Ceritasilat Novel Online

Mestika Golok Naga 1


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 01

   Musim Semi telah berusia satu bulan. Pegunungan Liong-san, dari kaki sampai ke puncak, nampak hijau karena semua tumbuh-tumbuhan berdaun dan berbunga, mendatangkan suasana yang sejuk segar. Angin musim semi bertiup sepoi-sepoi menggerakkan padang rumput ilalang yang seolah menjadi lautan rumput yang bergoyang-goyang mengombak. Kalau orang berdiri di lereng tengah, melihat ke puncak Liongsan, akan nampak puncak itu muncul dari balik awan yang mengelilinginya, seolah puncak itu ter gantung pada langit dan di puncak itu masih nampak sebagian berwarna putih karena masih ada sisa salju. Kalau orang memandang ke bawah, akan nampak pemandangan yang teramat indahnya. Kelompok-kelompok hutan diseling jurang yang curam, lalu di bawah sana nampak sawah ladang hijau menguning, dusun-dusun kecil dan padang-paaang rurnput.

   Segaris sungai berlenggak-lenggok seperti seekor naga menuruniy bukit, makin jauh semakin lebar. Pagi itu udara amat cerahnya. Matahari pagi bersinar terang dan sejak pagi nampak kesibukan di sepanjang lereng itu. Burung-burung beterbangan sambil berkicau saling sahutan, binatang-binatang kecil seperti tupai dan kelenci sudah keluar mencari makan. Kekuasaan Tuhan nampak di mana-mana, memberi kehidupan dan kebahagiaan kepada apa dan siapa saja yang dapat menerimanya. Berkah Tuhan berIimpahan, tak pernah kurang, kepada semua mahluk, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Selalu ada tersedia untuk menyambung kehidupan atau untuk menikmati kehidupan. Air, hawa udara, sinar matahari, tak pernah habis-habisnya menghidupi semua yang ada di permukaan bumi ini.

   Kekuasaan Tuhan berada di dalam mata kita yang membuat kita dapat melihat segala sesuatu yang nampak. Kekuasaan Tuhan terdapat di dalam pemandangan alam semesta yang amat indahnya. Kita tinggal membuka mata melihatnya untuk dapat menikmati semua itu. Namun sungguh sayang. Kadangkala kita tidak melihat semua keindahan itu. Butakah kita? Mata badan kita tidak buta, akan tetapi mata batin kita yang buta. Batin kita dipenuhi segala macam persoalan, disibukkan segala macam masalah yang dibuat oleh pikiran kita sendiri sehingga biarpun mata kita terbuka, kita tidak dapat melihat betapa Kekuasaan Tuhan bekerja dan hasilnya terbentang luas di depan mata kita. Lihatlah awan yang berarak di seputar puncak itu. Betapa ajaibnya. Lihatlah ujung-ujung ranting penuh daun itu yang menari-nari ditiup angin. Betapa menakjubkan.

   Rasakanlah mengalirnya hawa sejuk segar itu ke dalam paru paru kita. Betapa nikmat dan segarnya. Dengarlah kicau burung, dendang percik air sungai, bisikan rumput ilalang digerakkan angin. Betapa merdunya. Namun semua itu lenyap, lewat begitu saia di depan mata, di depan telinga, di depan panca indera kita yanq secang sibuk sendiri oleh hati akal pikiran yang menumpuk masalah. Berbahagialah orang yang dapat menikmati itu semua. Hidup adalah berkah. hidup adalah nikmat, hidup adalah bahagia. Hampir semua orang di dunia ini mengejar-ngejar atau mencari kebahagian dengan berbagai cara, bahkan ada cara menyiksa diri untuk mencari kebahagiaan! Pada hal, kalau kita simak, mengapa kita mencari kebahagiaan? Mengapa kita mendambakan, membutunkan kebahagiaan? Jawabannya hanya satu,

   Yakni bahwa kita mencari kebahagiaan karena kita merasa tidak berbahagia Bukankah demikian halnya? Kita mendambakan kebahagiaan karena kita merasa tidak berbahagia. Kebahagiaan adalah suatu keadaan hati perasaan. Kalau dalam keadaan tidak berbahagia kita mencari ke bahagiaan, mungkinkah kita akan dapat nenemukannya? Tidakkah yang lebih penting kita menyelidiki, apa yang menyebabkan kita tidak berbahagia itu? Kalau sebab yang membuat kita tidak berbahagia itu tidak ada lagi, Perlukah kita mencari kebahagiaan? Tentu saja tidak perlu lagi, kita tidak butuh bahagia lagi karena kita sudah berbahagia! Sama halnya dengan kesehatan. Dalam keadaan sakit mengejar-ngejar kesehatan jelas tidak mungkin. Kesehatan adalah suatu keadaan badan. Kalau sebab yang membuat kita sakit atau tidak sehat itu sudah hilang, kita tidak membutuhkan kesehatan lagi karena kita sudah sehat!

   Akan tetapi seperti juaa kesehatan, kebahagiaan tidak dirasakan oleh kita, Kalau kita sehat, apakah kita merasa sehat? Kita baru merasa membutuhkan kesehatan begitu kita sakit. Demikian pula dengan kebahagiaan. Kita tidak merasakan betapa Tuhan menciptakan kita dengan sempurna, betapa kebahagiaan sudah ada pada diri kita, namun kita baru merasakan kalau ada sesuatu yang mengganggu sehingga kita merasa tidak berbahagia. Terpujilah Tuhan Maha Kasih. BerkahNya sudah berlimpahan. Tinggal kita mampu untuk menerimanya atau tidak.! Di puncak Liong-san (Gunung Naga) yang dingin itu, yang dari lereng nampak dikelilingi awan dan sunyi senyap itu, pada pagi hari itu tidaklah sunyi. Di puncak yang datar dan penuh batu besar itu nampak empat orang sedang duduk bersila saling berhadapan, dan mereka itu nampaknya sedang berbantahan.

   "Siancai...!"

   Seorang di antara mereka, seorang Tosu (pendeta agama To) berseru.

   "Kami dari Hoasan-pai selalu mempertanggung-jawabkan perbuatan kami. Kalau kami yang mengambil golok mestika itu, pasti akan kamu akui! akan tetapi Pinto (aku) berani memastikan bahwa perbuatan itu tidak dilakukan oleh seorang di antara kami!"

   Tosu ini adalah Thian Seng Cu, seorang tokoh dari partai Hoa-sanpai, seorang Tosu yang terkenal lihai berusia sekitar lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus.

   "Kalau ada seorang di antara para pengawal itu tewas karena pukulan Tiat-ciang (Tangan Besi), itu pasti ada orang lain yang mencuri ilmu perkumpulan kami dan menggunakannya. Kami tidak akan pernah mempergunakan Tiat-ciang untuk membunuh orang dan mencuri golok mestika!"

   "Omitohud...!"

   Seru seorang hwesio yang gemuk, berusia sekitar lima puluh tahun Juga.

   "Apa yang diucapkan Thian Seng Cu Tosu adalah suara hati pinceng Juga! Seorang pengawal telah tewas dengan pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), akan tetapi pinceng berani tanggung bahwa pukulan itu tidak dilakukan oleh seorang murid Siauw lim-pai. Murid Siauw-lim-pai tidak akan mencuri golok mestika dari gudang pusaka istana!"

   Hwesio Itu bernama Tek Hwat Hwesio, seorang tokoh Siauw-lim-pai tingkat tiga.

   "O-ho...!"

   Seorang di antara mereka, yang barpakaian seperti seorang sasterawan, berseru nyaring.

   "Kalau Hoa-sanpai dan Siauw-lim-pai tidak mengambil golok mestika itu, apakah ada yang menyangka bahwa Bu-tong-pai mengambilnya? Kami juga bukan golongan pencuri yang suka mencuri golok mestika. Biarpun di antara para pengawal ada yang tewas karena senjata rahasia Touw-kut-teng, namun aku berani tanggung bahwa itu bukanlah perbuatan murid Bu-tong-pai!"

   Orang berpakaian sasterawan ini adalah Kiang Cun, seorang tokoh Bu-tong-pai yang lihai pula. Usianya empatpuluh tahun lebih dan tubuhnya sedang saja, hanya sepasang matanya yang menarik perhatian karena tajamnya seperti mata elang.

   "Siancai...! Di antara kita memang tidak mungkin ada yang mencuri golok mestika itu. Kami dari Kun-lunpai juga tidak pernah mencurigai perkumpulan Sam-wi (anda bertiga), seperti juga kami tidak tahu menahu tentang lenyapnya golok mestika. Kematian seorang pengawal akibat pukulan Pek-lek-jiau (Tangan Geledek) bukan merupakan bukti bahwa murid kami yang melakukannya. Setiap ilmu yang sudah dipelajari oleh ratusan orang murid, bisa saja bocor keluar dan dipelajari oleh orang lain, lalu dipergunakan untuk melakukan fitnah kepada kami! Justeru kami mengundang Sam-wi berkumpul di Liong-san ini untuk membicarakan urusan itu, bukan saling menuduh, Pencuri telah mempergunakan ilmu-ilmu dan senjata rahasia kita untuk membunuhi para pengawal. Berarti perkumpulan kita berempat yang difitnah. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menyelidiki dan menangkap pencuri yang melempar fitnah kepada perkumpulan kami berempat itu!"

   "Hemm, benar sekali apa yang dikatakan Ciong-Tosu!"

   Orang yang disebut Ciong-Tosu itu adalah seorang Tosu dari Kun-lun-pai, tubuhnya tinggi besar dan jenggotnya panjang sampai ke dada, nampaknya gagah sekali dalam usianya yang lima puluh tahun.

   "Karena itu, Pinto harap agar kita semua pulang keperkumpulan masing-masing dan mengerahkan para anggauta untuk melakukan penyelidikan. Menyelidiki si pencuri memang tidak mudah, maka jalan satu-satunya adalah mencari golok mestika Itu. Dan satu-satunya cara untuk memancing si pencuri adalah mengabarkan bahwa golok mestika yang dicurinya itu adalah palsu!"

   Tiga orang yang lain mengangguk-angguk setuju. Pada saat itu terdengar suara orang tertawa bergelak dan sinar hitam halus menyambar ke arah mereka. Semua orang mengelak dari sambaran senjata rahasia ini, kecuali Kiang Gun, tokoh Bu-tong-pai itu. Dia menggunakan dua jari tangannya menjepit dan menangkap senjata rahasia itu,

   "Touw-kut-teng (Paku Penembus Tulang)!"

   Serunya kaget mengenal senjata rahasia dari perkumpulannya.

   "Kurang ajar, siapa menggunakan Touw-kut-teng?"

   Semua orang berloncatan dan membalikkan tubuh ke arah dari mana datangnya sambaran senjata rahasia itu. Mereka melihat seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar seperti raksasa dan bermuka hitam, telah berdiri tak jauh dari tempat mereka dan bertolak pinggang sambil tertawa bergelak. Kiang Cun melangkah ke depan dan menegur dengan suara lantang,

   "Siapa engkau berani menggunakan senjata rahasia Touw-kut-teng kami?"

   "Ha-ha-ha! Selain Touw-kut-teng, akupun pandai menggunakan Tiat-ciang dari Hoa-san-pai, Ang-see-ciang dari Siauw-lim-pai, dan Pek-lek-jiau dari Kun-lunpai. Ha-ha-ha-ha!"

   Siapa raksasa muka hitam itu congkak sekali. Wajahnya memang menyeramkan. Kepalanya botak, rambutnya yang jarang itu kaku seperti kawat, demikian pula jenggot dan kumisnya, kaku bercampur uban. Alisnya tebal, matanya besar dan terbelalak, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Segala anggauta tubuh orang ini nampaknya besar dan tebal, tubuhnya yang tinggi besar itu Kokoh kekar seperti batu karang. Mendengar ucapan orang itu, empat tokoh partai besar itu terbelalak kaget dan hampir berbareng mereka berseru,

   "Pencuri golok mestika...!!"

   Ciong-Tosu, tokoh Kun-lun-pai, melompat ke depan menghadapi raksasa itu. Dia menudingkan telunjuknya ke arah raksasa itu sambil membentak,

   "Kiranya engkau pencuri golok mestika dan telah melempar fitnah kepada kami! Sekarang berhadapan dengan kami, sebaiknya engkau menyerah untuk kami tangkap dan kami hadapkan ke Kota Raja!"

   "Ha-ha-ha, engkau Ciong-Tosu dari Kun-lun-pai, bukan? Kalau aku takut ke pada kalian, perlu apa aku keluar menemui kalian di sini?"

   "Siancai...! Manusia sombong katakan siapa namamu!"

   Kata Ciong-Tosu marah.

   "Apa perlunya aku memperkenalkan nama kalau kalian semua akan mati? Ha-ha-ha!"

   Dia menggerakkan tangan kanan dan,

   "Singggg...!!i"

   Sebatang golok yang berkilauan telah dicabut dari balik bajunya yang longgar. Mudah sekali, dikenal golok yang terdapat ukiran Naga itu, dan indah sekali. Itulah tentu nya Mestika Golok Naga yang telah dicuri dari gudang pusaka istana!

   "Sebut saja aku Si Golok Naga, ha-ha-ha!"

   Ciong-Tosu semakin marah. Dia mencabut pedangnya dan membentak nyaring,

   "Manusta sombong, lihat pedang!"

   Dan diapun menyerang dengan tusukan kilat bertubi-tubi karena dia menggunakan jurus maut Liong-li coan-ciam (Liong-li Menusuk Dengan Jarum). Jurus ini dahsyat sekali dengan pedang menusuk bertubi-tubi ke arah tiga belas jalan darah di bagian depan tubuh lawan. Akan tetapi raksasa hitam itu sambil tertawa bergelak memutar goloknya dan terdengar suara berdencing nyaring dari pertemuan kedua senjata itu yang mengakibatkan Ciong-Tosu terhuyung! Semua tokoh itu terkejut. ilmu kepandaian Ciong-Tosu dari Kun-lun-pai itu sudah cukup tinggi, akan tetapi dalam segebrakan saja dia sudah terhuyung. Para tokoh empat partai itu adalah tokoh-tokoh kelas tiga, kepandaian mereka sudah tinggi maka mereka juga segan untuk melakukan pengeroyokan dan tadi ketika Ciong-Tosu maju, merekapun hanya menjadi penonton.

   "Ha-ha-ha, dengan kepandaian serendah itu engkau hendak menangkap Si Golok Naga? Ha-ha-ha, kalian berempat majulah semua, agar lebih cepat dan lebih mudah aku membunuh! kalian!"

   Tantang si raksasa dengan siapa sombong. Empat orang tokoh itu kini tidak pantang untuk maju bersama karena mereka ditantang dan juga jelas bahwa Ilmu kepandaian raksasa itu tinggi sekali sehingga kalau mereka maju satu demi satu, tak mungkin mereka akan mampu menandinginya. Kiang Cun, tokoh Bu-tong-pai mencabut pula pedanqnya, Thian ceng Cu tokoh Hoasan-pai juga mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari punggungnya dan Tek Hwat Hwesio dari Siauw-Iimpai maju dengan tangan kosong karena Hwesio ini selain tidak membawa senjata, juga ujung kedua lengan bajunya dapat menjadi senjata yang ampuh.

   Raksasa hitam yang menggunakan julukan Si Golok Naga itu masih tertawa, amat memandang rendah empat orang lawan yang sudah mengepungnya, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara menggerang seperti harimau dan empat orang itu terkejut sekali karena mereka merasa betapa Jantung mereka terguncang dan mereka terhuyung. Pada saat itu, Si Golok Naga menggerakkan goloknya dengan dahsyat. Golok itu berubah menjadi gulungan sinar terang dan mengeluarkan suara angin menderu-deru. Empat orang tokoh partai besar itu makin terkejut lagi Samar-samar mereka mengenal ilmu golok itu seperti ilmu golok Ngo-houw-toan-bun-to (Ilmu Golok Lima Harimau Menjaga Pintu), akan tetapi gerakan itu memiliki perkembangan yang aneh dan juga Kokoh kuat sekali.

   Mereka segera menggerakkan senjata menyerang dari empat jurusan. Tek Hwat Hwesio menggerakkan kedua tangannya yang didahului oleh sepasang ujung lengan bajunya, gerakannya mengandung tenaga sinkang dan mendatangkan angin menyambar-nyambar. Pedang Kiang Cun tokoh Bu tong-pai juga bergerak cepat dan indah seperti yang menjadi keistimewaan Ilmu pedang Bu-tong-pai. Demikian pula Ciong Tosu sudah menyerang lagi dengan pedangnya dan Thian Seng Cu dari Hoa-San-pai memainkan siang-kiamnya dengan cepat. Biarpun dikeroyok oleh ampat tokoh partai besar yang berilmu tinggi, namun raksasa hitam itu sama sekali tidak takut. Dia masih dapat tartawa-tawa ketlka golok di tangannya membantuk benteng sinar yang menghalau semua serangan empat orang itu.

   Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Biarpun tingkat kepandaian Si Golok Naga itu jauh lebih tinggi, akan tetapi karena empat orang tokoh itu maju bersama, mereka dapat menandingi juga dan pertandingan itu terjadi dengan hebatnya. Sejak tadi, seorang laki-laki tengah tua berusia empatpuluhan tahun bersama seorang anak laki-laki berusia lima tahun mendekam di balik semak belukar dengan tubuh gemetaran karana takut. Laki-laki itu seorang penduduk dusun yang pekerjaannya di samping bertani, juga kadang kala memburu binatang untuk penambah penghasilannya yang sederhana. Orang itu bernama Tan Hok, dan puteranya bernama Tan Tiong Li. Pada hari itu, tidak seperti biasanya, Tan Hok mengajak puteranya untuk mendaki ke puncak karena sejak tadi mereka tidak menemukan binatang buruan di lereng.

   Ketika mereka melihat di puncak ada orang-orang aneh, mereka lalu bersembunyi karena takut. Apa lagi ketika muncul raksasa hitam yang kini bertanding dengan empat orang tokoh partai besar itu. Mereka menjadi ketakutan dan mendekam di balik semak belukar dengan tubuh gemetar. Pertandingan itu sudah mencapai puncaknya ketika Si Golok Naga mengubah ilmu goloknya yang kini menyambar-nyambar bagaikani kilat. Empat orang pengeroyoknya berusaha untuk melindungi dirinya masing-masing, akan tetapi sia sia belaka. Golok Naga itu menyamba dahsyat, mengeluarkan bunyi berdesingan mengerikan dan robohlah Tek Hwat Hwesio yang pertama kali kena disambar sinar golok sehingga dadanya terluka lebar dan dia roboh dan tewas seketika!

   Tiga orang rekannya menjadi marah dan mengamuk, akan tetapi belum lewat lima jurus, Ciong-Tosu dari Kunlun-pai juga roboh dan tewas dengan leher hampir putus! Tan Hok dan anaknya menjadi semakin ketakutan melihat robohnya dua orang dengan darah muncrat mengerikan itu. Tan Hok segera menangkap tangan puteranya diajak bangkit dan melarikan diri dari tempat itu. Gerakan mereka terlihat oleh SI Golok Naga, akan tetapi karena masih menghadapi dua orang pengeroyok Si Golok Naga melanjutkan amukannya dan berturut-turut Kiang Cun dan Thian Seng Cu juga roboh dan tewas. Si Golok Naga tertawa bergelak dan ketika terlihat akan ayah dan anak yang tadi bersembunyi dan melarlkan diri, dia segera melompat dan melakukan pengejaran.

   "Hei...!!, kalian berdua, berhenti!"

   Teriak Si Golok Naga ketika melihat dua orang itu sudah berlari cukup jauh, dilereng puncak bukit di depan. Mendengar teriakan yang amat nyaring itu, Tan Hok semakin panik. Dia lalu mendorong puteranya agar naik ke puncak bukit itu dan berkata,

   "Naiklah kau ke puncak itu dan bersembunyi di sana! Aku akan memancing dia agar mengejar ke jurusan lain!"

   Tan Tiong Li memang baru lima tahun akan tetapi dia seorang anak yang cerdik sekali. Dia sudah dapat mengerti apa yang dimaksudkan ayahnya, maka diapun mendaki puncak itu seorang diri sedangkan ayahnya sengaja berlari ke padang rumput agar dapat nampak oleh pengejarnya. Ayah ini tidak memperdulikan keselamatan diri sendiri. Baginya, yang terpenting adalah keselamatan anaknya. Usaha pancingannya berhasil. Si Golok Naga melihat dia lari melintasi padang rumput segera melakukan pengejaran. Tak lama kemudian Tan Hok dapat tersusul dengan mudah dan tanpa banyak cakap lagi Si Golok Naga menggerakkan goloknya dan putuslah leher Tan Hok Dia roboh dan kepalanya menggelinding jatuh dari tubuhnya. Si Golok Naga memandang ke kanan kiri.

   "Ehh, tadi dia bersama seorang anak kecil. Ke mana perginya anak itu? Celaka dia akan menjadi saksi yang merugikan. Aku harus dapat menemukan dan membunuhnya!"

   Katanya seorang diri dan melihat di depan terdapat puncak Itu, dia lalu mendaki puncak dengan golok di tangan. Dia merasa yakin bahwa anak itu tentu menyembunyikan diri di puncak itu. Dengan napas terengah-engah Tan Tiong Li dapat tiba di puncak bukit itu. Dia lelah sekali dan kehabisan napas, maka ketika tiba-tiba dari balik batu besar itu muncul seorang-manusia, dia begitu terkejut dan ketakutan sehingga tubuhnya terguling dan dia sudah berlutut sambil menangis. Dua tangan dengan lembut menariknya bangun dan Tiong Li melihat bahwa orang itu bukanlah raksasa hitam yang tadi mengejar dia dan ayahnya, melainkan seorang hwesio tua yang berjubah kuning. Hwesio tua itu tersenyum kepadanya.

   "Omitohud... seorang anak kecil mendaki puncak seorang diri. Anak yang baik, siapakah engkau dan kenapa engkau berlari-larl ke tempat ini?"

   "Lo suhu... saya dikejar-kejar seorang raksasa hitam yang hendak membunuh saya..."

   Hwe sio itu masih tersenyum.

   "Raksasa hitam? Di mana ada raksasa hitam, anak yang baik? Engkau mengkhayal barangkali."

   "Tidak, Lo-Suhu. Sungguh raksasa itu telah membunuh banyak orang di puncak sana dengan goloknya. Mengerikan. Dia lalu mengejar ayah dan saya..."

   "Ayahmu? Mana ayahmu?"

   "Ayah berlari ke arah lain agar raksasa Itu tidak mengejar saya. Tolonglah, Lo-Suhu..."

   Kini Hwesio itu tidak tersenyum lagi melainkan mengerutkan alisnya karena dia mulai percaya bahwa anak ini tidak berbohong dan tidak berkhayal Dia lalu memandang ke bawah puncak dan pada saat itu dia melihat seorang laki laki tinggi besar bermuka hitam membawa sebatang golok yang berkilauan sedang berlari cepat mendaki puncak itu.

   "Omitohud... agaknya semua ceritamu benar, anak baik. Jangan takut, pinceng akan melindungimu dari raksasa hitam itu."

   Sementara itu, Si Golok Naga dengan penasaran mendaki untuk mencari anak yang hilang itu. Anak itu harus mati! Tidak seorangpun yang rnenyaksikan apa yang terjadi di puncak sana ta di boleh hidup. Akhirnya dia tiba di puncak dan melihat anak itu berlutut di depan seorang hwesio tua renta. Dia menyarungkan goloknya dan tertawa.

   "Ha-ha-ha, bocah setan, kiranya engkau bersembunyi di sini!"

   Tangannya yang panjang itu dijulurkan ke depan hendak mencengkeram Tiong Li. Akan tetapi tangan itu bertemu tangan lain yang lembut.

   "Omitohud, hendak kau apakan anak ini, sobat?"

   Si Golok Naga mengerutkan alisnya yang tebal ketika merasa betapa gerakan tangannya tertahan.

   "Hemm, Jangan ikut-ikut, Hwesio tua. Jangan mencampuri urusanku dan serahkan anak itu ke padaku!"

   "Engkau belum menjawab pertanyaan ku, sobat. Hendak kauapakan anak ini?"

   "Persetan, keparat! Anak itu harus mat! ditanganku!"

   Bentak raksasa hitam itu.

   "Omitohud, siapa yang berbuat jahat terhadap orang yang tidak bersalah atau berdosa, maka kejahatan itu akan berbalik menimpa dirinya sendiri, bagaikan menebarkan debu melawan arah angin yang akan berbalik menimpa yang menebarkannya."

   Hwesio itu mengucapkan pelajaran agama Buddha dengan suara yang lantang namun lembut mengingatkan.

   "Hwesio tua, kalau engkau banyak cakap lagi, engkaupun akan kubunuh! Serahkan anak itu!"

   Kembali Hwesio tua itu menjawab dengan ayat-ayat dalam pelajaran agama Buddha,

   "Dia yang melaksanakan kehendaknya dengan jalan kekerasan tidaklah benar. Bijaksanalah dia yang menimbang antara yang salah dan yang bernar."

   Ketika raksasa hitam itu nampak semakin marah, hwesio tua itu berkata lagi.

   "Anak ini bukan apa-apamu, dan sudah lari ke sini mencari perlindungan kepada pinceng. Pinceng harap engkau orang gagah suka memandang muka pinceng dan tidak mengganggunya lagi."

   "Hwesio yang bosan hidup. Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau berhadapan? Aku enggan membunuhmu karena engkau seorang pendeta dan tidak mempunyai urusan apapun denganku. Akan tetapi anak ini harus mati di tanganku.

   "Hyaaaattt...!"

   Dia lalu mengirim pukulan maut dengan tangan kanannya ke arah kepala anak itu, Pukulan Itu hebat dan dahsyat bukan main. Jangankan sampai kepalan itu, baru angin pukulannya saja sudah dapat membunuh orang karena hawa sin-kang yang keluar dari gerakan pukulan itu.

   "Plakk!"

   Kepalan kanan yang besar dan keras itu bertemu telapak tangan yang lunak halus seperti telapak tangan kanak-kanak. Dan pukulan itu terhenti dan tenaganya seolah amblas masuk ke dalam air. Si raksasa hitam merasa seperti memukul agar-agar atau air saja. Tentu saja dia terkejut dan cepat menarik kembali tangannya dan memandang Hwesio tua yang tidak dikenalnya itu. Kini baru dia menyadari bahwa dia berhadapan dengan seorang yang sakti.!

   "Omitohud, sadarlah, sobat. Lalang merupakan bencana bagi ladang padi dan kebencian adalah bencana bagi kemanusiaan, karena itu persembahan yang disajikan kepada mereka yang bebas dari kebencian mendatangkan pahala besar. Sobat yang baik, kekerasan hanya akan mendatangkan kehancuran bagi dirimu sendiri, ingatlah itu."

   Si raksasa hitam yang baru saja dengan mudahnya membunuh empat orang tokoh partai besar, tentu saja tidak mendengarkan semua peringatan Hwesio tua itu. Dia sudah mencabut goloknya yang baru saja minum darah lima orang itu, golok yang sebulan lalu dicurinya dari gudang pusaka Istana, yaltu Mestika Golok Naga. Begitu mencabut golok Itu, si raksasa hitam lalu menyerang dengan bacokan ke arah kepala Hwesio tua itu Golok menyambar dengan suara berdesing, cepat dan kuat bukan main. Akan tetapi Hwesio itu hanya menyebut,

   "Omitohud...!"

   Dan sedikit membungkukkan tubuhnya, golok itu luput. Si raksasa hitam menjadi penasaran dan semakin marah. Serangannya lalu dilanjutkan dengah bacokan-bacokan lain yang lebih kuat lagi. Akan tetapi, dia merasa seperti membacok bayangan saja. Betapapun cepatnya dia menggerakkan goloknya, namun bacokannya tidak pernah mengenai sasaran, seolah tubuh kakek itu sudah tergeser lebih dulu, terdorong angin serangannya, seperti orang menyerang sehelai bulu yang amat ringan. Karena kakek Itu terus menerus mengelak, raksasa hitam itu mendapat akal.

   Yang penting baginya adalah membunuh anak itu karena anak itu yang tadi menyaksikan pertemuannya dengan empat orang tokoh partai besar. Maka tiba-tiba saja dia membalik dan kini goloknya menyambar ke arah anak yang masih berlutut. Akan tetapi golok itu tertahan di udara! Ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata goloknya sudah dijepit dua buah jari tangan kakek itu. Cepat dia membalik dan menggerak kan goloknya, akan tetapi tiba-tiba tangannya tak dapat digerakkan lagi karna secepat kilat kakek itu telah menotok bawah lengannya, membuat lengan itu lumpuh seketika. Ketika dia hendak menggerakkan tangan kirinya, kakek melanjutkan dengan totokan satu jari yang amat dahsyat, dalam sekejap mata saja tiga jalan darah terpenting di tubuhnya telah tertotok dan dia tidak dapat bergerak lagi seperti sebuah patung.!

   "Omitohud...! Sobat, mulai hari ini, sadarlah dan kembalilah ke jalan benar. Kalau engkau melanjutkan kejahatanmu, maka kejahatan itu akan menyeretmu ke lembah kesengsaraan yang amat hebat. Nah, pergilah!"

   Dia menepuk pundak raksasa hitam itu dan tubuh itu terhuyung ke belakang akan tetapi dia telah mampu bergerak kembali. Kini yakinlah si raksasa hitam bahwa dia tidak akan mampu menandingl Hwesio tua itu, maka diapun melompat pergi dengan cepat.

   "Nah, sekarang pembunuh itu telah pergi. Marilah kita cari ayahmu, anak yang baik,"

   Kata Hwesio tua itu sambil menggandeng tangan Tiong Li. Mereka menuruni puncak dan tak lama kemudian mereka berdua sudah menemukan tubuh Tan Hok yang sudah menjadi mayat dengan kepala terpisah.

   "Omitohud...!"

   Hwesio tua itu merangkap kedua tangannya dan melihat Tiong Li menjerit dan menangis, berlutut memeluki tubuh ayahnya yang telah menjadi mayat. Hwesio tua itu menggeleng-geleng kepalanya.

   "Omitohud, bagaimana dunia dapat menjadi tempat yang damai kalau nafsu dan kekerasan merajalela menguasai hati manusia?"

   Dia lalu menghampiri Tiong Li yang masih menangis, lalu mengangkatnya bangun.

   "Diamlah, anak yang baik. Yang mati tidak akan dapat hidup kembali oleh tangis. Kematian datang menjemput setiap orang, karena itu jangan di tangisi lagi. Mari pinceng bantu engkau menguburkan jenazah ayahmu dengan baik. Di manakah rumahmu? Kita dapat membawa jenazah ayahmu kembali ke keluargamu."

   "Lo-Suhu, ayah dan saya tinggal di dusun lereng bawah sana. Akan tetapi kami tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Kami hanya hidup berdua."

   "Ibumu?"

   "Sudah meninggal sejak saya masih kecil, Lo-Suhu."

   "Aih, anak sekecil ini sudah yatim piatu. Kalau begitu, bagaimana baiknya? Apakah dikubur di sini saja?"

   Anak itu mengangguk. Baginya sama saja ayahnya akan dikuburkan di mana karena dia sudah mengambil keputusan bulat bahwa dia akan ikut dengan Hwesio tua Ini yang mampu mengusir raksasa hitam yang jahat tadi.

   Kemudian terjadilah peristiwa yang membuat Tiong Li terheran-heran. Dengan menggunakan sepotong kayu; bukan cangkul atau senjata tajam lainnya. kakek itu menggali tanah dan penggalian dengan menggunakan sepotong kayu itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga dalam sekejap saja sudah tergali sebuah lubang yang cukup besar dan panjang untuk menguburkan jenazah ayahnya.! Kakek itu lalu mengangkat Jenazah itu berikut kepalanya dan merebahkan ke dalam lubang dengan baik, Kemudian setelah kakek itu membaca doa untuk yang mati, lubang itu ditimbuni tanah oleh mereka berdua. Di atas gundukan tanah itu diletakkan sebuah batu panjang oleh si Hwesio tua yang dengan mudahnya mengangkat batu yang belum tentu dapat diangkat empat orang laki-laki yang bertenaga besar. Setelah itu, Tiong Li lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu,

   "Lo-Suhu, saya sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, oleh karena itu perkenankanlah saya ikut dengan Lo-Suhu, menjadi murid Lo-Suhu,"

   Dia berkata demikian sambil menangis.

   "Omitohud, menolong orang tidak boleh setengah-setengah. Tanpa kau minta sekalipun, pinceng tidak akan menegakanmu. Anak yang baik, siapakah namamu dan siapa pula nama ayahmu?"

   "Mendiang ayah bernama Tan Hok dan saya bernama Tan Tiong Li, lo-su-hu."

   "Kalau begitu. di atas batu ini perlu dituliskan nama ayahmu agar kelak dapat menjadi peringatan bagimu."

   Hwesio tua Itu lalu menggunakan jari telunjuknya, menggurat-gurat pada batu besar dan nampaklah huruf-huruf seperti dipahat saja dan berbunyi : Kuburan Tan Hok.

   "Marilah kita pulang, Tiong Li."

   Kakek itu berkata dan dia menggandeng tangan anak itu. Segera Tiong Li merasa tubuhnya seperti terangkat dan meluncur dengan cepat mendaki puncak. Kakinya seolah tidak menyentuh tanah, akan tetapi tubuhnya meluncur cepat sekali seperti terbang dan sebentar saja mereka telah tiba di puncak di mana dia bertemu dengan kakek tadi.

   "Puncak ini merupakan tempat tinggal pinceng dan disebut Pek-hong-sen-kok (Lembah Gunung Burung Hong Putih). Mulai sekarang engkau tinggal di sini bersamaku."

   Demikianlah, mulai hari itu Tiong Li menjadi murid kakek itu yang tidak mempunyai nama, melainkan memakai nama puncak itu sebagai namanya, yaitu Pek Hong San-jin (Orang Gunung Hong Putih). Anak itu memang rajin dan tahu membawa diri. Biarpun masih kecil dia sudah membantu kakek itu dengan segala macam pekerjaan.

   Mencari kayu kering, memasak air, berkebun, memikul air dari sumber, membersihkan pondok kecil yang seperti gubuk itu, menyapu pekarangan. Dan diapun tidak pernah mengeluh harus makan nasi dan sayur-sayuran sederhana saja. Dia tidak tahu dari mana kakek itu mendapatkan beras, hanya kadang kakek itu meninggalkan puncak sampai sehari lamanya dan pulangnya membawa segala bahan keperluan hidup mereka. Akan tetapi dari Hwesio tua itu Tiong Li mempelajari segala macam ilmu. Bukan saja dasar-dasar ilmu silat, melainkan juga Ilmu membaca dan menulis, bahkan setelah dia pandai membaca, dia mulai disuruh membaca kitab-kltab agama. Beberapa tahun kemudian setelah Tiong Li memiliki dasar-dasar Ilmu silat, barulah gurunya mengajarkan ilmu silat. Ternyata kakek Itu merupakan seorang ahli semua ilmu silat.

   "Ilmu silat banyak ragamnya,"

   Demikian antara lain kakek itu menjelaskan.

   "namun pada dasarnya mempunyai sumber yang sama. Mempergunakan tenaga sedikit mungkin untuk menghaslikan daya serang sebanyak mungkin. Semua ilmu silat ditujukan untuk membela diri, dan dasar bela diri itu semua sama saja, hanya kembangannya yang berbeda sesuai dengan aliran masing-masing."

   "Suhu, kalau Ilmu silat itu ditujukan untuk membela diri, mengapa ada Jurus-Jurus untuk menyerang?"

   Tanya Tiong Li.

   Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Membela diri bukan berarti bertahan saja. Menyerang dan merobohkan lawan juga merupakan bentuk bela diri. Akan tetapl, jangan sekali-kali menyerang orang yang tidak mengganggu kita atau jangan mendahului menyerang orang. Ilmu silat bukan dipelajari untuk melakukan kekerasan, bukan pula untuk mencari kemenangan, atau untuk menyembongkan diri. Oleh karena itu, di jaman dahulu, ilmu silat hanya dipelajari oleh orang-orang yang lemah, yang tertindas dan bertenaga keciI. Semua itu merupakan usaha untukdapat membela diri dari penindasan mereka yang lebih kuat."

   "Apalagi tujuan Ilmu silat selain untuk membela diri dari penindasan mereka yang sewenang-wenang, suhu?"

   "Ilmu silat mengandung tiga unsur, Tiong Li. Pertama sekali, sebagaimana awal mulanya, ilmu silat adalah untuk menjaga kesehatan karena ilmu silat adalah olah raga yang baik sekali dan yang menyehatkan. Kedua, di dalam Ilmu silat dimasukkan unsur seni tari yang indah, yang sesuai dengan kelemasan dan kelincahan gerakan seorang manusia atau bahkan meniru gerakan hewan. Dan unsur ketiga adalah seni bela diri Itulah."

   "Akan tetapi, teecu (murid) melihat ada ilmu-ilmu sesat seperti yang dipergunakan oleh raksasa hitam dahulu, suhu. Apakah memang ada ilmu bersih dan ilmu kotor?"

   "Semua ilmu asal mulanya datang karena ada anugerah Yang Maha Kuasa sebagai dayanya sang budi atau disebut budi-daya yang menjadi kebudayaan manusia. Tidak ada yang bersih dan tidak ada yang kotor. Barulah ilmu itu menja di bersih atau kotor setelah dipergunkan manusia. Ilmu apapun kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka ilmu itu menjadi sesat, Seperti halnya sebatang pisau, pisau itu tidak dapat disebut baik atau buruk, melainkan pisau waja saja; Setelah dipergunakan untuk bekerja di kebun atau di dapur, mengupas bahkan memotong sayuran maka pisau itu baik, akan tetapi kalau pisau itu dipergunakan untuk menyerang orang, melukai atau membunuh, maka pisau itu menjadi buruk. Sebetulnya yang jahat itu bukan, pisaunya, bukan pula ilmunya, melainkan manusianya. Semua itu hanya alat, ilmu silatpun dianugerahkankepada manusla untuk dijadikan alat, yaitu sebagai olah raga, sebagai seni tari dan sebagai seni bela diri. Kalau dipergurnakan untuk berbuat kejahatan, yang Jahat bukanlah ilmu silatnya, melainkan orangnya. Kau ingat golok yang dipegang oleh raksasa hitam dahulu itu? Golok itu adalah sebuah pusaka yang langka didapatkan, kalau tidak salah golok itu adalah Mestika Golok Naga yang tempatnya di gudang pusaka istana. Nah, biarpun mestika itu sebuah pusaka yang ampuh dan keramat sekalipun, kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka tetap saja menjadi jahat sifatnya. Tergantung yang mempergunakannya. Kepintaran itu baik bagi manusia, akan tetapi bagaimana kalau kepintaran itu dipergunakan untuk menipu orang orang lain yang bodoh?"

   Tiong Li mengangguk-angguk mengerti. Baru berusia belasan tahun dia sudah mendengar banyak sekali tentang kehidupan dari gurunya yang arif bijaksana. Pencurian Mestika Golok Naga Itu menggegerkan Kota Raja. Terjadinya memang aneh sekali. Bukan pencurian biasa karena perbuatan itu dilakukan orang dengan terang-terangan. Seperti biasa, gudang pusaka itu dijaga siang malam oleh pasukan pengawal, tujuh orang banyaknya dan pengawal itu bukanlah perajurit biasa melainkan pengawal pilihan yang rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi.

   Akan tetapi pada malam hari itu, tahu-tahu pada keesokan harinya orang mendapatkan tujuh orang pengawal ini telah tewas semua dan di antara barang-barang pusaka yang demikian banyaknya, hanya sebuah saja yang hilang, yaitu Mestika Golok Naga. Kaisar menjadi marah dan mengutus para ahli menyelidikinya. Para jagoan istana yang berilmu tinggi memeriksa mayat ke tujuh orang pengawal itu dan mereka mendapat kenyataan bahwa di antara para mayat ini terdapat tanda-tanda dengan ilmu apa mereka dibunuh. Ada yang terbunuh oleh pukulan Pek-lek-jlu (Tangan Geledek) yang mereka tahu merupakan ilmu pukulan dari Kun-lun-pai. Ada pula yang terbunuh oleh senjata rahasia paku yang disebut Touw-kut-teng (Paku Penembus Tulang) yang biasa dipergunakan oleh para pendekar Bu-tong-pai.

   Ada pula yang tewas karena pukulan Ang-se-ciang (Tangan Pasir Merah) dari Siauw-lim-pai dan ada pula yang tewas karena pukulan Ilmu Tiat-ciang (Tangan Besi) dari Hoa-san-pai. Tentu saja para jagoan Istana melaporkan hal ini kepada kaisar. Pada waktu itu Kerajaan Sung telah pecah berantakan oleh serangan Kerajaan Cin yang menyerang sampai ke Kota Raja Kai feng. Kaisar beserta seluruh keluarganya tertawan dan dibuang. Semua ini adalah akibat pengkhianatan Jin Kui yang bersekutu dengan Kerajaan Cin, sehingga Kerajaan Sung menjadi berantakan. Akan tetapi, seorang pangeran adik Kaisar yang bernama Sung Kao Cung, berhasil melarikan diri dan tidak tertangkap oleh bangsa Yucen atau Kerajaan Cin dan Sung Kau Cung melarikan diri ke selatan, menyeberangi Sungai Yang-ce.

   Di selatan ini, Sung Kao Cung naik tahta dan Kerajaan Sung berdiri kembali dalam tahun 1127. Akan tetapi karena kekuasaan Kerajaan Sung hanya berada di sebelah selatan Sungai Yang-ce, maka kerajaan Itu dinamakan Kerajaan Sung Selatan. Daratan Clna kemball terpecah menjadi dua. Di sebelah utara Sungai Yang ce berkuasa Kerajaan Cin, dan di sebelah selatan sungai itu berkuasa Kerajan Sung. Akan tetapi Kerajaan Sung Selatan ini amat lemah sehingga Kaisarnya terpaksa harus membayar upeti kepada Kerajaan Cin. Memang tidak selamanya Sung Selatan tunduk. Ada kalanya terjadi pertempuran sengit antara kedua kerajaan itu. Akan tetapi dalam Kerajaan Sung Selatan, kekuasaan yang besar berada di tangan kau m tuan tanah yang tidak merasa berkepentingan untuk merebut daerah sebelah utara Sungai Yang-ce, maka pertempuran itu tidak pernah menjadi peperangan umum.

   Sebaliknya, Kerajaan Cin sendiri juga tidak memandang penting untuk merebut daerah Kerajaan Sung, karena daerah pertanian di selatan tidak menarik bagi mereka yang berasal dari Bangsa Nomad berkuda. Yang terjadi adalah perang dingin. Dan yang lebih banyak mengadakan perlawanan kepada Bangsa Cin adalah orang-orang kang-ouw, para pendekar yang masih mendendam dan membenci bangsa Cin yang telah menguasai Kerajaan Sung dan memaksa kaisarnya pindah ke selatan sehingga Kerajaan Sung menjadi sebuah negara yang lemah dan nampaknya seperti sebuah pemerintahan yang mengungsi. Para pendekar banyak yang seringkali bentrok dengan pasukan Cin di sepanjang perbatasan dan sepak terjang para pendekar ini kadang memusingkan Kerajaan Cin karena mereka banyak kehilangan anak buah yang terbasmi oleh para pendekar.

   Dalam keadaan seperti itulah tiba tiba saja Mestika Golok Naga itu lenyap dicuri orang dalam gudang pusaka Istana Kerajaan Sung. Ketika Kaisar Sung Kao Cung mendengar bahwa ada tanda-tanda bahwa yang membuhuh para pengawal adalah orang-orang dari empat perkumpulan besar Siauw-lim-pai, Bu- tong-pai, Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai, Kaisar menjadi marah. Kaisar mengutus para jagoannya membawa pasukan untuk mendatangi partai-partai itu. Akan tetapi, para jagoan istana sendiri tidak percaya bahwa ke empat partai yang biasanya amat setia itu mencuri golok pusaka, dan mendatangi mereka bukan untuk melakukan penangkapan, melainkan mengajak mereka berunding membicarakan perkara pencurian itu.

   Para ketua keempat partai persilatan itu berjanji akan berusaha mencari pencuri yang selain mencuri golok pusaka juga telah melakukan fitnah kepada nama perkumpulan mereka berempat. Mereka mengutus murid-murid pilihan mereka untuk menyebar dan melakukan penyelidikan, kalau perlu sampai ke sebelah utara Sungai Yang-ce-kiang. Para ketua empat partai besar itu mengadakan pertemuan sendiri dan mereka terutama membicarakan murid-murld mereka yang menjadi tokoh kelas tiga, yang mengadakan pertemuan di Liong-san akan tetapi tidak pernah kembali. Mereka lalu mengutus murid-murid lain menyusul ke sana dan mendapatkan empat orang murid itu telah tewas dan mayat mereka telah menjadi kerangka. Mereka mengenali mereka dari pakaian dan senjata-senjata mereka saja.

   "Omitohud! Jelas ini tentu perbuatan si pencuri itu dan dia tentu bukan pencuri sembarangan. Di balik perbuatannya mencuri ini agaknya terkandung maksud yang lebih besar lagi, Pertama, untuk mengadu domba antara para partai dan Kerajaan Sung, dan kedua untuk membingungkan para tokoh partai itu sendiri agar saling tuduh dan terjadi perpecahan. Pendeknya, di balik pencurian golok pusaka itu terkandung maksud untuk semakin melemahkan Kerajan Sung,"

   Kata ketua Siauw-lim-pai "Yang jelas, orang yang mencuri golok pusaka itu adalah seorang yang ahli banyak macam ilmu dan dia lihai sekali."

   "Kami mencurigai Bangsa Yu-ce yang berdiri di balik semua ini "

   Sambung ketua Bu-tong-pai ketika keduanya mengadakan pertemuan untuk membicarakan masalah itu.

   "Bangsa Yu-cen pertama-tama menjalin persahabatan dengan kerajaan Sung hanya ketika mereka hendak menundukkan. Bangsa Khitan dan membutuhkan bantuan. Setelah mereka mengalahkan Bangsa Khitan, Kini mereka hendak menguasai Sung dengan berbagai cara."

   "Benarlah demikian. Dahulu, Bangsa Khitan yang merupakan gangguan bagi kita, dan kini ternyata Bangsa Yu-cen setelah kita bantu mengalahkan Bangsa Khitan, menjadi pengganggu yang lebih kejam lagi. Di sepanjang perbatasan mereka selalu membikin kacau dan mengganggu rakyat jelata. Harapan kita satu-satunya terletak kepada... Jenderal Gak Hui yang berjaga di garis terdepan. Hanya Jenderal Gak itulah yang akan mampu menghancurkah Bangsa Yu-cen dengan Kerajaan Cin mereka!"

   Kata pula ketua Siauw-lim-pai. Kalau hendak menemukan lagi golok pusaka itu, kita harus mencari kedaerah kekuasaan Cin di utara."

   "Omitohud... kata-kata toyu. benar. Mari kita kirimkan murid-murid kita masing-masing untuk mencari ke sana. Kalau klta tidak dapat menemukan golok itu, tentu Kaisar akan memandang kepada kita dengan curiga."

   Apa yang dibicarakan kedua orang ketua partai besar ini memang sebenarnya. Pada waktu itu, terdapat seorang jenderal yang setia kepada Kerajaan Sung, yaitu Jenderal Gak Hui. Kalau saja kaisar menuruti kehendak jenderal ini yang bermaksud menghajar Bangsa Yucen dengan kekerasan, mungkin Kerajaan Sung tidak sampai jatuh. Akan tetapi, Kaisar dipengaruhi oleh seorang Menteri bernama Jin Kui,

   Seorang yang berjiwa pengkhianat sehingga Kaisar melarang Gak Hui untuk memukul pasukan Cin dan lebih suka mengeluarkan harta benda untuk membayar upeti kepada Bangsa Yucen. Jenderal Gak Hui menjadi penasaran. Dia menghadap kaisar dan mengusulkan untuk membangun pasukan rakyat besar-besaran untuk merebut kembali daerah utara. Namun, Perdana Menteri Jin Kui membujuk Kaisar dengan alasan bahwa kalau gagasan Jenderal Gak Hui itu dilaksanakan, maka Kerajaan Sung akan hancur sama sekali. Dan celakanya, kaisar lebih percaya kepada Perdana Menteri Jin Kui sehingga Kaisar melarang Jenderal Gak Hui untuk mengadakan penyerbuan ke utara. Jenderal Gak Hui adalah seorang panglima yang amat setia maka diapun menaati perintah kaisar dan menahan pasukannya di perbatasan, tidak bergerak maju lagi.

   Akan tetapi di mana terdapat pasukan Jenderal Gak Hui, daerah itu pasti aman dan tidak ada pasukan Cin berani mengganggu rakyat jelata. Oleh karena itu, nama Jenderal Gak Hui disanjung dan dipuja rakyat sebagai pembela dan pelIndung rakyat jelata. Demikianlah keadaan Kerajaan Sung pada waktu itu. Nampaknya saja aman tidak ada perang, akan tetapi sesungguh- nya kerajaan Ini selalu mengalah kepada Kerajaan Cin dan mengirim upeti, bahkan banyak pelanggaran dilakukan pasukan Cin di perbatasan. Hal ini membuat para pendekar menjadi dongkol sekali dan merasa terhina karena kedaulatan mereka terinjak-injak oleh Bangsa Yu-cen yang mereka anggap sebagai bangsa biadab dari utara. Sang waktu meluncur dengan amat cepatnya dan sepuluh tahun telah lewat sejak Tiong Li menjadi murid kakek yang hanya dikenalnya sebagai Pek Hong San-jin.

   Dia telah menjadi seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun yang bertubuh seperti seorang pemuda dewasa saja. Tinggi tegap dengan dada yang bidang. Wajahnya yang sederhana itu tampan dan gagah dan semuda itu dia telah mempelajari banyak macam ilmu. Bukan saja ilmu silat yang tinggi, melainkan juga ilmu baca tulis dan ilmu keagamaan yang membuatnya berpandangan jauh dan mendalam mengenai kehidupan. Pada suatu sore, seperti biasa setelah selesai melakukan tugas pekerjaannya, Tiong Li berlatih silat seorang diri di pekarangan depan rumah. MuIa-mula dia bersilat tangan kosong, gerakannya lambat dan mantap, akan tetapi setiap gerakan tangannya mendatangkan angin yang membuat daun-daun dan bunga-bunga di pekarangan itu bergoyang-goyang.

   Makin lama gerakannya menjadi semakin cepat sehingga akhirnya tubuhnya tidak nampak jelas dan hanya bayangannya saja yang berkelebat ke sana sini. Ada seperempat jam dia bersilat tangan kosong, lalu menghentikan gerak annya. Ada sedikit keringat membasahi dahinya akan tetapi pernapasannya biasa saja, tidak terengah. Kemudian dia memungut sebatang kayu kering yang panjangnya seperti panjang pedang atau golok dan mulailah dia bersilat lagi, kayu itu dimainkan seperti orang memainkan sebatang golok. Membacok sana sini, menangkis dan menusuk. Gerakannya seperti juga tadi, mula-mula lambat dan mantap, semakin lama semakin cepat sehingga akhirnya tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar kehijauan dari kayu yang dimainkannya. Seperempat jam kemudian dia berhenti lagi.

   "Bagus, Tiong Li. Kulihat engkau sudah mendapat kemajuan!"

   Terdengar teguran dan Tiong Li membalikkan tubuh, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya yang ternyata baru datang setelah sehari bepergian.

   "Semua ini berkat bimbingan suhu kepada teecu (murid),"

   Kata Tiong LI dengan suara mengandung rasa terima kasih,

   "Bukan, melainkan berkat ketekunan dan kerajinanmu, juga karena engkau memiliki bakat yang baik sekali. Berterima kesihlah kepada Tuhan, Tiong Li Ketahuilah, bahwa manusia itu sebenarnya hanya sekedar alat yang dipergunakan Tuhan untuk melaksanakan kekuasaan Nya. Oleh karena itu, yang pandai itu adalah Tuhan, yang kuasa adalah Tuhan. Manusia yang bijaksana selalu akan menyerah pasrah kepada kekuasaan Tuhan dan selalu berusaha untuk dapat menjadi alat yang baik sehingga dapat dipergunakan Tuhan."

   "Akan tetapi, suhu. Bukanlah segala daya upaya itu usaha manusia? Untuk mempelajari sesuatu, bukankah manusia harus menggunakan plkirannya?"

   "Omitohud, tidakkah engkau melihat bahwa yang dinamakan pikiran itupun pemberian Tuhan pula? Kita terlahir dengan sempurna, dengan segala peralatan yang serba lengkap, tentu dimaksudkan agar kita mempergunakan semua itu dengan sebaiknya. Adalah suatu kesombongan kosong kalau seseorang membanggakan dirinya sebagai yang pintar dan yang berkuasa. Manusia itu tanpa. kekuasaan Tuhan tidak dapat berbuat apa-apa. Baru mengatur tumbuhnya rambut sendiri saja tidak mampu! Bahkan tumbuhnya rambutnya pun diatur oleh kekuasaan Tuhan. Segala sesuatu ini diatur oleh kekuasaan Tuhan, karena itu, sudah semestinya kalau kita menyerah dengan tulus ikhlas kepada kekuasaanNya, Kalau kekuasaan Tuhan sudah menghendaki kita mati, sewaktu-waktu kita dapat saja mati tanpa ada apapun yang akan mampu mencegahnya."

   Tiong Li menundukkan kepalanya dan pada saat itu dia merasa seolah semua bulu di tubuhnya bangkit berdiri. Terasa sekali olehnya bahwa hidupnya ini, luar dalam, dikuasai oleh kekuasaan Tuhan dan bahwa dia sesungguhnya adalah tidak memiliki kekuasaan apapun, Keyakinan ini menebalkan imannya bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan, dan tugas manusia hanyalah berusaha sedapat-dapatnya. Kalau menghadapi bahaya, berusahalah untuk menghindar. Kalau sakit berusahalah untuk berobat sampal sembuh. Untuk keperluan hidup seperti makan pakaian dan tempat tinggal berusahalah untuk mendapatkannya dengan bekerja. Hanya itu tugas manusia. Berusaha sebaik mungkin. Ada pun bagaimana hasilnya, terserah kepada kekuasaan Tuhan yang mengaturnya.

   "Suhu, harap jangan bicara tentang kematian, karena betapapun juga, teecu masih ingin melihat teecu dan suhu dalam keadaan sehat selamat."

   "Omitohud..., siapa takut akan kematian, berarti belum dapat mengambil sikap menyerah sebulatnya kepada kekuasaan Tuhan. Nah, bangkitlah, Tiong Li dan duduk di sini. Pinceng hendak menceritakan hal-hal yang menimbulkan perasaan tidak enak di hati pinceng. Duduk lah."

   Mereka duduk di atas bangku yang berada di pekarangan itu. Setelah mereka duduk, Tiong Li bertanya,

   "Suhu pergi sejak pagi, kini pulang membawa berita apakah, suhu?"

   "Berita yang buruk sekali, Tiong Li. Omitohud, apakah ini merupakan tanda bahwa Kerajaan Sung akan lenyap dari permukaan bumi ini? Ketahuilah, Jenderal Gak Hui yang menjadi tumpuan harapan rakyat untuk membebaskan mereka dari ancaman Bangsa Yu-cen, bukan saja diperintahkan menghentikan gerakannya dan bahkan dipanggil untuk pulang ke Kota Raja oleh Kaisar! Padahal, kalau pasukan Jenderal Gak Hui sampai ditarik mundur, berarti pertahanan di tapal batas akan menjadi lemah sekali dan pasukan Cin akan dengan mudah menyerbu ke daerah Sung."

   "Akan tetapi, sebagai seorang panglima tentu saja Jenderal Gak Hui tidak dapat menolak perintah Kaisar."

   "Itulah Jenderal Gak Hui adalah seorang panglima yang setia lahir batin, tentu akan menaati semua perintah Kaisar, bahkan rela mengorbankan nyawa demi negara. Akan tetapi perintah kaisar itu sungguh aneh sekali. Jenderal Gak Hui amat dibutuhkan di garis depan, mengapa malah dipanggil pulang? Dan desas-desus yang pinceng terima mengkhawatirkan bahwa semua ini adalah ulah Perdana Menteri Jin Kui yang mempengaruhi Kaisar. Pada hal bukan rahasia lagi bahwa Perdana Menteri Jin Kui adalah seorang yang licik bahkan mencurigakan, ada persangkaan bahwa dia bersekutu dengan pihak Bangsa Yu-cen!"

   "Akan tetapi, kalau benar demikian, kenapa dia dipercaya oleh Kaisar, suhu?"

   "Itulah! Kaisar tidak percaya bahwa Perdana Menteri Jin Kui sesungguhnya adalah seorang menteri durna. Dia lebih percaya pada menteri yang khianat itu dari pada seorang panglima besar yang setia seperti Jenderal Gak Hui. Inilah sebabnya pinceng mengatakan bahwa barangkali semua Ini merupakan tanda bahwa Kerajaan Sung sudah tiba saatnya untuk hancur dan lenyap dari permukaan bumi."

   "Suhu, mengapa mengkhawatirkan sampai sedemikian Jauhnya?"

   "Banyak tanda-tandanya, Tiong Li. Dan engkau ingatlah selalu, sebagai seorang laki-laki sejati, pantanglah untuk menjadi seorang pengkhianat. Orang laki-laki harus tiga kali berbakti dalam hidupnya. Berbakti kepada Tuhan, Berbakti kepada Negara dan berbakti ke pada orang tua. Kalau satu di antaranya dilanggar, dia bukan laki-laki sejati. ingatlah semua ini, Tiong Li "

   "Teecu akan selalu mengingat dan menaati semua nasihat suhu."

   Tiba-tiba terdengar suara tawa yang bergelak dan nyaring sekali

   "Ha-ha-ha-ha, kalau engkau laki-laki sejati, bersiaplah engkau untuk membuat perhitungan denganku, kakek tua bangka!"

   Guru dan murid itu menengok. Ternyata di situ telah berdiri dua orang, yang seorang adalah raksasa hitam yang pernah mereka lihat sepuluh tahun yang lalu, yang memakai nama Si Golok Naga, dan orang kedua adalah seorang kakek yang kecil pendek dan demikian kurusnya sehingga seperti kerangka terbungkus tulang dan mukanya mirip tengkorak.!

   "Omitohud...! Engkau datang lagi, sobat. Sekarang apakah yang kau kehendaki?"

   Tanya Pek Hong San-jin dengan sikapnya yang tenang sekali.

   "Ha-ha-ha, apa lagi yang kukehendaki? Ini tentu bocah yang dulu kau selamatkan itu! Aku datang untuk membunuh kalian berdua!"

   "Omitohud, sampai sekarang engkau belum juga menyadari kesesatanmu, Sobat?"

   Akan tetapi Tiong Li tidak sesabar gurunya.

   "Si Golok Naga! Aku mengerti mengapa engkau hendak membunuh aku dan suhu. Aku telah melihat bahwa engkau membunuhi empat orang tokoh partai besar itu dan aku telah mendengar bahwa engkaulah pencuri golok pusaka dari Istana! Engkau tidak ingin kenyataan semua itu tersiar, bukan? Engkau pencuri jahat, sudah mencuri masih hendak melempar fitnah kepada orang-orang lain."

   "Bocah keparat mampuslah!"

   Bentak Si Golok Naga dan dia sudah menubruk maju dengan kedua tangan membentuk cakar. Jari-jari tangan besar yang membentuk cakar itu berbahaya sekali. Kalau sampai cakar itu dapat mencengkeram kepala Tiong Li, tentu kepala itu akan remuk dan orangnya tewas.! Akan tetapi Tiong Li sekarang bukanlah anak berusia lima tahun seperti sepuluh tahun yang lalu. Dia telah menjadi seorang remaja yang amat lihai maka cengkeraman itu dapat dihindarkannya dengan lompatan ke kiri. Ketika raksasa hitam itu mengejar dan menampar dengan tangan kanannya, Tiong Li menangkis dengan lengan kiri-nya sambil mengerahkan tenaga sin-kang.

   

Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini