yang sama sekali tak kami sangka dan sekali-kali kami tidak sengaja hendak membikin marah dan tak senang kepada Ong-enghiong. Kami memang tidak membohong atau hendak mempermainkan orang, akan tetapi benar-benar kepala perampok yang kami musuhi itupun disebut Hek-bin-mo dan bernama Ciauw Lek."
Lim-piauwsu lalu menuturkan bahwa baru-baru ini muncul serombongan perampok yang berkepandaian tinggi dan yang sama sekali tidak menghargai persahabatan dan mengganggu pengiriman barang-barang yang dikawal oleh para piauwsu. Lim-piauwsu dan beberapa orang kawan telah mendatangi sarang perampok baru itu di sebuah hutan, akan tetapi mereka tidak mau memperdulikannya, bahkan para piauwsu itu lalu dimaki, dihina, kemudian diserang hingga sebuah pertempuran hebatpun terjadi. Akan tetapi, perampokperampok itu terlampau hebat hingga rombongan piauwsu itu dipukul mundur, bahkan tiga orang kawan Lim-piauwsu mendapat luka berat.
Dengan hati marah Lim-piauwsu lalu mengumpulkan kawan-kawannya dari beberapa kota dan mereka ini lalu menyerbu ke dalam hutan untuk membuat pembalasan, akan tetapi kembali mereka dipukul mundur. Di antara pimpinan perampok, terdapat tiga orang kepala perampok yang memiliki kepandaian silat tinggi sekali. Seorang di antara ketiga kepala rampok ini bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan berjuluk Hek-bin-mo! Dua orang yang lain adalah orang-orang tua yang berkepandaian hebat sekali, yakni dua saudara kembar bernama Ang Houw dan Ang Touw dan yang dinamai orang Sepasang iblis Kembar!"
Setelah menceritakan ini semua, Lim-piauwsu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan Tan Hong dan kawan-kawannya, hingga ketiga orang muda itu menjadi terkejut lalu buru-buru mengangkat bangun Lim-piauwsu dan piauwsu-piauwsu lain yang juga ikut berlutut.
"Sam-wi enghiong yang mulia, kami mohon pertolongan sam-wi untuk membantu kami, oleh karena selain sam-wi yang maju membantu, rasanya tak mungkin bagi kami untuk mengusir perampok-perampok itu dan ini berarti bahwa sumber nafkah kami menjadi lenyap! Tolonglah kami, demi persahabatan di kalangan kang-ouw."
Tan Hong merasa kasihan juga melihat keadaan para piauwsu itu. Sebetulnya ia tidak tertarik dan tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan para jago liok-lim (perampok), maka ia lalu mengambil keputusan untuk menjadi orang penengah saja dan mencoba mendamaikan perampok-perampok itu dengan para piauwsu agar dapat bekerja sama dengan baik. Juga ia tertarik mendengar kehebatan mereka dan ingin sekali menyaksikan sendiri.
Akan tetapi tidak demikian dengan Ong Kai. Semenjak tadi hatinya telah amat tertarik mendengar bahwa ada kepala rampok yang bernama sama, bermuka serupa dan bertubuh sebentuk dengan dia! Maka ia lalu berkata kepada Lim-piauwsu.
"Jangan khawatir, Lim-piauwsu! Aku takkan membiarkan seorang Hek-bin-mo lain melakukan kejahatan dan membikin cemar nama julukanku! Hendak kulihat bagaimana kehebatannya Hek-bin-mo palsu itu!"
"Lim-piauwsu, memang benar ucapan Ong-sute. Kita harus saling bantu dan sudah menjadi keharusan kita untuk membantu kawan-kawan yang menderita kesukaran. Biarlah siauwte ikut bersamamu ke sarang perampok itu dan mencoba mendamaikan urusan ini."
Sementara itu, Siok Lan tidak mau berkata apa-apa, dalam hati gadis ini merasa heran sekali melihat sikap Tan Hong. Pemuda itu sendiri adalah seorang maling besar, bagaimana sekarang ia mau memusuhi perampok? Bukankah mereka masih segolongan? Betapapun juga, apabila Tan Hong memusuhi golongan perampok, maka ia akan dapat dianggap mengkhianati golongan sendiri!
Setelah bersiap sedia, Lim-piauwsu lalu memberitahukan kepada kawan-kawan piauwsu lainnya, hingga tak lama kemudian telah berkumpul dua puluh orang piauwsu yang mengantar ketiga orang muda itu ke hutan tempat perampok itu bersarang. Mereka ini merupakan sebuah barisan panjang yang berjalan dengan sikap gagah oleh karena mereka menaruh pengharapan besar untuk dapat membalas dendam kepada para perampok yang bertindak sewenang-wenang itu. Dari Lim-piauwsu mereka mendengar bahwa ketiga anak muda yang hendak membantu mereka itu adalah pendekar-pendekar yang berkepandaian tinggi, bahkan yang seorang adalah Gin-kiam Gi-to yang terkenal. Para piauwsu ini kagum sekali melihat Siok Lan yang selain cantik jelita, juga bersikap pendiam dan tampak gagah sekali. Oleh karena di antara rombongan piauwsu ini banyak pula yang masih muda-muda, maka sebagaimana biasanya pemuda-pemuda menghadapi seorang gadis jelita, biarpun mereka tidak berani terang-terangan oleh karena mendengar akan kehebatan Siok Lan, namun mereka tetap berlumba untuk berlagak agar nampak gagah dan menarik perhatian gadis itu! Akan tetapi, Siok Lan berjalan sambil tunduk dan sama sekali tidak mau memperdulikan pandangan mata semua orang, baik yang datang dari fihak rombongan piauwsu sendiri, maupun yang datang dari penduduk yang melihat rombongan itu berjalan. Para penduduk telah mendengar berita bahwa rombongan ini hendak menyerbu perampok dan mereka kagum melihat bahwa di antara sekian banyak laki-laki gagah, terdapat seorang pendekar wanita yang demikian cantik jelita dan yang berjalan dengan tenang, seakan-akan tidak sedang hendak menghadapi pertempuran dengan para perampok ganas !
***
Yang merajai hutan Pek-siong-lim adalah tiga orang kepala rampok yang diceritakan oleh Lim-piauwsu tadi, yakni kedua saudara kembar yang sudah tua Ang Houw dan Ang Touw yang berjuluk Sepasang Iblis Kembar, dan si muka hitam Ciauw Lek yang disebut orang Hek-bin-mo si Iblis Muka Hitam, julukan yang sama benar dengan julukan Ong Kai!
Mereka bertiga merupakan tiga serangkai yang telah membuat nama besar di daerah utara, akan tetapi pada suatu hari, di utara telah muncul seorang pendekar tua yang memiliki kepandaian tinggi sekali, sungguhpun keadaan kakek itu amat miskin dan buruk. Munculnya pendekar perantau ini membuat gempar kalangan liok-lim oleh karena pendekar ini benci sekali kepada bangsa perampok dan penjahat. Banyak sekali rampok yang telah tewas dan roboh di tangan pendekar ini, dan Ciauw Lek beserta kedua orang kawannya lalu lekas-lekas melarikan diri. Mereka lalu kabur ke selatan dan akhirnya memilih tempat di hutan Pek-sionglim, menjadi kepala rampok disitu. Tertarik oleh kehebatan tiga orang kepala rampok ini, banyak anak buah rampok yang datang membantu mereka.
Tak lama kemudian daerah itu menjadi tidak aman. Kepala rampok yang dulu, yang ditewaskan oleh ketiga kepala rampok baru ini, dapat bekerja sama dan menghargai para piauwsu hingga tak pernah mengganggu barang-barang yang dilindungi oleh para piauwsu ini. Sebaliknya para piauwsu juga seringkali memberi sumbangan-sumbangan kepada kepala rampok itu. Akan tetapi, setelah kepala rampok digantikan oleh Sepasang Iblis Kembar dan si Muka Hitam, siapa saja yang melewati daerah itu tentu akan dirampok habis-habisan tanpa pilih bulu! Bahkan ketiga orang kepala rampok baru ini tidak segan-segan menyerbu ke dalam dusun-dusun dan merampok penduduk dusun, mengangkut hasil bumi yang mereka tanam dengan susah payah!
Di antara semua piauwsu yang menjadi korban, juga barang-barang di bawah perlindungan Lim-piauwsu tak terkecuali. Lim-piauwsu menjadi marah dan menyerbu, akan tetapi kepandaian ketiga kepala rampok itu benar-benar hebat, hingga bukan saja ia tidak dapat mengalahkan mereka, bahkan di antara kawan-kawannya ada yang tewas dan luka!
Kini setelah para piauwsu itu bertemu dengan Ong Kai yang telah mereka ketahui kehebatannya ketika kelima piauwsu itu mengeroyoknya, dan terutama oleh karena Ong Kai berkawan dengan Tan Hong si Maling Budiman yang terkenal itu, ditambah pula dengan seorang pendekar wanita yang biarpun belum mereka saksikan kehebatannya, akan tetapi oleh karena pendekar wanita itu menjadi adik seperguruan dari si Maling Budiman, mereka percaya bahwa gadis pendekar itupun tentu memiliki ilmu silat yang tinggi pula. Tentu saja mereka berbesar hati dan timbul pengharapan mereka untuk dapat mengusir gerombolan perampok yang jahat itu.
Ang Houw dan Ang Touw serta Ciauw Lek, mempunyai banyak sekali anak buah dan mereka memang mengadakan aturan yang keras serta berdisiplin. Di setiap sudut hutan Peksiong-lim mereka tugaskan penjaga-penjaga dan penyelidik-penyelidik hingga kedatangan para piauwsu itu telah mereka ketahui dengan cepat.
Ciauw Lek tertawa geli.
"Ha, ha, ha, piauwsu-piauwsu anjing itu benar-benar ingin mampus! Apakah mereka belum juga kapok? Lebih baik mengirim tanda takluk kepada kita agar kita dapat mengampuni mereka, daripada datang mengantar kematian! Ha, ha, ha!"
"Ciauw-sute, jangan kau pandang rendah mereka. Menurut laporan penyelidik, kini mereka datang mengiringkan tiga orang muda yang agaknya menjadi jago mereka. Lebih baik kita berhati-hati menghadapi mereka,"
Kata Ang Houw yang tertua dan lebih berhati-hati sikapnya.
"Twako berkata benar, sute,"
Kata Ang Touw yang selalu membela kakaknya.
"Memang tidak ada salahnya kalau kita berhati-hati agar jangan sampai mengalami kegagalan seperti ketika di utara.
"
Ciauw Lek yang bermuka hitam mencibirkan bibirnya dan tersenyum menghina.
"Orang-orang selatan yang lemah ini perlu apa ditakuti? Tapi, kalau ji-wi twako hendak mengadakan sambutan secara baik-baik, akupun setuju saja. Apakah aku harus melarang anak buah yang hendak menganggu mereka?"
"Biarlah, biar mereka maju lebih dulu untuk sekedar menguji keadaan dan kekuatan mereka. Kita bersembunyi dan melihat sepak terjang mereka lebih dulu.
"
Ketiga kepala rampok ini lalu mengatur persiapan dan memberi perintah-perintah kepada anak buah mereka. Mereka lalu mengadakan pencegatan di sebuah tikungan yang banyak ditumbuhi pohon siong yang besar-besar.
Rombongan piauwsu itu masuk ke dalam hutan dan hampir semua piauwsu yang pernah mengalami kekalahan besar di dalam hutan ini mau tidak mau merasa dag-dig-dug juga. Akan tetapi oleh karena melihat betapa Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan berjalan dengan sikap tenang dan berani, mereka lalu turut maju sambil memandang kekanan ke kiri sambil bersiap-sedia dengan pedang atau senjata lain di tangan!
Ketika mereka tiba di tukungan di mana para perampok telah menanti sambil bersembunyi di belakang pohon, tiba-tiba Tan Hong dan kedua orang kawannya yang bermata tajam berhenti dan mengangkat tangan ke belakang memberi isyarat supaya semua piauwsu berhenti.
Tiba-tiba dari depan terdengar suara mengiuk dan belasan batang anak panah meluncur cepat dari segala jurusan! Akan tetapi anak-anak panah ini kesemuanya menuju ketiga orang muda yang berdiri di depan. Ini memang kehendak para kepala perampok yang hendak menguji kepandaian ketiga orang muda itu!
Ong Kai dan Tan Hong tenang-tenang saja, akan tetapi Siok Lan merasa marah sekali. Gadis ini tahu-tahu telah melompat ke depan sambil mencabut pedangnya hingga semua anak panah kini menuju kepada tubuhnya. Para piauwsu memandang dengan mata terbelalak dan hati berdebar. Akan tetapi, secepat kilat Siok Lan memutar pedangnya dan runtuhlah semua anak panah yang menyambar ke arah dirinya, bagaikan air hujan terhalang payung. Inilah gerakan pedang yang disebut Dewi Kwan Im Membuka Payung! Kagumlah para piauwsu melihat kehebatan gadis ini dan mereka memuji dengan girang. Ternyata gadis pendekar ini tidak mengecewakan harapan mereka!
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono