Mestika Golok Naga 8
Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
"Tidak banyak,"
Kata Tiong Li.
"Nyawamu dan nyawa anakmu ini hendak kutukar dengan kebebasan puteri Sung Hiang Bwee dan Mestika Golok Naga!"
"Akan tetapi..."
"Jangan banyak cakap lagi. Kalau tidak setuju, aku akan membunuh puteramu dulu baru engkau!"
Para pasukan itu hendak menerjang maju, akan tetapi Panglima Wu Chu membentak mereka agar tidak bergerak.
"Kalian jangan bergerak! Perwira Tong, cepat ambilkan sebuah golok naga!"
Yang disebut perwira Tong itu seorang yang pendek gendut segera maju dan menyerahkan sebatang golok yang berukir naga kepada Tiong Li.
"Apakah ini Mestika Golok Naga?"
Tanyanya kepada Wu Chu.
"Benar!"
Tiong Li mengambil golok itu, menekuk dengan kedua tangan sambil memodong anak itu dan golok itu patah menjadi dua potong!
"Kau bohong!"
Dia menghardik dan menodongkan senjatanya sehingga sedikit melukai kulit dada panglima itu.
"Serahkan yang aselinya atau anakmu akan kusembelih!"
Kini dia menempelkan goloknya ke leher anak itu yang menjerit-jerit ketakutan. Panglima Wu Chu memandang dengan khawatir sekali.
"Cepat ambilkan Mestika Golok Naga di kamarku, tergantung di dinding!"
Perintahnya dan perwira Tong itu segera berlari pergi. Tak lama kemudian dia telah kembali membawa sebatang golok dalam sarung.
"Cabut golok itu dan serahkan kepadaku!"
Bentak Tiong Li. Perwira itu memandang atasannya dan Panglima Wu Chu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiong Li menerima golok itu dan baru memegangnya saja dia sudah yakin bahwa inilah golok aselinya. Dia mengadukan golok yang dipegangnya dengan golok itu dan goloknya patah menjadi dua dengan mudah! Kini dia memegang Mestika Golok Naga itu dan mengikatkan sarungnya di pinggang. Karena anak itu masih dipondongnya, Panglima Wu Chu tidak berani bergerak.
"Sekarang bawa keluar sang puteri. Cepat!"
"Bawa ia keluar!"
Kata Panglima Wu Chu. Kembali perwira Tong yang berlari lari dan tidak terlalu lama kemudian dia sudah datang lagi mengikuti seorang wanita yang bukan lain adalah Sung Hiang Bwee. Puteri itu masih menjadi orang tahanan karena ia selalu menolak keinginan Wu Chu dan begitu melihat Tiong Li, sang puteri menangis menghampiri.
"Akhirnya engkau datang juga menolongku...!"
Sang puteri saking girangnya hendak merangkul Tiong Li akan tetap! pemuda itu berkata.
"Nona, bersiaplah untuk keluar dari tempat ini. Harap engkau berjalan di belakangku,"
Kata Tiong Li dengan singkat. Melihat kesungguhan sikap pemuda ini yang menodong Panglima Wu Chu dengan goloknya, puteri itupun maklum akan gawatnya keadaan.
"Baik, Taihiap. Sungguh aku girang sekali melihat engkau,"
Katanya lalu iapun berdiri di belakang pemuda itu. Tiba-tiba dua orang pengawal dengan nekat menubruk dan menyerang Tiong Li. Tiong Li menggerakkan goloknya dan nampak sinar terang berkelebat di susul robohnya kedua orang itu, mandi darah.
"Sekali lagi ada yang bergerak, yang akan kubunuh adalah panglima dan puteranya!"
Bentak Tiong Li dengan hati khawatir juga karena kalau sekian banyaknya pasukan mengeroyoknya, biarpun dia akan dapat membunuh panglima itu, dia tentu tidak tega membunuh puteranya dan dia tidak akan mampu melindungi sang puteri!
"Tolol! Jangan ada yang menyerang!"
Teriak sang panglima yang tentu saja mengkhawatirkan dirinya sendiri dan puteranya.
"Ciangkun, sekarang engkau berjalan di depanku dan mengantarku keluar dari rumah ini. Hayo cepat dan jangan ada yang mendekat!"
Panglima itu terpaksa menurut dan semua pengawal hanya dapat mengikuti saja tidak berani terlalu mendekat. Tiong Li sambil memondong anak yang kini sudah agak mereda tangisnya, menodongkan goloknya ke punggung sang panglima dan Sung Hiang Bwee melangkah di belakangnya. Setelah tiba. di luar pintu gerbang Sehingga tentu akan kelihatan oleh Siang Hwi, Tiong Li berteriak,
"Hwimoi, cepat kau ke sini!"
Gadis itu meloncat dekat dan semua pasukan tidak sempat menghadangnya.
"Bawa sang puteri pergi dari sini. Awas, kalau ada yang menghalangi atau mengejar, aku akan membunuh panglima dan puteranya!"
Tiong Li berseru dengan suara berwibawa.
"Mari, sang puteri!"
Kata Siang Hwi sambil menggandeng tangan Sung Hiang Bwee, diajak pergi dari situ dengan cepat.
Tidak ada seorangpun berani menghalangi dan tidak ada pula yang berani melakukan pengejaran. Sebentar saja bayangan kedua orang gadis itu lenyap ditelan kegelapan malam. Siang Hwi membawa puteri itu keluar dari kota melalui pagar tembok yang dilompatinya sambil menggendong puteri itu. dani ia segera mengajak puteri itu berlari menuju ke perbukitan Fu-niu-san. Sementara itu, Tiong Li yang masih memondong anak itu, minta diantar keluar dari pintu gerbang timur untuk mengalihkan perhatian. Sedikitnya seratus orang perajurit tetap saja mengikutinya dari jarak yang tidak terlaui dekat dan panglima itu masih terus di todong di depannya. Setelah agak jauh dari pintu gerbang, barulah Tiong Li menurunkan anak itu dari pondongannya dan anak itu segera dipondong ayahnya.!
"Ciangkun, maafkan aku. Terpaksa aku mengambil cara ini untuk membebaskan sang puteri dan untuk mengambil kembali Mestika Golok Naga. Engkau tidak berhak atas keduanya. Kalau aku menjadi engkau, aku tidak akan mengerahkan orang mencariku. Selain percuma, juga kalau aku menjadi marah mungkin peristiwa seperti ini akan terulang lagi. Akan tetapi belum tentu aku akan membebaskanmu! Nah, selamat tinggal!"
Tiba-tiba Tiong Li meloncat dan berkelebat menghilang di dalam kegelap an malam.
"Kejar dan Tangkap dia!"
Kini panglima itu berteriak-teriak dan dia sendiri mendekap dan menciumi puteranya dengan hati lega karena putera yang disayangnya itu selamat. Saking marahnya hati Panglima Wu Chu, dia memerintahkan pada malam hari itu juga untuk membunuh Souw Cun Ki, pemuda Kun-lun-pai yang dulu pernah hendak menolong sang puteri. Tanpa banyak alasan lagi malam hari itu juga Souw Cun Ki dibunuh oleh para pengawal di dalam kamar tahanannya! Siang Hwi mengajak Hiang Bwee ke puncak bukit di mana kuil Siauw-lim-si itu berada dan cepat mereka diterima oleh Ceng Ho Hwe-shio dan diajak ke sebelah dalam.
"Enci, siapakah engkau?"
Tanya puteri itu kepada Siang Hwi.
"Saya bernama The Siang Hwi, nona,"
Jawab Siang Hwi dengan hormat.
"Dan ini adalah Ceng Ho Hwe-shio, ketua kuil ini yang melindungi dan menyembunyikan kita. Di sini, engkau tidak usah khawatir karena tidak ada yang akan berani mencari ke dalam."
"Aku tidak khawatir selama Tan-Taihiap berada bersamaku,"
Jawab puteri Itu.
"Bukan main gagah dan lihainya Tan-Taihiap. Berani menawan Panglima, Wu Chu dan memaksanya membebaskan aku Akan tetapi, bagaimana dia akan dapat membebaskan diri dari kepungan pasukan sebanyak itu?"
"Harap jangan khawatir, aku yakin, bahwa Li-Koko akan mampu membebaskan diri."
"Hemm, apa hubunganmu dengan Tan-Taihiap, enci?"
Wajah Siang Hwi berubah kemerahan ditanya seperti itu.
"Kami... kami adalah sahabat baik yang bekerja sama untuk membebaskanmu dari tempat tinggal Panglima Wu Chu. Sudahlah, nona. Engkau telah melakukan perjalanan melelahkan dan mengalami banyak hal yang menggelisahkan, harap beristirahat dan tidur."
"Bagaimana aku dapat tidur sebelum Tan-Taihiap datang? Aku harus melihat dia selamat dulu dan tiba di sini,"
Kata puteri itu dan Siang Hwi merasa hatinya tidak enak sekali. Dari sikapnya, jelas baginya bahwa sang puteri ini rupanya amat tertarik dan memperhatikan Tiong Li. Dan ia sudah mendengar dari Tiong Li betapa pemuda itu pernah membebaskan puteri ini dari tangan seorang penculik dahulu. Mereka sudah saling mengenal. Baru menjelang pagi Tiong Li yang melarikan diri dari pintu gerbang timur itu tiba di situ. Bayangannya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah berada di depan dua orang gadis itu.
"Tan-Taihiap...!"
Sang puteri berseru gembira, bangkit berdiri dan menyongsong pemuda itu, lalu tanpa ragu dan sungkan lagi ia memegang kedua tangan Tiong Li.
"Engkau membuatku tidak dapat tidur, khawatir kalau engkau tidak dapat lolos dari kepungan mereka! Bagaimana, Taihiap? Apakah engkau sudah membunuh jahanam Wu Chu itu?"
"Tidak, nona. Aku sudah berjanji menukarkan nyawanya dan nyawa puteranya dengan dirimu dan Mestika Golok Naga!"
"Ah, sayang. Orang macam itu sebaiknya dibunuh saja!"
Kata sang puteri dengan kecewa.
"Dan kapan engkau akan mengantar aku pulang ke istana? Sekali ini ayah tentu akan girang sekali dan engkau tidak boleh lagi menolak anugerah pemberian ayahanda Kaisar"
"Kita tidak boleh tergesa meninggalkan tempat ini, nona. Panglima Wu Chu tentu sedang mengerahkan pasukannya untuk melakukan pengejaran sampai di perbatasan. Bahkan mungkin dia sudah menghubungi Perdana Menteri Jin Kui untuk membantunya melakukan penangkapan terhadap diriku kalau aku berhasil melewati perbatasan. Sebaiknya untuk selama beberapa hari ini kita tinggal dulu di sini."
"Omitohud! Selamat, selamat, Tan-Sicu. Engkau telah berhasil! Benar sekali, tuan puteri. Sebaiknya cu-wi tinggal di sini dulu sampai pengejaran itu mereda. Pinceng akan menyuruh para murid menyelidiki. Kalau sudah mereda, barulah kalian pergi meninggalkan kuil dan kembali ke selatan,"
Kata Ceng Ho Hweshio yang muncul dan tersenyum lebar kepada Tiong Li. Tiong Li memberi hormat kepada hwe-shio tua Itu.
"Kalau tidak ada pertolongan dari Lo-Suhu, semua usaha kami akan sia-sia belaka. Juga jasa Hwi-moi tidak boleh dilupakan, ia yang telah mengawal sang puteri sampai kesini tanpa diketahui orang. Engkau memang hebat, Hwi-moi!"
Siang Hwi tersenyum dengan hati senang, la tahu bahwa kekasihnya itu sengaja memujinya untuk menyenangkan hatinya.
"Ahh, aku hanya membantumu, Koko. Tidak usah terlalu memujiku! Engkaulah yang hebat. Tak kusangka engkau akan dapat menawan mereka semudah itu. Dan engkau telah berganti pakaian seorang di antara penjaga. Lucu sekali. Ceritakan, Koko, bagaimana engkau melakukannya?"
Sang puteri mengerutkan alisnya. Dilihatnya betapa akrab kedua orang muda itu dan dari pandang mata mereka saja ia sudah dapat tahu bahwa ada apa-apa di antara mereka!
"Ya, ceritakanlah, Tan-Taihiap. Akupun ingin mendengarnya,"
Akhirnya ia berkata agar jangan merasa terlalu tersisih. Tiong Li lalu menceritakan pengalamannya ketika menyandera Wu Chu dan puteranya
(Lanjut ke Jilid 08)
Mestika Golok Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo
Jilid 08
sambil menyamar sebagai seorang peronda. Semua yang mendengarnya memuji, bahkan Ceng Ho Hwe-shio menarik napas panjang sambil berkata.
"Omitohud, engkau memang luar biasa sekali, TanTaihiap! Biarpun aku belum melihatnya sendiri, aku yakin bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau boleh pin-ceng mengetahui, siapakah gurumu, Sicu?"
Terhadap hwe-shio yang sudah menolongnya itu, Tiong Li tidak ingin menyembunyikan keadaan dirinya.
"Saya mempunyai tiga orang guru, Lo-Suhu. Guru saya yang pertama adalah mendiang Pek Hong San-jin, yang kedua adalah suhu Thian Kui Lo-jin dan ke tiga Tee Kui Lo-jin."
Ceng Ho Hwe-shio terbelalak.
"Omitohud...! Pin-ceng mengenal siapa mereka! Kiranya Sicu murid orang-orang sakti itu. Pantas saja kalau begitu dan pinceng merasa girang sekali dapat membantu murid mereka."
Demikianlah, setelah tinggal disitu selama sepekan dan dari para hwe-shio yang melakukan penyelidikan di peroleh keterangan bahwa kini tidak ada lagi pasukan yang mencari-cari mereka, Tiong Li lalu mengajak Siang Hwi dan puteri itu untuk meninggalkan kuil. Mereka membeli tiga ekor kuda atas bantuan para hwe-shio dan mereka meninggalkan kuil itu dengan menunggang kuda. Untung bahwa puteri Hiang Bwee biarpun tidak pandai silat akan tetapi mempunyai kegemaran ikut ayahanda kaisar pergi berburu binatang buas sehingga ia pandai menunggang kuda.
Puteri dan Siang Hwi tidur sekamar ketika berada di kuil dan dalam kesempatan ini, sang puteri yang tadinya merasa cemburu kepada Siang Hwi, mendengar pengakuan Siang Hwi bahwa gadis itu saling mencinta dengan Tiong Li.Setelah mendengarkan pengakuan ini, Hiang Bwee dapat menerima kenyataan, ia adalah seorang puteri, tidak mungkin begitu saja menjatuhkan cintanya kepada setiap orang pria. Baginya, perjodohannya berada di tangan Kaisar dan ia tidak mungkin dapat memilih jodohnya sendiri. Perjalanan itu melalui padang luas dan pada suatu hari mereka sudah tiba di daerah Kerajaan Sung. Ketika mereka menjalankan kudanya perlahan-lahan karena sudah lelah dan mencari tempat yang baik untuk mengaso, tiba-tiba muncul seorang wanita di tempat sunyi itu yang menghadang perjalanan mereka.
"Subo...!!"
Siang Hwi berseru dan cepat ia melompat turun dari kudanya untuk menghampiri Ban-Tok Sian-Li yang berdiri tegak memandang mereka dengan sinar mata tajam, terutama pandang matanya kepada Tiong Li ia bahkan acuh saja terhadap muridnya yang menghampirinya.
"Subo, kami telah berhasil membebaskan tuan puteri Sung Hiang Bwee dan merampas kembali Mestika Golok Naga!"
Kata Siang Hwi yang hendak mengabarkan berita menggembirakan itu kepada Subonya, juga hendak memamerkan jasa besar yang telah dibuat oleh Tiong Li. Akan tetapi gurunya tidak menjawab, melainkan maju menghampiri Tiong Li dan juga sang puteri yang sudah melompat turun dari atas kuda mereka Tiong Li memberi hormat.
"Sian-Li, apakah selama ini engkau baik-baik saja?"
Tegurnya ramah. Bagaimanapun juga, wanita ini adalah guru dari kekasihnya yang selayaknya dihormatinya. Akan tetapi Ban-Tok Sian-Li memandang ke arah pinggangnya di mana tergantung Mestika Golok Naga dalam sarungnya.
"Tan Tiong Li, engkau sudah berhsil merampas kembali Mestika Golok Naga?"
"Benar, Sian-Li. Inilah dia!"
Kata Tiong Li.
"Kami akan mengembalikan kepada Sri Baginda Kaisar, bersama sang puteri."
"Berikan kepadaku! Golok Pusaka itu tidak sepatutnya berada di tangan Kaisar yang lemah. Berikan kepadaku untuk kupakai membasmi Bangsa Kin dan mengusirnya dari tanah air."
"Subo...!"
Seru Siang Hwi.
"Maafkan, Sian-Li. Akan tetapi golok pusaka ini memang milik istana, maka harus kembali ke istana juga."
Tiba-tiba Ban-Tok Sian-Li melompat kedekat puteri Hiang Bwee dan sekali mencengkeram pundak puteri itu, ia membuat puteri itu terkulai roboh. Sambil tersenyum mengejek Ban-Tok Sian-Li melompat ke belakang.
"Subo, apa yang kau lakukan ini?"
Teriak Siang Hwi terkejut.
"Nona Hiang Bwe...!"
Tiong Li juga berseru, sama sekali tidak mengira bahwa Ban-Tok Sian-Li akan melakukan hal itu sehingga dia tidak keburu mencegahnya. Wajah puteri itu menyeringai kesakitan dan pucat sekali. Baju di pundaknya robek dan nampak pundaknya merah menghitam! Melihat ini, terkejutlah Tiong Li karena dia maklum bahwa pundak itu telah terluka beracun yang amat hebat.
"Subo, kenapa engkau melakukan ini?"
Tanya Siang Hwi dengan bingung, dan kepada Tiong Li ia berkata.
"Koko, inilah luka Ban-tok-ciam (Jarum Selaksa Racun), tidak ada obatnya, Kecuali Subo, tidak ada seorangpun yang akan mampu menyembuhkannya dan dalam waktu sehari semalam, yang terluka akan tewas!"
Tiong Li marah sekali. Kiranya ketika mencengkeram tadi, tangan Ban-Tok Sian-Li menggunakan jarum beracun yang dimasukkan ke dalam pundak puteri itu.
"Ban-Tok Sian-Li, apa maksudmu dengan perbuatan ini? Engkau telah meracuni puteri Kaisar? Kenapa engkau hendak membunuhnya?"
Tiong Li sudah siap untuk menyerang wanita itu. Akan tetapi Ban-Tok Sian-Li bertolak pinggang dan tersenyum.
"Siapa mau membunuhnya? Ingat, aku mempunyai obat pemunahnya seperti yang dikatakan Siang Hwi. Biar Siang Hwi sendiri tidak kuberi obat pemunahnya maka kalau engkau menghendaki puteri itu sembuh, serahkan Mestika Golok Naga kepadaku!"
"Subo...!"
Siang Hwi kembali berseru penasaran.
"Diam! Engkau tidak boleh mencampuri urusan ini!"
Bentak gurunya.
"Bagaimana. Tiong Li? Maukah engkau menukar nyawa puteri itu dengan Mestika Golok Naga?"
Tiong Li berdiri dengan kedua tangan terkepal dan dia ragu ragu. Dia dapat mengalahkan wanita itu. akan tetapi dia meragu apakah dia dapat memaksanya menyerahkan obat pemunah. Wanita seperti itu memiliki kekerasan hati yang aneh, mungkin sampai mati dia tidak akan dapat memaksanya.
"Tiong Li, jangan mencoba-coba untuk menyerangku. Selain belum tentu engkau akan dapat mengalahkan aku dengan mudah, juga andaikata engkau menang dan aku mati, apa gunanya? Puteri itu akan mati pula bersamaku Nah, serahkan Mestika Golok Naga kepadaku!"
"Sian-Li, jangan menggertak aku. Aku masih mempunyai sinkang cukup kuat untuk mengusir hawa beracun dari tubuh sang puteri!"
Tiong Li balas menggertak.
"Hi-hik, boleh kau coba kalau engkau ingin melihat puteri itu cepat mati. Bukan hawa beracun yang mematikannya, melainkan darahnya sudah keracunan. Betapapun kuatnya sinkangmu, tidak akan dapat membersihkan darahnya."
Tiong Li memandang kepada Siang Hwi untuk bertanya pendapat gadis itu yang tentu saja lebih mengerti dan gadis itu mengangguk dengan muka sedih,
"la tidak berbohong, Koko. Racun Ban-tok ciam langsung membuat darah keracunan dan tidak dapat diusir dengan sin-kang, hanya dapat disembuhkan dengan racun pemunah lain yang hanya dimiliki Subo."
Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiong Li menghela napas panjang. Tidak percuma kiranya wanita itu berjuluk Ban-Tok Sian-Li! Ternyata penggunaan racunnya amat jahat. Hanya lawan, yang amat tangguh saja. yang akan mampu mengalahkan seorang wanita berbahaya seperti ini. Entah bagaimana nanti kalau ia sudah memiliki Mestika Golok Naga! Akan tetapi, bagaimanapun juga ia tidak mungkin mengorbankan nyawa sang puteri.
"Tan-Taihiap, bawalah pulang pusaka itu dan serahkan kepada ayah. Katakan bahwa aku tewas di tangan wanita ini. Ayah tentu akan mengerahkan seluruh pasukan untuk menangkapnya dan biarpun ia akan terbang ke langit, tentu akhirnya ayahanda kaisar akan dapat menangkapnya!"
Kata Hiang Bwee dan mendengar ucapan puteri ini, diam-diam Ban-Tok Sian-Li menjadi ketakutan sekali.
Kalau ucapan gadis itu dituruti Tiong Li, ia tidak akan mendapatkan Mestika Golok Naga malah, akan menjadi buronan pemerintah. Ucapan gadis bangsawan itu bukan gertak kosong belaka. Kalau Kaisar marah dan mengerahkan pasukan mencarinya, ke mana ia akan dapat melarikan diri? Akan tetapi Tiong Li berpendapat lain. Dia tidak mau mengorbankan nyawa puteri itu. Dia akan menyerahkan golok dan setelah puteri terbebas dari ancaman maut dan kembali ke istana, dia akan mulai lagi dan berusaha merampasnya dari tangan Ban-Tok Sian-Li kelak. Dia melepaskan ikatan sarung golok dari pinggangnya.
"Baik, aku akan menyerahkan golok pusaka, akan tetapi bagaimana aku dapat yakin bahwa engkau akan memberikan obat pemunahnya yang benar?"
"Hemm, ada Siang Hwi di sampingmu, ia tentu akan dapat mengetahui mana obat pemunah aseli mana yang palsu,"
Kata Ban-Tok Sian-Li.
"Akan tetapi siapa berani tanggung bahwa setelah menerima obat pemunah, engkau tidak akan menyerangku dan tidak memberikan golok itu?"
"Aku adalah seorang laki-laki sejati. Aku berjanji bahwa setelah menukar golok dengan obat pemunah di sini, aku tidak akan menyerangmu. Akan tetapi kalau lain kali kita bertemu jangan salahkan aku kalau aku memberi hajaran kepadamu dan merampas kembali golok pusaka!"
"Baik, berikan golok itu dan akan kuberikan obat pemunah,"
Katanya.
"Perlahan dulu!"
Kata Tiong Li.
"Berikan dulu obat pemunah dan. setelah dipastikan tidak palsu, baru akan kuserahkan golok ini kepadamu. Nama dan kehormatanku menjadi jaminan janjiku!"
Ban-Tok Sian-Li lalu melemparkan sebungkus obat bubuk kepada Tiong Li dan pemuda Itu lalu menyerahkan kepada Siang Hwi. Gadis ini membuka buntalan, mencium obat bubuk itu dan ia lalu menghampiri sang puteri yang masih menyeringai kesakitan.
"Tuan puteri, minumlah semua obat bubuk ini."
Dikeluarkannya sebotol arak ringan dan obat itu lalu diminumkan dengan arak ringan. Setelah minum obat itu, perlahan-lahan rasa nyeri itu menghilang dan warna biru kehitaman pada pundak juga mulai berkurang. Siang Hwi lalu menyedot keluar jarum itu dengan isapan mulutnya dan menggigit jarum itu lalu membuangnya. Kemudian ia minum sisa obat yang memang disediakan untuk dirinya agar ia tidak terpengaruh sisa racun yang berada di jarum. Setelah itu ia memandang kepada Tiong Li dan mengangguk.
"Sekarang tuan puteri sudah aman,"
Katanya lirih. Tiong Li menyerahkan Mestika Golok Naga kepada Ban-Tok Sian-Li yang menerimanya sambil tersenyum dan wajahnya cerah gembira sekali. Dicabutnya golok itu untuk memeriksanya.Nampak sinar berkilat ketika golok dicabut dan wanita itu mengangguk senang, lalu disimpannya kembali golok ke dalam sarungnya, di ikatkan sarung itu di punggungnya dan iapun melompat pergi tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Subo, tunggu dulu...!"
Teriak Siang Hwi dan gurunya berhenti berlari, lalu membalikkan tubuh memandang kepada muridnya.
"Mau bicara apa lagi?"
Bentaknya.
"Bukan aku yang bicara, akan tetapi Koko Tiong Li mempunyai sesuatu yang ingin ia sampaikan kepadamu!"
Kata Siang Hwi sambil memandang kepada kekasihnya. Pemuda ini maklum apa yang berada dalam pikiran gadis itu, maka diapun melangkah maju dan memberi hormat kepada Dewi Selaksa Racun itu.
"Sian-Li, aku dan Hwi-moi sudah saling mencinta dan saling berjanji untuk menjadi suami isteri. Mengingat bahwa Hwi-moi sudah tidak mempunyai keluarga lagi, maka aku mengajukan pinangan kepadamu sebagai gurunya untuk meminang Hwi-moi menjadi jodohku!"
Puteri Sung Hiang Bwee memandang semua ini dengan mata terbelalak penuh keheranan dan kengerian. Bagaimana orang-orang kang-ouw itu bersikap ketika mengajukan pinangan. Pinangan diajukan di antaramereka, secara terus terang tanpa perantara lagi. Seolah bukan gadis yang diminta untuk diperisteri, seperti minta, sebuah benda saja.! Ban-Tok Sian-Li memandang kepada muridnya.
"Siang Hwi sudah dewasa, ia boleh memutuskannya sendiri. Andaikata aku ikut campur sekalipun ia tidak akan taatkepadaku. Terserah kepada kalian!"
Setelah berkata demikian wanita itu berkelebat dan lenyap dari situ. Siang Hwi saling pandang dengan Tiong Li dan tiba-tiba terdengar orang bertepuk tangan. Mereka berpaling dan ternyata yang bertepuk tangan itu adalah puteri Sung Hiang Bwee. ini berarti bahwa sang puteri telah Sembuh, atau setidaknya pundaknya sudah tidak terasa nyeri lagi dipakai bertepuk tangan.
"Kiong-hi, Kiong-hi (selamat)! Wah, aku harus mengucapkan selamat atas pertunangan kalian,"
Katanya sambil menghampiri Siang Hwi. Di lolosnya sehelai kalung emas permata hiasan batu kemala, dan dikalungkan kalung itu ke leher Siang Hwi.
"Ini hadiah dariku untukmu, enci Siang Hwi."
"Terima kasih, tuan puteri. Paduka baik sekali."
"Ih, apanya yang baik. Kalau tidak ada kalian berdua, entah sudah menjadi apa aku ini? Menjadi makanan burung gagak berangkali,"
Kata puteri itu tertawa. Di dalam waktu yang amat singkat ternyata puteri itu telah telah bebas dari ancaman racun Ban-tok-ciam. Mereka lalu melanjutkan perjalanan setelah mengumpulkan kuda mereka. Di tengah perjalanan Tiong Li bertanya.
"Hwi-moi, apakah engkau juga pandai mempergunakan Ban-tok-ciam?"
"Subo pernah mengajarkan kepadaku. Jarum halus itu dapat disembunyikan dalam kepalan tangan dan sambil memukul jarum itu dapat dilepaskan. Akan tetapi Subo tidak pernah memberikan obat pemunahnya atau cara membuatnya sehingga aku tidak pernah mau menggunakan jarum selaksa racun itu. Terlalu keji kalau aku tidak mengetahui pemunahnya."
"Kau benar, Hwi-moi. Kalau engkau tidak dapat memunahkan racunnya, memang tidak perlu menggunakan senjata rahasia macam itu. Kurasa kalau yang diserang itu memiliki sin-kang yang kuat, dia akan mampu mencegah menjalarnya racun ke dalam darah dan hanya meracuni setempat saja yang mudah disembuhkan dengan pembedahan di tempat
dan mengeluarkan racunnya."
"Engkau benar, Koko"
Karena kini mereka sudah tiba di daerah Sung, maka perjalanan dapat mereka lakukan dengan lancar tanpa halangan. Tidak lama kemudian mereka bertemu dengan sepasukan Sung yang dipimpin oleh seorang perwira kerajaan. Melihat Tiong Li yang dianggap buronan dan penculik sang puteri, perwira Itu tentu saja terkejut bukan main. Apa lagi melihat sang puteri menunggang kuda bersama orang buruan itu.
"Kepung! Tangkap pemberontak!"
"Tangkap penculik!"
"Selamatkan sang puteri!"
Mereka itu berteriak teriak sambil mengepung dan mengacung-acungkan senjata. Melihat ancaman kepungan ini, Sung Hiang Bwee mengajukan kudanya dan membentak,
"Apa yang hendak kalian lakukan ini? Tan-Taihiap dan nona The ini adalah penolong penolongku dari tangan penculik. Jangan menuduh sembarangan! Hayo sediakan sebuah kereta untukku, agar dapat kupakai pulang ke istana!"
Perwira itu terkejut dan heran, lalu memerintahkan pasukannya untuk mundur dan menyediakan sebuah kereta itu mengawal sang puteri yang duduk di dalam kereta bersama Siang Hwi, dan Tiong Li juga mengawal naik kuda di dekat kereta. Ketika mereka dihadapkan Kaisar, Kaisar girang bukan main melihat puterinya pulang dalam keadaan sehat dan dia mendengarkan laporan puterinya, betapa ia diculik oleh penjahat dan diberikan kepada Panglima Bangsa Kin, kemudian diselamatkan oleh Tiong Li dan Siang Hwi. Mendengar ini, Kaisar merasa girang dan berterima kasih kepada, Tiong Li. Biarpun Tiong Li menduga keras bahwa penculikan sang puteri itu adalah perbuatan yang didalangi oleh Perdana Menteri Jin Kui, akan tetapi karena tidak ada bukti, diapun tidak berani sembarangan menuduh.
"Tiong Li, engkau sudah berjasa besar sebanyak dua kali. Sekarang kami hendak menganugerahkan pangkat pengawal istana untuk menjaga keselamatan keluarga kerajaan."
"Ampun beribu ampun. Yang Mulia. Bukan sekali-kali hamba menolak anugerah Paduka yang berlimpah, melainkan hamba masih memiliki tugas yang penting, yaitu merampas kembali Mestika Golok Naga yang lenyap diambil pencuri dari gedung pusaka."
"Ah, pusaka itu sudah lama dicuri orang dan sampai sekarang para pengawal belum juga mampu menemukannya."
"Hamba sudah tahu siapa yang mengambilnya, Yang Mulia. Dan hamba berjanji untuk mendapatkannya kembali untuk Paduka."
"Ayahanda, sebetulnya Mestika Golok Naga itupun diambil oleh Panglima! Wu Chu dan sudah berhasil dirampas kembali oleh Tan-Taihiap. Akan tetapi di tengah perjalanan, saya dilukai orang dan orang itu memaksa Tan-Taihiap menyerahkan golok pusaka itu untuk ditukar dengan obat yang akan menyelamatkan nyawa saya. Tan-Taihiap terpaksa menukarkan golok itu dengan obat pemunah racun yang melukai saya."
"Jahanam betul! Siapa orang itu?"
"Seorang wanita kang-ouw, Yang Mulia,"
Kata Tiong Li tanpa menyebutkan nama karena merasa tidak enak kepada Siang Hwi sebagai murid perampas golok pusaka itu.
"Baiklah, kalau begitu engkau pergilah untuk merampas kembali golok itu. Tiong Li,"
Katanya kemudian.
"Akan tetapi Yang Mulia, gambar hamba terpampang di mana-mana sebagai pemberontak dan penculik sang puteri. Hal ini akan menghambat perjalanan hamba dan bahkan menghalangi hamba. Hamba mohon Paduka memberi perintah penghapusan dakwaan terhadap hamba itu. Dengan surat perintah Paduka, hamba tentu akan dapat membersihkan nama hamba dari noda dan dapat bergerak dengan leluasa."
Kaisar menghela napas panjang.
"Kami menyesal telah memerintahkan pengumuman yang agak tergesa-gesa itu, Tiong Li, sehingga engkau menjadi orang buronan. Siapa tahu engkau justru malah dua kali menyelamatkan puteri kami dari tangan penculik. Baik, akan kami buatkan surat perintah dan pengumuman itu untuk membersihkan namamu."
Kaisar lalu memerintahkan pembantunya untuk menuliskan surat perintah itu, kemudian menandatanganinya dan membubuhi cap kerajaan. Tiong Li menerima dengan hati lega.
"Ada sebuah lagi permohonan hamba, Yang Mulia. Sepanjang yang hamba ketahui, para pemberontak itu sebenarnya bukanlah pemberontak. Mereka itu pejuang-pejuang, para patriot yang hendak memperjuangkan kebebasan tanah air dari penjajah Bangsa Kin. Mereka bahkan setia kepada Kerajaan Sung dan hendak mengembalikan kejayaan Kerajaan Sung untuk menguasai kembali daerah utara. Maka, tidak semestinya mereka itu dikejar-kejar seperti pemberontak, Yang Mulia."
Kaisar mengerutkan alisnya.
"Kami mengadakan persahabatan dengan Bangsa Kin agar mencegah mereka menyerang keselatan dan menimbulkan korban di antara rakyat. Kami mencegah perang demi rakyat. Kalau mereka itu menyerang Kerajaan Kin, dan kalau kami mendiamkannya saja, tentu Kerajaan Kin akan memusuhi Kerajaan Sung. Akan tetapi, baiklah kami melihat perkembangannya dulu Kalau mereka itu tidak mengganggu pemerintah Kerajaan Sung, mereka tidak akan dianggap pemberontak."
"Tan-Taihiap, engkau sudah berulang kali berjasa dan ayahanda Kaisar hendak menganugerahkan pangkat kepadamu, kenapa engkau menolaknya? Sudah sepatutnya kalau engkau menerima imbalan jasajasamu,"
Kata sang puteri kepada Tiong Li.
"Terima kasih, tuan puteri. Akan tetapi apa yang hamba lakukan Ini adalah merupakan kewajiban hamba yang selalu hendak menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan dan menentang yang jahat. Kalau hamba mengharapkan Imbalan jasa, maka perbuatan itu sama sekali bukan perbuatan gagah. Pula, hamba masih mempunyai kewajiban untuk merampas kembali Mestika Golok Naga, harap tuan puteri dapat memakluminya."
Bagi kebanyakan orang, tentu alasan yang dikemukakan Tiong Li itu tidak dapat diterima.
Orang yang berjasa mendapat imbalan, hal itu sudah semestinya dan sepatutnya, demikian anggapan kita pada umumnya. Justeru karena pendapat inilah, maka kita semua terjerumus ke dalam perbuatan yang selalu berpamrih untuk mendapatkan imbalan. Semua perbuatan kita itu kita perhitungkan untung ruginya seperti berdagang. Apa artinya sebuah pertolongan kalau, pertolongan itu dilakukan dengan harapan memperoleh imbalan? Apakah artinya sebuah kebaikan kalau dibaliknya terkandung harapan memperoleh balasan?! Perbuatan itu bukan lagi baik, bukan lagi pertolongan, melainkan suatu alasan untuk mendapatkan sesuatu. Kalau tidak akan ada imbalan, mungkin pelakunya akan mundur. Perbuatan yang seutuhnya adalah perbuatan yang dilakukan tanpa pamrih bagi dirinya sendiri, tanpa pamrih memperoleh sesuatu sebagai buah dari perbuatannya itulah.
Bahkan mengharapkan imbalan dari Tuhan atas perbuatannya yang "Baik"
Pun merupakan pamrih dan karenanya menodai perbuatan itu sendiri. Perbuatan baik muncul dari hati sanubari, digerakkan oleh perasaan iba melihat orang lain sengsara, merasa penasaran melihat perlakuan yang tidak adil dan sebagainya lagi. Bukan oleh pamrih untuk kesenangan diri sendiri yang akan memperoleh buah dari hasil perbuatannya. Imbalan ini justeru melahirkan munafik-munafik dipermukaan bumi. Orang-orang "Baik"
Yang sesungguhnya hanyalah pengejar-pengejar keuntungan bagi dirinya sendiri. Tiong Li dan Siang Hwi meninggalkan istana dengan diberi bekal sekantung emas oleh Kaisar. Hiang Bwee mengantarkan mereka sampai ke pintu depan di mana Hiang Bwee merangkul Siang Hwi sambil berbisik,
"Enci Hwi, jagalah Tan-Taihiap baik-baik!"
Siang Hwi terharu sekali, la merasa betapa puteri itu sesungguhnya mencinta Tiong Li! Akan tetapi ia hanya mengangguk sambil tersenyum. Tentu saja Tiong Li yang berpendengaran tajam itu dapat mendengar bisikan ini namun dia pura-pura tidak mendengar dan memberi hormat kepada gadis yang ketika berada di depan Kaisar disebutnya tuan puteri itu.
"Sung-Siocia (Nona Sung), selamat tinggal."
Katanya hormat.
"Tan-Taihiap, selamat jalan dan selamat berpisah. Mudah-mudahan kita akan dapat saling bertemu kembali dan Enci Siang Hwi, selamat jalan dan jagalah diri kalianbaik-baik."
Kata puteri itu yang merasa sedih juga ditinggalkan dua orang yang begitu baik kepadanya. Rasanya ingin ia meninggalkan! keputriannya untuk ikut mereka berpetualang di dunia bebas.! Nasihat Tiong Li kepada Kaisar agar tidak memusuhi para pejuang membuat Kaisar berpikir-pikir dan dia segera memanggil seorang puteranya. Putera ini adalah Pangeran Kian Cu, seorang yang merasa kagum kepada kesetiaan Gak Hui.
"Pergilah menghubungi para pejuang dan selidiki apakah benar para pejuang itu sama sekali tidak mempunya keinginan untuk memberontak, melainkan hanya membenci bangsa Kin."
Demikian perintah kaisar. Pangeran Kian Cu, seorang Pangeran berusia duapuluh lima tahun adalah putera dari selir dan dia seorang pangeran yang sejak lama mengagumi sepak terjang para pejuang yang menjadi pengikut Gak Hui. Mendengar perintah ayahnya itu, Pangeran Kian Cu merasa gembira dan dia segera berangkat meninggalkan istana dan menghubungi para pejuang. Dengan mudah saja dia dapat mengadakan hubungan dengan pimpinan pejuang, bahkan para pejuang dapat membawanya menemui Gak Liu. yaitu pejuang putera mendiang Panglima Gak Hui yang terkenal. Gak Liu menerima pangeran itu dengan baik dan mengadakan pertemuan dengan para pimpinan pejuang lainnya.
"Sebetulnya aku datang mengadakan hubungan dengan kalian ini atas perintah ayahanda Kaisar,"
Kata sang pangeran.
"Selama ini beliau berpendapat bahwa kalian adalah pemberontak pemberontak yang ingin merebut kedudukan Ayahanda Kaisar. Akan tetapi menurut laporan dari seorang pendekar muda bernama Tan Tiong Li, kalian adalah patriot-patriot, pejuang yang hanya memusuhi penjajah Kin dan sama sekali tidak memusuhi pemerintah Sung. Benarkah keterangan itu?"
Gak Liu memberi hormat kepada sang pangeran dan berkata dengan suaranya yang lantang.
"Sebetulnya hal ini seharusnya sudah diketahui oleh SriBaginda sejak dahulu. Mendiang ayah saya, seorang patriot sejati yang setia kepada Sri Baginda, bahkan dituduh pemberontak dan dihukum mati! Sebetulnya kami sama sekali tidak berniat memberontak, bahkan ingin mengembalikan kejayaan kerajaan Sung dan merebut kembali wilayah utara yang dikuasai bangsa Kin. Akan tetapi kalau kami dianggap pemberontak dan diserang, tentu saja kami membalas."
"Kalau begitu, selama ini hanya terdapat kesalah pahaman belaka dan aku akan melaporkan kepada Ayahanda Kaisar."
Kata Pangeran Kian Cu dan setelah selesai pertemuan itu, dia menyumbangkan sejumlah besar uang untuk keperluan perjuangan, dan mengharapkan agar seluruh kekuatan pejuang digalang persatuannya.
Usaha Pangeran Kian Cu menghubungi para pejuang atas perintah Kaisar ini telah diketahui oleh Jin Kui melalui mata-mata yang disebarnya diantara para thaikam di istana. Dia merasa khawatir sekali. Kalau Kaisar sudah menaruh kepercayaan kepada para pejuang, ini berbahaya sekali. Berarti hubungan antara Sung dan Kindapat menjadi renggang, dan dia sendiri tentu akan mendapat kemarahan dari Raja Kin. Juga mungkin Kaisar lambat laun akan terpengaruh dan bahkan memusuhinya, yang sejak semula memang memusuhi para pejuang. Cepat dia memanggil Si Muka Tengkorak Tang Boa Lu, Ciang Sun Hok, Ma Kiu It, Kui To Cinjin dan kedua orang sutenya yang baru saja dipanggil membantu mereka, yaitu Ouw Yang Kian dan Ouw Yang Sian. Mereka lalu mengadakan perundingan dan akhirnya Perdana Menteri Jin Kui berkata dengan marah.
"Hal ini tidak dapat didiamkannya saja! Kaisar melalui Pangeran Kian Cu mengadakan pertemuan dengan para pemberontak! Ini berbahaya sekali dan aku tahu jalan apa yang harus ditempuh untuk menggagalkan itu!"
"Jalan apakah yang Taijin maksudkan? Harap memberi tahu kami agar dapat segera kami laksanakan."
Kata Kui To Cinjin sambil mengelus jenggotnya yang tipis panjang.
"Pangeran itu harus dibunuh dan kita fitnah para pemberontak itu sebagai pembunuhnya. Dengan begini selain pertemuan itu akan gagal, juga Kaisar akan marah dan sakit hati kepada para pemberontak!"
Para kaki tangan Perdana Menteri Jin Kui mengangguk-angguk setuju dan menganggap akal itubaik sekali.
"Akan tetapi bagaimana pembunuhan itu dapat dilaksanakan tanpa menimbulkan kecurigaan?"
Tanya pula Kui To Cin jin.
"Sekarang juga harus dilaksanakan. Kalau pangeran kembali dari tempat para pemberontak, itulah kesempatan yang baik sekali. Karena itu aku perintahkan Ouw Yang Kian dan Ouw Yang Sian dibantu oleh Tang Boa Lu untuk melaksanakan pembunuhan itu."
Tiga orang itu menyatakan kesanggupan mereka dan segera mereka berangkat setelah mengetahui jalan mana yang ditempuh pangeran untuk menemui para pemberontak. Bagi orang yang lemah dan menjadi budak nafsunya seperti Jin Kui. memang selalu berlaku pegangan bahwa yang terpenting adalah tujuan, dan tujuan menghalalkan segala cara. Kita sendiri memang seringkali lupa akan hal ini. Kita mengagungkan tujuan dengan sebutan cita-cita yang muluk-muluk, yang kita kejar-kejar. Padahal, dalam pengejaran tujuan inilah letak bahayanya, yaitu dalam caranya. Cara atau jalan untuk mengejar cita-cita ini kadang berbahaya sekali.
Kita terbius oleh gemerlapnya tujuan sehingga untuk mendapatkannya, kita lupa bahwa cara yang kita pergunakan tidak benar. Padahal, bukan tujuannya yang menjadi ciri baik buruknya perbuatan, melainkan cara itu sendiri. Kalau cara yang dipergunakan itu buruk, bagaimana mungkin dapat mencapai tujuan yang baik? Gemerlapnya tujuan memang condong untuk membuat kita lupa akan cara kita yang kita pergunakan. Misalnya, demi untuk tujuan memberi kehidupan mewah kepada anak isteri, kita melakukan korupsi atau mencuri. Demi untuk tercapainya tujuan menjadi, sarjana kita melakukan sogokan dan suapan atau membeli ijazah. Tujuan itu tentu sifatnya menyenangkan dan menyenangkan itu mendorong nafsu untuk mendapatkannya. Segala nafsu itu wajar saja, akan tetapi kalau kita sudah diperbudaknya, celakalah kita, Nafsu mencari keuntungan itu wajar saja,
Akan tetapi kalau kita diperbudak, kita bisa saja menipu atau mencuri. Nafsu sex itu wajar saja, akan tetapi kalau kita diperbudak, kita bisa saja melacur memperkosa dan sebagainya lagi. Demikian dengan mengejar kedudukan, harta benda, nama dan pengejaran apa saja yang menjadi cita-cita dapat menyelewengkan kita. Betapa baik dan muliapun tujuan yang hendak kita capai, bisa saja melahirkan cara pengejaran yang menyeleweng. Demikian pula dengan Jin Kui. Demi tercapainya segala cita-citanya, demi terlaksananya tujuannya, maka dia pun menghalalkan segala cara. Cara yang curang dianggapnya cerdik dan benar. Cara yang kejam dianggapnya gagah.! Setelah selesai mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Gak Liu dan para pejuang lainnya, sang pangeran lalu berangkat pulang naik kuda di antar oleh lima orang anggauta pejuang.
Enam orang penunggang kuda itu melarikan kuda mereka menuju ke Hang-couw. Akan tetapi ketika mereka menuruni sebuah lereng bukit dan tiba di daerah yang sunyi, nampak tiga orang menghadang perjalanan mereka. Sang pangeran menahan kudanya, demikian pula lima orang pengawalnya. Dan pada saat mereka menahan kuda mereka itulah Tang Boa Lu Si Muka Tengkorak, Toat-Beng-jiauw (Cakar Pencabut Nyawa) Ouw Yang Kian dan Hek-Bin-Kui (Setan Muka Hitam) Ouw Yang Sian bergerak menyerang!! Si Muka Tengkorak sendiri yang menyerang Pangeran Kian Cu tanpa peringatan lagi. Pangeran itu meloncat turun dari kudanya, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat menghindarkan serangan Si Muka Tengkorak yang amat lihai itu? Hanya dua kali dia dapat mengelak, akan tetapi pukulan yang ke tiga kalinya mengenai kepalanya.
Pangeran Kian Cu tidak sempat mengaduh lagi, langsung terpelanting dengan kepala retak dan tewas seketika. Lima orang pengawalnya tidak mampu melindunginya karena mereka berlima juga sudah diserang kalang kabut oleh dua orang kakak beradik yang amat lihai itu. Para pejuang yang mengawal itu hanya memiliki Ilmu silat biasa saja, mana mungkin mereka mampu menandingi kedua saudara Ouw Yang Ini. Dalam belasan jurus saja mereka berlima juga sudah roboh semua dan tewas! Pada hari itu juga Kaisar menerima laporan bahwa Pangeran Kian Cu telah tewas terbunuh lima orang pemberontak yang sebaliknya terbunuh pula oleh kedua adik seperguruan Kui To Cin-jin. Kaisar terkejut dan sedih Sekail mendengar ini dan dia segera memanggil kedua orang saudara Ouw Yang untuk menceritakan apa yang telah terjadi.
"Hamba berdua sedang melakukan perjalanan ke luar kota ketika dari jauh hamba melihat kuda sang pangeran di kepung lima orang dan mereka itu mengeroyok Pangeran Kian Cu. Hamba berdua segera lari menghampiri akan tetapi hamba terlambat dan melihat sang pangeran sudah terguling dan roboh, terkena hantaman ruyung. Melihat Ini, hamba berdua lalu mengamuk, menyerang lima orang itu dan akhirnya hamba berdua dapat membunuh mereka. Hanya itulah yang hamba ketahui, Yang Mulia,"
Kata Ouw Yang Kian.
"Mereka itu adalah pimpinan para pemberontak, Yang Mulia!"
Sambung Ouw Yang Sian yang bermuka hitam.
"Keparat jahanam!"
Kaisar memaki, sambil mengepal tinju.
"Dibaiki bahkan membunuh. Ciang Sun Hok, kerahkan pasukan dan basmi para pemberontak yang berada di daerah itu!"
Perintahnya ke pada Ciang Sun Hok. Panglima jagoan ini menyatakan kesanggupannya dan pertemuan itu dibubarkan karena kaisar sedang berduka atas kematian puteranya. Perdana Menteri Jin Kui di rumahnya mengadakan pesta menjamu para pembantunya. Mereka berpesta karena kegirangan. Mereka telah menang. Kaisar kembali membenci dan tidak percaya kepada kau m pejuang! Inilah tujuan mereka dan berhasil.
"Kui To Cin Jin, sekarang kita tinggal menghadapi Tan Tiong Li, Pemuda itu berbahaya sekali. Kita harus dapat segera membunuhnya karena dia dapat menjadi bahaya besar bagi kita. Akan tetapi ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Siapa yang akan dapat melawan dan membunuhnya?"
"Harap Taijin jangan khawatir, Pinto mempunyai tiga orang kenalan diutara. Mereka itu pertapa-pertapa di Luliang-san, Thai-hang-san, dan di lembah Sungai Fenho. Mereka adalah datuk datuk dunia kang-ouw yang berilmu tinggi. Dan Pinto mengetahui benar bahwa biarpun mereka tidak berbuat sesuatu di daerah Kerajaan Kin itu, akan tetapi mereka itu adalah orang-orang yang setia kepada Kerajaan Sung. Kalau Pinto minta bantuan mereka untuk menghadapi orang yang memberontak terhadap Kerajaan Sung, kiranya mereka akan sanggup membantu."
"Bagus sekali! Undang mereka ke sini, Kui To Gin-jin. Sukur kalau mereka suka menjadi pembantu tetap kita, kalau tidak, cukup baik kalau mereka mau menghadapi dan mengalahkan Tan Tiong Li!"
"Baik, Taijin. Akan Pinto usahakan agar mereka mau membantu kita."
Pesta dilanjutkan sampai jauh malam dan sampai mereka Semua menjadi mabok, mabok arak dan mabok kemenangan Pikiran yang sudah bergelimang nafsu selalu menjadi pembela dari semua perbuatan yang dilakukan manusia. Biarpun hati akal pikiran mengerti dan tahu bahwa perbuatan itu tidak benar, akan tetapi nafsu dalam pikiran membuat pikiran menjadi pembela dan berusaha membenarkan perbuatan itu, melawan hati nuraninya sendiri. Setiap orang manusia tahu mana yang benar dan mana yang tidak benar.
Adakah di dunia ini pencuri yang tidak tahu bahwa perbuatan mencuri adalah tidak benar? Semua pencuri tentu telah mengetahuinya. Akan tetapi tetap saja dia mencuri dan pikirannya yang sudah bergelimang nafsu membenarkan perbuatannya mencuri Itu dengan segala macam dalih. Pengertian dan pengetahuan tidak dapat melawan nafsu, kalau nafsu sudah mencengkeram hati akal pikiran. Nafsu merupakan hamba yang amat penting dan amat baik, akan tetapi menjadi majikan yang amat jahat. Akan tetapi siapa yang dapat menjadikan nafsu sebagai hamba yang baik dan mengekangnya agar tidak menjadi majikan? Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu. Kita dengan hati akal pikiran kita tidak akan mampu menguasai nafsu. Jalan satu-satunya hanya menyerah dan pasrah kepada Tuhan dengan segenap ketawakalan dan kepercayaan.
Hanya itu yang dapat kita lakukan dan jika Tuhan menghendaki, maka kitalah yang akan menjadi majikan atas nafsu kita sendiri, menjadikannya hamba yang baik. pembantu datam kehidupan yang amat berguna. Bukan menjadi majikan yang merajalela dan yang mendorong kita melakukan segala macam perbuatan yang tersesat. Dengan susah payah Tiong Li bersama Siang Hwi mencoba untuk mencari jejak Ban-Tok Sian-Li. Akan tetapi kemana mereka harus mencarinya. Sudah pasti wanita Itu tidak lagi berada di Lembah Maut Sungai Yang-ce yang sudah diobrak-abrik dan dibakar oleh pasukan pemerintah. Dan wanita itu pandai menghilangkan jejak, gerakannya bagaikan! tidak meninggalkan jejak. Maka Tiong Li dan Siang Hwi hanya berkeliaran saja sampai ke daerah perbatasan utara. Akhirnya Siang Hwi berkata kepada kekasihnya.
"Koko, kurasa percuma saja mencari jejak Subo. Agaknya ia tidak pergi jauh. Subo tentu merasa sakit hati sekali kepada pemerintah karena dibasminya Lembah Maut. Dan watak Subo tidak akan mendiamkan saja hal itu terjadi tanpa dibalas. Kalau menurut dugaanku, Subo tidak akan pergi jauh dari Kota Raja, mencari kesempatanuntuk membalas dendam."
"Kepada siapa ia hendak membalas dendam?"
"Mungkin Subo sedang menyelidi siapa biangkeladi penyerangan ke Lembah Maut itu."
"Jelas biangkeladinya adalah Perdana Menteri Jin Kui."
"Kalau begitu, Subo tentu akan mengetahui dan akan membalas kepada Perdana Menteri Itu. Maka sebaiknya kita kembali saja ke Kota Raja. Siapa tahu kita dapat menemukan ia di sana."
Demikianlah, keduanya lalu melakukan perjalanan kembali ke Hang-couw. Begitu mendekati Hang-couw, segera mereka ketahuan oleh para penyelidik anak buah Perdana Menteri Jin Kui, dan mereka cepat melaporkan kepada Perdana Menteri itu. Pada waktu itu, di kediaman Perdana Menteri Jin Kui, baru dua hari kedatangan tiga orang tamu.
Mereka adalah tiga orang pertapa yang baru saja didatangkan oleh sahabat mereka, Kui To Cin-jin yang berhasil membujuk mereka untuk menghadapi Tan Tiong Li yang dikatakannya sebagai seorang pimpinan pemberontak di samping Gak Liu. Tiga orang itu adalah Im Seng Cu, Tosu pertapa di Luliang-san, Ban Hok Seng-jin, pertapa di Lembah Sungai Fen ho, dan Sin Gi Tosu, pertapa dari Thaihang-san. Tiga orang pertapa ini memang merupakan sahabat-sahabat dari Kui To Cin-jin, ketika Kui To Cin-jin belum menjadi jagoan yang menghambakan diri kepada Jin Kui. Bagi tiga orang tokoh itu, Kui To Cin-jin menghambakan diri kepada Kerajaan Sung dan hal ini mereka setujui sekali. Memang mereka bertiga adalah tokoh-tokoh yang sangat mengagumi mendiang Panglima Gak Hui yang dianggapnya amat setia kepada Kerajaan Sung sampai akhir hayatnya.
Biarpun di sepanjang Sungai Huang-ho sampai ke utara sudah diduduki oleh Bangsa Kin, mereka bertiga dalam hati tetap setia kepada Kerajaan Sung. Kalau saja Kerajaan Sung menyerang ke utara, mereka biarpun merupakan pertapa-pertapa tentu akan membantunya. Maka, ketika Kui To Cin-jin yang mereka anggap seorang hamba yang setia dari Kerajaan Sung itu berkunjung kepada mereka dan minta bantuan mereka agar menghadapi dan menangkap seorang pemberontak yang lihai, mereka tidak merasa keberatan dan berangkatlah mereka ke selatan untuk menunjukkan baktinya kepada Kerajaan Sung Selatan. Maka, ketika para penyelidik melaporkan tentang munculnya Tiong Li, dan Siang Hwi lalu Perdana Menteri itu minta kepada mereka bertiga untuk menghadapi "Pemberontak", tiga orang datuk itu segera berangkat.
Mereka juga merasa penasaran sekali mendengar bahwa Pangeran Kian Cu telah dibunuh oleh para pemberontak. Tiong Li dan Siang Hwi yang melakukan perjalanan ke Kota Raja, bertemu dengan para pejuang dan merekapun mendengar tentang terbunuhnya Pangeran Kian Cu, dan bahwa Jin Kui menuduh para pejuang yang membunuhnya. Mendengar ini, mereka merasa terkejut sekali. Para pejuang mengatakan bahwa pahlawan Gak Liu yakin bahwa anak buahnya yang lima orang dan yang mengawal sang pangeran itu tidak mungkin membunuhnya. Mereka sendiri juga terbunuh dan walau pun para pejuang menduga bahwa ada pihak ke tiga yang membunuh pangeran dan melakukan fitnah kepada para pejuang, akan tetapi mereka tidak mempunyai bukti dan saksi.
"Ini tentu perbuatan si laknat Jin Kui!"
Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Tan Tiong Li, akan tetapi tanpa saksi dan bukti, bagaimana dia akan dapat melapor kepada Kaisar? Dia merasa sedih sekali mendengar bahwa kaisar marah sekali dan semakin memusuhi para pejuang yang dianggap pemberontak. Dia melakukan perjalanan cepat menuju ke Kota Raja untuk dapat mendengar sendiri apa yang telah terjadi. Tiba-tiba, perjalanan mereka dihadang oleh tiga orang yang berjubah seperti pertapa. Seorang di antara mereka memegang sebatang tongkat hitam dan ke tiganya memandang kepadanya seperti orang yang tidak senang, dengan alis berkerut. Melihat tiga orang menghadang di depannya, Tiong Li segera memberi hormat kepada tiga orang Tosu itu dan berkata dengan hormat dan ramah.
"Selamat siang, Sam-wi Totiang (tiga orang pendeta To)."
"Orang muda,"
Kata Im Seng Cu yang memegang tongkat.
"Engkau kah yang bernama Tan Tiong Li?"
Tiong L i memandang heran.
"Benar sekali, Totiang. Saya bernama Tan Tiong Li dan samwi Totiang ini siapa kah? Dan ada keperluan apakah dengan saya?"
"Tiong Li, engkau pemberontak! Menyerahlah untuk kami tangkap!"
"Aih, Totiang! Kenapa Totiang berkata demikian? Saya sama sekali bukan pemberontak, bahkan saya melaksanakan perintah Yang Mulia Kaisar untuk menemukan kembali Mestika Golok Naga!"
Bantah Tiong Li.
"Siapakah Sam-wi?"
"Pinto adalah Im Seng Cu dari Lu-liang-san,"
Kata yang memegang tongkat, dan bertubuh kurus tinggi,
"Pinto Ban Hok Seng jin pertapa Lembah Fen-ho!"
Kata Tosu pendek gendut yang membawa sebatang pedang di punggungnya.
"Dan Pinto Sin Gi Tosu, pertapa dari Thai-hang-san!"
Kata yang tinggi besar dan memegang sebuah kebutan berbulu putih. Kembali Tiong Li memberi hormat.
"Seperti saya katakan tadi, nama saya Tan Tiong Li dan ini adalah sahabat saya bernama The Siang Hwi. Kami berdua tidak pernah memberontak dan...
"Tidak perlu mengganjal lagi! Pinto bertiga sudah mendengar bahwa engkau bergabung dengan para pemberontak, yang dipimpin oleh pemberontak Gak Liu!"
"Memang benar saya bersahabat dengan pendekar Gak Liu dan saudara-saudaranya. Akan tetapi Gak Liu adalah putera mendiang Panglima Gak Hui dan sama sekali bukan pemberontak, melainkan pejuang!"
"Hemm, kami mengenal Gak Hui sebagai seorang pahlawan yang setia sampai mati kepada Kaisar. Kami semua menghormatinya. Akan tetapi Gak Liu puteranya itu sama sekali tidak mengikuti jejak ayahnya. Dia menggerakkan orang-orang untuk menjadi pemberontak!"
Kata Sin Gi Tosu yang tinggi besar sambil menggerak-gerakkan kebutannya.
"Sam-wi Totiang salah sangka Gak Liu sama sekali bukan pemberontak! Dia berjuang mati-matian untuk menentang pemerintah Kin, berusaha keras untuk mengusir penjajah Kin dari tanah air."
"Akan tetapi dia menentang dan seringkali bentrok dengan pasukan Sung, bahkan sudah banyak membunuh anggauta pasukan Sung. Apakah itu tidak memberontak namanya?"
Kata Im Seng Cu.
"Totiang salah sangka. Perdana Menteri Jin Kui amat membenci para pejuang yang gagah perkasa. Perdana Menteri Jin Kui seringkali mengirim pasukan untuk membasmi para pejuang, maka tentu saja para pejuang membela diri. Perdana Menteri Jin Kui itulah yang menghasut Yang Mulia Kaisar dan menyebut para pejuang itu pemberontak. Kalau para pejuang yang bersatu padu berniat untuk memusuhi Kerajaan Sung yang lemah, tentu sudah lama berhasil. Tidak Totiang. Para pejuang bukan, pemberontak, melainkan patriot sejati yang hendak mengusir penjajah dari tanah air! Sayang sekali Yang Mulia Kaisar tidak mendengarkan pendapat mendiang Panglima Gak Hui untuk menyerang Bangsa Kin. Dia bahkan mendengarkan Perdana Menteri Jin Kui yang menghendaki perdamaian dan persekutuan dengan penjajah."
Pedang Naga Hitam Karya Kho Ping Hoo Asmara Si Pedang Tumpul Karya Kho Ping Hoo Pendekar Super Sakti Karya Kho Ping Hoo