Mestika Golok Naga 3
Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
"Bagus, kalau engkau sendiri yang memimpinpembersihan, tentu akan berhasil. Akan tetapi aku akan minta bantuanmu, Hak-Sicu, untuk membantu Jin Kiat karena siapa tahu, di antara keluarga mendiang Gak Hui itu akan terdapat orang-orang pandai yang tentu akan menyusahkan puteraku."
"Tentu saja saya selalu siap untuk membantu, Taijin."
"Bagus, kalau begitu tinggallah di sini sampai aku melapor kepada Kaisar. Karena setelah melapor tentu aku dapat minta surat kuasa untuk melakukan penangkapan kepada seluruh keluarga Gak yang beradadi sini. Setelah ada yang tertangkap, kita dapat memaksa keterangan darinya di mana kita dapat menemukan Gak Liu si pemberontak itu."
Demikianlah, dengan gembira mereka lalu melanjutkan makan minum sampai jauh malam dan Hak Bu Cu tinggal di rumah besar itu sebagai seorang tamu yang dihormati. Jin Kiat tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk minta petunjuk tentang ilmu silat kepada tamunya, dan sambil menanti ayahnya membuat laporan, diapun mempelajari beberapa jurus ilmu silat dari si raksasa hitam yang lihai. Pada keesokan harinya, dalam persidangan, Perdana Menteri Jin Kui melaporkan kepada Kaisar.
"Yang Mulia, hamba mendengar berita yang tidak enak sekali bahwa terdapat pasukan pemberontak yang membikin kacau di perbatasan, memancing-mancing pertempuran dengan pasukan Kin. Perbuatannya ini berbahaya sekali karena setiap saat mereka dapat membalik dan berbalik menyerang pasukan kita sendiri. Dan yang memimpih pasukan itu adalah putera si pemberontak Gak Hui yang bernama Gak Liu."
Tentu saja Kaisar marah sekali! mendengar laporan ini.
"Apa Putera pemberontak itu berani membikin kacau? tangkap dia!"
Bentaknya.
"Hamba akan melaksanakan perintah itu, Yang Mulia. Mohon Yang Mulia mengeluarkan surat perintah penangkapan bukan hanya untuk Gak Liu, melainkan untuk seluruh keluarga pemberontak itu agar hamba dapat membasminya sampai bersih!"
Kaisar lalu membuat surat perintah itu dan dengan bekal surat perintah ini, dengan girang Jin Kui lalu pulang ke rumah gedungnya.
"Nah, dengan bekal surat perintah, engkau dapat melakukan penangkapan kepada siapapun tanpa khawatir lagi, Jin Kiat,"
Kata ayah ini dengan bangga. Sementara itu, Jin Kiat tidak tinggal diam dan dia sudah mengutus orangnya menyelidiki siapa yang masih terhitung sanak keluarga Gak. Dia mendengar bahwa ada seorang hartawan di Kota Raja bernama An Kiong. An Kiong ini kabarnya masih sanak keluarga Gak, dan masih terhitung paman dari Gak Liu dari pihak ibunya. Dan masih saudara misan ibunya.
"Ha-ha, aku tahu siapa yang harus kutangkap terlebih dahulu, ayah. Dia bernama An Kiong dan menjadi seorang hartawan yang terkenal di Kota Raja. Mari, Paman Hak, kita siapkan pasukan untuk mulai melakukan penangkapan."
Pemuda itu sambil membawa surat perintah lalu mengajak tamunya untuk mempersiapkan selosin perajurit pilihan yang diambil dari pasukan keamanan. Dengan adanya Hak Bu Cu disampingnya, selosin orang perajuritpun sudah lebih dari cukup.
Perajurit itu hanya untuk menambah keangkeran saja, karena kalau Hak Bu Cu membantunya, tanpa perajuritpun dia berani rnelakukan penangkapan terhadap siapapun juga. Setelah pasukan itu siap, berangkatlah Jin Kiat dalam pakaian panglima yang mewah, disertai Hak Bu Cu, dengan gagahnya keluar dari gedung ayahnya menuju ke rumah sang korban. Sejak pagi sekali, banyak orang berdiri antri di depan rumah An-wangwi (hartawan An). Hampir setiap hari hartawan An ini membagi-bagi beras dan kadang juga uang kepada fakir miskin. Pada waktu itu, akibat terjadinya perang, banyak terdapat orang-orang miskin yang hidupnya terlantar. Karena itulah, setiap kali hartawan An membagi bagi beras atau gandum, banyak yang antri minta bagian. Baik yang berpakaian seperti pengemis atau penduduk biasa, banyak yang antri.
Hartawan An Kiong memang terkenal sekali di Kota Raja sebagai seorang yang dermawan. Tangannya terlepas dan terbuka menolong siapa saja yang membutuhkan bantuan. Pada pagi hari itu, selagi orang ramai antri dan menerima pembagian beras, lima kati setiap orang, tiba-tiba terjadi keributan. Seorang pengantri yang bertubuh tinggi besar, mendesak ke depan minta didahulukan. Pada hal, dia datang belakangan. Orang itu masih muda, berusia kurang lebih tigapuluh tahun dan sikapnya kasar sekali. Dia mendorong begitu saja orang-orang yang antri di depan, tidak perduli yang didorongnya itu wanita, kakek-kakek atau kanak-kanak dan dia menuntut kepada petugas yang membagi beras untuk mengisi kantungnya dengan beras. Si petugas melihat orang itu dan mengenalnya sebagai orang yang pagi tadi sudah mendapatkan jatahnya,
"Eh, bukankah engkau tadi sudah mendapatkan lima kati?"
"Itu kan tadi. Akan tetapi aku sudah antri lagi dan setiap pengantri harus mendapatkan lima kati,"
Katanya kukuh.
"Hem aturan siapa itu?"
"Aturanku!"
Kata laki-laki itu sambil melotot marah "Cepat berikan bagianku, ataukah aku harus ambil sendiri?"
"Heii, engkau ini minta atau merampok?"
Bentak petugas yang membagi beras.
"Kalau merampok, engkau mau apa?"
Balas si laki-laki tinggi besar itu Terjadilah perkelahian, akan tetapi lima petugas itu bukan lawan si laki-laki tinggi besar yang memukul dan menendang mereka sampai jatuh bangun. Mendadak di tempat itu muncul seorang Wanita cantik bersama seorang gadis manis lain yang lebih muda.
Gadis itu berusia kurang lebih sembilanbelas tahun, wajahnya manis sekali dan dia memandang kepada laki-laki itu denga alis berkerut. Gadis ini bukan lain adalah Siang Hwi, murid Ban-Tok Sian-Li yang juga hadir di situ. Guru dan murid ini berada di Kota Raja, baru tadi mereka datang dan mereka tertaril sekali melihat kerumunan banyak orang itu maka mereka mendekat dan melihat bahwa kerumunan orang itu adalah orang orang yang menerima bagian beras dari seorang hartawan yang dermawan. Mereka merasa kagum sekali kepada hartawan itu. Pada masa itu, jaranglah terdapat hartawan yang demikian dermawan, yang membagi-bagi beras kepada fakir miskin dan siapa saja yang membutuhkannya. An Kiong yang diberitahu cepat ke luar. Dia dengan wajah ramah lalu memberi hormat kepada laki-laki tinggi besar yang baru saja menghajar orang-orangnya itu.
"Sobat, harap jangan marah. Kalau engkau menghendaki beras, marilah kuambilkan."
"Bagus, begitu baru baik. Nah, isilah kantung ini sampai penuh!"
Katanya. An Kiong mengerutkan alisnya.
"Sobat, biasanya untuk setiap orang diberi lima kati. Yang minta banyak, kami khawatir kalau sampai persediannya kurang."
"Tidak perduli. Orang-orangmu bersikap kasar kepadaku. Harus dipenuhi kantung ini atau aku akan mengambil sendiri!"
"Perampok busuk!!"
Laki-laki itu menengok untuk melihat siapa yang berani memaki dia perampok busuk. Dan dia tercengang melihat bahwa yang memakinya adalah seorang gadis berusia belasan tahun yang amat cantik manis. Dia lalu melangkah maju menghampiri.
"Apa kau bilang, nona?"
"Aku bilang engkau perampok busuk, orang tidak tahu malu yang paling rendah budi di dunia ini!"
Gadis itu kembali memaki, sekali ini lebih ketus lagi.
"Hei, jaga mulutmu!"
Bentak laki- laki itu.
"Engkau sudah memaki aku, hayo cepat beri ciuman atau kalau engkau tidak mau, mulutmu akan kurobek sebagai hukuman!"
Laki-laki itu menghampiri semakin dekat dan hendak merangkul.
(Lanjut ke Jilid 03)
Mestika Golok Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo
Jilid 03
"Plak-plak...!!"
Dua kali tangan gadis itu menampar dan laki-laki itu jatuh terjengkang lalu mengaduh-aduh sambil memegangi kedua pipinya yang menjadi bengkak dan giginya rontok sehingga mulutnya berdarah. Akan tetapi dasar orang tidak tahu diri. Dalam rasa sakitnya, dia malah marah dan segera bangkit berdiri lalu menyerang gadis itu dengan pukulan kedua tangannya! Karena dia memang tinggi besar dan kuat pukulannya itu gencar datangnya dan kuat sehingga membuat yang menontonnya menjadi khawati"
Akan keselamatan gadis itu. Akan tetapi mereka kecelik karena tidak sekalipun pukulan itu mengenai tubuh si gadis, bahkan sebaliknya, begitu gadis itu menggerakkan kakinya menendang, untuk kedua kalinya laki-laki itu terjengkang.
Akan tetapi sekali ini, dia bangkit dengan perut mulas, dia memegangi perutnya dan lari dari situ tanpa menoleh lagi entah ketakutan entah untuk mencari tempat mengeluarkan isi perutnya yang terguncang! Melihat ini, semua orang bertepuk tangan dengan girang dan memuji. Pada masa itu, memang banyak sekali orang yang memaksakan kehendaknya, baik dengan bantuan kedudukannya, kekuasaannya, hartanya, maupun kekuatannya. Dan rakyat yang sudah ketakutan itu biasanya tidak ada yang berani melawan. Maka, kini melihat orang yang bertindak sewenang-wenang mendapatkan hajaran, tentu saja mereka menjadi girang dan puas. An Kiong mengenal orang pandai Dia lalu memberi hormat kepada gadis itu dengan ramah.
"Nona, engkau telah menolongku dan mengusir orang yang bertindak sewenang-wenang tadi. Kami mohon sudilah nona singgah di rumah kami untuk berkenalan dan untuk memberi kesempatan kepada kami mengucapkan terima kasih kami."
Sikap hartawan itu amat hormatnya dan kata-katanya pun teratur ramah dan rapi. Mendengar ini, The Siang Hwi lalu menengok kepada gurunya.
"Subo, bagaimana kalau kita singgah sebentar?"
Mendengar gadis itu menyebut Subo kepada wanita cantik jelita yang sejak tadi hanya berdiri acuh saja, An wangwie lalu menghampirinya dan memberi hormat.
"Ah, kiranya Toanio adalah guru nona ini? Maafkan kalau kami kurang hormat katanya tidak tahu. Toanio, kami mohon sudilah kiranya Toanio dan nona singgah di rumah kami sejenak untuk berkenalan dan menghaturkan terima kasih. Kami adalah keluarga yang selalu mengagumi dan menghormati kau m pendekar seperti Toanio berdua."
Sikap An-Wan-gwe memang baik sekali sehingga Bantok Sian-Ii yang biasanya acuh saja kini-menjadi tertarik juga. Orang ini selain dermawan, juga ramah dan sopan sekali.
"Baik, kita sebentar singgah disini, Siang Hwi."
Katanya sambil mengangguk dan hartawan itu merasa girang bukan main. Dia memberi isarat kepada orang-orangnya untuk melanjutkan dengan pembagian beras dan dia sendiri tergopoh-gopoh mengiringkan dua orang wanita cantik itu memasuki rumahnya. Sementara itu apa yang terjadi di luar rumah sudah terdengar oleh isteri dan empat orang anak hartawan itu, dan melihat. hartawan mengiringkan kedua orang masuk, merekapun menyambut dengan ramah dan hormat sehingga amat menyenangkan hati Ban-Tok Sian-Li. Kedua orang tamu itu lalu dijamu oleh tuan rumah beserta semua keluarganya yang terdiri dari seorang isteri dan empat orang anak. An Kiong mengangkat cawan araknya memberi hormat kepada mereka berdua
"Kami hendak memperkenaIkan diri kepada ji-wi yang mulia. Nama saya An Kiong, ini isteri saya dan empat orang anak saya yang berusia dari lima tahun sampai lima belas tahun. Kalau ji-wi tidak keberatan, kami ingin sekali mengetahui nama ji-wi yang mulia."
Sikap amat rendah hati ini menggerakkan hati Ban-Tok Sian-Li. Biasanya ia tidak pernah memperkenaIkan nama aslinya, hanya memperkenalkan nama julukannya saja. Akan tetapi karena hartawan An bukan orang kangouw, dan tidak perlu ia menyembunyikan namanya, maka ia kini memperkenaIkan nama aslinya, bahkan tidak menyebut nama julukannya.
"Aku bernama Souw Hian Li dan muridku ini bernama The Siang Hwi. Kami berdua adalah perantau yang datang dari Lembah Maut di tepi sungai Yang-ce."
"Aih, sudah kami duga bahwa ji-wi tentulah tokoh-tokoh kangouw yang perkasa dan budiman. Puteri kami yang sulung telah berusia lima belas tahun dan ia selalu ingin sekali belajar iImu silat, akan tetapi tidak pernah mendapatkan guru yang pandai. la selalu tertarik kepada mendiang pek-hua-nya (uwa-nya) yaitu Panglima Gak Hui, maka ingin sekali mempelajari ilmu silat tinggi. Kalau saja Toanio sudi memberi petunjuk kepadanya, alangkah akan bahagianya hati kami."
Diam-diam Ban-Tok Sian-Li Souw Hian Li terkejut.
"Ah, kiranya An-Wan-gwe masih terhitung keluarga mendiang Panglima Gak Hui? Sungguh mengherankan, mengapa engkau masih enak-enak tinggal di Kota Raja?"
An Wan-gwe tersenyum.
"Ah, kami hanya keluarga jauh. Isteri mendiang Panglima Gak adalah kakak misanku, maka kami terhitung keluarga jauh. Pula, kami tidak pernah ikut urusan perjuangan, mengapa takut tinggal di Kota Raja? Kamipun tidak pernah melakukan kejahatan dalam bentuk apapun..."
Tiba-tiba terdengar ribut-ribut di luar. Serentak mereka keluar. Ternyata yang ribut-rlbut itu adalah selosin orang pasukan yang menyuruh para pembantu dan petugas yang membagi beras tadi menghentikan pekerjaannya dan mereka menyuruh semua orang pergi. Itulah selosin pasukan yang dipimpin oleh Jin Kiat dan Hak Bu Cu. Ketika Jin Kiat melihat An-Wan-gwe muncul, dia lalu menudingkan telunjuknya dan berteriak lantang...
"An Kiong engkau mengumpulkan orang apakah hendak memberontak?"
AnWan-gwe mengenai pemuda itu dan diapun cepat memberi hormat.
"Jin-kongcu, mengapa berkata demikian? Mereka ini adalah fakir miskin yang mengambil bagian beras yang kubagi-bagikan untuk mereka kongcu."
"Ahhh, jangan membantah. Lihat aku membawa surat perintah Yang Mulia Kaisar untuk menangkapi sejuruh keluarga pemberontak Gak Menyerahlah engkau sekeluargamu untuk kutangkap, An Kiong!"
Seketika wajah An Kiong berubah pucat mendengar ini.
"Akan tetapi, kongcu... kami... kami bukan keluarga Gak! Kami keluarga An..."
"Cukup Siapa tidak tahu bahwa engkau masih saudara misan ibu pemberontak Gak Liu?"
"Ampun, kongcu. Kongcu sendiri cukup lama mengenal keluarga kami yang tidak pernah berbuat salah apapun..."
"Jangan banyak cakap! Perajurit, tangkap mereka semua!"
Perintah Jin Kiat.
"Kami tidak bersalah! Kami tidak mau ditangkap!"
Terdengar bentakan dan An Siu Hwa, puteri sulung hartawan An itu. sudah mencabut pedangnya.
"Ha-ha-ha, puterimu ini gagah juga, An Kiong! Biar yang ini bagianku!"
Kata Jin Kiat dan diapun menubruk kearah gadis itu. Siu Hwa menyambutnya dengan tusukan pedang, akan tetapi ilmu silatnya masih terlampau rendah kalau dibandingkan Jin Kiat yang menjadi murid para jagoan istana. Jin Kiat mengelak dan dari samping dia sudah menotok tubuh gadis itu sehingga Siu Hwa merasa tubuhnya lemas, pedangnya terlepas dan ia jatuh ke dalam rangkulan Jin Kiat yang tertawa-tawa. Para perajurit lalu menangkapi An Kiong, isterinya dan tiga orang anaknya yang lain, yang masih kecil-kecil. Melihat ini Ban-Tok Sian-Li menjadi marah sekali.
"Jahanam busuk, lepaskan mereka!"
La menampar dua kali dan dua orang perajurit terjungkal dan tewas seketika. melihat ini, Hak Bu Cu terkejut dan maklum bahwa wanita cantik itu lihai sekali dan memiliki pukulan beracun. Maka diapun segera menerjang maju dan segera terjadi pertandingan yang seru antara Hak Bu Cu melawan Ban-Tok Sian-Li yang juga terkejut karena di situ muncul raksasa hitam yang demikian dahsyat tenaga dan tinggi llmu silatnya. Sementara itu, melihat betapa Siu Hwa telah dirangkul secara kurang ajar sekali oleh Jin Kiat, The Siang Hwi mengeluarkan suara melengking nyaring dan ia sudah menyerang pemuda itu dari samping.
"lepaskan gadis itu!"
Jin Kiat yang masih merangkul dan tadi menciumi Siu Hwa, menggunakan tangan kiri menangkis ukulan Siang Hwi. Dia terlalu memandang rendah, maka ketika Tangan mereka beradu, hampir saja Jin Kiat terpelanting.
Dia melepaskan Siu Hwa dan terkejut bukan main karena ternyata gadis cantik manis itu memiliki tenaga sinkang yang membuat dia hampir roboh! Dia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Siang Hwi. Akan tetapi gadis inipun mencabut sebatang pedang tipis dari punggungnya dan mereka sudah saling serang dengan hebatnya. Para perajurit juga membantu Jin Kiat sehingga Siang Hwi dikeroyok banyak "rang. Para perajurit itu tidak berani membantu Hak Bu Cu karena pertandingan antara Hak Bu Cu dengan wanita cantik itu hebat bukan main, Angin yang dahsyat menyambar-nyambar dari kaki tangan mereka sehingga tidak ada perajurit berani mendekat. Seorang perajurit lari mencari bala bantuan dan tak lama kemudian berdatangan berpuluh-puluh perajurit kerajaan. Melihat ini, mau tidak mau Bantok Sianli lalu melompat jauh dan bersama muridnya ia terpaksa melarikan diri.
Tidak mungkin menghadapi pengeroyokan puluhanorang perajurit, apalagi,mereka berada di Kota Raja yang dapat mengerahkan ratusan bahkan ribuan orang perajurit yang tentu akan membahayakan sekali kepada mereka. Terpaksa walaupun dengan hati mendongkol sekali, Ban-Tok Sian-Li dan The Siang Hwi membiarkan An Kiong sekeluarga ditangkap dan dibawa ke penjara. Mereka berdua juga tidak lepas dari pengejaran para perajurit. Ke manapun mereka pergi, tentu bertemu dengan seregu perajurit dan beberapa kali mereka harus melakukan perlawanan merobohkan beberapa orang perajurit dan lari lagi. Akhirnya mereka terjebak ke dalam sebuah lorong, pada hal kedua ujung lorong itu telah terjaga oleh ratusan orang perajurit. Pada saat mereka kebingungan itu, muncullah seorang pemuda berpakaian pengemis, pakaiannya tambal tambalan namun bersih.
"Toanio, sio-cia, mari ke sini. Tidak ada jalan keluar lain. Mari cepat!"
Katanya kepada dua orang wanita itu. Karena memang sudah tersudut, Ban-Tok Sian-Li memberi isyarat kepada muridnya untuk mengikuti pemuda itu. Mereka memasuki sebuah rumah kecil dan dari rumah ini mereka dapat menyusup melalui lorong-lorongkecil, keluar dari lorong yang terkepung itu. Mereka lalu memasuki sebuah kuil. Kuil itu adalah sebuah kuil para pendeta wanita. Seorang Nikouw tua menyambut kedatangan pemuda pengemis itu.
"Ceng-nikouw, tolonglah kedua orang sahabat ini. Mereka adalah buruan tentara. Cepat!"
"Baik, masuklah ke sini, ji-wi sio-cia!"
Kata Nikouw tua itu kepada Ban-Tok Sian-Li dan Siang Hwi. Pengemis itu lalu memberi hormat dan berkata kepada mereka.
"Untuk sementara ji-wi di sini aman. Aku akan mencari jalan untuk ji-wi dapat keluar dari Kota Raja. Sampai jumpa!"
Pengemis itu laiu menyelinap pergi dari situ dengan cepat. Ban-Tok Sian-Li dan Siang Hwi segera dibawa masuk ke dalam kamar dan mereka diberi pakaian nikouw untuk menyamar, dengan memakai penutup kepala berwarna kuning seperti kebiasaan calon-calon Nikouw yang belum menggunduli rambutnya.
Benar saja. Tempat itu aman. Biar pun ada rombongan perajurit yang mengadakan pemeriksaan di situ, akan tetapi para perajurit ini tidak berani berbuat sesukanya. Kuil ini biasa dikunjungi oleh permaisuri dan keluarga kaisar, maka perajurit pun menghormatinya. Setelah keadaan agak aman, barulah mereka. Berdua berkenalan dengan Ceng Nikouw, kepala Nikouw di situ dan baru mereka tahu bahwa Ceng Nikouw adalah simpatisan para pejuang yang berusaha mengusir para pasukan Kin yang merajalela di perbatasan. Juga, nikouw ini adalah pengagum mendiang Panglima Gak Hui. Ketika mendengar dari The Siang Hwi mengapa mereka. menjadi buronan, karena membela An Kiong yang ditangkap sebagai anggauta keluarga mendiang Pang lima Gak Hui, Nikouw itu merasa senang telah dapat menolong mereka.
"Omitohud..., memang keadaan sekarang amatlah menyedihkan. Sebetulnya, semua ini gara-gara keluarga Jin itulah!"
"Apakah yang dimaksudkan adalah Perdana Menteri Jin Kui?"
Tanya Ban-Tok Sian-Li yang merasa tertarik juga.
"Siapa lagi? Sebetulnya kaisar tidaklah jahat, akan tetapi kaisar amat lemahnya dan terlalu percaya kepada Perdana Menteri itu. Dahulu, Panglima Gak Hui tewas juga karena Perdana Menteri itu. Hal ini siapakah yang tidak tahu? Seluruh rakyat juga mengetahui belaka akan tetapi kekuasaan Jin Kui amat besar, siapa berani menentang dia? Dan puteranya itu tidak kalah jahatnya dengan ayahnya. Merampas anak gadis orang, bahkan isteri orang, apa saja yang tidak dilakukan pemuda jahat itu. Dan semua orang juga tahu bahwa Perdana Menteri Jin Kui itu diam-diam menjadi antek Kin. Hanya kaisar seorang yang tidak mau tahu dan tidak percaya. Aihh, entah apa yang akan terjadi dengan Kerajaan Sung"
"Akan tetapi kematian Gak Hui sudah lama terjadi. Sekarang mengapa tahu-tahu hartawan An Kiong ditangkap? Apakah bibi mengetahui sebabnya?"
Tanya Ban-Tok Sian-Li Nikouw Itu menghela napas panjang.
"Omitohud... sebetulnya, kalau memang hendak ditangkap sudah dari dahulu. An Kiong itu masih saudara misan mendiang nyonya Gak Hui, maka dapat di kata masih sanak keluarga. Akan tetapi kalau sampai sekarang baru ditangkap hal ini tentu sudah lain jadinya. Mungkin Jin Kiat itu tergita-gila kepada puteri Sulungnya atau mungkin juga merupakan usaha untuk merampas kekayaannya. Pin-ni (aku) sendiri tidak tahu jelas mengapa dia sekeluarga ditangkap. Pada hal semua orang di Kota Raja tahu belaka bahwa hartawan An itu adalah seorang yang dermawan dan bijaksana, tidak pernah melakukan kejahatan sama sekali."
"Kalau begitu, pasti ada sebab tertentu dan mengapa Perdana Menteri Jin Kui sampai mengutus puteranya sendiri bahkan ditemani raksasa hitam yang lihai itu "
"Pin-ni juga tidak tahu. Lalu ji-wi ini siapakah dan bagaimana sampai terlibat dalam penangkapan An Kiong itu?"
"Nama saya Souw Hian Li dan ini murid saya bernama The Siang Hwi, bibi. Kami berdua kebetulan tertarik melihat AnWan-gwe membagi-bagikan beras kepada fakir miskin. Kemudian ketika terjadi penangkapan, kami berdua menjadi tamunya. Sayang sekali kami tidak dapat melindunginya dari tangkapan karena datangnya banyak pasukan kerajaan dan si raksasa hitam itu lihai bukan main. Terpaksa kami melarikan diri, kalau tidak kami tentu tertangkap oleh pasukan yang demikian banyaknya."
"Jangan ji-wi khawatir. di sini ji-wi pasti aman. Tidak ada yang akan berani menggeledah sampai ke dalam karena kuil ini biasa dikunjungl permaisuri dan keluarga kaisar."
"Kami tidak mengkhawatirkan diri kami, bibi, yang kami khawatirkan adalah keadaan keluarga An yang ditangkap."
"Omitohud, apa yang dapat kita lakukan, Toanio? Kekuasaan Perdana Menteri Jin Kui amat besar, hanya di bawah kekuasaan kaisar sendiri. Hanya kaisarlah yang dapat menghentikan semua perbuatannya. Apa daya kita?"
"Hemm, kalau perlu kami akan mempergunakan kekerasan untuk membebaskan hartawan An, atau dapat juga kami memaksa Perdana Menteri Jin Kui!"
Kata Ban-Tok Sian-Li sambil mengepal tinju. la sungguh merasaya tidak rela melihat An Kiong, hartawan yang demikian bijaksana dan dermawan, diperlakukan sewenanq-wenang oleh siapapun juga. Memang demikianlah watak Ban-Tok Sian-Li. Kalau ia sudah tidak perduli, maka iapun tidak akan memperhatikan apapun yang terjadi kepada seseorang, ia akan acuh saja. Akan tetapi sekali ia membela orang, akan dibelanya sampai semampunya.!
"Harap Toanio bersabar. Jin Kui itu besar sekali kekuasaannya dan dia dijaga oleh sepasukan pengawal yang berilmu tinggi. Berbahaya sekalilah kalau memasuki ruangan gedungnya. Sebaik nya kita menanti sampai Gan-Enghiong datang."
"Gan-Enghiong?"
"Oh ya, ji-wi belum mengetahui namanya. Pemuda yang membawa ji-wi ke sini, dia adalah putera ketua Hek-Tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam). Biarpun golongan pengemis, namun mereka adalah para pengemis kang ouw yang gagah dan tidak pernah berbuat jahat, bahkan selalu siap menolong orang yang tertindas. Bahkan ketuanya bersimpati kepada para pejuang, akan tetapi di Kota Raja tentu saja mereka tidak berani terang-terangan."
"Bukankah para pejuang itu berarti membela pula kedaulatan Kerajaan Sung?"
"Sebenarnya demikian. Para pejuang itu setia kepada kerajaan dan mereka memusuhi Kerajaan Kin, Akan tetapi, karena pengaruh Perdana Menteri Jin Kui, Kaisar menyalahkan para pejuang yang dianggap membikin kacau saja memancing permusuhan dengan Kin."
"Sungguh aku tidak mengerti. Kaisar dibela para pejuang malah memusuhi mereka. Pasti ada hal-hal kotor dan busuk tersembunyi dibalik semua, ini"
Kata Ban-Tok Sian-Li penasaran.
"Telah menjadi rahasia umum bahwa Perdana Menteri Jin Kui memang bersikap baik dan bersahabat terhadap Kerajaan Kin. Dia yang membujuk. Kaisar untuk berdamai dengan Kerajaan Kin. Contohnya Pang lima Gak Hui. Kurang bagaimana panglima besar Itu? Dia setia kepada Kaisar, akan tetapi kenyataannya dia dihukum mati hanya karena dia bersikap terus menentang Kerajaan Kin dan melancarkan serangan yang sama sekali tidak disetujui oleh Perdana Menteri Jin Kui."
"Sungguh celaka! "pa yang akan terjadi dengan Kerajaan Sung sikapnya demikian lemah terhadap musuh yang selalu mengancam keamanan negara dan bangsa? Sungguh mengherankan sekali. Semestinya kaisar merasa bangga dan senang melihat rakyatnya setia dan membela kerajaannya. Pada hal, sudah amat luas tanah air yang dijajah bangsa Yu cen. Sepatutnya kaisar menghimpun kekuatan rakyat untuk merampas kembali daerah yang direbut oleh penjajah Itu."
"Pikiran seperti Toanio itulah yang membuat para pendekar patriot membentuk laskar-laskar rakyat dan menyerang pasukan Kin. Akan tetapi sayangnya di rumah sendiri mereka dimusuhi oleh pasukan Sung yang semestlnya malah mendukung dan membela mereka. Yah, beginilah keadaannya, Toanio. Kita mampu berbuat apakah?"
Sampai jauh malam mereka bercakap-cakap Ban-Tok Sian-Li dan muridnya mendapat banyak keterangan dari Nikouw itu sehingga hati datuk wanita itu menjadi semakin tertarik. Tadinya ia sama sekali tidak perduli tentang perjuangan akan tetapi kini ia mulai bersimpati kepada para pejuang. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gan Kok Bu, yaitu pemuda yang menolong guru dan murid semalam dan menyembunyikan mereka ke dalam kuil Nikouw, muncut di kuil itu. Kedatangannya secara rahasia dan Ceng Nikouw lalu membawanya ke ruangan belakang dl mana dia bertemu dengan Ban-tok Si anli dan The Slang Hwi. Begitu bertemu, Ban-Tok Sian-Li segera bertanya,
"Saudara Gan, bagaimana kabarnya dengan An-Wan-gwe dan keluarganya?"
Yang ditanya menggeleng kepalanya dan menghela napas panjang lalu berkata pendek,
"Celaka mereka itu..."
Siang Hwi menjadi terkejut dan khawatir.
"Apa yang terjadi dengan mereka?"
"Benar-benar keparat ayah dan anak she Jin itu!"
Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kok Bu berkata sambil mengepel tinju.
"Orang-orang yang tidak bersalah apapun, bahkan yang berjasa bagi rakyat jelata, dibunuhi secara kejam!"
"Dibunuh? Maksudmu, mereka semua dibunuh?"
Tanya Ban-Tok Sian-Li membelalakkan matanya yang indah.
"Tidak cuma dibunuh, mereka disiksa sampai mati."
"Akan tetapi, mengapa? Apa kesalahan mereka?"
Ban-Tok Sian-Li kini bertanya dengan setengah berteriak. Sukar ia membayangkan orang tua yang berbudi itu dibunuh s"k"luarganya begitu saja, bahkan disiksa sampai mati.!
"Menurut hasil penyelidikan kami melalui para perajurit pengawal, mereka itu disiksa untuk mengaku di mana adanya pemberontak Gak Liu. Karena tidak ada yang dapat mengatakan di mana adanya Gak Liu, mereka disiksa sampai mati dan dicap sebagai pemberontak. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi, puteri sulung An Wan-gwe oleh Jin Kiat telah diperkosa kemudian diserahkan kepada pengawal sampai gadis itupun menemui ajalnya. Dan harta benda hartawan itu disita untuk negara yang tentu saja telah disaring dulu melalui tangan Perdana Menteri."
"Terkutuk! Kami tidak dapat mendiamkannya saja, Subo!"
Tiba-tiba Siang Hwi berseru nyaring, mukanya berubah merah sekali saking marahnya.
"Benar! Kita harus bertindak. Malam ini juga kita berdua akan menyusup ke dalam gedung Perdana Menteri Jin dan kita bunuhi mereka semua sekeluarga!"
Kata Ban-Tok Sian-Li.
"Omitohud..., Toanio dan nona pin-ni harap ji-wi tidak melakukan pekerjaan yang amat berbahaya itu. Salah salah ji-wi sendiri yang akan menderita celaka di tangan para pasukan pengawal."
"Kami tidak takut, bibi. Sudah menjadi resiko dunia persilatan, kalau tidak berhasil tentu gagal kalau tidak menang tentu kalah dan kekalahan ada kalanya membawa nyawa. Kami tidak takut!"
Kata Ban-Tok Sian-Li dengan ucapan yang keren dan tegas.
"Maaf, Toanio dan Siocia (nona) bukannya saya ingin mencampuri urusan ji-wi, akan tetapi benar seperti yang dikatakan Ceng Nikouw, menyerbu ke dalam gedung istana Perdana Menteri amat lah berbahaya. Perdana Menteri Jin Kui telah mengundang beberapa orang jagoan istana untuk mengawalnya, dan kedudukannya kuat sekali."
"Kami tidak takut!"
Kata pula Ban-Tok Sian-Li.
"Pendeknya malam ini kami harus dapat membunuh Perdana Menteri keparat Itu!"
Karena merasa tidak mampu untuk mencegah guru dan murid itu, Kok Bu hanya menghela napas panjang dan dia berpamit.
Akan tetapi diam-diam dia ngumpulkan beberapa putuh anak buahnya yang paling lihai dan bersiap-siap untuk melindungi guru dan murid itu. Entah mengapa, hatinya merasa tidak rela melihat The Siang Hwi terancam bahaya kalau ikut gurunya menyerbu rumah ge dung Perdana Menteri Jin. Malam itu amatlah sunyi dan dingin. Malam terang bulan yang sejuk. Akan tetapi seperti biasa, setelah agak malam semua penduduk memasuki rumahnya. Apa lagi tersiar berita bahwa pasukan mencari-cari buronan dan ini berarti setiap saat dapat saja rumah penduduk diserbu pasukan, digeledah dan hal ini membuat setiap penduduk merasa ketakutan. Kalau kebetulan pasukan yang menggeledah itu dipimpin seorang perwira yang baik, maka penggeledahan berjalan wajar dan tidak terjadi gangguan kalau mereka tidak menemukan orang yang dicari di rumah itu.
Akah tetapi kalau ternyata sebaliknya, pasukan itu dipimpin oleh seorang perwira yang jahat, maka pasukan itu menggunakan kesempatan untuk menggerayangi harta milik penduduk, dan tidak segan-segan mengganggu wanita yang muda dan cantik. Di antara bayang bayang pohon berkelebatan dua sosok bayangan yang gerakannya gesit bukan main. Mereka itu adalah Ban-Tok Sian-Li dan muridnya, The Siang Hwi. Dengan menyelinap diantara pohon-pohon mereka menghamplri gedung besar tempat tinggal Perdana Menteri Jin Kui dan tak lama kemudian mereka telah tiba di luar pagar tembok yang tinggi. Di pintu gerbang pagar tembok itu terdapat gardu penjagaan dan di situ berkumpul belasan orang penjaga. Mereka secara bergilir meronda, mengeliIingi gedung Itu.
Dengan gerakan ringan dan mudah saja, guru dan murid ini lalu melom- pati pagar tembok dan turun di sebelah dalam. Mereka telah berada di datam taman dan agaknya tidak ada penjaga yangmengetahui gerakan mereka. Dengan girang guru dan murid ini lalu melayang naik ke atas genteng dan dari sana mereka mencari-cari, mengintai ke bawah. Tiba tiba mereka berhenti bergerak dan mendekam di atas wuwungan. Mereka melihat pemuda yang bukan lain adalah Jin Kiat bersama seorang laki-laki setengah tua duduk di sebuah ruangan yang lampunya terang, sedang makan minum. Dari sikap Jin Kiat yang menghormat laki-laki setengah tua itu, mudah diduga bahwa orang itu tentulah Perdana Menteri Jin Kui, ayah pemuda itu. Mereka berdua makan minum dilayani beberapa orang dayang dan di sekitar ruangan itu nampak lima orang perajurit pengawal menjaga.
"Kesempatan baik,"
Bisik Ban-Tok Sian-Li kepada muridnya.
"Mari serbu!"
Dua orang wanita perkasa itu lalu melayang turun, dan mendadak saja semua penerangan di ruangan itu menjadi padam sehingga keadaannya menjadi gelap. Mereka terkejut dan maklum bahwa mereka terjebak. Dan tiba-tiba ruangan menjadi terang benderang kembali akan tetapi Perdana Menteri Jin Kui dan para dayang telah menghilang. Yang ada hanyalah Jin Kiat yang kini memimpin belasan orang pengawal, di antaranya terdapat raksasa hitam yang lihai! Mereka itu telah mengepung guru dan murid itu. Melihat guru dan murid ini, Jin Kiat segera mengenai mereka sebagai orang-orang yang pernah membela An Kiong sekeluarga ketika keluarga ttu hendak ditangkap, maka dia tertawa mengejek.
"Ha-ha-ha, kiranya kalian dua orang wanita pemberontak! Tangkap mereka! Terutama yang muda itu, tangkap hidup-hidup dan jangan lukai!"
Para pengawal itu sudah mencabut senjata masing-masing, dan Ban-Tok Sian-Li yang maklum bahwa si tinggi besar muka hitam itu amat lihai, sudah menerjang kepada raksasa hitam ini dengan pedangnya. Pedang di tangan datuk wanita ini bersinar hitam dan pedang itu amatlah berbahaya karena telah direndam racun yang amat berbahaya. Sekali terkena goresan pedang ini musuh akan tewas dan tidak mungkin dapat disembuhkan lagi. Melihat wanita itu menghunus pedang yang bersinar hitam. Hak Bu Cu juga menghunus goloknya yang tersembunyi di balik jubahnya. Melihat golok ini, Ban-Tok Sian-Li berseru kaget.
"Mestika Golok Naga...!"
"Engkau sudah mengenal. golokku! Bagus, hayo cepat menyerah sebelum golokku membuat engkau menjadi setan tanpa kepala!"
Akan tetapi Ban-Tok Sian-Li sudah menggerakkan pedangnya, menyerang dengan dahsyatnya menusukkan pedang ke arah dada lawan. Hak Bu Cu tidak berani memandang rendah. Dia sudah merasakan kelihaian wanita ini dan harus mengakui bahwa tanpa bantuan pengawal, kemarin dia tidak akan mampu menandingi wanita ini. Maka diapun cepat menggerakkan golok yang besar itu menangkis sambl1 mengerahkan tenaga.
"Cringggg... trangg...!!"
Dua kali pedang bertemu golok dan bunga api berpijar menyilaukan mata. Beberapa orang pengawal sudah menyerbu dan Ban- tok Sian-Li lalu dikeroyok. Sementara itu, Siang Hwi juga sudah mengamuk, dikeroyok Jin Kiat dan orang-orangnya sehingga gadis ini, seperti juga gurunya, sudah dikepung ketat. Guru dan murid itu mengamuk dan mereka sudah berhasil membunuh beberapa orang pengawal, akan tetapi datang pula regu pengawal yang lain sehingga mereka semakin terdesak. Ketika mengelak dari sambaran banyak senjata; tiba tiba Ban-Tok Sian-Li terkena tendangan yang dilontarkan oleh Hak Bu Cu. Keras sekali tendangan itu dan Ban-Tok Sian-Li tidak sempat mengelak lagi, karena ia sedang mengelak dan menangkis sambaran banyak senjata para pengeroyok. Tendangan itu mengenai paha kirinya.
Biarpun paha itu tidak menderita luka, akan tetapi saking kerasnya tendangan itu, kakinya menjadi memar dan rasanya nyeri bukan main. Tubuh Ban-Tok Sian-Li terpelanting dan dengan cepat iapun bergulingan. Ketika, dua orang pengawal mengejarnya dengan bacokan golok, ia menggerakkan pedangnya dan dua orang pengawal itupun roboh mandi darah dan tewas seketika. la melompat berdiri lagi dan mengamuk. Sudah lebih dari sepuluh orang pengawal roboh oleh pedangnya, demikian pula muridnya telah merobohkan banyak pengawal. Akan tetapi Jin Kiat masih terus mengepungnya dengan pengawal pengawal baru yang datang membantu. Keadaan guru dan murid itu kini terdesak dan mereka dalam bahaya. Apa lagi kini Ban-Tok Sian-Li sudah terkena tendangan yang membuat gerakannya kurang lincah, sedangkan Hak Bu Cu terus mendesak dengan hebatnya.
Selagi mereka berdua terdesak, mendadak nampak banyak bayangan berkelebat dan muncullah belasan orang membantu guru dan murid itu. Mereka berpakaian seperti orang-orang kang-ouw, dan senjata mereka juga bermacam-macam. Akan tetapi melihat bahwa yang muncul itu adalah Gan Kok Bu, Maklumlah Ban-Tok Sian-Li dan Siang Hwi bahwa orang-orang itu tentu para anggauta Hek-Tung Kai-pang yang sengaja menyamar agar jangan ketahuan bahwa mereka anggauta perkumpulan pengemis itu. Maka mereka tidak mengenakan pakaian pengemis dan tidak pula menggunakan senjata tongkat hitam. Bagaimanapun juga, setelah rombongan ini datang membantu, Ban-Tok Sian-Li dan Siang Hwi lolos dari kepungan. Kok Bu segera menghampirl mereka dan berseru,
"Mari kita pergi!"
Karena maklum bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, pihaknya tentu akan menderita kekalahan dan akan celaka di tangan para pengawal, Ban-Tok Sian-Li yang sudah terluka pahanya lalu melompat pergi dan mengajak muridnya.
"Siang Hwi, kita pergi!"
Siang Hwi juga meloncat pergi. Bantuan para anggauta Hek-Tung Kai-pang memungkinkan mereka meninggalkan para pengeroyok itu.
Pada saat itu, bagian krii gedung itu terbakar, dibakar oleh anggauta Kai-pang yang bertugas untuk itu. Melihat ini, tentu saja para pengawal menjadi panik dan kesempatan ini memungkinkan mereka semua untuk melarikan diri, walaupun ada tiga orang anggauta Kaipang terpaksa ditinggal karena mereka sudah roboh dan tewas. Kok Bu mengajak guru dan murid itu pergi bersembunyi di tempat rahasia ayahnya, yaitu ketua Hektung Kai-pang, Tempat ini adalah sebuah rumah seorang pejabat tinggi bagian kebudayaan. Pejabat tinggi ini juga seorang yang bersimpati kepada para pejuang, maka memberikan rumahnya yang kosong untuk tempat bersembunyi ketua Hek- tung Kai-pang; Dan tidak akan ada orang yang mencurigai tempat itu karena tempat itu kadang-kadang dijadikan tempat peristirahatan sang pembesar tinggi.
Selain itu, masih ada hubungan keluarga antara pejabat tinggi itu dengan ketua Hek-Tung Kai-pang yang bernama Gan Liang. Adapun pusat Hek-Tung Kai-pang sendiri berada di luar Kota Raja. Para anggauta Hek-Tung Kai-pang dengan bebas berkeliaran di Kota Raja karena mereka tidak pernah membikin ribut dan mereka membantu para pejuang secara rahasia, tidak terang-terangan. Ban-Tok Sian-Li dan The Siang Hwi disambut oleh Hektung Kai-pang-cu Gan Liang sendiri, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang nampaknya masih gagah. Ayah Gan Kok Bu ini sudah mendengar dari, puteranya tentang sepak terjang wanita bernama Souw Hian Li dan muridnya yang bernama The Siang Hwi itu. Ketika menyambut dua orang wanita itu, Gan Liang yang memberi hormat kepada Ban-Tok Sian-Li tertegun. Dia memandang wanita itu penuh perhatian, lalu berseru heran,
"Bukankah Toanio ini Ban-Tok Sian-Li"
Yang di tanya balas memandang.
"Bagaimana engkau dapat mengenaIku?"
"Siapa yang tidak mengenai Ban-Tok Sian-Li dari Lembah Maut yang ter sohor itu?"
Melihat sikap ayahnya yang nampak kaget dan juga tidak senang itu, Gan Kok Bu lalu mempersilakan mereka, duduk. Suasana menjadi agak kaku karena Gan Liang lebih banyak diam dari pada bicara. Tentu saja hal ini dirasakan oleh Ban-Tok Sian-Li dan dengan terus terang datuk ini berkata,
"Agaknya Hek-Tung Kai-Pangcu tidak menyukai kehadiran kami di sini!"
"Ah, tidak! Sama sekal! tidak! Aku hanya terkejut dan terheran bahwa Ban-Tok Sian-Li tiba-tiba menjadi seorang pejuang yang membela An-Wan-gwe, Pada hal dahulu engkau tidak pernah pemperdulikan perjuangan, Sian-Li."
"Pang-cu, tidak ada orang yang boleh memaksaku untuk berjuang dan tidak ada orang pula yang boleh melarangku untuk berjuang. Karena itu, engkau tidak perlu heran,"
Jawab Ban-tok Sian- li dengan ketus. Wanita itu memang aneh wataknya. Kalau ia ditentang, ia akan bangkit melawan dengan keras. Dan kiranya ini sudah menjadi watak para datuk persilatan pada umumnya.
"Tidak, Sian-Li, siapa berani melarangmu? Silakan tinggal di sini, dan selama di sini, engkau akan aman dari pengejaran pasukan. Maaf, saya ada keperluan lain, terpaksa harus meninggal kan ji-wi."
Dia lalu keluar dari ruangan itu dan tinggal Kok Bu yang sikapnya jauh berbeda dengan ayahnya.
Dia melayani dua orang tamunya dengan baik dan penuh penghormatan, lalu menunjukkan sebuah kamar untuk mereka. Juga dia menyediakan makanan untuk kedua orang tamunya itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang Hwi sudah mandi dan keluar dari kamarnya. Gurunya masih beristirahat karena semalam gurunya itu hampir tidak tidur melainkan menghimpun tenaga murni untuk mengobati luka di pahanya yang memar. Rumah pejabat itu cukup besar dengan pekarangan yang luas, dan di bela kang terdapat sebuah taman bunga yang cukup indah dan luas pula. Siang Hwi memasuki taman itu. Udara pagi itu amat marah, burung-burung masih banyak yang berkicau di taman itu, belum berangkat pergi mencari makan, Sinar matahari pagi mulai menghangatkan taman. Siang Hwi menghampiri serumpun kembang merah dan dipetiknya setangkai lalu di pasangnya di rambutnya.
"Nona...!"
La terkejut dan memutar tubuhnya. Ternyata Kok Bu yang memanggilnya tadi dan pemuda itu berdiri di depannya"
Terbelalak dan memandangnya dengan mata terpesona. Bagi Kok Bu, gadis itu nampak cantik jelita pagi itu, apa lagi dengan bunga merah di rambutnya, nampak seperti seorang bidadari dari kahyangan yang turun ke taman Itu bersama cahaya matahari pagi.
"Eh, Bu Toako kiranya. Selamat pagi. Eh, Toako engkau kenapakah?"
"Kenapa...?"
"Engkau memandangku seperti belum pernah melihat aku saja!"
Kok Bu tersenyum salah tingkah dan menjawab gugup,
"Aku... ah, kembang di rambutmu itu membuatmu nampak cantik jelita seperti bidadari saja, nona..."
"Hemm, engkau terlalu memujiku, Toako.!"
"Sungguh mati, aku bukan merayu atau memuji kosong, nona Siang Hwi. Engkau adalah gadis yang paling cantik yang pernah kutemui selama hidupku."
"Omong kosong! Engkau tinggal di Kota Raja, bahkan engkau banyak mengenal para bangsawan. Banyak putri bangsawan cantik jelita di Kota Raja, apa lagi puteri istana."
"Sudah banyak aku bertemu puteri bangsawan, akan tetapi tidak ada yang dapat menandingi engkau dalam hal kecantikan dan kegagahan, nona. Aku sungguh terpesona dan begitu bertemu denganmu, seketika aku jatuh hati. Maafkan keIancanganku..."
Wajah Siang Hwi menjadi kemerahan akan tetapi ia tidak marah. Sikap pemuda ini terlalu jujur dan ucapannya itu bukan rayuan, hal ini ia dapat merasakan benar. Akan tetapi, sedikitpun ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada pemuda yang baru dikenalnya itu, walau pun ia merasa berterima kasih dan juga kagum atas pertolongan pemuda ini kepadanya dan kepada gurunya.
"Sudahlah, Toako, jangan bicara soal itu. Aku tidak senang mendengarnya. Sama sekali belum ada dalam pikiranku persoalan yang kau kemukakan itu. Maafkan aku."
Dan iapun pergi meninggalkan pemuda itu menuju ke rumah untuk masuk ke kamarnya di mana gurunya masih tidur. Akan tetapi ia melihat sesosok bayangan berkelebat dan tahulah ia bahwa bayangan itu adalah Gan-Pangcu, ayah dari Kok Bu. Karena ingin tahu apa yang akan terjadi, ia menyelinap ke balik sebatang pohon dan mengintai. Gan Liang kini bicarara keras kepada anaknya sehingga Siang Hwi tidak perlu mengerahkan pendengarannya untuk dapat mendengar apa yang dikatakan ketua Hek-Tung Kai-pang itu.
"Apa? Engkau mencinta gadis itu? Tidak tahukah engkau murid siapa ia? Gurunya adalah Ban-Tok Sian-Li, datuk sesat yang tinggal di Lembah Iblis! Tidak, aku tidak suka kalau engkau mencinta gadis itu. Apa lagi menikah dengannya! Aku tidak suka berbesan dengan datuk sesat!"
Mendengar ini, Siang Hwi mengerutkan alisnya dan diam-diam ia pergi meninggalkan tempat itu, kembali ke dalam gedung. la mendapatkan gurunya sudah bangun dan sudah mandi.
"Subo, sebaiknya kita cepat pergi dari tempat ini dan keluar Kota Raja,"
Kata Siang Hwi. Melihat wajah muridnya seperti orang yang marah, Ban-Tok Sian-Li memandang penuh selidik,
"Ada apakah, Siang Hwi?"
"Su-bo, aku mendengar Gan-Pangcu berkata kepada puteranya bahwa dia merasa khawatir dan tidak senang kalau kita tinggal di sini lebih lama lagi karena dapat membahayakan dirinya dan perkumpulannya. Karena itu, sebaiknya kita pergi sekarang juga, Subo. Mereka sudah menolong kita, tidak enak kalau harus menyusahkan mereka lebih lanjut."
Gurunya mengangguk.
"Engkau benar, Siang Hwi. Kalau begitu mari kita berkemas dan pergi dari sini sekarang juga."
Siang Hwi menjadi girang dan cepat ia berkemas bersama gurunya. Selagi keduanya berkemas, muncul Kok Bu di depan kamar mereka. Melihat kesibukan guru dan murid yang berkemas dan menggendong buntalan pakaian di punggung, dia terkejut sekali.
"Eh, Toanio, dan nona jiwi hendak pergi ke manakah?"
Ban-Tok Sian-Li yang menjawab tegas.
"Kami akan berpamit dan pergi dari sini sekarang juga."
"Akan tetapi, itu berbahaya sekali Ji-wi akan diketahui oleh para pengawal dan perajurit dan tentu akan di tangkap! Pula, di Kota Raja ini, ji-wi hendak bersembunyi di mana? Di sini merupakan tempat terbaik bagi ji-wi untuk bersembunyi."
"Kami hendak keluar dari Kota Raja!"
Kata Siang Hwi yang bicara dan suaranya terdengar dingin.
"Tapi... tapi itu lebih berbahya!"
Kata Kok Bu.
"Semua pintu gerbang dijaga ketat oleh pasukan dan tidak mungkin Ji-wi dapat melewati pintu gerbang dengan selamat."
"Kami tidak takut! Akan kami lawan mati-matian!"
Kata pula Ban-Tok Sian-Li.
"Aihh, kenapa ji-wi memaksakan diri? Kalau ji-wi memaksa, baiklah, akan kami atur agar ji-wi dapat melewati pintu gerbang dengan aman. Jalan satu-satunya hanyalah menyamar sebagai anggauta Hek-Tung Kai-pang."
"
Menyamar?"
Tanya Ban-Tok Sian-Li.
"Jangan ji-wi khawatir. Di antar anak buah kami terdapat seorang yang ahli dalam hal mendandani orang dalam penyamaran. Dalam waktu singkat saja ji-wi sudah akan menjadi orang lain yang tidak akan dikenal bahkan oleh orang-orang terdekat. Bagaimana pendapat ji-wi? Kiranya itulah jalan satu-satunya untuk dapat menyusup keluar dari pintu gerbang dengan selamat."
Tentu saja guru dan murid itu tidak dapat menolak tawaran yang menarik dan juga menguntungkan itu. Anggauta Hek-Tung Kai-pang yang ahli merias itu dipanggil dan segera dia mendandani Ban-Tok Sian-Li dan The Siang Hwi.
Dalam waktu kurang dari satu jam, kedua guru dan murid ini benar-benar telah berubah, menjadi dua orang anggauta pengemis yang berjalan terbongkok-bongkok membawa tongkat. Tak lama kemudian, di pintu gerbang utara, ada serombongan pengemis terdiri tujuh orang melewati pintu gerbang itu, para petugas jaga tentu saja tidak mau didekati para pengemis yang berpakaian kotor dan berbau. Maka merekapun membiarkan para pengemis itu lewat. Setelah melewati pintu gerbang, para pengemis itu segera pergi berpencar. Dua di antara mereka yang berjalan terbongkok-bongkok melanjutkan perjalanan dengan cepat menuju ke barat. Akan tetapi belum lama para pengemis itu melewati pintu gerbang, tampak belasan orang penunggang kuda tiba di tempat itu, yaitu rombongan pengawal rumah gedung Perdana Menteri, dipimpin oleh seorang raksasa hitam yang bukan lain adalah Hak Bu Cu.
"Apakah ada serombongan pengemis lewat di sini?"
Tanya Hak Bu Cu yang berpakaian perwira. Para petugas jaga di pintu gerbang itu tidak mengenal Hak Bu Cu, akan tetapi melihat pakaiannya, mereka memberi hormat dan seorang di antara mereka menjawab bahwa baru saja ada serombongan tujuh orang pengemis lewat di situ dan keluar kota.
"Hayo cepat kejar!"
Bentak Hak Bu Cu dan anak buahnya lalu membedal kuda melakukan pengejaran keluar kota melalui pintu gerbang utara. Bagaimana sampai para pengawal mencurigai serombongan pengemis itu? Semua ini adalah ulah ketua Hek-Tung Kai-pang sendiri. Setelah dia membiarkan puteranya menolong dua orang wanita itu melarikan diri dengan mendandani mereka seperti dua orang pengemis, Gan Liang lalu mengutus seorang anak buahnya untuk memberitahu kepada Perdana Menteri Jin Kui bahwa ada serombongan penjahat yang menyamar pengemis melarikan diri keluar Kota Raja melalui pintu gerbang utara! Tentu saja Perdana Menteri Jin lalu mengutus Hak Bu Cu untuk melakukan pengejaran. Sementara itu, mendengar akan perbuatan ayahnya ini, Gan Kok Bu marah sekali kepada ayahnya.
"Ayah, apa yang telah ayah takukan ini? Kenapa ayah mengkhianati mereka yang jelas membantu para pejuang?"
"Tadinya aku memang setuju engkau membantu mereka karena mereka membantu para pejuang. Akan tetapi setelah aku tahu siapa wanita yang kau bantu, aku lebih senang melihat mereka tertangkap. dan terhukum! Engkau tidak tahu siapa itu Ban-Tok Sian-Li! Ketika ia masih gadis dahulu, telah banyak orang menjadi korban karena kecantikannya! Banyak pemuda tergila-gila kepadanya dan mengajukan pinangan. Akan. tetapi apa yang dilakukan? la menghina semua yang meminangnya dan menghajar setiap orang pria yang berani meminangnya, bahkan ada yang terbunuh olehnya! Wanita macam apa itu? Biarlah ia ditangkap dan menerima hukuman mati, baru puas hatiku..."
Melihat betapa ayahnya nampak mendendam sekali kepada Ban-Tok Sian-Li, Kok Bu bertanya dengan alis berkerut,
"Hemm, agaknya ayah termasuk seorang yang telah ditolak pinangannya?"
Wajah ayahnya berubah kemerahan.
"Benar, dan ia telah merobohkanku, hampir saja membunuhku. Tak pernah aku dapat melupakan penghinaan itu!"
"Ayah, peristiwa itu telah terjadi bertahun-tahun yang lalu, kenapa ayah masih mendendam? Dan pula, sudah wajar kalau cinta seseorang ditolak, kenapa harus merasa sakit hati? Tentang penyerangan itu, mudah diketahui. sebagai seorang ahli silat, agaknya ia hendak menguji setiap orang pemuda yang meminangnya, ia tidak ingin memperoleh suami yang kalah olehnya. Itu wajar saja, ayah!"
"Sudahlah, engkau tahu apa? Wanita itu memiliki pukulan beracun segalanya yang ada padanya beracun, kukunya, rambutnya, dan juga hatinya beracun.!"
Kata ayahnya dan meninggalkan puteranya yang merasa penasaran sekali. Yang tidak diceritakan oleh Gan Liang adalah bahwa ketika hal itu terjadi dia sudah mempunyai isteri dan anak. Karena kecantikan Souw Hian memang luar biasa sekali dan mendenger bahwa gadis itu mau diperisteri pria yang dapat mengalahkannya,
Maka diapun yang tergila-gila melihat kecantikannya, ikut masuk sayembara itu, dengan maksud kalau sampai dia berhasil wanita itu akan dijadikan isteri kedua... Akan tetapi bukan saja dia tidak berhasil bahkan dia hampir tewas oleh "ukulan beracun Souw Hian Li yang kemudian berjuluk Ban-Tok Sian-Li. Kok Bu merasa marah sekali kepada ayahnya. Dia anggap ayahnya tidak adil dan tidak benar tindakannya. Maka, dia lalu berkemas dan meninggalkan rumah itu tanpa pamit lagi kepada ayahnya Dia hendak menyusul Siang Hwi dan kalau tidak bertemu, dia akan membantu pergerakan para pejuang di luar Kota Raja. Tadi dia memang tidak mengantarkan Siang Hwi dan gurunya karena kalau dia yang mengantar dan terjadi sesuatu amat berbahaya bagi Hek-Tung Kai-pang karena para penjaga banyak yang sudah mengenalnya sebagai pimpinan Hek-Tung Kai-pang.
"Tiong Li, sudah lima tahun engkau mempelajari ilmu dari, kami berdua. Semua iImu yang kami kuasai telah kami berikan kepadamu, dan karena engkau sebelumnya telah digembleng oleh Pek Hong San-jin, maka kini tingkat kepandaianmu sudah lebih tinggi dari pada tingkat kami berdua. Nah, sekarang setelah tiba saatnya untuk kita saling berpisah, apa yang hendak kaulakukan?"
Tanya Thian Kui Lo-jin yang tinggi kurus kepada muridnya.
"Usiamu sudah dua puluh satu tahun, sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupmu sendiri. Kami hanya ingin mengetahui, jalan mana sekarang yang hendak kau tempuh? Apa yang akan kau lakukan?"
Tanya pula Tee Kui Lo-jin yang bertubuh gendut pendek. Ditanya demikian oleh kedua, orang gurunya, Tiong Li menjatuhkan dirinya berlutut menghadap kedua orang gurunya Itu.
"Suhu walaupun teecu sudah dewasa dan telah menerima gemblengan dari mendiang suhu Pek Hong San-jin kemudian dari suhu berdua, akan tetapi teecu sama sekali tidak mempunyai pengalaman. Teecu masih hijau dan kalau ji-wi suhu bertanya apa yang hendak teecu lakukan, teecu menjadi bingung. Teecu sendiri tidak tahu apa yang hendak teecu lakukan setelah teecu terpaksa berpisah dari ji-wi suhu. Teecu mohon pe tunjuk!"
"Ha-ha-ha, bagus engkau masuh berrendah hati untuk bertanya. Pakailah sikap rendah hati ini untuk selamahya, Tiong Li. Hanya orang yang rendah hati sajalah yang akan dapat memperoleh tambahan pengetahuan,"
Kata Tee Kui Lok jin.
"Tiong ki, manusia diberi kehidupan dan dilahirkan di dalam dunia ini tentu bukan percuma saja, bukan seperti binatang saja asal makan tidur lalu mati. Tuhan tentu mempunyai maksud tertentu terhadap manusia yang dibekali hati akal pikiran, diberi akal budi sehingga manusia dapat menentukan sendiri, memilih apa yang baik untuk dirinya. Manusia bukanlah benda mati, bukan pula binatang atau tumbuh-tumbuhan. Manusia berakal budi, karena itu hidup di dunia ini haruslah bertanya kepada diri sendiri, apa yang dapat dilakukan demi diri sendiri,demi orang Iain, demi kemanusiaan dan demi dunia pada umumnya. Jadikanlah dirimu seorang manusia yang berguna dan bermanfaat bagi kemanusiaan dengan perbuatan-perbuatan yang bijaksana,benar dan adil. Sia-sia sajalah manusia hidup didunia kalau hanya untuk menanti datangnya kematian tanpa melakukan sesuatu yang berguna bagi kemanusiaan."
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Lembah Selaksa Bunga Karya Kho Ping Hoo Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo