Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 13


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



"Hemm, sudah banyak saya mendengar akan kemurahan hati Jenderal Ouw dari Ouw-Taijin (Pembesar Ouw) yang menjadi jaksa di kota Hak-Ciu. Karena itu, begitu mendengar akan undangan paduka, saya langsung saja datang menghadap ke sini."

   "Nah, sebagai contohnya, baru saja terjadi perbuatan jahat menimpa Adik kami sendiri, yaitu Jaksa Ouw di Hak-Cciu. Dia dan puteranya didatangi penjahat wanita yang mengacau. Tentu penjahat wanita itu merupakan seorang di antara mereka yang menentang dan memberontak terhadap Kerajaan kami. Menurut laporan dari Hak-Ciu, penjahat wanita itu berjuluk Sian-Li Eng-Cu (Bayangan Bidadari). Pak Kui, sekarang katakan, kalau engkau membantu kami menghadapi para pemberontak itu, imbalan jasa apa yang engkau harapkan dari pemerintah Kerajaan?"

   "Hemm, saya adalah seorang pengembara yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Berpindah dari sana ke sini, mondok sana-sini, karena itu sudah sepatutnya kalau saya menghendaki sebuah rumah sendiri, lengkap dengan prabotan dan... tentu saja, saya akan senang sekali kalau di rumah itu terdapat dua atau tiga orang... pelayan wanita yang muda dan cantik seperti yang saya lihat tadi. Ha-ha-ha!"

   Jenderal Ouw mengangguk-angguk dan tersenyum.

   "Ha-ha, itu mudah saja, Pak Kui. Keinginanmu pasti akan kami penuhi asalkan engkau benar-benar mau membantu kami dan membuat jasa. Nah, sekarang kami ingin mendengar pendapat Tung Ong (Raja Timur, singkatan dari Giam-Lo-Ong atau Raja Maut Timur). Apa yang engkau inginkan sebagai imbalan jasa, Tung Ong?"

   Dengan wajah masih keruh dan mulut tengkorak itu cemberut, Tung Giam-Lo berkata.

   "Jenderal Ouw, saya adalah seorang Tong-Cu (Majikan Pulau) dari Pulau Ular di Laut Timur. Saya tidak kekurangan apa pun, hidup sebagai penguasa dengan anak buah yang berjumlah lima puluh kepala keluarga. Akan tetapi karena keluarga para anak buah saja semakin membesar sehingga kami memerlukan biaya yang besar, maka saya hanya mohon agar pemerintah dapat memberi hak istimewa kepada saya untuk menguasai Pulau Ular secara sah, berdaulat dengan wilayah dari pulau sampai ke darat."

   Jenderal Ouw diam memutar otak. Permintaan Raja Timur ini memang amat berat karena itu berarti menyerahkan sebuah pulau kepada Datuk itu. Dan kalau Datuk itu diberi kekuasaan atas pulau dengan wilayah sampai ke daratan, maka tentu Datuk itu akan menggunakan kekuasaannya untuk memungut pajak sesukanya, mengganggu keamanan lalu-lintas dan pesisir. Akan tetapi kalau ditolak, berarti pemerintah menambah jumlah pihak yang menentang. Biarlah untuk sementara ini dia menyetujui, pikirnya. Yang menyetujuikan dia, bukan pemerintah! Mudah saja kelak persetujuan secara pribadi ini dinyatakan tidak berlaku bagi pemerintah.

   "Baiklah, Tung Ong, permintaanmu kami setujui. Sekarang, bagaimana dengan engkau, Lam Sian?"

   Sebelum menjawab, Lam Sian tertawa terkekeh-kekeh.

   "He-he-he-he! Jenderal Ouw menjanjikan hadiah besar dan kami boleh pilih sendiri? Jenderal Ouw, terus terang saja, saya tidak mementingkan harta benda dan kedudukan. Saya siap membantu menghadapi para pemberontak dan pengacau, dan saya akan merasa bahagia kalau saya bisa diberi kekuasaan untuk mengurus dan memiliki sebuah Kelenteng (Kuil) yang besar."

   "Ha-hal permintaan Lam Sian sesuai dengan nama julukanmu. Engkau dijuluki Dewa Selatan, sudah sepantasnya kalau engkau memimpin sebuah Kuil yang besar."

   Kata Jenderal Ouw.

   "Tentu saja kami akan memilihkan sebuah Kelenteng yang tepat untukmu."

   Kini Jenderal Ouw memandang kepada See Tok.

   "Nah, sekarang tinggal engkau, See Tok. Coba katakan, apakah pilihanmu?"

   "Saya ingin diberi pangkat yang sesuai dengan kepandaian dan kemampuan saya, Jenderal Ouw."

   Jenderal Ouw mengamati wajah dan bentuk tubuh See Tok, mengangguk-angguk.

   "Tepat sekali, See Tok. Engkau pantas menjadi seorang perwira tinggi."

   Empat Datuk Besar itu merasa gembira bahwa permintaan mereka disetujui oleh Jenderal Ouw. Mereka sudah membayangan betapa senangnya kalau kelak permintaan mereka telah dipenuhi. Mereka menyatakan siap siaga melaksanakan apa yang diperintahkan Jenderal Ouw. Kemudian Jenderal Ouw secara terpisah memberi tugas rahasia kepada mereka. Masing-masing mendapat tugas yang harus mereka rahasiakan dari siapa pun, bahkan di antara Empat Datuk itu sendiri tidak saling mengetahui, tugas apa yang masing-masing harus laksanakan. Mereka berempat mendapat masing-masing sebuah kamar besar di dalam kompleks gedung Jenderal Ouw Gu Cin yang besar dan luas, hidup sebagai tamu-tamu yang dihormati.

   In Hong melakukan perjalanan seorang diri. Tujuannya adalah Pegunungan Beng-San di mana Hek I Kaipang pusat berada. Hek I Kaipang memiliki banyak cabang di kota-kota besar dan yang berada di Beng-San adalah pusatnya dan sanalah para pemimpin perkumpulan itu berada. Perpisahannya dari Yo Kang yang baru saja terjadi, pengalamannya bersama pemuda itu, membuat ia melamun dan terkenang kepada pemuda itu. Terutama sekali ia selalu terkenang akan sikap dan ucapan Yo Kang yang menyatakan cinta kepadanya! Yo Kang mencintanya sejak pertemuan pertama dahulu. Ia lalu membayangkan pemuda yang masih saudara misan dengannya itu.

   Harus ia akui bahwa Yo Kang yang usianya hanya dua tahun lebih tua darinya adalah seorang pemuda yang berwajah tampan ganteng, tubuhnya tinggi besar. Dengan pakaiannya yang biasanya berwarna biru itu dia tampak gagah perkasa. Dan memang pemuda itu gagah perkasa. Seorang murid Bu-Tong-Pai yang lihai, jauh lebih lihai daripada ketika ia temukan sekitar dua tahun yang lalu karena itu telah memperdalam ilmu dari Ketua Bu-Tong-Pai. Juga Yo Kang berwatak jujur, pembela kebenaran dan keadilan, sopan dan terbuka. Dan pemuda itu mencintainya, ingin berjodoh dengannya. Kalau ia mendapatkan suami seperti Yo Kang, apalagi yang kurang? Dia benar-benar seorang pemuda pilihan. Kaya-raya, lihai ilmu silatnya, wataknya sebagai pendekar yang gagah perkasa, tampan dan gagah. Mau apa lagi?

   "Entahlah, tapi rasanya aku hanya kagum dan suka kepadanya, sebagai saudara misan, sebagai sahabat, tidak ada urusan rasa cinta dalam hati ini."

   Katanya seorang diri sambil menghela napas panjang. Selain itu, ada beberapa hal yang membuat In Hong merasa kecewa terhadap Yo Kang, yaitu sikap pemuda itu terhadapKakeknya,Kakek mereka berdua yaituKakek Yo Tang yang berwatak keras, pemarah, pikun dan pelit, juga kejam! Yo Kang agaknya tidak menentang watakKakek mereka itu,Kakek luar baginya danKakek dalam bagi Yo Kang. SelainKakek Yo Tang yang membuat In Hong kecewa terhadap Yo Kang juga dulu ia mendengar percakapan antara Yo Hang Tek dan isterinya, orang tua Yo Kang. Yo Hang Tek yang ingin menjodohkan Yo Kang dengannya, akan tetapi Ibu muda itu tidak setuju karena ia dianggap seorang gadis liar dan ganas!

   "Sudahlah, aku tidak berjodoh dengan Yo-Twako."

   Akhirnya ia mengambil kesimpulan dan pikirannya melayang-Iayang, membayangkan wajah seorang pemuda lain. Wajah Tan Siong, putera Hartawan Tan Yu Seng di Lam-Keng. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun, wajah dan sikapnya tidak dapat disebut gagah, namun harus diakui bahwa pemuda itu tampan sekali. Tampan dan lembut, ditambah dengan watak yang manis budi dan bijaksana, seorang sastrawan yang pandai dan berpemandangan luas! Seperti juga Yo Kang, Tan Siong merupakan seorang pemuda pilihan! Bahkan hidupnya tentu akan berbahagia menjadi isteri seorang pria lembut bijaksana seperti Tan Siong, apalagi karena Ayah-Ibu pemuda itu juga suka kepadanya.

   "Tidak,"

   Ia menghela napas panjang.

   "Ia dan mereka belum saling mengenal dengan baik. Bahkan mereka tidak mengetahui namanya yang sebenarnya, hanya mengenalnya sebagai Put Hauw Li, Si Gadis Tidak Berbakti!"

   In Hong melangkah sambil terus melamun. Harus ia akui bahwa ia pun kagum dan suka kepada Tan Siong, seperti ia kagum dan suka kepada Yo Kang, namun dalam hatinya tidak ada perasaan cinta terhadap dua orang pemuda itu. Tidak ada perasaan cinta seperti yang pernah ia rasakan terhadap Bu Jin Ai, atau nama aselinya Ong Tiang Houw! Ia merasa heran dan juga terpukul setiap kali ia teringat kepada Ong Tiang Houw. Baru pertama kali itu dalam hidupnya ia tertarik, kagum, dan juga jatuh cinta kepada seorang pria.

   Padahal, mendiang Ong Tiang Houw adalah seorang laki-laki yang sudah berusia empat puluh tahun lebih ketika bertemu dengannya. Dua kali lebih tua darinya. Pantas menjadi Ayahnya! Lebih aneh dan menghancurkan hatinya lagi ketika ia ketahui bahwa laki-laki pertama dalam hidupnya yang ia cinta itu ternyata adalah Ayah tirinya sendiri, suami Ibu kandungnya! Ini masih belum hebat. Pukulan yang membuat ia hampir gila adalah kenyataan yang kemudian ia dengar bahwa Ong Tiang Houw itu adalah orang yang telah membunuh Ayah kandungnya! Musuh besarnya! Lebih menghancurkan hatinya lagi, ketika musuh besar itu dibunuh oleh putera kandungnya sendiri, Ong Teng San, karena pemuda itu melihat perbuatan Ayahnya yang keji, ia lalu membela Ong Tiang Houw dan membunuh Ong Teng San! Padahal, pemuda itu adalah seorang pendekar gagah perkasa dan budiman yang juga mencintanya!

   In Hong merasa betapa batinnya tertekan sekali oleh perasaan berdosa. Ia berdosa kepada Ayahnya karena ia tidak membalaskan keMatian Ayahnya yang dibunuh orang tanpa dosa, sebaliknya ia malah mencinta laki-laki yang membunuh Ayahnya itu! Dan ia berdosa kepada Ong Teng San karena ia bahkan membunuh pemuda itu yang membunuh Ayah kandung sendiri karena melihat perbuatan jahat Ayah kandungnya itu. la menyesal sekali dan merasa betapa dirinya sungguh berdosa, kotor dan tidak pantas menjadi jodoh para pemuda yang baik seperti Yo Kang dan Tan Siong! Mereka berdua adalah pemuda-pemuda pilihan, sungguh tidak pantas memiliki isteri seperti ia yang berlumur dosa! Tiba-tiba In Hong merasa pahit dan marah sekali kepada dirinya sendiri. Air matanya menetes-netes di pipi dan ia lalu mengerahkan tenaga dan berlari cepat seperti terbang melanjutkan perjalanannya menuju Beng-San.

   Pada sore harinya, perjalanan In Hong terhalang sebuah sungai yang cukup lebar. Gunung Beng-San sudah tampak di kejauhan. Perjalanan masih panjang dan ia terhalang sungai. In Hong mencari-cari dengan pandang matanya. Tidak tampak pedusunan di sekitar tempat itu. Juga tidak ada perahu yang akan dapat menyeberangkannya. Tiba-tiba ia mendengar suara orang bernyanyi. Suara seorang laki-laki, cukup merdu dan lantang, namun nada-nadanya aneh. Setelah mendengarkan dengan perhatian, In Hong teringat bahwa nyanyian itu seperti lagu dari barat, dari daerah Tibet atau Bhutan. la lalu melihat sebuah perahu kecil didayung perlahan oleh seorang pemuda. Pemuda itulah yang bernyanyi sambil mendayung perahunya. Hati In Hong menjadi girang sekali. Perahu itu dapat menyeberangkannya ke seberang sana, pikirnya.

   "Heei, sobat yang berada di perahu!"

   Ia berseru nyaring. Pemuda itu menoleh kepadanya dan In Hong melihat betapa pemuda itu berwajah tampan gagah, kulit wajahnya putih sehingga sepasang alisnya tampak tebal dan hitam. Pemuda itu tersenyum kepadanya. Wajah yang menarik dan ganteng! "Sobat, tolong seberangkan aku ke sana!"

   In Hong berkata sambil menunjuk ke seberang sana. Pemuda itu tidak menjawab, akan tetapi dia kini mendayung perahunya ke tepi sungai di mana In Hong berdiri. Setelah perahu menempel di pantai, pemuda itu bertanya.

   "Engkau hendak Nona?"

   "Aku hendak pergi ke sana, ke gunung itu."

   In Hong menunjuk.

   "Ke Beng-San? Hemm, masih amat jauh, Nona. Sedikitnya akan makan waktu tiga sampai empat hari."

   Kata pemuda itu. Di dalam hatinya, In Hong mentertawakannya. Bagi orang lain tiga empat hari, akan tetapi kalau ia menggunakan ilmu berlari cepat, paling lama sehari tentu akan sampai di tempat tujuan.

   "Tidak mengapa. Jauh juga kalau dijalani, akan sampai juga."

   "Ha-ha, engkau benar sekali, Nona. Dan sungguh mengagumkan seorang gadis muda seperti Nona memiliki semangat besar. Mari, masuklah ke perahuku, akan kuseberangkan ke sana."

   "Terima kasih, sobat."

   In Hong lalu memasuki perahu kecil dan duduk berhadapan dengan pemuda itu. la mulai memperhatikan pemuda bertubuh tinggi tegap itu. Wajahnya yang berkulit putih memang menarik sekali, senyumnya juga ramah dan manis, dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh semangat, terkadang mencorong tajam. Pemuda itu mendayung perahunya ke tengah. In Hong baru melihat bahwa dayung pemuda itu terbuat dari baja, bukan dari kayu seperti dayung-dayung biasa. Hal ini membuat ia menduga bahwa pemuda ini agaknya seorang yang pandai ilmu silat.

   "Sobat, mengapa dayungmu bukan dayung kayu? Bukankah dayung baja seperti itu berat untuk dipakai mendayung?"

   Pertanyaan In Hong ini memancing.

   "Memang benar, Nona. Akan tetapi dayungku ini bukan hanya untuk mendayung perahu, melainkan untuk menjaga diri terhadap serangan binatang liar seperti buaya dan ular yang terdapat banyak di tepi sungai ini."

   Tiba-tiba dari tikungan sebelah depan muncul dua buah perahu besar bercat hitam yang masing-masing ditumpangi dua belas orang laki-laki yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis! Karena ketika mendayung perahunya menyeberang, perahu kecil itu terbawa arus yang kuat di tengah sungai, maka perahu kecil yang ditumpangi In Hong itu tiba di tikungan dan ia melihat munculnya dua buah perahu hitam itu.

   "Bahaya mengancam, Nona!"

   Kata tukang perahu.

   "Siapa mereka?"

   Tanya In Hong.

   "Mereka itu perampok dan bajak sungai yang suka mengganggu di sekitar daerah ini."

   "Hemm, jangan takut, sobat. Aku yang akan menghajar mereka kalau mereka berani mengganggu kita!"

   Kata In Hong tenang. Kini dua buah perahu hitam besar itu sudah datang dekat. Seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh brewok, berdiri di kepala sebuah di antara dua perahu itu, mengacungkan goloknya ke atas dan berseru dengan lantang.

   "Hee, tukang perahu busuk! Cepat engkau tinggalkan perahu, terjun ke air karena perahu dan Nona cantik itu menjadi milik kami sekarang!"

   "Penjahat-penjahat busuk! Kuperingatkan kalian, pergilah dan jangan ganggu kami kalau kalian masih ingin hidup!"

   Teriak In Hong marah sambil mencabut Gan-Liong-Kiam dari punggungnya. Mendengar ucapan In Hong dan melihat gadis cantik jelita itu berdiri di perahu kecil memegang sebatang pedang, kepala bajak sungai itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, lucu sekali gadis itu! Ia seperti kuda betina liar dan pantas untuk menjadi isteriku yang kelima! Bukankah begitu kawan-kawan?"

   Anak buahnya sebelas orang yang berada di perahunya itu tertawa-tawa, bahkan mereka yang berada di perahu ke dua dan mendengar ucapan ini juga tertawa.

   "Cocok sekali, sudah pantas sekali, Twako (Kakak)!"

   Terdengar seruan-seruan mereka.

   "Jahanam busuk!"

   In Hong membentak dan tiba-tiba tubuhnya meloncat dari perahu kecil, bagaikan seekor burung garuda tubuh gadis itu melayang ke arah perahu besar di mana pemimpin bajak sungai yang brewokan itu berada. Semua bajak terkejut, dan kepala bajak laut itu maklum bahwa gadis itu lihai melihat cara ia melompat, maka dia pun siap siaga. In Hong sengaja melayang ke arah kepala bajak laut dan dari udara ia sudah menyerang dengan pedangnya, diayun membacok leher kepala bajak laut. Kepala bajak laut itu cepat menggerakkan golok besarnya menangkis sambil mengerahkan semua tenaga dalamnya.

   "Singg... trangggg...!"

   Bunga api berpijar dan golok itu patah menjadi dua, sedangkan pedang yang dibacokkan In Hong itu terus meluncur dan tak dapat dihindarkan lagi membacok ke arah leher kepala bajak.

   "Crakkk...!"

   Leher yang kokoh itu terbabat putus, darah muncrat dan kepala itu menggelinding ke atas Iantai perahu, tubuhnya terlempar ketika terkena tendangan In Hong dari udara! Para anak buah bajak menjadi geger.

   Sebelas orang itu bangkit dan dengan membabi-buta menyerang In Hong dengan golok mereka. Akan tetapi, In Hong dengan gerakan yang amat cepat, hanya tampak bagaikan sesosok bayangan berkelebatan di antara mereka dan pedangnya bergerak seperti membabati batang gandum saja. Dalam waktu singkat, tubuh sebelas orang anak buah berandal itu sudah roboh mandi darah dan tewas, sebagian ditendang keluar dari perahu oleh In Hong! Karena tidak ada lagi yang mendayung dan mengemudi, perahu besar itu oleng dan berputar. In Hong melihat ke arah tukang perahu yang tadi membawanya menyeberang dan ia terbelalak. Pemuda pemilik perahu kecil itu sudah meluncurkan perahunya ke arah perahu besar ke dua dan dengan dayung bajanya dia menghantam ke arah tubuh perahu besar.

   "Blaarrr...!"

   Perahu besar itu pecah berantakan dan tentu saja dua belas orang yang berada di perahu terlempar ke air. Bukan main! In Hong terkejut, heran dan kagum. Tentu saja dibutuhkan tenaga sakti yang amat kuat untuk dapat membuat perahu besar itu pecah berantakan hanya dengan sekali pukul dengan sebatang dayung kecil, walaupun dayung itu terbuat dari baja sekalipun! Pemuda tukang perahu itu ternyata seorang yang lihai! Pada saat itu ia mendengar teriakan-teriakan dari para bajak sungai yang berusaha berenang menyelamatkan diri ke tepi sungai.

   "Pek-Bin-Houw... dia Pek-Bin-Houw...!"

   "Thian-Te-Pangcu (Ketua Thian-Te-Pang)...!!"

   Agaknya pemuda itu setelah memukul pecah perahu besar, tidak mempedulikan para bajak yang tercebur di sungai itu lagi. Dia mendayung perahunya mendekati perahu besar di mana In Hong berada, setelah dekat dia berseru.

   "Loncatlah ke sini, Nona!"

   Karena perahu besar itu berputar-putar, In Hong lalu melompat ke arah perahu kecil dan hinggap di atas perahu kecil itu tanpa membuat perahu itu terguncang! Ini membuktikan bahwa In Hong memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang amat tinggi. Pemuda itu mendayung perahunya menuju ke seberang tanpa bicara. Setelah tiba di tepi sungai seberang sana, dia melompat ke darat dan menarik perahunya ke darat. In Hong juga melompat ke darat. Tidak tampak ada ular atau buaya seperti yang tadi dikatakan pemuda itu, maka In Hong lalu berkata.

   "Hemm, kiranya yang kau sebut buaya dan ular adalah para bajak itu?"

   Pemuda itu tersenyum dan senyumnya sungguh menawan.

   "Masih untung bahwa penumpangku adalah seorang pendekar wanita yang amat lihai. Agaknya engkau yang disebut orang Sian-Li Eng-Cu (Si Bayangan Bidadari)!"

   "Ehh? Bagaimana engkau bisa tahu?"

   "Namamu sudah terbawa angin sampai ke daerah sini, Nona."

   Katanya.

   "Dan melihat gerakanmu yang cepat tadi, aku lalu menduga bahwa tentu engkau yang berjuluk Sian-Li Eng-Cu."

   "Dan engkau berjuluk Pek-Bin-Houw (Harimau Muka Putih) seperti yang kudengar dikatakan mereka tadi? Juga engkau adalah Thian-Te-Pangcu (Ketua Thian-Te-Pang)?"

   In Hong menatap wajah putih itu. Pemuda itu menghela napas panjang.

   "Apa boleh buat, biarpun tadinya aku ingin menyembunyikan nama, kini tidak ada gunanya lagi karena engkau sudah mendengar orang-orang menyebutku demikian. Memang benar, Nona. Aku dijuluki orang Pek-Bin-Houw dan aku memang Ketua Thian-Te-Pang (Perkumpulan Langit Bumi) yang berada di dusun Kiok-Lim di kaki Gunung Beng-San. Baru beberapa bulan aku menjadi Ketua Thian-Te-Pang dan mendengar bahwa di daerah ini terdapat gerombolan perampok dan bajak sungai, maka aku sengaja berperahu untuk menyelidiki. Beruntung sekali aku bertemu dengan Sian-Li Eng-Cu yang namanya terkenal dan menyaksikan kelihaianmu ketika engkau membasmi bajak-bajak dalam perahu itu, Nona."

   Pemuda itu lalu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada dengan sikap hormat, ramah dan sopan.

   "Bolehkah aku mengetahui nama Nona yang terhormat?"

   In Hong tersenyum.

   "Engkau sudah tahu bahwa aku disebut Sian-Li Eng-Cu..."

   "Maksudku, aku ingin mengenal nama dan she (marga) Nona yang terhormat."

   In Hong tersenyum.

   "Sobat, engkau sendiri belum memperkenalkan nama dan she-mu."

   Pemuda itu tertawa dan menepuk dahinya.

   "Aih, aku sampai lupa! Perkenalkan, Nona. Namaku Gan Bouw."

   "Namaku Put Hauw Li."

   Gan Bouw mengangkat muka, memandang wajah jelita itu dengan alis berkerut.

   "Ah, seorang seperti Nona yang gagah perkasa, seorang pendekar yang julukannya saja Sian-Li Eng-Cu, bagaimana mungkin menggunakan nama Put Hauw Li (Gadis Tidak Berbakti)? Mengapa engkau menggunakan nama palsu, Nona?"

   "Sudahlah, jangan bertanya lebih Ianjut. Anggap saja namaku Put Hauw Li atau Sian-Li Eng-Cu, terserah."

   Gan Bouw menghela napas panjang.

   "Baiklah, kalau begitu yang kau kehendaki. Biarlah aku akan memanggilmu Nona Sian-Li (Bidadari) saja. Nona tadi mengatakan hendak pergi ke Beng-San? Ada urusan apakah Nona hendak berkunjung ke sana, yaitu kalau aku boleh mengetahui?"

   Setelah melihat sepak-terjang Gan Bouw ketika menghadapi para bajak sungai tadi, In Hong sudah percaya benar bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar yang gagah perkasa. Apalagi dia adalah Ketua Thian-Te-Pang yang melihat namanya Perkumpulan Langit Bumi tentu-lah perkumpulan orang-orang gagah. Maka, mendengar pertanyaan itu, ia pun menjawab dengan terus terang.

   "Aku hendak pergi ke pusat Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam), bertemu dengan para pemimpinnya. Engkau yang menjadi Ketua Thian-Te-Pang dan berpusat di kaki Gunung Beng-San itu, tentu mengenalnya."

   Gan Bouw tersenyum dan mengangguk-angguk. Manis dan menyenangkan wajah pemuda itu kalau tersenyum!

   "Tentu saja aku mengenal Hek I Kaipang dengan baik sekali, Nona Sian-Li. Kami tetangga dan hubungan antara Thian-Te-Pang dan Hek I Kaipang sejak dulu memang erat. Kami satu tujuan, yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan. Biarpun baru sekitar tiga empat bulan aku menjadi Ketua Thian-Te-Pang, namun aku mengenal baik Ketuanya, yaitu Pat-Jiu Sin-Kai (Pengemis Sakti Delapan Lengan)."

   "Pangcu (Ketua)..."

   "Eiit, nanti dulu, Nona. Jangan sebut aku Pangcu, pertama karena engkau bukan anak buah perkumpulanku, kedua kita sudah berkenalan dan menjadi sahabat, bukan?"

   "Hemm, engkau pun bersungkan-sungkan menyebutku Nona, lalu aku harus menyebut engkau apa?"

   In Hong tersenyum, merasa betapa pemuda ini selain halus tutur sapanya, juga ramah dan gembira.

   "Baiklah, mulai sekarang, kalau engkau tidak berkeberatan, aku akan menyebutmu Sian-Li yang kuanggap nama aselimu atau cukup kusebut Siauw-moi (Adik Perempuan) saja dan engkau boleh memanggil aku Twako (Kakak Laki-laki). Bagaimana, setujukah engkau?"

   In Hong tersenyum. Tentu saja tidak ada salahnya bersahabat dengan seorang seperti Gan Bouw ini, seorang Ketua perkumpulan bersih yang terhormat.

   "Baiklah, Gan-Twako (Kakak Gan)."

   "Bagus, Siauw-moi! Sekarang, lanjutkanlah. Apa yang hendak kau katakan tadi?"

   "Begini, Twako. Aku merasa heran sekali bagaimana engkau yang masih begini muda dapat menjadi Ketua sebuah perkumpulan seperti Thian-Te-Pang itu? Apakah engkau merupakan murid pertama yang menggantikan Gurumu yang menjadi Ketua dan telah meninggal?"

   Gan Bouw tersenyum, lalu menghela napas panjang.

   "Ceritanya panjang, Siauw-moi. Mari kita duduk dulu dan akan kuceritakan padamu."

   Dia duduk di atas sebuah batu besar di tepi sungai dan In Hong juga duduk di depannya. Cuaca sore itu sejuk. Matahari mulai condong berat ke barat. Sinarnya tidak menyengat lagi, melainkan hangat menyamankan. Silir angin menyejukkan dan gemercik air amat mengasyikkan di tempat yang sunyi itu.

   "Aku seorang yatim piatu. Ayahku bernama Gan Cong meninggal dunia sejak aku berusia tiga tahun dan beberapa bulan kemudian Ibuku menyusul Ayahku. Aku tidak ingat lagi bagaimana wajah kedua orang tuaku itu. Sejak berusia tiga tahun aku dipelihara orang lain. Sejak kecil aku suka sekali belajar silat. Hal ini tidak disetujui orang-orang yang memeliharaku, maka setelah berusia belasan tahun aku pergi merantau untuk memperdalam ilmu silatku. Aku mempelajari banyak macam ilmu silat dan yang terakhir aku belajar ilmu-ilmu dari para Pendeta Lama di daerah Tibet."

   "Ah, pantas saja tadi aku mendengar engkau bernyanyi lagu Tibet!"

   Kata In Hong.

   "Wah, engkau mengenal lagu Tibet? Banyak orang yang mendengar tapi tidak mengenalnya. Aku senang engkau mengenalnya, Sian-Li! Setelah aku tamat belajar, aku lalu keluar dari Tibet, kembali ke timur dan menjadi perantau. Beberapa bulan yang lalu, ketika aku lewat di dusun Kiok-Lim di kaki Gunung Beng-San aku melihat ada keributan di dusun itu. Ketika aku mendatangi tempat keributan terjadi, ternyata Perkumpulan Thian-Te-Pang yang mempunyai anak buah sebanyak seratus orang lebih itu sedang diamuk oleh belasan orang gerombolan perampok yang amat lihai. Belasan orang anak buah Thian-Te-Pang sudah roboh, bahkan Ketuanya, yaitu Li Bu Kok atau yang biasa disebut Li Pangcu (Ketua Li) sudah roboh dan tewas. Ketua itu memang sudah lanjut usianya, hampir delapan puluh tahun. Aku segera membantu Thian-Te-Pang dan berhasil merobohkan dan membunuh tiga belas orang perampok yang biasa dikenal sebagai gerombolan Tiga Belas Srigala Gila yang amat kejam tapi juga amat lihai. Nah, setelah peristiwa itu, karena Thian-Te-Pang kehilangan pimpinan dan karena mereka berterima kasih kepadaku dan menganggap aku pantas menjadi pemimpin mereka, mereka lalu mohon dengan sangat agar aku suka memimpin mereka. Aku merasa kasihan dan tidak tega menolaknya, maka mulai hari itu aku menjadi Ketua Thian-Te-Pang."

   "Wah engkau hebat sekali, Gan-Twako! Dan bagaimana engkau mendapat julukan Pek-Bin-Houw (Harimau Muka Putih) itu? Kalau julukan Muka Putih, aku mengerti, memang kulit wajahmu amat putih, Twako. Akan tetapi mengapa harimau?"

   "Ha-ha-ha, mereka memang lucu. Julukan itu pun kudapat dari para anggauta Thian-Te-Pang dan para penduduk dusun Kiok-Lim yang menonton perkelahianku dikeroyok tiga belas orang perampok. Kata mereka perkelahian itu mengingatkan mereka akan perkelahian antara seekor harimau dikeroyok tiga belas ekor srigala. Karena para perampok itu memang disebut Tiga Belas Srigala Gila maka aku diumpamakan sebagai seekor harimau dan... begitulah, mereka memberiku julukan Harimau Muka Putih kepadaku."

   "Hebat, Twako. Engkau memang lebih dari pantas mendapat julukan itu. Dari caramu menghancurkan perahu besar dengan dayungmu itu saja sudah dapat kuketahui betapa hebat tenaga dalammu!"

   "Wah, jangan terlalu memujiku, Siauw-moi! Apa kau kira aku tidak melihat betapa hebat ginkangmu (ilmu meringankan tubuhmu) tadi? Gerakanmu seperti berkelebatnya kilat, engkau seperti berubah menjadi bayangan, maka tidak heran engkau disebut Si Bayangan Bidadari! Nah, setelah aku menceritakan riwayatku, kiranya sudah sepatutnya kalau engkau pun suka menceritakan riwayatmu kepadaku, kan?"

   
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, Twako. Tidak ada yang menarik untuk kuceritakan tentang diriku, dan maaf, agaknya sudah tiba saatnya aku harus melanjutkan perjalananku ke Beng-San."

   Kata In Hong sambil bangkit berdiri.

   "Siauw-moi, harap jangan tergesa-ge-sa. Percayalah kepadaku, aku mengenal baik daerah ini. Tempat ini jauh dari pedusunan dan perjalanan menuju Beng-San melalui hutan dan rawa yang sepi dan berbahaya. Engkau tentu akan kemalaman di dalam perjalanan dan terpaksa berhenti di dalam hutan atau di daerah rawa. Hari telah mulai senja dan sebentar lagi gelap. Tempat yang paling baik untuk berhenti melewatkan malam adalah di tepi sungai ini. Selain tempat ini bersih, juga kita dekat dengan air dan di sungai ini terdapat banyak ikan yang dapat kita jadikan santapan malam. Nah, bagaimana kalau kita tinggal di sini melewatkan malam ini? Besok pagi-pagi kita dapat melanjutkan perjalanan."

   In Hong memandang tajam wajah itu.

   "Kita? Apakah engkau tidak melanjutkan naik perahumu?"

   Pemuda itu menggelengkan kepalanya.

   "Aku juga akan pulang ke dusun Kiok-Lim. Para anggauta Thian-Te-Pang tentu sudah menunggu-nunggu karena sudah belasan hari aku meninggalkan Kiok-Lim. Kebetulan aku bertemu denganmu, maka aku selain mendapatkan teman berjalan, juga dapat menjadi penunjuk jalan bagimu. Tentu saja kalau engkau tidak berkeberatan melakukan perjalanan bersama aku, Sian-Li."

   "Tentu saja aku tidak keberatan, malah senang sekali, Twako. Kalau begitu, sebelum gelap benar, aku hendak mandi, bertukar pakaian sekalian mencuci pakaian yang kotor."

   "Sebaiknya begitu, Sian-Li. Di sana terdapat batu-batu besar di sebelah pinggir sungai, engkau dapat mandi dan mencuci pakaian di situ dan aku akan mencoba untuk mendapatkan beberapa ekor ikan untuk santapan kita."

   Pemuda itu menuding ke kiri, kemudian dia mengambil sebatang pedang yang tadinya dia sembunyikan di dasar perahu, di bawah tempat duduk, lalu memotong sebatang bambu yang ujungnya diruncingkan, lalu pergi ke arah kanan. In Hong melihat bahwa di sebelah kiri memang terdapat beberapa buah batu besar di mana ia dapat mandi dengan terlindung atau teralingi batu besar dan ia dapat pula duduk di atas batu mencuci pakaian dengan leluasa. Ke sanalah ia pergi membawa pengganti pakaian. Sebelum menanggalkan pakaian untuk mandi, ia lebih dulu meneliti keadaan sekeliling. Tempat itu memang sepi sekali tidak ada orang lain dan ketika ia mengintai dan memandang ke kanan, ia melihat agak jauh di sana pemuda itu sedang mengintai dan menombaki ikan-ikan yang berenang-renang di bawah permukaan air.

   Pemuda itu sama sekali tidak melihat atau memperhatikan ke arah tempat ia mandi. Hatinya merasa lega dan ia teringat kepada Yo Kang. Pemuda bernama Gan Bouw ini ternyata juga seorang pemuda yang tampan dan jujur seperti Yo Kang dan melihat cara dia memecahkan perahu bajak sungai tadi, ia menimbang-nimbang siapakah kiranya yang lebih lihai antara dua orang pemuda itu. Setelah mandi, bertukar pakaian bersih dan mencuci pakaian kotor, In Hong kembali ke tempat semula. Cuaca sudah mulai remang-remang dan ia melihat Gan Bouw sudah membuat api unggun. Ia mencium bau sedap gurih dan pemuda itu kiranya sedang memanggang empat ekor ikan yang lumayan besarnya, sebesar lengan.

   "Aih, sedapnya!"

   Kata In Hong gembira, bukan karena ikan itu, melainkan terutama sekali karena ia merasa semakin percaya dan suka kepada pemuda kenalan barunya ini. Setelah ia menghampiri pemuda yang duduk dekat api unggun sambil memanggang daging ikan, ia mulai melihat pemuda itu sudah berganti pakaian pula dan rambutnya masih basah.

   "Hei, engkau juga sudah mandi, Twako?"

   "Sudah, setelah mendapatkan ikan-ikan ini, aku langsung berenang lalu berganti pakaian."

   "Hemm, sedap dan gurih baunya! Twako, ikan ini tentu diberi bumbu, aku mencium bau bawang. Dari mana engkau memperoleh bumbu masak?"

   Gan Bouw tersenyum.

   "Seorang yang suka merantau harus membawa perlengkapan bumbu, Sian-Li. Setidaknya, bawang, mrica, dan garam harus punya."

   Setelah ikan-ikan itu matang, mereka lalu makan ikan sambil duduk di dekat api unggun. Bukan main lezatnya makan ikan panggang seperti itu. Hati senang, badan segar setelah mandi, udara sejuk di tempat terbuka, perut lapar, semua ini merupakan syarat utama untuk dapat menikmati makanan yang betapa sederhana sekalipun. Setelah selesai makan, membuang sisa makanan dan mencuci tangan dan mulut, kedua orang muda itu duduk di dekat api unggun dan bercakap-cakap.

   "Siauw-moi, aku tidak berani mendesakmu untuk menceritakan riwayatmu kaIau engkau memang tidak suka menceritakannya, bahkan nama aselimu pun tidak kau beritahukan kepadaku. Mungkin hal itu karena engkau belum percaya benar kepadaku. Aku tidak merasa kecewa, dan aku menghormati pendirianmu itu. Akan tetap setidaknya mungkin engkau mau menceritakan kepadaku apa hubunganmu dengan Hek I Kaipang dan mengapa engkau hendak berkunjung ke sana."

   In Hong menatap tajam wajah itu dan ia merasa diri sendiri agak keterlaluan karena tidak percaya kepada pemuda yang jujur, sopan dan bersikap baik itu.

   "Maaf, Twako. Sebetulnya, terus terang saja aku sendiri merasa tidak senang mendengar riwayatku yang hanya akan menggali kenangan-kenangan yang pahit tidak menyenangkan, apalagi harus menceritakan kepada orang lain. Mengenai pertanyaanmu tentang Hek I Kaipang, aku tidak keberatan untuk menjawab, Twako. Begini, dalam perjalananku, aku bertemu seorang murid Bu-Tong-Pai yang diserang oleh orang-orang Hek I Kaipang, dengan tuduhan bahwa ada orang Bu-Tong-Pai yang membunuhi tiga puluh orang Hek I Kaipang dengan pukulan Tong-Sim-Ciang, ilmu pukulan khas dari Bu-Tong-Pai sehingga Hek I Kaipang kini memusuhi semua orang Bu-Tong-Pai. Aku melerai mereka dan mengingatkan pihak Hek I Kaipang bahwa cara membalas dendam kepada semua orang Bu-Tong-Pai itu tidak benar. Seharusnya mereka melaporkan kepada para pimpinan Bu-Tong-Pai agar diselidiki siapa pembunuh itu dan bertanggung jawab kalau benar pembunuhnya murid Bu-Tong-Pai. Mereka menyetujuil maka murid Bu-Tong-Pai itu berjanji akan melaporkan peristiwa pembunuhan itu kepada para Guru di Bu-Tong-Pai, sedangkan aku sendiri akan menemui pimpinan tertinggi Hek I Kaipang untuk membujuk dan menasehatinya agar jangan melanjutkan permusuhannya terhadap Bu-Tong-Pai, melainkan menyelidiki dan mencari pembunuh itu."

   Gan Bouw mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya.

   "Hemm, begitukah? Kalau begitu, persoalannya amat gawat, Sian-Li. Aku pun sudah mendengar bahwa ilmu Tong-Sim-Ciang merupakan ilmu pukulan andalan Bu-Tong-Pai. Siapa lagi yang mampu menggunakan ilmu itu untuk membunuh orang kecuali murid Bu-Tong-Pai tingkat tinggi? Kabarnya, murid menengah saja belum dapat menguasai ilmu itu. Kiranya tidak dapat disalahkan begitu saja kalau pihak Hek I Kaipang merasa yakin bahwa pembunuhnya adalah murid Bu-Tong-Pai sehingga mereka memusuhi Bu-Tong-Pai."

   In Hong menggelengkan kepalanya.

   "Memang kalau dipikirkan sepintas lalu memang demikian. Akan tetapi tentu saja ada kemungkinan lain, Twako. Misalnya, ada saja orang lain, bukan murid Bu-Tong-Pai yang melakukan itu dengan menggunakan ilmu dan memakai nama Bu-Tong-Pai yang melakukan itu untuk mengadu domba antara Bu-Tong-Pai dan Hek I Kaipang! Karena itulah, maka Yo-Twako, eh, Yo Kang murid Bu-Tong-Pai itu dan aku membagi tugas. Dia melapor kepada para pemimpin Bu-Tong-Pai dan aku melapor kepada Hek I Kaipang."

   Gan Bouw mengangguk-angguk.

   "Hemm, begitukah? Mungkin pendapat dan dugaanmu itu benar, Sian-Li. Namun aku tetap sangsi apakah ada orang di luar Bu-Tong-Pai yang menguasai Tong-Sim-Ciang itu."

   "Jangan heran, Twako. Hal itu belum aneh benar, akan tetapi apa yang dialami oleh Yo-Twako dan aku malam itu lebih aneh lagi. Ada orang secara menggelap menyerang Yo-Twako, dan orang itu menyerang dengan pukulan Pek-Kong-Ciang (Tangan Sinar Putih) yang menjadi ilmu simpanan ampuh dari Kun-Lun-Pai! Nah, ada murid Kun-Lun-Pai menyerang murid Bu-Tong-Pai dan melihat hebatnya serangan itu, jelas bahwa murid Kun-Lun-Pai itu hendak membunuh Yo Kang murid Bu-Tong-Pai! Untung aku dapat menggagalkan pembunuhan itu!"

   "Ehh? Mana mungkin? Kun-Lun-Pai adalah perguruan aliran putih, seperti juga Bu-Tong-Pai. Bagaimana mungkin ada murid Kun-Lun-Pai tingkat tinggi yang sudah memiliki Pek-Kong-Ciang menyerang murid Bu-Tong-Pai? Apakah engkau dan Yo Kang itu berhasil menangkapnya, Siauw-moi?"

   "Tidak, Twako. Dia keburu melarikan diri dan menghilang dalam kegelapan."

   "Dan engkau tidak dapat mengenal siapa dia?"

   "Malam itu gelap dan dia menyerang secara menggelap. Kami berdua tidak dapat melihat mukanya dan kami tidak tahu siapa dia. Akan tetapi, terjadinya beberapa peristiwa aneh ini membuat aku berpikir, Twako. Agaknya ada orang luar yang sengaja hendak mengadu domba, pertama antara Bu-Tong-Pai dan Hek I Kaipang, kemudian antara Bu-Tong-Pai dan Kun-Lun-Pai! Dan orang atau orang-orang itu sengaja menggunakan pukulan rahasia dari Bu-Tong-Pai dan Kun-Lun-Pai. Mereka tentu terdiri dari orang-orang Iihai dan kalau aku tidak salah sangka, amat boleh jadi mereka itu adaIah orang-orang kang-ouw yang diperbudak oleh bangsa Mongol untuk mengadu domba dan melemahkan para pendekar dari berbagai aliran persilatan yang pada umumnya tidak menyukai pemerintah penjajah Mongol."

   "Hemm, memang mungkin benar dugaanmu itu, Siauw-moi. Akan tetapi mungkin juga ada murid Bu-Tong-Pai yang secara pribadi mendendam kepada tiga puluh murid Hek I Kaipang itu, dan mungkin juga ada murid Kun-Lun-Pai yang mendendam kepada murid Bu-Tong-Pai yang bernama Yo Kang itu. Tentu saja kita tidak dapat yakin menjamin bahwa tidak ada murid perguruan-perguruan silat terkenal itu yang jahat, bukan? Karena itu, seyogianya kita berhati-hati mengambil kesimpulan."

   "Engkau benar, Twako. Karena itu, aku berniat ikut pula melakukan penyelidikan dan kalau mungkin menangkap mereka yang melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Hek I Kaipang dan menangkap pula orang yang malam itu menyerang Yo-Twako."

   "Memang sebaiknya begitu dan aku siap membantumu, Sian-Li. Akan kukerahkan anak buah Thian-Te-Pang untuk melakukan penyelidikan pula."

   "Terima kasih, Gan-Twako. Akan tetapi aku sudah terbiasa bekerja seorang diri."

   Mereka melewatkan malam itu dengan melakukan penjagaan secara bergantian.

   Dari malam itu sampai tengah malam, In Hong yang melakukan penjagaan sedangkan Gan Bouw tidur di atas batu lebar, kemudian dari tengah malam sampai pagi, In Hong yang mengaso dan pemuda itu menggantikannya berjaga. Melihat sikap Gan Bouw yang ramah, sopan dan jujur, hati In Hong tertarik dan ia merasa senang dapat berkenalan dengan Ketua Thian-Te-Pang itu. Pada keesokan harinya, setelah membersihkan badan di tepi sungai, mereka melanjutkan perjalanan. Gan Bouw menjadi penunjuk jalan. Mereka berangkat pagi-pagi sekali setelah sarapan pagi dengan daging kelenci yang dapat ditangkap Gan Bouw. Melakukan perjalanan bersama Gan Bouw, In Hong merasa cocok dan senang sekali. Bahkan ia harus akui dalam hatinya bahwa dibandingkan dengan Yo Kang, pemuda ini lebih menyenangkan sebagai teman seperjalanan.

   Yo Kang baik dan jujur, namun agak kaku, tidak seperti Gan Bouw yang selain baik dan jujur, juga ramah sopan dan pandai bicara. Juga pengalamannya amat banyak. Mengasyikkan sekali mendengar pemuda itu bercerita tentang hal-hal aneh dan lucu yang dia alami ketika merantau jauh ke barat sampai di daerah Tibet, bahkan sampai ke Pegunungan Himalaya dan Kerajaan Bhutan. Lewat tengah hari Gan Bouw dan In Hong tiba di sebuah hutan keciI di daerah perbukitan. Mereka siang tadi melewati sebuah dusun di mana mereka makan siang di sebuah warung makan. Siang hari itu panasnya bukan main. Sinar matahari tidak terhalang apa pun sehingga langsung memanggang permukaan bumi. Untung bagi mereka bahwa mereka berjalan di dalam hutan, terlindung oleh pohon-pohon besar yang menangkap sebagian sinar matahari yang panas. Beberapa kali In Hong mengusap keringat dari muka dan lehernya.

   Beberapa kali Gan Bouw melirik dan memandang wajah gadis itu dengan sinar mata mencorong penuh kagum. Alangkah cantik jelitanya wajah yang kemerahan terusik panas itu. Dan betapa halus kulit wajah dan leher yang berkeringat itu. Dia beberapa kali seolah terpesona. Secara kebetulan In Hong beberapa kali bertemu pandang dengan pemuda itu dan perasaan wanitanya dapat menangkap apa yang tersembunyi di dalam sinar mata itu. Jantungnya berdegup tegang. Tanpa kata, tanpa pernyataan apa pun, perasaan wanitanya dapat menangkap isyarat cinta yang disinarkan melalui pandang mata itu. la dapat merasakan bahwa Gan Bouw jatuh cinta, atau setidaknya amat tertarik kepadanya dan pengertian ini membuat hatinya tegang. Kembali ada seorang pemuda yang pilihan, pemuda yang tampan gagah, berilmu tinggi, Ketua Thian-Te-Pang, seorang pendekar yang jujur dan sopan, jatuh cinta kepadanya!

   la mulai membanding-bandingkan dengan dua orang pemuda lain yang juga mencintanya, yaitu Tan Siong dan Yo Kang! Lalu muncul bayangan Bu Jin Ai, pembunuh Ayah kandungnya yang telah menjatuhkan hatinya. Harus ia akui bahwa di antara tiga orang pemuda yang sekarang mencintanya, tidak ada seorang pun yang dapat menjatuhkan hatinya seperti mendiang Bu Jin Ai atau Ong Tiang Houw! Belum pernah ia jatuh cinta seperti cinta pertamanya yang ia berikan kepada Ong Tiang Houw, musuh besarnya itu. In Hong segera mengusir semua bayangan itu. Hal ini dapat ia lakukan dengan mudah karena ia melihat dari depan seorang laki-laki setengah tua datang berjalan cepat, pakaiannya seperti seorang Tosu (Pendeta Agama To) namun robek di sana-sini, rambutnya kusut dan wajahnya pucat sikapnya tegang.

   "Eng Gi Totiang! Apa yang terjadi? Engkau tampak gelisah."

   Gan Bouw segera menghadang dan mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan.

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   "Ah, sukur dapat bertemu denganmu di sini, Gan Pangcu (Ketua Gan). Puluhan orang anak buahmu menyerbu kami dengan tusuhan yang bukan-bukan!"

   "Celaka! Mari kita cepat ke sana!"

   Seru Gan Bouw dan dia segera melompat dan berlari menuju ke Gunung Beng-San yang sudah tampak dekat. Maklum ada terjadi peristiwa gawat, In Hong tanpa banyak bertanya segera mengikutinya. Juga Pendeta Agama To itu mengerahkan ilmu berlari cepat mengejar. Diam-diam In Hong harus mengagumi kecepatan larinya Gan Bouw. Pemuda itu ternyata memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang agaknya tidak banyak selisihnya dengan tingkatnya sendiri! Pemuda itu mampu berlari cepat. la masih dapat mengimbangi, akan tetapi Tosu itu segera tertinggal.

   "Siapakah Tosu itu, Gan-Twako?"

   Tanya In Hong yang berlari di dekat Gan Bouw. Pemuda ini pun terkejut dan kagum. Tak disangkanya gadis itu mampu berlari cepat mengimbanginya, bahkan masih sempat pula bicara!

   "Dia peminipin tingkat tiga dari Beng-San-Pai!"

   Jawabnya sambil mempercepat larinya. Tak lama kemudian mereka tiba di depan perkampungan Perkumpulan Beng-San-Pai yang merupakan sebuah perumahan terdiri dari puluhan rumah dan di depan berdiri sebuah Kuil yang cukup besar. Mereka melihat puluhan orang saling berkelahi dan walaupun mereka tidak menggunakan senjata, hanya berkelahi dengan tangan dan kaki,

   Namun seru sekali karena kedua pihak adalah orang-orang yang ahli dalam persilatan. Ada sekitar tiga puluh orang laki-laki berpakaian ringkas seperti pada umumnya dipakai ahli silat sedang mengamuk melakukan serbuan, dilawan puluhan orang berpakaian longgar dengan jubah lebar dan mereka itu melihat pakaiannya jelas merupakan para anggauta Beng-San-Pai yang beragama To. Biarpun tidak ada yang menggunakan senjata, namun ada beberapa orang yang sudah tidak mampu berkelahi lagi karena telah terluka dan mengerang kesakitan sambil duduk di luar arena perkelahian. In Hong mengira bahwa tentu Gan Bouw akan menjadi marah dan tentu saja membela dan membantu anak buahnya. Akan tetapi sungguh aneh.

   Pemuda itu menerjang ke dalam perkelahian itu dan mulai menendangi dan menampari para penyerbu, yaitu anak buahnya sendiri! Sepak terjangnya hebat, setiap tendangan atau tamparan pasti merobohkan seorang anak buah, membuat para penyerbu kocar-kacir. Walaupun agaknya dia menyerang tanpa mengerahkan tenaga sakti, namun mereka yang terkena serangannya terlempar dan terguling-guling. Mereka terkejut, apalagi melihat bahwa yang mengamuk itu adalah Ketua mereka sendiri yang baru! Anak buah Thian-Te-Pang yang belum terkena serangan menarik diri mundur dan mereka semua kini menjatuhkan diri berlutut menghadap Gan Bouw yang berdiri dengan alis berkerut. Sedangkan beberapa orang Tosu pimpinan Beng-San-Pai juga memerintahkan para Tosu muda untuk mundur dan menghentikan perkelahian.

   "Pangcu (Ketua)...!"

   Kata para anggauta Thian-Te-Pang dengan takut, akan tetapi suara mereka mengandung penasaran melihat Ketua mereka marah kepada mereka, bukan membantu. Mata Gan Bouw mencorong tajam ketika dia melayangkan pandangannya ke arah sekitar tiga puluh orang laki-laki yang berusia dari dua puluh sampai empat puluh tahun itu, yang kini semua berlutut menghadap dia.

   "Apa yang kalian lakukan ini? Selagi aku pergi, berani sekali kalian membuat ulah dan mengacau di sini?"

   Dia membentak dan suaranya nyaring sekali.

   "Maaf, Pangcu. Terpaksa kami melakukan penyerbuan terhadap Beng-San-Pai karena mereka tidak mau menyerahkan seorang anggautanya yang telah melakukan perbuatan keji terhadap seorang gadis puteri anggauta perkumpulan kami."

   Jawab seorang di antara para anggauta Thian-Te-Pang yang paling tua.

   "Hemm, perbuatan keji bagaimana maksudmu?"

   "Gadis puteri kami telah diperkosa seorang anggauta Beng-San-Pai!"

   Kata orang itu yang menjadi Ayah dari gadis yang diceritakannya itu.

   "Siancai... (damai)...! Itu adalah fitnah belaka! Tidak ada anggauta kami yang berani melakukan kejahatan seperti itu. Kami adalah orang-orang beragama, mana mungkin melakukan perkosaan keji?"

   Tiba-tiba seorang Tosu berusia sekitar enam puluh tahun berkata. Dia Baru muncul dari dalam Kuil dan tadi tidak mau ikut berkelahi karena yang menyerbu hanyalah para murid atau anggauta Thian-Te-Pang. Baru setelah Ketua Thian-Te-Pang muncul, dia juga keluar dari Kuil. Tosu ini adalah Pang Hok Tosu, Tosu tingkat dua atau wakil Ketua Beng-San-Pai. Melihat munculnya wakil Ketua itu, Gan Bouw lalu menghadapinya, memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada dan berkata dengan sikap hormat.

   "Harap Pang Hok Totiang suka memaafkan. Saya sedang tidak berada di sini, maka saya sama sekali tidak tahu akan adanya perkara ini dan tidak dapat mencegah tindakan yang diambil para anggauta saya. Saya kira urusan ini dapat kita bicarakan sebaiknya dan kita usahakan agar yang bersalah dapat ditangkap."

   "Siancai..., ini barulah omongan yang benar dan dapat diterima. Pinto (saya) setuju sekali, Pangcu."

   Kata Pang Hok Tosu, wakil Ketua Beng-San-Pai itu. Gan Bouw lalu menoleh kepada anak buahnya dan berkata,

   "Sekarang kalian semua pulanglah, rawat yang terluka. nanti kalau aku pulang, siapa biang keladinya yang menggerakkan penyerbuan ini harus bertanggung jawab. Nah, pergilah kalian!"

   Para anak buah Thian-Te-Pang itu lalu bangkit dan meninggalkan tempat itu, memapah mereka yang terluka dalam pertempuran tadi. Pang Hok Totiang lalu berkata kepada Gan Bouw.

   "Silakan, Pangcu, silakan masuk ke dalam dan kita bicarakan urusan ini. Akan tetapi... siapakah Nona ini?"

   Dia memandang kepada In Hong yang berada di sebelah Gan Bouw. In Hong menghadapi Gan Bouw dan berkata,

   "Gan-Twako, aku tidak mempunyai urusan apa pun di sini, maka biarlah aku melanjutkan perjalananku ke pusat Hek I Kaipang."

   "Ah, nanti dulu, Siauw-moi. Engkau bukan orang luar bagiku. Biarlah engkau temani aku sebentar membicarakan urusan kami ini, kemudian engkau harus singgah di tempat kami dan nanti akan kuantar engkau ke Hek I Kaipang."

   "Siancai...! Nona ini masih berhubungan dekat dengan Hek I Kaipang? Nona, apakah engkau murid Pan-Jiu Sin-Kai Gu Liat, Ketua Hek I Kaipang?"

   Tanya Pang Hok Tosu. In Hong menggeleng kepalanya.

   "Bukan, Totiang (Pak Pendeta). Aku tidak mempunyai hubungan dengan Hek I Kaipang, melainkan ada sedikit urusan dengan mereka."

   "Pang Hok Totiang, Nona ini adalah seorang sahabat baikku, ia biasa disebut Sian-Li Eng-Cu, seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan baik budi. Tentu Totiang tidak keberatan kalau ia menemani aku mengadakan perundingan dengan pihak Beng-San-Pai, bukan?"

   "Tentu saja kami setuju. Silakan, Pangcu, silakan, Nona."

   In Hong tidak dapat membantah lagi karena sesungguhnya ia pun tertarik dan ingin mengetahui siapa yang bersalah dalam urusan itu. Benarkah ada murid Thian-Te-Pang diperkosa seorang Tosu Beng-San-Pai? Kalau benar, sungguh aneh sekali. Bagaimana seorang Pendeta To begitu keji memperkosa wanita?

   Mereka lalu memasuki Kuil yang besar itu dan diajak masuk ke ruangan sebelah dalam. Di dalam ruangan yang ditata bersih dan rapi, ruangan yang cukup luas, terdapat almari-almari besar berderet-deret di dinding, penuh dengan buku-buku yang tampaknya sudah tua. Dan di tengah ruangan itu terdapat sebuah dipan kecil di mana duduk bersila seorang Tosu (Pendeta Agama To) yang usianya sekitar enam puluh lima tahun, tubuhnya tinggi kurus, wajahnya berseri cerah, matanya bening dan mulutnya tersenyum. Jenggot dan kumisnya yang panjang sudah berwarna putih, pakaiannya jubah longgar serba putih pula. Usia Pendeta ini sedikitnya enam puluh lima tahun. Dia sedang membaca kitab dan di atas dipan, di sampingnya tergeletak sepotong tongkat bambu sederhana. Pang Hok Tosu berkata sambil memberi hormat dengan menyembah sampai di dada.

   "Suheng, saya membawa dua orang tamu datang menghadap Suheng. Dia adalah Gan Bouw Sicu (orang gagah Gan Bouw) Ketua Thian-Te-Pang dan Nona ini adalah Sian-Li Eng-Cu."

   Pendeta itu memandang kepada dua orang muda itu sambil tersenyum ramah.

   "Silakan duduk, Pangcu dan engkau, Nona."

   Katanya sambil menunjuk ke arah kursi-kursi yang berada di depannya.

   "Terima kasih, Totiang dan maafkan kalau saya datang mengganggu ketenangan di sini."

   Kata Gan Bouw hormat. Dia baru satu kali pernah bertemu dengan Ketua Beng-Sang-Pai ini sejak diangkat menjadi Ketua Thian-Te-Pang. In Hong juga duduk di atas kursi sebelah Gan Bouw setelah merangkap kedua tangan depan dada sebagai penghormatan. Pang Hok Tosu duduk di atas kursi sebelah dipan, menghadapi dua orang tamu muda itu. Sejenak sepasang mata bening itu mengamati Gan Bouw dan In Hong, lalu U Gi To-jin, Ketua Beng-San-Pai itu menghela napas panjang dan berkata lirih seperti kepada diri sendiri.

   "Siancai... di jaman sekarang orang-orang muda memiliki kemajuan yang pesat sekali. Masih begini muda sudah memiliki tingkat kepandaian tinggi."

   Dia menoleh kepada Tosu yang duduk di sebelah kanannya.

   "Pang Sute (Adik Seperguruan Pang), ada kepentingan apakah kedua orang pemuda yang gagah ini engkau ajak datang menemui Pinto?"

   "Saya harap Suheng suka memaafkan saya. Tadi telah terjadi keributan di depan perkampungan kita. Sekitar tiga puluh orang anggauta Thian-Te-Pang datang dan menuduh bahwa seorang anggauta Beng-San-Pai kita telah memperkosa seorang gadis murid Thian-Te-Pang semalam. Mereka menuntut agar pemerkosa itu kami serahkan kepada mereka. Tentu saja kami menolak dan menyangkal. Tak mungkin seorang anggauta kami, seorang Tosu, melakukan perbuatan sejahat itu. Mereka menganggap kami membela dan menyembunyikan pemerkosa itu, lalu mereka menyerang kami."

   "Siancai...! Mengapa engkau tidak memberitahu kepada Pinto?"

   "Saya tidak ingin mengganggu Suheng yang sedang samadhi. Saya lalu cepat menyuruh Sute Eng Gi Tosu untuk berlari mencari dan memberitahukan hal itu kepada Pangcu Gan Bouw ini. Beruntung dia dapat bertemu dan datang bersama Gan Pangcu sehingga perkelahian dapat dihentikan."

   "Semoga Thian mengampuni kita semua!"

   U Gi To-jin berdoa.

   "Apakah banyak yang tewas dalam perkelahian itu, Sute?"

   "Untung tidak ada, Suheng. Yang jatuh hanya menderita luka yang dapat disembuhkan. Ketika mereka menyerbu, dan Sute Eng Gi Tosu pergi mencari Gan Pangcu, saya memimpin murid melakukan perlawanan bela diri dan melarang para murid menggunakan senjata atau membunuh lawan. Hal ini agaknya juga membuat pihak Thian-Te-Pang sungkan untuk menggunakan senjata sehingga yang roboh hanya terluka, tidak sampai tewas."

   "Siancai! Itu baik sekali. Nah, sekarang bagaimana, Gan Pangcu? Menurut pendapatmu, bagaimanakah akan diselesaikannya urusan ini? Pinto dan para pembantu Pinto sejak dahulu selalu mengajarkan budi kebaikan kepada para murid agar mereka selalu menjauhkan perbuatan jahat. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa Pinto menjamin kebersihan dan kesucian murid-murid kami. Pelajaran agama hanya merupakan ilmu pengetahuan dan ilmu seringkali tidak mampu memberi kekuatan cukup untuk mengekang nafsu diri sendiri."

   Diam-diam In Hong kagum terhadap ucapan dua orang Tosu itu. Mereka adalah orang-orang jujur dan yang tidak mau membenarkan diri sendiri dan jelas bukan orang-orang jahat yang suka mencari permusuhan dan suka berbuat sewenang-wenang.

   "Totiang yang budiman, seperti yang saya dengar dari pelaporan anggauta Thian-Te-Pang tadi, ada seorang gadis murid Thian-Te-Pang telah diperkosa oleh seorang murid dad Beng-San-Pai. Saya kira sudah sepatutnya kalau Ayah dan rekan-rekan gadis itu menjadi marah dan menuntut agar pelakunya mendapat hukuman. Akan tetapi saya tidak setuju dengan terjadinya keroyokan tadi. Saya hanya mengharapkan kebajikan para pimpinan Beng-San-Pai agar pelaku itu dihukum sesuai dengan perbuatannya yang keji sehingga murid kami yang menderita penghinaan akan mereda sakit hatinya. Saya kira permintaan ini sudah adil dan pantas, demikian menurut pendapat saya."

   

Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini