Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 14


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



Kata Gan Bouw dengan suara tegas namun hormat.

   "Siancai...! Pendapatmu memang sudah pantas, Gan Pangcu. Sute, menurut tuduhan mereka itu, bagaimana mereka bisa mengetahui bahwa pelaku perkosaan itu adalah seorang murid kita?"

   "Menurut tuduhan mereka, peristiwa terkutuk itu terjadi malam tadi di kamar yang gelap. Gadis itu tidak dapat melihat wajah pemerkosanya dengan jelas, hanya mengatakan bahwa orangnya masih muda, berkumis berjenggot, pakaiannya seperti yang kita pakai dan pemerkosa itu mengaku bahwa dia adalah murid Beng-San-Pai. Itu saja keterangan yang disampaikan kepada saya, Suheng."

   Kata Pang Hok Tosu.

   "Siancai...! Gan Pangcu, kalau gadis itu tidak melihat wajahnya dengan jelas, bagaimana kita dapat memastikan bahwa pemerkosa itu adalah seorang murid kami? Tentang pakaiannya sebagai Tosu dan pengakuannya sebagai murid Beng-San-Pai, Pinto kira semua orang juga dapat memakai dan mengatakannya."

   "Sesungguhnya, Totiang, karena itulah maka tadi aku menegur para anggauta Thian-Te-Pang dan menyuruh mereka pergi. Akan tetapi, saya kira kedudukan sebagai seorang Tosu tidak menjamin seorang menjadi Suci dan tidak dapat melakukan perbuatan sesat!"

   "Siancai..., ha-ha-ha..., engkau..., engkau lucu, Gan Pangcu!"

   Kata U Gi To-jin sambil tertawa.

   "Tentu saja agama tidak menjamin seseorang menjadi Suci. Agama hanya merupakan suatu ilmu, suatu pelajaran. Sudah tentu bukan tergantung kepada pelajarannya, melainkan kepada orangnya. Apa artinya pelajaran bertumpuk dan berjejalan dalam kepala kalau tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari? Seperti pakaian indah bersih yang dipakai menutupi tubuh yang kotor! Kebaikan bukan terletak di dalam pikiran, melainkan keluar dari jiwa yang bersatu dan selalu dibimbing oleh To (Tao atau Kekuasaan TUHAN)."

   "Terima kasih, Totiang. Saya telah mendapatkan pelajaran yang amat baik dan berharga dari ucapan Totiang tadi. Dengan demikian kita semua mengetahui bahwa bukan tidak mungkin seorang murid Totiang benar-benar melakukan perbuatan keji dan sesat terhadap murid perkumpulan kami itu. Karena perbuatan jahat itu, baik dilakukan orang yang menggunakan nama Beng-San-Pai ataupun oleh murid Beng-San-Pai sendiri, jelas mencemarkan nama baik Beng-San-Pai, maka saya minta dengan hormat sukalah kiranya para pimpinan Beng-San-Pai menyelidiki dan mencari pelaku itu. Dengan demikian keadilan telah dilakukan dan hubungan antara perkumpulan kita menjadi baik dan bersih kembali."

   Kata Gan Bouw. U Gi To-jin mengangguk-angguk.

   "Siancai... siancai... permintaanmu itu cukup adil dan beralasan, Gan Pangcu. Akan tetapi sebagai pihak yang dirugikan, kami percaya bahwa Thian-Te-Pang juga tidak akan tinggal diam dan ikut pula berusaha menyelidiki dan menangkap pelaku yang sesungguhnya. Juga Pinto percaya bahwa Pangcu akan mencegah para anggauta Thian-Te-Pang memusuhi kami, karena peristiwa yang terjadi itu bukan merupakan tindakan permusuhan Beng-San-Pai terhadap Thian-Te-Pang, melainkan kejahatan yang dilakukan seseorang."

   "Tentu saja, Totiang. Sekarang saya mohon pamit."

   Gan Bouw dan In Hong lalu keluar dari Kuil, diantar oleh Pang Hok Tosu sampai keluar pintu gerbang perkampungan. Peristiwa dan sikap Gan Bouw itu membuat in Hong semakin kagum kepada pemuda kenalan barunya itu. Ternyata pemuda yang tampan gagah itu bersikap sebagai seorang Ketua Thian-Te-Pang yang bijaksana!

   Oleh karena merasa kagum dan suka kepada pemuda itu, ia tidak menolak ketika Gan Bouw mempersilakan ia mampir ke perkampungan Thian-Te-Pang yang berada di kaki Gunung Beng-San. Dusun Kiok-Lim di kaki Gunung Beng-San merupakan dusun yang cukup besar, dengan penduduk sekitar lima ratus orang yang terdiri dari para petani. Karena tanah di situ subur, maka hasil sawah ladang mereka melimpah dan membuat kehidupan para petani di situ cukup makmur. Juga kehidupan rakyat pedusunan aman dengan adanya perkumpulan Thian-Te-Pang karena jarang ada penjahat berani mengganggu dusun itu.

   Bahkan beberapa bulan yang lalu, gerombolan penjahat Tiga Belas Srigala Gila yang merupakan gerombolan perampok amat ganas dan terkenal di daerah Beng-San, mencoba untuk mengganggu dusun Kiok-Lim, akhirnya mereka semua tewas di tangan Gan Bouw yang kemudian diangkat menjadi Ketua Thian-Te-Pang. Perkumpulan Thian-Te-Pang terdiri dari puluhan rumah yang dikelilingi pagan tembok, terletak di ujung selatan dusun Kiok-Lim. Kurang lebih seratus orang anggautanya tinggal di perkampungan itu bersama keluarga mereka. Yang terbanyak dari mereka adalah pemuda-pemuda yang belum berumah tangga, akan tetapi ada pula sekitar tiga puluh orang anggauta yang sudah mempunyai anak isteri dan anak-anak mereka yang sudah remaja juga menjadi anggauta perkumpulan itu.

   Mereka juga hidup sebagai petani dan pemburu binatang di hutan-hutan yang banyak terdapat di Pegunungan Beng-San. Setiap hari hanya bekerja dan berlatih silat. Hidup mereka selama bertahun-tahun tenang saja. Kegemparan karena serangan Tiga Belas Srigala Gila juga sudah terlupakan setelah Gan Bouw membunuh mereka dan menjadi Ketua baru. Maka, dapat dibayangkan betapa geger mereka ketika pada suatu pagi, seorang gadis berusia enam belas tahun, puteri dari Thio Sun murid tertua Thian-Te-Pang, menangis dan menceritakan bahwa semalam ia telah diperkosa seorang penjahat yang memakai pakaian para Tosu Beng-San-Pai dan yang mengaku sebagai murid Beng-San-Pai! Thio Sun yang berusia empat puluh tahun lebih itu tentu saja marah melihat Thio Ci Nio, puterinya yang remaja itu diperkosa orang yang menurut keterangan puterinya adalah seorang murid Beng-San-Pai.

   Dan dia lalu bersama saudara-saudara seperguruannya mendatangi Beng-San-Pai sehingga timbul percekcokan yang mengakibatkan perkelahian. Ketika Gan Bouw dan In Hong memasuki perkampungan Thian-Te-Pang para anggauta menyambut dengan sikap hormat dan mata mereka menunjukkan kekhawatiran. Tentu saja para anggauta yang pulang dari Beng-San-Pai tadi sudah bercerita kepada para anggauta lain tentang peristiwa yang terjadi di perkampungan Beng-San-Pai dan mereka semua takut kalau-kalau Ketua mereka akan memarahi mereka. Akan tetapi ternyata Gan Bouw tidak marah. Ketika beberapa orang anggauta tertua, termasuk Thio Sun, dia hanya mengangguk dan berkata kepada Thio Sun.

   "Suruh siapkan hidangan untuk menyambut Nona tamu kita dan setelah kami selesai makan, engkau bawalah anakmu Ci Nio datang menghadapku. Aku ingin bicara."

   Thio Sun memberi hormat dan mengangguk.

   "Baik, Pangcu."

   Gan Bouw mengajak In Hong masuk ke dalam sebuah rumah yang terbesar di antara rumah-rumah di situ.

   "Ini tempat tinggalku, Siauw-moi. Mari masuklah."

   In Hong ikut masuk. Setelah mereka duduk di ruangan tengah yang terhias cukup rapi, ia berkata.

   "Gan-Twako, tidak perlu engkau repot-repot. Sebetulnya aku hanya singgah sebentar dan akan melanjutkan perjalananku mengunjungi Hek I Kaipang."

   "Aih, bagaimana aku dapat membiarkan engkau pergi begini saja, Sian-Li? Bukankah kita sudah menjadi sahabat? Hari sudah larut, menuju ke Hek I Kaipang harus mendaki gunung. Sebelum tiba di sana engkau akan kemalaman dan malam ini gelap tiada bulan. Sian-Li, engkau harus bermalam di sini dan melanjutkan perjalanan besok pagi. Pula, engkau harus menerima penghormatanku, menjadi tamu dan menerima hidangan kami sekadarnya. Besok aku akan mengantarmu naik ke Hek I Kaipang karena Ketuanya merupakan kenalan baikku."

   In Hong tak dapat menolak. Jarang dapat ditemukan seorang pemuda seperti Gan Bouw yang mengingatkan ia akan mendiang Ong Teng San dan Yo Kang.

   Bahkan Gan Bouw lebih menarik daripada Yo Kang, karena kalau Yo Kang yang tinggi besar itu jujur dan agak kaku, bicaranya terbuka sehingga terkadang kasar, sebaliknya Gan Bouw lembut dan manis tutur sapanya. la tahu bahwa kini Yo Kang telah memperoleh kemajuan pesat dan ilmu silatnya telah meningkat sehingga menjadi seorang yang lihai sekali. Biarpun ia belum pernah menguji tingkat kepandaian Gan Bouw, namun ia yakin bahwa tingkat kepandaian Ketua Thian-Te-Pang ini pun amat tinggi, tenaga saktinya sudah terbukti dahsyat ketika dia sekali pukul dengan dayungnya membuat sebuah perahu besar pecah berantakan. Juga gerakan ilmu silatnya ketika dia menghajar anak buahnya sendiri yang menyerbu Beng-San-Pai, tampak aneh namun gesit bukan main, kokoh seperti ilmu silat aliran Siauw-Lim-Pai.

   "Baiklah, Gan-Twako. Aku akan dibilang tidak mengenal budi kalau menolak permintaan menginap di sini semalam."

   "Ah, Siauw-moi, engkau ini ada-ada saja! Budi apa yang dapat kuberikan kepadamu! Engkau tidak menerima budi apa pun dariku. Kita hanya bertemu, berkenalan dan bersahabat!"

   "Benar, akan tetapi engkau telah menyeberangkan aku, kemudian membantuku menghadapi para bajak sungai dan engkau mau menjadi penunjuk jalan bagiku. Bukankah semua itu merupakan budi kebaikan yang telah kau berikan padaku, Twako?"

   "Sama sekali bukan apa-apa, Sian-Li. Engkau yang demikian lihai, tanpa kubantu juga tentu akan dapat membasmi para bajak sungai itu dengan mudah! Kita ini bersahabat, maka harap jangan bicara tentang melepas budi. Nah, sekarang silakan engkau mandi dan menukar pakaian sambil menanti disiapkannya hidangan. Aku akan menyuruh pelayan membersihkan sebuah kamar untukmu."

   Dengan ramah Gan Bouw lalu menunjukkan di mana adanya kamar mandi dan dia menyuruh pelayan untuk membersihkan sebuah kamar yang terdapat banyak di situ sebagai persiapan untuk para tamu.

   Malam itu mereka berdua makan minum dengan gembira. Hanya mereka berdua, karena ternyata memang benar pemuda itu hidup sebatang kara dan dalam rumah yang cukup besar itu dia hanya ditemani empat orang pelayan wanita setengah tua dan dua orang pelayan pria yang kesemuanya merupakan anggauta Thian-Te-Pang. Padahal tadi sore In Hong melihat bahwa di dalam perkampungan para anggauta itu terdapat pula wanita-wanita muda yang cukup cantik. Agaknya Gan Bouw ini memang benar seorang pendekar muda yang gagah perkasa dan bijaksana! Setelah selesai makan dan meja dibersihkan, mereka berdua duduk bercakap-cakap dengan santai, dan In Hong merasa seolah ia berhadapan dengan seorang sahabat lama yang sudah dikenalnya baik-baik karena pemuda itu bersikap terbuka dan ramah sekali.

   "Siauw-moi, aku menghormati sikapmu yang merahasiakan riwayat dirimu dan tidak mau mendesakmu, akan tetapi kiranya engkau tidak keberatan untuk mengatakan siapa Gurumu. Sejak remaja aku merantau ke daerah Himalaya dan Tibet sehingga tidak mengenal ilmu silat di Tionggoan (daratan Cina)."

   Sebetulnya In Hong yang ingin merahasiakan segala sesuatu tentang dirinya tidak ingin menceritakan, akan tetapi melihat sikap yang terbuka, jujur dan demikian ramahnya, merasa sungkan juga.

   "Gan-Twako, ceritakan dulu dengan jelas tentang Guru-Gurumu dan aliran silat apa yang kau pelajari, baru aku akan menceritakan tentang Guru-Guruku."

   "Baiklah, Sian-Ii. Dulu, sebelum aku merantau ke daerah Barat, aku mempelajari ilmu silat dari para Guru silat yang berada di daerah Lam-Keng. Setiap mendengar ada Guru silat yang pandai, aku lalu datangi dan belajar padanya. Akan tetapi setelah aku remaja, berusia sekitar lima belas tahun, aku merasa tidak puas dengan ilmu-ilmu silat yang kupelajari. Kuanggap ilmu-ilmu mereka itu kasar dan hanya kulitnya saja. Maka aku lalu merantau, di sepanjang jalan aku memperdalam ilmu silatku sampai akhirnya aku berada di Tibet. Di Tibet inilah baru aku benar-benar mempelajari ilmu-ilmu yang memuaskan hatiku dari para Pendeta Lama. Di antara mereka, yang kuakui sebagai Guruku adalah seorang Lama jubah Merah, pemimpin utama bagian ilmu silat dari para Pendeta Lama di bawah Dalai Lama. Dia adalah Dong Hai Lama dan selama tujuh tahun aku menerima gemblengan dari Suhu Dong Hai Lama. Baru setahun yang lalu aku meninggalkan Tibet. Nah, demikianlah riwayatku, Sian-Li."

   "Hemm, pantas sekali engkau Iihai, Twako. Aku pernah mendengar bahwa para Pendeta Lama adalah ahli-ahli ilmu silat dan ilmu sihir yang amat tinggi ilmunya. Aku sendiri pernah mempunyai dua orang Guru yang keduanya sudah meninggal dunia. Guruku yang pertama adalah Subo (Ibu Guru) Hek Moli. la baik sekali kepadaku dan sudah kuanggap sebagai Ibuku sendiri. Kemudian aku bertemu dengan Guruku yang kedua. Guruku ini bahkan merupakan suami dari Guruku yang pertama, namanya..."

   "Aku tahu, namanya Bhutan Koai-Jin!"

   Gan Bouw berseru. In Hong terkejut dan memandang heran.

   "Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Gan-Twako?"

   "Tentu saja aku tahu, Sian-Li. Para Pendeta Lama di Tibet mengenal siapa suami-isteri yang amat lihai itu. Mereka berasal dari Sek-Kim (Bhutan), bukan? Mereka dulu terkenal sebagai suami-isteri yang sakti, akan tetapi setelah mereka meninggalkan Bhutan dan merantau ke Tionggoan, lalu tidak ada beritanya lagi. Kiranya mereka berdua menjadi Gurumu. Wah, tentu ilmu kepandaiannnu hebat bukan main! Akan tetapi, tadi engkau mengatakan bahwa mereka berdua sudah meninggal? Hemm, aneh sekali. Mereka tidaklah begitu tua sekali, mengapa mereka sudah meninggal dunia?"

   Ditanya demikian, wajah cantik itu berubah agak kemerahan karena timbul amarah teringat akan kematian Guru-Gurunya.

   "Hemm, kalau mereka tidak dikeroyok para pengecut yang menamakan diri mereka sendiri pendekar-pendekar golongan bersih, mana mungkin kedua orang Guruku itu tewas?"

   "Ehh? Apa yang telah terjadi, Sian-Li? Ceritakanlah padaku. Kalau ada penasaran, aku selalu siap untuk membantumu membalaskan sakit hatimu. Bagaimanapun juga, mendiang Hek Moli dan mendiang Bhutan Koai-Jin adalah sahabat-sahabat baik para Pendeta Lama di Tibet."

   In Hong merasa telah kelepasan bicara maka ia pun tidak ingin merahasiakan lagi urusan yang telah lama terjadi itu.

   "Ketika kedua orang Guruku, suami-isteri itu, tiba di Tionggoan, mereka menantang para pimpinan partai-partai persilatan besar seperti Siauw-Lim-Pai, Kun-Lun-Pai, Bu-Tong-Pai, Go-Bi-Pai, dan lain-lain. Dan semua tokoh pimpinan itu dikalahkan! Tentu saja dalam pibu (mengadu ilmu silat) itu, banyak tokoh partai persilatan yang terluka dan tewas. Hal ini membuat mereka sakit hati. Mereka lalu bersekutu dan kedua orang Guruku itu dikeroyok banyak orang! Bhutan Koai-Jin yang dikeroyok banyak orang itu dibuntungi kedua kaki tangannya sebatas lutut dan siku sehingga dia merasa malu kepada isterinya dan menyembunyikan diri sambil diam-diam memperdalam ilmunya walaupun kedua pasang kaki tangannya sudah tidak ada.

   Hek Moli juga memperdalam ilmunya dan akhirnya ia mengambil aku sebagai murid. Akan tetapi, akhirnya Hek Moli tewas dikeroyok tiga orang San Lojin tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai dan Wi Tek Tosu tokoh Go-Bi-Pai. Mereka itu membalas dendam kematian beberapa orang saudara seperguruan mereka yang tewas ketika pibu melawan mendiang Subo (Ibu Guru). Aku mencoba untuk membalas kematian Hek Moli, namun aku kalah. Akhirnya aku bertemu dengan Bhutan Koai-Jin dan digembleng selama setengah tahun. Guruku yang kedua itu meninggal karena tua dan kehabisan tenaga. Aku lalu membuat pembalasan dan berhasil membunuh ketiga San Lojin dari Kun-Lun-Pai. Wi Tek Tosu dari Go-Bi-Pai sudah dihukum selama lima tahun oleh Ketua Go-Bi-Pai. Nah, begitulah, Gan-Twako."

   Gan Bouw menghela napas panjang.

   "Hemm, aku sendiri belum ada kesempatan untuk bertemu para tokoh besar, pimpinan partai-partai persilatan itu, Sian-Li. Akan tetapi aku juga sudah mendengar bahwa mereka itu adalah orang-orang sakti yang sombong dan merasa paling pandai, paling gagah, dan paling Suci. Sungguh mengherankan. Bukankah mereka itu katanya Pendeta-Pendeta yang menyebarkan pelajaran tentang kebaikan? Mengapa mereka malah menjadi orang-orang sombong, merasa Suci sendiri dan memandang rendah orang lain, menganggap bahwa orang-orang lain itu jahat kotor belaka dan hanya mereka yang Suci dan bersih? Sungguh aku tidak mengerti, Sian-Li."

   In Hong menghela napas panjang.

   "Sejak kecil aku dididik dan dirawat Subo Hek Moli. Guruku itu selalu bicara tentang kepalsuan para pimpinan partai-partai persilatan besar. Kata Subo, para pimpinan itu menghimpun kekuatan hanya untuk membuat dirinya sendiri menjadi terkenal dan dihormati, dan mereka itu merasa paling lihai, paling pandai, dan itu tadi, paling Suci dan bersih. Sejak dulu aku menjadi tidak suka kepada mereka, akan tetapi..."

   "Akan tetapi mengapa, Siauw-moi?"

   Beberapa saat lamanya In Hong tidak menjawab. la termenung dan teringat akan beberapa orang murid dan tokoh para partai persilatan besar yang sama sekali tidak dapat dibilang sombong atau curang. Pertama tentu saja adalah Ong Tiang Houw yang menjadi murid Bu Sek Tianglo, Suheng dari Bu Kek Tianglo Ketua Siauw-Lim-Pai, berarti Ong Tiang Houw juga seorang tokoh aliran Siauw-Lim-Pai. Kemudian Ong Teng San juga seorang murid Siauw-Lim-Pai, dia seorang pendekar gagah perkasa yang rendah hati dan baik. Keduanya sudah meninggal. Lalu Adik tirinya sendiri, Ong Lian Hong, juga seorang murid Siauw-Lim-Pai. Kemudian ia teringat akan Siang-Te Lokai, tokoh besar dari Kun-Lun-Pai, yang ternyata amat bijaksana. Ketika ia dulu menyerbu ke Siauw-Lim-Pai untuk mencuri kitab, lalu menyerbu Kun-Lun-Pai untuk membalas dendam, demikian pula menyerbu Go-Bi-Pai untuk membalas dendam kematian Hek Moli, ia bertemu dengan tokoh-tokoh besar para partai persilatan itu yang sama sekali tidak sombong. Memang ada beberapa orang yang tinggi hati, namun ia tidak dapat mengatakan bahwa mereka semua sombong.

   "Apa yang kau pikirkan, Sian-Li?"

   Gan Bouw menegur karena lama gadis itu tidak melanjutkan bicaranya yang terputus tadi.

   "Aku hanya teringat bahwa ada beberapa orang tokoh dan murid perguruan-perguruan besar itu yang tidak sombong dan baik."

   "Aku percaya itu, Sian-Li, akan tetapi sebagian dari mereka itu tinggi hati dan memandang rendah golongan lain. Ingat saja murid Bu-Tong-Pai yang membunuh tiga puluh orang murid Hek I Kaipang itu, dan baru saja murid Beng-San-Pai yang beragama To, melakukan perkosaan."

   "Akan tetapi semua itu belum dapat dibuktikan, Twako, masih merupakan rahasia, apakah benar murid Bu-Tong-Pai yang membunuhi para murid Hek I Kaipang seperti juga belum tentu murid Beng-San-Pai yang melakukan perbuatan keji terhadap gadis anggauta perkumpulanmu."

   "Aku membutuhkan bantuanmu, Sian-Li."

   "Bantuan? Bantuan apa?"

   "Bantulah aku menyelidiki peristiwa ini, Siauw-moi. Kau bantu aku menangkap penjahat yang telah memperkosa Thio Ci Nio, puteri anggauta tertua kami, kemudian aku akan mengantarmu ke Hek I Kaipang dan kita bersama menyelidiki tentang pembunuhan terhadap tiga puluh orang anak buah Hek I Kaipang itu."

   In Hong menggeleng kepalanya.

   "Maaf, Twako. Kau selidikilah sendiri, aku percaya dan yakin engkau akan mampu menangkap pelakunya. Besok pagi-pagi aku harus pergi mengunjungi Hek I Kaipang dan aku ingin pergi sendiri saja."

   Dalam suara gadis itu terkandung nada yang tegas dan pasti, bahkan agak keras karena kalau ia memutuskan sesuatu, biasanya keputusannya itu tidak boleh diubah siapa pun. Wajah yang tampan itu tampak kecewa dan bersedih.

   "Aih, Sian-Li, engkau membuat aku merasa bersedih sekali. Terus terang saja, Adik Sian-Li, aku... aku rasanya berat sekali kalau harus kau tinggalkan, harus berpisah darimu. Aku akan kehilangan sekali, kesepian dan hidup ini akan kehilangan sinarnya. Kehadiranmu bagaikan cahaya yang menerangi hatiku, bagaikan panasnya matahari yang membakar semangat hidupku, bagaikan embun yang membasahi dan menyegarkan dan menyejukkan perasaanku. Siauw-moi... janganlah tergesa-gesa meninggalkan aku..."

   In Hong mengerutkan alisnya mendengar pemuda itu kini merengek-rengek, akan tetapi ucapannya itu jelas menyatakan bahwa pemuda itu jatuh cinta padanya! Begitu cepatnya jatuh cinta! Rasa kagumnya terhadap Gan Bouw menjadi berkurang karena ia menganggap pemuda ini cengeng dan Iemah! Bagaimana mungkin pemuda yang demikian gagah perkasa, sopan santun dan baik budi bahasanya bisa begini cengeng? Merengek-rengek minta agar jangan ditinggalkan? la menjadi tak senang dan cepat bangkit berdiri.

   "Maaf, Twako, aku ingin mengaso."

   Melihat sikap gadis itu, Gan Bouw cepat mengubah sikapnya. Dia tersenyum ramah lagi dan berkata dengan lembut.

   "Tentu saja, Sian-Li, silakan mengaso Iebih dulu, engkau tentu lelah"

   In Hong memasuki kamar yang telah dipersiapkan untuknya. Sebuah kamar yang bersih dan cukup indah. In Hong duduk di tepi pembaringannya dan termenung. Masih terbayang sikap Gan Bouw tadi, dan masih terngiang di telinganya semua ucapannya yang begitu penuh perasaan dan seperti orang mohon dikasihani. Sebelum merebahkan diri untuk tidur, In Hong memeriksa jendela dan pintu kamar itu. Jendela itu cukup kuat dan dapat dipalang dari dalam, demikian pula daun pintunya.

   Daun jendela atau daun pintu itu tidak mungkin dapat dibuka orang tanpa memaksanya dan kalau ini dilakukan, tentu akan mengeluarkan bunyi gaduh. Juga langit-langit kamar itu cukup kuat dan akan mengeluarkan bunyi keras kalau dibuka dengan paksa. Setelah itu ia merebahkan diri, akan tetapi agak gelisah. la heran mengapa ia memeriksa jendela dan pintu. Padahal, berada di rumah Gan Bouw ia tidak perlu khawatir apa-apa. Siapa yang akan berani mengganggunya dalam rumah Ketua Thian-Te-Pang? Akhirnya ia tertidur juga dengan pulas. Malam itu tidak terjadi sesuatu sehingga pada keesokan harinya In Hong terbangun pagi-pagi sekali dengan tubuh terasa segar. la membuka daun jendela dan ternyata cuaca masih remang-remang karena fajar baru menyingsing. Tak lama kemudian daun pintunya diketuk dan luar.

   "Siapa?"

   Tanya In Hong tanpa membuka daun pintu karena kalau yang mengetuk pintu itu Gan Bouw, ia tidak mau diganggu sepagi itu dan ia belum juga membersihkan badan mencuci muka.

   "Ini saya, Siocia (Nona). Saya melihat jendela kamar Nona sudah dibuka dan saya ingin bertanya apakah Nona memerlukan air hangat untuk mencuci muka? Kalau Nona menghendaki, akan saya antar satu baskom air hangat ke dalam kamar Nona."

   Senang hati In Hong mendengar ini.

   "Ah, engkau baik sekali, Bibi,"

   Katanya sambil membuka daun pintu.

   "Tolong ambilkan air hangat dan bawa ke sini."

   "Baik, Nona."

   Pelayan setengah tua itu pergi dan tidak lama kemudian ia membawa sebuah panci atau baskom besar dan seceret besar air hangat. Setelah meletakkan baskom itu ke atas meja ia lalu menuangkan air hangat yang masih mengepulkan uap ke dalam baskom. Setelah itu ia keluar dari kamar dan menutupkan kembali daun pintu. In Hong lalu mulai mencuci mukanya dengan air hangat itu. Nyaman sekali rasanya. Udara sejuk agak dingin, maka ketika muka dan lehernya terkena air hangat, rasanya amat menyenangkan. la pun mencium bau harum air itu, diam-diam merasa betapa ia dimanja. Air pencuci muka saja diberi air kembang agaknya, demikian harum baunya. la menyedot bau harum itu dan tiba-tiba ia merasa kepalanya pening, pandang matanya terputar-putar.

   "Celaka...!"

   Serunya, akan tetapi ketika ia menghampiri pembaringan untuk mencari pegangan, tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan, tubuh bagian atas di pembaringan. Sesosok tubuh berkelebat masuk ke dalam kamar melalui jendela yang masih terbuka. Dia adalah seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya brewok, matanya besar dan wajahnya bengis menyeramkan. Sinar matanya yang mencorong tajam membayangkan kekejaman, dan mulutnya menyeringai seperti mengejek. Dengan ringan dia memondong tubuh In Hong yang terkulai pingsan lalu membawanya keluar melalui jendela. Pagi itu masih gelap dan agaknya para penghuni rumah itu baru pelayan wanita tadi yang sudah bangun. Ketika melihat keadaan yang sunyi, orang itu lalu melompat dan dengan menyusup-nyusup akhirnya dapat melarikan diri keluar dari perkampungan Thian-Te-Pang tanpa ada yang melihatnya. Setelah membawa lari In Hong sampai ke dalam sebuah hutan yang banyak terdapat di kaki pegunungan itu, In Hong sadar dari pingsannya. Kepalanya terasa pening sekali akan tetapi ia segera dapat merasakan dan melihat bahwa ia berada dalam pondongan kedua lengan seorang laki-laki! Tentu saja ia terkejut dan marah bukan main. ia segera menggerakkan tangan kanannya untuk memukul muka orang itu sambil meronta. Akan tetapi ia mengeluh. Tubuhnya lemas dan ia tidak mampu mengerahkan tenaga dalamnya sehingga tamparannya tadi hanya mengenai pipi pemondongnya dengan tenaga biasa yang lemah pula.

   "Plak...!"

   Akan tetapi rontaannya sempat membuat orang itu terkejut dan ia pun terlepas dari pondongannya, jatuh terguling di atas tanah.

   "Ha-ha-ha! Engkau sudah sadar? Bagus, aku tidak suka mendapatkan korban yang tidak mampu bergerak seperti mayat!"

   Setelah berkata demikian, orang itu menyeringai menyeramkan dan menubruk seperti seekor singa menerkam domba. In Hong rebah telentang tidak mampu mengelak atau melawan karena seluruh tubuhnya terasa lemah seolah semua tangannya telah lenyap.

   "Desss...!"

   Sebelum tubuh laki-laki itu dapat menerkam tubuh In Hong, sebuah tendangan kilat membuat tubuh itu terlempar dan terguling-guling!

   "Jahanam keparat!!"

   Gan Bouw yang tadi menendang orang itu kini melompat menghampiri dengan gerakan cepat sekali. In Hong tadinya terkejut dan ngeri mendapat kenyataan betapa tenaganya hilang dan ia sama sekali tidak berdaya, kini menjadi lega dan ia mengikuti gerakan Gan Bouw dengan pandang mata kagum. Laki-laki tinggi besar itu terbelalak ketakutan.

   "... Pek... Bin-Houw... a... aku..."

   "Prakkk!"

   Kaki Gan Bouw menendang dan orang itu terpental, tewas dengan kepala pecah! Gan Bouw tidak mempedulikannya lagi. Dia cepat menghampiri In Hong yang sudah bangkit duduk.

   "Siauw-moi... engkau tidak apa-apa...?"

   Tanyanya khawatir. Dengan lemas dan sukar In Hong mencoba berdiri. Melihat ini, Gan Bouw segera membantunya berdiri dengan memegang kedua lengannya.

   "Aku keracunan, Gan-Twako...!"

   Kata In Hong dan ketika ia mencoba untuk melangkah, ia terguling dan tentu roboh kalau saja Gan Bouw tidak cepat menangkapnya.

   "Maaf, Siauw-moi. Jangan bergerak dulu, maafkan kalau terpaksa aku memondongmu. Nanti di rumah saja kita bicara."

   Pemuda itu lalu memondong tubuh In Hong dan membawanya lari cepat sekali kembali ke dusun Kiok-Lim. Para anggauta Thian-Te-Pang memandang heran melihat Ketua mereka datang memondong tubuh gadis yang semalam menjadi tamu mereka itu.

   "Cepat kalian pergi ke hutan sebelah selatan itu. Lihat siapa mayat yang berada di sana"

   Perintahnya kepada beberapa orang anggauta Thian-Te-Pang, lalu dia membawa In Hong masuk ke dalam rumahnya. Pelayan wanita setengah tua menyambutnya dengan tangis.

   "Pangcu... celaka... A Him dibunuh orang..."

   Katanya sambil memandang In Hong yang sudah direbahkan telentang di atas sebuah pembaringan. In Hong mengenal wanita itu sebagai wanita setengah tua yang menyediakan air hangat pencuci muka pagi tadi.

   "Hemm, keparat Ini tentu ada hubungannya dengan peristiwa yang menimpamu, Sian-Li. Biar aku lihat dulu sebentar."

   Gan Bouw lalu pergi ke belakang, diikuti pelayan wanita. Tak lama kemudian dia sudah kembali dan duduk di atas dekat pembaringan di mana In Hong rebah.

   "Yang tewas itu pelayan pria yang biasa bekerja pagi-pagi. Agaknya dia tewas ketika sedang menjerang air. Agaknya penjahat yang menculikmu tadi yang membunuhnya, akan tetapi aku tidak tahu mengapa dia membunuh pelayan itu?"

   "Aku tahu sebabnya, Twako. Tentu dia membunuh pelayan itu agar dia dapat menuangkan racun ke dalam air sehingga ketika Bibi pelayan membawakan air pencuci muka untukku, aku keracunan dan pingsan. Selanjutnya, ketika siuman, aku sudah berada di hutan itu. Untung engkau datang, Twako, kalau tidak... ah, aku berterima kasih sekali padamu, Twako."

   "Sudahlah, tidak perlu berterima kasih. Sebaiknya sekarang kuperiksa, apa yang menyebabkan engkau kehilangan tenaga seperti ini!"

   Gan Bouw lalu memeriksa denyut nadi In Hong, lalu mendekatkan hidungnya pada dahi gadis itu dan dapat mencium bau harum yang tadi membuat In Hong pingsan.

   "Hemm, aku tahu sekarang! Ini adalah keharumah Bunga Pelangi yang hanya terdapat langka di daerah Gurun Gobi! Aku pernah melihatnya dan sari keharuman bunga ini memang dapat melumpuhkan kalau memasuki paru-paru. Akan tetapi jangan khawatir, Siauw-moi. Racun ini tidak berbahaya dan mari kubantu engkau mengusir hawa beracun dari tubuhmu. Silakan duduk dan bersila, Sian-Li."

   In Hong segera duduk bersila dan Gan Bouw duduk bersila di belakangnya. Kemudian pemuda itu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung Sian-Li Eng-Cu.

   In Hong yang tidak mampu mengerahkan tenaga saktinya, hanya menerima saja. la merasa betapa getaran kuat muncul dari kedua telapak tangan itu, dan hawa menjalar ke seluruh tubuhnya, berputaran lalu berkumpul di dalam dadanya. Tak lama kemudian, bau yang harum menerobos keluar dari dadanya, melalui hidung, membuat ia pening. Akan tetapi lambat laun bau harum itu melemah dan lenyap. la merasa betapa kedua telapak tangan di punggungnya itu menggetar dan hangat dan tiba-tiba ia menggelinjang karena kulit telapak kedua tangan itu seperti hidup, seolah membelai-belai punggungnya! Setelah rasa pening dan lemas menghilang, ia mencoba mengerahkan tenaga dalamnya dan ia berhasil! Segera ia mengerahkan sinkang (tenaga sakti) untuk membantu, membersihkan semua sisa hawa beracun itu keluar dari tubuhnya.

   "Ah, sukurlah. Engkau sudah sembuh, Siauw-moi!"

   Kata Gan Bouw girang dan dia melepaskan kedua tangannya lalu turun dari pembaringan dan duduk di atas kursi. Tiba-tiba beberapa orang anggauta Thian-Te-Pang memasuki ruangan itu. Thio Sun, anggauta tertua, Ayah dari Thio Ci Nio yang menjadi korban perkosaan melapor.

   "Pangcu, mayat itu adalah penjahat yang terkenal di bagian timur pegunungan dengan julukan Tok-Coa Mo-Ko (Iblis Ular Beracun). Tidak salah lagi, Pangcu. Tentu jahanam itu yang telah melakukan perbuatan keji terhadap Ci Nio tempo hari. Kami sudah melemparkan mayatnya ke jurang, biar menjadi makanan binatang buas!"

   Gan Bouw mengangguk-angguk.

   "Sangat boleh jadi. Sekarang, beberapa orang dari kalian pergilah menghadap pimpinan Beng-San-Pai, kabarkan bahwa pelaku perkosaan itu telah ditemukan dan dihukum mati, dan sampaikan maafku kepada mereka atas kesalahan-dugaan kalian tempo hari."

   Setelah semua anggauta itu keluar dari ruangan, In Hong berkata, suaranya mengandung keharuan.

   "Gan Twako, aku sungguh berhutang budi besar padamu. Aku berterima kasih, Twako, dan budimu ini tidak akan kulupakan. Sekarang aku minta diri, aku akan melanjutkan perjalananku mengunjungi Hek I Kaipang."

   Gan Bouw tampak terkejut seolah dia baru ingat bahwa gadis itu akan meninggalkannya.

   "Engkau... hendak pergi, Sian-Li? Ah, benar, engkau akan mengunjungi Hek I Kaipang. Biar kuantar engkau, Sian-Li."

   "Terima kasih, Twako, tidak perlu. Aku akan pergi sendiri."

   "Tapi... tapi..."

   Gan Bouw melihat pandang mata yang tajam itu lalu cepat disambungnya.

   
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, tentu saja. Engkau pergi sendiri. Baiklah, Sian-Li, aku tidak berhak menahanmu..."

   "Aku hendak mengambil pakaian dan pedangku, Twako."

   In Hong lalu memasuki kamarnya, mengambil buntalan pakaian dan Gan-Liong-Kiam, pedang pusakanya. Ia pun berganti pakaian bersih. Ketika ia keluar lagi, Gan Bouw sudah menunggunya. Wajah pemuda itu tampak kecewa sekali.

   "Sian-Li... benar-benar... tegakah engkau meninggalkan aku kesepian di sini seorang diri...?"

   In Hong menghela napas panjang. Pemuda ini tampan, gagah perkasa, baik budi, menjadi Ketua perkumpulan lagi, akan tetapi terkadang bersikap demikian lemah dan cengeng. Ataukah hal ini terjadi karena pengaruh cinta?

   "Gan-Twako, ada waktunya bertemu, ada pula waktunya berpisah. Dan perpisahan bukanlah selamanya kalau orangnya belum mati. Di lain waktu kita dapat saja saling berjumpa kembali. Nah, sekali lagi terima kasih atas segala budi dan kebaikanmu, Twako, maafkan kalau aku mengecewakanmu dan selamat tinggal!"

   "Selamat jalan, Sian-Li. Kalau engkau pergi, aku pun tidak betah lagi berdiam di sini, aku pun akan pergi merantau!"

   In Hong sudah memberi hormat dan pergi meninggalkan rumah itu, terus meninggalkan perkampungan Thian-Te-Pang. Kalau ia tidak tegas dan berlama-lama di situ, mungkin saja ia akan memenuhi permintaan Gan Bouw untuk tinggal lebih lama lagi. Semua sikap, pandang mata, kata-kata dan terutama rabaan kedua telapak tangan pemuda itu ketika mengobatinya tadi, jelas sudah mengutarakan perasaan hati pemuda itu kepadanya. Gan Bouw jatuh cinta padanya dan mungkin amat mencintanya, lebih dari pada para pemuda lain!

   Pada waktu itu, Bu-Tong-Pai yang berpusat di pegunungan Bu-Tong-San, merupakan sebuah perguruan silat yang besar dan terkenal, yang kedudukannya sejajar dengan perguruan-perguruan Siauw-Lim-Pai, Kun-Lun-Pai dan Go-Bi-Pai. Yang menjadi Ketua Bu-Tong-Pai adalah Tiong Li Seng-jin, seorang Tosu (Pendeta Agama To) yang berusia tujuh puluh tahun lebih. Tosu tua ini bertubuh tinggi kurus, rambut, kumis dan jenggot panjangnya sudah putih semua seperti benang perak. Rambutnya digelung ke atas. Wajahnya yang kurus masih membekaskan ketampanan, dan wajah yang penuh senyum itu memiliki sepasang mata yang penuh wibawa. Gerak-geriknya lembut seperti seorang sastrawan dan memang sesungguhnya, Ketua Bu-Tong-Pai ini seorang sastrawan yang memiliki ilmu silat tinggi.

   Karena sudah merasa tua, maka semua urusan perguruan dia serahkan kepada wakilnya, yaitu beberapa orang Tosu yang menjadi Adik-adik seperguruannya. Tiong Li Seng-jin sendiri lebih suka bersamadhi di dalam ruangan samadhinya. Yang menjadi wakil Ketua Bu-Tong-Pai adalah Tiong Hak Tosu, Sute (adik seperguruan) dari Tiong Li Seng-jin. Tiong Hak Tosu ini bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok dan berkulit hitam seperti Thio Hwi, tokoh dalam cerita Sam Kok yang terkenal. Sepasang matanya bundar dan mengandung kejujuran namun juga tajam menembus seperti dapat menjenguk isi hati orang. Tosu ini berusia sekitar enam puluh tahun dan dia terkenal sebagai seorang ahli ilmu golok Bu-Tong To-Hwat yang lihai.

   Inilah Guru dari Yo Kang, putera Yo Hang Tek yang tinggal di See-Ciu, pendekar yang terkenal dengan julukan But-Tong Kiam-Hoat (Golok Emas dari Bu-Tong) itu. Masih ada tiga orang pembantu utama lagi di Bu-Tong-Pai yang menangani semua urusan, membantu pekerjaan Tiong Hak Tosu, yaitu tiga orang Tosu yang merupakan Adik-adik seperguruan termuda dari Ketua dan wakil Ketua itu. Mereka bertiga ini di dunia persilatan dikenal sebagai Bu-Tong Sam-Lo (Tiga Orang Tua Bu-Tong). Mereka adalah Tiong Gi Tosu yang bertubuh sedang, Tiong Jin Tosu yang bertubuh gendut, dan Tiong Sim Tosu yang bertubuh tinggi. Usia mereka kurang lebih lima puluh lima tahun. Mereka bertiga selain menangani urusan luar dan dalam, juga mereka melatih para murid yang tingkatnya masih permulaan dan pertengahan.

   Murid yang tingkatnya sudah tinggi seperti Yo Kang dilatih oleh Tiong Hak Tosu. Tiong Li Seng-jin hanya kadang-kadang saja melihat sampai di mana kemajuan para murid dan memberi petunjuk-petunjuk. Ada belasan orang murid yang menjadi Tosu dan mereka ini adalah murid-murid golongan tua yang sudah menetap di perumahan Bu-Tong-Pai dan bertugas sebagai pembantu-pembantu Bu-Tong Sam-Lo. Akan tetapi para murid Bu-Tong-Pai tidak diharuskan menjadi Tosu, walaupun tentu saja mereka mendapat pelajaran kerohanian menurut Agama To. Pada waktu itu, jumlah murid yang belajar di Bu-Tong-Pai terdapat sekitar seratus orang, belasan orang di antaranya adalah murid-murid wanita yang belajar dan tinggal di perumahan Bu-Tong-Pai di bawah pengawasan seorang Tokauw (Pendeta wanita).

   Bu-Tong-Pai terkenal sebagai perguruan silat besar yang menghasilkan banyak pendekar-pendekar gagah perkasa yang juga berjiwa patriot. Memang, setelah tanah air dikuasai penjajah Mongol yang memiliki bala-tentara kuat, seperti perguruan silat aliran lain, Bu-Tong-Pai tidak berani menentang Kerajaan Goan (Mongol) secara berterang. Kalau mereka terang-terangan menentang, tentu laksaan pasukan Mongol akan menghancurkan mereka dan tentu saja mereka bukan lawan pasukan yang besar itu. Akan tetapi sudah jelas, sikap mereka tidak mau tunduk, tidak mau membantu pemerintah penjajah. Seperti perkumpulan para pendekar lain, mereka semua menanti datangnya saat yang tepat di mana rakyat mendapat pimpinan seorang yang tangguh untuk memberontak.

   Kalau rakyat sudah memberontak, pasti Bu-Tong-Pai akan membantu sepenuhnya. Hanya dengan adanya pasukan rakyat yang besar jumlahnya mereka akan dapat dan berani menentang Kerajaan Mongol secara terang-terangan. Kini, para pimpinan Bu-Tong-Pai hanya menganjurkan para murid untuk berlatih dengan tekun. Malam itu cuaca gelap. Langit tertutup mendung hitam tebal sehingga bulan yang mestinya muncul sepotong dan beberapa buah bintang sama sekali tidak tampak dan tidak dapat memberi penerangan karena sinar mereka yang lemah tidak mampu menembus mendung tebal. Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali, melompati dinding tembok yang mengelilingi markas Bu-Tong-Pai itu bagaikan seekor burung terbang saja. Pakaian orang itu serba hitam sehingga kalau dia tidak bergerak, sukar untuk dapat melihatnya.

   Tubuhnya sedang saja, tampak agak besar dalam pakaian yang longgar itu, pakaian yang bentuknya seperti jubah Pendeta, sederhana sekali. Sukar untuk dapat melihat wajahnya di kegelapan itu, hanya dapat diduga bahwa kepalanya gundul. Agaknya dia mengenal betul daerah itu karena tanpa ragu dia berkelebat dan menyelinap di antara pohon-pohon dan semak dalam kebun, lalu menghampiri bangunan induk yang juga menjadi Kuil. Di Kuil atau bangunan induk ini selain terdapat ruang sembahyang, juga menjadi tempat tinggal para pimpinan Bu-Tong-Pai, yaitu Tiong Li Seng-jin yang malam itu sudah bersamadhi dalam kamarnya, Tiong Hak Tosu yang rebah di atas pembaringan dalam kamarnya, dan Bu-Tong Sam-Lo, tiga orang Tosu itu yang masih duduk bercakap-cakap dalam kamar bersama mereka yang besar.

   "Jin-Sute dan Sim-Sute, malam ini aku ingin sekali mempelajari dan membahas tentang pelajaran dari Guru Agung kita Lo-Cu (Lao Ce) yang tersusun dalam Kitab Suci kita To-Tik-Keng (Tao-Te-Cing)."

   Kata Tiong Gi Tosu kepada dua orang Adik seperguruannya, yaitu Tiong Jin Tosu dan Tiong Sim Tosu. Mereka bertiga duduk mengelilingi sebuah meja bundar dan masing-masing memegang sebuah kitab To-Tik-Keng.

   "Gi-Suheng, puluhan tahun kita sudah membaca kitab Suci kita ini, dan dahulu mendiang Suhu sudah menjelaskan. Memang ayat-ayat dalam kitab Suci kita ini amat sukar dipahami, namun bukankah kita pernah mendapat bimbingan mendiang Suhu untuk mengerti akan isinya dan artinya?"

   Kata Tiong Jin Tosu.

   "Benar, Jin-Sute, akan tetapi ayat-ayat itu tidak tepat kalau hanya ditafsirkan menurut pendapat seorang dua orang saja. Maknanya terlalu dalam dan perlu bagi kita untuk sering membacanya dan mencoba untuk menelaah arti isinya."

   Kata pula Tiong Gi Tosu.

   "Jin-Suheng, kurasa Gi-Suheng benar. Nah, marilah kita mulai menelaahnya, setiap kali cukup satu ayat saja. Gi-Suheng, ayat manakah yang ingin kau bahas dan bicarakan dengan kami?"

   Kata Tiong Sim Tosu.

   "Malam ini aku ingin agar kita bertiga membahas dan menafsirkan bunyi ayat ke tujuh. Mari kita baca, begini bunyinya :

   "Langit dan Bumi itu abadi, karena mereka tidak hidup untuk diri sendiri maka Langit dan Bumi itu abadi. Inilah sebabnya orang budiman meniadakan keakuannya oleh karena itu dirinya penuh manfaat. Karena dia tidak diperbudak keinginan-keinginannya maka pribadinya dapat disempurnakan."

   "Wah, ayat ini mengandung makna yang amat dalam, Gin-Suheng. Coba Suheng katakan bagaimana menurut perkiraan Suheng."

   Kata Tiong Jin Tosu.

   "Siancai...!"

   Tiong Gi Tosu berdoa sambil merangkap kedua tangan depan dada, lalu memandang kedua orang Adik seperguruannya sambil tersenyum.

   "Kalau menurut perkiraanku yang masih bodoh, Langit dan Bumi serta sekalian isinya, mereka semua itu ada manfaatnya. Hanya manusia yang selalu mementingkan diri sendiri banyak yang tidak ada manfaatnya, tidak ada gunanya bahkan merusak lingkungannya, merusak sesama manusia, merusak alam. Lihat saja segala macam binatang, bahkan segala macam tumbuh-tumbuhan, segala mahluk yang bergerak maupun yang tidak bergerak, mereka semua itu ada manfaatnya bagi orang atau mahluk lain. Setiap batang pohon yang tidak bergerak, tidak mempunyai keinginan demi diri sendiri sehingga seluruh keadaan dirinya berguna sekali bagi mahluk lain. Pertumbuhannya memberi kesejukan, kesegaran dan kesuburan tanah, daun-daunnya memberi makanan kepada binatang, bunga-bunganya memberi keindahan kepada pandang mata manusia, buah-buahnya juga memberi makanan kepada manusia, bahkan setelah tua dan mati sekalipun, kayunya masih dapat dimanfaatkan manusia. Bahkan rumput saja keadaan hidupnya bermanfaat bagi mahluk lain. Apalagi binatang-binatang yang memberi makanan penahan hidup bagi manusia. Apapun juga yang berada di alam mayapada ini, semua tanpa mementingkan diri sendiri bermanfaat bagi mahluk lain. Inilah pelajaran yang terkandung dalam ayat ini agar manusia merasa malu melihat diri sendiri yang selalu hanya mengejar untuk memenuhi keinginan sendiri sehingga bukan saja tidak ada manfaatnya bagi orang atau mahluk lain, bahkan sepak-terjangnya menimbulkan kerusakan dan kebinasaan. Berbahagialah orang yang tidak mementingkan dirinya sendiri karena dengan demikian dia pun menjadi seorang manusia, seorang mahluk yang keadaan hidupnya bermanfaat bagi Langit dan Bumi serta sekalian isinya."

   "Siancai!"

   Kata Tiong Jin Tosu.

   "Alangkah indahnya apa yang engkau katakan tadi, Suheng. Aku makin menyadari bahwa meniadakan keakuan, tidak mementingkan diri sendiri berarti hidup yang wajar sesuai dengan Hukum Alam yang ditentukan oleh TUHAN Maha Pencipta. Bahkan daun-daun yang membusuk saja masih bermanfaat untuk menjadi pupuk menyuburkan tanah."

   "Siancai!"

   Kata Tiong Sim Tosu.

   "Setiap bintang di langit mempunyai kegunaan, setiap tetes air mengandung penyegaran, setiap hembusan udara memberi kehidupan. Apapun juga, yang tampak maupun yang tidak tampak, hidup sesuai dengan To (Kekuasaan TUHAN), kosong dari keinginan nafsu daya rendah, maka bermanfaat keadaan hidupnya! Akan tetapi manusia? Hidup tidak menurut To, melainkan menuruti keinginan nafsu daya rendah mengejar kesenangan jasmani, karena itu seringkali berlawanan dengan To dan meninggalkan kerusakan dan kesengsaraan di dunia."

   Tiba-tiba tiga orang Tosu itu terkejut mendengar suara gaduh dari arah belakang. Sebagal ahli-ahli silat, mereka dapat menangkap suara tak wajar dan tanpa dikomando mereka bertiga seperti berlumba berlompatan keluar dari kamar mereka menuju ke belakang ke arah ruangan perpustakaan karena dari sanalah datangnya suara ribut yang mereka dengar sebagai suara orang-orang berkelahi.

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   Ketika mereka tiba di ruangan perpustakaan yang luas dan remang-remang itu, mereka melihat lima orang murid Bu-Tong-Pai sudah menggeletak di atas lantai dan ada lima orang murid lain sedang mengeroyok seorang laki-laki berkepala gundul dan berjubah hitam yang amat lihai. Biarpun lima orang murid itu semua menggunakan pedang atau golok, dan laki-laki itu bertangan kosong, namun mereka berlima malah terdesak. Gerakan laki-laki itu seperti seekor burung garuda menyambar-nyambar dan dua orang murid lagi terpelanting roboh. Melihat ini, Tiong Gi Tosu yang maklum bahwa kalau dilanjutkan, murid yang lain pasti akan roboh juga, berteriak.

   "Kalian mundurlah, biar kami yang menghadapinya!"

   Tiga orang murid Bu-Tong-Pai yang mendengar teriakan ini, segera mundur. Akan tetapi laki-laki gundul yang hanya tampak bayangannya saja karena cuaca di situ hanya remang-remang, tiba-tiba melompat keluar dari jendela dan menghilang.

   "Manusia jahat, hendak bari ke mana kau?"

   Bu-Tong Sam-Lo cepat melompat mengejarnya. Mendengar ribut-ribut itu, belasan orang murid memasuki ruangan itu dan ada yang menyalakan lampu. Mereka terkejut melihat enam orang murid telah menggeletak tewas dan seorang lagi luka berat.

   Mereka segera menolong dan sebagian lagi ikut melakukan pengejaran. Bayangan hitam berkepala gundul itu bagaikan seekor burung saja ringan dan cepatnya, telah melompat ke atas genteng. Bu-Tong Sam-Lo mengejar. Ketika mereka tiba di genteng, bayangan hitam itu telah berdiri di wuwungan sambil bertolak pinggang. Di atas wuwungan masih dapat dicapai sinar lampu-lampu penerangan dari bawah sehingga biarpun Bu-Tong Sam-Lo tidak dapat melihat wajah orang itu, namun mereka dapat melihat bayangan hitam itu. Karena tadi ketika mengejar keluar dari kamar mereka, Bu-Tong Sam-Lo tergesa-gesa, maka mereka tidak membawa senjata mereka. Juga tiga orang tokoh Bu-Tong-Pai ini bukanlah orang-orang yang mudah di pengaruhi perasaan, sehingga biarpun tadi mereka melihat tujuh orang murid mereka dirobohkan bayangan ini, mereka masih dapat bersikap sabar.

   "Hei! Siapakah engkau dan mengapa engkau begitu kejam membunuh murid-murid Bu-Tong-Pai?"

   Tiong Gi Tosu membentak setelah mereka bertiga berhadapan dengan bayangan itu, dalam jarak tiga tombak. Bayangan hitam berkepala gundul itu tertawa. Suara tawanya tidak wajar, dan ketika dia bicara, suaranya juga seperti suara orang yang mulutnya terganjal sesuatu.

   "He-he-he, Bu-Tong Sam-Lo. Kalian mengejar, berarti kalian mencari kematian!"

   Setelah berkata demikian, bayangan itu terkekeh lagi. Tiong Sim Tosu, yang termuda di antara Bu-Tong Sam-Lo, tak mampu menahan kesabarannya lagi.

   "Jahanam, engkau harus mempertanggung-jawabkan kekejamanmu!"

   Langsung dia menerjang ke arah bayangan itu sambil menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah dada orang itu.

   "Omitohud...!"

   Bayangan hitam i tu menangkis dengan memutar lengannya dari samping.

   "Wuuuttt... dukkkk!!"

   Tubuh Tiong Tosu terpelanting, dan sebelum dia dapat mengembalikan keseimbangannya, bayangan hitam itu sudah menyerangnya dengan tendangan yang menyambar tinggi ke arah muka Tiong Sim Tosu. Hebat sekali tendangan itu dan sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, Bu-Tong Sam-Lo mengenal tendangan gaya ini. Tendangan ini hanya dapat dilakukan seorang tokoh Siauw-Lim-Pai aliran Utara! Tiong Gi Tosu melompat dan dialah yang menolong Sutenya dengan menangkis tendangan itu.

   "Bresss...!"

   Lengan Tiong Gi Tosu terasa nyeri dan dia pun terdorong ke belakang.

   "Engkau... dari Siauw-Lim-Pai...?"

   Tanya Tiong Gi Tosu dengan terkejut dan juga terheran-heran. Sulit untuk dipercaya bahwa Siauw-Lim-Pai memusuhi Bu-Tong-Pai yang masih merupakan satu sumber. Memang, bayangan gundul ini agaknya seorang Hwesio (Pendeta Buddha), akan tetapi bukan semua Hwesio orang Siauw-Lim-Pai. Akan tetapi tendangan tadi itu! Jelas merupakan ilmu tendang Siauw-Cu-Twi dari Siauw-Lim-Pai! Bu-Tong Sam-Lo yang maklum mereka menghadapi seorang yang amat lihai yang menggunakan ilmu-ilmu Siauw-Lim-Pai dengan serangan maut untuk membunuh, segera maju mengeroyok sambil mengerahkan seluruh sinkang (tenaga sakti) mereka. Pertempuran itu seru bukan main.

   Tingkat kepandaian Bu-Tong Sam-Lo sudah mencapai tingkat tiga dalam jajaran para pimpinan Bu-Tong-Pai, apalagi mereka maju bertiga, maka tentu saja mereka itu amat kuat. Namun, lawan mereka itu ternyata sakti bukan main, mampu mengimbangi kecepatah gerakan mereka, bahkan jelas bahwa dia memiliki tenaga sakti yang lebih kuat daripada tiga tokoh Bu-Tong-Pai itu! Berkelahi di tempat gelap dan di atas wuwungan yang tidak rata dan licin, membutuhkan kepandaian tinggi. Mereka harus memiliki kepekaan yang istimewa, baik pada mata, telinga dan perasaan mereka. Sedikit saja terpeleset atau tersandung, tentu akan berakibat gawat. Belasan orang murid Bu-Tong-Pai yang sudah naik pula ke wuwungan, hanya menonton karena mereka maklum bahwa kalau mereka membantu, sama dengan membunuh diri.

   Juga bantuan mereka itu mungkin bahkan akan mengacaukan gerakan tiga orang Guru mereka yang mengeroyok Si Bayangan Hitam. Ditambah lagi, mereka bukan hanya menerima gemblengan ilmu silat, akan tetapi terutama sekali gemblengan batin sehingga mereka memiliki watak pendekar yang merasa malu untuk mengandalkan jumlah banyak mengeroyok lawan. Kini, Bu-Tong Sam-Lo mulai memainkan Thai-Kek-Sin-Kun dan ilmu silat yang tampaknya lemah dan lentur ini sesungguhnya mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Menggunakan kelenturan melawan kekerasan, mengandalkan kelemahan meminjam tenaga kuat melawan, itulah inti ilmu silat ini. Mereka bertiga menggunakan ilmu silat ini dapat saling menunjang, saling melindungi dan menghadapi tiga tokoh Bu-Tong-Pai yang menggunakan ilmu silat istimewa ini, bayangan hitam itu menjadi kewalahan juga.

   Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan pekik yang melengking, tubuhnya bergerak secepat kilat. Pekik melengking itu seolah mengguncang jantung Bu-Tong Sam-Lo karena pekik itu mengandung sinkang yang amat kuat, menggetar dan penuh wibawa, membuat mereka agak terhuyung. Dalam keadaan ini, Si Bayangan Hitam bergerak cepat sudah menyerang dengan ilmu menotok yang khas dari aliran Siauw-Lim-Pai, yaitu Toat-Beng Tiam-Hiat-Hoat (Totok Jalan Darah Pencabut Nyawa). Terdengar tiga orang tokoh Bu-Tong-Pai itu mengeluh dan mereka pun roboh dari atas wuwungan, menggelinding di atas genteng menuju ke bawah. Para murid Bu-Tong-Pai yang berada di situ cepat berlari dan menangkap tubuh tiga orang Guru mereka yang terancam jatuh ke bawah.

   "He-he-he, begini saja kepandaian orang Bu-Tong-Pai!"

   Si Bayangan Hitam itu berkelebat dan lenyap ditelan kegelapan. Akan tetapi tiba-tiba dia berhadapan dengan seorang Tosu tinggi besar yang mukanya penuh brewok. Tiong Hak Tosu, wakil Ketua Bu-Tong-Pai telah menghadangnya dengan golok besar di tangan. Senjata ini adalah andalan Tiong Hak Tosu dan telah mengangkat namanya selama puluhan tahun.

   "Berhenti! Menyerah atau mati!"

   Bentak Tiong Hak Tosu sambil melintangkan pedangnya. Akan tetapi bayangan hitam itu malah menerjangnya dengan totokan yang amat lihai dan yang telah merobohkan Bu-Tong Sam-Lo tadi. Melihat serangan dahsyat ini, Tiong Hak Tosu cepat mengelebatkan golok menangkis.

   "Trikkk!"

   Tiong Hak Tosu terkejut karena goloknya yang bertemu dengan jari tangan orang itu terpental dan tangannya yang memegang gagang goloknya tergetar hebat dan ada hawa dingin yang menjalar ke tangannya itu. Cepat dia mengerahkan lweekang (tenaga dalam) untuk menolak desakan hawa dingin itu.

   "Toat-Beng Tiam-Hiat-Hoat!"

   Serunya kaget dan heran, lalu dia cepat siap siaga untuk melawan Si Bayangan Hitam yang amat lihai itu. Akan tetapi bayangan hitam itu agaknya juga maklum bahwa kini dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh, maka dia melompat dan lenyap dalam kegelapan. Tiong Hak Tosu di dalam cuaca yang demikian gelapnya, tidak berani melakukan pengejaran dan dia cepat berlari sambil kembali ke Kuil untuk melihat keadaan para murid Bu-Tong-Pai. Bu-Tong-Pai geger! Bu-Tong Sam-Lo ternyata tewas, juga lima orang murid tewas dan seorang terluka berat oleh Si Bayangan Hawn berkepala gundul yang tidak tampak jelas mukanya karena cuaca gelap itu. Tiong Hak Tosu bahkan tidak merasa sungkan untuk mengganggu Suhengnya, Tiong Li Seng-jin, dari samadhinya dan melaporkan peristiwa hebat itu.

   Berkat kepandaian Tiong Li Seng-jin dalam ilmu pengobatan, dia berhasil menyelamatkan murid yang terluka dalam peristiwa tadi. Setelah keadaannya pulih dan kuat kembali, murid itu menceritakan betapa dia dan empat orang saudaranya bertugas menjaga ruangan perpustakaan malam itu, tiba-tiba ada bayangan hitam berkelebat memasuki ruangan perpustakaan. Menduga bahwa bayangan itu tentu seorang yang hendak mencuri kitab Bu-Tong-Pai, lima orang itu lalu mengepung dan hendak menangkapnya. Akan tetapi bayangan itu lihai bukan main. Sebentar saja mereka berlima terpelanting, terkena serangannya yang dahsyat. Juga lima orang murid lain yang datang karena mendengar suara gaduh, bukan lawan Si Bayangan Hitam. Sebentar saja dua orang di antara mereka roboh dan pada saat itu muncul Bu-Tong Sam-Lo yang melakukan pengejaran terhadap bayangan hitam yang melarikan diri.

   "Siancai...! Setelah kami memeriksa, tidak sebuah pun kitab yang dicuri. Agaknya orang itu sengaja datang untuk mengacau dan melakukan pembunuhan."

   

Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini