Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 12


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Kata Tung Pan penasaran.

   "Ang-Lokai, apa buktinya bahwa pembunuhan banyak anggauta Hek I Kaipang itu dilakukan murid Bu-Tong-Pai? Hati-hati, tanpa bukti berarti engkau hanya melempar fitnah!"

   Kata In Hong.

   "Ketika para pimpinan datang, ada dua orang anggauta itu yang tidak tewas, hanya terluka parah. Mereka yang mengatakan bahwa yang membunuh mereka adalah seorang bertopeng yang mengaku sebagai tokoh Bu-Tong-Pai."

   "Hemm, itu bukan bukti yang meyakinkan. Bisa saja orang lain yang melakukannya dan mengaku sebagai tokoh Bu-Tong-Pai, maka dia memakai kedok."

   "Ada bukti lain! Para anggauta Hek I Kaipang itu mati karena pukulan Tong-Sim-Ciang (Tangan Pengguncang Jantung) yang hanya dikuasai orang Bu-Tong-Pai! Para korban itu hancur jantung mereka oleh pukulan itu. Tidak ada lain aliran persilatan yang memiliki pukulan itu!"

   Pada saat itu, tiba-tiba dua orang laki-laki berpakaian hitam berlari memasuki ruangan itu. Mereka cepat menghampiri Ang Cun dan seorang di antara mereka berkata.

   "Ang-Twako, Kian-Te mati dibunuh orang..."

   Tiba-tiba orang kedua berseru sambil menudingkan telunjuknya ke arah In Hong.

   "Gadis itu yang membunuhnya! Kami juga terluka oleh dupa lidi...!"

   Dua orang itu memandang kepada In Hong dengan mata melotot. Mendengar ini, Ang Cun marah sekali dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah menyerang In Hong dengan tongkat hitamnya. Dua orang anggauta Hek I Kaipang yang baru datang itu pun cepat menggunakan tongkat hitam untuk mengeroyok In Hong, akan tetapi agaknya tingkat mereka berdua berada di bawah tingkat Ang Cun. Melihat gadis yang menolongnya itu dikeroyok, Tung Pan sudah menggerakkan goloknya hendak membantu, namun In Hong berseru mencegahnya.

   "Paman Tung Pan, jangan mencampuri. Ini urusanku!"

   Tung Pan tidak jadi maju, malah mundur mendekati murid-muridnya dan mereka menonton dengan mata terbelalak. Sepak terjang In Hong memang membuat mereka kagum sekali. Tiba-tiba saja tubuh gadis itu lenyap berubah menjadi bayangan yang berkelebatan menyambar-nyambar. Tiga orang Hek I Kaipang menjadi kebingungan dan mencoba untuk menyerang bayangan itu, namun selalu gagal. Tiba-tiba tiga orang itu mengeluh dan roboh, tak mampu menggerakkan kaki tangan mereka karena In Hong sudah berhasil menotok jalan darah mereka, membuat mereka lumpuh. Tiga orang itu rebah telentang dan mata mereka melotot.

   "Bunuhlah, kami sudah kalah. Kami tidak takut mati!"

   Bentak Ang Cun. Akan tetapi In Hong menggerakkan tangannya tiga kali dan tiga orang anggauta Hek I Kaipang itu terbebas dari totokan dan dapat bergerak kembali. Mereka lalu bangkit berdiri dan memandang In Hong dengan heran.

   "Mengapa aku harus membunuhmu? Di antara kita tidak ada permusuhan apa pun."

   "Akan tetapi seorang saudara kami!"

   Ang Cun berkata dengan marah.

   "Hemm, hanya itu yang dilaporkan dua orang temanmu ini."

   In Hong memandang kepada dua orang yang baru datang. Yang seorang terluka kecil pipi kirinya, bekas tertusuk dupa lidi dan orang kedua terluka lehernya. Agaknya dupa-dupa lidi yang disambitkan Yo Kang telah mengenai sasaran pula.

   "Hayo kalau kalian mengaku sebagai anggauta Hek I Kaipang yang gagah, ceritakan sebenarnya apa yang terjadi."

   "Hayo ceritakan!"

   Ang Cun membentak kepada dua orang itu. Orang yang pipinya terluka kecil bercerita.

   "Setelah mendapat pesan dengan surat darimu, Twako, kami bertiga lalu mengikuti Yo Kang sampai di tanah kuburan. Kami melihat dia di depan sebuah makam bersama gadis ini, maka kami lalu menyerang mereka dengan Hek-Piauw (senjata Rahasia Piauw Hitam). Tiba-tiba mereka berdua yang dapat mengelak lalu menyerang kami. Kian-Te terkena sinar hitam dari gadis ini dan tewas, sedangkan kami hanya terluka dupa lidi saja sehingga dapat melarikan diri dan menyusulmu ke sini."

   "Nah, engkau mendengar sendiri, Lokai. Aku yang tidak bersalah apa-apa, diserang secara menggelap dan kalau serangan itu mengenai sasaran, tentu aku akan mati Maka aku membalas dengan serangan senjata rahasia dan seorang di antara mereka roboh dan tewas. Apa engkau hendak menyalahkan aku? Sekarang tentang tuduhanmu kepada Bu-Tong-Pai itu. Karena pembunuh itu menggunakan topeng, walaupun dia membunuh dengan Tong-Sim-Ciang dari Bu-Tong-Pai, masih diragukan apakah dia benar orang Bu-Tong-Pai. Dan ingat, seandainya dia itu orang Bu-Tong-Pai, apakah pantas kalau Hek I Kaipang lalu hendak membunuhi semua orang Bu-Tong-Pai? Apakah kesalahan satu orang harus dipikul seluruh anggauta partai? Andaikata seorang anggauta Hek I Kaipang melakukan kesalahan, apakah kalian seluruh anggauta Hek I Kaipang mau menebus kesalahannya dan menyerahkan nyawa kalian untuk dibunuh?"

   Mendengar ucapan In Hong itu, tiga orang Hek I Kaipang tidak mampu menjawab. Mereka tertegun dan ragu-ragu, lalu Ang Cun berkata setelah menarik napas panjang.

   "Kami menyadari kebenaran ucapanmu, Nona... hemm, siapakah sebetulnya engkau, Nona?"

   "Sebut saja Put Hauw Li."

   "Put Hauw Li (Wanita Tidak Berbakti)? Itu bukan nama!"

   Kata Ang Cun.

   "Kalau aku tidak salah duga, tentu Nona yang dikenal orang dengan julukan Sian-Li Eng-Cu (Bayangan Bidadari)!"

   Tiba-tiba Tung Pan berkata.

   "Maafkan kalau dugaanku keliru, Lihiap (sebutan Pendekar Wanita)!"

   In Hong tersenyum dan berkata acuh tak acuh.

   "Boleh saja disebut begitu. Nah, Ang Lokai, lanjutkan bicaramu."

   "Sian-Li Eng-Cu, seperti kukatakan tadi, kami menyadari kebenaran ucapanmu. Akan tetapi peristiwa pembunuhan itu membuat kami semua marah dan sakit sekali. Lalu apakah kami harus berdiam diri saja melihat tiga puluh orang saudara kami dibantai?"

   "Bukan begitu Ang Lokai. Aku sendiri juga tidak senang mendengar ada orang membunuhi tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang atau orang-orang manapun juga yang tidak bersalah. Aku pasti akan menentang orang itu! Akan tetapi tindakan Hek I Kaipang yang hendak membunuhi semua murid Bu-Tong-Pai jelas keliru. Seharusnya, para pemimpin Hek I Kaipang secara baik-baik mendatangi para pemimpin Bu-Tong-Pai pusat Bu-Tong-San, melaporkan kejadian. Dengan demikian, aku yakin para Guru besar Bu-Tong-Pai pasti akan turun tangan melakukan penyelidikan dan mencari orang yang membunuh para anggauta Hek I Kaipang itu dan menangkap orang itu, baik dia murid Bu-Tong-Pai atau hanya orang yang menggunakan nama Bu-Tong-Pai."

   "Wah, pendapat itu amat tepat! Sobat Ang Cun, apa yang dikatakan Sian-Li Eng-Cu ini baru namanya adil dan benar. Yang bersalah memang harus dihukum, tidak peduli dia dari golongan apa, akan tetapi yang tidak bersalah tidak semestinya dikejar-kejar dan dihukum!"

   Kata Tung Pan dengan kagum terhadap gadis itu.

   "Seorang anggauta Hek I Kaipang yang tewas di tanah kuburan itu adalah akibat dari ulahnya sendiri. Kalau dia dan dua orang temanmu ini tidak menyerang secara menggelap, sudah pasti dia tidak akan mati terkena senjata gelap pula. Dan aku melihat bahwa murid Bu-Tong-Pai bernama Yo Kang itu sama sekali tidak membenci atau memusuhi Hek I Kaipang. Buktinya, melihat mayat anggauta Hek I Kaipang itu, dia lalu menguburnya. Kalau bermusuhan, mana dia sudi melakukan hal itu? Nah, Ang Lokai, kuharap engkau dapat menyadari bahwa pada umumnya, para murid Bu-Tong-Pai adalah orang-orang berjiwa pendekar. Maka perlu diselidiki, dicari dan ditangkap orang yang mengaku murid Bu-Tong-Pai namun melakukan pembunuhan kejam terhadap tiga puluh orang Hek I Kaipang itu."

   Mendengar ini, Ang Cun dan dua orang kawannya mengangguk-angguk. Mereka mengerti benar, bahkan menyetujui pendapat Si Bayangan Bidadari itu.

   "Herm, ucapanmu itu benar-benar telah menerangi pikiran kami yang tadinya gelap oleh dendam, Sian-Li Eng-Cu. Aku sendiri yang akan menghadap Ketua kami dan menyampaikan pesanmu agar mereka semua sadar akan kekeliruan mereka. Tung-Kauwsu, maafkan sikap kami tadi!"

   Ang Cun memberi hormat kepada Tung Pan dan In Hong, diikuti dua orang temannya, kemudian mereka bergerak keluar dari rumah perguruan silat itu.

   "Lihiap, banyak terima kasih atas budi pertolonganmu, bukan saja menyelamatkan aku dari ancaman maut, akan tetapi terutama sekali karena Lihiap telah berhasil menyadarkan Ang Cun dan kawan-kawannya."

   "Tidak perlu berterima kasih, Tung-Kauwsu. Aku hanya mengharap mudah-mudahan Ang Cun dapat menyadarkan Ketuanya dan para pemimpin Hek I Kaipang."

   Tiba-tiba mereka mendengar suara teriakan beberapa orang di luar rumah perguruan itu. Cepat In Hong melompat dan berlari keluar, diikuti oleh Tung Pan dan para muridnya. Setibanya di luar, Tung Pan dan para muridnya melihat In Hong yang gerakannya amat cepat tadi sudah berjongkok dekat mayat tiga orang yang bukan lain adalah Ang Cun dan dua orang anggauta Hek I Kaipang tadi! Mereka melihat In Hong meraba-raba dada tiga orang yang sudah tewas itu.

   "Lihiap, apakah yang terjadi?"

   Tung Pan lari menghampiri. In Hong menggelengkan kepala tanda bahwa Ia tidak tabu. Tung Pan lalu bertanya kepada empat orang yang kebetulan lewat di depan rumahnya dan kini berdiri di tepi jalan menonton.

   "Saudara-saudara, apakah kalian melihat apa yang terjadi dan mengapa tiga orang itu tewas?"

   Empat orang itu tampak bingung dan seorang di antara mereka berkata,

   "Kami tidak tahu. Tadi kami hanya melihat betapa tiga orang ini tiba-tiba berteriak dan terguling jatuh, tak bergerak lagi. Kami tidak tahu mengapa, dan tidak melihat ada orang lain di sekitar sini."

   Tiba-tiba tampak tiga orang berpakaian hitam-hitam berlari-lari mendatangi. In Hong melihat bahwa mereka adalah tiga orang anggauta Hek I Kaipang dan begitu tiba di situ, mereka segera berlutut dan menangisi mayat tiga orang rekan mereka. Seorang di antara mereka, yang berusia sekitar dua puluh lima tahun atau lebih, tubuhnya sedang dan mukanya kotor oleh debu, rambutnya awut-awutan, berteriak-teriak.

   "Orang Bu-Tong-Pai jahat! Bu-Tong-Pai jahat!!"

   Dia menudingkan telunjuk kirinya ke arah Tung Pan. Tung Pan segera melangkah maju dan berkata kepada anggauta Hek I Kaipang yang muda itu.

   "Nanti dulu, sobat. Bukan aku yang membunuh mereka!"

   "Bohong! Orang Bu-Tong-Pai semua jahat!"

   Anggauta Hek I Kaipang itu berseru dan dia sudah mencabut tongkat hitamnya lalu menyerang Tung Pan. Akan tetapi ternyata tingkat kepandaian anggauta muda perkumpulan pengemis itu masih rendah karena sekali ditangkis Tung-Kauwsu, dia terpelanting jatuh. Dua orang kawannya, murid-murid Hek I Kaipang lalu mencegahnya dan mereka bertiga segera memondong tiga buah jenazah itu pergi dari situ.

   "Aih, apa yang terjadi di sini?"

   Tung Pan menepuk dahinya dan merasa khawatir sekali.

   "Lihiap, sia-sia saja tadi Lihiap dapat menyadarkan Ang Cun dan dua orang temannya. Ternyata ada yang membunuhnya secara gelap!"

   In Hong mengangguk.

   "Ya, dan mereka terkena pukulan Tong-Sim-Ciang dari Bu-Tong-Pai pula! Hemm, mari kita bicara di dalam Tung-Kauwsu."

   Mereka semua memasuki rumah perguruan itu. Mereka lalu duduk di ruangan dalam, bicara dengan serius.

   "Paman Tung, apakah engkau menguasai ilmu pukulan Tong-Sim-Ciang?"

   Tiba-tiba In Hong bertanya. Tung Pan memandang dengan alis berkerut.

   "Lihiap, apakah engkau menduga aku yang..."

   "Bukan begitu, Paman. Aku hanya ingin tahu untuk melancarkan penyelidikanku."

   "Tidak, Lihiap. Ilmu pukulan itu hanya dikuasai oleh murid Bu-Tong-Pai yang tingkatnya sudah tinggi, dua tingkat lebih tinggi daripada tingkatku."

   "Apakah Paman mengenal seorang Guru silat di Hak-Ciu, juga murid Bu-Tong-Pai yang bernama Si Hoo?"

   "Si Suheng (Kakak Seperguruan Si)? Tentu saja aku mengenalnya. Dia itu murid Bu-Tong-Pai yang lebih tinggi setingkat dibandingkan aku."

   "Hemm, Paman Si Hoo itu pun terbunuh dan pembunuhnya adalah Pak Lo-Kui."

   "Pak Lo-Kui, Datuk Besar Utara? Akan tetapi, mengapa?"

   "Mungkin ini merupakan peristiwa lain, Paman."

   In Hong lalu menceritakan tentang Si Hoo yang dibunuh oleh Pak Lo-Kui gara-gara ulah murid Datuk Utara itu.

   "Ah, mengapa murid-murid Bu-Tong-Pai terlibat dalam urusan yang menimbulkan permusuhan ini? Bagaimana sekarang, Lihiap? Satu-satunya murid Hek I Kaipang yang sudah sadar dan hendak menyampaikan pandanganmu itu tentang pembunuhan tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang, kini bersama dua orang temannya terbunuh. Apalagi terbunuhnya di depan rumah perguruanku, tentu Bu-Tong-Pai akan semakin dicurigai dan dibenci oleh mereka."

   "Paman Tung, aku hampir yakin bahwa pembunuh tiga orang murid Hek I Kaipang tadi adalah orang yang membunuh tiga puluh orang anggauta Hek I Kaipang di An-hui yang diceritakan Ang Cun tadi. Tentu dia mendengar bahwa Ang Cun telah sadar dan hendak melapor kepada Ketuanya, maka Ang Cun dan dua orang temannya dibunuh dan cara membunuhnya juga dengan Tong-Sim-Ciang pukulan lihai khas Bu-Tong-Pai."

   "Akan tetapi mengapa orang itu melakukan pembunuhan-pembunuhan dan menggunakan ilmu Bu-Tong-Pai?"

   "hi sudah jelas, Paman! Hanya ada dua kemungkinan, yaitu pertama, kemungkinan tipis bahwa orang itu adalah seorang tokoh Bu-Tong-Pai yang membenci Hek I Kaipang, entah mengapa dan dia ingin agar Bu-Tong-Pai bermusuhan dengan Hek I Kaipang."

   "Akan tetapi mengapa dia memakai topeng dan membunuh secara gelap?"

   "Tentu agar dia tidak dikenal, karena dia khawatir para pemimpin Bu-Tong-Pai tidak menyetujui perbuatannya itu. Dan kemungkinan kedua, yang lebih kucurigai, pembunuh itu adalah orang yang sengaja hendak melempar fitnah kepada Bu-Tong-Pai untuk mengadu domba, agar terjadi permusuhan antara Bu-Tong-Pai dan Hek I Kaipang."

   "Akan tetapi mengapa dia melakukan hal itu? Apa alasan atau tujuannya?"

   "Entahlah, aku belum dapat menduganya. Akan tetapi, aku berjanji akan ikut menyelidiki hal ini. Sekarang, lebih baik Paman membubarkan perguruan silat ini dan Paman sendiri bersama keluarga Paman pindah ke lain tempat karena aku yakin bahwa kematian Ang Cun dan dua orang kawannya di depan rumah Paman ini tentu akan berekor panjang. Mereka pasti akan mencari Paman untuk membalas dendam. Apalagi sekarang sudah tidak ada Ang Cun yang menyadarkan mereka. Nah, turutilah nasehatku, Paman. Sekarang aku hendak pergi."

   Setelah berkata demikian, In Hong cepat meninggalkan kota Im-San-Keng dan kembali ke hutan kecil di luar kota itu. Cuaca senja mulai remang-remang ketika In Hong memasuki hutan kecil itu. Tidak tampak bayangan Yo Kang di tempat di mana ia meninggalkan pemuda itu. Sampai agak lama ia berdiri di situ, memandang ke sekeliling yang sudah mulai gelap.

   "Yo-Twako...!"

   La berseru sambil mengerahkan tenaga dalam sehingga suaranya menembus pepohonan dan mencapai tempat jauh. Tiba-tiba terdengar jawaban.

   "Hong-moi...!"

   Dan pemuda itu muncul dari balik pepohonan.

   "Maaf, Hong-moi, aku agak terlambat muncul. Cuaca sudah agak gelap dan tidak mengenal bayanganmu sebelum engkau memanggilku."

   "Ada apakah, Twako? Mengapa engkau begitu curiga?"

   "Entahlah, tadi aku seperti mendengar gerakan-gerakan orang di sekitar sini. Aku menyelinap dan mengintai, akan tetapi tidak menemukan orang. Aku menjadi curiga dan berhati-hati. Maka ketika engkau muncul, hanya merupakan bayangan, tentu saja aku tidak segera keluar karena tidak mengenalmu."

   "Sudahlah, agaknya engkau terlalu khawatir, Twako. Ah, aku lelah sekali, ingin mengaso. Banyak hal terjadi di Im-San-Keng tadi."

   "Apa yang terjadi, Hong-moi?"

   "Nanti kuceritakan, sekarang sebaiknya kita membuat api unggun untuk mengusir nyamuk. Ah, aku lelah dan juga tidak enak rasanya, hemmm... alangkah akan segarnya kalau aku dapat mandi..."

   "Jangan khawatir, Hong-moi. Aku tadi sudah menemukan sumber air di mana engkau dapat mandi. Aku pun sudah mandi, dan selain itu aku menemukan sebuah pondok kosong di tengah hutan, agaknya dulu dipergunakan para pemburu untuk beristirahat dan berlindung di waktu hujan."

   "Bagus sekali! Di mana sumber air itu, Twako? Aku ingin sekali mandi!"

   Kata In Hong girang. Yo Kang menjadi penunjuk jalan dan tak jauh dari situ memang terdapat sebuah gubuk kayu.

   "Di belakang pondok itu terdapat mata air itu, Hong-moi. Airnya banyak dan jernih. Lihat, aku tadi menemukan sebuah cerek air dan aku sudah menjerang air untuk kita minum. Dan ini, aku juga menangkap seekor kelinci gemuk, sudah kukuliti tinggal memanggang saja. Di dalam pondok tersedia alat-alat dapur, bahkan ada garam dan bumbu. Mandilah, Hong-moi, nanti kita panggang daging ini dan kita makan."

   Pemuda itu tampak gembira sekali, lalu membuat api unggun. In Hong mengambil pakaian dari buntalan pakaiannya, kemudian membawa obor kayu kering menuju ke belakang pondok. Ia menemukan sumber air itu, lalu membuat api unggun tak jauh dari sumber air agar tidak terlalu gelap. Setelah itu ia menanggalkan semua pakaian nya dan mulai mandi di bawah pancuran air yang mungkin dibuat oleh mereka yang dulu menggunakan pondok itu. Segar sekali rasanya ketika seluruh tubuh In Hong tersiram air jernih itu. Ia menggosok-gosok seluruh tubuhnya dengan beberapa helai daun yang tadi dipetiknya. la mengenal beberapa macam daun dan rumput yang baik sekali untuk menggosok dan membersihkan kulit. Saking segar dan nyamannya, tanpa disadari In Hong bersenandung lirih. la memang suka bernyanyi dan suaranya pun merdu. Dahulu, Guru pertamanya, Hek Moli mengajarkan banyak lagu rakyat daerah Bhutan dari mana Gurunya kedua atau juga bekas suami Hek Moli, berasal. Lagunya sederhana dan indah sekali. Akan tetapi panca indera gadis itu sudah terlatih dan amat tajam atau peka. Sedikit saja suara yang tidak wajar cukup untuk dapat ditangkap pendengarannya. la tahu bahwa ada orang mengintai dari sebelah kirinya, mungkin di balik semak-semak yang gelap itu. Dengan tenang, tanpa menghentikan senandungnya, tangan kiri In Hong mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangannya lalu cepat ia menyambitkan batu itu ke arah semak-semak yang mendatangkan suara berkeresekan yang mencurigakan tadi.

   "Keparat busuk pergilah!"

   Bentak In Hong dan berbareng dengan bentakannya, batu itu sudah menerjang dan menerobos semak-semak! Akan tetapi tidak terjadi apa-apa di sana. Tidak mungkin pikirnya. Pendengarannya tidak akan salah. Pasti ada orang tadi bersembunyi di balik semak-semak. Juga sambitannya tidak mungkin luput. Akan tetapi nyatanya tidak ada orang terkena sambitannya. Aneh!

   "Hong-moi, ada apakah?"

   Tiba-tiba Yo Kang muncul. In Hong yang berdiri telanjang sebatas pinggang dalam air, menjerit dan menutupi dada dengan kedua tangan lalu membenamkan tubuh ke air sampai sebatas leher! la menjerit kaget karena tadi Yo Kang melihatnya berdiri bertelanjang dada. Akan tetapi Yo Kang cepat memutar tubuhnya, membelakangi gadis itu.

   "Ah, maafkan aku, Hong-moi. Sungguh aku tidak tahu bahwa engkau... eh, aku tadi mendengar bentakanmu maka aku khawatir terjadi sesuatu dan cepat lari ke sini. Maafkan aku..."

   "Sudahlah, Twako. Coba tolong lihat ada apa di balik semak-semak sana itu."

   Yo Kang cepat melompat dan memeriksa belakang semak-semak.

   "Tidak ada apa-apa, Hong-moi."

   "Ya sudahlah, Twako. Tunggu saja di pondok itu dan kau panggang saja daging kelinci itu. Aku hendak mencuci pakaian lebih dulu. Sebentar aku ke sana. Tolong tambahkan kayu bakar pada api unggun itu agar tidak padam."

   Yo Kang memenuhi permintaan In Hong tanpa menoleh satu kalipun kepada gadis itu, lalu pergi.

   In Hong mencuci pakaiannya yang kotor dan berganti pakaian bersih. Ia merasa heran sekali sehingga setelah mencuci pakaian dan mengenakan pakaian bersih, ia masih penasaran lalu memeriksa sendiri belakang semak-semak itu. Ia tidak melihat ada orang. Akan tetapi alisnya berkerut ketika sinar api unggun membuat ia dapat melihat adanya sebuah batu sebesar kepalan tangan berada di situ, di atas tanah. Batu yang licin dan masih basah, jelas batu berasal dari bawah pancuran air yang tadi ia sambitkan! Padahal batu itu tidak mungkin berada di situ kalau tidak mengenai sesuatu atau... ditahan sesuatu! In Hong kembali ke pondok dan hidungnya disambut bau sedap daging dibakar dibumbui bawang putih dan garam. Tiba-tiba ia merasa lapar sekali. Akan tetapi ketika tiba di dekat, Yo Kang melihat wajahnya yang termenung dan dia bertanya.

   "Hong-moi, ada apakah?"

   In Hong menaruh pakaiannya yang tadi dicucinya di atas, tepi atap pondok agar mengering. Lalu ia duduk dekat Yo Kang yang sedang memanggang daging.

   "Yo-Twako, aku yakin bahwa kita tidak sendirian."

   "Maksudmu?"

   "Ada orang lain di sini, orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Aku tidak tahu siapa dia, kawan ataukah lawan. Kita harus berhati-hati malam ini."

   "Jangan khawatir, Hong-moi. Ada kita berdua di sini, siapa dapat mengganggu kita? Kita tidur dan berjaga... maksudku engkau yang tidur dan aku yang berjaga."

   "Tidak, harus bergantian. Seorang tidur yang lain berjaga dan bergiliran."

   Mereka lalu makan daging kelenci bakar yang dibumbui. Sedap sekali rasanya, lalu minum air yang sudah dimasak. Daging kelenci gemuk itu cukup mengenyangkan perut mereka. Kemudian mereka duduk di atas batu panjang datar yang berada di depan pondok, dekat api unggun.

   "Sekarang ceritakan bagaimana hasil penyelidikanmu ke kota Im-San-Keng tadi, Hong-moi."

   In Hong lalu menceritakan pengalamannya di rumah perguruan Tung Pan. Setelah ia selesai bercerita, Yo Kang berkata,

   "Ah, keadaan menjadi semakin runyam kalau begitu! Tentu Hek I Kaipang akan semakin mendendam kepada Bu-Tong-Pai! Sudah kuduga, tentu ada seorang yang sengaja membunuhi orang-orang Hek I Kaipang itu. Aku harus pergi ke Bu-Tong-San memberitahukan Suhu tentang semua peristiwa ini!"

   "Akan tetapi sebelum terjadi pertempuran antara kedua pihak, pertempuran yang lebih besar dan menewaskan banyak korban, sebaiknya aku menemui dulu Ketua Hek I Kaipang di Beng-San, memberi penjelasan agar dia mau membicarakan urusan itu secara baik-baik dengan pimpinan Bu-Tong-Pai."

   Kata In Hong.

   "Baiklah, Hong-moi. Kita membagi tugas. Aku menemui pimpinan Bu-Tong-Pai dan engkau menemui pimpinan Hek I Kaipang. Akan tetapi sebelum pergi ke Bu-Tong-San, aku hendak menemui Bibi Yo Cui Hwa lebih dulu di dusun Hek-Te-Cung. Aku hendak mengundangnya untuk pindah saja ke See-Ciu, tinggal bersama kami, apa lagi sekarang Kongkong sedang sakit dan selalu menanyakan Bibi Yo Cui Hwa."

   In Hong menahan diri untuk tidak menceritakan tentang Ibunya yang telah menikah lagi, bahkan menikah dengan pembunuh suaminya, dan sekarang telah mempunyai seorang anak perempuan. Ba-gaimana mungkin ia dapat menceritakan bahwa Ibunya telah menikah dengan musuh besar yang membunuh Ayahnya? Biarlah Ibunya sendiri yang akan bercerita kalau bertemu dengan Yo Kang. Ia lalu memindahkan percakapan tentang Ibunya.

   "Yo-Twako, apa saja yang terjadi denganmu semenjak kita saling berpisah? "

   "Tidak banyak, Hong-moi. Setelah melihat engkau mampu mengalahkan Wu Wi Thaisu tokoh Go-Bi-Pai itu, aku baru menyadari bahwa tingkat kepandaianku dibandingkan denganmu masih teramat rendah, Hong-moi. Maka aku menjadi penasaran dan aku lalu pergi ke Bu-Tong-San untuk memperdalam ilmu silat di bawah bimbingan langsung dari Guru Besar Tiong Li Seng-jin, Ketua Bu-Tong-Pai."

   
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, pantas saja engkau kini menjadi semakin lihai. Menggunakan dupa lidi sebagai senjata rahasia, membutuhkan lweekang (tenaga dalam) yang kuat!"

   "Ah, Hong-moi, dibandingkan denganmu, kepandaianku tidak ada artinya. Engkau sungguh hebat sekali, Hong-moi. Engkau amat lihai, gagah dan semakin cantik jelita. Sungguh membuat aku menjadi semakin kagum dan semakin mencintaniu."

   Mendengar pengakuan cinta, In Hong memandang dengan mata terbelalak keheranan. la tidak heran mendengar Yo Kang mencintanya karena hal ini sudah diketahui sejak dulu. Yang ia herankan adalah pernyataan cinta yang demikian terbuka dan jujur!

   "Tentu saja, Yo-Twako. Aku adalah Piauw-moi (Adik misan perempuan) bagimu, sudah semestinya engkau sayang kepada Adik misanmu."

   "Bukan begitu, bukan itu maksudku, Hong-moi. Aku cinta padamu seperti seorang laki-laki mencinta seorang perempuan. Baru sekali ini selama hidupku aku jatuh cinta kepada seorang perempuan, dan aku akan berbahagia sekali jika kita berdua sudah dapat hidup sebagai suami-isteri."

   In Hong memandang heran dan kagum. Kakak misannya ini demikian jujur dan terbuka! Dan harus ia akui bahwa Yo Kang adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan tampan, ilmu silatnya tinggi, pendeknya, seorang pemuda pilihan! Akan tetapi ia tidak merasakan kemesraan dalam hatinya terhadap Yo Kang seperti yang ia rasakan terhadap Bu Jin Ai atau Ong Tiang Houw yang telah tiada. la tidak mencinta Yo Kang!

   "Yo-Twako, aku minta agar engkau tidak bicara tentang hal itu lagi!"

   Katanya tegas.

   "Aku tidak suka dan sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan!"

   Yo Kang bersikap tenang walaupun suaranya agak gemetar ketika dia berkata.

   "Baiklah dan maafkan aku, Hong-moi. Sekarang engkau mengasolah dalam pondok, aku yang berjaga di sini."

   Dia lalu menambahkan kayu pada api unggun. Sikapnya seolah tidak pernah ada apa-apa. In Hong juga segera bangkit dan memasuki pondok kecil itu.

   "Tengah malam nanti aku yang menggantikanmu berjaga."

   "Ah, tidak usah, Hong-moi."

   In Hong lalu merebahkan diri di bangku dalam pondok. Bangku bambu yang kasar. la tidak dapat tidur, pernyataan cinta dari Yo Kang tadi tetap terngiang di telinganya. Sementara itu, Yo Kang duduk di dekat api unggun, diam seperti patung, matanya memandang nyala api yang amat indah, namun dia tidak melihat keindahan itu. Bahkan mata yang terbuka itu tidak melihat apa-apa. Dia termenung.

   Memang sikapnya tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Namun hatinya terasa pedih dan tidak nyaman. In Hong memang tidak menolak cintanya, akan tetapi jelas tidak menerimanya, tidak menyambutnya. Padahal bukan dia sendiri yang mengharapkan gadis itu menjadi isterinya. Ayah-Ibunya pernah membicarakan urusan perjodohan antara dia dan In Hong. Ayahnya yang ingin sekali mengambil In Hong sebagai mantunya. Walaupun Ibunya agak menentang karena Ibunya menginginkan mantu seorang gadis bangsawan yang halus budi, bukan gadis kang-ouw yang lebih pandai memainkan pedang daripada alat menyulam, memasak dan lain-lain, namun akhirnya Ibunya tidak dapat menentang keinginan Ayahnya. Ayah-Ibunya sudah setuju dan dia sendiri sejak pertemuan pertama sudah jatuh cinta. Akan tetapi sikap In Hong jelas menolak! Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat.

   "Siapa itu!"

   Bentak Yo Kang dan dia sudah melompat ke arah bayangan itu. Akan tetapi bayangan itu menyambutnya dengan pukulan jarak jauh, mendorongkan tangan kanannya ke arah Yo Kang. Dari telapak tangan itu menyambar sinar putih yang dahsyat sekali. Yo Kang cepat menyambut dengan dorongan tangan pula sambil mengerahkan sinkang (tenaga sakti).

   "Wuuuuttt... blaarrr...!"

   Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu dan bertumbukan dengan dahsyat dan akibatnya, Yo Kang terjengkang dan roboh telentang! Bayangan itu kini mendorongkan kedua tangannya dan dari kedua telapak tangan itu tampak sinar putih menyambar ke arah dada Yo Kang yang masih terengah-engah. Serangan maut itu agaknya sulit untuk dapat dihindarkan Yo Kang.

   "Syuuuuttt... darrrr...!!"

   In Hong yang tadi melayang keluar dari pondok dan menangkis serangan itu dengan dorongan kedua tangannya, terhuyung ke belakang saking kuatnya tenaga serangan bayangan hitam yang tidak tampak jelas orangnya itu. Akan tetapi bayangan hitam itu pun terpental ke belakang. Bayangan itu mengeluarkan seruan lirih seperti orang terkejut, lalu melompat dan menghilang ke dalam kegelapan. In Hong tidak mau mengejar karena kegelapan menghalanginya dan orang itu lihai sekali. Amat berbahaya kalau mengejar bayangan yang lihai itu di tempat gelap, apa lagi yang tidak dikenalnya. Gadis ini lalu cepat menghampiri Yo Kang yang telah duduk bersila, tak jauh dari api unggun yang kini hampir padam. In Hong menambahkan kayu kering pada api unggun itu sehingga nyalanya membesar, lalu ia mendekati Yo Kang. Pemuda itu membuka matanya dan memandang kepadanya.

   "Yo-Twako, engkau tidak apa-apa?"

   Pemuda itu menghela napas panjang, menggelengkan kepala.

   "Hong-moi, aku tidak apa-apa, selamat dan terhindar dari maut karena pertolonganmu. Aku berhutang nyawa padamu, Hong-moi."

   "Ah, sudahlah, jangan sebut lagi itu. Sekarang, bagaimana rasanya?"

   "Bahaya sudah lewat, Hong-moi. Rasanya aku tidak terluka walaupun tadi aku merasa sesak kalau bernapas. Pukulan orang tadi sungguh luar biasa dan berbahaya sekali. Tahukah engkau siapa dia, Hong-moi?"

   In Hong menggelengkan kepalanya.

   "Aku tidak dapat melihat mukanya. Karena gelap, aku hanya melihat sosok bayangan orang, tidak tahu dia itu pria atau wanita, tua atau muda. Akan tetapi agaknya kalau tidak salah aku mengenal pukulan jarak jauh yang dia lakukan terhadap dirimu tadi. Pukulan itu mengandung sinar putih seperti Pek-Kong-Ciang (Tangan Sinar Putih) dari Kun-Iun-Pai."

   "Kun-Lun-Pai? Akan tetapi mengapa ada orang Kun-Lun-Pai memusuhi kita? Padahal Kun-Lun-Pai merupakan perguruan yang sealiran dengan kita, selalu menentang kejahatan!"

   "Bukan kita yang dimusuhi, Yo-Twako, melainkan engkau, karena engkau tadi yang diserang, bukan aku. Mungkin saja bukan Kun-Lun-Pai yang memusuhi engkau atau Bu-Tong-Pai, melainkan ada permusuhan pribadi antara engkau dan seorang yang menguasai ilmu-ilmu Kun-Lun-Pai. Coba ingat-ingat, barangkali engkau pernah bermusuhan dengan seorang murid Kun-Lun-Pai."

   "Seingatku tidak pernah, Hong-moi. Kalau aku pernah bermusuhan, tentu akan kuingat, apalagi orang yang menyerangku tadi bukan orang sembarangan. Ilmu silatnya tinggi sekali dan kalau dia memang murid Kun-Lun-Pai, tentu dia seorang yang memiliki kedudukan tinggi di perguruan itu."

   "Hemm, sungguh aneh sekali!"

   In Hong mengerutkan alisnya dan berpikir.

   "Hek I Kaipang mengatakan bahwa mereka diserang orang yang menggunakan nama dan ilmu Tong-Sim-Ciang dart Bu-Tong-Pai sehingga Hek I Kaipang memusuhi Bu-Tong-Pai untuk membalas dendam. Sekarang ada orang menggunakan ilmu Pek-Kong-Ciang dari Kun-Lun-Pai untuk nnenyerang dan hampir menewaskan seorang murid Bu-Tong-Pai! Perbuatan ini tentu saja dapat mengakibatkan permusuhan antara Bu-Tong-Pai dan Kun-Lun-Pai! Engkau harus berhati-hati, Yo-Twako."

   "Kukira semua anggauta Bu-Tong-Pai harus berhati-hati. Aku akan melaporkan peristiwa ini kepada para pimpinan Bu-Tong-Pai agar semua murid berhati-hati dan para pimpinan dapat memberitahukan penyerangan ini kepada para pimpinan Kun-Lun-Pai."

   "Itu benar, Yo-Twako. Dengan begitu maka pihak Kun-Lun-Pai tentu akan berusaha untuk menemukan orang yang berniat membunuhmu tadi."

   Setelah malam berganti pagi, kedua orang muda itu saling berpisah. In Hong hendak mengunjungi pusat Hek I Kaipang di Beng-San, sedangkan Yo Kang akan pergi ke Bu-Tong-San untuk menemui para pimpinan Bu-Tong-Pai. Yo Kang merasa kecewa, kehilangan dan kesepian ketika berpisah dari In Hong yang telah mencuri hatinya. Tadinya, berdekatan dengan In Hong, dia merasa betapa hatinya tenang tenteram dan gembira, segala sesuatu tampak indah menyenangkan. Kini, begitu dia berpisah dari gadis itu, hatinya merasa begitu sepi, segala sesuatu tampak tidak ada artinya dan tidak ada lagi yang tampak indah. Dia merasa kehilangan, seolah dirinya tidak utuh lagi yang membuat dia melakukan perjalanan sambil melamun.

   Semangatnya seolah terbawa pergi oleh In Hong! Cinta yang melanda hati seorang manusia terhadap lawan jenisnya, merupakan satu di antara gairah-gairah nafsu yang teramat kuat! Cinta dapat mengubah sendi-sendi kehidupan seorang manusia. Dapat mendatangkan kebahagiaan yang melampaui semua khayalan, namun dapat pula mendatangkan duka nestapa yang melampaui ketahanan seorang manusia. Betapa gagah perkasa pun seorang pria, betapa tinggi pun kedudukannya, betapa pandai dan bijaksana pun wataknya, namun sekali hatinya dilanda apa yang dinamakan cinta, dia akan berubah menjadi seorang manusia yang lemah lunglai tak berdaya! Hidup seolah tidak ada artinya lagi tanpa dia yang dicinta berada di dekatnya, menerima dan membalas cintanya! Kebahagiaan itu hanya dapat dirasakan oleh mereka yang berhasil memadu cinta.

   Sebaliknya kesengsaraan itu pun hanya dapat dirasakan oleh mereka yang gagal dalam bercinta. Akan tetapi, betapa pun kuatnya cinta mempengaruhi keadaan hati, seperti semua emosi yang dapat melanda hati manusia, rasa takut, duka, bingung, senang, dan lain-lain, sudah pasti akhirnya tunduk kepada Waktu! Sang Waktu merupakan kekuatan yang mengalahkan segalanya, biarpun kerjanya lambat, namun pasti segala sesuatu ditelannya, sesuai dengan Hukum Alam bahwa tiada yang langgeng (abadi) di dunia fana ini. Betapa pun besar kedudukan ataupun kesenangan, pada akhirnya terhapus oleh Sang Waktu yang menelan segalanya. Segala macam perasaan yang melanda hati manusia hanya sementara belaka, baik dalam waktu panjang maupun pendek. Akhirnya akan menghilang dimakan waktu, atau terganti oleh perasaan yang lain lagi.

   Biarpun baru sebelas tahun bangsa Mongol menguasai Cina, namun bangsa yang amat kuat dan mahir dalam perang itu telah dapat mengatur pemerintahan sampai ke daerah-daearah. Mereka tidak hanya mengandalkan tenaga bangsa Mongol sendiri dalam menguasai wilayah yang amat luas itu, namun juga mempergunakan tenaga orang-orang pribumi sendiri yang mau mengabdi kepada Kerajaan Goan-Tiauw yang baru. Kotaraja Peking juga dibangun. Kerusakan-kerusakan pada Istana dan bangunan-bangunan lain diperbaiki. Bahkan Istana diperindah. Bangsa Mongol bukan bangsa yang pandai dalam hal bangunan, mereka hanya pandai berperang, namun mereka mendatangkan ahli-ahli bangunan dari seluruh pelosok sehingga Istana Kaisar Kublai Khan dibangun megah dan lebih indah daripada sebelumnya.

   Kotaraja Peking sendiri menjadi ramai dikunjungi para pedagang. Kaisar Kublai Khan maklum bahwa biarpun dia berambisi untuk memperluas wilayah jajahannya dengan memerangi berbagai bangsa di barat dan selatan, namun dia tetap waspada terhadap ancaman gangguan dalam negeri. Dia maklum bahwa masih banyak terdapat kelompok-kelompok orang gagah bangsa pribumi yang masih penasaran dan tidak rela membiarkan tanah airnya di jajah bangsa Mongol. Mereka memang sudah dipukul dan dicerai-beraikan, namun tetap saja masih merupakan ancaman yang harus ditanggulangi secara khusus. Oleh karena itu, Kaisar Kublai Khan mengangkat beberapa orang panglima perang yang lihai dan cerdik untuk menjadi komandan pasukan yang tugasnya selain menjaga keselamatan dan keamanan Kotaraja,

   Juga untuk menghancurkan setiap golongan yang sikapnya memusuhi pemerintah Mongol. Para panglima itu disebar dan bermarkas di beberapa kota besar, tentu saja yang terbanyak di Kotaraja. Mereka membentuk pasukan khusus sendiri-sendiri. Maka tak dapat dielakkan lagi terjadilah penangkapan-penangkapan yang terkadang hanya berdasar kecurigaan, atau bahkan akibat fitnah. Satu diantara panglima yang oleh Kaisar Kublai Khan ditugasi khusus untuk menjaga Kotaraja dan memberantas para pemberontak, adalah Jenderal Ogucin, seorang jagoan bangsa Mongol aseli yang sudah dianggap sebagai Datuk karena selain pandai memimpin pasukan perang, juga pandai ilmu silat aliran Utara dan ilmu gulat aseli Mongol.

   Setelah menjadi seorang jenderal, dia menggunakan nama pribumi, yaitu Ouw Gu Cin atau Jenderal Ouw Gu Cin yang biasa disebut Ouw Goanswe (Jenderal Ouw). Jenderal Ouw berkedudukan di Kotaraja dan dia membentuk pasukan khusus yang diberi nama Hui-To-Tin (Barisan Pisau Terbang). Nama ini diambil dari keistimewaan seratus orang perajurit itu yang semua pandai menggunakan pisau untuk membunuh lawan dengan cara menyambitkan, seolah-olah pisau itu dapat terbang menyambar nyawa! Jenderal Ogucin, atau kita sebut saja nama barunya, Jenderal Ouw Gu Cin yang berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan kumis kecil melintang khas Mongol, jenggot pendek, mata lebar dan kulitnya kecoklatan, memiliki seorang isteri yang cantik, peranakan Mongol/Han, biarpun usianya sudah empat puluh tahun namun masih tampak cantik dengan tubuh ramping, kulitnya kuning mulus.

   Suami-isteri yang tinggal di sebuah gedung besar di ujung jalan raya Kotaraja sebelah barat itu mempunyai seorang puteri yang cantik jelita berusia delapan belas tahun. Gadis bangsawan peranakan Han/Mongol ini diberi nama pribumi Ouw Swi Lan. Gadis berusia delapan belas tahun ini sikapnya sudah dewasa. Gerak gerik dan bicaranya lembut. namun terkadang sinar matanya mencorong penuh wibawa dan membayangkan kekerasan hati. Wajah yang bulat telur itu manis sekali. Kulitnya tidak seputih kulit Ibunya, akan tetapi tidak secoklat kulit Ayahnya. Kulit yang halus seolah membayangkan kelembutan, namun sesungguhnya di dalam tubuh yang ramping itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat karena Ouw Swi Lan adalah seorang gadis yang tinggi ilmu silatnya, juga dari Ibunya ia mewarisi keahlian membaca menulis, membuat sajak, bernyanyi dan menari.

   Ia suka akan kesenian, akan tetapi lebih menyukai ilmu silat. Di belakang gedung tempat tinggal keluarga Jenderal Ouw di Kotaraja terdapat sebuah taman yang luas dan di tengah taman itu terdapat sebuah bangunan panggung bertingkat tiga berbentuk menara. Jenderal Ouw memang sengaja membangun menara ini sebagai tempat pertemuan rahasia antara dia dan para pembantunya yang melakukan pekerjaan rahasia, yaitu menyelidiki orang-orang dan golongan-golongan persilatan tertentu yang dianggap cukup mencurigakan dan perlu diselidiki apakah mereka itu anti pemerintah Mongol. Pertemuan-pertemuan seperti itu memang seringkali harus diadakan secara rahasia, jangan terlihat umum karena sebagian para pembantunya adalah orang-orang pribumi sendiri yang memiliki kepandaian tinggi.

   (Lanjut ke Jilid 12)

   Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12

   Pada suatu sore para perajurit yang berjaga di gardu penjagaan depan gedung Jenderal Ouw terkantuk-kantuk. Hawa udara sedang panas-panasnya dan keadaan sepi membuat mereka mengantuk. Mereka merasa aman dan tidak khawatir, karena siapakah yang akan berani bermain gila melanggar tempat larangan itu, memasuki tempat tinggal sang jenderal? Kalau malam, mungkin ada penjahat yang mencoba menyelinap masuk, maka para petugas jaga itu biasanya berjumlah lebih banyak,

   Sampai belasan orang dan mereka melakukan perondaan sekeliling luar tembok tinggi yang mengelilingi rumah gedung termasuk kebun dan tamannya yang luas itu. Akan tetapi sore itu tidak ada yang meronda, bahkan enam orang perajurit yang berjaga di gardu duduk terkantuk-kantuk. Sesosok bayangan orang berkelebat melompati dinding tembok yang mengelilingi kebun dan taman di belakang gedung. Dinding itu terbuat clan tembok batu yang tinggi sehingga melihat dia dapat melompat ke atasnya seperti seekor burung, mudah diketahui bahwa orang itu tentu memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat. Melihat orangnya, ternyata dia sama sekali tidak mengesankan, sama sekali tidak pantas disangka seorang yang lihai, bahkan dia tampak seperti seorang tua yang lemah berpenyakitan!

   Usianya sekitar enam puluh tahun, tubuhnya kurus dan bongkok, mukanya tanpa jenggot kumis, halus dan seolah kulitnya yang agak pucat itu tipis sekali. Namun matanya mencorong aneh dan terbuka lebar. Dunia kang-ouw (persilatan) tentu mengenal baikKakek yang berpakaian putih-putih namun terbuat dari Sutera halus itu. Dia adalah tokoh persilatan yang terkenal dengan julukan Pak Lo-Kui (Setan Tua Utara) atau Iebih banyak disebut Datuk Utara itu. Dia hidup seorang diri, tanpa keluarga dan suka merantau di daerah utara. Akhir-akhir ini, dia berada di kota Hak-Ciu, mondok di gedung Jaksa Ouw, dan mengajarkan beberapa jurus ilmu silat kepada putera Jaksa Ouw yang bernama Ouw Boan Kit dan biasa disebut Ouw Kongcu (Tuan Muda Ouw).

   Di bagian depan kisah ini sudah diceritakan sedikit tentang Ouw Boan Kit dan Ayahnya yang dihajar oleh Kwee In Hong, sehingga gadis perkasa itu sempat bertanding melawan Pak Lo-Kui yang melarikan diri ketika mengetahui bahwa In Hong adalah murid Hek Moli yang dia takuti. Setelah melompat turun dari atas dinding yang tinggi itu, Pak Lo-Kui lalu bergerak cepat, berkelebatan menyusup diantara pohon dan semak dan tak lama kemudian dia sudah melompat naik ke atas memasuki ruangan menara di tingkat teratas. Ruangan menara ditingkat tiga itu cukup luas dan di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah meja hundar besar dikelilingi lima buah kursi. Di atas meja itu terdapat empat buah guci besar dan empat buah cawan kosong. Ketika memasuki ruangan itu dan melihat empat guci besar terisi arak dan empat cawan kosong, Pak Lo-Kui tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha-ha! Jenderal Ouw sungguh merupakan Tuan rumah yang baik dan mengerti akan kesukaan kami. Benar keterangan Jaksa Ouw di Hak-Ciu, Kakak-nya itu memang seorang yang baik dan pandai bersahabat dengan orang-orang terkenal di dunia kang-ouw, ha-ha-ha!"

   Dia tertawa-tawa lagi, lalu duduk di atas sebuah kursi, menuangkan arak dalam sebuah cawan dan minum arak dengan wajah berseri. Tiba-tiba Datuk Utara itu mendengar suara orang mengejek yang datangnya dari jauh namun terdengar dekat sekali dengan telinganya.

   "Huh, Setan Utara seperti anjing kelaparan bertemu tulang! Melahap arak seorang diri!"

   Sebelum gema suara itu menghi-lang, tahu-tahu di ruangan itu telah muncul seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan Datuk Utara, sekitar enam puluh tahun. Tubuhnya kurus kering, hanya tulang terbungkus kulit, seperti tengkorak hidup. Wajahnya mengerikan dan mulutnya bersungut-sungut, matanya yang cekung itu melirik-lirik aneh akan tetapi sinarnya tajam sekali. Akan tetapi pakaiannya meriah, berkembang-kembang merah kuning biru, dan di ikat pinggangnya terselip sebatang tongkat yang lebih tepat disebut seekor ular yang telah kering dan kaku.

   "Ha-ha-ha, Tung Giam-Lo (Raja Maut Timur) sudah datang! Bagus, bagus! Mari minum, kursi dan cawanmu sudah tersedia!"

   Kata Datuk Utara. Tung Giam-Lo atau juga disebut Datuk Timur itu mendengus dan duduk di atas sebuah kursi, akan tetapi tidak menyentuh cawan dan guci arak. Mukanya bersungut-sungut seperti orang mengejek marah. Dia terkenal pula sebagai Majikan Pulau Ular di Laut Timur dan seperti juga Datuk Utara, dia terkenal sekali sebagai seorang Datuk besar yang menguasai wilayah timur.

   "Datuk Timur, engkau tidak minum arak?"

   Tanya Datuk Utara sambil lalu. Agaknya mereka saling meremehkan atau tidak saling menghormat. Datuk Timur mendekatkan mukanya ke meja dan mencium bau arak yang tertuang di cawan Datuk Utara, lalu berkata dengan nada suara mengejek.

   "Uhh, minumanku sehari-hari jauh lebih baik daripada ini! Aku hanya minum kalau sudah dipersilakan tuan rumah!"

   Setelah berkata demikian, Datuk Timur duduk dan membuang muka, tidak melihat lagi kepada Datuk Utara yang melanjutkan minuninya.

   "Hua-ha-ha-haa...!"

   Terdengar suara tawa terbahak disusul munculnya seorang laki-laki sebaya yang bertubuh gemuk pendek dengan perut gendut dan mukanya halus kekanak-kanakan, pakaiannya serba kuning dan penampilannya seperti sebuah patung Dewa Ji Lai Hud yang gendut dan mukanya tertawa-tawa ramah.

   "Kalau Datuk Utara bertemu Datuk Timur, selalu tidak cocok!"

   "Huh...!"

   Datuk Timur mendengus, mukanya semakin bersungut.

   "Wah, Iblis Selatan juga sudah datang!"

   Kata Datuk Utara.

   "Aku bukan Iblis, melainkan Dewa, kau Setan Utara!"

   Lam Sian (Dewa Selatan) atau juga disebut Datuk Selatan itu berkata sambil tertawa. Biarpun julukannya Dewa diubah menjadi Iblis oleh Datuk Utara, dia kelihatan tertawa-tawa tidak marah, akan tetapi tidak ada yang tahu bagaimana perasaan hatinya. Datuk Selatan ini dalam keadaan apapun juga, marah atau senang, tetap tertawa-tawa!

   "Hemm, duduklah, See Te-Tok (Racun Barat), dan mari minum arak bersamaku!"

   Kata Datuk Utara, sambil menoleh ke arah luar ruangan itu. Sesosok bayangan berkelebat dan di situ sudah berdiri seorang laki-laki sebaya, berusia enam puluhan tahun, berpakaian merah, pesolek wajahnya tampan dan bentuk tubuhnya gagah. Pakaiannya dari Sutera hitam, namun potongannya indah seperti pakaian para bangsawan. Inilah Racun Bumi Barat atau dikenal sebagai Datuk Barat.

   "Hemm, kalian sudah berkumpul semua? Akan tetapi di mana tuan rumah yang mengundang kita?"

   Tanya Datuk Barat dengan suaranya yang lantang lalu mengambil tempat duduk. Datuk Utara yang melihat betapa Datuk Timur yang duduk di sebelah kanannya itu sejak tadi tidak bicara, tidak minum dan hanya cemberut saja lalu mengambil cawan kosong di depan Tung Giam-Lo, mengisinya sampai penuh lalu mengangkatnya dan memberikannya kepada Datuk Timur itu.

   "Tung Giam-Lo, terimalah penghormatanku dengan secawan arak ini!"

   Tung Giam-Lo menoleh dan memandang. Dia melihat betapa arak dalam cawan itu bergerak seperti mendidih dan mengepulkan uap panas! Ternyata melalui cawan yang dipegangnya, Pak Lo-Kui Si Datuk Utara telah menyalurkan sinkang panas sehingga membuat cawan menjadi panas dan araknya mendidih!

   "Penghormatanmu kuterima!"

   Kata Tung Giam-Lo dan tanpa raga dia menerima cawan panas terisi arak mendidih itu dari tangan Pak Lo-Kui, lalu meminumnya dengan enak seolah-olah tidak merasakan panas sama sekali! Kemudian setelah minum arak itu sampai habis, dia meletakkan cawan kosong yang masih mengeluarkan uap panas itu ke atas meja di depannya. Tung Giam-Lo kini mengambil cawan yang berada di depan Lam Sian (Dewa Selatan) yang duduk di sebelah kanannya, mengisi cawan itu dengan arak sampai penuh dan ketika dia memegang secawan arak itu, dia sengaja membalikkan cawannya dan arak itu tidak tumpah karena ternyata arak itu sudah membeku saking dinginnya!

   "Lam Sian, terimalah sulanganku secawan arak ini!"

   Katanya dengan muka tetap cemberut.

   "Ha-ha-ha-heh-he-heh! Disulangi Tung Giam-Lo merupakan kehormatan besar!"

   Dia menerima cawan terbalik yang araknya membeku dan melekat dalam cawan itu lalu membalikkan cawan dan sekali tekan, arak beku itu meloncat dari dalam cawan dan masuk ke dalam mulutnya yang sudah terbuka. Dalam mulutnya, agaknya arak beku itu mencair dan ditelannya dengan enak! Setelah menaruh cawan kosong ke atas meja, giliran Lam Sian mengambil cawan kosong di depan See Tok (Racun Barat) dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menekan guci arak. Arak memancar keluar dari mulut guci dan dengan tepat jatuh ke dalam cawan itu.

   "See Tok, silakan minum!"

   Setelah berkata demikian, dia melempar secawan arak itu ke atas. Cawan itu melayang berputar di atas lalu Racun Barat mengangkat tangan ke atas, ke arah cawan sambil berkata.

   "Terima kasih, Lam Sian!"

   Seperti orang mendorong, tangannya bergerak dan tiba-tiba cawan yang berada di atas kepalanya itu membalik dan isinya tertumpah ke bawah, lalu diterimanya dengan mulut, diminum semua, setetes pun tidak ada yang tercecer! Cawan itu pun melayang turun dan ditangkapnya lalu diletakkannya cawan kosong ke atas meja. Kini See Tok mengambil cawan Pak Lo-Kui, diisinya dengan arak.

   "Aku tidak berani main-main dengan Pak Lo-Kui. Terimalah sulanganku ini!"

   Cawan yang dipegangnya itu tiba-tiba saja meluncur ke arah Pak Lo-Kui, seperti seekor burung. Kelihatannya ringan saja, namun sesungguhnya lontaran itu mengandung tenaga sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat yang tidak akan dapat diterima orang biasa saja. Namun Pak Lo-Kui menerimanya dengan mudah lalu minum sampai habis.

   "Terima kasih, See Tok!"

   Demikianlah, empat orang Datuk itu bersulang-sulangan sambil menguji kekuatan masing-masing. Memang, di antara empat orang Datuk ink tidak pernah ada kerukunan, bahkan ada persaingan di antara mereka. Akan tetapi sekarang, karena mereka diundang oleh Jenderal Ouw dan mereka datang sebagai tamu, maka mereka tidak berani bersaingan secara terbuka, bahkan saling menyulangi sebagai penghormatan walaupun sambil menguji kekuatan masing-masing.

   "Ah, merayakan pertemuan dengan hanya minum arak saja, tanpa hidangan lain, mana bisa dinikmati?"

   Setan Utara mengomel. Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak. Suara itu menggetarkan ruangan tingkat tiga di mana Empat Datuk itu berkumpul. Muncul seorang laki-laki dari pintu. Usianya sekitar lima puluh tahun, pakaiannya gemerlapan, pakaian seorang panglima perang. Tubuhnya tinggi besar, kokoh kuat, dadanya tebal dan bidang, bermata lebar, kumisnya kecil melintang dan ujungnya berjuntai ke bawah seperti ciri khas orang Mongol, dan jenggotnya pendek kaku. Inilah Ogucin yang kini bernama Ouw Gu Cin atau lebih dikenal sebagai Jenderal Ouw. Empat Datuk Besar itu bangkit berdiri dan merangkap kedua tangan depan dada sebagai penghormatan. Jenderal Ouw mengangkat tangan kanan ke atas seolah membalas penghormatan mereka dan berkata dengan suaranya yang Iantang.

   "Ha-ha-hal bagus sekali. Empat Datuk Besar dari empat penjuru datang memenuhi undangan kami. Terima kasih, terima kasih! Sekarang kita makan-makan dulu sebelum bicara!"

   Dia bertepuk tangan lalu duduk di atas kursi. Beberapa orang pelayan wanita yang muda dan cantik beriringan masuk membawa baki-baki terisi beberapa macam masakan dalam piring-piring besar! Masakan itu masih panas mengepulkan uap dan ruangan itupun dipenuhi aroma yang sedap membangkitkan selera.

   "Ha-ha-ha, sedapnya...!"

   Lam Sin mendengus-dengus dengan hidungnya, menikmati sedapnya aroma masakan.

   "He-he-he-he, cantik-cantiknya...!"

   Pak Kui memandangi wajah enam orang pelayan wanita yang mengatur piring-piring masakan dan mangkok-mangkok ke atas meja. Sinar matanya melahap wajah-wajah muda cantik dan tubuh yang padat itu. Pak Kui memang seorang Datuk yang mata keranjang. Enam orang gadis pelayan itu setelah menata meja lalu meninggalkan ruangan, berkumpul di luar pintu, menanti kalau-kalau ada perintah dari majikan mereka, Jenderal Ouw.

   "Mari, Su-wi (Anda berempat), silakan makan! Akan tetapi sebelumnya, biar kusuguhkan secawan arak selamat datang!"

   Pelayan pribadi Jenderal Ouw, gadis tercantik di antara para pelayan dan yang tadi tidak ikut keluar melainkan berdiri agak jauh di belakang Jenderal Ouw, mendengar ucapan Sang Jenderal segera melangkah maju mendekati meja lalu menuangkan arak dalam cawan lima orang itu dengan gerakan yang luwes dan manis, wajahnya tersenyum manis sekali. Pak Kul menyeringai dan hidungnya menyedot-nyedot bau harum yang semerbak dari pakaian pelayan itu.

   "Su-wi, silakan minum mengiringi ucapan selamat datang kami dan untuk merayakan pertemuan penting ini!"

   Kata Jenderal Ouw dan mereka berlima menenggak habis arak dari cawan mereka. Kemudian, mereka makan minum dengan lahapnya. Empat Datuk Besar itu makan tanpa sungkan-sungkan lagi dan Sang Jenderal merasa gembira melihat empat orang tamunya makan dengan lahap. Setelah makan minum sepuasnya sampai kenyang, pelayan pribadi Jenderal Ouw memanggil para pelayan lain dan mereka lalu dengan cekatan menyingkirkan semua mangkok piring dari atas meja dan membersihkan meja dan lantai. Setelah ruangan itu menjadi bersih mereka lalu meninggalkan ruangan itu, hanya meninggalkan lima buah cawan dan guci-guci arak yang baru.

   "Nah, sekarang kita dapat bicara dengan leluasa. Kami kira Anda berempat sudah mengetahui akan maksud undangan kami."

   Kata Jenderal Ouw.

   "Ha-ha-ha, mengapa Ouw Goanswe (Jenderal Ouw) bertanya lagi? Bukankah kami diundang untuk dimintai bantuan oleh Jenderal?"

   Kata Lam Sian sambil tertawa sehingga perutnya yang kini semakin gendut karena diisi banyak masakan daging terguncang-guncang.

   "Bukan dimintai bantuan, melainkan diajak kerja sama, Lam Sian!"

   Kata Jenderal Ouw.

   "Kita bekerja sama dan kedua pihak mendapat keuntungan."

   "Jenderal Ouw, sebaiknya kalau Anda jelaskan, kerja sama yang bagaimana itu? Apa yang harus kulakukan untuk Anda, dan imbalan keuntungan apa yang akan kami dapat?"

   Tanya Pak Kui.

   "Anda berempat mengetahui bahwa banyak muncul pemberontak-pemberontak yang mengganggu keamanan. Mereka terdiri dari orang-orang kang-ouw yang memiliki ilmu silat tinggi. Untuk membasmi mereka, tidak cukup mengandalkan pasukan saja, maka kami mendatangkan banyak orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi untuk menghadapi mereka. Terutama sekali, perguruan-perguruan silat dari berbagai aliran merupakan bahaya bagi pemerintahan Kerajaan kami. Walaupun mereka itu tidak secara berbareng berani melakukan pemberontakan, namun kita harus selalu mengikuti gerak-gerik mereka dan menyelidiki dengan seksama agar sebelum mereka dapat melakukan pemberontakan, dapat lebih dulu kita gagalkan. Nah, tugas kalian adalah membantu kami menghadapi mereka. Kalau Anda berempat menyetujui, katakan saja imbalan jasa apa yang kalian minta, akan kami usahakan untuk memenuhinya.

   

Sepasang Naga Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini