Ceritasilat Novel Online

Mestika Golok Naga 5


Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Dukk..."

   Dua lengan bertemu dan Ciang Sun Hok terkejut sekali, merasa seperti bertemu dengan lengan yang amat lunak sehingga tenaganya lenyap begitu bertemu dengan lengan itu.! Dia melompat ke samping lalu menyerang lagi dengan pukulan yang lebih hebat, sekali ini dia memukul dengan jari tangan terbuka, seperti orang mendorong. Inilah jurus "Mendorong Kereta Emas"

   Sebuah pukulan yang disertai tenaga sin-kang yang kuat sekali. Melihat ini, Tiong Li juga mendorongkan tangan kanannya sehingga kedua telapak tangan bertemu di udara.

   "Desss..."

   Sekali ini Ciang Sun Hok merasa betapa telapak tangannya bertemu dengan dinding baja yang amat keras dan akibatnya, dia terdorong ke belakang sampai menabrak dinding. Pengawal Itu terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa lawannya amat tangguh. Dia khawatir bahwa suara gaduh perkelahian itu akan terdengar orang dan rahasianya akan terbuka, maka tanpa bicara apa-apa lagi tubuhnya menyelinap keluar dari pintu kamar itu, pergi melarikan diri. Lebih baik pergi sekarang sebelum terbuka kedoknya! Tiong Li tidak mengejar, melainkan menoleh kepada gadis yang duduk ke takutan di atas pembaringan itu.

   "Nona siapakah dan apa yang telah terjadi? Siapa pula si kedok hitam itu?"

   "Terima kasih atas pertolonganmu, Taihiap. Aku bernama Sung Hiang Bwee, seorang puteri istana. Tadi ketika berada di taman istana, muncul si kedok hitam itu membuatku pingsan dan membawaku ke tempat ini. Aku tidak tahu siapa dia dan mengapa dia menculikku."

   Tiong Li terkejut sekali dan sejenak dia hanya dapat menatap wajah yang cantik jelita itu. Pantas demikian cantik dan pakaiannya demikian indah, pikirnya. Kiranya seorang puteri Kaisar

   "Maafkan saya, nona. Saya tidak tahu bahwa nona seorang puteri istana!"

   Katanya sambil memberi hormat.

   "Sudahlah, dalam keadaan begini tidak perlu bersikap sungkan,"

   Kata Hiang Bwee.

   "Engkau telah menyelamatkan aku dari penculikan, tolonglah antar aku pulang ke istana!"

   "Baik, tuan puteri,"

   Kata Tiong Li dengan sikap hormat. Sementara itu, Ciang Sun Hok melarikan diri dari hotel, langsung menghadap Perdana Menteri Jin Kui untuk melaporkan kegagalannya karena munculnya seorang pemuda baju putih di dalam kamar hotel di mana dia menyekap puteri Sung Hiang Bwee. Mendengar ini, Jin Kui menjadi marah.

   "Apakah mungkin pemuda itu yang telah menyebabkan tewasnya Hak Bu Cu?"

   "Mungkin sekali, Taijin. Ilmu silatnya sungguh hebat sekali dan karena saya khawatir kalau keributan itu menarik perhatian banyak orang, terpaksa saya menlnggalkan pergi sebelum ada orang datang."

   "Tentu puteri itu akan diantar pulang ke istana. Biar aku sendiri membawa pasukan menghadangnya"

   Kata Jin Kui yang merasa penasaran sekali karena rencananya gagal. Dia lalu membawa dua losin pengawal, diikuti pula oleh jagoan Ciang Sun Hok untuk menghadang perjalanan pulang puteri Sung Hiang Bwee. Demikianlah, ketika Tiong Li mengantar sang puteri kembalI ke istana dengan berjalan kaki, mereka berdua bertemu dengan pasukan yang dipimpin oleh Perdana Menteri Jin Kui.

   "Tangkap penculik!"

   Teriak sang Perdana Menteri. Ciang Sun Hok dan para pengawal sudah mengepung Tiong LI dengan sikap mengancam.

   "Tahan...!"

   Seru puteri Sung Hiang Bwee sambil mengangkat tangan ke atas.

   "Jin-Taijin harap jangan salah sangka. Pemuda ini sama sekali tidak menculikku, bahkan dia yang membebaskan aku dari tangan penculik! Kalau kalian mengeroyok dan mencelakai dia, aku akan melapor kepada ayahanda Kaisar!"

   Gertakan ini mengena. Jin Kui segera memberi aba-aba agar pasukannya mundur.

   "Ah, begitukah? Kalau begitu kami salah sangka. Siapakah namamu, orang muda?"

   "Nana saya Tan Tiong Li, Taijin,!"

   Jawab Tiong Li dengan hormat.

   "Kebetulan saja saya membebaskan sang puteri dari tangan penculik dan saya memenuhi perintah sang puteri untuk mengantarkannya pulang ke istana."

   "Bagus, jasamu akan dicatat, Tiong Li. Sekarang pergilah dan serahkan sang puteri kepada kami. Kami yang akan mengantarkannya pulang ke istana."

   "Baik, Taijin."

   "Tidak, Jin-Taijin. Saya ingin mengajak penolong saya ini ke istana dan melaporkan tentang jasanya kepada ayahanda kaisar!"

   Kata puteri itu dan terpaksa Jin Kui tidak dapat membantah. Maka, bersama pasukannya dia lalu mengawal kedua orang itu memasuki istana. Malam itu juga kaisar menerima puterinya yang dikawal Tiong Li. Kaisar marah sekali ketika mendengar bahwa puterinya diculik orang. Jin Kui yang ikut menghadap segera mendahului,

   "Tidak salah lagi, Yang Mulia. Ini pasti perbuatan kau m pemberontak laknat itu!"

   "Benar, kita harus hancurkan pemberontak-pemberontak itu. Kalau tidak, tindakan mereka akan menjadi semakin- kurang ajar!"

   Kaisar lalu memandang kepada Tiong Li,

   "Siapakah namamu, orang muda?"

   "Nama hamba Tan Tiong Li, Yang Mulia."

   "Tiong Li, jasamu besar sekali telah menyelamatkan puteri kami. Karena itu, kami hendak menghadiahkan pangkat perwira pengawal kepadamu."

   "Ampun beribu ampun,Yang Mulia. Banyak terima kasih atas anugerah yang Paduka berikan kepada hamba. Akan tetapi hamba minta waktu, Yang Mulia pada saat ini hamba masih mempunyai banyak urusan pribadi yang harus diselesaikan, maka perkenankan hamba menyelesaikan urusan pribadi lebih dahulu, barulah kelak hamba akan menaati perintah Paduka."

   "Hemm, baiklah. Kalau engkau sudah selesai dengan urusanmu, datanglah menghadap kepada kami dan kami akan memberi anugerah pangkat kepadamu."

   Setelah mendapat perkenan dari Kaisar, Tiong Li lalu meninggalkan istana Akan tetapi ketika dia sudah tiba di ruangan paling depan, tiba-tiba ada yang memanggilnya.

   "Tan-Taihiap...!"

   Tiong Li menengok dan alangkah herannya melihat bahwa yang memanggiInya itu adalah sang puteri, Sung Hiang Bwee. Tentu puteri itu telah mengambil jalan pintas maka dapat mendahuluinya tiba di ruangan luar itu.

   "Tuan Puteri..."

   Dia memberi hormat.

   "Ah, Taihiap, jangan menyebutku tuan Puteri. Namaku Sung Hiang-Bwee,"

   Kata puteri itu dengan ramah dan manis.

   "Eh, nona Sung Hiang Bwee..."

   "Hah, begitu lebih akrab, bukan Taihiap, kenapa engkau menolak pemberian pangkat oleh ayahanda kaisar? Akti ingin sekali engkau menerimanya sehingga engkau dapat tinggal di istana, menjadi pengawal dan kita dapat setiap saat saling berjumpa..."

   "Saya belum siap untuk menjadi pengawal, nona. Saya masih mempunyai banyak urusan pribadi dan masih ingin bebas dari ikatan pekerjaan."

   "Akan tetapi, Taihiap, kalau engkau pergi, sampai kapan kita akan dapat saling bertemu kembali?"

   Gadis itu bertanya, suaranya terdengar penuh kecewa dan penyesalan.

   "Sekali waktu kita tentu akan dapat bertemu kembali, nona. Setelah saya merasa bahwa saatnya tiba, saya tentu akan menghadap SriBaginda Kaisar kembali untuk membantu beliau."

   "Benarkah, Taihiap? Saya akan selalu menanti kedatanganmu. Saya akan merasa kehilangan sekali kalau Taihiap tidak segera datang kembali. Selamat Jalan, Taihiap."

   "Selamat tinggal, nona."

   Mereka berpisah karena sudah nampak beberapa orang dayang dan pengawal memandang mereka dari kejauhan dengan sinar mata heran.

   Dan diam-diam Tiong Li merasa heran akan sikap gadis puteri kaisar itu. Kenapa sikapnya demikian ramah dan akrab? Apakah karena merasa telah ditolongnya? Dia merasa tidak enak sendiri. Hiang Bwee adalah puteri kaisar, dan dia hanya seorang pemuda miskin putera petani dan pemburu sederhana. Agaknya tidak pantas kalau mereka bersahabat. Tiong Li sama sekali tidak tahu bahwa ketika dia bercakap-cakap dengan Hiang Bwee tadi, terdapat sepasang mata yang mengintai dengan sinar mata mencorong penuh iri hati dan kemarahan. Mata itu adalah mata Jin Kiat.! Sebetuliya, sudah lama Jin Kiat tergila-gila kepada Hiang Bwee dan beberapa kali dia dengan jelas menyatakan perasaan hatinya kepada gadis itu. Akan tetapi Hiang Bwee tidak menanggapinya, bahkan membelakanginya, tidak perduli bahkan kelihatan tidak suka kepadanya.

   Karena itu, untuk membalas sakit hatinya, dia mengusulkan kepada ayahnya agar menculik dan menyerahkan gadis itu kepada Wu Chu, panglima Kin itu. Akan tetapi, penculikan itu digagalkan seorang pemuda dan kini dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa Hiang Bwee bercakap-cakap dengan pemuda itu, dengan sikap demikian mesra. Hati siapa takkan menjadi panas dan cemburu? Jin Kiat mengerahkan pasukan untuk melakukan pengejaran terhadap Tiong Li. Akan tetapi dia tidak berani turun tangan di Kota Raja. Tiong Li baru saja akan dihadiahi pangkat oleh kaisar. Kalau dia menyerangnya, maka tentu kaisar yang berterima kasih kepada pemuda itu menjadi tidak senang kepadanya. Dia hanya membayangi dengan dua losin pasukan dan ditemani pula oleh seorang ,yang berusia enampuluh tahun, tinggi kurus dengan muka seperti tengkorak.

   Itulah Tang Boa Lu, Manusia Tengkorak, guru dari mendiang Hak Bu Cu. Manusia Tengkorak ini yang dahulu bersama Hak Bu Cu telah menyerang Pek Hong San jin sehingga mengakibatkan tewasnya hwe-shin pertapa di Liong San itu. Tang Boa Lu ini memang diperbantukan kepada Perdana Menteri Jin Kui

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Mestika Golok Naga (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo

   Jilid 05

   oleh pang lima Bangsa Kin yaitu Wu Chu. Melihat sepak terjang Tiong Li, Jin Kiat menduga bahwa agaknya pemuda yang lihai inilah yang telah menyelamatkan Hiang Bwee dari penculikan, yang dulu pernah mengalahkan dan mengakibatkan kematian Hak Bu Cu. Menurut para pengawal, pemuda yang mengalahkan Hak Bu Cu dan menyebabkan Hak Bu Cu tewas di tangan Ban-Tok Sian-Li, adalah seorang pemuda yang terlalu cepat gerakannya sehingga tidak dapat dikenali wajahnya, akan tetapi para pengawal itu mengetahui bahwa pemuda itu lihai bukan main.

   Dan pemuda yang menolong Hiang Bwee inipun amat lihai sehingga jagoan istana Ciang Sun Hok tidak mampu menandinginya. Inilah sebabnya ketika melakukan pengejaran, dia mengajak Tang Boa Lu. Dan Manusia Tengkorak ini pun ikut dengan penuh semangat ketika diberitahu bahwa mungkin pemuda yang dikejarnya itu yang telah menewaskan Hak Bu Cu, muridnya. Betapa senang rasa hati Jin Kiat, ketika dia melihat Tiong Li pergi ke rumah penginapan An-lok untuk mengambil pakaiannya dan membayar sewa kamar, kemudian pemuda itu langsung saja pergi keluar dari Kota Raja. melalui pintu selatan. Terbukalah kesempatannya untuk menyerang dan membunuh pemuda itu! Mereka segera melakukan pengejaran dan setelah tiba di tempat yang sunyi, cukup jauh dari pintu gerbang selatan, Jin Kiat dan Tang Boa Lu membawa dua losin pasukan itu menyusul dan mengepung Tiong Li.

   "Berhenti!"

   Bentak Jin Kiat sambil mencabut pedangnya. Dihadang dan dikepung duapuluh enam orang itu, Tiong Li bersikap tenang saja, apa lagi ketika melihat pakaian para anak buah pasukan itu adalah pakaian perajurit; Kerajaan Sung. Baru saja dia hendak diangkat perwira oleh kaisar, maka tentu saja kini dia tidak berprasangka buruk terhadap pasukan Sung.

   "Ciang-kun,"

   Katanya kepada Jin Kiat yang berpakaian panglima.

   "Ada keperluan apakah ciang kun menyusul saya? Apakah ada perintah dari SriBaginda Kaisar.?"

   "Benar, SriBaginda Kaisar mengutus kami untuk menangkapmu!"

   Bentak Jin Kiat. Tentu saja Tiong Li merasa terkejut sekali mendengar ucapan yang ketus ini. Dia mengerutkan alisnya dan bertanya.

   "Apa kesalahanku?"

   "Kesalahanmu sudah jelas! Engkau seorang pemberontak! Engkau membantu dua orang wanita pemberontak melawan pasukan pemerintah. Engkau harus ditangkap!"

   Tiong Li teringat akan pertempurannya ketika dia membantu Ban-Tok Sian-Li dari The Siang Hwi, dan tentang pertandinqannya melawan Si Golok Naga.

   "Hemm, kalau benar SriBaginda Kaisar memerintahkan untuk menangkap aku, Coba perlihatkan surat perintahnya"

   Dia merasa curiga.

   "Tidak perlu surat perintah! Engkau menyerah atau kami akan menggunakan kekerasan membunuhmu!"

   Bentak Jin Kiat.

   "Kukira tidak akan semudah itu, sobat! Tanpa surat perintah Kaisar, aku tidak akan menyerah!"

   Mendengar ini, Jin Kiat lalu berseru keras,

   "Serang! Bunuh!!"

   Jin Kiat sendiri sudah menggerakkan pedangnya menyerang Tiong Li sedangkan Si Muka Tengkorak juga sudah menggerakkan kedua tangannya memukul dari jarak jauh.

   Melihat Si Muka Tengkorak, walaupun kini mengenakan pakaian panglima, Tiong Li tiba-tiba teringat. Orang inilah yang dulu bersama Si Golok Naga mengeroyok suhunya, Pek Hong San-jin! Kini mengertilah dia mengapa kelompok pasukan ini, yang dipimpin oleh pemuda tampan dan Si Muka Tengkorak, menghadangnya dan hendak menangkapnya. Tentu Si Muka Tengkorak itu akan membalaskan kematian Si Golok Naga! Dengan mudah dia mengelak dari sambaran pedang Jin Kiat, akan tetapi ketika pukulan jarak jauh dari Muka Tengkorak itu melandanya, dia terkejut. Kiranya tenaga Si Muka Tengkorak ini luar biasa kuatnya, maka tidak heran ketika dahulu dia terkena pukulan jarak jauh itu, dia sampai pingsan dan Pek Hong San-jin sampai terluka parah yang menyebabkan kematiannya.

   Cepat dia mengerahkan tenaga Jian-kin-lat (Tenaga Seribu Kati) untuk melawan hantaman itu dan ketika kedua tangan bertemu, keduanya terdorong mundur, tanda bahwa tenaga yang terkandung dalam dorongan dan tangkisan itu seimbang kekuatannya. Si Muka Tengkorak yang menjadi heran dan terkejut bukan main. Kini diapun teringat setelah memandang wajah Tiong Li. Tidak salah lagi, pemuda ini adalah pemuda remaja belasan tahun yang dulu pernah dilihatnya di Pek-hong-san, murid dari Pek Hong San-jin. Dahulu, ketika baru berusia lima belas tahun saja sudah mampu menandingi Hak Bu Cu, dan sekarang ternyata telah memiliki tenaga sinkang yang mampu menandingi pukulan Angin Badai yang tadi dia lontarkan!

   "Kau...?"

   Bentaknya.

   "Kau murid Pek Hong San-jin? Engkau yang telah membunuh muridku?"

   "Hemm, kiranya engkau Si Muka Tengkorak yang dahulu datang bersama Si Golok Naga! Benar aku yang merobohkan muridmu, dia jahat sekali. Habis engkau mau apa!? Bagaimana engkau dapat bergabung dengan pasukan kerajaan?"

   Mendengar percakapan itu, Jin Kiat sudah membentak dan memerintahkan anak buahnya,

   "Cepat, serang dan bunuh pemuda pemberontak ini "

   Dan Tiong Li sudah diserang dari semua jurusan. Karena lawannya yang mengeroyok amatlah banyaknya, Tiong Li lalu mengerahkan ilmu meringankan tubuh Jouw-sang-hui dan tubuhnya berkelebatan seperti berubah menjadi bayang-bayang menghindarkan semua senjata yang menyambar ke arahnya. Pada saat itu terdengar sorak sorai dan muncullah duapuluh orang yang berpakaian seperti petani, dipimpin seorang pemuda tinggi besar yang gagah perkasa. Pemuda ini bersenjatakan sepasang kapak dan begitu terjun ke pertempuran, pemuda itu sudah merobohkan dua orang yang mengeroyok Tiong Li. Melihat ini, Jin Kiat dan para perajurit menyambut dan terjadilah pertempuran sengit, sedangkan Si Muka Tengkorak bertanding melawan Tiong Li.

   "Bunuh para pemberontak!"

   Jin Kiat berseru nyaring, akan tetapi hatinya gentar sekali ketika dia mengenal pemuda tinggi besar bersenjatakan sepasang kapak itu. Pemuda itu bukan lain adalah Gak Liu, putera mendiang Jenderal Gak Hui yang semenjak kematian ayahnya, tetap melanjutkan perjuangan menghimpun tenaga rakyat dan kadang juga menentang pasukan Sung sendiri kalau melihat pasukan itu melakukan penindasan terhadap rakyat jelata.! Ketika tadi Gak Liu melihat Jin Kiat dan Orang-orangnya mengeroyok serang pemuda, tidak sukar baginya untuk membantu pemuda itu karena dia tahu siapa Jin Kiat. Putera Perdana Menteri ini sudah berbuat dosa yang tak terhitung banyaknya. Terutama sekali merampas dan menodai wanita-wanita, baik yang sudah bersuami maupun gadis-gadis yang dipaksanya, mengandalkan kedudukan, harta benda dan kekuatan.

   Gak Liu memang membenci sekali putera Perdana Menteri ini, sebagai putera musuh besarnya dan dia segera mengamuk dengan kapaknya, mendekati Jin Kiat. Jin Kiat mengamuk dengan pedangnya dan dia mencari jalan untuk meloloskan diri. Setelah merobohkan dua orang pengikut Gak Liu, dia melompat ke luar dari pertempuran dan hendak melarikan diri. Memang Jin Kiat ini mempunya i watak pengecut. Melihat Si Muka Tengkorak belum juga dapat menang melawan pemuda itu, dan kemudian melihat Gak Liu, dia menjadi ketakutan dan ber usaha meloloskan diri. Akan tetapi dengan tiga kali lompatan jauh, Gak Liu sudah dapat menghadangnya. Kedua tangannya memegang kapaknya yang berlumuran darah dan wajahnya yang gagah itu nampak bengis sekali sehingga Jin Kiat menjadi semakin jerih.

   "Gak Liu, minggir kaul Apakah engkau ingin dlhukum mati pula seperti ayahmu!"

   Bentakan ini sungguh salah alamat. Gak Liu tidak menjadi takut atau mundur mendengar bentakan ini, bahkan amarahnya ma"in berkobar.

   "Jahanam busuk, engkaulah yang akan menerima hukuman mati dari ku!"

   Dia menyerang dengan sepasang kapaknya dan Jin Kiat terpaksa melayaninya bertanding. Pertandingan mati-matian karena keduanya mengerti bahwa siapa yang kalah tidak akan lolos dari maut. Jin Kiat mengerahkan seluruh tenganya dan mengeluarkan semua iImu pedangnya untuk memenangkan pertandingan itu.

   Sementara itu, rombongan perajurit itu mendapat serangan hebat dari para pejuang sehingga mereka terdesak. Juga pertandingan antara Tang Boa Lu dengan Tiong Li berlangsung tidak seim bang lagi. Betapapun lihainya Si Muka Tengkorak, namun menghadapi Tiong Li akhirnya dia kewalahan juga. Apa lagi ketika Tiong Li memainkan ilmu silat Ngo-heng-lianhoan-kun, dia menjadi repot sekali. Dalam hal tenaga sinkang, dia juga tidak mampu menandingi pemuda itu. Setelah bertanding lewat lima puluh jurus, Si Muka Tengkorak mulai terengah-engah dan mandi keringat. Terlalu banyak tenaga yang dia kerahkan. Padahal, lawannya masih nampak segar dan bahkan makin lama tenaganya menjadi semakin kuat. Tahulah Tang Boa Lu bahwa kalau dia nekat melanjutkan pertandingan itu, dia akan menderita kekalahan.

   Dia tidak mau nekat mengadu nyawa karena dia hanya menjadi orang yang diperbantukan kepada Perdana Menteri Jin Kui. Untuk apa dia membela Jin Kiat sampai mati? Melihat pemuda itu terus mendesaknya, dia mengerahkan tenaga terakhir dan mengirim pukulan jarak jauh sambil mengeluarkan bentakan dahsyat. Kembali dia telah mengirim dengan pukulan jarak jauh yang bernama ilmu pukulan Angin Badai.! Akan tetapi sekali ini Tiong Li tidak mau memberi hati kepadanya. Dia sudah menyambut pukulan itu dengan Tal lek-kim-kong-jiu! Dua tenaga sakti bertemu di udara menggetarkan bumi di sekitarnya dan akibatnya tubuh Si Muka Tengkorak terpental dan jatuh bergulingan, dari mulutnya keluar darah segar tanda bahwa dia telah terluka dalam! Dia tahu akan bahaya, maka tubuhnya bergulingan terus, lalu dia melompat Jauh dan melarikan diri. Tiong Li tidak mengejarnya.

   Biarpun Si Muka Tengkorak itu yang menyebabkan kematian suhunya, namun dia tidak mendendam, sesuai dengan ajaran mendiang Pek Hong San-jin. Dia hanya membantu para pejuang yang menghadapi para perajurit. Tinggal enam orang perajurit yang masih melawan dan melihat keadaan mereka demikian terdesak, enam orang ini lalu melarikan diri cerai berai tanpa pimpinan lagi. Cuma tinggal Jin Kiat kini yang masih melawan Gak Liu mati-matian. Dia tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri lagi karena sepasang kapak di tangan Gak Liu mendesaknya dengan hebat. Wajah Jin Kiat sudah menjadi pucat hatinya diliputi ketakutan yang amat sangat. Si Muka Tengkorak sudah melarikan diri, semua anak buahnya juga sudah tewas atau lari, tinggal dia sendiri. Akan tetapi Gak Liu juga tidak mengandalkan kawan-kawannya. Dia melarang anak buahnya yang hendak mengeroyok.

   "Biarkan aku menghadapinya sendiri!"

   Teriaknya ketika ada yang hendak membantunya. Para anak buahnya tidak berani maju dan hanya menjadi penonton sambiI mengepung tempat itu. Tentu saja Jin Kiat makin tak dapat lolos karena pengepungan itu, maka diapun melawan dengan nekat dan matimatian. Dia mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya untuk melawan, akan tetapi sepasang kapak di tangan Gak Liu itu hebat bukan main, seperti sepasang naga berebut mestika, menyambar-nyambar dari segala jurusan.

   "Singggg... tranggg...!!"

   Pedang yang menyambar itu ditangkis oleh sepasang kapak yang menjepitnya dan pedang itu patah menjadi dua! Sebuah tendangan kaki Gak Liu membuat Jin Kiat jatuh tersungkur. Kini Jin Kiat tidak dapat lagi menahan rasa takutnya. Dia merangkak dan berlutut mengangkat kedua tangannya ke atas dan minta-minta ampun.

   "Hemm, ingat engkau ketika para gadis dan wanita itu minta-minta ampun kepadamu? Apakah engkau mengampuni dan melepaskan mereka! Engkau malah menertawakan mereka. Rasakan ini!"

   Kapak itu menyambar dan mengenai kepala Jin Kiat yang seketika roboh terpelanting dengan kepala pecah.

   "Ini untuk hukumanmu. Terimalah ini, dan ini, dan ini...!"

   Kedua kapak itu bertubi-tubi menghantami tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi Itu. Di antara anak buah Gak Liu yang memaling kan muka karena tidak tahan melihat peristiwa yang mengerikan itu. Agaknya Gak Liu melampiaskan semua dendam atas kematian ayah dan saudara-saudaranya dan melampiaskan amarahnya kepada putera Perdana Menteri Jin Kui yang dibencinya itu. Tiba-tiba kapaknya tertahan di udara. Ada orang yang memegangi kedua lengannya dan dia tidak mampu menggerakkan tangan lagi walaupun dia sudah mengerahkan tenaga! Gak Liu terkejut dan menoleh. Ternyata yang menahan kedua tangannya adalah pemuda yang tadi bertanding dengan Si Muka Tengkorak.

   "Sudah cukup, Twako. Menyiksa tubuh yang sudah menjadi mayat dan yang tak dapat melawan lagi bukanlah perbuatan seorang gagah, melainkan perbuatan seorang yang gila karena dendam."

   Mendengar perkataan itu, Gak Liu menurunkan kedua kapaknya dan memandang kepada Tiong Li penuh perhatian, lalu dia memandang kepada mayat Jin Ki at yang hancur, kemudian menghela na- pas panjang.

   "Engkau benar, sobat,"

   Lalu dia memerintahkan semua anak buahnya untuk mengubur semua jenazah, bukan hanya jenazah teman-teman, akan tetapi juga jenazah semua perajurit termasuk jenazah Jin Kiat. Kemudian dia mengajak Ti ong Li duduk di bawah pohon untuk bercakap-cakap dan berkenalan,

   "llmu silatmu hebat sekali, sobat muda. Siapakah namamu dan bagaimana engkau tahu-tahu dapat dikeroyok oleh Jin Kiat dan anak buahnya?"

   "Nama saya Tan Tiong Li, dan sebelum saya menceritakan mengapa saya diserang mereka, lebih dulu saya ingin tahu siapakah Twako yang gagah perkasa ini?"

   "Hemm, namaku Gak Liu."

   "She Gak? Mengingatkan aku akan Jenderal Gak Hui,"

   Kata Tiong Li lebih ramah karena melihat Gak Liu juga ramah kepadanya.

   "Mendiang Jenderal Gak Hui adalah ayahku."

   Tiong Li terkejut dan cepat bangkit lalu memberi hormat.

   "Ah, kiranya putera mendiang Jenderal Gak Hui yang amat terkenal gagah perkasa dan budiman itu!? Maafkan kalau saya bersikap kurang hormat!"

   Gak Liu menghela napas panjang,

   "Aihhh, mendiang ayahku memang seorang gagah perkasa dan budiman. Akan tetapi aku... aku hanya seorang pejuang biasa yang kadang naik darah, sama sekali tidak budiman. Aku tidak mau membonceng ketenaran nama ayahku. Saudara Tiong Li, aku melihat IImu silatmu tinggi sekali. Bagaimana sampai engkau tadi dikeroyok oleh iblis kecil putera Perdana Menteri Jin Kui itu?"

   Kembali Tiong Li terkejut, Dia sudah lama mendengar nama Perdana Menteri Jin Kui yang dibenci, banyak orang dan dimaki sebagai seorang menteri durna yang menghasut dan membujuk Kaisar sehingga mau mengalah terhadap Bangsa Kin, Jadi pemuda yang dibantai tadi adalah putera Menteri Jin Kui itu? Kini mengertilah dia. Dia sudah mendengar bahwa kematian Jenderal Gak Hui adalah gara-gara Perdana Menteri Jin Kui. Jadi sekarang putera Jenderal Gak Hui membuat pembalasan terhadap putera Perdana Menteri Jin Kui!

   
Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hemm, kiranya dia itu putera Perdana Menteri Jin Kui? Pantas engkau begitu membencinya, Gak-Twako, tentu karena dendam."

   "Bukan hanya dendam, Tan-te (adik Tan), akan tetapi pemuda itu memang seorang yang tidak kalah jahat dari ayahnya. Dia suka mempermainkan wanita dan diapun menindas rakyat yang tidak mau menjilat-jilat kepadanya. Dia sudah pantas mati seperti itu. Lalu bagaimana engkau sampai dimusuhi olehn dia?"

   "Aku sendiri tidak tahu dengan jelas, Twako. Aku pernah menolong seorang puteri kaisar yang diculik penjahat. Aku mengantarnya pulang ke istana. Kaisar hendak memberi anugerah pangkat, akan tetapi aku tidak mau dan aku pergi meninggalkan istana. Eh, tahu-tahu di sini dikejar oleh rombongan itu dan pemuda tadi mengatakan bahwa dia diperintah oleh kaisar untuk membunuhku dengap alasan bahwa aku seorang pemberontak. Aku minta tanda perintah kaisar, akan tetapi dia tidak dapat membuktikannya maka aku melawan."

   "Hemm, bedebah itu! Sama dengan ayahnya. Menggunakan nama Kaisar yang lemah untuk menuduh semua orang pemberontak. Tan-te, engkau seorang yang berilmu tinggi, marilah engkau bergabung dengan kami!"

   "Maaf, Gak-Twako. Aku setuju sekali dengan perjuangan rakyat menentang Kerajaan Kin dari utara dan usaha untuk mengusir mereka dari tanah air. Akan tetapi akupun setia kepada Kerajaan Sung dan karenanya aku tidak suka memusuhi Kaisar yang harus kubela. Aku amat setuju dengan sikap dan tindakan mendiang Jenderal Gak, ayahmu sendiri."

   "Aaahh, itu merupakan suatu titik kelemahan! Karena kekerasan hatinya mempertahankan kelemahan itulah ayah sampat diracuni dan menemukan kematiannya secara menyedihkan sekali. Tidak, Tan-te, sikap itu keliru. Musuh besar kita memang Bangsa Kin yang harus kita usir dari tanah air, akan tetapi banyak sekali pejabat korup dan penindas rakyat, pejabat yang pada lahirnya saja setia kepada kaisar akan tetapi pada dasarnya hanya mencari keuntungan sendiri, pejabat demikian itu malah melemahkan kerajaan dan perlu dibasmi. Kerajaan perlu dibersihkan dari para pejabat semacam itu!"

   "Akan tetapi itupun merupakan pemberontakan karena mereka adalah pejabat pemerintah. Kecuali urusan pribadi, maka tidak akan melibatkan pemerintah. Kalau sudah merupakan permusuhan terbuka dengan pasukan mereka itu merupakan pemberontakan. Pantas saja kalian dianggap pemberontak."

   Gak Liu tertawa.

   "Ha-ha-ha, engkau masih hijau dalam hal perjuangan, Tan-te. Nanti kalau engkau sudah mengalami sendiri, apa lagi kalau sudah bentrok dengan Perdana Menteri Jin Kui, baru engkau mengerti apa yang kumaksudkan dengan membasmi para pejabat korup dan jahat,"

   "Maaf, Gak-Twako. Aku sendiri biarpun bersimpati kepada para pejuang, belum ingin melibatkan diri. Aku hanya ingin melangkah sebagai seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, melindungi mereka yang tertindas dan menentang mereka yang melakukan ke kerasan untuk memaksakan kehendaknya."

   "Baiklah, Tan-te. Aku yakin akhirnya engkau akan bergabung juga dengan para pejuang."

   Mereka lalu berpisah dan Tiong Li memandang kepergian orang gagah itu bersama anak buahnya dengan termenung.

   Dia sudah banyak mendengar dari para gurunya tentang Jenderal Gak Hui, dan dia melihat betapa Gak Liu itupun memiliki kegagahan yang mengagumkan. Kalau para pejuang seperti Gak Liu itu pendiriannya, agaknya Bangsa Kin akan dapat diusir keluar dari tanah air. Sayang, Kaisar memang lemah dengan adanya banyak pejabat macam Jin Kui yang mempengaruhinya. Si Muka Tengkorak melarikan diri kembali ke gedung Perdana Menteri Jin Kui membawa luka dalam dan membawa berita buruk. Dia masih sempat mengintai ketika Jin Kiat terbunuh oleh Gak Liu dan dia bergegas kembali ke rumah Perdana Menteri Jin Kui untuk melapor. Sepasang mata sipit yang biasanya bergerak cepat dengan cerdiknya Itu kini terbelalak, mukanya sebentar pucat Sebentar merah ketika dia mendengar laporan tentang kematian puteranya.

   "Apa...? Gak Liu membunuh Jin Kiat puteraku? Celaka...! Jahanam betul! Ahhhhh..."

   Hampir gila Jin Kui dibuatnya karena marah dan sedih hatinya. Dia berjalan hilir mudik di ruangan itu, sebentar mengepal tinju, sebentar menangis seperti orang gila.Dia segera mengumpulkan semua orang kepercayaannya untuk diajak berunding. Ciang Sun Hok, jagoan yang dipercaya itu, lalu Kui To Cin-jin yang menjadi guru Jin Kiat, Ma Kiu It panglima pengawal Jin Kui, dan Tang Boa Lu Si Muka Tengkorak hadir sambil menundukkan muka karena maklum bahwa majikan mereka sedang marah dan berduka.

   "Celaka...! Mereka membunuh anak ku! Apa yang kita perbuat sekarang?"

   Berulang kali Jin Kui berteriak dan akhirnya Kui To Cin-jin memberanikan dirinya untuk bicara.

   "Taijin, karena jelas bahwa pembunuhnya adalah Gak Liu, maka kita kerahkan pasukan untuk mencari dan menangkap pemberontak itu."

   "Akan tetapi semua ini gara-gara puteri selir itu!, Kalau Jin Kiat tidak mengejar pemuda bernama Tan Tiong Li itu tentu dia tidak akan tewas di tangan Gak Liu. Puteri selir itu harus tetap ditangkap dan terutama Tiong Li itu harus dapat dibunuh!"

   Kui To Cin-jin berkata,

   "Maaf,Taijin. Untuk menghadapi Tan Tiong Li tidaklah mudah. Saya sendiri sudah merasakan? kehebatan ilmu kepandaiannya.seorang pemuda sakti. Karena itu, kalau Taijin setuju, saya akan memanggil beberapa orang kawan yang berilmu tinggi dari utara untuk bersama-sama menghadapinya."

   "Baik, engkau boleh berangkat sekarang juga untuk memanggil mereka!"

   Kata Jin Kui yang sudah marah dan bernafsu sekali untuk membalas penyebab kematian puteranya.

   Setelah berunding, dia lalu menetapkan keputusannya. Pertama, puteri Sung Hiang Bwee harus tetap ditangkap dan diserahkan kepada Panglima. Wu Chen dari Kerajaan Kin. Kedua, sebarkan fitnah bahwa yang menculik sang puteri adalah; para pemberontak yang dipimpin oleh Gak Liu. Ke tiga mengerahkan pasukan untuk melakukan pembersihan terhadap para pemberontak. Ke empat, mencari.Tan Tiong Li dan Gak Liu sampai dapat dan membunuh mereka. Dan kelima dari para penyidik kini telah diketahui bahwa dua orang wanita yang membantu para pemberontak adalah Ban-Tok Sian-Li dan muridnya dari Lembah Maut dan harus diserbu. Dan untuk pelaksanaan semua ini, Kui To Cin-jin akan memanggil dua orang sutenya dari utara. Dua orang sutenya itu adalah pertapa-pertapa dari Kui-san dan memiki ilmu kepandaian yang tidak dibawah tingkat ilmu kepandaian Kui To Cin-jin sendiri.

   Mereka adalah kakak beradik, yang tua berusia lima puluh tujuh tahun dan bernama Ouw Yang Gian berjuluk Toat Beng Jiauw (Cakar Pencabut Nyawa) dan adiknya Ouw Yang Sian berusia lima puluh tahun berjuluk Hek-bin-kwi (Setan Muka Hitam). Sebagai para sute dari Kui To Cin-jin memang kepandaian masing-masing tidak setinggi kepandaian Kui To Cin-jin, akan tetapi kalau mereka maju bersama, Kui To Cin- jin itupun tidak akan mampu menandingi mereka. Malam yang sunyi. Kembali di Istana ada bayangan hitam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu dia sudah berada di atas genteng kamar Sung Hiang Bwee. Semenjak terjadi penculikan atas diri puteri selir ini, Kaisar memerintahkan kepada para pengawal agar setiap malam diadakan penjagaan secara bergantian di depan kamar sang puteri.

   Pada pada saat itupun nampak empat orang pengawal berdiri di depan kamar sang puteri, Akan tetapi bayangan hitam yang memakai kedok ini tidak merasa gentar, bahkan dia lalu melayang turun di depan empat orang itu. Sebelum empat orang itu sempat berteriak, baru menggerakkan senjata mereka, tahu-tahu mereka telah roboh semua, tertotok dengan kecepatan luar biasa. Kemudian si kedok hitam mendobrak daun pintu. Dua orang dayang yang menemani Hiang Bwee terkejut dan berteriak, akan tetapi sebelum suara mereka sempat keluar dengan nyaring, tubuh mereka juga sudah roboh pingsan. Tinggal sang puteri yang terbelalak memandang, lupa untuk menjerit saking kaget dan takutnya. Orang berkedok yang amat lihai itu cepat menyambarnya, menotoknya dan memanggulnya setelah memasukannya kedalam karung sutera.

   Seperti yang dilakukan oleh Ciang Sun Hok dahulu, sekarang ini diapun melarikan diri melalui jalan rahasia sehingga dia tiba di luar istana tanpa diketahui orang lain. Kini, berbeda dengan penculikan terdahulu, di luar istana sudah menanti sebuah kereta yang ditumpangi oleh Perdana Menteri Jin Kui sendiri! Si kedok hitam lalu membawa masuk puteri dalam karung sutera hitam itu. Kemudian setelah memberi Isyarat dia lalu berkelebat lenyap. Pelaku penculikan yang amat lihai ini bukan lain adalah Si Muka Tengkorak sendiri. Kereta lalu dijalankan oleh kusir kereta menuju ke rumah gedung Perdana Menteri Jin Kui. Andaikata ada orang melihat kereta itu, tentu takkan ada yang berani mencoba untuk menegur atau menyelidiki karena siapa orangnya berani menegur Perdana Menteri Jin Kui?

   Kereta itu masuk halaman gedung terus ke belakang, ke arah istana dan di sini, tanpa terlihat orang lain, sang puteri diturunkan dan dimasukkan ke dalam sebuah kamar. Hiang bwee dikeluarkan dari karung sutera dan direbahkan di pembaringan dalam keadaan tertotok, kemudian kaki tangannya diikat dengan kain sehingga seandainya totokannya sudah punah, iapun tidak akan mampu bergerak. Hiang Bwee hanya melihat dua orang berkedok hitam yang mengeluarkannya dari dalam karung hitam dan yang mengikat kaki tangannya. Ketika ia sudah terbebas dari totokan, ia meronta-ronta namun usahanya sia-sia karena ka ki tangannya terikat kuat oleh kain sehingga ia tidak merasa nyeri, hanya tidak mampu bergerak. Ia membuka mulut hendak mengeluarkan teriakan minta tolong, akan tetapi seorang berkedok masuk kamarnya dan berkata,

   "Nona, sebaiknya nona tidak mengeluarkan suara kalau tidak ingin kutotok lagi sehingga tidak mampu bergerak."

   Hiang Bwee tentu saja merasa tidak enak kalau ditotok, maka ia lalu mengangguk.

   "Kalau nona berjanji akan diam saja dan menurut, kami tidak akan mengganggu nona dan tidak akan membelenggumu lagi."

   "Aku akan menurut. Lepaskan ikatan kaki tanganku,"

   Kata puteri itu. Si kedok hitam itu bukan lain adalah Tang Boa Lu Si Muka Tengkorak. Dia merasa yakin bahwa gadis ini tidak akan mampu berbuat sesuatu. Andaikata berteriak sekalipun, tidak akan terdengar oleh orang di luar gedung. Maka, sesuai dengan pesan Perdana Menteri Jin Kui bahwa nona yang akan dipersembahkan kepada Panglima Besar Wu Chu itu jangan sampai menderita, dia lalu melepaskan ikatan kaki tangannya. Hiang Bwee lalu bangkit duduk, menggosok gosok kaki tangan bekas ikatan. la memandang ke kanan kiri. Kamar itu indah dan besar, bukan kamar orang biasa. Tentu kamar seorang yang kaya raya, pikirnya. la bangkit dan hendak menghampiri pintu. Akan tetapi Si Muka Tengkorak berkata,

   "Sebaiknya nona tidak beranjak dari kamar ini. Kamar ini terjaga ketat dan nona tidak akan bisa melarikan diri."

   Setelah berkata demikian, Si Mijka Tengkorak yang berkedok itupun keluar dari kamar itu dan menjaga di luar kamar bersama para pengawal.

   Hiang Bwee membuka daun pintu yang segera ditutupnya kembali ketika la menghadapi todongan tombak empat orang pengawal. Ketika ia membuka daun jendela, iapun melihat ujung tombak dan dua orang penjaga di luar jendela. Ditutupkannya kembali daun jendela itu dan iapun duduk di atas kursi. Mengapa ia diculik? Siapa penculiknya? Tidak, bukan orang berkedok itu. Tentu orang berkedok itu hanya seorang utusan, dan ada orang di balik semua ini yang mendalanginya. Akan tetapi apa maunya orang itu menyuruh menculiknya? Hatinya mulai merasa takut dan teringatlah ia kepada Tan Tiong Li! Ah, kalau saja Tiong Li menjadi pengawalnya dan berada di Istana, belum tentu ia akan dapat diculik orang. Akan tetapi, siapa tahu pendekar itu akan muncul lagi menolongnya. la ingin berteriak, ingin menjerit minta tolong. Akan tetapi ia teringat dan menahan keinginannya.

   Menjerit belum tentu terdengar orang dan akibatnya ia akan ditotok kembali. Ah, tidak enak. Lebih baik begini. Setidaknya ia masih dapat bebas bergerak dan bicara. Akhirnya sang puteri melupakan segalanya dan merebahkan dirinya di tempat tidur yang indah itu dan dapat tidur pulas. Pada keesokan harinya, pagi pagi sudah muncul dua orang dayang yang membawa air untuk mencuci badan, bahkan melayaninya. Akan tetapi ketika ia mencoba untuk menanyai mereka, keduanya hanya menggeleng kepala dan tidak mengeluarkan suara, tidak berani bicara sepatah katapun! Hiang Bwee tidak perduli, setelah membersihkan badan ia lalu makan sarapan yang dibawa oleh dua orang wanita pembantu itu. Setelah selesai, dua orang wanita itu keluar lagi. Tak lama kemudian, si kedok hitam masuk lagi. Hiang Bwee segera meregurnya.

   "Siapakah engkau? Mengapa engkau menculikku dan membawaku ke sini? Apakah engkau tidak takut akan hukuman berat kalau sampai tertangkap?"

   "Nona, harap jangan banyak bertanya dan menurutlah saja,"

   Kata si kedok hitam dan tiba-tiba saja tangannya menyambar. Hiang Bwee terkulai dalam keadaan pingsan. la lalu dipondong dan diangkat keluar dari dalam kamar dan tak lama kemudian la sudah berada di dalam sebuah kereta, di tengah-tengah antara empat orang selir Perdana Menteri Jin Kui! Karena dijepit di tengahtengah, puteri itu nampaknya seperti seorang di antara selir-selir itu. Pada hal puteri itu berada dalam keadaan pingsan. Kereta itu dijalankan menuju ke pintu gerbang utara, dikawal oleh seorang perwira pengawal yang menunggang kuda. Ketika melewati penjagaan pintu gerbang, Semua perwira memberltahukan kepada para penjaga bahwa para selir Perdana Menteri pagi Itu hendak pergi mengunjungi kuiI yang berada di luar kota.

   Para penjaga tidak berani banyak rewel, hanya menjenguk sebentar ketika tirai kereta disingkap oleh seorang selir dan melihat bahwa yang berada di dalam kereta adalah selir-selir yang muda dan cantik. Kereta lalu malewati pintu gerbang dan menuju ke utara. Setelah agak jauh dari pintu gerbang, telah menanti sebuah kereta lain yang lebih kecil. Kereta ini dikusiri oleh Ciang Sun Hok sendiri dan bahkan dikawal oleh Si Muka Tengkorak. Sang puteri lalu dipindahkan ke dalam kereta dan kemudian kereta para selir melanjutkan perjalanan ke kuil. Setelah sang puteri dipindahkan ke dalam kereta kecil, ditemani Si Muka Tengkorak, dengan cepat tangan Tang Boa Lu membebaskan totokannya. Hiang Bwee sadar kembali, membuka matanya dan ia menahan jeritnya ketika melihat seorang yang mukanya seperti tengkorak duduk dl depannya.

   "Sssst, tidak perlu menjerit nona. Tidak akan ada yang mendengar dan kalau engkau menjerit, terpaksa aku akan menotokmu pingsan lagi. Aku tidak akan mengganggumu!"

   Hiang Bwee memandang muka itu dengan jijik dan ngeri.

   "Siapakah engkau? Dan aku... akan dibawa ke manakah?"

   "Aku adalah seorang panglima Kerajaan Kin..."

   "Ohhh...!"

   Hiang Bwee terkejut sekali mendengar bahwa ia telah terjatuh ke tangan musuh!

   "Jangan takut, nona kami tidak akan mengganggumu engkau hanya dijadikan tawanan dan akan kuserahkan kepada panglima kami. Kalau nona diam saja dan menurut, kami akan memperlakukanmu dengan baik."

   Hiang Bwee hanya mengangguk-angguk,matanya masih terbelalak, mukanya masih pucat. la maklum bahwa untuk sementara ini ia tidak dapat berbuat sesuatu dan memang lebih baik menurut saja dari pada dibuat pingsan seperti tadi. Kereta lalu dibalapkan menuju ke utara, memasuki daerah antara Kin dan Sung yang merupakan daerah tak bertuan. Kereta itu berjalan dengan cepat karena ditarik oleh empat ekor kuda. Akan tetapi ketika kereta sudah mendekati daerah Kin, tiba-tiba saja dari balik rumpun alang-alang dan batang-batang pohon berlompatan belasan orang, Kereta terpaksa berhenti karena dihadang orang-orang yang memegang pedang dan golok, Jumlah mereka ada lima belas orang, dipimpin seorang pemuda yang tampan dan gagah memegang pedang.

   "Berhenti! Siapa di kereta dan hendak pergi kemana?"

   Bentak pemuda itu. Mendengar ini, dan melihat ada belasan orang menghadang kereta Hiang Bwee berteriak,

   "Aku puteri Kaisar diculik..."

   Suaranya terhenti karena Si Muka Tengkorak sudah menotoknyal Tafig Boa Lu segera meloncat keluar dari dalam kereta dan bersama Ciang Sun ""k menghadapi belasan orang itu.

   "Kalian Jangan mencampuri urusan kami...!!"

   Bentak Ciang Sun Hok.

   "Aku adalah Seorang panglima pengawal dari Perdana Menteri Jin Kui, dan harus mengantarkan gadis ini ke suatu tempat."

   "Bebaskan sang puteri!"

   Terdengar teriakan.

   "Bunuh antek Menteri Jin Kui yang jahat!"

   Terdengar teriakan lain. Akan tetapi pemuda yang memimpin gerombolan itu mengangkat tangan kiri ke atas menyuruh anak buahnya berhenti berteriak, kemudian dia berkata kepada Ciang Sun Hok.

   "Benarkah gadis itu puteri kaisar yang diculik? Tidak mungkin engkau panglima Perdana Menteri kalau engkau menculik seorang puteri istana!"

   Karena didesak demlklan itu, Ciang Sun Hok menjadi marah dan dia membentak,

   "Kalian memang harus dibasmi!"

   Dan dia sudah menubruk kedepan dengan cengkeramannya. Pemuda Itu terkejut melihat serangan yang amat dahsyat Itu. Dia melompat ke belakang dan menggerakkan pedangnya menyerang dan begitu dia mainkan pedangnya, tahulah Ciang Sun Hok bahwa dia berhadapan dengan seorang murid Kun-lun-pai yang hebat sekali llmu pedangnya. Maka diapun mencabut pedang dari punggungnya dan mereka sudah terlibat dalam perkelahian yang seru. Sementara itu, belasan orang sudah mengepung dan hendak membantu pimpinan mereka, akan tetapi Si Muka Tengkorak mengamuk.

   Amukannya demikian hebatnya sehingga dalam beberapa detik saja empat orang sudah roboh oleh hantaman tangannya. Apa lagi ketika dia melolos sehelai sabuk rantai baja yang ujungnya runcing tajam lebih banyak lagi anak buah para pejuang itu yang roboh bermandikan darah. Melihat ini, pemuda Kun-lun-pai terkejut bukan main dan sebelum dia dapat berbuat sesuatu, Si Muka Tengkorak sudah melompat dekat membantu Ciang Sun Hok. Rantainya yang panjang sudah melibat pedang pemuda itu dan sekali renggut pedang itupun terampas dan di lain saat Ciang Sun Hok sudah mengirim sebuah tendangan yang membuat pemuda itu terjungkal dan pingsan! Para anak buah pejuang yang tinggal lima orang itu lalu melarikan diri, tak sanggup melawan dua orang yang ilmunya tinggi itu.

   "Kita tangkap pemuda Kun-lun-pai ini, bawa menghadap sebagai hadiah kepada panglima!"

   Kata Si Muka Tengkorak dan Ciang Sun Hok setuju saja. Pemuda itu lalu dibelenggu dan dilemparkan ke dalam kereta, sedangkan Si Muka Tengkorak duduk di depan bersama Ciang Sun Hok. Kereta lalu dibalapkan lagi menuju ke utara, memasuki perbatasan daerah Kin. Hiang Bwee terkejut dan juga khawatir sekali melihat pemuda yang dilempar masuk. Tadinya ia mengira bahwa pemuda itu Tan Tiong Li, akan tetapi ternyata bukan dan hatinya menjadi agak lega.

   Kini ia memperhatikan pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya. Ketika pemuda itu merintih, Hiang Bwee membantunya untuk bangkit dan duduk di atas bangku kereta di depannya. Pemuda itu membuka matanya dan menjadi bengong ketika memandang wajah seorang gadis cantik jelita yang duduk didalam kereta. Kemudian dia teringat dan berusaha untuk meronta dan melepeskan diri dari ikatan, namun sia-sia, ikatan itu terlampau kuat, Dia lalu menyadari keadaannya. Kedua orang itu terlalu kuat buat dia dan mereka duduk didepan. Andaikata dia mampu melepaskan ikatannyapun akan percuma saja. Dia tidak dapat melepaskan diri dari mereka berdua. Dia teringat akan teriakan tadi lalu mengangkat muka, memandang lagi kepada gadis itu. Hiang Bwee juga sedang memandang kepadanya. Dua sorot mata bertemu dan Hiang Bwee menunduk.

   "Nona, benarkah engkau puteri Sri Baginda Kaisar?"

   "Benar., aku diculik dari Istana,"

   Kata Hiang Bwee lirih. Akan tetapi betapapun lirihnya mereka bicara, tetap saja dapat terdengar oleh dua orang yang duduk dl depan. Dan agaknya kedua orang itu tidak perduli karena yakin bahwa dua orang tawanan mereka itu tidak akan dapat berbuat sesuatu untuk membebaskan diri.

   "Mau dibawa ke mana, nona?"

   "Aku tidak tahu. Siapakah namamu?"

   "Saya bernama Souw Cun Ki, murid Kun-lun-pai yang bergabung dengan para pejuang."

   "Souw-Enghiong (pendekar Souw), engkau harus berusaha untuk membebaskan aku namaku Sung Hiang Bwee, puteri kaisar..."

   "Ha-ha-ha, jangan bermimpi!"

   Tiba tiba terdengar Ciang Sun Hok tertawa.

   "Kalian tidak akan dapat bebas dan kalau banyak membuat ulah, kami akan memukul pingsan kalian!"

   Mendengar ini, Cun Ki memberi isyarat dengan matanya kepada puteri itu agar berdiam diri. Dia maklum bahwa ucapan itu bukan bualan kosong belaka. Kedua orang itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, dan andaikata dia dapat membebaskan kedua kaki tangannya sekalipun, dia tidak akan mampu menandingi mereka. Apa lagi dia telah kehilangan pedangnya. Akhirnya kereta dapat mencapai perbentengan di mana Panglima Besar Wu Chu berada. Panglima ini seorang laki- laki yang gagah, berusia empatpuluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya gagah perkasa dengan jenggot lebat, matanya lebar dan dia memang sejak mudanya menjadi perwira. Ketika dia mendengar laporan pembantunya, Si Muka Tengkorak bahwa Hak Bu Cu tewas di tangan seorang pemberontak, dia marah sekali.

   "Kenapa Perdana Menteri Jin tidak suruh tangkap pembunuh itu dan menghadapkannya kepadaku?"

   Bentaknya marah. Ciang Sun Hok yang menjadi utusan Perdana Menteri Jin Kui segera memberi hormat.

   "Harap thai-Ciangkun tidak berkecil hati. Kami akan mencari sampai dapat pembunuh itu dan sekarangpun sudah menjadi buruan kami. Sementara itu, Jin-Taijin mohon maaf dan untuk menghibur hati thai-Ciangkun, JinTaijin mengirimkan seorang siuli (wanita cantik) untuk menghibur hati Ciang- kun."

   "Hemm, terima kasih atas perhatian Jin-Taijin. Akan tetapi aku sudah mempunyai cukup banyak selir dan tidak membutuhkan wanita cantik,"

   Kata panglima besar itu dengan suara masih mengandung kemarahan.

   "Akan tetapi thai Ciangkun belum tahu siapa yang dikirimkan kepada thai Ciangkun. ia adalah puteri Kaisar Sung!"

   "Aha! Puteri Kaisar Sung?"

   "Ya, dan puteri yang pernah membuat thai-Ciangkun terkagum-kagum ketika Ciangkun berkunjung ke istana,"

   Tambah pula Ciang Sun Hok.

   "Cepat bawa ia masuk ke sini!"

   Perintah panglima besar itu dengan hati tertarik sekali. Mendengar bahwa wanita itu adalah puteri Kaisar Sung, tentu saja persoalannya menjadi lain lagi. Ketika puteri itu sudah dibawa masuk dan berdiri dengan kepala tunduk di hadapannya, ia tersenyum lebar dan wajahnya yang gagah itu menjadi berseri-seri. Dia teringat akan puteri yang pandai menari dan ketika dia berkunjung ke Istana Kaisar Sung dan disuguhi tarian puteri ini, dia memang sudah tergila-gila, akan tetapi tidak berdaya karena penari itu adalah puteri Kaisar! Dan sekarang, ternyata Perdana Menteri Jin dapat mengirim puteri yang pernah membuatnya tergila-gila itu kepadanya, bahkah mempersembahkan kepadanya.!

   "Ah, puteri yang pandai menari itu!"

   Katanya sambil memandang dengan penuh kagum. Sung Hiang Bwee mengangkat muka dan memandang kepada panglima utu dengan alis berkerut.

   "Kalau engkau sudah tahu bahwa aku puteri Kaisar, cepat kirim aku kembali kalau engkau tidak menghendaki ayahanda Kaisar marah kepadamu!"

   Panglima besar itu hanya tertawa dan memerintahkan beberapa orang dayang untuk membawa sang puteri ke dalam gedungnya. Hiang Bwee lalu di iringkan beberapa orang dayang ke dalam, dengan memegang! Kedua lengannya dari kanan kiri. Kini wajah panglima itu. menjadi cerah dan agaknya dia sudah melupakan lagi tentang kematlan pembantu yang di sayangnya, yaitu Hak Bu Cu. Kini Si Muka Tengkorak yang ingin mendapat pujian melaporkan bahwa dia juga menangkap seorang pemimpin pemberontak yang penting karena pemuda itu lihai sekali dan masih tokoh Kun-lun- pai.

   "Hemm, Kun-lun-pai berani terang-terangan memusuhi kita? Bawa dia masuk!"

   Souw Cun Ki diseret masuk dalam keadaan terbelenggu. Dia berdiri tegak di depan Panglima Wu Chu dan baru berlutut setelah dari belakang lututnya ditendang oleh Si Muka Tengkorak.

   "Benarkah engkau seorang tokoh Kun-lun-pai?"

   Tanya Panglima Wu Chu sambil memandang wajah yang tampan itu.

   "Siapa namamu dan siapa menyuruh engkau melakukan perlawanan terhadap Kerajaan Kin?"

   "Aku memang murid Kun-lun-pai bernama Souw Cun Ki, akan tetapi aku melawan penjajah Kin tidak atas suruhan siapa-siapa, melainkan kehendakku sendiri! Kalau mau hukum, laksanakanlah, aku tidak takut mati!"

   "Hemm, kamipun tidak percaya bahwa Kun-lun-pai terang-terangan memusuhi kami! Kalau demikian halnya, kami akan mengutus pasukan untuk membasmi Kun-lunpai! Pengawal, masukkan dia dipenjara sambil menanti penyelidikan apakah benar Kun-lun-pai memusuhi kita!"

   Empat orang pengawal lalu maju dan menyeret Cun Ki untuk dibawa dan dimasukkan ke dalam penjara... Setelah itu, Panglima Wu Chu menjamu Ciang Sun Hok sebagai utusan Perdana Menteri Jin Kui sambil bercakap-cakap membicarakan keadaan di Kerajaan Sung.

   "Harap thai-Ciangkun jangan khawatir. Jin-Taijin sedang berusaha sekuatnya untuk menghancurkan para pemberontak itu dan kami yakin akan dapat menangkap pembunuh Hak Bu Chu,"

   Kata Ciang Sun Hok ketika mereka menghadapi perjamuan.

   "Aku percaya akan hal itu dan sampaikan terima kasihku kepada Jin-tai jin atas pengiriman puteri itu."

   Kata Wu Chu dengan gembira membayangkan betapa dia akan dilayani oleh seorang puteri tulen, bahkan puteri dari Kaisar Sung. Sebuah penghormatan yang teramat besar! Bahkan rajanya sendiri tidak memperoleh kehormatan seperti itu! Akan tetapi, betapa kecewa hati Pangiima besar Wu Chu. Ketika malam itu dia memasuki kamar Sung Wang Bwee, puteri itu sama sekali tidak mau menerimanya dengan baik, apa lagi melayaninya. Puteri itu bahkan memaki-maki ia sebagai orang tidak tahu malu.

   "Engkau dulu menjadi tamu ayahanda Kaisar dan diterima dengan penuh penghormatan. Siapa tahu engkau hanya seorang manusia rendah budi, seorang pengecut besar yang menyuruh orang menculik aku. Jangan dekati aku. Kalau sampai meraba tubuhku, aku akan membunuh diri!"

   Panglima Besar Wu Chu adalah seorang jantan. Selama ini, hampir setiap wanita mengharapkan untuk menjadi selirnya. Dia adalah orang mempunyai kekuasaan besar di Kerajaan Kin, menjadi orang kedua setelah raja. Dia gagah perkasa dan royal, maka mana ada wanita menolaknya. Kini, berhadapan dengan puteri Sung Hiang Bwee, dia malah dimaki-maki! Dia bukan seorang laki-laki yang suka memaksa atau memperkosa wanita. Maka tentu saja dia menjadi marah bukan main karena merasa terhina.

   "Bawa ia ke penjara! Jebloskan ke dalam kurungan sampai ia bersedia melayani aku!"

   Bentaknya dengan marah setelah dia membujuk-bujuk dengan halus sampai kasar tidak dapat menundukkan hati puteri itu. Para pengawal lalu menggiring Hiang Bwee masuk ke dalam penjara. Agaknya panglima itu hendak memancing agar sang puteri dan orang Kun-lun-pai itu bercakap-cakap mengenai rahasia pemberontakan, maka dia menyuruh kurung puteri itu berdekatan dengan kamar tahanan Souw Cun Ki hingga mereka dapat saling bicara melalui celah-celah jeruji baja yang memisahkan mereka. Ketika melihat penolongnya berada di kamar sebelah, hati Hiang Bwee agak terhibur dan segera ia mendekati dan memegang jeruji baja itu sambil memandang ke kamar sebelah. Souw Cun Ki terkejut dan heran melihat sang puteri dimasukkan dalam kamar penjara sebelahnya.

   "Eh, kenapa engkau Juga dipenjara, nona?"

   Katanya dan dalam keadaan seperti itu, dia lupa akan peradatan bersikap dan berbicara kepada sang puteri kaisar! Hiang Bwee juga tidak memperdulikan pemuda itu menyebutnya nona dan berengkau ke padanya.

   

Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini