Ceritasilat Novel Online

Mestika Golok Naga 2


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



"Dukkl"

   Tubuh Tiong Li tergetar ke belakang akan tetapi si raksasa hitam itupun mundur dua langkah.

   "Bagus, engkau agaknya telah memiliki sediklt kepandaian!"

   Bentak raksasa hitam itu dan kini dia menyerang kalang kabut dengan pukulan-pukulan yang amat dahsyat.

   Tiong Li melawan, mengelak, menangkis dan bahkan membalas memukul dengan tidak kalah dahsyatnya. Pemuda ini telah mempelajari ilmu silat tinggi dari kakek Hwesio tua itu, dan juga sudah menghimpun tenaga sakti yang cukup kuat. Pertandingan antara mereka berjalan denqan seru dan seimbang. Pek Hong San-jin yang ingin melihat kemajuan muridnya, sengaja tidak mau menolong muridnya andaikata muridnya terancam bahaya. Si raksasa hitam merasa penasaran Sekali. Sampai duapuluh jurus sama sekali dia tidak mampu mendesak Tiong Li dan pertandingan berjalan seimbang. Dia tidak mau mempergunakan senjata karena merasa malu kalau harus bersenjata melawan seorang pemuda remaja yang bertangan kosong. Akan tetapi, agaknya tengkorak hidup yang datang bersama Si Golok Naga itu tidak bersabar lagi,

   Dua kali tangannya mendorong ke depan dan terdengar suara berciutan, Pek Hong San-jin sendiri terkejut melihat pukulan jarak jauh yang demikian hebat. Dia hendak menangkis, akan tetapi terlambat. Tiong Li tiba-tiba didorong oleh tenaga yang amat dahsyat dan dia terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dlpergunakan oleh Si Goliok Naga untuk menghantamnya dengan tangan kiri yang tepat mengenai dada Tiong Li. Pemuda Ini terpental ke belakang dan roboh, tak dapat bergerak kembali dan pingsan. Sementara Itu, Pek Hong San-jin sudah menangkis pukulan jarak jauh yang ke dua, juga dengan dorongan tangannya dan keduanya masing-masing tertolak ke belakang. Si tengkorak hidup mengeluarkan suara melengklng tinggi dan dia lalu menyerang Hwesio tua itu dengan pukulan-pukulan tangan terbuka yang mengeluarkan suara berciutan.

   Akan tetapi Hwesio tua itu mengimbanginya dengan dorongan-dorongan tangannya. Melihat kawannya sudah bertanding melawan Hwesio tua itu dan si pemuda sudah roboh dan tentu tewas oleh pukulan tangan kirinya, raksasa hitam kini menerjang hwesio tua dan mengeroyoknya bersama si tengkorak hidup. Karena maklum akan kelihaian hwesio tua itu, si raksasa hitam telah mencabut goloknya yang nampak hebat, yaitu golok naga.! Hwesio tua itu bersikap tenang namun gerakannya cepat bukan main. Semua sambaran golok dapat dielaknya dengan mudah dan hal ini membuat si tengkofak hidup menjadi penasaran sekai. Dia terkenal sebagai seorang sakti, guru dari Golok Naga, dan sekarang dia harus mengeroyok Hwesio itu berdua muridnya! Dengan pengerahan tenaga dia lalu mendorong dengan kedua telapak tangannya sambil mengeluarkan teriakan melengking.

   "Hieeeeeehhhhhhh...!!"

   "Omitohud...!"

   Pek Hong San-jin berseru kaget dan dia menyambut dorongan kedua tangan si tengkorak hidup itu dengan tangannya. Tangan kanan itu bertemu dengan dua tangan si Tengkorak hidup dan melekat. Mereka saling dorong dan terjadilah adu kekuatan sinkang yang menegangkan. Melihat kesempatan baik ini, Si Golok Naga tidak mau menyia-nyiakannya dan diapun melompat ke depan, mengangkat goloknya tinggi-tinggi dan membacok ke arah kepala Pek Hong San-Jin. Akan tetapi Pek Hong San jin menggerakkan tangan kirinya, mendorong ke arah penyerang itu dan sebelum golok mengenai kepalanya, lebih dahulu tubuh Si Golok Naga terkena dorongan tangan kiri itu dan dia terlempar sampai tiga tombak jauhnya dan jatuh berdebuk dengan keras. Ketika dia bangkit lagi, mukanya berubah pucat dan mulutnya menyeringai kesakitan.

   Pada saat itu, Pek Hong San-jin mengerahkan tenaganya dan mendorongkan tangan kanannya yang melekat pada kedua tangan si tengkorak hidup. Akibatnya tengkorak hidup itu pun terpental ke belakang dan dari mulutnya mengalir darah, tanda bahwa diapun sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya. Tanpa banyak cakap lagi, si raksasa hitam dan si tengkorak hidup yang telah menderita luka itu lalu meninggalkan tempat itu dengan langkah terhuyung, takut melanjutkan pertandingan melawan Hwesio tua yang sakti itu. Tiong Li siuman dan dia bangkit berdiri, agak terhuyung. Akan tetapi dia mendengar suhunya terbatuk-batuk dan tanpa memperdulikan dirinya sendiri yang juga terluka, dia menghampiri gurunya. Kakek itu terhuyung lalu menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Lalu muntahkan darah yang cukup banyak Suhunya telah terluka parah!

   "Suhu...!"

   Dia menghampiri. Pek Hong San-jin mengangkat mukanya. Dia telah mempergunakan tenaga yang berlebihan melawan dua orang yang sakti sehingga dia menderita luka parah tanpa di ketahui kedua orang lawannya yang melarikan diri. Dia melihat muridnya dan tersenyum.!

   "Engkau tidak apa-apa, Tiong Li...?"

   Katanya dengan suara yang lemah sekali.

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Mestika Golok Naga (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 02

   "Tidak, suhu. Akan tetapi suhu bagaimana? Suhu muntahkan demikian banyak darah..."

   "Omitohud". mereka berdua itu... kuat sekali... Sayang kesaktian seperti itu... dipergunakan untuk berbuat jahat...! Tiong Li, engkau ingat semua nasihatku...? Jangan... jangan sekali-kali kau pergunakan ilmumu untuk kejahatan..."

   "Tentu saja teecu ingat Suhu..."

   Tiong Li khawatir sekali melihat wajah gurunya demikian pucat seperti mayat sehingga dia lupa akan keadaan dirinya sendiri yang juga terluka parah disebelah dalam tubuhnya.

   "Akan tetapi suhu..., marilah teecu bantu untuk menyalurkan sin-kang ke tubuh suhu..."

   Gurunya menggeleng kepala dan berkata lirih,

   "Tidak ada gunanya lagi..."

   "Suhu...!"

   Tiong Li berseru ketika melihat suhunya terkulai. Cepat dirangkulnya suhunya agar jangan terjatuh dari atas bangku. Gurunya memandangnya dengan tetap tersenyum. Menyedihkan sekali melihat bibir yang berdarah itu tersenyum!

   "Tiong Li, ingatkah engkau... akan pembicaraan kita tadi..., tentang... tentang kematian? Kematian bukanlah yang terakhir, Tiong Li... dan sudah ditentukan oleh Tuhan, kita tinggal menyerah... kehendak Tuhan terjadilah!"

   "Suhu...!"

   "Pinceng hanya pesan... agar jenazah pinceng dibakar bersama gubuk itu..."

   Kepala itu terkulai dan napasnya putus.

   "Suhu!"

   Tiong Li merebahkan tubuh yang tak bernyawa itu di atas bangku dan diapun terkulai, pingsan di atas tanah. Tiong Li membuka dan mengedip-ngedipkan matanya. Mukanya basah terpercik air dan samar-samar dia melihat wajah seorang gadis remaja bersama seorang wanita dewasa yang cantik jelita.

   Dia teringat akan kematian gurunya, teringat akan si raksasa hitam dan bibirnya bergerak.

   "Si Golok Naga...!"

   Lalu dia terkulai dan pingsan lagi. Wanita itu memang cantik sekali. Usianya sekitar tigapuluh tahun, akan tetapi ia kelihatan seperti seorang gadis duapuluhan tahun. Rambutnya yang subur itu hitam mengkilap tersisir rapi dan digelung ke atas, terhias emas permata berbentuk burung Hong yang indah sekali dan tentu mahal harganya. Anak rambut berjuntai di dahinya yang putih mulus dan alisnya juga hitam kecil panjang melengkung indah, melindungi sepasang mata yang amat tajam sinarnya. Sinar mata yang seolah menembus segala yang dipandangnya dan kadang sinar mata itu mencorong seperti binatang yang haus darah!

   Hidungnya kecil mancung dan mulutnya berbentuk manis dengan sepasang bibir yang selalu merah basah. Wajahnya berbentuk bulat telur. Sungguh sebuah wajah yang cantik jelita, namun sinar mata dan tarikan pada mulut itu kadang membayangkan kekerasan nati yang mengerikan. Tubuhnya juga padat menggairahkan, sedang dan ramping. Wanita cantik ini kalau sudah memperkenalkan namanya tentu akan membuat orang-orang kang-ouw terkejut setengah mati. Wanita yang amat cancik ini ternyata adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal sebagai seorang datuk sesat dengan nama julukan Ban-Tok Sian-Li (Dewi Selaksa Racun)! Selain ilmu silatnya yang tinggi dan lihai bukan main, juga wanita ini terkenal sebagai seorang ahli racun dan kabarnya. sebuah goresan kuku jari tangannya saja sudah cukup membuat orang mati keracunan!

   Bahkan tempat tinggalnya juga menjadi sebuah tempat yang menakutkan, yaitu di lembah Sungai Yangce dan lembah itu demikian ditakuti orang hingga diberi nama Lembah Maut. Adapun gadis remaja yang bersamanya itu adalah seorang muridnya, bernama The Siang Hwi, berusia empat belas tahun akan tetapi sudah pula mewarisi ilmu silat tinggi dari gurunya yang secantik dewi akan tetapi kadang dapat sekejam iblis itu. Ketika Ban-Tok Sian-Li dan The Siang Hwi secara kebetulan mendaki puncak itu dalam penyelidikannya tentang Golok Naga, la menemukan seorang hwesio tua yang sudah tewas di atas bangku dan seorang pemuda remaja yang menggeletak pingsan di bawah bangku. Muridnya lalu disuruh mencari air dan memecikkan pada wajah pemuda itu agar siuman dan dapat ditanyai apa yang telah terjadi. Ketika Tiong Li siuman dan satu-satunya kata yang keIuar dari mulutnya adalah,

   "Si Golok Nagal"

   Kemudian pingsan kembali, tentu saja hati Ban-Tok Sian-Li menjadi tertarik sekali. Kunjungannya ke Liong-san memang ada hubungannya dengan Golok Naga. la mendengar tentang golok pusaka yang di curi itu dan sudah sepuluh tahun belum juga dapat ditemukan kembali. Mendengar bahwa Kaisar menjanjikan hadiah besar bagi siapa yang dapat mengembalikan golok pusaka itu tidaklah begitu menarik perhatiannya. Yang menarik perhatiannya adalah golok itu sendiri karena la mendengar bahwa Golok Naga itu adalah sebuah senjata mestika yang amat ampuh. la ingin mencarinya, bukan untuk dikemballkan kepada Kaisar, melainkan untuk dimilikinya sendiri... la mendengar pula bahwa empat orang-tokoh dari perkumpulan besar yang melakukan penyelidikan telah terbunuh di Liong-san.

   Maka ia mengambil kesimpulan bahwa ia. dapat mulai melakukan penyelidikan dari Liong-san. Tentu ada hubungannya antara Liong-san dengan pembunuh itu dan agaknya pembunuh itu tahu soal golok pusaka yang dicuri. Kalau tidak begitu, mengapa dia membunuh empat orang tokoh partai-partai besar yang kabarnya difitnah oleh si pencuri golok! Demikianlah, mendengar pemuda remaja itu menyebut Golok Naga, tentu saja ia tertarik sekali. Ia lalu memeriksa pemuda itu dan mengertilah ia mengpa pemuda itu setelah siuman lalu pingsan kembali. Pemuda itu menderita luka dalam yang amat parah, akibat dari pukulan beracun yang entah dilakukan oleh siapa. Karena ia memang ahli tentang pukulan-pukulan beracun, maka Ban-Tok Sian-Li lalu menyingsingkan lengan bajunya sehingga sepasang lengannya yang putih mulus itu nampak sebatas siku.

   Kemudian Ia menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung Tiong Li setelah menelungkupkan pemuda itu. Muridnya hanya berdiri menonton gurunya mengobati pemuda yang pingsan itu. Seperempat jam kemudian setelah pengobatan dengan penyaluran tenaga sinkang itu dilakukan Ban-Tok Sian-Li pernapasan Tiong Li yang tadinya terengah dan satu-satu, mulai normal kembali dan setelah ditotok di beberapa bagian jalan darah di tubuhnya, dia pun siuman. Ban-Tok Sian-Li bangkit berdiri, menghapus sedikit keringat dileher dan dahinya. la telah mengerahkan banyak tenaga untuk menyembuhkan pemuda itu. Akan tetapi ia rela karena ia tentu akan mendapatkan keterangan yang banyak dari pemuda itu tentang Golok Naga Tiong Li membuka mata, bergerak bangkit duduk dan terkejut heran melihat wanita cantik dan gadis remaja itu.

   "Siapakah Ji-wi (anda berdua)?"

   Tanyanya. Akan tetapi dia teringat, menoleh dan melihat suhunya masih mengg"letak di atas bangku dalam keadaan tidak bernyawa lagi, maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut dekat bangku dan menangis.

   "Suhu...!"

   Tiong Li merasa ada sentuhan halus sebuah tangan di pundaknya. Ketikadia menengok, ternyata gadis remaja itu yang menyentuh pundaknya dan gadis itu berkata.

   "Engkau tadi terluka parah dan Subo (Guru) yang telah menyembuhkanmu. Jangan menangis dan ceritakan semuanya kepada Subo."

   Mendengar ini, Tiong Li lalu bangkit dan memberi hormat kepada Ban-Tok Sian-Li, dengan air mata masih membasahi pipinya.

   "Terima kasih atas pertolongan bibi..."

   "Aku bukan bibimu!"

   Terdengar jawaban menyentak marah. Memang merupakan pantangan begi Ban-Tok Sian-Li kalau ia disebut sebagai orang yang lebih tua! Muridnya yang sudah mengenal watak Subonya lalu berkata kepada Tiong Li,

   "Subo adalah Ban-Tok Sian-Li, engkau boleh menyebutnya Sian-Li (Dewi) bukan bibi."

   Tiong Li yang mengenal baik sopan santun lalu berkata.

   "Maaf, terima kasih atas pertolongan Sian-Li kepadaku."

   "Aku tidak butuh terima kasihmu lebih baik kau cepat ceritakan dimana adanya Golok Naga!"

   Kata pula Ban-Tok Sian-Li sambil memandang tajam penuh selidik.

   "Golok Naga...?"

   Tiong Li memandang heran.

   "Aku tidak tahu tentang golok itu..."

   "Jangan bohong!"

   Bentak Ban-Tok Sian-Li.

   "Ketika engkau sluman, tadi engkau berkata Si Golok Naga! Dan sekarang mengatakan tidak tahu?"

   "Ahh... Si Golok Naga? Memang benar, Sianli. Akan tetapi yang kumaksudkan adalah Si Golok Naga raksasa hitam itu yang bersama-temannya. Tengkorak Hidup itu telah membunuh guruku dan melukai aku."

   "Apa hubungannya raksasa hitam dengan Mestika Golok Naga? hayo ceritakan semuanya!"

   Tentu saja Tiong Li sudah dapat menduga bahwa raksasa hitam yang membunuhi empat tokoh partai besar dan juga membunuh ayahnya, kemudian bersama orang seperti tengkorak hidup itu membunuh suhunya, agaknya menjadi pencuri Mestika Golok Naga. akan tetapi dia tidak ingin menceritakan hal itu kepada wanita galak ini. Dia hendak merahasiakannya untuk dirinya sendiri. Dia sendiri yang akan mencari raksasa hitam itu yang telah membunuh ayah kandungnya kemudian membunuh pula suhunya.

   "Aku tidak tahu, Sianli. Raksasa hitam itu menyebut dirinya sendiri Golok Naga dan dia datang bersama orang yang mukanya seperti tengkorak hidup."

   "Mengapa dia datang membunuh gurumu dan melukaimu? Apa sebabnya?"

   "Aku juga tidak tahu. Suhu tidak pernah mempunyai musuh, akan tetapi Golok Naga itu tiba-tiba muncul bersama temannya dan mengeroyok suhu."

   "Dan hubungannya dengan Mesti Golok Naga?"

   "Aku tidak tahu."

   "Keparat! Aku sudah susah payah membuang banyak tenaga untuk menghidupkanmu kembali dan engkau tidak dapat memberi petunjuk tentang Mestika Golok Naga? Kalau begitu, apa perlunya aku mengobatimu? Lebih baik kau kubunuh saja karena engkau telah mengecewakan hatiku!"

   Wanita itu sudah mengangkat tangannya, akan tetapi tiba-tiba gadis remaja itu melangkah maju menghadang dan menyembunyikan Tiong Li di belakang tubuhnya.

   "Subo, aku tidak setuju! Pemuda itu tadi belum mati ketika Subo menolongnya. Dan diapun tidak minta ditolong. Adalah Subo sendiri yang menolongnya, kenapa sekarang Subo hendak membunuhnya? Lihat, Subo, gurunya sudah tewas dan siapa yang akan mengurus jenazah suhunya kalau kini muridnya Subo bunuh pula? Subo, kita boleh bertindak keras kepada seorang yang bersalah kepada kita, akan tetapi pemuda ini sama sekali tidak bersalah kepada Subo!"

   Anak itu kelihatan berani sekali menentang kehendak Subonya, dan sungguh aneh, ketika bertemu pandang dengan muridnya yang melindungi Tiong Li, Ban-Tok Sian-Li menurunkan lagi tangannya dan menarik napas panjang.

   "Sudahlah, membunuh anak inipun tak ada gunanya! Mari kita pergi!"

   Dan sekali berkelebat Ban-Tok Sian-Li telah lenyap dari tempat itu. Demikian cepat gerakannya seolah-olah ia pandai menghilang saja. Tiong Li memegang tangan gadis remaja itu.

   "Nona, engkau telah menyelamatkan nyawaku! Aku selama hidup tidak akan melupakanmu dan semoga kelak aku dapat membalas jasamu ini. Namaku Tan Tiong Li, nona. Dan bolehkah aku mengetahui namamu?"

   "Namaku The Siang Hwi. Sudahlah, aku harus pergi agar Subo tidak marah kepadaku!"

   Siang Hwi menarik lepas tangannya lalu ia meloncat dengan tubuh ringan dan berlari cepat, sebentar saja sudah lenyap dari situ.

   Tiong Li menghela napas panjang. Baru saja nyawanya beberapa kali terancam maut akan tetapi kalau memang Tuhan belum menghendaki dia mati, seperti wejangan gurunya, tetap saja dia tertolong. Mula-mula dia terancam maut ketika terpukul oleh Si Golok Naga, Tapi Ban-Tok Sian-Li yang menyembuhkannya. Kemudian mestinya dia mati di tangan Ban-Tok Sian-Li, akan tetapi ada The Siang Hwi yang menyelamatkannya. Dan peristiwa yang baru saja terjadi membuka matanya bahwa setelah selama sepuluh tahun dia mempelajari ilmu, ternyata masih jauh untuk dapat dipakai membela diri. Melawan Si Golok Naga dan Si Muka Tengkorak Hidup saja tidak mampu, apa lagi melawan Ban-Tok Sian-Li! Ilmu yang telah dikuasainya belum ada artinya. Tentu saja pemuda remaja itu tidak tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah datuk-datuk persilatan yang sakti.

   Kalau dia bertemu dengan tokoh-tokoh yang leblh rendah tingkatnya, maka ilmunya sudah lebih dari cukup. Dia lalu mengangkat jenazah suhunya. Terasa ringan sekali jenazah itu dan baru sekarang dia menyadari betapa ringkih dan kurus tubuh suhunya. Heran bagaimana tubuh seringkih itu memiliki kesaktian yang hebat. Akan tetapi sekarang, di mana adanya semua kesaktian itu? Lenyap bersama matinya raga! Kalau begitu, yang dinamakan ilmu kepandaian itu hanya untuk sementara saja, tidak kekal seperti adanya tubuh ini. Benar suhunya. Semua ini hanya alat! Dan sudah sepatutnya semua orang berusaha untuk menjadi alat yang baik bukan alat yang merusak! Alat yang baik akan dipergunakan Tuhan mengutarakan kekuasaannya, sebaliknya alat yang buruk hanya akan dipakai oleh setan untuk merajalela!

   "Suhu, teecu bersumpah untuk menjadi alat yang baik bagi Tuhan Yang Maha Kuasa."

   Dia teringat akan pesan terakhir suhunya sebelum meninggal. Suhunya minta agar jenazahnya dibakar bersama gubuk tempat tinggalnya. Hal ini hanya mengandung arti bahwa sepeninggal suhu nya, dia harus pula meninggalkan tempat itu, maka gubuknya disuruh bakar Dia merebahkan jenazah itu ke pembaringan suhunya. Melihat pakaian suhunya berlepotan darah, dengan hati terharu dan tangan gemetar dia lalu mengganti pakaian suhunya itu dengan pakaian yang bersih. Kemudian dia mengemasi pakaiannya sendiri, disatukan dalam buntalan, setelah sekali lagi memberi hormat sambil berlutut delapan kali di depan jenazah suhunya sambil menangis, dia berkata,

   "Selamat tinggal, suhu, selamat tinggal dan., selamat jalan...!"

   Dia sendiri menjadi bingung, harus mengucapkan selamat tinggal atau kah selamat jalan kepada gurunya.! Dia lalu mengumpulkan kayu bakar, menumpuknya di sekitar pembaringan suhunya, kemudian, dengan air mata bercucuran, mulailah dia membakar tumpukan kayu bakar itu. Setelah api berkobar besar barulah dia keluar dari rumah itu, berdiri di pekarangan memandang api berkobar membakar pondok itu dengan air mata bercucuran membasahi kedua pipinya.

   "Suhu... suhu... ahh, suhu..."

   Tiong Li mengeluh sambil menangis tersedu-sedu. Sepuluh tahun lamanya dia hidup bersama kakek itu yang menjadi pengganti ayahnya, pengganti segala galanya baginya. Menjadi gurunya, orang tuanya, sahabatnya. Dan kini, tiba-tiba saja gurunya mati dan dimakan api! Padahal, baru saja tadi gurunya masih bercakap-cakap dengan dia. Malam mulai tiba dan cuaca mulai gelap sehingga api yang membakar pondok itu membuat cuaca disekelilingnya menjadi terang benderang. Tiba-tiba saja di belakang Tiong Li terdengar orang tertawa bergelak, suara tawanya menembus keremangan malam itu bagaikan suara tawa iblis.

   "Ha-ha-ha, si hwesio tua dari Pek hong-san kok telah mendahului kita. Ha ha-ha sungguh beruntung, sungguh baik sekali nasibnya, ha-ha-ha!"

   Tiong Li terkejut dan membalikkan tubuhnya, siap untuk bertanding mati-matian. Akan tetapi yang dilihatnya bukanlah Si Golok Naga melainkan seorang kakek berpakaian jubah pendeta yang longgar. Kakek itu bertubuh pendek gendut seperti bola saja bentuknya dan dialah yang tertawa bergelak dan mengeluarkan ucapan tadi. Di sampingnya berdiri seorang kakek lain yang juga berjubah longgar akan tetapi kakek ini tinggi kurus seperti tiang. Usia mereka sekitar enampuluh tahun. Kalau kakek pendek gendut itu masih tertawa terkekeh-kekeh seperti orang kesenangan, adalah kakek tinggi kurus memandang langit di mana sudah muncul bulan sepotong dan kakek kurus itu lalu bernyanyi! Suaranya tinggi melengking sesuai dengan bentuk tubuhnya dan karena lehernya panjang, maka suaranya cukup merdu ketika dia bernyanyi.

   

   "Sungguh membuat hati kita menjadi iri melihat keberuntungan hwesio tua ini betapa senangnya meninggalkan segala kepalsuan untuk menikmati kebebasan! Habislah derita, lenyap sengsara bebas menuai hasil karma! Aiih, Hwesio tua dari Pek-hong-san kenapa pergi meninggalkan kami tanpa pesan?"

   Sehabis bernyanyi diapun ikut tertawa-tawa bersama si kakek gendut. Tiong Li menjadi marah dan hatinya dongkol sekali. Dia sedang menangis dan berkabung karena kematian suhunya, dua orang ini malah tertawa-tawa dan bersenang-senang! Akan tetapi karena nada bicara orang itu seperti orang-orang yang telah mengenal baik suhunya, dan siapa mereka tidak bermusuhan, diapun bersikap hormat dan melangkah maju menghadapi kedua orang yang masih tertawa-tawa itu sambil mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat.

   "Maaf, ji-wi Locianpwe. Siapakah ji-wi yang datang tertawa-tawa selagi saya berduka dan berkabung karena kematian suhu?"

   Si pendek gendut itu yang menjawab sambil menyeringai.

   "Kami berdua adalah sahabat-sahabat baik si hwesio tua. Pinto (aku) disebut Tee Kui Lojin (Si Tua Setan Bumi) dan saudaraku ini Thian Kui Lojin (Si Tua Setan Langit). Karena sudah lama tidak berjumpa dengan Pek Hong San-jin, malam ini kami datang berkunjung, siapa tahu dia seenaknya meninggalkan kami untuk bersenang-senang! Ha-ha-ha! Si Tua yang licik, meninggalkan kami disarang kepalsuan dan kesengsaraan ini!"

   Tiong Li mengerutkan alisnya.

   "Maaf, Locianpwe. Saya kira siapa ji-wi ini tidak sepantasnya. Saya sedang menangis, berduka dan berkabung, akan tetapi jiwi datang bersenang dan tertawa-tawa. Dan ji-wi masih mengaku sebagai sahabat-sahabat baik suhu!"

   "Ha-ha ha-ha!"

   Tee Kui Lojin tertawa geli seolah ucapan pemuda itu terdengar lucu sekali.

   "Kami memang sahabat baik dan kami amat menghormati dan sayang kepada si hwesio tua."

   "Lebih tidak masuk diakal lagi!"

   Bantah Tiong Li.

   "Kalau ji-wi menghormati dan sayang kepada suhu, mengapa tertawa melihat kematiannya?"

   "Ha-ha, anak muda. Justeru karena kami sayang kepada suhumu, maka kami bersenang-senang melihat dia meninggalkan dunia..."

   "Tidak masuk akal!"

   Bantah Tiong li.

   "Bagaimana mungkin orang dapat bersenang-senang di tinggal mati orang yang disayangnya? Saya menyayang suhu, dan ketika suhu meninggal saya merasa berduka sekali!"

   "Hemm, orang muda, engkau murid Pek Hong Sanjin? Kenapa begini bodoh!"

   Sekarang si jangkung Thian Kui Lojin berkata, mencela.

   "Kenapa pandanganmu masih sepicik itu? Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, kalau engkau memang sayang kepada suhumu, mengapa setelah dia mati engkau tangisi dia. Mengapa?"

   "Tentu seja, Locianpwe, saya kehilangan suhu yang saya sayang dan mati.

   "

   "Hemm, jadi engkau menangisi dirimu sendiri, ya? Engkau menangis karna merasa kasihan kepada dirimu sendiri yang ditinggalkan orang yang kau sayang? Berarti engkau sama sekali tidak menangisi gurumu! Dan pula, mengapa kematian ditangisi? Kita tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan suhumu, kenapa ditangisi? Yang jelas sekali, dia telah terbebas dari siksa hidup, dari penyakit, dari permusuhan, dari kepalsuan dan segala macam kemunafikan dunia... Kenapa ditangisi?"

   Tiong Li terbelalak dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Tentu saja suhunya pernah bicara tentang kematian ini, dan diapun kini manyadari b"hwa dia tadi menangis karena duka mengingat akan keadaan dirinya sendiri, sama sekali bukan menangisi gurunya.! Bagaimana dia dapat menangisi nasib gurunya kalau dia tidak tahu apa yang dialami gurunya setelah kematiannya?

   "Saya menangisi suhu, menangisi kematiannya yang amat menyedihkan. Suhu tewas karena dibunuh oleh dua orang jahat. Apakah hal itu tidak menyedihkan?"

   Bantahnya untuk memberi alasan tangisnya tadi.

   Api masih berkobar-kobar membakar pondok dan Jenazah yang berada di dalamnya. Kini Tee Kui Lojin yang bicara "Ha ha, kau berduka karena permainan pikiran dan perasaanmu sendiri. Kematian itu sudah merupakan garis yang tidak dapat diuboh oleh siapaun juga. Kalau saat kematian sudah tiba, biar engkau bersembunyi dilubang semut, maut akan tetap datang menjemput. Sebaliknya kalau saat kematian belum mestinya tiba, biar engkau diancam seribu ujung tombak, engkau akan tetap dapat mengelak. Kematian gurumu sudah garis, tidak dapat dielakkan lagi, seperti kematian yang datang pada setiap orang hidup di dunia ini. Adapun cara kematian itu yang merupakan penyebab kematian adalah buah karma. Roda karma pasti datang berputar dan pada saatnya akibat akan menyusul sebabnya. Usaha kita satu-satunya untuk menanam karma baik hanyalah dengan perbuatan baik yang tanpa pamrih."

   "Perbuatan yang baik itu yang bagaimana, lo-cianpwe?"

   Tiong Li memancing karena dia tertarik sekali. Dari mendiang suhunya diapun sudah banyak mendapatkan wejangan tentang ini, akan tetapi cara mengungkapkan kedua orang kakek aneh ini agak berbeda walaupun intinya sama, maka dia ingin sekali mendengarnya.

   "Ha-ha-ha, engkau anak yang cerdik, pantas untuk mendengar penjelasan tentang itu agar kelak tidak akan tersesat. Perbuatan baik itu adalah perbuatan yang bermanfaat dan mendatangkan kesenangan bagi orang lain. Ada perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja dan berpamrih. Perbuatan baik"

   Seperti ini buahnya sudah langsung diterima sesuai dengan pamrihnya.

   Kesenangan atau pujian yang didapatkan karena perbuatan baik itu sudah menjadi buah yang langsung dipetik dan dinikmatinya sehingga sudah lunas. Akan tetapi perbuatan baik kedua adalah perbuatan yang tidak disengaja, bahkan tidak diketahuinya bahwa itu perbuatan baik, melainkan perbuatan yang timbul dari hati yang penuh belas kasih dan karena tidak disengaja atau diketahui bahwa perbuatan itu baik maka pelakunya tidak berpamrih dan tidak mengharapkan apapun. Nah, perbuatan seperti inilah yang masuk catatan karma dan mungkin buahnya diterima kemudian, cepat atau lambat. Perbuatan-perbuatan yang timbul dari hati penuh belas kasih inilah yang memupuk karma baik. Mengertilah engkau, eh, siapa namamu, orang muda?"

   "Terima kasih atas semua penjelasan itu, Locianpwe. Nama saya adalah Tan Tiong Li dan saya telah menjadi murid suhu semenjak saya berusia lima tahun, sudah sepuluh tahun ini."

   "Bagus, engkau murid berbakat dan berbakti. Sekarang ceritakan, bagaimana Pek-hong Sanjin tewas dan oleh siapa dan kenapa?"

   Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang sakti sahabat suhunya, maka tanpa ragu lagi Tiong Ll lalu bercerita, diawali sejak dia berusia lima tahun.

   
Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ketika saya baru berusia lima tahun, saya bersama mendiang ayah saya pergi berburu binatang ke puncak Liong san. Tanpa sengaja kami berdua melihat empat orang tokoh-tokoh partai besar sedang bercakap-cakap tentang lenyapnya Mestika Golok Naga yang katanya dicuri orang dan pencurinya membunuhi para pengawal dengan menggunakan ilmu dari empat partai besar itu. Tiba-tiba muncul seorang raksasa hitam yang mengaku berjuluk Si Golok Naga, dan dia menggunakan sebatang golok membunuh empat orang tokoh besar itu."

   "Siancai..., kami sudah mendengar tentang terbunuhnya para tokoh Siauw-limpai, Hoansapai, Bu-tong-pai dan Kunlunpai di Liong-san itu. Sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa pembunuhnya. Siapa kira engkau tidak hanya mengetahui bahkan menjadi saksi!"

   Kata Thian Kui Lo-jin yang jangkung.

   "Lanjutkan ceritamu, Tiong Li. Menarik sekali ceritamu,"

   Kata Tee Kui Lojin.

   "Ayah lalu mengajak saya untuk melarikan diri. Akan tetapi Si Golok Naga agaknya mengetahui dan mengejar kami Ayah lalu menyuruh saya mendaki sebuah puncak lain dan ayah sendiri mengalihkan perhatian pengejar itu. Akhirnya ayah tersusul dan dibunuh oleh si Golok Naga, sedangkan saya ditolong oleh suhu Pek Hong San-jin, lalu diambil murid sampai hari ini..."

   "Hemm, dan suhumu mati oleh Si Golok Naga itu pula? terjadinya?"

   "Sore tadi suhu baru tiba dari perjalanannya sejak pagi dan selagi kami bicara, muncullah Si Golok Naga bersama seorang yang wajahnya sepert tengkorak hidup. Karena mereka menyatakan hendak membunuh suhu, saya lalu myerang Si Golok Naga, akan tetapi akhirnya dia merobohkan saya dengan sebuah pukulan beracun. Saya melihat suhu juga roboh dan saya memaksakan diri menghampiri suhu. Suhu meninggalkan pesan agar jenazahnya di bakar bersama pondok ini, dan suhu meninggal dalam rangkulan saya. Kemudian saya roboh pingsan."

   "Hemm, tapi kami melihat engkau sudah tidak terluka lagi, melihat gerakanmu dan suaramu,"

   Kata si jangkung Thian Kui Lo-jin.

   "Memang ada orang yang menolong saya, lo-cianpwe. Ketika saya siuman, ada seorang wanita dan seorang gadis remaja berada di sini. Wanita itu menurut keterangan si gadis remaja bernama Ban-Tok Sian-Li..."

   "Siancai...! Dewi Selaksa Racun itu datang kepadamu dan mengobatimu dari pukulan beracun? Sungguh luar biasa sekali! Biasanya ia tidak perdulian orang lain."

   "Memang ia menolong saya ada pamrihnya, lo-cianpwe. Mungkin dalam keadaan setengah sadar saya telah menyebut Si Golok Naga dan dia tertarik, setelah mengobati saya lalu ia bertanya tentang Mestika Golok Naga. Ketika saya menjawab bahwa saya tidak tahu dan bahwa yang membunuh suhu hanyalah orang berjuluk Si Golok Naga dan Tengkorak Hidup, dan saya tidak tahu di mana adanya Mestika Golok Naga, ia menjadi marah dan hendak membunuh saya. Akan tetapi nyawa saya masih dilindungi Tuhan. Muridnya, seorang gadis remaja telah mencegah gurunya membunuh saya dan selamatlah saya."

   "Hemm, tanpa kau sadari, engkau telah terlibat dalam urusan yang akan membahayakan hidupmu selanjutnya, Tiong Li. Engkau melihat raksasa hitam itu membunuhi tokoh empat partai besar, berarti engkau seorang yang menjadi saksi mata atas perbuatannya itu karena ayahmu, saksi kedua telah tewas. Si raksasa hitam itu tentu tidak akan pernah merasa lega dan puas kalau belum dapat membunuhmu. Untung engkau bertemu dan menjadi murid sahabat kami Pek Hong San-jin, kalau tidak tentu sudah dari dulu engkau terancam bahaya maut,"

   Kata Thian Kui Lo-jin.

   "Locianpwe, sebenarnya siapakah raksasa hitam itu? Dan siapa pula si muka tengkorak yang telah membunuh suhu itu?"

   "Kami tidak tahu. Akan tetapi melihat kelihaian dan keanehannya, agaknya dia dan si muka tengkorak itu bukan tokoh di dunia kang-ouw yang kita kenal. Mungkin dia datang dari daerah lain dan sangat boleh jadi dia datang dari negara Cin, merupakan tokoh dari utara atau barat yang memang banyak terdapat orang orang lihai yang aneh. Akan tetapi sudahlah, kami tidak tertarik kepada mereka, melainkan tertarik kepadamu. Karena engkau murid mendiang sahabat kami, maka kami tidak boleh tinggal diam melihat engkau terancam bahaya maut."

   "Ha-ha-ha, jalan satu-satunya adalah bahwa engkau harus ikut bersama kami, menjadi murid kami, Tiong Li. Dengan demikian berarti kita tidak menyia-nyiakan semua jerih payah hwe-shio tua itu. Bagaimana, maukah engkau menjadi murid kami dan ikut bersama kami?"

   Tanya Tee Kui Lo-jin sambil tertawa-tawa. Mendengar pertanyaan itu, seketika Tiong Li menjatuhkan diri berlutut di depan mereka. Mereka adalah para sahabat gurunya, dan dia merasa bahwa ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat dipakai melawan orang-orang pandai maka dengan rela dan senang hati dia lalu memberi hormat dan berkata,

   "Teecu menghaturkan terima kasih kalau ji-wi suhu (guru berdua) suka mengambil teecu sebagai murid. Teecu akan menaati semua perintah dan petunjuk ji-wi suhu."

   Dua orang aneh itu tertawa senang. Mereka tidak mempunyai murid dan tidak mempunyai keinginan untuk mengambil murid. Akan tetapi ketika bertemu dengan Tiong Li, melihat kebaktian Tiong Li terhadap gurunya, lalu melihat betapa Tiong Li terlibat dalam urusan besar dan anak itupun berbakat baik sekali, hati mereka tertarik dan mereka sepakat untuk menggembleng pemuda itu sebagai murid mereka. Demikianlah, setelah api yang mem bakar pondok itu padam dan abunya beterbangan dibawa angin gunung, dua orang pertapa itu mengajak Tiong Li meninggalkan tempat itu.

   "Biarlah abu jenazah Pek Hong San Jin diterbangkan angin bertebaran di seluruh permukaan bukit dan menjadi pupuk yang baik bagi tanaman di sini,"

   Kata Tee Kui Lo-jin sambil tertawa.

   "Ini sudah sesuai dengan kehendaknya."

   Dua orang pertapa itu bertempat tinggal di Lembah Sungai Wu-kiang, di pegunungan Kui-san dan mengambil sebuah puncaknya sebagai tempat pertapaan, yaitu di puncak Ki-lin-san (Puncak Bukit Kilin). Disebut demikian karena puncak ini dari jauh seperti bentuk seekor ki-lin (hewan keramat setengah singa setengah harimau). Seperti halnya ketika belajar kepada Pek Hong San-jin dahulu, sekali ini Tiong Li juga. belajar dengan tekun, hampir tidak pernah meninggalkan puncak sehingga dia tidak pernah tahu atau mendengar akan keadaan di dunia luar. Sementara itu, di luar tempat pertapaan itu, terjadi banyak hal yang hebat. Melihat gerakan pasukan Cin (Kin) yang selalu melanggar perbatasan, kau m pendekar di dunia kang-ouw merasa penasaran sekali.

   Mereka tidak setuju dengan sikap Kaisar Kao Cung yang lemah dan yang lebih suka mengalah terhadap Kerajaan Kin, tanpa malu-malu mengajak Bangsa Yu-cen itu berdamai dan bahkan membayar upeti. Di propinsi Ho pei dan Shan-si, di mana-mana para pendekar patriot membentuk pasukan-pasukan rakyat sendiri untuk melawan pasukan Kin yang selalu melanggar perbatasan dan melakukan perampokan dan pembunuhan pada penduduk dusun di sekitar perbasatan. Laskar laskar rakyat ini membuat sarang mereka di bukit bukit dan hutan-hutan di sepanjang Sungai Yang-ce. Pernah sebuah laskar rakyat yang menamakan dirinya Laskar Pita Merah menyerbu sebuah perkemahan pasukan Kin (Cin) dan membasmi seluruh penghuninya! Semangat mereka berkobar-kobar, sungguh berbeda dengan sikap Kaisar Sung Kao Cung yang dianggap merendahkan martabat Kerajaan.

   Yang bertugas mempertahankan Kota Raja Kai-feng yang telah jatuh ketangan musuh adalah Panglima Cung Ce. Kini dialah yang memimpin pasukan Kerajan Sung yang bertugas di garis depan. Pada suatu ketika, Panglima Cung Ce menyeberangi Sungai Yang-ce dan mengadakan perundingan dengan para patriot yang berjuang di seberang utara untuk merebut kembali daerah yang telah dikuasai musuh. Dia memerintahkan tujuhribu orang pasukan, dipimpin oleh pendekar Wang Yen, menerjang kepungan puluhan ribu orang pasukan Kin dan berhasil mencapai dan menguasai Pegunungan Tai-hang-san. Mereka menghimpun lebih dari seratus ribu orang di Pegunungan Tai-hang-san ini dan berulang kali mengalahkan pasukan Kin dan memperkuat pasukan sendiri. Berulang kali Panglima Cung Ce mengusulkan untuk menyerbu terus ke utara, namun Kaisar selalu menolak.

   Bahkan sebaliknya, Kaisar yang dikuasai oleh Perdana Menteri Jin Kui, merasa khawatir kalau-kalau Cung Ce yang bekerja sama dengan para pendekar patriot akan terlalu besar kekuasaannya dan mengancam kedudukan kaisar sendiri. Maka, selain menolak usul Panglima Cung Ce, kaisarpun memerintahkan orang orangnya untuk mengawasi gerak-gerik panglima itu dengan penuh kecurigaan. Melihat keadaan itu, Panglima Cung Ce menjadi penasaran, marah dan kecewa bukan main. Sakit sekali hatinya. Dia yang setia dan membela negara untuk mengusir penjajah, untuk merebut kembali Kerajaan Sung di utara yang di kuasai musuh, selain dilarang menyerang ke utara, juga malah diawasi dan dicurigai. Sakit hati ini membuat panglima yang sudah berusia tujuhpuluh tahun itu jatuh sakit berat. Namun, semangatnya tidak pernah pudar.

   Menjelang kematiannya dia mengundang para pendekar patriot dan membujuk mereka agar melanjutkan perjuangan membasmi musuh Dia meninggal dunia dengan hati mengandung penasaran sehingga matanyapun tidak dapat terpejam.! Pada waktu itu terdapat seorang panglima lain yang gagah perkasa dan setia kepada negara, yaitu Gak Hui. Bersama seluruh putera-puterinya, panglima ini merupakan pejuang yang gigih dan sudah berulang kali memukul mundur pasukan Kin. Panglima Gak Hui berasal dari kota Tang-yin di propinsi Honan, dari keluarga petani biasa. Akan tetapi ibunya adalah seorang wanita yang bijaksana dan berjiwa patriot sejati. Pernah ibu Gak Hui menuliskan kata-kata di punggung Gak Hui yang memerintahkan puteranya itu untuk berbakti kepada negara dan setia kepada Kaisar sampai mati.!

   Panglima Gak Hui amat mencintai tanah airnya dan setelah bangsa Yu-cen menguasai Kerajaan Sung utara, dia amat membenci musuh ini. Dia menghimpun pasukan yang sebagian besar terdiri dari pemuda-pemuda petani yang amat patuh kepadanya. Dalam keadaan bagaimana pun, baik selagi kelaparan maupun kedinginan, tak seorangpun tentara berani mengganggu rakyat. Karena itu rakyat amat menyayang dan menghormati pasukan yang dipimpin Panglima Gak Hui dan di mana mana pasukan ini diterima dengan senang dan bangga oleh rakyat jelata. Setelah beberapa kali memukul mundur pasukan Kin, Gak Hui membawa pasukannya maju terus ke utara dan bergabung dengan laskar rakyat di Tai-hang-san dan dengan para pasukan di Ho-pei. Dalam tahun 1140, panglima besar Kerajaan Kin yang bernama Wu-cu memimpin pasukannya ke selatan.

   Akan tetapi di Shun-cang, propinsi An-hwi, pasukannya dihancurkan oleh pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal Lui Chi. Juga jenderal Wu Lin menghantam pasukan Kin di Tu-feng propinsi Shen-si. Adapun Panglima Gak Hui sendiri menyerang dari Siang-yang propinsi Hu-peh. Panglima Gak Hui mengirim para patriot menyeberangi Sungai Kuning. Mereka berhasil memorak-porandakan pertahanan musuh. Gak Hui mengejar sampai ke Yen-ceng propinsi Ho-nan. Selurun kekuatan para pejuang di utara bergabung dengan Gak Hui. Rakyat mendukung, menyumbangkan ransum dan pasukannya menjadi senakin besar karena banyak sukarelawan memasuki pasukan itu dan berjuang dengan semangat yang tinggi. Pada saat yang amat menguntungkan bagi perjuangan itu, setelah Panglima Gak Hui berhasil, tiba-tiba saja Kaisar Sung Kao Cung memerintahkan pasukan Gak Hui untuk mundur!

   Kaisar Sung Kao Cung amat dipengaruhi oleh Jin Kui itu bukan saja takut kalau perhubungannya dengan Kin memburuk, juga Perdana Menteri Jin Kui memperingatkan kaisar bahwa kekuasaan Gak Hui semakin besar dengan dukungan rakyat jelata. Semua ini dapat mendorong Gak Hui untuk memberontak dan membahayakan kedudukan Kaisar. Kaisar sama sekali tidak tahu bahwa nasihat Jin Kui untuk berdamai dengan pihak Kin itu sebetulnya didasari oleh persekutuan yang dijalin Perdana henteri Jin Kui dengan pihak musuh! Jin Kui bersekongkol bahkan diperalat oleh Kerajaan Cin (Kin) sehingga apapun yang diperintahkan pihak Kin, selalu ditaati oleh Jin Kui. Dalam tahun 1411, Panglima Kin Wu Cu menulis sepucuk surat rahasia kepada sekutunya, yaitu Jin Kui dan berkata,

   "Engkau menghendaki perdamaian, akan tetapi Gak Hui menyerang Hupei. Kalau engkau tidak segera membunuh Gak Hui, perdamaian tidak akan pernah ada!"

   Demikianlah, Jin Kui membujuk Kaisar yang segera menulis surat perintah kepada Gak Hui untuk menarik mundur pasukannya sampai di perbatasan, dan memerintahkan Gak Hui untuk pulang ke Kota Raja. Surat panggilan untuk Gak Hui ini ditandatangi oleh kaisar sendiri. Pada waktu itu, semua orang sudah tahu bahwa Kaisar dipermainkan dan dipengaruhi oleh Jin Kui dan banyak panglima, bahkan putera-puteri Gak Hui sendiri menasihatkan agar Gak Hui tidak memenuhi panggilan itu karena dikhawatirkan merupakan perangkap yang diatur oleh Perdana Menteri Jin Kui. Namun, Panglima Gak Hui adalah seorang yang amat setia kepada kerajaan, kepada negara karenanya juga setia dan patuh kepada kaisar. Dia mengabaikan semua nasihat itu dan berkeras untuk memenuhi panggilan kaisar!

   Tidak percuma mendiang ibunya dahulu menuliskan kata-kata di punggungnya agar dia setia sampai mati kepada kaisar. Dengan gagahnya Gak Hui melakukan perjalanan pulang ke Kota Raja. Dan benar saja seperti yang dikhawatirkan semua sahabat dan putera-puteri Gak Hui, setibanya di Kota Raja Gak Hui lalu ditangkap di dipenjarakan dengan tuduhan melanggar perintah dan telah lancang menyerang ke utara mengabaikan larangan kaisar! Semua ini tentu saja telah diatur oleh Perdana Menteri Jin Kui. Melihat ini. para putera dan sahabat Panglima Gak Hui berusaha untuk membebaskan Gak Hui. Mereka mengamuk menyerbu penjara, bahkan sudah berhasil mendobrak runtuh pintu kamar tahanan Panglima Gak Hui, mengajaknya minggat dari situ. Akan tetapi bagaimana sikap Gak Hui? Dia marah sekali kepada para pengikut dan para puteranya,

   "Aku bersumpah untuk setia kepada kerajaan, setia sampai mati dan kalian malah memberontak dan mencoba untuk membebaskan aku? Aku tidak akan melarikan diri!"

   Demikian katanya. Para perwira bawahannya, para sahabat dan puteranya membujuk berulang-ulang.

   "Ayah,"

   Kata puteranya yang bernama Gak Liu.

   "Kalau ayah tidak mau pergi, itu berarti ayah mencari kematian sendiri. Jin Kui tentu tidak akan puas sebelum melihat ayah tewas!"

   "Anak tidak berbakti. Engkau berani menganjurkan ayahmu menjadi pemberontak? Bukan Jin Kui yang dapat mengusai aku, akan tetapi Yang Mulia Sri Baginda Kaisar yang memerintahkan semua ini! Bagaimana aku dapat membangkang terhadap perintah Kaisar? Ketahuilah, kalian semua. Aku bersedia mati untuk Kerajaan dan kalau Kaisar menghendaki aku mati, maka matilah aku.! Nah, kalian pergilah sebelum aku membantu kerajaan untuk menangkap kalian semua!."

   Dengan hati yang hancur semua pendekar itu meninggalkan penjara yang sudah mereka serbu. Mereka harus mengambil jalan darah untuk dapat keluar dari tempat itu dengan selamat, karena pasukan telah mengepung mereka. Ada berapa orang pendekar yang roboh dan tewas. Akan tetapi Gak Liu berhasil meloloskan diri dengan hati sedih sekali melihat ayahnya tidak mau ditolong. Dan dengan tipu muslihatnya yang licik, Jin Kui berhasil membuat surat perintah palsu dari kaisar yang menjatuhkan hukuman mati kepada Gak Hui, dalam perintah palsu kaisar mengirim mangkok arak beracun untuk Gak Hui Tanpa ragu sedikitpun Gak Hui menerima sambil berlutut dan minum arak beracun itu sampai habis sambil berdiri tegak dan diapun mati dalam keadaan masih berdiri.! Setelah Gak Hui tewas, maka perlawanan Kerajaan Sung dengan pasukannya terhenti.

   Kaisar mengadakan perdamaian yang amat menghina dan merendahkan martabat Sung dengan Kerajaan Kin. Tapal batas yang baru dibuat dan daerah luas antara sebelah utara Sungai Huai dan Tasan-kuan di Shen-si jatuh ke tangan Kerajaan Kin! Selain ini, juga Kerajaan Sung harus membayar upeti duaratus lima puluh ribu tail perak dan dua ratus lima puluh ribu gulung sutera halus setiap tahun! Biarpun Kerajaan Sung sudah berdamai dan mengalah, akan tetapi para pendekar patriot masih terus melakukan perlawanan. Untuk ini Kerajaan Kin membentuk pasukan-pasukan khusus untuk membasminya. Keadaan di sepanjang perbatasan menjadi ajang pertempuran gerilya. Demikianlah keadaan Kerajaan Sung yang sama sekali tidak diketahui oleh Tiong Li yang sedang tekun belajar ilmu dari kedua orang gurunya.

   Kerajaan Kin juga mendesak Kerajaan Sung melalui sekutunya, yaitu Perdana Henteri Jin Kui untuk membasmi para pendekar patriot yang membentuk laskar laskar rakyat mengganggu Kerajaan Kin di sepanjang perbatasan. Kaisar Sung Kao Cung memberi kekuasaan kepada Menteri Jin Kui untuk memimpin pembasmian para "Pemberontak"

   Itu. Dalam keadaan seperti itu, rakyat selalu gelisah. Di satu pihak mereka itu diam-diam membantu para pejuang dan di lain pihak mereka takut akan gerakan pembersihan pasukan pemerintah, juga kadang-kadang ada pasukan Kin yang rnelakukan pengejaran jauh ke dalam Kerajaan Sung Selatan melanggar perbatasan. Rakyat dicekam ketakutan dengan adanya perang gerilya yang dapat saja sewaktu-waktu terjadi di mana.

   Bahkan di Kota Raja sendiri rakyat merasa gelisah karena Perdana Menteri Jin Kui tidak segan-segan melakukan pembersihan di Kota Raja menangkapi orang-orang yang dicurigai. Dalam keadaan seperti itu, maka fitnah merajalela. Setiap orang dapat saja lakukan fitnah terhadap orang lain yang menjadi musuhnya, atau yang dibencinya. Sekali saja melapor bahwa seseorang dicurigai menjadi mata-mata pejuang, maka orang itu akan ditangkap dan disiksa untuk mengaku, kadang disiksa sampai mati! Maka terjadilah kepanikan di antara rakyat dan kesempatan ini banyak dipergunakan oleh para perwira untuk menggertak rakyat untuk memancing keluarnya uang sogokan yang besar. Mereka mendatangi seorang yang beruang, mengancam dan baru pergi setelah menerima sogokan, pada hal hartawan Itu sama sekali tidak terlibat perjuangan.

   Terlibat atau tidak, kalau sudah ditangkap kecil harapannya akan dapat pulang dalam keadaan hidup atau tidak cacat. Malam yang gelap dan sunyi. Hawa udara dingin sekali dan sore-sore rakyat di Kota Raja sudah tidak nampak di luar. Cuaca seperti itu lebih baik dihindari dengan masuk ke dalam rumah mendekati perapian. Apa lagi kalau berkeliaran di luar dan bertemu peronda pasukan keamanan, dapat saja terjadi hal yang bukan-bukan, dan merugikan mereka lahir batin. Tiba-tiba di tengah malam yang sunyi dan gelap itu nampak sesosok bayangan berkelebat. Cepat sekali gerakan bayangan itu dan dia sudah melompati pagar tembok yang mengelilingi rumah gedung besar milik Perdana Menteri Jin Kui.! Akan tetapi baru saja dia memasuki pekarangan, mendadak lima orang pasukan pengawal sudah mengepungnya dan mereka menyalakan obor.

   "Berhenti! Siapa engkau berani memasuki pekarangan ini tanpa ijin?"

   Bentak seorang pengawal.

   "Hemm, aku yang masuk. Cepat bawa aku menghadap Perdana Menteri!"

   Kata orang yang bertubuh tinggi besar itu. Para perajurit pengawal itu mendekatkan obor untuk melihat siapa orang yang datang itu. Obor menerangi wajah yang menyeramkan dan berkulit hitam. Dan mereka semua mengenalnya dengan baik karena orang ini seringkali datang berkunjung dan menjadi kenalan baik Perdana Menteri.

   "Ah, kiranya Hak-Sicu yang datang. Kenapa mengejutkan orang dengan melompati pagar tembok dan tidak langsung saja ke gardu penjagaan di luar gerbang?"

   "Lebih baik begini jadi tidak akan ada yang melihatku!"

   Jawab orang itu. Dia itu bernama Hak Bu Cu dan bagi yang pernah bertemu dengannya segera akan mengenalnya sebagai orang yang mengaku berjuluk Si Golok Naga.! Hak Bu Cu ini sebenarnya adalah seorang jagoan dari Kerajaan Kin dan dialah yang diutus oleh Kerajaan Kin untuk menjadi penghubung dengan Perdana Menteri Jin Kui. Dia dan Perdana Menteri Jin Kui yang mengatur pencurian Mestika Golok Naga itu, dengak maksud agar dunia kang-ouw saling menuduh sendiri dan karena keadaan para pendekar patriot menjadi lemah. Hak Bu Cu inilah yang rnelakukan pencurian itu, dan dia pula yang membunuhi para tokoh empat partai besar. Golok itu oleh Hak Bu Cu diserahkan kepada atasannya, yaitu Panglima Wu Chu dari Kerajaan Kin.

   Dan dia sendiri membawa golok tiruan, golok yang sama besar dengan Mestika Golok Naga untuk mengelabui mereka yang hendak mencari dan merampas kembali Mestika Golok Naga. Hak Bu Cu ini adalah seorang yang lihai bukan main, mengerti banyak macam ilmu silat dan dia menjadi tangan kanan Panglima Wu Chu. Para pengawal segera mengantarkan Hak Bu Cu masuk dan mereka melapor kepada Perdana Menteri Jin Kui yang belum tidur, masih bersenang-senang di dalam taman dihibur para selir dan dayangnya dengan tari-tarian. Mendengar laporan pengawal bahwa Hak Bu Cu datang mohon menghadap Perdana Menteri Ji Kui segera memerintahkan semua selir dan dayang untuk mundur, kemudian dia menyuruh pengawal minta kepada tamu itu untuk masuk saja ke taman, di mana terdapat sebuah bangunan mungil terbuka yang tadi dipergunakan untuk menonton tari-tarian.

   Setelah bertemu, Hak Bu Cu memberi hormat kepada Perdana Menteri Jin Kui yang langsung menegur.

   "Ah, Hak-Sicu, angin apakah yang membawamu malam-malam begini datang berkunjung? Mari, duduklah di sini, Hak-Sicu."

   Hak Bu Cu, si raksasa hitam itu, setelah memberi hormat lalu duduk di depan Jin Kui, terhalang meja yang penuh dengan makanan dan minuman. Jin Kui menuangkan arak dalam cawan kosong lalu memberikannya kepada tamunya.

   "Terima kasih, Taijin. Saya datang diutus. oleh WuCiangkun untuk menemui Taijin. Pertama-tama WuCiangkun menyampaikan hormatnya dan kedua kali dia menyuruh saya untuk membicarakan urusan penting dengan Taijin,"

   Hak Bu Cu lalu minum araknya.

   "Hemm, urusan penting apakah, si-cu? Coba cepat ceritakan kepadaku."

   "Begini, Taijin. Akhir-akhir ini Wu-Ciangkun dibikin pusing dengan munculnya sepasukan pejuang yang sungguh mengganggu kami dengan sepak terjang mereka di perbatasan. Pasukan ini sungguh. Tangguh dan dipimpin oleh seorang laki-laki perkasa yang kabarnya adalah putera mendiang Panglima Gak Hui yang bernama Gak Liu."

   "Hemm, Gak Liu itu memang putera mendiang Gak Hui yang paling berani dan berkepandaian tinggi. Dahulupun ketika ayahnya dipenjara, dia bersama teman-temannya sudah berani penyerbu penjara dan hampir saja dapat membebaskan ayahnya. Hanya Panglima Gak Hui yang tidak mau dibebaskan. Jadi sekarang dia memimpin pemberontak untuk mengacau di perbatasan? Sungguh kurang ajar!"

   Perdana Menteri itu berkata. Pada saat itu, muncul seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, berwajah tampan dan berpakaian mewah. Dia ini adalah Jin Kiat, putera Perdana Menteri Jin Kui, seorang pemuda yang sombong, akan tetapi telah mempelajari ilmu silat yang cukup tinggi di samping ilmu sastra.

   "Aha, kiranya Paman Hak yang datang!"

   Serunya sambil memberi hormat dan dibalas oleh raksasa hitam itu "Pantas di sini sepi-sepi saja tidak terdengar suara musik, kiranya ayah sedang menjamu seorang tamu terhormat."

   "Jin Kiat, duduklah, kami sedang membicarakan urusan penting sekali. Hak Sicu ini disuruh oleh WuCiangkun menyampaikan berita penting tentang para pemberontak.

   "

   "Ada apa lagikah, ayah?"

   "Ada sepasukan pejuang yang amat mengganggu di perbatasan, dan pasukan itu dipimpin oleh Gak Liu, puteri mendiang Panglima Gak Hui."

   "Hemm, dia itukah? Yang dahulu menyerbu penjara?"

   Jin Kiat lalu ikut duduk menghadapi meja mendengarkan percakapan itu.

   "Lalu apa yang dikehendaki oleh Wu-Ciangkun?"

   Tanya Jin Kui.

   "Wu-Ciangkun minta bantuan Taijin untuk dapat menangkap Gak Liu dan menghukumnya, Taijin,"

   Kata si raksasa hitam.

   "Hemm, kalau begitu aku akan melapor kepada kaisar, akan kukatakan bahwa Gak Liu memberontak dan memimpin pasukan pemberontak. Setelah itu, maka dia akan menjadi buronan, dan kita tangkapi seluruh keluarganya, baik keluarga dekat maupun jauh, maka pernbersihan itu tentu akan memancing munculnya Gak Liu."

   "Aku akan memimpin pembersihan itu, ayah! KeluargaGak semua sudah menyingkir entah ke mana sejak matinya Gak Hui, dan kurasa di Kota Raja sudah tidak terdapat seorangpun yang she Gak Bahkan orang-orang Gak sudah ketakutan sendiri dan minggat. Akan tetapi kalau diusut, tentu masih ada keluarga jauh dari pihak ibunya yang bukan she Gak Aku akan menyelidiki, ayah."

   

Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini