Ceritasilat Novel Online

Mestika Golok Naga 4


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Akan tetapi; suhu. Apa yang harus dapat teecu lakukan?"

   "Siancai, banyak sekali yang dapat kauIakukan, muridku,"

   Kata Thian Lo-jin.

   "Kalau engkau tidak tahu apa yang kauIakukan, lalu untuk apa Engkau mempelajari semua iImu itu? Kau tahu, di dunia ini terdapat banyak sekali kejahatan diIakukan manusia yang batinnya dikuasai Iblis. Engkau sudah memiliki iImu kepandaian untuk menghadapi mereka yang suka meIakukan perbuatan sewenang-wenang, menggunakan kekerasan mengandalkan tenaga dan kepandaian. Engkau dapat mencegah perbuatan jahat itu dan menolong mereka yang tertindas. Engkau dapat berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan demi perikemanusiaan. Dan engkau dapat juga membaktikan dirimu demi nusa dan bangsa, dapat membantu gerakan para pejuang yang membendung kekuas"an Bangsa Yucen yang semakin sewenang-wenang melebarkan kekuasaannya. Engkau dapat mengingatkan dan memberi hajaran kepada para pembesar yang menyalah-gunakan kekuasaan dan wewenangnya, yang suka memeras dan menindas rakyat jelata. Wah banyak sekali yang dapat kau lakukan Tiong Li!"

   "Teecu mengerti dan akan teecu laksanakan petunjuk suhu,"

   Kata Tiong Li.

   "Akan tetapi berhati-hatilah, Tiong Li. Kekuatanmu itu dapat mendatangkan kekuasaan, dan kekuasaan yang bagaimanapun juga bentuknya dapat membuat orang menjadi lupa diri dan menyalahgunakan kekuasaannya. Oleh karena itu, engkau harus lebih waspada terhadap musuhmu itu, musuh tunggal yang tidak kelihatan akan tetapi yang kelihaiannya sukar dilawan,"

   Kata Tee Kui Jin.

   "Siapakah musuh itu, suhu?"

   "Musuh itu adalah dirimu sendiri hati akal pikiranmu sendiri. Kalau engkau sudah memiliki kekuatan dan kepandaian, lalu merasa diri memiliki kekuasaan, berhati-hatilah karena hati akal pikiranmu dapat dipergunakan oleh iblis untuk berbuat sewenang-wepang karena mengejar kesenangan bagi dirimu sendiri."

   "Teecu mengerti, suhu. Teecu masih mengingat akan semua nasehat suhu Pek Hong San-jin bahwa teecu harus melakukan tiga macam kesetiaan, yaitu setia dan berbakti kepada Tuhan, berbakti kepada negara dan berbakti kepada orang tua atau guru. Dan teecu harus menjadi alat yang baik; untuk Tuhan Yang Maha Kuasa."

   "Bagus! Kalau engkau masih ingat akan hal itu dan memegang semua keyakinan itu, maka kami pun akan merasa lega melepasmu, Tiong Li,"

   Kata pula Tee Kui Lojin.

   "Hanya yang harus kau selalu Ingat, jangan terlampau mudah membunuh orang kalau tidak amat terpaksa dan perlu sekali. Jangan membunuh orang yang sudah tidak mampu melawan, jangan menyombongkan kepandaian dan ingat selalu, setiap orang lawan haruslah dihadapi dengan sikap hati-hati dan waspada, tidak boleh meremehkan orang lain. Dan lagi, betapapun tingginya puncak gunung dan awan, masih ada langit yang lebih tinggi lagi, karena itu jangan menganggap diri paling pandai."

   Setelah menerima banyak nasihat dari kedua orang gurunya, Tiong Li lalu turun gunung membawa buntalan pakaian yang sederhana dan membawa sebatang ranting kayu yang dijadikan pikulan buntalan pakaiannya. Dia kini telah berusia duapuluh satu tahun, seorang pemuda yang bertubuh tegap, langkahnya seperti seekor Harrmau, dadanya bidang pinggangnya ramping. Wajah pemuda ini sederhana namun tampan dengan tatapan mata yang kadang mencorong kadang lembut sepertimata seekor rajawali.

   Rambutnya hitam tebal digelung keatas dan diikat dengan pita kuning. Dahinya lebar dan alis matanya berbentuk golok, hitam dan tebal, melindungi matanya yang tajam. Hidungnya mancung dan bibirnya selalu tersenyum seperti bayangan dari keadaan hati yang lapang: Dagunya agak berlekuk menunjukkan bahwa di balik keramahan senyumnya tersembunyi hati yang dapat mengeras, dan dagu itu menimbulkan kesan jantan kepadanya. Setelah jauh meninggalkan puncak Ki-lin-san, dan tiba di lereng pegunungan Kui-san, Tiong Li berhenti Dia menoleh memandang ke atas, ke puncak Ki-lin-san. Nampak awan menyelimuti puncak itu dan dia teringat akan kedua orang gurunya, penghela napas lalu memandang jauh ke bawah. Nampak Sungai Wu-kiang berkelak-kelok dan berlenggak-lenggok seperti seekor ular besar melalui tebing-tebing gunung.

   Dan jauh di kaki pegunungan itu nampak pedusunan dalam kelompok-kelompok kecil. Dia lalu menggunakan waktu selama lima belas tahun untuk mempelajari ilmu silat dan ilmu sastera. Dia bukan ahli sastera; sekedar dapat membaca dan menulis, dan sudah banyak kitab agama di bacanya. Mengenai ilmu silat, dia sudah mempelajari banyak macam iImu, dan di antaranya adalah ilmu-ilmu simpanan ke tiga orang gurunya. Dari Pek Hong San-jin dia mempelajari Hui-eng Kiamsut (ilmu Pedang Elang Terbang) dan Tai-lek Kim-kongjiu (Tenaga Besar Sinar Emas) yang mengandalkan sinkang yang kuat.? Kepandaian ilmu tangan kosong mengandalkan sinkang ini ditambah lagi oleh ilmu Jian-kin-lat (Tenaga Seribu Kati) yang dipelajarinya dari Tee Kui Lo-jin, bersama ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan-kun, merupakan ilmu silat berantai Lima Anasir yang lihai.

   Dari Thian Kui Lo-jin dia mempelajari ginkang atau ilmu meringankan tubuh yang disebut Jiauw-sang-hui (Terbang Atas Rumput) dan I-kiong-hoan-hi-at (Ilmu Memindahkan Jalan Darah). Dengan ilmu-ilmu itu maka kini Tiong Li, menjadi seorang pemuda yang sukar menemukan tandingan.! Ketika melihat ke bawah ini, Tiong Li melamun, teringat akan hal-hal yang telah lalu dan tak terasa lagi hatinya menjadi kosong dan trenyuh, merasa hidup seorang diri dan hampa. Cepat-Cepat tangan kirinya mengusap ke arah kedua matanya yang tiba-tiba menjadi basah air mata! Untung tidak ada Tee Kui Lo-jin di situ. Kalau gurunya yang gendut pendek itu melihatnya menangis, tentu guru itu akan tertawa terpingkal pingkal kemudian marah kepadanya. Bagi gurunya itu, pantang untuk menangis selama hidupnya. Tertawalah dan jangan sekali sekali menangis, begitu pesannya berulang kali.

   Duka timbul dari iba diri. Dan iba diri timbul kalau pikiran ini mengenang hal-haI yang lalu, mengenangkan segala kehilangan yang direnggut dari dirinya, atau kalau pikiran mengenangkan masa depan akan hal-hal yang tidak menyenangkan bagi dirinya. Begitu mengenangkan masa lalu, Tiong Li teringat akan ayahnya yang terbunuh mati, akan Pek Hong Sanjin yang juga terbunuh mati, kemudian dia membayangkan masa depannya yang dianggapnya kosong dan suram, tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, tidak mempunyai tempat tinggal, tidak memiliki apa-apa kecuali sebuntal pakaian sederhana! Masa lalunya muram, masa depannya suram! Lalu semua kenangan dan bayangan itu mendatang kan ibadiri, merasa diri paling sengsara di dunia ini dan setelah timbul iba diri, lalu muncullah duka.

   Berbahagialah orang karena lepas dari duka kalau dia tidak mengenangkan masa lalu dan tidak membayangkan masa depan. Kalau orang hanya menghadapi masa kini, saat ini, saat demi saat, apa adanya, wajar, maka kedukaanpun tidak akan pernah menyerang dirinya, Tentu saja waktu lalu boleh diingat, akan tetapi yang ada hubungannya dengan pekerjaan, demikian pula waktu yang akan datang boleh diperhitungkan untuk pekerjaan, akan tetapi kalau waktu lalu dan waktu mendatang itu dihubungkan dengan keadaan diri, maka hasilnya hanya akan mendatangkan rasa takut, dan rasa duka belaka. Tidak ada gunanya sama sekali. Tiong Li yang sedang termenung teringat akan pelajaran ini, maka wajahnya menjadi merah kembali. Lenyaplah segala kenangan masa lalu, hilanglah segala bayangan masa depan.

   Dan pemandangan di bawah lereng gunung nampak indah bukan main. Indah dan luas, terbentang luas di depan kakinya.! Dan semua kekhawatiran dan keresahan tadi yang mengganggu batinnya lenyaplah seketika dan dia bangkit, mengayun langkah dengan tegapnya seperti seekor harimau melangkah menuruni lereng itu. Yang dinamakan hidup ini adalah sekarang ini, saat demi saat, inilah hidup, sambung menyambung dari saat ke saat. Yang lalu itu sudah mati, tak perlu diingat kembali. Yang akan datang itu hanya lamunan, hanya khayal, tidak perlu dibayangkan. Saat ini, sekarang ini, harus bersih dan benar dan segalanya akan berjalan dengan baik. Saat demi saat waspada dan benar, waktu yang lain tidak perlu dipikir. Masa lalu hanya menimbulkan kesedihan belaka, dan dendam kebencian. Masa depan hanya mendatangkan rasa takut dan khawatir belaka.

   Akan tetapi kalau saat ini, yang kita hadapi saat demi saat, tidak ada rasa takut, tidak ada rasa sedih, yang ada hanyalah apa adanya. Kini dia sudah berada di kaki pegunungan Kui-san. Sudah mulai ada pedusunan. Ketika dia sudah melewati beberapa buah dusun dan tiba di tepi sebuah hutan, tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar itu berloncatan Iimabelas orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan Kokoh kuat. Wajah mereka bengis dan mereka adalah orang-orang yang, biasa memaksakan kehendaknya sendiri, gerombolan perampok yang tidak segan melakukan bentuk kekerasan apapun untuk memaksakan kehendak. Di antara lima belas orang itu terdapat kepalanya, seorang berusia empatpuluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok, matanya besar dan tangannya memegang sebatang golok besar yang mengkilap saking tajamnya.

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Mestika Golok Naga (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 04

   "Heii, berhenti!"

   Bentak kepala perampok ini sambil memandang dengan matanya yang besar menakutkan.

   "Siapa engkau, dari mana hendak ke mana?"

   Tiong Li bersikap tenang walaupun dia sudah pernah mendengar dari para gurunya bahwa sekarang banyak gerombolan perampok dan gerombolan yang menamakan dirinya pejuang akan tetapi tidak segan melakukan segala bentuk kekerasan untuk merampok. Sebutan pejuang hanya untuk kedok saja.

   "Namaku Tan Tiong Li, datang dari puncak gunung dan hendak turun gunung,"

   Jawabnya terus terang.

   "Bagus, tinggalkan buntalan dalam pikulanmu itu atau tinggalkan kepalamu. Pilih!"

   "Sobat, buntalan ini hanya terisi pakaian yang sederhana dan tidak ada harganya. Kutinggalkan tidak ada gunanya untuk kalian, maka tidak akan kutinggalkan,"

   Jawab Tiong Li tetap tenang, akan tetapi dia waspada karena orang-orang seperti ini tidak segan melakukan segala kecurangan pula.

   "Kalau begitu, tinggalkan kepalamu. Aku ingin meIihat engkau tidak berkepala lagi!"

   Kata kepala perampok itu dan empat belas orang anak buahnya menyeringai kejam. Agaknya mempermainkan nyawa orang bagi mereka merupakan hiburan dan kesenangan tersendiri.

   "Twako, biarkan aku memuntir putus leher orang ini!"

   Kata seorang anak buahnya yang bertubuh gendut sekali dan mukanya hitam seperti pantat ke wali. Setelah berkata demikian, dia sudah melangkah maju menghadapi Tiong Li,

   "Orang muda, serahkan kepalamu untuk kupuntir sampai putus!"

   Setelah berkata demikian, raksasa gendut itu lalu menerjang maju dengan kedua tangan dipentang seperti seekor biruang hendak menerjang, lalu tangan itu menangkap hendak mencengkeram kepala Tiong Li. Akan tetapi dengan tenang pemuda itu melangkah dua kali ke belakang, lalu kakinya mencuat dengan sebuah tendangan yang tepat mengenai perut yang gendut itu.

   "Bukk!"

   Raksasa itu terjengkang keras dan dia akan bangkit berdiri, namun jatuh terduduk kembali sambil mengelus dan menekan perutnya yang terasa nyeri bukan main, mulas melilit-lilit. Melihat si gendut ini roboh dengan sekali tendang saja, kawan-kawan nya menjadi marah dan mereka rnencabut golok, lalu menyerang Tiong Li kalang kabut. Juga kepala perampok tidak ketinggalan. Dia yang paling tangkas di antara teman-temannya sudah pula maju membacokkan goloknya kepada Tiong Li.

   Tiong Li menggunakan ilmu meringankan tubuh Jiauwsang-hui mengelak ke sana kemari dengan kecepatan yang luar biasa sehingga gerombolan perampok itu merasa seolah mereka menyerang sebuah bayangan saja yang berkelebaian ke sana sini. Setelah menurunkan buntalannya dan memegang tongkatnya, Tiong Li lalu menggerakkan tongkatnya, menyerang dengan totokan totokan dan seorang demi demi seorang kawanan perampok itu roboh bergulingan. Kepala perampok menyerang dengan pengerahan sepenuh tenaganya, akan terapi goloknva terlepas ketika Tiong Li menotok pergelangan tangannya, Kemudian, sebuah tendangan merobohkannya. Lima belas orang perampok itu roboh semua mengaduh-aduh dan tidak mampu bangkit kembali. Tiong Li melompat ke dekat kepala perampok dan menodongkan ranting kayu itu kearah lehernya.

   "Bagaimana, sobat? Apakah engkau masih ingin melanjutkan perkelahian ini?"

   Kepala perampok itu mengerti betul bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar yang lihai sekali, maka tanpa malu-malu dia lalu berlutut.

   "Ampunkan kami, Taihiap. Kami seperti buta, tidak melihat bukit Thai-san menjulang tinggi di depan mata dan berani mengganggu Taihap (pendekar besar)"

   "Kalian memang buta. Bukan karena menyerang aku, melainkan karena mengganggu rakyat jelata yang tidak berdosa. Kalian buta tidak melihat bahwa kalian merampoki sesama manusia yang sama sekali tidak bersalah. Apakah kalian begitu buta sehingga tidak melihat betapa rakyat jelata sudah amat menderita hidupnya? Sepatutnya orang gagah-gagah dan kuat-kuat seperti kalian ini membantu manusia lain yang sengsara, bukan malah mengganggu rakyat ang sudah cukup menderita. Dari pada menggunakan tenaga dan kekuatan kalian mengganggu rakyat tanpa mengenal prikemanusiaan, lebih baik kalau kalian membantu perjuangan para pendekar patriot yang hendak membela negara mengusir penjajah Bangsa Yu-cen."

   "Kami juga seringkali memasuki daerah Kerajaan Kin dan mengacau daerah musuh itu. Taihiap. Kami membunuhi banyak orang dan merampas harta milik mereka...!"

   Kepala perampok itu hendak memamerkan jasanya,

   "Itu bukan perjuangan namanya! Perjuangan tidak sama dengan merampok. Perjuangan berarti menentang pasukan musuh yang mengacau di daerah Kerajaan Sung, atau maju perang bertempur melawan pasukan musuh. Akan tetapi kalian hanya memasuki daerah kekuasaan lawan untuk merampoki rakyat pula. Apabedanya rakyat di sana dan rakyat di sini! Sama saja. Sebangsa dan mereka adalah orang-orang yang tidak berdosa. Orang-orang macam kalian ini sepantasnya dibasmi habis!"

   Tiong Li menggertak.

   "Ampun, Taihiap.

   "

   "Berjanjilah bahwa kalian akan bergabung dengan para pejuang dan tidak melakukan perampokan lagi, dan aku akan memaafkan kalian. Ketahuilah, kalau kalian berjuang dengan sungguh-sungguh membela rakyat, maka rakyat tentu akan dengan rela hati memberikan apa yang mereka miliki untuk kalian makan."

   "Saya berjanji, Taihiap."

   "Aku ingin kalian semua yang berjanji, tidak hanya engkau!"

   "Kami berjanji, Taihiap...!"

   Semua orang berseru.

   "Aku tidak memaksa kalian. Kalau kalian sudah berjanji, lakukanlah dengan sungguh-sungguh, penuhi janji itu. Akan tetapi kalau kalian tidak suka, boleh bangkit dan melawan aku sampai mati!"

   "Kami tidak berani Taihiap. Kami berjanji..."

   "Nah, baiklah, aku melepaskan kalian. Akan tetapi ingat, aku akan selalu mengamati dan kalau sekali saja aku melihat kalian masih melakukan perampokan, aku pasti akan membasmi kalian."

   "Terima kasih, Taihiap!"

   Lima belas orang itu memberi hormat sambil berlutut, akan tetapi ketika mereka mengangkat muka, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ seperti menghilang saja. Pengalaman itu membuat mereka jera dan ketakutan dan mereka benar benar mencari kelompok pejuang untuk menggabungkan diri.! Setelah pengalaman itu, Tiong Li merasa bergembira. Kini dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh gurugurunya.

   Memang dia dapat mempergunakan kepandaiannya untuk kebaikan dan dia akan terus melakukannya. Di sepanjang perjalanannya, setiap kali bertemu gerombolan perampok, tentu dia menundukkan mereka dan membujuk mereka untuk bertaubat. Dan kalau ada hartawan atau bangsawan bertindak sewenang-wenang, diapun lalu turun tangan menghajar mereka dan membujuk mereka untuk mengubah sikap dan watak mereka yang tidak benar. Tiong Li menuju ke Kota Raja. Di sepanjang perjalanan dia tidak kekurangan bekal karena orang-orang yang ditolongnya tidak segan memberinya bekal dan pakaian, melihat betapa pendekar ini tidak memiliki apa-apa. Dan pemberian yang dilakukan dengan rela itupun tidak ditolak oleh Tiong Li kal rena dia memang membutuhkan bekal untuk biaya perjalanannya.

   Dia pantang untuk melakukan pencurian apa lagi perampasan barang milik orang lain, juga dia tidak sampai hati untuk mengemis. Pada suatu pagi, ketika tiba di sebelah utara Kota Raja, di dekat sebuah hutan, dia melihat dua orang wanita sedang dikeroyok oleh sepasukan orang yang dipimpin oleh seorang raksasa hitam yang membuat jantungnya berdebar tegang karena dia mengenal raksasa hitam itu sebagai Si Golok Naga, orang yang telah membunuh ayahnya dan membunuh pula gurunya yang pertama, Pek Hong San-jin! Orang yang telah membunuh empat prang tokoh partai besar, pencuri Mestika Golok Naga dari istana. Siapakah dua orang wanita itu? Bukan lain adalah Ban-Tok Sian-Li dan The Siang Hwi! Seperti diceritakan di bagian depan, kedua orang guru dan murid ini telah menyusup keluar dari pintu gerbang Kota Raja dengan menyamar sebagai pengemis.

   Setelah berhasil lolos dari pintu gerbang, sampai di tempat sunyi mereka menanggalkan penyamaran mereka dan berpisah dari para pengemis lain, melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda dari belakang. Karena mereka telah tiba jauh dari pintu gerbang Kota Raja, kedua wanita itu tidak merasa gentar lagi. Kalau mereka harus melawan musuh di Kota Raja, sungguh berbahaya karena selain mereka terkurung tidak mampu keluar, juga di Kota Raja banyak terdapat pasukan keamanan. Berbeda kalau berada di luar Kota Raja, tentu saja mereka tidak takut kalau hanya menghadapi belasan orang pengawal. Mereka berhenti di tepi jalan dan ternyata yang mengejar mereka adalab pasukan pengawal pilihan yang dipimpil sendiri oleh Hak Bu Cu!

   "Itu mereka! Kepung!"

   "Bunuh!"

   "Tangkap!"

   Belasan orang pengawal itu berloncatan turun dari kuda mereka dan dengan senjata di tangan mereka mengepung. Diam-diam Ban-Tok Sian-Li merasa kaget juga. Lagi-lagi si raksasa hitam yang muncul di situ, dan raksasa hitam itu telah menghunus goloknya yang hebat, yaitu Mestika Golok Naga. Ban-Tok Sian-Li merasa heran bukan main. Mestika Golok Naga adalah pusaka yang dicuri orang dari gudang pusaka kerajaan,kenapa sekarang berada di tangan seorang perwira pengawal? Akan tetapi ia tidak sempat berpikir terlampau jauh karena raksasa hitam itu sudah menerjangnya sambil membentak marah,

   "Pemberontak, engkau hendak lari kemana?"

   Golok itu menyambar dahsyat dan Ban-Tok Sian-Li cepat mengelak lalu membalas dengan pedangnya, dari bawah menusuk ke arah perut raksasa itu. Namun, Hak Bu Cu biarpun tinggi besar ternyata memiliki gerakan yang gesit juga karena begitu perutnya ditusuk, dia sudah dapat menghindar sambil mengelebatkan goloknya menangkis.

   "Trangggg!"

   Bunga api berpijar ketika pedang bertemu golok dan ke dua orang ini sudah saling serang dengan sengitnya. Dan sebentar saja lima orang pengawal sudah membantu si raksasa hitam mengeroyok Ban-Tok Sian-Li. Wanita ini baru saja sembuh dari luka di pahanya. Memang sudah tidak nyeri, akan tetapi kini dipakai bertanding, mengerahkan tenaga maka pahanya terasa pula agak nyeri karena memang belum pulih benar. Namun dengan gigih wanita itu membela diri dan dengan cepat balas menyerang para pengeroyoknya, seperti seekor harimau yang dikeroyok segerombolan srigala. Sementara itu, Siang Hwi juga dikeroyok sepuluh orang pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi karena mereka yang diajak melakukan pengejaran oleh Hak Bu Cu memang merupakan pengawal-pengawal pilihan.

   Siang Hwi juga mengamuk seperti gurunya namun betapapun lihai gadis ini, para pengeroyoknya berjumlah banyak dan juga tangguh, maka tak lama kemudian iapun terdesak hebat. Untung bagi Siang Hwi bahwa para pengawal itu sudah mendapat perintah Jin Kiat agar menangkap hidup-hidup gadis itu, maka penyerangan mereka hanya untuk mendesak dan mencari kesempatan untuk merobohkannya tanpa melukai berat. Dengah demikian, Sian Hwi masih dapat melawan dengan gigihnya. Biarpun demikian, guru dan murid ini sudah terdesak dan agaknya tak lama lagi mereka tentu akan kalah. Dalam keadaan yang terancam bahaya itulah muncul Tiong Li. Pemuda ini mengenal si raksasa hitam, dan setelah dia mengamati penuh perhatian, dia mengenal pula Ban-Tok Sian-Li,

   Apa lagi Siang Hwi, gadis yang pernah menyelamatkannya dari ancaman tangan Ban-Tok Sian-Li yang hendak membunuhnya. Tidak sukar bagi Tiong Li untuk mengambil keputusan pihak mana yang harus dibantunya. Dan melihat betapa yang paling lihai di antara lawan kedua orang wanita itu adalah si raksasa hitam, dia melepaskan buntalan pakaiannya di atas tanah dan sambil memegang ranting di tangannya, dia meloncat dan berjungkir balik, tahu-tahu telah berhadapan dengan Hak Bu Cu sambil menotok dengan rantingnya ke arah siku kanan raksasa itu. Biarpun yang dipergunakan hanya ranting, akan tetapi mengeluarkan suara bersiutan dan mendatangkan angin pukulan yang amat kuat dan cepat sehingga amat mengejutkan Hak Bu Cu yang segera melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan lengannya dari totokan.

   "Bibi, harap membantu adik Siang Hwi dan serahkan raksasa hitam ini kepadaku,"

   Kata Tiong Li yang lalu mengerahkan rantingnya menyerang lagi.

   Serangannya amat cepat sehingga tidak memberi kesempatan bagi Hak Bu Cu untuk lebih dulu menyerang. Dia berusaha membacok dengan goloknya untuk menangkis dan sekaligus mematahkan ranting itu, akan tetapi ranting itu terlalu cepat gerakannya sehingga tidak pernah tersentuh golok. Sementara itu, melihat munculnya seorang pemuda yang lihai menghadapi si raksasa hitam, dan melihat betapa muridnya memang terdesak, Ban-Tok Sian-Li lalu meloncat dan membantu muridnya. Lima orang pengawal yang tadi membantu Hak Bu Cu mengeroyok wanita itu, kinipun mengejar dan dua orang guru dan murid itu kini dikeroyok lima belas orang pengawal. Hak Bu Cu melintangkan pedangnya dan membentak,

   "Tahan!"

   Mendengar ini, Tiong Li menghentikan gerakannya dan berdiri menghadapi musuh besar itu sam bil memandang tajam.

   "Orang muda, siapakah engkau? Tidak tahukah engkau bahwa dua orang wanita ini adalah pemberontak? Kami menerima tugas dari Perdana Menteri Jin Kun untuk menangkap pemberontak, dan engkau berani membantu pemberontak? minggirlah dan jangan mencampuri kalau engkau tidak ingin dianggap pemberontak pula!"

   "Aku bernama Tan Tiong Li dan aku bukan pemberontak, juga dua orang wanita ini bukan pemberontak. Akan tetapi engkaulah yang pemberontak dan pengacau. Engkau mencuri Mestika Golok Naga dan engkau membunuhi empat orang tokoh partai besar, membunuh pula ayahku, dan membunuh Pek Hong Sanjin!"

   Hak Bu Cu terbelalak dan memandang penuh perhatian.

   "Ahh... kiranya engkau bocah keparat itu...!"

   Dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menyerang dengan goloknya. Melihat golok ini, Tiong Li menjadi girang.

   Inilah golok pusaka yang dicuri itu. Dia harus mendapatkannya dan mengembalikan nya kepada Kaisar. Hak Bu Cu merasa penasaran sekali. Jarang ada orang mampu menandinginya. Akan tetapi pemuda ini, walaupun hanya bersenjatakan ranting, akan tetapi memiliki gerakan yang demikian cepat dan ilmu silat yang aneh. Tubuhnya berkelebatan seperti bayangan saja sehingga matanya menjadi berkunang dibuatnya. Juga ranting itu demikian berbahaya, mengancam jalan darahnya dengan totokan bahkan beberapa kali mengancam matanya. Biarpun di dalam hatlnya Tiong Li mendendam kepada si raksasa ini kalau teringat akan kematian ayah kandungnya dan guru pertamanya, akan tetapi kesadarannya selalu membuatnya ingat bahwa dia tidak boleh sembarangan membunuh orang. Maka, diapun hanya mengirirn serangan untuk menundukkannya saja, mero bohkan tanpa niat membunuhnya.!

   Sementara itu, guru dan murid itu mengamuk dan setelah Siang Hwi dibantu gurunya, dalam waktu sabentar saja ia dan gurunya sudah merobohkan dan membunuh lima orang pengawal! Yang sepuluh orang menjadi jerih, apalagi setelah mereka melihat betapa pemimpin mereka juga kewalahan menghadapl pemuda yang memainkan ranting demikian hebatnya! Maka mereka hanya mengepung sambil menjaga jarak, tidak berani mendesak seperti tadi dan kini kedua orang wanita itulah yang menghujankan serangan. Kembali tiga orang pengawal terjungkal dan yang lain berlompatan mundur. Suatu ketika, Tiong Li menyerang dengan kecepatan kilat dan rantingnya kini dengan tepat mengenai pergelangan tangan kanan Hak Bu Cu, membuat raksasa itu berteriak kaget karena seketika tangan kanannya menjadi lumpuh dan dengan sendirinya golok itupun terlepas dari pegangannya.

   Sebelum golok itu jatuh ke atas tanah, Tiong Li sudah menyambar dengan tangan kirinya dan golok itu berada di tangannya. Ketika melihat ini, Hak Bu Cu menubruk kedepan untuk merampas kembali goloknya menggunakan tangan kirinya, akan tetapi dia disambut sebuah tendangan berputar yang amat keras, membuat tubuhnya terlempar. Malang baginya, tubuhnya yang tertendang itu terjatuh ke dekat Ban-Tok Sian-Li. Melihat si raksasa hitam itu jatuh ke dekat kakinya, secepat kilat pedang Ban-Tok Sian-Li bergerak menyambar dan... terpenggallah kepala raksasa hitam itu. Darah menyembur keluar dan kepala itu terpisah jauh dari badannya. Melihat ini, tujuh orang pengawal menjadi terkejut dan mereka segera melarikan diri, meloncat ke punggung kuda dan kabur dengan ketakutan.!

   "Mereka akan datang membawa bala bantuan, kita harus cepat pergi dari slnil"

   Kata The Siang Hwi sambil melompat dan lari, diikuti gurunya dan juga Tiong Li. Setelah berlari jauh, barulah mereka berbenti dan Siang Hwi memandang kepada pemuda itu, lalu tersenyum.

   "Tiong Li...!"

   Katanya lirih.

   "Siang Hwi, akhirnya kita dapat saling berjumpa juga,"

   Kata pula Tiong Li sambil tersenyum dan memberi hormat kepada Ban-Tok Sian-Li.

   "Sian-Li, saya harap Sian-Li baik baik saja,"

   Katanya. Ban-Tok Sian-Li mengerutkan alisnya. la sudah lupa kepada Tiong Li dan bertanya,

   "Hemm, siapakah engkau?"

   "Su-bo, apakah Subo sudah lupa? Dia Tan Tiong Li, murid dari Pek Hon San-jin yang meninggal dunia ketika kita berkunjung ke Pek-hong-san dahulu itu."

   "Ahhhh... engkau kah anak muda itu? Akan tetapi..."

   La tidak melanjutkan kata-katanya karena merasa terheran-heran. Kepandaian pemuda itu dulu tidaktah terlalu hebat, akan tetapi sekarang, ia menyaksikan sendiri betapa pemuda itu mengalahkan si raksasa hitam hanya dengan menggunakan sebatang ranting! Dan ia melihat betapa golok milik raksasa hitam itu kini berada di tangan kiri pemuda itu.

   "Engkau merampas golok raksasa itu?"

   Tanyanya sambil memandang golok itu penuh perhatian.

   "Ini adalah Mestika Golok Naga yang dicurinya dari gudang perpustakaan istana."

   "Kenapa engkau merampasnya?"

   "Untuk saya kembalikan kepada Kaisar tentu.saja,"

   Kata Tiong Li. Ban-Tok Sian-Li tersenyum mengejek.

   "Dan menerima hukuman berat dari Kaisar? Golok itu palsu!"

   "Ehh...?"

   Tiong Li terkejut mendengar ucapan Ban-Tok Sian-Li itu.

   "Kalau Mestika Golok Naga yang aseli, engkau tidak akan mampu mematahkannya. Akan tetapi coba kaupatahkan golok itu!"

   Kata pula wanita yang berpengalaman itu. Tiong Li tidak percaya, lalu menggunakan kedua tangan untuk mematahkan golok itu.

   "Krekkk!"

   Golok itu patah menjadi dua potong dengan mudahnya. Tiong Li terbelalak, dan memandang kepada Ban-Tok Sian-Li.

   "Sian-Li, bagaimana Sian-Li dapat mengetahui bahwa golok itu palsu?"

   "Mudah saja. Kalau Mestika Golok Naga yang aseli, tentu tadi pedangku sudah patah-patah kalau bertemu dengan pusaka itu. Akan tetapi, pedangku sama sekali tidak patah, gempilpun tidak. Itu berarti bahwa golok itu palsu adanya."

   Tiong Li membuang gagang golok itu.

   "Sungguh aneh. Dia sendiri mengaku mencuri golok pusaka dan bahkan membunuh empat orang tokoh partai besar, kemudian membunuh ayahku dan membunuh pula suhu Pek Hong San-jin untuk menyembunyikan rahasianya. Dan sekarang golok yang dipegangnya itu palsu! Aneh!"

   "Kenapa aneh, Tiong Li? Kurasa dia ada yang mengutus, dan kalau benar dugaanku dia ada yang mengutus, maka golok aselinya tentu berada di tangan yang mengutusnya itu,"

   Kata Siang Hwi sambil memandang kepada pemuda itu penuh kagum. Sejak pertama kali bertemu dulu, Siang Hwi memang sudah suka sekali kepada Tiong Li sehingga dibujuknya gurunya agar tidak membunuh pemuda itu. Kini ia melihat Tiong Li sudah menjadi seorang pemuda dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Siang Hwi menjadi kagum bukan main. Tiong Li juga memandang gadis itu dengan kagum. Kini Siang Hwi telah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, dan sinar matanya masih seperti dulu, lembut akan tetapi tajam sekali. Dan melihat ketika gadis itu tadi menghadapi para pengeroyoknya, dia maklum bahwa Siang Hwi memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tangguh.

   "Aku akan mencari pengutusnya sampai kudapatkan golok pusaka itu!"

   Kata Ban-Tok Sian-Li.

   "Aih, Subo. Golok itu menjadi milik negara, kalau kita dapat menemukannya harus dikembalikan kepada kaisar."

   "Ah, engkau tahu apa! Kaisar amat lemah, lebih baik golok itu dipergunakai untuk membantu perjuangan! Mari kita pergi!"

   Wanita itu yang bagaimanapun merasa tidak enak dan tidak suka karena ia merasa kalah lihai oleh pemuda itu, sudah berkelebat pergi.

   
Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Tiong Li, aku harus pergi mengikuti Subo,"

   Kata Siang Hwi sambil memandang kepada pemuda itu dengan menyesal

   "Siang Hwi, pertemuan kita singkat sekali. Sebetulnya aku ingin banyak bercakap-cakap denganmu. Kapan kita dapat bertemu kembali? Aku tidak pernah melupakan engkau yang telah menyelamatkan nyawaku."

   Siang Hwi tersenyum manis.

   "Kenapa engkau masih bicara begitu? Soal menyelamatkan nyawa, kalau tadi engkau tidak muncul, kukira aku dan Subo akan tewas di tangan mereka. Karena itu, tidak ada hutang budi lagi di antara kita. Kalau memang berjodoh, tentu kelak kita akan dapat bertemu kembali."

   Tiba tiba wajah gadis itu berubah merah sekali karena ia sudah terlanjur bicara tentang berjodoh, pada hal tentu saja yang ia maksudkan berjodoh untuk bertemu kembali, akan tetapi dapat disalah artikan.

   "Sudahlah, Tiong Li. Aku khawatir Subo nanti marah. Selamat tinggal, Tiong Li. Aku kagum kepadamu yang kini telah menjadi seorang pendekar yang amat lihai."

   "Selamat jalan, Siang Hwi, dan ingat, kita pasti akan dapat saling ber jumpa kembali dan dapat bercakap-cakap lebih lama lagi."

   Gadis itu melambaikan tangan lalu berkelebat pergi. Sampai lama Tiong Li berdiri termenung. Dia harus mengakui dalam hatinya bahwa dia amat tertarik kepada Siang Hwi dan merasa amat suka kepada gadis murid datuk wanita itu.

   Entah mengapa, begitu bertemu kembali dengan gadis itu, dia merasa ada kebahagiaan yang aneh menyelinap di dalam hatinya dan kini setelah berpisah, dia merasa kehilangan dan kesepian. Cinta asmara memang ajaib. Merasa bahagia kalau bersanding, merasa tersiksa kalau berpisah. Ingin memiliki dan dimiliki, ingin menyenangkan dan di senangkan, ingin memanjakan dan dimanjakan. Ada rasa belas kasihan, ada rasa sayang yang mendalam dan kalau semua keinginan itu terpenuhi, hati penuh dengan kebahagiaan yang mendalam. Namun, cinta itu pula yang dapat mendatangkan derita dan siksa. Kalau cinta tidak terbalas, kalau cinta dikhianati, kalau cinta berubah menjadi bosan. Maka cinta dapat berubah menjadi benci! Dan semua ini adalah ulah nafsu. Nafsu bertujuan satu, yakni ingin senang sendiri.

   Cinta nafsu selalu menghendaki dirinya senang, maka cinta seperti ini membutuhkan balasan cinta, kalau tidak, cintanya akan berubah menjadi kebencian. Dapatkah seseorang mencinta, kalau yang dicinta itu tidak membalas cintanya dan malah mencinta orang lain? Dapatkah seseorang mencinta kalau yang dicinta itu tidak menghiraukannya, bahkan mencibir dan menghinanya? Cinta yang bergelimang nafsu selalu menghendaki imbalan, jadi cintanya hanya merupakan cara untuk mendapatkan sesuatu. Jelas, bahwa cinta seperti ini adalah cinta nafsu. Akan tetapi kita manusia tidak dapat melepaskan diri dari nafsu yang memang diikut sertakan dalam diri setiap orang manusia. Kalau kita mencinta seseorang, maka nafsu mendorong kita menuntut sesuatu yang menyenangkan dari orang yang kita cinta itu, baik yang kita cinta itu kekasih, isteri, anak, sahabat atau siapapun juga.

   Kemanakah, larinya cinta kita kalau isteri kita menyeleweng dengan orang lain? Ke manakah perginya cinta kita kalau anak kita durhaka dan tidak berbakti kepada kita. Atau kalau seorang sahabat mengkhianati dan merugikan kita? Tidak, kita tidak dapat mencinta tanpa pamrih, tidak dapat mencinta demi cinta itu sendiri. Bahkan bagi kebanyakan dari kita, cinta kita terhadap Tuhan sekalipun mengandung harapan-harapan dan imbalan. Lemas rasanya kedua kaki Tiong Li ketika akhirnya dia meninggalkan tempat itu dan entah bagaimana, kakinya membawanya kembali ke Kota Raja! Dia ingin melihat Kota Raja, sebuah kota yang kabarnya indah dan ramai. Tewasnya Hak Bu Cu tentu saja amat mengejutkan hati Perdana Menteri Jin Kui. Dia segera mengadakan perundingan dengan para pembantunya, dan juga puteranya.

   Di dalam ruangan rahasia di bagian belakang gedung Perdana Menteri itu, berkumpullah mereka. Yang pertama adalah Perdana Menteri Jin Kui, berusia lima puluh tahun lebih, sorang pembesar dengan pakaian mewah tubuhnya sedang saja, akan tetapi matanya yang sipit itu melirak-lirik dengan cara yang menunjukkan bahwa di memiliki watak yang cerdik dan licik sekali. Mulutnya juga selalu tersenyum mengejek dan angkuh. Orang seperti ini pandai sekali menjilat-jilat atasan dan menghina dan menghimpit bawahan, dan kalau menjadi musuh amatlah berbahaya karena hatinya kejam dan banyak tipu muslihatnya. Dia duduk di kepala meja, dihadap oleh empat orang. Yang pertama, duduk di sebelah kanannya adalah puteranya yang bernama Jin Kiat. Wajah pemuda berusia duapuluh lima tahun ini cukup tampan, akan tetapi juga bentuk wajahnya membayangkan kelicikan dan kecurangan.

   Terutama sekali pada matanya yang bergerak-gerak lincah itu. Hidungnya juga melengkung seperti hidung kakaktua dan suaranya meninggi seperti suara wanita. Dia terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang, akan tetapi juga cerdik sekali dan selain ahli sastera juga ahli dalam hal ilmu silat, menjadi kebanggaan ayahnya. Orang ke dua adalah seorang berpakaian pendeta. Dia seorang Tosu bernama Kui To Cin-jin, masih guru dari Jin Kiat karena Tosu ini lah yang mengajarkan ilmu silat tinggi kepada Jin Kiat. Selain sebagai guru pemuda itu, juga Kui To Cin-jin bertugas sebagai penasihat Perdana Menteri karena Tosu yang berusia lima puluh lima tahun ini memiliki pandangan yang luas. Kui To Cin-jin bertubuh kurus, tinggi dan wajahnya yang seperti wajah tikus itu memiliki jenggot yang panjang sampai ke dada, namun jarang dan tipis.

   Orang ke tiga berpakaian seperti ahli silat dan dia bernama Ciang Sun Hok, menjadi jagoan dan tugasnya sebagai pengawal pribadi Perdana Menteri. Karena dia mengawal secara rahasia maka dia mengenakan pakaian biasa, tidak berpakaian sebagai perwira atau perajurit. Tubuhnya tinggi tegap dan dari pembawaannya jelas menunjukkan bahwa dia seorang yang kuat dan bertenaga besar di samping ilmu silatnya yang tinggi. Ciang Sun Hok yang berusia empatpuluh lima tahun ini adalah seorang peranakan Khitan yang sejak muda sudah menghambakan diri kepada Perdana Menteri Jin Kui maka dipercaya penuh oleh pajabat tinggi itu. Adapun orang ke empat adalah seorang panglima berpakaian mewah, bernama Ma Kiu It, berusia empatpuluh tahun dan juga dia bertubuh tinggi tegap sehingga nampak gagah dalam pakaian panglima.

   Dialah panglima pasukan pengawal Perdana Menteri Jin Kui. Tiga orang pembantu dan puteranya inilah merupakan orang-orang yang dipercaya oleh Perdana Menteri Jin Kui di samping Hak Bu Cu, pembantu yang datang dari utara itu. Atas bujukan Perdana Menteri Jin Kui inilah maka Kaisar bersikap lunak dan suka mengadakan perdamaian dan mengalah terhadap Bangsa Yu-cen atau Kerajaan Cin (Kin). Hal ini sebetulnya tidak aneh kalau orang mengetahui asal usul Jin Kui yang penuh rahasia. Ketika ibu kandung Jin Kui masih seorang gadis, diam-diam ia mempunyai hubungan gelap dengan seorang pelayan keluarganya. Pelayan ini adalah Bangsa Yu-cen. Dari Hubungan ini gadis itu mengandung dan melihat ini, orang tuanya marah kepada pelayan itu dan diam-diam si pelayan dibunuh dan gadis itu dinikahkan dengan seorang Bangsa Han yang bermarga Jin.

   Setelah Jin Kui agak besar, Ibu kandungnya yang memberitahu kepadanya akan rahasia itu, bahwa ayah kandungnya sesungguhnya seorang berbangsa Yu-cen yang sudah meninggal dunia. Demikianlah rahasia itu. Jin Kui menyadari sepenuhnya bahwa dia keturunan Yu cen dan biarpun dia sendiri merahasiakan hal ini, ketika dia menduduki jabatan sampai menjadi Perdana Menteri, melihat gerakan Bangsa Yu-cen tentu saja diam-diam diapun bersimpati. Inilah yang menyebabkan dia mati-matian berusaha agar kaisar berdamai dengan bangsa Yu-cen, apa lagi karena Kerajaan Kin banyak mengirim hadiah kepadanya dan sudah lama mengadakan persekongkolan dengannya. Ketika mendengar berita bahwa Hak Bu Cu tewas di tangan dua orang wanita pemberontak itu, tentu saja Jin Kuil menjadi terkejut sekali dan segera dia mengadakan perundingan dengan empat orang itu.

   "Celaka sekali!"

   Jin Kui menggebrak meja.

   "Hak Bu Cu tewas. Kalau Panglima Wu Chu mendengar akan hal ini, tentu dia merasa menyesal dan marah sekali. Jian Kiat, bagaimana engkau sekali ini tidak menyertai dia pergi sehingga dapat membantunya?"

   "Ketika ayah menerima berita rahasia itu bahwa dua orang pemberontak wanita menyamar sebagai pengemis lolos dari pintu gerbang utara, ayah mengutus Hak Bu Cu membawa pasukan istimewa melakukan pengejaran dan ketika itu saya tidak tahu,"

   Bantah Jin Kiat yang tidak mau dipersalahkan.

   "Ma-Ciangkun, panggil seorang di antara tujuh pengawai yang selamat itu ke sini. Aku ingin mendengar sendikit keterangan darinya."

   "Baik, Taijin."

   Ma Kiu It segera keluar dan tak lama kemudian dia datang lagi bersama seorang perajurit pe ngawal yang kelihatan ketakutan. Setelah perajurit pengawai itu berlutut di depan Jin Kui, Perdana Menteri Jin Kui berkata dengan ketus.

   "Ceritakan bagaimana matinya Hak Bu Cu.dengan jelas!"

   "Begini, Taijin. Kami llmabelas orang pengawai bersama Hak-slcu telah berhasil mengejar dua orang wanita pemberontak itu. Hak-Sicu dibantu lima orang pengawal lalu menyerang yang tua sedangkan sepuluh orang pengawal menyerang yang muda dan sesuai dengan kinginan Yin-kongcu kami berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup."

   Jin Kui mengerling dengan matanya yang sipit kepada puteranya.

   "Hem, yang kau pikirkan hanya wanita saja!"

   "Ayah, saya memang menyuruh menangkapnya hidup-hidup agar ia dapat menceritakan di mana adanya kawan-kawannya!"

   Bantah Jin Kiat dengan cerdik.

   "Lanjutkan!"

   Perintah Jin Kui kepada pengawal itu.

   "Sebetulnya kami sudah mulai mendesak dua orang wanita itu dan hanya tinggal menanti saatnya saja kami dapat menangkap dan merobohkan mereka. Akan tetapi muncul seorang pemuda yang membantu mereka. Pemuda itu yang menghadapi Hak-Sicu sedangkan dua orang wanita itu mengamuk dan melawan kami lima belas orang pengawal. Tanpa bantuan Hak-Sicu, kami kewalahan dan delapan orang dari kami tewas oleh dua orang wanita itu. Kemudian kami melihat Hak Bu Cu terlempar dan jatuh dekat wanita yang lebih tua itu dan wanita itu lalu membunuhnya. Kami tujuh orang lalu melarikan diri."

   "Hemm, siapa pemuda itu?"

   "Kami semua tidak mengenalnya, Taijin. Dia melawan Hak-Sicu menggunakan sebatang ranting."

   "Sebatang ranting? Melawan Hak Bu Cu yang bersenjata golok?"

   Seru Kui To Cin-jin sambil mengelus jenggotnya.

   "Benar, Totiang. Pemuda itu lihai sekali dan gerakannya begitu cepat hingga nampak bayangannya saja."

   "Seperti apa macamnya pemuda itu? Apa engkau akan dapat mengenalnya kalau bertemu dengan dia?"

   Tanya Jin Kui.

   "Kami bertujuh tidak dapat melihatnya dengan jelas, Taijin. Selain sibuk diamuk oleh dua orang wanita itu, juga gerakan pemuda itu begitu cepat sehingga yang nampak hanya bayangannya saja."

   "Bodoh! Sialan. Sudah, engkau boleh pergi!"

   Bentak Jin Kui Sambil menggebrak meja. Pengawal itu dengan lega hati cepat-cepat meninggalkan tempat itu setelah memberi hormat. Dia merasa beruntung sekali hanya dibentak, tidak dihukum. Setelah pengawal itu pergi lima orang itu melanjutkan perundingan mereka.

   "Sekarang, bagaimana baiknya? Yang terutama sekali dihadapi adalah Panglima Wu Chu dari Kerajaan Kin. Bagaimana untuk menerangkan kepadanya bahwa pembantunya itu tewas di sini?"

   Semua orang berdiam, memikir dan mencari jalan keluarnya.

   "Tidak ada jalan lain,"

   Akhirnya Kui To Cin-jin mengemukakan pendapatnya.

   "Kecuali menerangkan duduknya perkara yang sebenarnya, yaitu bahwa Hak-Sicu tewas oleh pemberontak yang lihai. Tinggal mencari jalan untuk menghibur hatinya dan membuatnya berkurang kemarahannya."

   "Bagaimana kalau mengirim barang berharga untuk mendinginkan hatinya?"

   Usul Panglima Ma Kiu It.

   "Hmmm, kurasa itu tidak akan cukup. Selain Panglima Wu Chu sendiri kaya raya, juga Hak Bu Cu adalah pembantu utamanya yang amat disayang. Harus ada cara lain untuk menyenangkan hatinya,"

   Kata Perdana Menteri itu.

   "Ahh, aku tahu caranya!"

   Tiba-tiba Jin Kiat berseru dengan girang.

   "Ayah ingat ketika dia pernah berkunjung ke sini sebagai utusan Raja Kin? Ayah mewakili kaisar menjamunya di Istana dan aku yang duduk di sebelahnya melihat bahwa dia terpesona sekali ketika melihat tarian puteri Sung Hiang Bwee. Matanya melotot sampai akan keluar dari rongganya dan berulang kali dia menelan ludah dan bertanya kepadaku tentang puteri itu. Ketika aku memberitahu bahwa Sung Hiang Bwee itu puteri kaisar dari seorang selir, dia nampak kecewa dan menyesal sekali, berulang kali mengatakan sayang. Aku tahu benar bahwa dia tergila-gila kepada puteri itu!"

   "Kalau sudah begitu, mengapa?"

   Ayahnya mendesak.

   "Kalau kita dapat menyerahkan Hiang Bwee kepada Panglima Wu Chu tentu kemarahannya akan hilang. Baginya tentu Hiang Bwee cukup berharga untuk menggantikan nyawa Hak Bu Cu,"

   Kata Jin Kiat dengan cerdik.

   "Hemm, apa engkau sudah gila? la puteri kaisar! Bagaimana mungkin menyerahkannya kepada Panglima Wu Chu?"

   "Hanya puteri selir, ayah. Kalau kita dapat menculiknya tanpa ada yang tahu dan mengirimnya ke utara, tentu tidak akan ada yang mengetahui dan kaisar sama sekali tidak akan menyangka kita yang melakukan hal itu."

   Jin Kui mengelus jenggotnya, matanya yang sipit nampak seperti terpejam dan dia mulai menganggukangguk, senyum di bibirnya semakin mengejek.

   "Hemm, benar juga, akal itu boleh dikerjakan. Akan tetapi yang mengerjakan haruslah seorang ahli, tidak boleh sama Sekali sampai ketahuan orang,"

   Dia mengelus jenggotnya dan memandang kepada empat orang itu dengan matanya yang sipit,

   "Lalu siapa kira-kira yang dapat melakukan penculikan itu tanpa diketahui orang?"

   "Ayah, siapa lagi yang lebih tepat untuk melakukannya kecuali Panglima Ciang Sun Hok? Dia adalah bekas jagoan istana yang sudah hafal benar akan keadaan di istana. Kalau dia yang melakukannya, aku tanggung akan berhasil dengan baik."

   Ciang Sun Hok nampak agak gelisah ketika mendengar ucapan pemuda itu, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah karena memang ia dahulunya merupakan jagoan istana dan dimasukkan ke sana juga atas bantuan Perdana Menteri yang kemudian menariknya menjadi pengawal pribadinya sendiri.

   "Bagus, apakah engkau sanggup melakukannya, Ciang Sun Hok?"

   Tanya Jin Kui kepada pengawal pribadinya itu.

   "Semua perintah Taijin akan saya taati. Akan tetapi yang menjadi persoalan bukanlah menculik puteri itu. Hal itu memang mudah saja dilakukan. Akan tetapi persoalannya adalah, bagaimana membawanya keluar dari Kota Raja tanpa diketahui orang?"

   "Itu mudah diatur,"

   Kata Perdana Menteri Jin Kui.

   "Setelah berhasil menculiknya keluar istana, sembunyikan dalam rumah penginapan An-Iok. Kemudian, pada keesokan paginya aku akan mengirim para selir pergi keluar kota mengunjungi kuiI itu dan kesempatan itu kau pergunakan untuk menyelundupkan puteri itu ke dalam kereta sehingga ia dapat dibawa keluar Kota Raja tanpa banyak kesulitan."

   "Bagus, itu bagus sekali, ayah! Setelah tiba di luar kota, biar aku sendiri yang memimpin pasukan untuk mengantarnya dengan kereta ke utara."

   "Jangan engkau, Jin Kiat. Kalau sampai ketahuan bahwa kita yang mengatur penculikan, kaisar tentu tidak akan mengampuni kita. Biar Ciang Sun Hok saja yang melakukan tugas Itu."

   "Baik, Taijin. Akan saya laksanakan semua perintah Taijin."

   Perundingan untuk mengatur siasat dilanjutkan sampai jauh malam dan akhirnya mereka bubaran, masing-masing mempersiapkan diri untuk rencana itu. Sung Hiang Bwee adalah puteri kaisar dari selir yang ke empat. Seorang gadis berusia delapanbelas tahun yang cantik jelita seperti bidadari dan sejak kecil puteri ini telah mempelajari segala macam kesenian, terutama sekali seni tari. Demikian indah dan pandainya ia menari sehingga setiap kali kaisar menyambut datangnya tamu agung sang puteri menerima perintah Ayahnya untuk memperlihatkan kemahirannya menari. Karena ia seorang puteri, tentu saja martabatnya tidak dapat disamakan dengan para penari biasa, dan kalau ia menari, karena semua orang tahu bahwa ia puteri kaisar, tidak ada yang berani mengeluarkan kata-kata yang menyinggung, kecuali tepuk tangan memuji keidahannya menari.

   Banyak sudah para putera bangsawan dan hartawan yang tergila-gila kepada puteri ini, akan tetapi sang puteri belum senang bergaul dengan pria. Juga kaisar belum melihat adanya seorang pemuda yang pantas menjadi suami puterinya yang cantik itu, maka sampai berusia delapanbelas tahun Sung Hiang Bwee masih belum bertunangan. la tinggal di istana bagian puteri dan mengajarkan seni tari kepada para puteri istana lain yang masih kecil, yaitu adik adik dan keponakan-keponakannya, puteri dari para pangeran tua dan muda. Pada malam itu, setelah puteri mengajarkan tari kepada para muridnya, la beristirahat di bangunan tengah taman yang indah. Di bangunan terbuka ini ia merasa sejuk setelah tadi berkeringat mengajarkan tari. Angin malam yang sejuk seperti mengipasi dirinya sehingga ia yang duduk di atas bangku menjadi mengantuk.

   Dua orang dayang yang melayaninya, duduk di atas lantai, menunggu sang puteri yang duduk melenggut. Tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan dua orang dayahg itu tiba-tiba merasa tubuh mereka kejang, lalu lemas dan tahu-tahu mereka telah jatuh pingsan tertotok. Mendengar suara kedua orang dayang pelayannya roboh, Sung Hiang Bwee terkejut dan menengok. la melihat seorang laki-laki berpakaian dan berkedok hitam sudah berdiri di depannya. Sebelum ia sempat berteriak, laki-laki itu sudah menotoknya dan iapun roboh dengan lemas tak ingat apa-apa lagi. Orang behpakaian dan berkedok hitam itu mengeluarkan sebuah kantung hitam besar, memasukkan tubuh sang puteri ke dalam karung sutera itu, lalu memanggulnya dan sekali berkelebat dia sudah melayang pergi dengan cepat sekali dari tempat itu.

   Tidak ada orang lain melihat apa yang dia lakukan ini. Ternyata orang itu adalah Ciang Sun Hok, pengawal pribadi Perdana Menteri Jin Kui. Dia sudah melakukan persiapan dengan baiknya, mengenakan pakaian dan kedok hitam sehingga andaikata ada juga yang melihatnya, tentu tidak akan mengenalnya. Dia sudah membuat perhitungan, tahu akan kebiasaan sang puteri yang setelah melatih tari biasanya memang mencari angin sejuk di taman itu. Dengan mudah saja dia menculik.puteri itu, dan sekarang setelah menangkap sang puteri, dia juga mengambil jalan rahasia yang hanya diketahui oleh para pengawai istana. Sebentar saja dia sudah keluar dari daerah istana, menyelinap di antara rumah-rumah orang dan tanpa ada yang mengetahuinya, dia sudah melompat naik ke atas atap rumah penginapan An-lok.

   Dia memang sudah memesan kepada pemilik rumah penginapan untuk mendapatkan sebuah kamar paling belakang dan tidak boleh siapapun juga mendekati kamar itu. Dengan jalan melalui jendela, dia memasuki kamar itu, mengeluarkan sang puteri dari karung sutera dan merebahkan sang puteri yang masih dalam keadaan lemas tertotok itu ke atas pembaringan. Sung Hiang Bwee yang sudah sadar hanya dapat memandang dengan wajah ketakutan, akan tetapi ia tidak mampu bergerak atau bersuara. la hanya melihat betapa orang itu tidak mengganggunya, setelah merebahkan ia di atas pembaringan, orang berkedok hitam itu lalu meninggalkan kamar dan menutupkan daun pintunya dari luar. Ciang Sun Hok memang keluar untuk mendengarkan berita. Ternyata sunyi saja, tanda bahwa hilangnya sang puteri belum diketahui orang dan hatinya merasa lega. Sekarang tinggal melanjutkan sesuai rencana,

   Yaitu pada besok pagi-pagi menunggu Menteri Jin Kui yang akan mengirim para selirnya berpesiar keluar Kota Raja dan menyelundupkan sang puteri dalam kereta para selir itu. Akan tetapi perhitungan rencana siasat yang sudah diatur sebaiknya itu ternyata tidak memperhitungkan hal-hal yang terjadi secara kebetulan. Tanpa mereka duga, kebetulan sekali Tiong Li yang berada di Kota Raja malam itu juga bermalam di hotel An-lok! Kamarnya agak di belakang dan karena malam itu dia belum tidur, masih duduk melamun, dia mendengar jejak kaki di atas genteng itu, betapapun hati-hati Ciang Sun Hok berlompatan. Andaikata penculik itu tidak membawa beban, belum tentu Tiong Li dapat mendengarkan jejak kakinya, akan tetapi beban itu cukup berat dan membuat kakinya agak berat menginjak atap sehingga terdengar oleh telinga Tiong Li yang terlatih baik.

   Tentu saja Tiong Li menjadi curiga mendengar jejak kaki di atas genteng itu. Cepat dia lalu berpakaian, mengenakan sepatu dan tak lama kemudian dia sudah melompat naik ke atas atap rumah. Sunyi saja di atas rumah itu dan mulailah Tiong Li mengintai ke kamar-kamar belakang. Dan di kamar paling belakang itulah dia melihat seorang gadis sedang rebah telentang, tidak bergerak sama sekali, hanya matanya saja yang memandang ke sana sini dengan ketakutan. Sekali pandang saja dia sudah dapat menduga bahwa gadis itu rebah secara tidak wajar dan mungkin sekali dalam keadaan tertotok. Maka, setelah membongkar jendela dengan mudahnya, dia melompat ke dalam kamar. Sung Hiang Bwee terkejut, sekali melihat seorang pemuda berpakaian putih tiba-tiba meloncat masuk dari jendela. la terbelalak akan tetapi pemuda itu menaruh telunjuk di depan, mulut dan berbisik,

   "Jangan takut, nona. Aku datang untuk menolongmu!"

   Setelah berkata demikian, dia menotok jalan darah di tubuh gadis itu. sehingga Hiang Bwee dapat bergerak lagi. Akan tetapi karena sudah mendapat isyarat, ia tidak berteriak. Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan masuklah Ciang Sun Hok yang masih berkedok. Dia terkejut dan heran melihat seorang pemuda berpakaian putih sudah berada di kamar dan sang puteri sudah dapat duduk di pembaringan. Tahu lah dia bahwa pemuda itu yang menolongnya, maka tanpa banyak cakap lagi dia menyerang Tiong Li dengan pukulan dahsyat. Ciang Sun Hok adalah seorang jagoan yang lihai sekali, memiliki tenaga yang amat kuat. Pukulan yang ditujukan ke arah Tiong Li mendatangkan angin berdesir keras. Akan tetapi dengan tenang sekaii Tiong Li menangkis pukulan itu dengan lengannya.

   

Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini