Ceritasilat Novel Online

Maling Budiman Pedang Perak 5


Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Perampok-perampok rendah tak tahu malu! Keluarlah kalau kalian laki-laki sejati, jangan menyerang secara gelap bagaikan lakunya pengecut hina!"

   Tiba-tiba dari belakang pohon berlompatan keluar lima orang tinggi besar yang memegang golok di tangan. Mereka ini maju menubruk dengan golok terangkat ke arah Siok Lan!

   Kagetlah para piauwsu itu, apalagi ketika mereka melihat betapa Tan Hong dan Ong Kai hanya tersenyum sambil menonton saja, sama sekali tidak hendak membantu dara jelita yang dikeroyok lima orang itu! Akan tetapi, sekali lagi mereka tertegun dan kagum. Siok Lan berseru keras dan memutar pedangnya sedemikian rupa hingga sekali tangkis saja kelima golok lawannya terpental! Anak buah perampok itu terkejut dan hendak lari, akan tetapi tangan kiri dan kaki kanan Siok Lan bergerak cepat, dan robohlah dua orang perampok yang larinya paling belakang!

   Gadis pendekar itu lalu memasukkan pedangnya di sarung pedang dan kini ia menyambar lengan tangan kedua orang itu dan menyentak keras ke atas sambil berseru.

   "Perampok-perampok hina, terimalah kembali dua ekor anjingmu ini!"

   Dan luar biasa sekali! Dengan sekali ayun saja kedua tubuh anak buah perampok itu, terlempar ke arah pohonpohon di depan bagaikan jatuhnya dua buah nangka!

   Akan tetapi pada saat itu terdengar seruan "Hebat sekali!"

   Dan dari belakang semak-semak melayang keluar tubuh seorang tua yang cepat meyambar tubuh kedua anak buah perampok yang masih melayang dan agaknya hendak membentur batang pohon itu! Begitu kakek itu mengulur kedua tangannya, ia berhasil menangkap dengan tepat leher baju kedua perampok dan tubuhnya melayang turun dengan gerakan ringan sekali. Kemudian ia mendorong kedua perampok itu ke kanan dan ke kiri hingga keduanya jatuh terguling ke dalam semak!

   Diam-diam Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan kagum juga melihat gerakan Garuda Sakti Menyambar Kelinci yang diperlihatkan oleh kakek tadi untuk menolong kedua orang perampok itu.

   Kakek itu tidak lain ialah Ang Houw dan pada saat itu juga, Ang Touw dan Ciauw Lek keluar pula dari tempat persembunyian mereka. Ketika melihat Ciauw Lek keluar, Tan Hong dan Siok Lan hampir tak dapat menahan geli hati mereka. Memang, orang tinggi besar ini hampir serupa dengan Ong Kai, baik kehitaman mukanya, maupun tubuhnya yang tinggi besar itu. Kalau saja Ong Kai berdiri di sebelah orang hitam ini, maka di situ akan terdapat dua orang kembar, oleh karena kedua orang itupun serupa betul!

   Ang Houw yang selalu berhati-hati lalu menjura kepada ketiga anak muda itu dan bertanya.

   "Bolehkah kami mengetahui siapakah lihiap yang gagah ini dan siapa pula ji-wi enghiong yang datang memasuki daerah kami dengan para piauwsu itu?"

   Sebelum Tan Hong membuka mulut menjawab, ia telah didahului oleh Ong Kai yang menuding sambil membentak marah.

   "Perampok-perampok busuk! Sebelum kalian bertanya, mengakulah lebih dulu. Apakah setan ini yang berani memakai nama julukan Hek-bin-mo?"

   Sambil berkata demikian, ia menunjuk ke arah hidung Ciauw Lek!

   Memang semenjak tadi Ciauw Lek memperhatikan Ong Kai yang nampak gagah itu, maka kini mendengar betapa pemuda muka hitam itu, mengeluarkan kata-kata menghina dan datang-datang memaki dirinya, ia lalu balas membentak.

   "Akulah Hek-bin-mo Ciauw Lek! Kau setan hitam, mau apa bertanya dan menyebut-nyebut namaku?"

   "Bagus! Kalau begitu, mulai saat ini aku melarang kau menggunakan nama julukan Hek-bin-mo dan mulai saat ini kaupun harus pergi dari hutan ini dan jangan berani mengganggu orang lagi. Kalau tidak, tuanmu ini akan memutar batang lehermu!"

   Bukan main marahnya Ciauw Lek mendengar ini. Kedua matanya melotot dan dadanya naik turun terdorong gelombang kemarahan.

   "Setan hutan! Siapa kau maka berani berlagak sesombong ini?"

   Ong Kai tertawa.

   "Dengarlah, monyet! Aku bernama Ong Kai dan aku disebut Hek-bin-mo!"

   Tan Hong dan Siok Lan tersenyum geli dan para piauwsu itupun menahan geli hati mereka, sungguhpun mata mereka memandang dengan penuh ketegangan melihat lagak kedua orang tinggi besar yang menyeramkan itu. Dengan heran Ciauw Lek melangkah mundur setindak.

   "Kau ... ! Hek-bin-mo palsu!"

   "Bangsat, kalau begitu kau harus mampus!"

   Ong Kai lalu menerjang dengan kepalan tangan dalam gerak pukulan Raja Maut Merampas Nyawa! Pukulan ini hebat sekali, akan tetapi dengan berani Ciauw Lek lalu menangkis dengan lengan tangannya. Dua lengan tangan yang besar dan kuat beradu dan akibatnya Ciauw Lek terhuyung mundur tiga langkah!

   Melihat ini, kedua saudara kembar she Ang itu lalu maju dan berkata.

   "Sute, tahan dulu. Biar kita bicara dulu dengan mereka ini!"

   Juga Tan Hong yang sebetulnya hanya bermaksud menjadi pendamai saja, mencegah Ong Kai menyerang terus.

   "Ong-sute, sabarlah dulu.

   "

   Ong Kai menggigit bibirnya.

   "Kalau tidak dihalangi, pasti aku akan putar batang lehermu sampai putus!"

   Ang Houw lalu bertanya kepada Tan Hong, oleh karena itu ia tahu bahwa pemuda ini yang menjadi pemimpin rombongan itu.

   "Enghiong yang gagah, sekali lagi kami ulangi pertanyaan kami tadi. Apakah maksudmu datang ke sini dan memusuhi kami? Apakah sam-wi sengaja datang hendak membela para piauwsu itu?"

   Tan Hong menjawab dengan suara halus dan tenang.

   "Tai-ong, sebenarnya kami datang hanya hendak mendamaikan urusan yang timbul di antara kalian dan para piauwsu. Kami minta kiranya kalian sudi bertindak bijaksana dan tidak melakukan perampasan terhadap barang-barang yang dilindungi oleh para piauwsu itu. Ingatlah bahwa mereka inipun melakukan tugas pekerjaan mereka dan apabila kalian mengganggu, maka berarti kalian menanam bibit permusuhan yang tiada habisnya.

   "

   "Kau anak muda, kurus kering dan jembel busuk! Siapakah kau ini maka begini cerewet?"

   Tiba-tiba Ciauw Lek membentak dan menubruk ke arah Tan Hong sambil mengirim kepalan ke arah kepala Tan Hong. Tan Hong berlaku tenang, dengan sedikit memiringkan kepala ia mengelak dari pukulan ini dan tanpa bergerak dari tempatnya, kaki kirinya meluncur ke depan dan tubuh Ciauw Lek tertendang sampai terlempar dua tombak jauhnya! Untung bagi si muka hitam bahwa Tan Hong tidak hendak mencelakakan jiwanya, maka ia hanya mendapat sedikit luka dan kecet saja ketika tubuhnya terlempar ke semak-semak berduri!

   Biarpun Ang Touw juga mempunyai watak lebih sabar daripada Ciauw Lek, akan tetapi ia tidak sesabar Ang Houw. Melihat sutenya dirobohkan orang sedemikian mudahnya, naiklah darahnya dan secepat kilat ia maju menyerang dengan pedang di tangan! Ia menyerang dengan gerakan Burung Walet Pulang ke Sarang dan pedangnya meluncur ke arah leher Tan Hong! Melihat kecepatan gerakan ini dan merasa betapa pedang itu mendatangkan angin yang cukup hebat, Tan Hong lalu mencabut pedangnya dan menangkis. Tergetarlah telapak tangan Ang Touw ketika pedangnya kena ditangkis, akan tetapi tangkisan itu tidak cukup kuat untuk membuat pedangnya terpental! Diam-diam Tan Hong juga memuji tenaga orang itu.

   Akan tetapi, ketika melihat pedang perak itu berkilauan di tangan Tan Hong, seorang di antara para anak buah perampok berteriak.

   "Hai, dia adalah Gin-kiam Gi-to si Maling Budiman!"

   Terkejutlah ketiga kepala rampok itu mendengar nama ini disebut, Ang Houw segera menjura dan bertanya.

   "Betulkan, kau Gim-kiam Gi-to?"

   Tan Hong tak menyembunyikan nama julukannya dan mengangguk sambil memandang tajam.

   Maka merahlah wajah Ang Houw mengetahui bahwa pemuda yang hebat ini benar-benar si Maling Budiman adanya! Ia lalu menuding dan berkata marah.

   "Gin-kiam Gi-to! Kau seorang maling yang telah membuat nama besar, akan tetapi ternyata kau sama sekali tidak tahu aturan dalam kalangan liok-lim! Kau sendiri seorang maling, mengapa kau membela para piauwsu dan datang memusuhi kami? Apakah ini takkan membuat sesama kaum mengatakan bahwa sebagai seekor bebek kau telah berani masuk ke kandang besar dan menyerang angsa?"

   Perumpamaan ini dimaksudkan bahwa seekor bebek yang kecil tentu tidak mau menyerang angsa yang masih segolongan dengannya!

   Tan Hong tersenyum dingin dan menjawab.

   "Tai-ong, jangan kau berlancang mulut dan menggolongkan aku sebagai golonganmu! Biarpun aku seorang maling, akan tetapi bukan sembarang maling seperti yang kaukira! Memang pada umumnya, seorang maling boleh diumpamakan saudara muda dari seorang perampok! Akan tetapi, kau merampok, membunuh, dan mencelakakan orang lain hanya untuk memenuhi dan menyenangkan kebutuhan sendiri. Kau melakukan kejahatan terdorong oleh nafsu tamak dan terdorong oleh keinginan hidup mewah sehingga melupakan perikemanusiaan dan perikeadilan! Jangan kau persamakan aku dengan golonganmu ini! Selama menjalankan pencurian, aku belum pernah mempergunakan hasil curianku untuk kepentinganku sendiri! Kau dan kawan-kawanmu telah mengganggu dan mencelakakan para piauwsu ini, serta menurut pendengaranku, kalian telah melakukan perampokan ke dusun-dusun, merampok penduduk yang miskin, bahkan melakukan pembunuhan-pembunuhan! Oleh karena itulah maka aku dan kedua adikku ini datang untuk memberi peringatan keras kepadamu!"

   Ucapan Tan Hong ini disertai amarah yang meluap oleh karena ia tidak rela bahwa dirinya dipersamakan dengan mereka, penjahat-penjahat kejam ini!

   Merahlah muka Ang Houw.

   "Jangan sembarangan menuduh! Aku tak pernah merampok penduduk dusun sebagaimana yang kau katakan itu!"

   Tan Hong tersenyum menyindir.

   "Mungkin bukan kau sendiri yang bertindak. Akan tetapi kalau anak buahmu yang berbuat, apakah kau hendak melepaskan tanggung jawab dari tanganmu? Tidak bisa, tai-ong. Anak kecil yang berbuat jahat, orang tua harus bertanggung jawab. Anak buah yang menyeleweng, pemimpinnya tak lepas dari pertanggung jawabnya!"

   Kini Ang Touw tak dapat menahan sabarnya lagi.

   "Gin-kiam Gi-to, apa kaukira kami berdua saudara Ang takut kepadamu? Marilah kita putuskan perkara ini dengan tangan, bukan dengan lidah! Apakah yang kau kehendaki? Kau datang bertiga dan kamipun bertiga pula! Kita mengadu kepandaian tiga lawan tiga atau maju semua dengan piauwsu itu? Anak buah kami juga sudah bersiap!"

   Tan Hong maklum bahwa apabila semua maju akan terjadilah pertempuran besar dan akan banyak orang yang terluka atau tewas, maka ia berkata lantang.

   "Sam-wi tai-ong! Marilah kita mengadu kepandaian sebagai layaknya orang-orang ksatria, dan tidak main keroyokan! Ingin sekali kami bertiga minta pengajaranmu!"

   Tiba-tiba Ciauw Lek melompat maju dengan marah.

   "Aku maju lebih dulu, siapa yang hendak main-main denganku?"

   Ong Kai cepat menyambut si muka hitam ini.

   "Setan palsu! Akulah lawanmu!"

   Hekbin-mo ini cepat mencabut pedangnya.

   "Bagus! Kaukira aku takut kepada tenagamu yang besar? Majulah kau, setan!"

   Ong Kai lalu menyerang yang ditangkis dengan gesit oleh Ciauw Lek dan mereka lalu bertempur sengit. Semua orang menonton pertempuran ini dan para piauwsu bersiap sedia menghadapi kemungkinan majunya para anggauta perampok jika akan menyerbu.

   Ilmu pedang Ciauw Lek cukup hebat dan ganas dan dari gerakan kaki dan tangan kirinya yang kadang-kadang maju pula menyerang dengan cengkeraman, dapat diduga bahwa ia mempunyai ilmu kepandaian silat dari utara yang tercampur dengan ilmu berkelahi bangsa Mongol. Akan tetapi, menghadapi Ong Kai ia tak mendapat banyak kesempatan, oleh karena selain tenaga lweekang Ong Kai lebih besar, juga ilmu pedangnya yang berdasarkan ilmu pedang Bok-san Kiam-hoat itu ternyata mempunyai gerakan-gerakan yang aneh dan lebih cepat daripada ilmu pedang Ciauw Lek. Akan tetapi, oleh karena Ciauw Lek bertempur dengan nafsu besar dan dengan nekad, untuk beberapa lama Ong Kai belum mendapat kesempatan merobohkannya.

   Para penonton merasa khawatir melihat pertempuran yang hebat ini. Tubuh kedua orang itu berputar-putar cepat hingga sukar membedakan mana Ong Kai dan mana Ciauw Lek! Akan tetapi Tan Hong dan Siok Lan dengan girang dapat melihat bahwa Ong Kai berada di pihak yang lebih unggul dan perlahan tapi tentu Hek-bin-mo itu mendesak lawannya.

   "Hai, setan busuk! Kau berjanjilah untuk menanggalkan nama julukan Hek-bin-mo, baru aku mau mengampuni kau!"

   Ong Kai berseru sambil mendesak dengan pedangnya.

   "Bangsat rendah, jangan banyak mulut!"

   Balas Ciauw Lek sambil menangkis dengan sekuat tenaga. Akan tetapi ternyata serangan Ong Kai itu hanya gertak belaka dan ketika lawannya menangkis dengan keras, Ong Kai menarik kembali pedangnya dan cepat membuat serangan dari samping. Serangan ini tidak diduga-duga sama sekali oleh Ciauw Lek, oleh karena si muka hitam ini sedang mengerahkan tenaga untuk menangkis serangan pertama, maka tidak ampun lagi ujung pedang Ong Kai mengenai pundak kirinya! Ciauw Lek menjerit dan darah mengucur dari pundaknya, akan tetapi dengan nekad, ia menyerang lagi.

   "Eh ... eh, masih belum kapok? Ayoh, berjanjilah untuk tidak mengganggu penduduk kampung, baru aku mau memberi ampun!"

   Sekali lagi Ong Kai berseru.

   "Bangsat sombong, saat ini aku Ciauw Lek akan menyabung jiwa denganmu!"

   Melihat keadaan Ciauw Lek, Ong Kai lalu menggerakkan pedangnya bagaikan kitiran angin cepatnya dan ketika Ciauw Lek terdesak mundur hingga terhuyung-huyung, kaki kanan Ong Kai cepat menyambar dan tepat menendang dada lawannya hingga tubuh Ciauw Lek terlempar jauh dan roboh pingsan!

   Para piauwsu bersorak girang melihat robohnya kepala rampok muka hitam yang tangguh itu, sedangkan pihak perampok menjadi marah sekali. Mereka telah bersiap untuk mengeroyok kalau saja mendapat komando dari kedua saudara Ang. Akan tetapi, baik Ang Touw maupun Ang Houw tidak memberi perintah apa-apa, hanya Ang Touw yang segera melompat maju dengan pedang di tangan, dan yang segera disambut oleh Siok Lan.

   "Apakah kau mengiri melihat robohnya adikmu dan ingin juga merasakan betapa senangnya roboh pingsan?"

   Gadis ini menyindir hingga Ang Touw menjadi marah dan tanpa berkata apa-apa kepala rampok yang tua itu menyerang. Serangannya benar-benar hebat dan kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada kepandaian Ciauw Lek hingga Siok Lan mengelak cepat dan berlaku hati-hati.

   Kalau pertempuran Ciauw Lek dan Ong Kai tadi mendebarkan jantung para penontonnya oleh karena keduanya mengadu tenaga dan kekuatan hingga debu mengepul di sekitar tempat di mana kaki mereka bergerak, adalah pertempuran kali ini membuat mata para penonton menjadi kabur dan kepala mereka pening. Gerakan kedua orang ini demikian cepatnya hingga tubuh mereka merupakan sinar saja, yakni sinar berkelebatnya pedang mereka yang menutupi tubuh! Diam-diam Tan Hong memuji kepandaian Ang Touw ini, akan tetapi ia percaya akan ketangguhan dan kehebatan Siok Lan.

   Memang sebenarnya Siok Lan kalah pengalaman dan kalah ulet, akan tetapi dalam hal ilmu pedang gadis yang telah mewarisi ilmu pedang Bok-san-pai dari ayahnya ini, ternyata masih menang setingkat. Juga oleh karena lawannya sudah tua, maka kegesitan Ang Touw telah banyak berkurang, berbeda dengan Siok Lan yang memiliki ginkang yang cukup sempurna hingga gerakan-gerakannya tiada ubahnya bagaikan seekor burung kepinis saja!

   Dalam saat yang tepat, ketika Ang Touw menyerang dengan tipu gerakan Angin Selatan Menghembus Cemara, Siok Lan tidak mau menangkis pedang yang ditusukkan ke arah lehernya, akan tetapi dengan gerakan yang tak terduga gadis ini lalu berjongkok dan dari bawah mengirim tusukan ke arah perut lawannya! Gerakannya lebih cepat daripada gerakan Ang Touw hingga kepala rampok itu terkejut sekali. Untuk menangkis sudah tiada waktu baginya, maka ia terpaksa lalu menjatuhkan diri ke belakang, berjungkir balik dan membuat salto tiga kali di udara baru tubuhnya turun ke tanah. Gerakan ini indah sekali hingga Siok lan menjadi kagum, akan tetapi gadis ini tidak mau memberi kesempatan kepada lawannya, dan cepat mengejar. Baru saja kedua kaki Ang Touw menginjak tanah, tiba-tiba Siok Lan telah menyerang lagi dengan tipu Ikan Leehi Gerakkan Ekor dan pedangnya menyambar kedua kaki Ang Touw. Oleh karena baru saja kakinya turun, maka kakek ini tidak keburu melompat ke atas lagi dan terpaksa cepat menggerakkan pedangnya menangkis. Pada saat itu Siok Lan maju dan menggerakkan tangan kirinya dengan jari telunjuk dan jari tengah terbuka, menusuk ke arah mata lawan! Ang Touw terkejut dan memiringkan kepala sehingga gerakan pedangnya yang menangkis menjadi kalut. Saat ini digunakan dengan baiknya oleh Siok Lan yang mengubah tujuan pedang. Kini ujung pedangnya dimajukan sedikit hingga tahu-tahu Ang Touw merasa tangannya perih sekali dan terpaksa melepaskan pedang sambil melompat ke belakang! Ternyata sebuah jari tangannya telah putus oleh pedang Siok Lan dan darah mengucur keluar!

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Maling Budiman Berpedang Perak/Gian Kiam Gi To (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   Ang Houw yang melihat betapa kedua orang sutenya berturut-turut dikalahkan, menjadi marah sekali dan sambil mengeluarkan geraman keras, ia menyerang Siok Lan. Akan tetapi Tan Hong lalu melompat maju sambil berkata.

   "Sabar dulu, tai-ong. Untukmu sudah disediakan lawan, yakni aku sendiri. Akan tetapi sebelum kita bertempur, hendak kujelaskan lagi kepadamu, bahwa pertempuran ini bersifat mengadu kepandaian belaka dan bukan maksud kami hendak mengambil jiwa kalian. Cukup asal kalian merasa bertobat dan tidak akan mengulangi perbuatanmu yang sewenangwenang, dan suka mengembalikan barang-barang para piauwsu yang terampas, kami akan merasa puas."

   "Anak muda! Kau sungguh sombong! Kau hanya bicara tentang kemenanganmu, bagaimana kalau kau kalah olehku?"

   Tan Hong tersenyum.

   "Hal ini bukan tidak mungkin! Kalau aku sampai kalah, maka segala keputusan terserah kepadamu!"

   "Dengar, Gin-kiam Gi-to! Kalau kau kalah olehku, aku akan menawanmu dan menyerahkan kau kepada pangcu (ketua) kami dengan tuduhan bahwa kau sebagai orang dari golongan liok-lim telah mengkhianati golongan sendiri!"

   Tan Hong menjadi heran karena ia tidak menyangka bahwa mereka memiliki pangcu.

   "Siapakah pangcu yang kau maksudkan itu?"

   Juga Ang Houw merasa heran mendengar bahwa Maling Budiman ini belum pernah mendengar nama pangcu dari golongan liok-lim.

   "Pangcu kami adalah Kim-liong Hwat-su, dan beliau yang berhak menghukum segala pengkhianat golongan liok-lim.

   "

   Tan Hong merasa heran oleh karena terdengar menggelikan bahwa golongan liok-lim yang terdiri dari segala macam penjahat seperti perampok, bajak, maling dan copet itu mempunyai seorang ketua dan dengan julukan Hwat-su yang berarti seorang berilmu dan ahli kebatinan atau singkatnya seorang pendeta!

   "Selain itu, jika kau tak dapat mengalahkan aku, semua piauwsu harus berjanji untuk setiap kali lewat di sini, membayar pajak kepada kami sebanyak sepuluh bagian daripada harga barang yang mereka kawal!"

   Semua piauwsu marah mendengar usul yang keterlaluan ini. Sedangkan mereka sendiri yang bekerja keras dan mengawal barang-barang itu, tidak berani menuntut upah yang demikian tingginya!

   Tan Hong tersenyum dan bersikap tenang.

   "Sudah kukatakan tadi bahwa jika kami kalah, semua keputusan terserah kepadamu, akan tetapi ingat, aku belum kalah! Maka mari kita main-main sebentar dan segala macam keputusan itu dapat dilakukan nanti!"

   "Baik dan awas pedang!"

   Tiba-tiba Ang Houw berseru dan langsung melakukan serangan pertama. Melihat serangan Ang Houw yang mengembangkan tangan kiri keluar dan memasang bhesi (kuda-kuda) sambil menjungkitkan kedua kakinya, Tan Hong tercengang, inilah Sin-thiauw Kiam-hoat (Ilmu Pedang Rajawali Sakti) yang amat berbahaya dan hebat! Maka ia berlaku hati-hati dan melawan sambil mengeluarkan gerakan-gerakan paling hebat dari Bok-san Kiam-hoat.

   Kalau dibuat perbandingan tentang ilmu pedang Bok-san Kiam-hoat yang dimiliki Tan Hong dan Siok Lan, memang terdapat sedikit perbedaan dan sebetulnya Tan Hong jauh lebih kuat daripada gadis itu. Dulu ketika melawan Siok Lan, sengaja Tan Hong tidak mau mengalahkan dan merobohkan gadis itu. Ayah Siok Lan, yakni si Garuda Sakti Lo Cin Ki, biarpun seguru dengan Cin Cin Tojin, suhu Tan Hong, namun Lo Cin Ki lebih mengutamakan dan memperdalam pelajaran ilmu pengobatan, maka ilmu silatnya agak kurang tinggi apabila dibandingkan ilmu silat Cin Cin Tojin. Apalagi Cin Cin Tojin adalah seorang tosu perantau yang telah banyak sekali mengalami pertempuran dan banyak bertemu dengan orang-orang pandai dari segala cabang persilatan, maka tosu ini telah banyak mempelajari ilmu silat dan karenanya ia dapat menambah kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam gerakan ilmu pedang Bok-san-pai. Pula oleh karena Tan Hong mempelajari silat dengan sebuah cita-cita yakni untuk menggunakan kepandaian itu menolong sesama manusia yang menderita sengsara, maka pemuda ini belajar dengan tekun, rajin, dan sepenuh hati hingga tentu saja ia memperoleh hasil yang gemilang.

   Ang Houw memang hebat sekali dan kalau saja Siok Lan yang menghadapi orang tua ini, maka keadaan mungkin akan berimbang. Akan tetapi kini ia bertemu dengan Tan Hong, maka baru beberapa puluh jurus saja mereka bertempur, tampaklah sudah betapa kepandaian pemuda itu memang lebih tinggi daripada kepandaiannya! Keduanya bergerak perlahan, tidak seperti ketika Siok Lan bertempur melawan Ang Touw, hingga para penonton yang kurang paham ilmu silat tinggi, menganggap bahwa Siok Lan lebih gesit dan lebih hebat daripada Tan Hong. Akan tetapi, gadis itu sendiri, Ong Kai dan juga kedua kepala rampok Ang Touw dan Ciauw lek yang telah dikalahkan, maklum bahwa kedua orang itu telah memperlihatkan kepandaian asli mereka. Setiap gerakan, biar dilakukan dengan lambat atau perlahan, namun mengandung tenaga lweekang yang tinggi dan setiap serangan itu kalau ditangkis oleh sembarang orang, maka penangkisnya akan roboh terpukul tenaga dalam yang melayang keluar dari serangan itu. Tidak ada debu mengebul dari bawah kaki mereka, bahkan gerakan kaki mereka tidak terdengar sama sekali, seakan-akan tidak menginjak tanah, akan tetapi apabila diperhatikan, ternyata daun-daun di sekeliling tempat itu melambai dan bergoyang bagaikan terhembus angin, padahal pada saat itu tidak ada angin menghembus! Inilah angin pukulan yang diterbitkan oleh serangan dan gerakan kedua orang itu!

   Merasa bahwa kepandaiannya kalah tinggi, tiba-tiba Ang Houw membuat gerakan serangan nekad. Ia berseru nyaring dan pedangnya membacok, sedangkan tangan kirinya dari bawah mengirim pukulan hebat ke arah perut tan Hong dengan jari-jari tangan miring! Tan Hong mengelak, akan tetapi ia lalu membuat gerakan yang sama, yakni Dewa Mabuk Menolak Gunung. Pedang kedua orang itu bertemu dan menempel, sedangkan kedua tangan kiri mereka juga bertumbuk keras. Untuk sesaat seakan-akan kedua tangan dan kedua pedang itu melekat, akan tetapi, tiba-tiba Ang Houw mengeluh dan tubuhnya seakan-akan terdorong oleh tenaga keras sekali, terhuyung-huyung ke belakang sampai lima langkah! Wajahnya pucat sekali dan ia telah mendapat luka dalam.

   Ang Houw menjura.

   "Gin-kiam Gi-to, kau memang hebat sekali. Aku mengaku kalah, akan tetapi tunggulah datangnya hari pembalasanku!"

   Setelah berkata demikian, ia ajak kedua sutenya pergi dari tempat itu setelah meninggalkan pesan kepada para anak buahnya untuk mengembalikan semua barang-barang pada piauwsu.

   Diam-diam Tan Hong merasa menyesal sekali oleh karena ia maklum bahwa ia telah menanam bibit permusuhan dengan kepala rampok yang tangguh itu. Akan tetapi ia tidak memperlihatkan kemenyesalannya, lalu bersama kawan-kawannya membantu para piauwsu mengambil kembali barang-barang mereka yang terampas dan masih berada di dalam sarang perampok di tengah hutan itu.

   Para piauwsu, di bawah pimpinan Lim-piauwsu menghaturkan banyak terima kasih kepada Tan Hong dan kedua kawannya, dan menyebut mereka sebagai Bok-san Sam-hiap atau Tiga Pendekar dari Bok-san, yakni mengingat bahwa ketiganya adalah anak murid dari Bok-san-pai! Ong Kai merasa girang sekali atas kemenangan ini dan berkata.

   "Mulai sekarang si iblis hitam itu tentu tak berani lagi mengembari nama julukanku!"

   Tan Hong dan Siok Lan tersenyum mendengar ini. Diam-diam ketika mereka mendapat kesempatan bicara empat mata, Tan Hong berkata kepada Siok Lan.

   "Sumoi, mulai sekarang kita harus berhati-hati sekali oleh karena menurut dugaanku, ketiga kepala rampok itu tentu manaruh dendam kepada kita dan berusaha mencari balas!"

   Siok lan memandang kepada tan Hong dengan muka kagum setelah mengetahui bahwa kepandaian pemuda ini sesungguhnya masih berada lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri.

   "Hong-ko, dengan adanya kau di dekatku, aku tidak pernah merasa takut?"

   Melihat kerlingan mata dan senyum bibir gadis itu, tiba-tiba di dada kiri Tan Hong terasa detak jantungnya mengeras.

   "Aah, kau terlalu memuji, sumoi.

   "

   Katanya perlahan.

   "Hong-ko, ketika kita bertemu dan bertempur dulu itu, mengapa kau tidak mau mengalahkan aku? Padahal kalau kau mau, mudah saja, bukan?"

   Tanya Siok Lan sambil memandang tajam.

   Muka Tan Hong menjadi merah.

   "Mengapa kau berkata demikian, sumoi? Aku tak dapat mengalahkanmu, karena memang ilmu pedangmu hebat sekali!"

   
Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Diam-diam Siok Lan merasa girang oleh karena pemuda ini ternyata pandai sekali membawa diri dan tidak sombong, biarpun memiliki kepandaian tinggi. Diam-diam ia merasa tertarik dan suka sekali kepada pemuda ini, apalagi setelah ia mendengar riwayat Tan Hong ketika masih kecil yang amat menyedihkan dan mengharukan itu. Hatinya menjadi lemah dan perasaan iba serta sayang timbul dalam dadanya!

   ***

   Ketiga pendekar Bok-san-pai ini melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Pek-hoasan, mencari musuh-musuh mereka, yakni Bhok Kong Hwesio dan Kim Kong Hwesio. Di sepanjang perjalanan, tak pernah lupa Tan Hong melakukan pekerjaannya seperti biasa, dan kini tiap kali ia keluar malam untuk melakukan pencurian, Siok Lan tak pernah ketinggalan dan selalu membantunya dengan setia!

   Bahkan Ong Kai yang selalu merasa kesepian karena ditinggal seorang diri diwaktu malam, mulai mencoba ikut membantu pula. Akan tetapi, setelah sekali dua kali ia ikut dan melihat betapa di dalam pekerjaan ini ia dapat pula merasakan kebahagiaan yang nampak pada sikap orang-orang miskin yang mereka tolong, Ong Kai makin sering ikut dan mulai melakukan pekerjaan itu dengan gembira. Bahkan kini mereka bekerja secara terpisah, seorang mencuri di gedung seorang hartawan dan setelah mendapat hasil, mereka bertemu di tempat yang sudah dijanjikan lebih dulu untuk bersama-sama pergi menbagi-bagikan hasil itu ke dusun-dusun yang berdekatan!

   Pada suatu malam, Ong Kai mendapat bagian mencuri di rumah seorang pedagang hasil bumi yang kaya raya. Tan Hong dan Siok Lan mendatangi rumah lain. Ketika Ong Kai sedang mengintai dari atas genteng, tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan orang berkelebat di atas genteng itu juga! Ia cepat bersembunyi di balik wuwungan rumah yang tinggi dan mengintai gerak-gerik orang yang baru datang ini. Orang itu berpakaian hitam dan di punggungnya nampak sebatang golok. Ong Kai merasa curiga dan menduga bahwa kalau ia bukan seorang maling, tentulah seorang yang mempunyai maksud lain yang buruk.

   Dari gerakan orang itu, Ong Kai maklum bahwa tamu malan itu memiliki sedikit kepandaian dan bukan merupakan lawan berat, maka hatinya menjadi lega dan ia terus mengintai. Ketika ia melihat orang itu melompat turun ke belakang gedung, iapun ikut pula melompat di belakangnya dengan diam-diam dan terus mengintai. Ia melihat betapa dengan cekatan menandakan seorang ahli, orang itu membongkar jendela sebuah kamar, lalu melompat masuk! Ong Kai juga cepat melompat dan mengintai! Alangkah marah dan gemasnya melihat bahwa kamar itu adalah kamar seorang wanita dan hal ini dapat diketahuinya ketika penjahat itu menyingkap kelambu pembaringan oleh karena ia melihat tubuh seorang gadis sedang tidur pulas di atas pembaringan itu. Ong Kai berniat melompat masuk dan menyerbu penjahat itu, akan tetapi ia menahan maksud hatinya, lalu memandang penuh perhatian, siap untuk menolong apabila penjahat itu melakukan sesuatu. Akan tetapi, tiba-tiba penjahat itu membungkuk dan menotok jalan darah gadis itu yang menjadi sadar dari tidurnya, tetapi tak dapat bergerak maupun berteriak karena jalan darahnya telah di-tiam oleh penjahat tadi. Kemudian dengan cepat penjahat itu memondong tubuh gadis itu dan melompat keluar melalui jendela kamar!

   Ong Kai tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia maklum bahwa penjahat ini tentu seorang jai-hoa-cat atau penjahat pemetik bunga, maka tanpa ajal lagi ia menghadang di depan kamar dan membentak.

   "Bangsat penculik hina dina!"

   Dengan gemas Ong Kai menyerang ke arah leher penjahat itu. Terkejutlah penjahat itu dan cepat ia berkelit. Akan tetapi oleh karena ia sedang memondong tubuh gadis itu, gerakannya tidak leluasa lagi dan terpaksa melepaskan tubuh gadis itu.

   Ong Kai cepat menyambar tubuh orang yang dilepas ke bawah dan secepat kilat ia menepuk pundak gadis tadi yang lalu dapat bergerak kembali. Gadis ini lalu berteriak-teriak minta tolong dan mundur sampai ke dinding, melihat pertempuran yang terjadi antara penjahat yang menculiknya dan penolong yang gagah ini. Ong Kai melayani penjahat dengan bertangan kosong, sedangkan penjahat itu yang ternyata masih muda, menggunakan goloknya untuk menyerang penghalang dan pengganggunya.

   Sementara itu, teriakan gadis tadi telah membangunkan penghuni rumah dan beberapa orang, termasuk ayah ibu gadis tadi, berlari keluar. Akan tetapi mereka hanya dapat memeluk anak gadis mereka dan selanjutnya menonton pertempuran itu dengan wajah pucat ketakutan.

   Penjahat yang telah kepergok itu lalu berlaku nekad dan mengamuk sambil memutarmutarkan goloknya menyerang dengan nekad. Ong Kai berlaku waspada dan hati-hati. Tubuhnya bergerak ke sana ke mari dalam usahanya mengelakkan serangan golok, dan sengaja mempermainkan penjahat itu.

   Gadis yang hampir terculik itu beserta kedua orang tuanya dan beberapa orang pelayan, melihat pertempuran dengan mata terbelalak. Selama hidup mereka belum pernah melihat pertempuran sehebat ini dan diam-diam mereka kagum sekali melihat betapa penolong yang tinggi besar dan gagah itu melayani penjahat yang memegang golok dengan tangan kosong belaka!

   "In-kong (tuan penolong), pergunakanlah pedangmu!"

   Tiba-tiba gadis itu berteriak kepada Ong Kai. Suaranya merdu dan nyaring hingga Ong Kai tersenyum sambil berpaling kepadanya. Ketika kedua matanya memandang wajah gadis itu, ia tercengang dan dadanya berdebar aneh! Gadis itu memiliki sepasang mata dan mulut semanis mendiang tunangannya! Maka ketika teringat akan tunangannya yang juga tewas karena terculik penjahat-penjahat cabul, timbul marahnya dengan hebat. Dengan menggeram, ketika golok penjahat itu menyerang lagi, ia membalas dengan sebuah tendangan kilat hingga golok itu terlepas dari pegangan si penjahat dan sebelum penjahat itu sempat melarikan diri, sebuah pukulan mampir di pundaknya membuat penjahat itu roboh pingsan!

   "Ikat ia, lekas! Ikat dan bawa ke kantor tihu!"

   Ayah gadis itu memerintah kepada para pelayannya yang segera berlari-lari mencari tambang besar dan beramai-ramai mengikat tangan penjahat itu yang tak dapat bergerak lagi!

   Gadis itu lalu menghampiri Ong Kai dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda ini sambil berkata.

   "In-kong, budimu sungguh besar dan selama hidupku aku takkan melupakan pertolonganmu ini."

   Ong Kai menjadi bingung, Untuk mengangkat bangun ia harus menyentuh pundak gadis itu dan hal ini tak dapat dilakukannya, takut dianggap kurang sopan. Maka dalam bingungnya, iapun lalu berlutut di depan gadis itu sambil berkata.

   "Siocia! Janganlah kau berlutut kepadaku. Aku takkan berdiri sebelum kau bangun juga."

   Gadis itu memandang dengan mata yang bening dan bersinar jujur. Ia makin kagum melihat wajah Ong Kai yang walaupun berkulit hitam akan tetapi cukup gagah. Melihat betapa penolongnya itupun ikut berlutut, ia tersenyum lalu bangun berdiri. Juga kedua orang tuanya lalu menjura dan menghaturkan terima kasih kepada Ong Kai.

   "Siapa nama in-kong dan bagaimana dapat melihat penjahat itu?"

   Tanya ayah si gadis yang memandang dengan kagum.

   Bingung juga Ong Kai mendengar pertanyaan ini. Ia datang ke situ memang sengaja dan dengan maksud hendak mencuri harta orang yang bertanya kepadanya!

   "Siauwte hanya kebetulan saja bertemu dengan penjahat itu dan menjadi curiga melihat gerak-geriknya, maka siauwte lalu mengejarnya dan mengintainya."

   Walaupun jawaban ini kurang jelas, akan tetapi ia rasa tidak menyimpang dari kebenaran, oleh karena memang secara kebetulan ia bertemu dengan penjahat itu dan memang ia merasa curiga lalu mengintainya! Kemudian ia melanjutkan jawabannya.

   "Siauwte she Ong bernama Kai dan siauwte sedang merantau bersama-sama dengan seorang sumoi dan seorang suheng yang tinggal di rumah penginapan."

   Pada saat itu, dari atas genteng melayang turun dua orang yang tidak lain adalah Siok Lan dan Tan Hong.

   "Nah, itu mereka datang!"

   Kata Ong Kai kepada tuan rumah dan gadisnya. Semua orang memandang kepada dua orang muda itu dengan kagum dan Ong Kai lalu memperkenalkan Tan Hong dan Siok Lan.

   Ketika mendengar bahwa Ong Kai telah menolong puteri tuan rumah dan agaknya diperlakukan dengan hormat dan manis, baik oleh tuan rumah, maupun oleh gadis yang bernama Lai Hwa Eng itu, diam-diam Siok Lan dan Tan Hong saling lirik dan tersenyum. Kedua pemuda ini kembali dari mencuri harta, lalu membawa uang itu di dalam kantung dan menanti di tempat yang telah dijanjikan. Akan tetapi, setelah menanti beberapa lama belum juga mereka melihat Ong Kai, keduanya lalu pergi menyusul ke rumah yang menjadi bagian Ong Kai untuk dicuri uangnya, dan di situ mereka melihat betapa Ong Kai sedang beramahtamah dengan tuan rumah! Hampir saja Ong Kai lupa bahwa ia telah menjadi tamu orang di waktu tengah malam! Ia agaknya lupa pulang oleh karena ia merasa kerasan dan senang berada di dekat Hwa Eng. Kalau Tan Hong dan Siok Lan tidak mengajaknya pergi, mungkin ia akan bercakap-cakap terus sampai pagi.

   Setelah mendapat pesan dari hartawan yang bernama Lai Kin Tek itu agar supaya ketiga orang muda itu besok pagi suka datang mampir, ketiga orang muda pendekar itu lalu melompat ke atas genteng diikuti pandangan kagum oleh pihak tuan rumah.

   "Ah ... Ong-sute! Bagaimana kau ini? Mana pendapatanmu dan barang apakah yang sudah kau ambil dari rumah hartawan Lai?"

   Tan Hong menggoda.

   Ong Kai hanya tersenyum.

   "Aku tidak diberi kesempatan oleh mereka."

   Jawabnya.

   "Ah ... ! Mana Ong-suheng tega mencuri barang-barang Lai-siocia yang cantik jelita itu!"

   Siok Lan ikut menggoda.

   Ong Kai tak dapat menjawab godaan ini dan hanya tertawa malu.

   "Ha ..., ha ..., ha ... ! Kalau aku tidak salah lihat, sebaliknya bahkan Ong-sute yang kecurian!"

   "Apa maksudmu?"

   Tanya Ong Kai dengan heran, akan tetapi Tan Hong hanya tertawa sambil melanjutkan perjalanannya menuju ke kampung untuk membagi-bagi hasil curiannya dan hasil curian Siok Lan. Juga Siok Lan merasa tidak mengerti lalu bertanya.

   "Hong-ko, apa maksudmu? Ong-suheng kecurian apa?"

   "Ha, ha! Ong-sute memiliki apa yang pantas dan berharga untuk dicuri selain hatinya? Ia telah kecurian hatinya dan pencurinya tidak lain tentu Lai-siocia!"

   Siok Lan juga tertawa gelid an Ong Kai pura-pura marah.

   "Sudahlah! Kalau kalian tetap menggodaku, aku takkan ikut ke desa-desa.

   "

   Siok Lan dan Tan Hong tetap tertawa dan demikianlah, malam hari itu mereka bekerja membagi-bagi uang pendapatan mencuri dengan tertawa-tawa dan dalam suasana gembira.

   Pada keesokan harinya, mereka memenuhi permintaan Lai Kin Tek dan mengunjungi rumah keluarga Lai yang kaya itu. Mereka disambut dengan gembira dan disuguhi masakanmasakan lezat dan mahal. Berkali-kali tuan rumah menyatakan kekaguman dan terima kasihnya dan Lai Hwa Eng sendiri bahkan turut menyambut tamu-tamunya karena di situ terdapat Siok Lan. Kedua orang gadis ini cepat dapat bergaul dengan mesra bagaikan dua orang sahabat lama. Siok Lan suka kepada Hwa Eng yang selain peramah, juga tidak malumalu dan pandai bercerita serta mempunyai pengertian ilmu surat yang membuatnya kagum. Sebaliknya, tiada habisnya Hwa Eng bertanya tentang ilmu silat yang dikaguminya kepada pendekar wanita ini.

   Pada suatu saat Hwa Eng disuruh ibunya mengajak Siok Lan ke dalam kamar. Ibu Hwa Eng lalu menyuruh anaknya pergi meninggalkannya dengan Siok Lan berdua! Baik Siok Lan maupun Hwa Eng merasa heran sekali, melihat sikap orang tua ini. Setelah Hwa Eng meninggalkan kamar, nyonya Lai lalu berkata kepada Siok Lan.

   "Nona, harap kau tidak menganggap kami terlalu sembrono. Akan tetapi sayapun hanya mendapat perintah dari suamiku, yakni dapatkah kau memberi keterangan berapa usia Ong-enghiong dan apakah ia telah mempunyai tunangan?"

   Siok Lan diam-diam merasa geli dan juga girang karena pertanyaan ini saja ia dapat menduga bahwa nyonya rumah ini ingin mengambil menantu Ong Kai si muka hitam yang telah menolong puterinya! Untung ia mengetahui tentang diri Ong Kai yang seperti kakaknya sendiri, maka ia lalu menuturkan segala hal ichwal pemuda itu, bahkan menuturkan pula betapa tunangan pemuda itu telah terbunuh hingga mereka bertiga sekarang melakukan perjalanan untuk mencari pembunuh dan membalas dendam. Nyonya Lai makin tertarik dan merasa kasihan, maka ia lalu minta kepada Siok Lan untuk suka menjadi perantara dalam hal ini. Siok Lan menyanggupi dan hendak menyampaikan hal ini kepada ayahnya yang menjadi guru dan wali pemuda yang telah kehilangan kedua orang tuanya itu, dan hendak menyampaikan pula kepada orang yang berkepentingan sendiri. Ia menyatakan bahwa sekembali mereka bertiga dari perantauan, hal ini akan segera diselesaikan. Tentu saja nyonya rumah menjadi girang sekali dan meyatakan terima kasihnya.

   Ketika ketiga orang anak muda itu hendak minta pamit, keluarga Lai lalu menawarkan bantuan berupa uang untuk bekal mereka. Ong Kai mewakili kawan-kawannya menjawab.

   "Tak usah, Lai-lopeh, kami bertiga tidak perlu uang bekal. Kalau lopeh suka mengorbankan sedikit uang untuk menderma kepada rakyat miskin yang menderita korban banjir, itu sudah berarti sama dengan memberi sumbangan kepada kami."

   Bukan main heran hati Lai Kin Tek mendengar ucapan ini dan ketika melihat wajah ketiga orang pendekar muda ini kesemuanya tersenyum sebagai tanda bahwa ucapan Ong Kai ini memang cocok dengan suara hati yang lain, ia menjadi kagum dan timbullah perasaan hormatnya kepada ketiga orang itu. Bukan saja mereka ini masih muda dan gagah perkasa, akan tetapi juga berhati mulia dan dermawan! Pikiran ini makin mendorong keinginan hatinya untuk mengambil menantu Ong Kai!

   ***

   Setelah melakukan perjalanan beberapa hari lagi, akhirnya ketiga orang pendekar muda itu tiba di kaki Gunung Pek-hoa-san yang tinggi dan penuh dengan hutan belukar dan liar. Bukit ini sukar sekali dinaiki karena tidak terdapat jalan maupun lorong menuju ke atas. Akan tetapi berkat ginkang mereka yang sempurna, Tan Hong, Ong Kai dan Siok Lan dapat juga mendaki ke atas.

   Ketika mereka tiba di pinggir sebuah hutan liar, tiba-tiba ketiga orang muda ini terkejut dan heran melihat dua orang kakek duduk berhadapan di bawah sebatang pohon siong besar. Ketika mereka mendekat ternyata kedua orang kakek itu sedang enak-enak bermain catur!

   Keadaan kedua kakek ini aneh sekali. Yang seorang adalah seorang tua berusia sedikitnya tujuh puluh tahun, bertubuh kurus tinggi dan rambutnya yang masih hitam itu beriap-riapan sampai ke pundak. Akan tetapi pakaiannya terbuat dari kain yang ditambaltambal hingga nampak aneh sekali, karena pakaian ini seperti terbuat dari bahan yang puluhan macam hingga berkembang-kembang aneh dan ramai! Kedua kakinya telanjang hingga ia nampak seperti seorang pengemis jembel. Sambil memperhatikan biji-biji catur, ia sering kali menggaruk-garuk rambut di kepalanya seakan-akan di atas kepalanya banyak terdapat kutu rambut yang gatal!

   Juga kakek yang seorang lagi tak kalah aneh. Usianya juga sudah sangat tinggi, mungkin lebih dari tujuh puluh tahun. Rambut di kepalanya sudah putih berkilat bagaikan benang-benang perak, akan tetapi mukanya yang penuh dan gemuk itu seperti muka kanakkanak, begitu segar dan kemerah-merahan! Kepalanya bundar dan rambutnya diikalkan ke atas, diikat dengan tali terbuat dari kulit pohon yang kasar. Tubuhnya gemuk pendek dan bajunya tebal sekali, berwarna biru dan sudah luntur. Sepasang kakinya memakai sepatu yang bawahnya terbuat daripada besi dan kelihatan sangat berat. Seperti lawannya bercatur, kakek ini menatap biji-biji catur dengan penuh perhatian dan dengan kening dikerutkan seakan-akan ia menghadapi persoalan yang amat rumit!

   Kedua orang kakek itu sama sekali tidak memperdulikan ketiga orang muda yang datang mendekati mereka. Tan Hong dan kedua orang kawannya yang berpandangan tajam dapat menduga bahwa kedua orang kakek ini tentu orang-orang berilmu tinggi yang mengasingkan diri di situ.

   Baik Tan Hong maupun Ong Kai, keduanya adalah penggemar permainan catur yang pada masa itu sedang populer dan banyak digemari orang. Bahkan kedua pemuda ini boleh disebut ahli-ahli yang pandai bermain catur. Pernah kedua orang muda itu di waktu senggang bermain catur di sebuah rumah penginapan dan keduanya mempunyai kepandaian seimbang. Maka tak mengherankan apabila mereka kini lalu mendekati kedua kakek itu untuk menonton pertandingan catur di tempat sunyi ini. Sebaliknya, Siok Lan yang tidak mengerti akan permainan ini, setelah memandang sebentar dengan tak mengerti, lalu menjadi bosan dan oleh karena semenjak pagi mereka belum makan hingga merasa lapar sekali, gadis ini lalu masuk ke dalam hutan untuk mencari buah-buahan yang dapat dimakan.

   Tanpa disengaja dan secara otomatis, kedua orang pemuda itu lalu berdiri di belakang kedua kakek itu, Tan Hong berdiri di belakang kakek yang berbaju tambal-tambalan dan Ong Kai berdiri di belakang kakek yang berambut putih. Baru saja kedua orang kakek itu menggerakkan biji-biji catur mereka dua kali, maklumlah kedua anak muda ini bahwa kedua kakek itu adalah pemain-pemain catur yang baru saja dapat bermain dan permainan mereka amat lemah sekali! Gerakan-gerakan yang mereka buat adalah gerakan yang ngawur dan lemah, akan tetapi oleh karena kepandaian mereka yang dangkal itu berimbang, maka pertandingan itupun berjalan lama dan ramai juga. Agaknya oleh karena berada di pegunungan dan jarang melihat ahli-ahli catur di kota, kedua kakek ini tidak mendapat kemajuan dalam permainan mereka.

   Pada saat itu tiba giliran kakek berambut putih yang harus menggerakkan biji caturnya. Akan tetapi sampai lama ia tidak dapat mengambil keputusan harus menggerakkan yang mana, oleh karena agaknya Raja biji caturnya terancam oleh Gajah lawan. Kakek ini menggigit jari telunjuknya dan memandang ke arah papan catur dengan bingung.

   Melihat keraguan dan kebingungan kakek di depannya itu, Oang Kai menjadi tidak sabar dan tanpa disengaja ia berkata.

   "Gerakkan Kuda ke kiri menjaga serangan Gajah dari depan Raja!"

   Ong Kai sebetulnya tidak sengaja hendak menasehati kakek itu, akan tetapi jalan pikirannya telah menggerakkan lidahnya hingga tanpa disengaja ia mengeluarkan suara hatinya melalui mulut!

   Untuk sesaat kedua kakek itu tak bergerak, juga tidak memandang kepada pemuda yang berkata-kata tadi. Kemudian, kakek berambut putih itu berkata.

   "Ha, benar juga! Gerakan bagus!"

   Ia menengok dan memandang kepada Ong Kai dengan kedua mata berseri, lalu ia menggerakkan Kudanya menghadang di depan Rajanya hingga Gajah lawannya tak dapat menyerang!

   Sebaliknya, kakek yang seperti pengemis jembel itupun mengangkat kepala memandang ke arah Ong Kai. Pemuda ini terkejut sekali dan dadanya berhenti berdetak untuk sesaat ketika melihat betapa dari kedua mata si jembel tua itu bersinar pandangan tajam yang seakan-akan menembusi kepalanya! Kakek jembel ini menjadi marah dan sikapnya tiada ubahnya seperti seorang anak kecil yang diganggu permainannya hingga menjadi kalah!

   Tan Hong juga melihat kemarahan kakek ini kepada Ong Kai, maka ia buru-buru berkata.

   "Majukan Prajurit di kiri mengancam Kuda!"

   Kini kakek jembel itu menatap kembali ke atas papan catur, dan tak lama kemudian ia tertawa terkekeh dengan girang, lalu mengangkat muka memandang Tan Hong dengan girang dan menggerakkan biji caturnya menurut petunjuk Tan Hong! Tiba giliran kakek berambut putih itu yang menatap wajah Tan Hong dengan tajam dan marah hingga Tan Hong menjadi tercengang dan kaget! Ia maklum bahwa nesehatnya kepada kakek jembel tadi telah membuat kakek berambut putih itu marah sekali kepadanya! Memang kakek berambut putih itu marah oleh karena ia tidak tahu bagaimana harus menolong Kudanya yang kini terancam bahaya maut!

   Ong Kai dan Tan Hong yang berdiri berhadapan di belakang kedua kakek itu saling pandang dan dari sinar mata mereka yang berpandangan, mereka lalu membuat persetujuan untuk melanjutkan bantuan masing-masing oleh karena sudah kepalang tanggung dan agar jangan sampai kedua kakek itu menjadi marah kepada mereka! Maka Ong Kai lalu cepat berkata.

   "Balas mengancam Gajah dengan majukan Prajurit kanan ke depan!"

   Setelah memperhatikan papan caturnya kakek berambut putih itu merasa bahwa gerakan ini memang tepat untuk membalas ancaman lawan pada Kudanya, maka sambil tertawa girang ia memajukan Prajurit menurut petunjuk Ong Kai!

   Demikianlah, secara bergiliran Tan Hong dan Ong Kai memberi petunjuk hingga boleh dikata kedua anak muda itulah yang bermain catur, sedangkan kedua orang kakek itu hanya menjadi penggeraknya saja! Akan tetapi, gerakan-gerakan tepat yang ditunjukkan oleh kedua anak muda itu membuat mereka benar-benar kagum dan girang hingga keadaan yang tadinya sunyi kini berubah menjadi ramai karena suara tertawa kedua kakek itu. Suara ketawa jembel tua itu seperti burung hantu, sedangkan suara kakek berambut putih itu berkakakan seperti suara ular besar mengakak!

   Oleh karena kedua anak muda yang cerdik itu memang maklum bahwa kakek kakek yang kalah pasti akan marah sekali kepada penasehat lawan sedangkan hal ini berbahaya sekali oleh karena mereka maklum akan kehebatan kakek-kakek ini, maka mereka sengaja bermain hati-hati sekali dan membuat permainan ini berakhir remis! Setelah biji-biji catur kedua pihak habis dan tinggal seorang Raja saja kedua kakek itu tertawa senang. Si jembel berkata.

   "Ha, ha, kakek penuh uban! Kali ini kau tidak dapat mengalahkan aku!"

   Lalu ia tertawa terkekeh-kekeh lagi.

   Sebaliknya, orang tua berambut putih itupun tertawa dan berkata.

   "Lo-kai (pengemis tua), kaupun tidak bisa mengalahkan aku!"

   Pada saat itu, Siok Lan satang sambil membawa banyak sekali buah ang-co dan buahbuah lain yang lezat nampaknya karena warnanya yang kuning kemerah-merahan itu menandakan bahwa buah-buah itu matang di atas pohon! Gadis ini merasa heran sekali mendengar suara kedua orang kakek itu tertawa girang, maka ia lalu menghampiri tempat itu sambil membawa buah-buahnya.

   "Bagus, bagus, perut kita memang sudah lapar sekali!"

   Kata si jembel sambil mengulurkan tangan dan mengambil beberapa tangkai buah dari tangan Siok Lan.

   "Memang, sudah semenjak pagi tadi kita belum makan apa-apa! Permainan catur ini biarpun menarik hati, akan tetapi membuat orang lupa waktu dan lupa makan!"

   Menjawab si rambut putih yang juga mengulurkan tangannya dan tahu-tahu iapun sudah mengambil beberapa butir buah dari tangan Siok Lan!

   Perbuatan kedua kakek ini sekaligus membuat ketiga anak muda itu melongo keheranan! Harus diketahui bahwa gadis itu berdiri di tempat yang agak jauh hingga jangankan baru mengulurkan tangan, biarpun bangun berdiri dan menjangkau dengan tubuh dibongkokkan kedepanpun orang belum dapat mengambil buah itu dari jarak yang sedikitnya masih ada setombak itu. Akan tetapi, entah dengan cara bagaimana, kedua kakek itu tidak pindah dari tempat duduk, dan hanya mengulurkan tangan, dan buah-buah itu telah berada di tangan mereka!

   Sambil makan buah, kedua kakek itu memandang kepada penasehat masing-masing.

   "Kalian makanlah, bukankah perutmu lapar juga?"

   Kata mereka hampir bersamaan.

   "Aku mendengar cacing perutmu berteriak-teriak dan mengeluh-ngeluh ketika kau berdiri di belakangku tadi!"

   Kata si jembel kepada Tan Hong.

   "Dan perut si muka hitam ini membikin sakit telingaku karena selalu berkeruyuk dengan bising!"

   Kata si rambut putih kepada bekas lawannya sambil menunjuk Ong Kai.

   Kedua anak muda itu saling pandang, lalu ikut tertawa dan menerima buah dari tangan Siok Lan. Sebaliknya, gadis itu telah mengisi perutnya di dalam hutan tadi hingga ia telah merasa kenyang dan tidak ikut makan.

   Tiba-tiba si jembel berkata kepada Tan Hong.

   "Aku si jembel tua tidak biasa menerima kebaikan orang tanpa balas. Kau telah membelaku hingga aku tidak dikalahkan oleh si kakek uban ini, maka marilah kau ikut padaku sebentar untuk menerima upah."

   

Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini