Mestika Golok Naga 9
Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
"Siancai, engkau pandai bicara orang muda!"
Kata Ban Hok Seng-jin yang pendek gemuk.
"Lalu apa katamu tentang Mestika Golok Naga yang dicuri dari gudang pusaka istana? bukankah itu perbuatan para pejuang pula? Bukankah itu berarti memberontak?"
"Berita bohong itupun di tiup-tiupkan oleh Perdana Menteri Jin Kui sebagai fitnah. Sesungguhnya yang mencuri golok pusaka, itu adalah kaki tangani Panglima Kin yang bernama Wu Chu. Saya sendiri yang merampas kembali golok pusaka itu dari tangan Panglima Wu Chu, akan tetapi sayang golok itu terampas oleh seorang tokoh kang-ouw yang hendak mempergunakannya untuk menentang pasukan Kin. Dan sekarang saya sedang berusaha untuk merampasnya kembali,"
Jawab Tiong Li dengan suara tegas.
"Ho-ho, engkau sudah siap untuk menjawab semua, pertanyaan. Bagus sekali! Dan bagaimana engkau akan menjawab kalau Pinto bertanya tentang kematian Pangeran Kian Cu yang terbunuh oleh lima orang pemberontak itu, orang muda?"
"Sam-wi Totiang, ketahuilah bahwa Pangeran Kian Cu pergi berunding dengan para pejuang atas perintah Yang Mulia Kaisar, bahkan pangeran itu telah memberi sumbangan yang cukup banyak kepada para pejuang. Kemudian ketika pangeran meninggalkan para pejuang, pendekar Gak Liu sendiri yang menyuruh lima orang rekannya untuk mengawal pangeran itu. Kemudian diketahui bahwa mereka berlima itu tewas, demikian pula sang pangeran. Bagaimana mungkin mereka berlima itu membunuh sang pangeran yang telah menjadi sahabat baik? Ini sungguh tidak masuk akal. Tentu ada pihak lain yang membunuh pangeran, kemudian membunuh pula lima orang pengawal itu, kemudian melemparkan fitnah bahwa lima orang pejuang itu yang membunuh sang pangeran. Harap Sam-wi Totiang dapat mempertimbangkannya dengan adil dan tidak hanya mendengarkan keterangan satu pihak sana."
Tiga orang Tosu itu menjadi bingung dan saling pandang penuh kebimbangan dan keraguan. Semua keterangan yang diucapkan pemuda itu dengan lancar dan tegas membuat mereka merasa bimbang. Semua jawaban itu mengandung kemungkinan besar akan kebenarannya! Tiga orang ini adalah para datuk yang terbujuk oleh Kui To Cin-jin dan mereka hendak berjuang tanpa pamrih membela Kerajaan Sung. Mereka tidak mengharapkan imbalan jasa. juga tidak mengingat akan kepentingan diri pribadi. Semua hanya dilakukan dengan tujuan satu, yalah membela Kerajaan Sung dan membersihkan pemberontak yang mengacau Kerajaan Sung...Akan tetapi kini mereka mendapat jawaban yang berlainan sama sekali dengan yang didengarnya dari Kui To Cin-jin dan Perdana Menteri Jin Kui.
"Bagaimana pendapatmu, Im Seng Cu?"
Tanya Ban Hok Seng-jln kepada rekannya.
"Siancai...! Keterangan pemuda ini memang masuk diakal. Pinto menjadi bingung memikirkan persoalan ini,"
Jawab.yang ditanya. Sin Gi Tosu juga berkata sambil menghela napas panjang.
"Pinto juga menjadi ragu karena Pinto sudah mendengar bahwa Perdana Menteri Jin Kui amat licik dan tidak disuka oleh para menteri lain yang setia. Akan tetapi kekuasaannya besar sehingga para menteri tidak ada yang berani berkutik."
"Siancai, apakah benar kita yang dibohongi?"
Tanya Ban Hok Seng-jin.
"Kui To Cin-jin ternyata juga tidak menghambakan diri kepada Kaisar, melainkan kepada Perdana Menteri Jin Kui, Hal itu saja tadinya sudah menimbulkan kekecewaanku. Pinto kira dia menghambakan diri kepada Kaisar."
"Sam-wi Totiang yang bijaksana,"
Kata Tiong Li.
"Harap Sam-wi berpikir dengan pertimbangan seadilnya. Jin Kui itu adalah seorang penjilat yang telah mampu menguasai Yang Mulia Kaisar, akan tetapi dia bukanlah seorang pejabat yang baik. Dialah yang bersekutu dengan orang-orang Kin. Bahkan saya merasa yakin dia yang menyuruh orang menculik sang puteri Sung Hiang Bwee untuk dihadiahkan kepada Panglima Kin yang bernama Wu Chu itu. Masih untung saya dapat membebaskan sang puteri yang telah dua kali diculik orang. Dan mengapa Perdana Menteri Jin Kui membenci para pejuang? Pertama karena para pejuang itu menentang Bangsa Kin yang menjadi sekutunya, dan kedua kalinya belum lama ini puteranya yang bernama Jin Kiat, yang terkenal mata keranjang dan amat jahat, terbunuh oleh pendekar Gak Liu. Itulah yang membuat Jin Kui selalu mengejar-ngejar para pejuang dan mengatakannya bahwa mereka pemberontak yang harus dibasmi."
Tiga orang Tosu itu mengangguk-angguk. Mereka adalah orang-orang bijaksana yang mudah disadarkan dan begitu menyadari kekeliruan mereka, seketika dapat mengubah sikap. Tidak seperti kebanyakan dari kita yang kalau menyadari kekeliruan diri sendiri, pikiran lalu mencari akal untuk membela kekeliruan itu, untuk mencari alasan dan menyalahkan orang lain untuk menutupi ke salahan sendiri.
"Siancai...! Ban Hok Seng-jin dan Sin Gi Tosu, kita bertiga ini orang-orang tua yang berpikiran seperti anak kecil, mudah dibujuk dan mudah di kelabuhi. Kita telah tertipu oleh Kui To Cin-jin yang agaknya telah ketularan penyakit Jin Kui dan menjadi seorang penjilat. Tan Tiong Li, terima kasih. Kami menyadari kekeliruan kami. Akan tetapi dari tempat jauh sekali kami datang dan kami telah mendengar tentang kelihaianmu. Rasanya akan sia-sia perjalanan kami kalau kami belum mencoba kelihaianmu. Nah, mari kita main main sebentar, hendak kubuktikan apa yang telah kudengar tentang dirimu!"
Tiong Li mengerutkan alisnya.
"Totiang, perlukah itu? Kita bukan musuh dan tidak ada urusan apapun di antara kita. Kita belajar ilmu untuk dipergunakan membela kebenaran dan keadilan, bukan untuk saling serang di antara orang-orang sehaluan. Bukankah Totiang juga membela kebenaran dan keadilan?"
"Ha-ha-ha, lupakah engkau akan kebiasaan orang kang-ouw, belum berarti berkenalan dengan baik kalau belum mengenal kepandaian masing-masing? Ini bukan perkelahian, hanya saling menguji kepandaian saja."
Tiong Li menghela napas panjang dia mengerti akan kebiasaan orang-orang kang-ouw yang sangat suka untuk mengenal orang lain melalui ilmu silatnya.
"Baiklah, Totiang. Kalau Totiang menghendaki demikian."
Tosu yang tinggi kurus itu menggerakkan tongkatnya. Im Seng Cu memang seorang ahli dengan senjata tongkatnya yang telah mengangkat namanya sebagai seorang datuk persilatan yang lihai
"Orang muda, pergunakanlah senjatamu untuk menandingi tongkatku Ini!"
"Maaf, Totiang. Saya tidak memiliki senjata apapun selain kaki dan tangan ini. Biarlah saya menghadapi tongkat Totiang dengan kaki dan tanganku. Nah, saya sudah bersiap, Totiang!"
Kata Tiong Li sambil memasang kuda-kuda di depan Tosu itu. Im Seng Cu mengerutkan alisnya. Bagaimana mungkin dia melawan seorang pemuda yang bertangan kosong dengan tongkatnya? Akan tetapi karena dia sudah mendengar akan kelihaian Tiong Li, diapun ingin sekali mengujinya.
"Baik, engkau yang menghendaki demikian, bukan Pinto. Nah, sambutlah seranganku ini!"
Tongkatnya menyambar dengan dahsyat dan cepat sekali, mengirim totokan bertubi-tubi ke arah tiga jalan darah di pundak dan dada Tiong Li. Pemuda ini tidak memandang rendah dan sudah menduga bahwa Tosu itu tentu lihai sekali, maka sejak tadi dia sudah bersikap waspada dan begitu lawan menyerang, dia mengerahkan Ilmu meringankan tubuh Jauw-sang-hui dan memainkan ilmu silat Ngo-heng-lian-hoan-kun yang amat lihai.
Tubuhnya berkelebatan dan tidak dapat tersentuh ujung tongkat. Im Seng Cu terkejut sekait melihat tubuh pemuda itu berubah seperti bayangan yang berkelebatan dan tahu-tahu tangan pemuda itu menampar ke arah pergelangan tangannya sedangkan kakinya menyusul dengan sapuan yang cepat, dan kuat sekali! Cepat sekali dia menarik lengannya dan meloncat tinggi ke atas, lalu memutar tongkatnya dan menyerang lebih hebat lagi karena dia maklum bahwa pemuda itu benar-benar amat tangguh.Tiong Li sendiri juga terkejut. Tongkat itu memang hebat. Ujungnya seolah berubah menjadi puluhan batang dan semua ujung itu mengancam jalan darahnya. Totokan yang bertubi-tubi membuat dia terpaksa harus menggunakan kecepatan gerakannya, mengelak dan kadang menangkis tongkat itu dengan lengannya.
"Dukkk...!"
Ketika tingkat bertemu dengan lengan kiri Tiong Li yang menangkisnya, kembali Tosu itu terkejut karena dia merasa betapa kedua lengannya yang memegang tongkat tergetar hebat. Hal ini tidaklah mengherankan karena ketika menangkis Tiong Li telah mengerahkan tenaga Jian-kin-lat. Akan tetapi kakek Itu menggerakkan tongkatnya secara istimewa sekali dan tahu-tahu sudah menotok pundaknya! Tidak ada kesempatan lagi bagi Tiong Li untuk mengelak atau menangkis, maka cepat dia mengerahkan ilmu I-kiong-hoan-hiat.
"Tukkk!"
Jalan darah di pundak itu tertotok dengan cepat sekali oleh ujung tongkat. Im Seng Cu memang seorang ahli totok yang hebat, akan tetapi sekali ini dia terkejut, setengah mati melihat totokannya itu tidak merobohkan si pemuda, sebaliknya dengan Tai-lek-kim-kong-jiu Tiong Li menyerangnya dan menangkap tongkatnya. Demikian hebatnya pukulan kilat itu sehingga Im Seng Cu terpaksa melompat ke belakang dan melepaskan tongkatnya yang terampas oleh Tiong Li.! Kiranya ilmu I-kiong-hoan-hiat yang dapat memindahkan jalan darah dan menahan aliran darah itu membuat dia kebal terhadap totokan yang tepat mengenai jalan darah di pundaknya itu tidak mengenai jalan darah yang sudah dipindahkan, maka dia pun tidak terpengaruh.
"Siancai...! Engkau memang hebat sekali, orang muda!"
Kata Im Seng Cu memuji dan dia menyambut ketika Tiong Li mengembalikan tongkatnya, lalu melangkah kebelakang dengan wajah agak basah oleh keringat. Melihat ini, dua orang Tosu yang lain menjadi gembira bukan main. Pemuda itu dapat menandingi bahkan mengugguli Im Seng Cu, ini hebat! Ban Hok Seng-jin lalu maju dan mencabut pedangnya.
"Tan-Sicu, Pinto juga ingin sekali merasakan kelihaianmu. Akan tetapi karena Pinto biasa menggunakan pedang, maka sekarangpun terpaksa Pinto mempergunakan pedang. Harap kau orang muda suka menggunakan senjata pula, karena kalau bertangan kosong sungguh membuat Pinto merasa tidak enak."
"Koko, kau pergunakanlah pedangku ini!"
Tiba-tiba Siang Hwi berkata sambil memberikan pedangnya kepada Tiong Li. Pemuda itu meragu. Kekasihnya adalah murid Ban-Tok Sian-Li maka pedangnya tentu pedang beracun dan dia tidak mau mempergunakan pedang beracun, akan tetapi untuk menolaknyapun dia merasa tidak enak terhadap kekasih nya. Agaknya Siang Hwi memaklumi keraguan kekasihnya, maka ia tersenyum manis dan berkata :
"Koko, jangan khawatir. Pedangku ini bersih!"
Tiong Li menjadi girang sekali dan tanpa ragu lagi dia menerima pedang itu, sebatang pedang yang terbuat dari baja yang baik sehingga mengkilat bersih. Tidak ada tanda-tanda bahwa pedang itu mengandung racun. Dia memegang pedang menghadapi Ban Hok Seng-jin.
"Kalau Totiang memaksa hendak menguji ilmu pedang, silakan, Totiang. Saya sudah bersiap!"
Katanya sambil melintangkan pedangnya di depan dada. Biarpun kelihatannya dia hanya melintang kan pedangnya depan dada bertemu dengan ujung jari tangan kirinya yang juga berada di depan dada dengan lengan terlipat, namun sesungguhnya itu adalah sebuah pasangan dari ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat (ilmu Pedang Garuda Terbang), yaitu pasangan Garuda Melipat sayapnya.
"Bagus, kalau begitu sambutlah seranganku ini, orang muda!"
Bentak Ban Hok Seng-jin yang sudah menyerang dengan sabetan pedangnya dari kiri ke kanan. Sepasang lengan yang membentuk sayap dilipat itu terbuka dan pedang di tangan Tiong Li menangkis. Pedang beradu beruntun sampai tiga kali dan mereka masing-masing menarik pedangnya untuk diperiksa. Ternyata pedang tidak menjadi rusak hanya Ban Hok Sen-jin merasa betapa tangannya tergetar keras. Maka dia lalu menyerang lebih hebat lagi. Pedangnya lenyap, bentuknya berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyilaukan mata.
Tosu ini memang seorang ahli pedang yang pandai sekali, Akan tetapi Tiong Li mengimbanginya dengan ilmu meringankan tubuh Jauwsang-hui. Tubuh pemuda yang memainkan ilmu pedang Hui-eng-kiam-hoat ini seperti berubah menjadi seekor burung walet yang amat lincah. Beterbangan ke sana sini di antara sambaran pedang lawan dan pedangnya sendiri pun digerakkan membalas dengan serangan yang tidak kalah hebatnya. Terjadi saling serang dengan hebatnya, ditonton dua orang Tosu dan juga Siang Hwi yang merasa semakin kagum kepada kekasihnya, ia melihat tubuh kekasihnya itu seperti berubah. menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua gulungan sinar pedang. Tentu saja Tiong Li tidak ingin merobohkan atau melukai lawan maka dia mencari akal bagaimana untuk mencapai kemenangan tanpa harus melukai lawan.
(Lanjut ke Jilid 09)
Mestika Golok Naga (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping hoo
Jilid 09
Akhirnya dia mendapatkan akal. Pada saat pedang lawan menusuk ke arah lehernya, dia memapak! Dengan pedangnya dan mengerahkan sin-kang menyedot pedang itu sehingga pedang Tosu itu melekat pada pedangnya. Diputarnya pedang itu dengan pengerahan sin-kang sehingga mau tidak mau pedang Tosu itu ikut berputar. Pada saat kedua pedang berputar itulah, Tiong Li menyerongku pedangnya dan menusuk ke depan, mengancam pergelangan tangan lawan! Ban Hok Seng-jin terkejut bukan main ketika tahu-tahu pergelangan tangannya sudah terancam ujung pedang lawan. Untuk melindungi pergelangan tangannya. Terpaksa dia melepaskan pedang yang menempel pada pedang lawan itu dan melompat ke belakang.! Pedangnya masih menempel pada pedang Tiong Li yang kemudian mengambilnya dan menyodorkan kepada pemiliknya, mengembalikannya sambil berkata,
"Terima kasih bahwa Totiang telah mengalah kepada saya."
"Siancai...!"
Ban Hok Seng-jin menerima kembali pedangnya dan memandang penuh kagum.
"Belum pernah Pinto bertemu tanding seperti engkau, orang muda. Kalau boleh Pinto bertanya, ilmu pedang apakah yang kau mainkan itu?"
"Itu adalah Hui-eng-kiam-hwat, Totiang."
"Hui-eng-kiam-hwat? Bukankah ilmu pedang itu menjadi ilmu Pek Hong Sa-jin, pertapa di Pek-hong-san?"
"Beliau adalah seorang di anta guru-guru saya, Totiang."
"Siancai...! Pantas engkau begitu lihai!"
Kata Ban Hok Seng-jin kagum.
"Dan siapakah guru-gurumu yang lain, orang muda?"
Kini Sin Gi Tosu yang bertubuh tinggi besar.
"Saya masih mempunyai dua orang guru lagi, Totiang, yaitu Thian Kui Lo-jin dan Tee Kui Lo-jin."
"Wah, sepasang pendekar sakti dari puncak Ki-Lin-San? Bukan main!"
Seru Sin Gi Tosu sambil menyelipkan kebutannya di pinggangnya.
"Kalau begitu Pinto tidak ingin mencoba ilmu silatmu, orang muda, karena Ilmu silatmu yang diajarkan oleh tiga orang sakti itu pasti hebat. Pinto ingin menguji ketangguhan tenagamu."
"Silakan, Totiang,"
Kata Tiong Li sambil mengembalikan pedang kepada Siang Hwi.
"Nah, sambutlah ini, orang muda!"
Kata Sin Gi Tosu sambil mendorong dengan kedua tangan terbuka ke depan, kearah dada Tiong Li. Pemuda itu melihat dorongan itu mengandung kekuatan yang hebat dan angin dahsyat menyambar, segera memasang kuda-kuda dan diapun menggerak kan kedua tangan terbuka ke depan dengan ilmu Thai-lek-kim-kong-jiu. Dua tenaga sin-kang amat kuat bertemu di udara dan keduanya seolah bertemu dengan dinding baja yang kuat.
Keduanya saling dorong dan mengerahkan tenaga. Tiong Li maklum bahwa biarpun adu kepandaian seperti ini nampaknya tidak apa-apa karena tangan merekapun tidak saling menyentuh, akan tetapi sesungguhnya amatlah berbahaya. Kalau seorang di antara mereka sampai tidak kuat menahan dan tenaga yang lain terlanjur mendesak, maka yang tidak kuat itu dapat menderita luka parah! Karena itu, diapun hanya bertahan saja dan tidak mau mendesak maju. Karena itu, Sin Gi Tosu merasa seolah-olah kedua telapak tangannya menolak sebuah bukit karang yang amat Kokoh kuat. Betapapun dia mengerahkan tenaga, dia tidak mampu mendorong mundur kedua tangan pemuda itu. Sampai beberapa lamanya keduanya hanya saling bertahan dan perlahan-lahan muka Sin Gi Tosu menjadi kemerahan dan berkeringat.
Dia merasa penasaran sekali. Dia yang sudah berlatih selama puluhan tahun, harus mengaku kalah terhadap seorang pemuda yang pantas menjadi cucunya? Dia lalu mengeluarkan suara bentakan panjang dan kedua tangannya mendorong sepenuh tenaga. Tiong Li yang hanya bertahan, terdorong ke belakang, akan tetapi kedudukan kuda-kuda kakinya masih tetap tidak bergeming. Sebaliknya, Sin Gi Toso kehabisan tenaga dan dia terhuyung kedepan, terengah-engah. Dia tidak sampai terluka karena Tiong Li tidak mendorongkan tenaganya, hanya terguncang karena tenaganya yang bertemu tenaga yang lebih kuat itu membalik. Cepat Sin Gi Tosu duduk bersila dan mengatur pernapasan untuk menjaga agar di dalam tubuhnya tidak sampai terluka. Kemudiian dia bangkit berdiri danwajahnya penuh kagum.
"Siancai...! Dalam hal tenaga sin-kang, engkaupun telah mewarisi tenaga yang luar biasa sekali, Tan-Sicu Pinto mengaku kalah."
Tiba-tiba Im Seng Cu tertawa.
"Ha ha, engkau yang begini muda sudah berhasil menundukkan kami tiga orang tua, Tan-Sicu. Akan tetapi andaikata kami belum menyadari kekeliruan kami dan kami bertiga maju bersama, engkau tentu akan kalah dan mungkin engkau dapat tewas di tangan kami. Kami bersalah, dan kami mengaku kalah, selamat tinggal, Sicu. Teruskanlah perjuanganmu demi membebaskan tanah air dan bangsa dari penjajah,"
Setelah berkata demikian, tiga orang Tosu itu lalu melompat pergi tanpa menengok lagi dan mereka langsung saja pulang ke utara, dan tidak singgah lagi di ruman kediaman Perdana Menteri Jin Kui. Peristiwa itu diintai oleh mata-mata Jin Kui yang segera melapor kepada Perdana Menteri itu sehingga dia menjadi semakin marah dan mendendam kepada Tiong Li. Sementara itu, Tiong Li dan Siang Hwi juga meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan usaha mereka mencari Ban-Tok Sian-Li.
Di lereng bukit Thai-mu-san terdapat sebuah perkampungan yang merupakan pusat dari perkumpulan Pek-Eng-Pang (Perkumpulan Garuda Putih). Perkumpulan ini merupakan perkumpulan yang cukup besar, dengan anggauta lebih dari dua ratus orang. Mereka itu selain merupakan perguruan silat, juga membuka perusahaan piau-kiok (pengawalan kiriman barang) yang terkenal ditakuti para penjahat sehingga banyak langganan mereka yang mengirim barang melalui piauw-kiok ini. Hanya dengan bendera yang bergambar garuda putih di atas gerobak barang, para perampok tidak berani mengganggu. Perusahaan piau-kiok mereka berada di kota Nan-king, tak jauh dari bukit itu, juga di Nan-king ini mereka membuka perguruan silat yang memungut bayaran. Dari hasil perguruan dan piauwkiok, keadaan perkumpulan ini cukup makmur.
Pek-Eng-Pang dipimpin oleh ketuanya yang bernama Thio Cin Kang, seorang pendekar yang gagah perkasa. Ketua ini berusia kurang lebih empatpuluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya gagah sekali. Wajah yang jantan dan sikapnya berwibawa namun lembut. Selain itu, ilmu kepandaian Thio Cin Kang ini juga tinggi. Dia pernah menjadi murid Kun-lun-pai, akan tetapi juga pernah mempelajari ilmu silat berbagai aliran sehingga dia mahir banyak macam ilmu silat sehingga menjadi seorang ahli silat yang tangguh. Akan tetapi biarpun dia lihai dan tubuhnya tinggi besar wajahnya jantan gagah, Thio Cin Kang ini memiliki perangai yang lembut dan bijaksana. Tidak mengherankan kalau semua anak buahnya tunduk kepadanya dan amat taat.
Akan tetapi, biarpun hidupnya serba kecukupan dengan hasil usahanya, namun kehidupan rumah tangga ketua ini sungguh menyedihkan. Setelah menikah selama belasan tahun, isterinya tidak mempunyai keturunan dan baru beberapa bulan yang lalu, isterinya yang akhirnya mengandung itu keguguran yang berakibat matinya isteri itu! Dia kehilangan isterinya dan masih juga belum mempunyai keturunan. Peristiwa ini memukul hebat batin Thio Cin Kang sehingga dia menjadi kurus dan muram. Setelah lewat setengah tahun kematian isterinya, para pembantunya dengan halus mencoba membujuknya agar dia menikah lagi untuk menyambung keturunan, akan tetapi dia selalu menolak dan mengatakan tidak mungkin dia dapat hidup berbahagia dengan seorang wanita lain karena tentu tidak akan cocok wataknya.
Dan semenjak itu dia menaruh dendam kepada para perampok. Kematian isterinya itu dianggapnya akibat dari ulah para perampok. Sebetulnya, ketika sedang mengandung, isterinya mengadakan perjalanan pulang ke dusun untuk menengok orang tuanya. Karena perjalanan itu tidak terlalu jauh, dan dia mempunyai banyak kesibukan, Thio Cin Kang tidak mengantarkan, hanya menyuruh pembantu-pembantunya mengawal kepergian isterinya. Dan ditengah perjalanan, rombongan itu dihadang perampok! Agaknya gerombolan perampok yang baru datang dari lain daerah sehingga belum mengenal Pek-eng-piauwkiok. Para perampok itu menyerang dan sempat membakar kereta sehingga isteri Thio Cin kang buru-buru turun dari kereta dan berlindung. Akhirnya gerombolan perampok dapat dipukul dan melarikan diri.
Akan tetapi isteri Thio Cin Kang mengalami kekagetan dan inilah yang dianggap oleh Thio Cin Kang menjadi penyebab keguguran Isterinya. Dan sejak itu, serlngkali dia pergi seorang diri untuk menghajar gerombolan perampok! Thio Cin Kang Juga simpati kepada perjuangan. Dia menganjurkan agar anak buahnya membantu kalau melihat para pejuang bertempur melawan pasukan Kin yang melanggar perbatasan. Walaupun tidak langsung aktip dalam perjuangan, akan tetapi Thio Cin Kang mendukung perjuangan itu dan siap membantu sewaktu-waktu. Oleh karena itu namanya juga dihormati di kalangan para pejuang dan karena dia tidak aktip, pemerintah tidak memusuhinya sebagal pemberontak. Pada suatu pagi. seperti biasa Thio Cin Kang yang belum pulih dari kesedihannya ditinggal mati isterinya dengan pedang di punggung, berkeliaran menuruni bukit Thian-mu-san.
Tiba-tiba dia mendengar suara ribut dan melihat bahwa terjadi pertempuran di sebuah hutan. Ketika dia lari mendekati, dia melihat seorang wanita cantik sedang dikeroyok oleh dua puluh lebih orang yang tinggi besar dan nampak garang. Melihat sikap mereka, piauw-su (pengawal barang) yang sudah berpengalaman itu maklum bahwa dia berhadapan dengan gerombolan perampok yang sedang mengganggu seorang wanita. Wanita itu cantik bukan main, jelita dan juga lihai ilmu silatnya. Dengan sebatang golok di tangan, wanita Itu mengamuk dan sudah merobohkan beberapa orang. Akan tetapi pengeroyoknya yang banyak itu mengepungnya dengan ketat. Melihat ini, tanpa banyak cakap lagi Thio Cin Kang membentak, nyaring,
"Perampok-perampok laknat!"
Seolah olah dia melihat isterinya sendiri dikeroyok dan terancam oleh para perampok maka setelah mencabut pedangnya dia lalu mengamuk! Dia tidak memperkenalkan diri karena dia memang ingin membasmi para perampok itu. Wanita itu bukan lain adalah Ban-Tok Sian-Li Souw Hian Li. Sebagai wanita sakti yang angkuh, ia merasa tidak senang melihat ada orang membantunya, apa lagi yang mengamuk demikian hebatnya sehingga sebentar saja telah merobohkan lima orang.
Iapun tidak mau kalah dan menggerakkan Mestika Golok Naga dengan hebat sehingga kedua orang itu seperti berlumba saja merobohkan kawanan perampok yang mengeroyok mereka. Dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, semua perampok yang berjumlah tigapuluh orang itu telah roboh semua, malang melintang dan mandi darah.! Ban-Tok Sian-Li telah menyimpan kembali goloknya, demikian pula Thio Cin Kang telah menyimpan pedangnya. Mereka berdiri saling pandang Thio Cin Kang tidak menyembunyikan kekagumannya, bukan hanya kagum akan kecantlk jelitaan wanita itu, melainkan lebih-lebih lagi akan kegagahannya. Juga Ban-Tok Sian-Li melihat seorang pria yang jantan dan gagah, namun sinar matanya lembut. Biarpun demikian, ia mengerutkan alisnya dan merasa tidak senang.
"Kenapa engkau membantuku?"
Tanyanya tidak ramah. Thio Cin Kang cepat menghampiri dan mengangkat kedua tangan depan dada.
"Harap suka memaafkan aku, nona. Melihat seorang wanita di kepung dan di keroyok penjahat-penjahat laknat ini, terpaksa aku turun tangan membantu, sungguhpun sekarang aku menyadari bahwa tanpa dibantu sekalipun engkau akan dapat membasmi mereka."
Ucapan ketua itu lembut dan ramah.
"Aku tidak membutuhkan bantuanmu!"
"Aku tahu, nona. Akan tetapi baru sekarang aku tahu. Tadi aku khawatir kalau-kalau nona terancam bahaya maka aku membantu. Harap sekali lagi suka memaafkan aku."
Sikap orang itu sungguh menyenangkan hati dan karena hatinya merasa senang itulah Ban-Tok Sian-Li menjadi semakin marah ia marah kepada diri sendiri yang merasa tertarik dan suka disertai kegum kepada pria asing Itu!
"Enak saja engkau minta maaf. Engkau sengaja memamerkan kepandaianmu kepadaku! Engkau memandang rendah kepadaku. Nah aku ingin tahu sampai di mana tingginya kepandaianmu!"
Setelah berkata demikian, wanita itu tanpa banyak cakap lagi lalu menyerang dengan tamparan tangan kanannya. Thio Cin Kang terkejut dan cepat mengelak. Akan tetapi luputnya tamparan itu membuat Ban-Tok Sian-Li Semakin penasaran dan menganggap orang itu menantangnya, maka ia terus bergerak menyerang secara bertubi-tubi! Terpaksa Thio Cin Kang tidak hanya mengelak, melainkan harus menangkis karena Serangan-serangan itu semakin lama semakin dahsyat.! Mulai timbul kegembiraan di hati Thio Cin Kang.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, diapun memiliki penyakit yang sama, yaitu suka bertanding silat, apa lagi dia tertarik sekali kepada wanita ini dan ingin menguji sampai di mana kelihaiannya. Dia menganggap wanita ini seperti orang-orang kang-ouw lainnya, hendak mengujinya. Maka, mulailah dia balas menyerang dengan tidak kalah dahsyatnya! Akan tetapi tentu saja hanya untuk menguji, bukan untuk mencelakai wanita yang begitu bertemu telah membuat dia tertarik! Sekali itu. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu dengan wanita yang demikian cantik jelita dan sekaligus demikian tinggi ilmu silatnya. Kalau Thio Cin Kang hanya hendak mengaji kepandaian wanita itu, sebaliknya Ban-Tok Sian-Li yang merasa ditantang, menyerang dengan sungguh-sungguh dan ia mulai jengkel setelah lewat lima puluh jurus ia belum juga mampu mengalahkannya dengan Ilmu silat,
Akan tetapi setelah ternyata pria itu cukup tangguh sehingga agaknya kalau hanya mengandalkan ilmu silat ia tidak akan mampu mengalahkannya, mulailah ia mengerahkan tenaganya sehingga kedua tangannya mengandung hawa beracun yang amat jahat.! Thio Cin Kang terkejut bukan main ketika menangkis tangan wanita itu, merasa kulit lengannya panas dan perih, kemudian ketika tangan wanita itu berhasil menggores kulit lengannya, terasa gatal dan panas seperti dibakar.! Dia terkejut dan gerakan refleksnya membuat dia mengeluarkan ilmu tendangannya yang amat hebat, yaitu iImu tendangan Thai-lek-tui (Tendangan Kilat) sehingga Ban-Tok Sian-Li tidak dapat mengelak dan pahanya tertendang. Untung baginya Thio Cin Kang membatasi tenaganya sehingga ia hanya terhuyung saja.
"Ah, maafkan aku, nona...!"
Kata-nya.
"Aku belum kalah!"
Bentak Ban-Tok Sian-Li dengan marah sekail dan ia sudah mendesak maju lagi dan tangan kirinya menghantam ke dada. Thio Cin Kang mengelak, akan tetapi tiba-tiba ia merasa dadanya nyeri sekali dan dia terpelanting jatuh, dadanya telah terluka ketika bajunya ditembusi jarum Ban-Tok Sian-Li! Sambil mendekap dadanya dia mencoba bangkit dan memandang kepada Ban-Tok Sian-Li.
"Engkau...engkau hebat sekali, nona. Aku mengaku kalah!"
Katanya dengan kagum, sedikitpun tidak merasa menyesal telah dilukai sedemikian rupa oleh wanita itu.
"Hemm, engkau telah terluka oleh Ban-tok-ciam dan dalam waktu duapuluh empat jam engkau akan mati. Tidak ada obat di dunia ini dapat menyelamatkan mu"
Akan tetapi gertakan ini tidak membuat pria itu ketakutan, bahkan dia tersenyum sambil menyeringai menahan sakit.
"Kalau begitu, selamat tinggal dunia yang penuh kesedihan dan kepalsuan ini. Selamat tinggal duka dan sengsara!"
Ban-Tok Sian-Li terbelalak heran Belum pernah ia melihat orang bersikap seperti ini menghadapi siksaan dan kematian yang mengerikan.
"Engkau tidak takut dan tidak sedih menghadapi kematian?"
"Kenapa mesti takut dan sedih? Kematian merupakan kebebasan dari alam kesengsaraan bagiku. Aku bahkan berterima kasih kepadamu, nona. Engkau membebaskan aku dari duka. Mati di tanganmu tidak mendatangkan penasaran, bagiku. Engkau begini cantik, engkau begini lihai."
"Engkau akan mati dan anak isterimu akan menangisimu. Mereka akan berkabung dan bersedih. Apa engkau tidak kasihan kepada anak isterimu?"
Thio Cin Kang kembali tersenyum dan Ban-Tok Sian-Li merasa aneh. Orang ini mengobral senyum dalam menghadapi maut!
"Tidak ada seorangpun yang akan menangisi kematianku, nona. Aku tidak mempunyai anak dan isteriku telah meninggal dunia setengah tahun yang lalu. Aku hanya mohon kepadamu, kalau nona sudi memenuhi permohonan terakhir dariku..."
Ban-Tok Sian-Li mengerutkan alisnya, ia merasa heran kepada diri sendiri kenapa tidak ditinggalkan saja sejak tadi orang itu, seperti biasa kalau ia membunuh orang, melainkan dilayaninya bicara panjang lebar, bahkan kini orang itu mengajukan permohonan dan ia masih melayaninya!
"Permohonan apakah itu?"
"Di lereng bukit ini terdapat sebuah perkumpulan Pek-Eng-Pang. Akulah ketua perkumpulan itu dan tolonglah...beri tahu kepada mereka bahwa aku mati di sini agar mereka dapat mengetahui dan menguburkan. Sudikah engkau., nona yang baik?"
Ban-Tok Sian-Li makin kaget. la sudah mendengar akan nama besar Pek-Eng-Pang sebagai perkumpulan gagah perkasa yang suka membantu para pejuang, la makin gemas karena pria itu tidak memakinya, tidak mencacinya, bahkan menyebutnya nona yang baik.!
"Aku bukan nona yang baik! Aku kejam, aku telah meracunimu, aku telah membunuhmu. Lupakah engkau akan kenyataan ini?"
"Sudah kukatakan, aku tidak mendendam. Aku bahkan berterima kasih kepadamu, nona. Maukah... maukah engkau memenuhi permohonanku tadi?"
Orang aneh! Orang gagah! Orang jantan yang berani mati. Orang sengsara yang hidup sebatang kara tanpa isteri tanpa anak, tidak ada yang menyedihi kematiannya. Tiba-tiba Ban-Tok Sian-Li berlutut di dekat orang itu dan mendorongnya.
"Rebahlah telentang!"
Perintahnya.
"Eh, ada apa...? Engkau... engkau mau apa?"
"Cerewet! Diamlah dan telentanglah!"
Kembali ia memerintah. Thio Cin Kang menjatuhkan diri telentang. Jari-jari yang mungil itu dengan cekatan lalu membuka kancing baju itu sehingga nampak dada yang bidang dan tegap itu telanjang.
Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ban-Tok Sian-Li lalu menotok dengan telunjuknya ke arah sekeliling luka di dada untuk menghentikan jalan darahnya, kemudian tanpa ragu lagi ia lalu menempelkan bibirnya pada dada yang terluka, menghisap keluar Jarum yang mengeram ke dalam daging. Thio Cin Kang memejamkan matanya. Bukan karena nyerinya. Nyerinya dapat dia pertahankan, bahkan lebih dari itupun dia dapat menahannya. Akan tetapi, muka yang halus itu, rambut yang harum itu, dan terutama bibir hangat yang menempel dan menghisap di dadanya itu. Tidak kuat dia membuka matanya karena itu semua. Dia merasa seperti dalam mimpi indah. Wanita itu menghisap luka nya! Luka beracun di dadanya yang telanjang. Benar-benarkah hal seperti ini dapat terjadi? Hisapan itu berhenti dan bau harum itu menjauh. Dia membuka matanya. Wanita itu memandang kepadanya.
"Jarum itu sudah keluar, akan tetapi tanpa obat pemunah dariku, engkau tetap saja akan mati."
"Kuserahkan nyawaku di tanganmu, nona... eh, nyonya... maafkan aku..."
Wanita yang usianya tentu sudah lebih, dari pada tampaknya itu tentu saja sudah bersuami. Betapa bodohnya membayangkan yang bukan-bukan. Tidak tahu malu!
"Plaakkk!"
Tiba-tiba pipinya ditampar! Dia terkejut dan terbelalak! Baru saja menyedot racun dari luka dil dadanya dan kini sudah menghadiahi sebuah tamparan keras! Betapa anehnya wanita ini.
"Ehh, kenapa...?"
Tanyanya gagap.
"Aku belum pernah menikah dan engkau berani menyebutku nyonya?"
"Aih, maafkan aku, nona. Eh, aku... aku sungguh tidak tahu, dan agak nya sekarang aku dapat menduga siapa adanya nona. Bukankah nona yang berjuluk Ban-Tok Sian-Li?"
"Hemm, engkau sudah mengenal namaku. Baik sekali, engkau akan mati dengan mengenal siapa pembunuhmu. Aku memang Ban-Tok Sian-Li Souw Hian Li, majikan dari Lembah Maut..."
Tiba-tiba suaranya melemah karena ketika menyebutkan tempat itu, ia teringat betap tempat itu telah terbasmi habis.
"Aku akan mati dengan mata terpejam, nona."
"Tidak, engkau tidak akan mati Kau kira percuma saja aku menyedot keluar jarum tadi?"
La mengeluarkan bubuk obat penawar racun itu dan membubuhkan obat itu kepada luka di dada, menekan-nekannya, kemudian ia mengeluarkan sebotol kecil arak dan menyuruh minum arak bercampur obat. Setelah diobati dan minum arak obat, Thio Cin Kang tidak merasa sakit lagi pada dadanya. Dia mengancingkan lagi bajunya, kemudian ikut pula berdiri seperti Ban-Tok Sian-Li.
"Nona Souw, aku Thio Cin Kang menghaturkan banyak terima kasih kepadamu yang sudah mengampuni aku dan menyelamatkan aku dari maut. Telah lama aku mendengar nama besar nona sebagai seorang yang membantu perjuangan dan aku kagum sekali kepadamu, nona."
"Hemm, tadi engkau berterima kasih karena aku hendak membunuhmu, sekarang berterima kasih karena aku menyelamatkanmu. Sebenarnya, apa yang kau kehendaki? Engkau tadi ingin mati, sekarang ingin hidup!"
Thio Cin Kang menarik napas panjang.
"Nona Souw, setengah tahun yang lalu, isteriku keguguran dan meninggal dunia. Aku sudah menjadi putus asa, tidak mempunyai isteri tidak mempunyai anak, dan biarpun semua orang membujukku untuk menikah lagi, aku tidak menemukan orang yang cocok. Aku bosan hidup dan ingin mati saja. Akan tetapi setelah bertemu denganmu, nona. Aku kagum bukan main! Aku rela mati di tanganmu, dan sungguh amat berbahagia bahwa nona tidak membunuhku bahkan menyelamatkan aku. Nona memberi harapan baru bagiku. Kalau saja nona sudi memberi kesempatan kepadaku untuk membantumu, membantu apa saja, aku rela mengorbankan nyawaku untuk membantu dan membelamu, nona Souw."
Souw Hian Li menjadi merah sekali wajahnya, la bukan anak kecil, ia tahu apa yang tersembunyi di balik dada yang bidang itu, yang terkandung di dalam hati pria ini. Akan tetapi ia pura-pura tidak mengerti dan bertanya,
"Thio-Pangcu, mengapa engkau begitu mati-matian percaya kepadaku dan menyerahkan nyawamu kepadaku? Mengapa pula engkau rela berkorban untuk membantuku, rela berkorban nyawa sekalipun untuk membelaku? Mengapa? Aku suka akan sikap yang terus terang, tidak bersembunyi-sembunyi dan bertele-tele!"
Thio Cin Kang menelan ludahnya untuk memberanikan dirinya.
"Mungkin mendengar ucapanku, nona akan menjadi begitu marah dan turun tangan membunuhku. Kalau begitu halnya, aku siap menerima kematian di tanganmu. Terus terang saja, nona. Begitu bertemu denganmu, melihatmu dan melihat sikapmu; mendengar suaramu, aku langsung jatuh cinta kepadamu, nona Souw. Kalau ada wanita di dunia ini yang kuingin mengambil sebagai isteriku, engkaulah wanita itu dan tidak ada lain wanita lagi!"
Mendengar pengakuan yang demikian jujur dan gagahnya, Souw Hian Li tercengang dan tertegun, walaupun ia sudah menduganya bahwa pria itu jatuh cinta kepadanya, la menanyai hatinya sendiri dan harus diakuinya bahwa pria ini lain dari pada pria lain. Begitu jantan, begitu gagah, begitu jujur. Kelembutan hatinya sebagai wanita tersentuh sebagaimana yang belum pernah dirasakan sebelumnya dan ia menundukkan mukanya yang kemerahan dengan sikap tersipu malu, seperti seorang gadis belasan tahun menerima pernyataan cinta seorang perjaka.! Thio Cin Kang juga bukan seorang pria muda. Usianya sudah empat puluh tahun dan sungguhpun dia bukan tergolong pria yang mata keranjang, namun dia sudah dapat membaca isi hati wanita yang berdiri di depannya dengan muka ditundukkan dan tersipu itu.
"Li-moi...!"
Dia berbisik. Souw Hian Li terkejut. Panggilan itu begitu terasa asing baginya, asing akan tetapi begitu merdu dan manis, la mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu, bertaut sampai lama, kemudian Hian Li menunduk lagi.
"Pang-cu, jangan begitu tergesa..."
"Kenapa, Li-moi? Bukankah engkau menghendaki keterus-terangan? Dan aku Sudah membukakan pintu hatiku, mengeluarkan semua rahasia hatiku kepadamu. Aku jatuh cinta kepadamu, Li-moi, dan kalau engkau sudi, aku ingin sekali hidup bersamamu, sebagai suami isteri, membentuk kehidupan baru yang penuh damai dan ketenteraman. Sudikah engkau, Ll-moi?"
"Nanti dulu, Thio-Pangcu..."
"Mohon jangan sebut aku pang-cu Li-moi. Terdengarnya begitu asing. Mau kah engkau menyebut Toako kepadaku?"
"Baiklah, Thio-Twako. Akan tetapi kukatakan bahwa engkau tidak perlu tergesa-gesa... Kalau memang kita berjodoh, tidak akan ada yang menghalanginya. Aku hidup seorang diri dan engkau juga seorang diri, jadi apa halangannya? Engkau cinta padaku dan aku... aku kagum dan suka kepadamu. Akan tetapi kita baru saja bertemu dan aku masih mempunyai tugas yang harus kuselesaikan."
"Tugas apakah itu, Li moi? Aku akan membantumu!"
"Tugas membunuh Perdana Menteri Jin Kui!"
Thio Cin Kang terkejut dan terbelalak memandang kepada wanita itu.
"Engkau bersungguh-sungguhkah, Limoi? Membunuh Perdana Menteri Jin Kui?"
"Ya! Mengapa.? Engkau takut?"
"Tidak seujung rambutpun aku takut dalam membantu dan membelamu, Li moi. Aku hanya terkejut karena tugas itu sungguh sama sekali tidak ringan dan amat sukar. Perdana Menteri Jin Kui yang jahat dan licik itu terlindung oleh jagoan-jagoan yang tinggi ilmunya. Akan tetapi lebih dulu aku ingin tahu, mengapa engkau hendak membunuhnya?"
"Mengapa? Dia menyuruh pasukan dan para jagoannya untuk membasmi tempat tinggal kami. Lembah Maut di Sungai Yang-ce. Karena dia anak buahku banyak yang tewas dan tempat tinggalku dirampok dan dibakar. Aku harus membunuh anjing penjilat dan pengkhianat itu!"
"Hampir semua pejuang mempunyai keinginan yang sama. Akan tetapi betapa sukarnya. Biarpun demikian, aku akan membantumu, Li-moi. Biar untuk itu kukorbankan nyawaku, aku siap membantumu. Akan tetapi agar usaha kita tidak mengalami kegagalan seperti yang pernah dilakukan para pejuang, kita harus mempergunakan siasat dan mengatur yang matang. Marilah, Li-moi. Marilah engkau singgah di tempat kami agar kita dapat membicarakan rencana siasat itu lebih matang lagi."
"Baik, Twako. Dengan bantuanmu, kuharap akan dapat membalas dendamku kepada pengkhianat itu!"
"Ada Satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepadamu, Li-moi. Aku akan selalu merasa penasaran sebelum mendapat keteranganmu."
"Hal apakah itu? Tanyakanlah, akan kujawab."
"Tentang senjatamu itu. Kalau aku tidak salah sangka, bukankah itu yang disebut Mestika Golok Naga, golok milik istana yang telah dicuri orang? Bagaimana dapat berada padamu? Aku tidak percaya bahwa engkau..."
"Kenapa berhenti bicara? Katakan saja bahwa engkau menduga aku pencuri golok pusaka itu, bukan? Engkau keliru, Bukan aku pencuri golok pusaka itu. Pencurinya adalah seorang kaki tangan Panglima Wu Chu dari Kerajaan Kin bernama Hak Bu Cu dan aku telah menewaskannya Golok ini telah diserahkan kepada Panglima Wu Chu dan... dan akhirnya Jatuh ke tanganku."
Tentu saja Ban-Tok Sian-Li Souw Hian Li tidak mau menceritakan cara ia merampas golok itu dari tangan Tan Tiong LI, dengan cara licik, yaitu melukai puteri Sung Hiang Bwee kemudian menukar keselamatan gadis itu dengan golok pusaka.
"Golok pusaka itu harus dikembalikan kepada Kaisar, Li-moi."
"Kelak kalau sudah tercapai maksudku membunuh Perdana Menteri Jin Kui "
"Benar Juga, aku sudah menemukan cara yang baik, siasat yang tepat untuk dapat berhadapan dengan Jin Kui dan membunuhnya. Yaitu dengan golok ini. Kita mohon menghadap Perdana Menteri Jin Kui. Kalau kita memakai alasan! untuk mengembalikan Mestika Golok Naga, kurasa dia akan mau menerima kita."
"Bagus! itu siasat yang baik sekali, Thio-Twakol"
Seru Souw Hian Li dengan girang.
"Mari kita bicarakan di rumah.!"
Keduanya lalu berjalan pergi meninggalkan tigapuluh orang perampok itu saling tolong dan menuju ke lereng bukit Thian-mu-san, jalan berdampingan dan bukan hanya Thio Cin Kang saja yang merasa berbahagia dapat mengajak wanita itu pulang ke rumahnya, juga Souw Hian Li merasakan suatu perasaan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Cinta asmara memang aneh dapat membuat seseorang merasa bahagia seperti hidup di sorga, akan tetapi di lain saat dapat membuat orang itu berbalik merasa sengsara seperti hidup di neraka! Cinta asmara mengandung nafsu berahi, ingin memiliki dan dimiliki, ingin menyayang dan disayang, ingin menguasai dan dikuasai, ingin selalu berdekatan, bahkan bersatu dalam dua badan satu hati.
Akan tetapi satu saja di antara keinginan-keinginan itu tidak terpenuhi, datanglah sengsara dan kasih sayang dapat saja berubah sama sekali bentuknya menjadi dendam dan benci. Karena Ingin memiliki dan dimiliki, menguasai dan dikuasai, maka timbullah cemburu. Cinta asamara adalah semacam kesayangan seperti sayangnya seseorang kepada sebuah benda yang Indah dan ingin dimilikinya sendiri, tidak boleh disentuh orang lain. Dan cinta asmara mendatangkan duka kalau tiba saatnya dipisahkan dari yang dicinta. Namun, tanpa adanya cinta asmara, hidup akan terasa hambar. Perasaan ini. sudah merupakan naluri kemanusiaan, di ikut-sertakan semenjak lahir karena cinta asmara merupakan sarana perkem-bang-biakan manusia. Tanpa cinta asmara yang mengandung nafsu berahi, bagaimana manusia dapat berkembang biak, beranak-cucu?
Tiada habis-habisnya para cendekiawan, para filsuf dan pengarang, membicarakan dan menulis tentang cinta asmara, dan kita tidak juga bosan mendengar atau membacanya. Mengapa demikian? Karena cinta asmara merupakan bagian dari pada hidup kita. Ban-Tok Sian-Li Souw Hian Li telah banyak bertemu pria yang tergila-gila kepadanya. Akan tetapi belum pernah ia merasa tertarik kepada, seorangpun pria itu. Dan sekarang, tiba-tiba saja ia tertarik kepada seorang duda. Inilah yang dinamakan jodoh dan memang terdapat sesuatu yang aneh dalam soal perjodohan ini. Seolah ada Tangan Ajaib yang mengaturnya... Karena itu, sejak jaman dahulu orang mengatakan bahwa kalau sudah jodoh, akhirnya tentu akan bertemu juga. Kalau sudah jodoh,maka orang itu akan dilihatnya sebagai orang yang sebaik-baiknya, setampan-tampannya, pendeknya serba baik menarik.
Daya tarik ini mungkin timbul dari persamaan selera, persamaan watak dan sebagainya yang agar memudahkan disebut saja sudah jodohnya. Tiong Li dan Siang Hwi kembali ke Kota Raja. Mereka mencari-cari jejak Ban-Tok Sian-Li akan tetapi sia-sia saja karena wanita yang mereka cari itu sama sekali tidak meninggalkan jejak, seperti hilang begitu saja. Akhirnya mereka mengaso di dalam taman rakyat. Siang itu orang-orang masih sibuk bekerja sehingga taman itu tidak ramai dan mereka dapat duduk bercakap-cakap dengan santai di sebuah bangku panjang. Tiba-tiba seorang mengemis menghampiri mereka dan menyodorkan sebuah mangkok butut. Siang Hwi mengambil uang sekeping dan memasukkannya ke dalam mangkok. Akan tetapi, melihat pengemis itu Tiong Li berseru girang.
"Eh, bukankah engkau Gan-Twako?"
Wajah yang terlindung caping lebar butut itu tersenyum dan sepasang mata itu bersinar-sinar. Kiranya yang bersembunyi di balik baju butut dan kulit muka kotor itu adalah seorang pemuda tampan dan gagah yang bukan lain adalah Gan Kok Bu, putera ketua Hek-Tung Kai-pang.
"Ah, kiranya engkau,Gan-Twako?"
Siang Hwi kini juga mengenalnya.
"Kau sudah mengenalnya?"
Tanya Tiong Li kepada Siang Hwi.
"Dan kau juga sudah mengenalnya?"
Balas tanya Siang Hwi dengan heran...
"Dia putera Gan-Pangcu dari Hek-Tung Kai-pang dan dia sudah pernah membantuku,"
Jawab Tiong Li.
"Aku juga tahu bahwa dia putera Gan-Pangcu dan dia juga pernah membantu kami, ketika aku dan Subo terkepung pasukan. Dia yang menyembunyikan kami,"
Kata Siang Hwi.
"Sudahlah, ji-wi (kalian berdua) tidak perlu menyebut lagi hal itu. Di antara kita sudah tentu harus ada saling bantu dan saling kerja sama,"
Kata Gan Kok Bu sambil tersenyum.
"Bagaimana kabarnya dengan Hek-Tung Kai-pang ketika diadakan penggeledahan, Gan-Twako?"
Tanya Tiong Li.
"Ah, karena pemberitahuanmu, maka. kami telah bersiap-siap dan ketika di adakan penggeledahan, mereka tidak menemukan apapun. Kami bebas dari kecurigaan dan sampai kini masih dapat berkeliaran tanpa dicurigai."
Kok Bu memandang kepada Siang Hwi, gadis yang dicintanya dan pernah dia menyatakan cintanya kepada gadis itu.
"Dan di mana adanya gurumu, nona? Kenapa tidak bersamamu?"
"Kami memang sedang mencarinya,"
Jawab Siang Hwi.
"Ah, kebetulan sekali, Gan-Twako. Engkau tentu akan dapat membantu kami Kalau bibi Souw Hian Li, guru Hwi-moi berada di Kota Raja, tentu engkau dan kawan-kawanmu mengetahuinya. Kami ingin sekail mencarinya"
"Ah, Itu perkara mudah. Marilah, ji-wi singgah di tempat kami dan menanti satu dua hari tentu kami akan mendapatkan berita tentang Ban-Tok Sian-Li "
Ajaknya gembira. Karena ingin sekali segera dapat menemukan Ban-Tok Sian-Li yang merampas Mestika Golok Naga, Tiong Li menerima tawaran itu dan dia mengajak Siang Hwi untuk pergi ke tempat tinggal Gan Kok Bu. Semenjak peristiwa dahulu ketika ayahnya menyatakan tidak senang dia bergaul dengan murid Ban-Tok Sian-Li dan ayahnya bahkan mengkhianati guru dan murid itu, Gan Kok Bu tidak lagi mau tinggal bersama ayahnya.
Dia tinggal sendiri bersama beberapa orang pembantu pengurus Hek-Tung Kai-pang di rumah yang terpisah dan ke rumah itulah dia membawa Tiong Li dan Siang Hwi. Melihat hubungan yang akrab dari Tiong Li dan Siang Hwi sebagai dua orang sahabat baik, hati Kok Bu sudah merasa tidak enak. Sejak dulu dia mencinta Siang Hwi, dan kini setelah mereka bertemu kembali, perasaan cinta dan kagumnya semakin berkobar. Setelah dia memerintahkan para pengurus untuk menyampaikan perintahnya kepada para anggauta Hek-Tung Kai-pang untuk menyelidiki di mana adanya Ban-Tok Sian-Li, dia lalu menemani kedua orang tamunya itu dengan ramah. Ketika pada suatu sore dia mendapat kesempatan berbicara berdua saja dengan Tiong Li, dia mengaku terus terang tentang perasaannya terhadap Siang Hwi.
"Tan-Taihiap, engkau tidak tahu betapa bahagianya aku dapat bertemu dengan kalian berdua, terutama sekali dengan nona Siang Hwi. Aku sangat merindukannya dan sudah lama aku mencari-cari akan tetapi tanpa hasil, Pertemuanku dengannya adalah ketika ia dan gurunya tinggal bersembunyi untuk beberapa hari lamanya di rumah kami."
"Aku senang sekali engkau berbahagia bertemu dengan kami,"
Kata Tiong Li dengan suara dan sikap wajar saja. Hening sejenak... Kemudian Kok Bu memberanikan hatinya dan berkata,
"Tan-Taihiap, maukah engkau menolongku?"
"Tentu saja, Twako. Menolong apa?"
"Engkau bersahabat baik dengannya, tentu dapat menyampaikan dengan mudah. Tolong kau katakan kepadanya bawa aku... perasaan hatiku kepadanya masih tetap seperti dulu, bahkan kini lebih yakin lagi dan bahwa aku tetap masih menunggu jawabannya."
Sekali ini Tiong Li terkejut bukan main, akan tetapi semua perasaan itu ditahannya di dalam hati.
"Kenapa tidak engkau sampaikan saja sendiri, Twako?"
"Aku... aku merasa sungkan dan takut ditolak. Ketahuilah, Taihiap. Dahulu aku sudah pernah menyatakan cintaku kepadanya, dan sampai kini belum mendapatkan jawabannya. Oleh karena itu, kalau mau menolongku, menyampaikan perasaanku itu dan menanti jawabannya, aku akan merasa berterima kasih sekali."
Tiong Li merasa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Dia tahu bahwa perasaan cemburu menusuk-nusuk perasaannya. Akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu dan suaranya masih terdengar biasa ketika dia bertanya.
"Engkau cinta padanya, Twako... Dan bagaimana dengan ia? Apakah ia juga mencintamu?"
"Ahh, melihat sikap, pandang matanya dan suaranya, aku hampir yakin bahwa iapun mencintaku, Taihiap. Akan tetapi ia belum menyatakan itu dengan kata-kata. Dan inilah yang kuharapkan! sekarang akan ia lakukan kalau engkau! mau menolongku menyampaikan pesanku kepadanya. Maukah engkau, Taihiap?"
Sambil berkata demikian Gan Kok-Bu bangkit berdiri dan merangkapkan kedua tangan depan dada lalu memberi hormat berkali-kali. Bukan main panasnya rasa hati Tiong Li. Cemburu memang menjadi permainan cinta asmara. Dan nafsu cemburu ini amatlah berbahaya, dapat menggelapkan pertimbangan, mendatangkan dendam amarah dan kebencian. Akan tetapi Tiong Li dapat menekan perasaannya yang terbakar dan diapun bangkit berdiri.
"Akan kulaksanakan permintaanmu itu! Gan-Twako. Jangan khawatir, akan kusampaikan pesanmu itu kepadanya."
"Ah, terima kasih! Terima kasih Taihiap dan aku menanti jawabannya dengan hati tidak sabar lagi. Maafkan! sekarang kutinggalkan Taihiap agar dapat segera menemuinya."
Gan Kok Bu dengan hati girang dan harapan setinggi gunung lalu meninggalkan Tiong Li seorang diri. Setelah ditinggalkan tuan rumah, Tiong Li duduk kembali seperti patung dan sampai lama dia diam saja tidak bergerak, walaupun di dalam dadanya terjadi pergolakan hebat. Siang Hwi saling cinta dengan Kok Bu? Benarkah Siang Hwi juga mencinta pemuda itu? Mengapa tidak?
Gan Kok Bu seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, putera ketua Hek-Tung Kaipang. Seorang pemuda yang berbudi baik dan perkasa, sudah sepantasnya kalau mendapatkan cinta seorang gadis seperti Slang Hwi. Akan tetapi kalau Siang Hwi mencinta Kok Bu, kenapa gadis itu masih mau menerima cintanya? Apakah gadis itu seorang yang tidak memiliki kesetiaan? Hati Tiong Li menjadi panas sekali. Dia merasa telah didahului oleh Kok Bu. Sebelum dia mengaku cintanya kepada Siang Hwi, Kok Bu telah lebih dulu dari padanya. Dan bagaimana dengan Siang Hwi? Dia harus menanyainya. Gadis itu harus mengambil keputusan, tidak boleh mempermainkan hati pria.! Kebetulan sekali pada saat itu Siang Hwi muncul dari dalam rumah. Agaknya ia memang mencari Tiong Li yang duduk di luar rumah bersama Kok Bu tadi.
"Aih, kiranya engkau berada di sini, Koko!"
Kata Siang Hwi. dengan suara manja. Suara yang biasanya menggetarkan hati Tiong Li karena kemanjaannya itu kini bahkan memanaskan hatinya, seperti suara yang dibuat-buat dan palsu! Melihat pemuda itu tidak menjawabnya, bahkan tidak menengoknya melainkan menunduk dengan wajah murung, tentu saja Siang Hwi menjadi heran dan khawatir.
"Koko, engkau kenapakah?"
Tanyanya sambil memegang pundak pemuda itu. Tiong Li melepaskan pundaknya dengan gerakan agak kasar, lalu bangkit! dan berkata,
"Duduklah, aku hendak menyampaikan pesan untukmu!"
Siang Hwi duduk dan memandang khawatir sekaIi.
"Koko, kenapa engkau bersikap begini? Pesan apakah itu dan dari siapa?"
"Dari Gan Kok Bu! Nah, engkau ingin mendengar pesannya, bukan?"
Siang Hwi bingung dan khawatir sekali melihat sikap yang kaku dari Tiong Li itu, ia tidak dapat menjawab hanya mengangguk.
"Nah, dengarlah baik baik. Gan Kok Bu minta agar aku menyampaikan kepadamu bahwa perasaan cintanya kepadamu masih seperti dulu, dan bahwa dia masih mengharapkan jawaban darimu sekarang juga. Nah, kau sampaikan jawaban itu melalui aku!"
Siang Hwi terbelalak dan tiba-tiba ia mengerti! Kok Bu menyatakan cintanya melalui Tiong Li dan kekasihnya itu terbakar oleh api cemburu. Hampir ia tertawa geli, akan tetapi ia menelan tawanya, la tidak mau menyinggung perasaan kekasihnya, ia terlalu hormat dan cinta kepada Tiong Li, tidak mau ia menyakiti hatinya.
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo