Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 16


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 16



"Tanggg...!"

   Perut orang-orangan itu terpukul dan arca itu terpental ke belakang lalu lenyap kembali ke dalam dinding. Han Lin melompat bangun dengan sigapnya sambil memperhatikan ke sekelilingnya. Dia melangkah terus dan lorong itu membelok ke kiri. Ketika dia melangkah, tiba-tiba saja sebuah arca besi yang tinggi besar menubruknya dan menyerangnya dengan gerakan silat yang amat cepat dan kuat! Tangan kiri arca itu mencengkeram ke arah kepalanya dan tangan kanannya menjotos ke arah perut. Han Lin cepat menggerakkan kedua tangan menangkis. Akan tetapi begitu ditangkis, arca itu merendahkan diri dan tiba-tiba kakinya mencuat dengan tendangan maut yang amat kuat.

   "Haiiitt!"

   Han Lin berseru, mengelak dan menggeser kaki lalu menggunakan tangan kiri yang dimiringkan membacok ke arah kaki yang menendang itu. Karena dia mengerahkan sinkang, kalau yang dia bacok dengan tangan miring itu kaki manusia, tentu tulang kakinya akan remuk.

   "Tanggg!!"

   Kaki itu terpental akan tetapi tidak rusak. Orang-orangan itu terus menyerangnya dengan gerakan Ilmu Silat Naga. Han Lin mengenal ilmu silat ini, maka dia dapat melayaninya dengan baik, bahkan beberapa kali sempat memukul tubuh orang-orangan itu. Kemudian arca besi itu mengubah ilmu silatnya, menjadi ilmu Silat Harimau, lalu berubah-ubah sehingga Ilmu Silat Panca Hewan dia mainkan semua. Namun Han Lin yang sudah hafal akan semua ilmu silat ini, dapat melawan dengan baik sehingga akhirnya sebuah tendangannya dengan gaya tendangan terbang mengenai muka arca besi itu sehingga arca besi terlempar menabrak dinding, mengeluarkan suara berkerontangan dan lenyap kembali ke dalam dinding! Ketika Han Lin maju terus, dia harus menghadapi pengeroyokan dua orang-orangan besi yang menyerangnya dengan menggunakan pedang.

   Serangan mereka itu bersungguh-sungguh, merupakan serangan maut dan bukan hanya gerakan ngawur, melainkan gerakan ilmu silat pedang Siauw-Lim-Pai yang amat cepat dan kuat. Namun, Han Lin segera mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh), berkelebatan di antara sambaran pedang, kemudian dengan pengerahan tenaga sakti yang amat kuat dia mendorong dua arca besi itu sehingga keduanya terdorong menabrak dinding dan lenyap kembali. Baru saja dua arca berpedang itu lenyap, muncul tiga arca yang bergolok dan kembali dia menghadapi pengeroyokan dengan ilmu golok yang amat berbahaya. Namun Han Lin mempercepat gerakannya dan dia berhasil merampas tiga golok mereka, menendangi arca itu sehingga mereka juga menghilang ke dalam dinding.

   Lalu muncullah empat area besi yang bersenjata toya. Barisan empat buah arca ini ternyata paling lihai dan berbahaya. Ilmu toya dari Siauw-Lim-Pai terkenal di seluruh dunia sebagai ilmu yang amat tangguh. Namun karena Han Lin sudah mengenal baik ilmu toya Siauw-Lim-Pai, ketika dia dikeroyok empat dan diserang, dia tidaklah amat kerepotan. Tubuhnya yang dapat bergerak amat lincahnya itu berkelebatan menghindar sambaran empat batang toya. Yang amat mengagumkan adalah karena pemuda ini sama sekali tidak menggunakan senjata untuk membela diri. Cukup dengan kedua kaki tangannya saja dia mampu menangkis, bahkan membalas dengan tidak kalah dahsyatnya. Beberapa kali empat arca besi itu terpental dan terhuyung.

   Kemudian, setelah dapat membuat mereka terpental ke kanan kiri menabrak dinding, dia menerobos lewat. Dia melihat pintu di ujung sana dalam keadaan terbuka. Hatinya merasa lega karena ternyata empat buah arca besi bertoya ini agaknya merupakan ujian terakhir. Setelah berhasil menerobos lewat tanpa terbuka sedikit pun, dia melompat ke depan dan... tiba-tiba kedua kakinya terjeblos ke dalam sebuah lubang yang tiba-tiba saja terbuka di lantai! Han Lin tidak kehilangan ketenangan dan kewaspadaannya. Begitu tubuhnya bagian bawah terjerumus ke dalam lubang, cepat kedua tangannya dipentang dan begitu kedua telapak tangannya menyentuh lantai di tepi lubang, dia mengerahkan tenaga bertumpu pada kedua telapak tangannya dan tubuhnya sudah melayang ke atas, lalu dia membuat poksai (salto) meluncur keluar dari pintu lorong ruangan itu!

   Namun, ternyata dia belum keluar dari ruangan karena di balik pintu lorong itu terdapat sebuah ruangan yang luas dan terang, dan di sana telah berdiri menghadang lima orang Hwesio yang semua memegang masing-masing sebatang toya besi! Dan di jubah bagian dada lima orang Hwesio itu masing-masing terdapat huruf KIM, BHOK, SUI, HO, dan THOU! Tahu lah dia bahwa mereka adalah apa yang disebut Ngo-Heng-Tin (Pasukan Lima Unsur). Akan tetapi ketika dia mengamati penuh perhatian, mereka berlima itu ternyata bukan manusia, melainkan lima buah arca Hwesio yang buatannya sedemikian halusnya sehingga mirip benar dengan manusia hidup! Han Lin tersenyum dan menggelengkan kepala kagum,

   "Bukan main! Para Hwesio Siauw-Lim-Pai sungguh pandai sekali! Pandai ilmu silat, pandai ilmu agama, pandai pula seni membuat patung, juga ahli alat-alat rahasia. Sungguh pantas disebut sebagai pusat dan sumber semua ilmu silat! Kalau Ngo-Heng-Tin palsu ini merupakan ujian terakhir, aku harus menundukkannya!"

   Setelah berkata demikian, dia melangkah maju. Tiba-tiba terdengar suara "klik"

   Dan lima arca Ngo-Heng-Tin itu serentak menyerangnya! Diam-diam Han Lin terkejut juga. Gerakan lima arca Ngo-Heng-Tin itu sama sekall tidak kaku sepertI gerakan arca-arca yang tadi menyerang dan mengeroyoknya!

   Para arca tadi, kalau menyerang dan dapat dia elakkan atau tangkis, otomatis arca itu mundur. Akan tetapi lima arca Ngo-Heng-Tin ini sama sekali tidak mundur. Setiap kali gagal menyerang, lalu melanjutkan dengan serangan lain dan semua serangan itu merupakan gerakan jurus silat amat baik, silat Ngo-Heng Sin-Kun yang aseli. Mereka itu seolah benar-benar hidup, dapat berpikir dan menggunakan akal! Han Lin terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga saktinya dan mengeluarkan semua ilmunya karena pengeroyokan Ngo-Heng-Tin palsu itu benar-benar hebat dan berbahaya. Dan semua itu dia hadapi dengan tangan kosong belaka! Padahal, setiap orang murid tertinggi Siauw-Lim-Pai yang melewati ujian ini, selalu menggunakan senjata andalannya yang boleh dia pilih. Itu pun jarang ada murid yang mampu lulus tanpa menderita luka.

   Han Lin mengimbangi serangan Ngo-Heng-Tin dengan jurus-jurus yang sama, bahkan jurus-jurus Ngo-Heng-Tin pilihan telah berubah ketika dia mainkan, bercampur dengan aliran ilmu silat lain yang membuat gerakannya menjadi ampuh sekali. Sementara itu, sejak tadi Ho Hwesio dan Lian Hong mengawasi gerak-gerik Han Lin dari luar ruangan, melalui lubang-lubang yang memang diadakan untuk dipergunakan para pelatih mengamati kemajuan murid yang diuji. Lian Hong terkejut, heran dan kagum bukan main melihat betapa Han Lin mampu lolos dari serangan para boneka besi itu tanpa lecet sedikit pun. Sementara itu, begitu melihat betapa Han Lin mampu melawan Ngo-Heng-Tin palsu dengan baik dan sama sekali tidak terdesak, lalu cepat memanggil para saudaranya sehingga kini kelima Hwesio anggauta Ngo-Heng-Tin sudah berkumpul di situ.

   Karena ingin segera dapat bertemu dengan Bu Kek Tianglo, setelah bertanding melawan Ngo-Heng-Tin tiruan itu selama empat puluh jurus, tiba-tiba Han Lin mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring dan begitu kedua tangannya mendorong dengan tenaga sakti yang amat kuat dengan merangkap kedua tangan seperti menyembah, dari depan dada lalu diluncurkan ke depan, lima buah patung besi yang membentuk Ngo-Heng-Tin itu berpelantingan dan roboh, tak mampu bangkit kembali, agaknya rusak alat di sebelah dalam patung yang membuat mereka dapat bergerak! Kim Hwesio, Bhok Hwesio, Sui Hwesio, Ho Hwesio dan Thou Hwesio kini berlompatan ke depan Han Lin dengan toya di tangan. Sikap mereka berwibawa dan mengancam.

   "Omitohud! Engkau merusak. Ngo-Heng-Tin tiruan kami! Sekarang hadapilah Ngo-Heng-Tin yang aseli!"

   Bentak Kim Hwesio marah. Lalu kelima orang Hwesio itu sudah mengepung dan siap menyerang. Han Lin juga bersikap waspada karena maklum bahwa Ngo-Heng-Tin yang aseli ini tentu jauh lebih lihai daripada Ngo-Heng-Tin dari boneka-boneka besi tadi. Dia melihat pula munculnya tidak kurang dari dua puluh orang laki-laki berjubah Pendeta berkepala gundul, yaitu Hwesio-Hwesio dan di belakang mereka masih ada pula puluhan orang yang melihat sikap mereka tentulah ahli-ahli silat murid Siauw-Lim-Pai. Mereka semua itu agaknya siap siaga dan mengepung dari jauh. Namun Han Lin tidak gentar dan tetap bersikap tenang. Akan tetapi sebelum Ngo-Heng-Tin bergerak, terdengar seruan lembut.

   "Omitohud...! Ngo-Heng Sute, jangan berkelahi. Mundurlah, biarkan Pinceng mengurus pemuda ini!"

   Ngo-Heng-Tin mendengar suara Ceng Seng Hwesio, segera mundur. Juga Lian Hong dan Coan Sim Hwesio yang sudah berada pula di situ, mundur menjauh. Coan Sim Hwesio memberi isyarat dengan tangannya kepada para murid Siauw-Lim-Pai dan mereka semua segera menjauhkan diri sehingga tidak ada kesan hendak mengeroyok pemuda itu. Kini Ceng Seng Hwesio berhadapan dengan Han Lin. Ceng Seng Hwesio adalah murid tertua Bu Kek Tianglo dan dia pun dapat dibilang sebagai wakil Sang Ketua. Tentu saja Hwesio yang usianya sudah lima puluh tahun lebih ini memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi.

   "Omitohud! Orang muda, engkau tadi merobohkan boneka-boneka besi Ngo-Heng-Tin dengan pukulan Tat-Mo Sin-Kun! Siapakah sesungguhnya engkau dan mengapa engkau datang mengacau di Siauw-Lim-Pai?"

   Han Lin memandang Hwesio itu dengan alis berkerut dan sepasang matanya bersinar tajam penuh selidik, mulutnya tersenyum, lalu dia berkata lembut.

   "Kalau aku tidak salah sangka, engkau tentulah yang bernama Ceng Seng Hwesio, bukan?"

   "Omitohud, agaknya engkau mengenal kami dan ilmu-ilmu Siauw-Lim-Pai! Siapa engkau dan mengapa engkau mengacau di sini?"

   "Maaf, aku sama sekali tidak berniat membuat kekacauan. Aku bernama Si Han Lin dan aku hanya ingin menghadap, berjumpa dan bicara dengan Bu Kek Tianglo. Akan tetapi para murid Siauw-Lim-Pai menentangku dan memaksa aku melewati Ngo-Heng-Thia."

   "Hemm, Si Han Lin, semua murid Siauw-Lim-Pai menghormati Suhu Bu Kek Tianglo. Kami semua tidak berani mengganggu ketenangan beliau yang sedang bersamadhi. Kalau engkau mempunyai urusan untuk dibicarakan dengan Siauw-Lim-Pai, bicaralah kepada Pinceng. Semua urusan Siauw-Lim-Pai cukup dapat diurus oleh Pinceng sebagai wakil Suhu Bu Kek Tianglo!"

   Han Lin menggelengkan kepala.

   "Tidak bisa, Ceng Seng Hwesio. Aku harus bertemu dan bicara sendiri dengan Bu Kek Tianglo, tidak dengan orang lain."

   Berkerut sepasang alis tebal Ceng Seng Hwesio.

   "Orang muda, agaknya setelah mampu lolos dari Ngo-Heng-Thia dan merobohkan lima boneka Ngo-Heng-Tin, engkau merasa bahwa di dunia ini engkau orang yang paling lihai. Orang muda, sadarlah bahwa ketinggian hatimu tidak akan membawamu ke tempat yang membahagiakan, sebaliknya akan meruntuhkanmu. Untuk yang terakhir kalinya, Pinceng nasihatkan agar engkau segera meninggalkan tempat ini dan jangan ganggu lagi Siauw-Lim-Pai."

   "Aku tidak mengganggu siapa-siapa, aku hanya ingin bertemu dengan Bu Kek Tianglo, itu saja!"

   "Engkau sungguh keras hati, Si Han Lin. Tadi Pinceng melihat engkau mempergunakan jurus Tat-Mo Sin-Kun. Sebelum kita lanjutkan pembicaraan tentang engkau hendak menghadap Suhu Bu Kek Tianglo, Coba sambutlah dulu jurus Tat-Mo Sin-Kun dari Pinceng ini!"

   Setelah berkata demikian Ceng Seng Hwesio merangkap kedua tangan ke depan dada seperti menyembah, siap untuk melancarkan serangan.

   "Siancai...! Kalau itu yang engkau kehendaki, silakan, Ceng Seng Hwesio. Aku akan mencoba untuk menyambutnya..."

   Setelah berkata demikian, Han Lin juga merangkap kedua tangan dalam bentuk sembah di depan dada.

   "Haiiiikkk...!"

   Ceng Seng Hwesio kini mendorongkan kedua tangan itu ke arah Han Lin. Pemuda itu pun menyambut dengan dorongan kedua tangannya yang tadi membentuk sembah.

   "Wuuuuttt... tassss...!"

   Dua tenaga sakti yang amat kuat bertemu. Tubuh Han Lin tidak terguncang, akan tetapi kedua kakinya masuk ke dalam lantai berbatu itu sampai ke mata kaki, sedangkan tubuh Ceng Seng Hwesio terdorong mundur sampai tiga langkah! Ceng Seng Hwesio membelalakkan matanya. Kalau dia tidak mengalami sendiri, tentu dia tidak mau percaya! Ilmu Tat-Mo Sin-Kun adalah ilmu pusaka Siauw-Lim-Pai yang hanya diajarkan kepada murid Siauw-Lim-Pai tingkat tertinggi. Ilmu silat Tat-Mo Sin-Kun ini adalah gerakan-gerakan yang memuja dan menyembah Sang Buddha secara sederhana sekali, akan tetapi di dalamnya terkandung tenaga I-Kin-Keng yang amat sakti.

   Di dalam dunia ini, tidak ada lagi manusia yang menguasai Tat-Mo Sin-Kun secara sepenuhnya atau sempurna. Hanya Bu Kek Tianglo seorang, Guru besar Siauw-Lim-Pai, yang pada waktu itu menguasai Tat-Mo Sin-Kun dengan tenaga I-Kin-Keng yang mencapai tingkat sembilan bagian! Dia sendiri, sebagai murid tertua dari Bu Kek Tianglo, hanya memiliki empat bagian saja. Namun, empat bagian itu sudah amat hebat dan tidak banyak ilmu aliran perguruan lain yang akan mampu menandinginya. Akan tetapi, tadi jelas terbukti bahwa pemuda yang juga menggunakan Tat-Mo Sin-Kun itu memiliki tenaga yang lebih kuat daripada dia, berarti tingkat pemuda itu sedikitnya ada lima atau enam bagian! Bagaimana mungkin hal ini terjadi?

   "Si Han Lin, masih ada hubungan apakah engkau dengan Suhu Bu Kek Tianglo?"

   Tanya Ceng Seng Hwesio heran. Si Han Lin tersenyum.

   "Bu Kek Tianglo adalah Supekku (Uwa Guruku) dan aku ingin menghadap kepada Supek untuk urusan pribadi yang tidak dapat kuceritakan kepada orang lain."

   Ceng Seng Hwesio terbelalak.

   "Supek mu...? Hemm, Suhu Bu Kek Tianglo sudah tidak mempunyai Adik seperguruan lagi, mereka telah meninggal dunia..."

   "Masih ada seorang."

   Kata Han Lin.

   "Ahh... tapi... tapi Sutenya (Adik Seperguruannya) itu... sudah bukan Sutenya lagi, sudah melepaskan diri dari Siauw-Lim-Pai, bahkan sudah beralih agama, kalau tidak salah menjadi seorang Tosu..."

   Han Lin mengangguk.

   "Beliau itulah Suhuku."

   Katanya sederhana.

   "Omitohud..."

   Seru Ceng Seng Hwesio sambil mengerutkan alisnya.

   "Jadi Thian Beng Siansu itu Gurumu? Pantas engkau begini tidak mengenal aturan! Kiranya Gurumu seorang yang meninggalkan agama kami dan menyeleweng, menjadi pemeluk Agama To yang menyimpang dari jalan kebenaran!"

   Si Han Lin tertawa dan suara tawanya aneh seperti orang yang geli mendengar sesuatu yang lucu. Ong Lian Hong mengerutkan alisnya mendengar suara tawa ini. Tadinya ia memang sudah marah kepada Han Lin, bahkan menangkap dan mengikatnya. Lalu muncul Ho Hwesio yang menyuruh pemuda itu melewati lorong Ngo-Heng-Thia yang membuat ia kagum kepada pemuda itu. Kini mendengar pemuda itu seolah menertawakan Ceng Seng Hwesio, Suheng yang dihormatinya, ia menjadi marah lagi.

   "Hei, kamu cengengesan, memangnya kamu badut? Apa yang kamu tertawakan!"

   Bentaknya sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah hidung Han Lin.

   "Aku tertawa mendengar ucapan Ceng Seng Hwesio yang aneh itu. Semua agama di dunia ini mengajarkan dan menuntun manusia agar menjauhi kejahatan dan menjadi baik wataknya. Tidak ada agama yang mengajarkan agar orang menjadi jahat. Mencela dan menjelek-jelekkan agama lain jelas merupakan sikap yang tidak patut dan orang yang melakukannya berarti tidak menaati pelajaran agamanya karena aku yakin bahwa dalam semua agama terdapat pelajaran yang melarang manusia merasa benar dan Suci sendiri. mencela dan menjelek-jelekkan orang beragama lain. Tidak ada agama yang saling memburukkan, maka kalau ada orang saling memburukkan agama orang lain, jelas dia itu menyalahi pelajaran agamanya!"

   Wajah Ceng Seng Hwesio berubah merah sekali mendengar ucapan yang mengandung teguran keras padanya itu. Diam-diam dia harus mengakui bahwa hatinya juga dipengaruhi kebencian antara orang-orang beragama lain yang berkecamuk pada waktu itu, terutama sekali semenjak berkuasanya penjajah Mongol. Dan dia pun menyadari bahwa perasaan membenci agama lain ini jelas berlawanan dengan pelajaran agamanya sendiri. Tidak ada dalam pelajaran Agama Buddha yang mencela dan memburukkan agama lain dan baru saja dia kelepasan bicara mengatakan bahwa menjadi pemeluk Agama To berarti tersesat! Dia menghela napas panjang dan berkata kepada Lian Hong.

   "Sudahlah, Sumoi, biarkan Pinceng yang bicara dengan pemuda ini. Si Han Lin, kalau engkau mengaku sebagai murid keponakan Suhu Bu Kek Tianglo, Pinceng hendak bertanya. Apakah engkau menaati Supek mu dan apakah engkau berani mengganggunya?"

   "Aih, tentu saja aku amat menghormati dan taat kepada Supek Bu Kek Tianglo dan tidak berani mengganggunya."

   "Kalau begitu, ketahuilah. Suhu Bu Kek Tianglo sedang berada dalam ruangan samadhi sejak beberapa hari yang lalu dan Suhu memesan agar sebelum lewat tujuh hari beliau jangan diganggu siapa pun. Samadhinya sudah berlangsung lima hari, tinggal dua hari lagi. Setelah lewat besok dan lusa, barulah engkau boleh menghadap Suhu."

   Han Lin mengangguk-angguk.

   "Baiklah kalau begitu aku akan menanti di luar Ruangan Samadhi sampai Supek Bu Kek Tianglo selesai bersamadhi dan dapat menerimaku."

   "Di belakang ruangan samadhi terdapat sebuah kamar yang biasa ditempati murid yang bertugas melayani kalau Suhu sudah selesai bersamadhi. Engkau boleh tinggal dalam kamar itu untuk menanti Suhu."

   Kata Ceng Seng Hwesio. Han Lin menyetujui dan dia lalu diantar ke dalam kamar itu. Sebuah kamar yang kecil namun cukup perlengkapannya dan kamar itu terletak di belakang ruangan samadhi yang tidak boleh diganggu itu. Setelah Si Han Lin tinggal di kamar itu, Ceng Seng Hwesio yang merasa penasaran mengumpulkan para Sute (adik seperguruan) dan beberapa orang muridnya yang sudah memiliki kepandaian yang cukup tangguh. Dia menegur mereka yang dianggapnya lengah sehingga pemuda Si Han Lin itu dapat melewati pagar tembok yang mengelilingi perumahan Siauw-Lim-Si tanpa ada yang mengetahuinya.

   "Masih untung bahwa Si Han Lin itu agaknya tidak berniat jahat terhadap Siauw-Lim-Pai."

   Katanya.

   "Apakah kalian semua sudah lupa akan peristiwa beberapa waktu yang lalu ketika gadis jahat murid Hek Moli itu menyerbu ke sini? Hampir saja kitab pusaka I-Kin-Keng dicurinya. Kita belum mengenal betu! Si Han Lin itu. Kalau dia benar murid Thian Beng Siansu, dia berbahaya sekali. Siapa tahu dia juga mempunyai niat yang tidak baik terhadap kita."

   "Suheng, sebetulnya orang macam apa sih Thian Beng Siansu, Guru Si Han Lin itu?"

   Tanya Lian Hong yang biarpun masih remaja, sudah mereka akui sebagai saudara seperguruan yang pantas diajak berunding karena gadis itu mendapat gemblengan langsung dari Bu Kek Tianglo dan ilmu silatnya sudah mencapai tingkat yang lumayan tingginya. Ceng Seng Hwesio menghela napas panjang.

   "Omitohud! Hal ini memang seolah dirahasiakan oleh Suhu, tidak pernah diceritakan kepada para murid. Hanya murid-murid tua seperti Pinceng dan beberapa orang saudara yang kini tinggal di luar Siauw-Lim-Si yang mengetahui. Dahulu, sekitar tiga puluh tahun yang lalu, Suhu Bu Kek Tianglo mempunyai seorang Sute yang menggunakan nama Thian Beng Hwesio. Biarpun dalam hal ilmu silat tingkat Thian Beng Hwesio sebanding dengan Suhu, namun kalau Suhu berwatak lembut dan bijaksana, sebaliknya watak Susiok (Paman Guru) Thian Beng Siansu itu keras, ugal-ugalan dan agak liar. Maka, seringkali dia menerima teguran dari Suhu. Akhirnya dia meninggalkan Siauw-Lim-Pai dan berita terakhir yang kami dapatkan, Susiok Thian Beng Hwesio itu sudah berganti agama, bahkan menjadi seorang tokoh besar Agama To dan namanya berubah menjadi Thian Beng Siansu. Selama itu dia tidak pernah datang menghubungi Siauw-Lim-Pai dan tahu-tahu hari ini muridnya yang sikapnya juga ugal-ugalan tanpa mengenal aturan itu datang ke sini. Karena itu kita tidak boleh lengah dan diam-diam kita harus mengawasi Si Han Lin itu. Selain itu, mulai sekarang penjagaan harus diperketat agar jangan ada orang luar mampu mencuri masuk."

   Demikianlah, para murid Siauw-Lim-Pai, dipimpin oleh Ceng Seng Hwesio yang dibantu para Sutenya, yaitu kelima Hwesio anggauta Ngo-Heng-Tin dan Coan Sim Hwesio. Juga dikerahkan puluhan orang murid untuk melakukan penjagaan ketat secara bergiliran. Pada keesokan harinya, menjelang senja, seorang murid yang melakukan perondaan di luar perumahan datang berlarian melaporkan kepada Ceng Seng Hwesio.

   "Suhu, dari selatan muncul seorang pemuda yang mencurigakan. Melihat cara dia berjalan cepat, tentu dia seorang ahli silat pandai. Dia sudah tiba sekitar dua li dari sini."

   Mendengar laporan ini, Ceng Seng Hwesio memesan agar para Sute dan murid menjaga dengan waspada.

   Dia sendiri lalu membawa toyanya (tongkat panjang) dan menuju ke selatan untuk menyambut pemuda yang kata muridnya mencurigakan itu. Sekitar satu li jauhnya dari Kuil, dia bertemu dengan pemuda itu. Seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun, tinggi besar, ganteng dan gagah, pakaiannya biru dari kain yang mahal. Di punggungnya tergantung sebatang golok besar dalam sarung golok dan terhias emas pada gagangnya. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Kang yang menerima perintah Tiong Li Seng-jin Ketua Bu-Tong-Pai untuk berkunjung ke Siauw-Lim-Pai. Melihat seorang Hwesio berusia setengah abad lebih, tubuhnya tinggi besar, wajahnya berkulit hitam dan tampak angker sekali, berdiri tegak dengan sebatang toya di tangan, Yo Kang cepat memberi hormat. Dia mengangkat kedua tangan depan dada.

   "Selamat sore, Lo-Suhu (Bapak Pendeta)! Apakah Lo-Suhu seorang dari Siauw-Lim-Pai?"

   "Benar, Pinceng adalah Ceng Seng Hwesio, wakil pemimpin Siauw-Lim-Pai. Engkau siapakah, orang muda? Dan ada keperluan apa melakukan perjalanan dekat perumahan kami?"

   "Ah, kebetulan sekali!"

   Kata Yo Kang.

   "Saya bernama Yo Kang, murid Bu-Tong-Pai. Saya membawa pesan dan surat pribadi dari Suhu Tiong Li Seng-jin untuk disampaikan oleh Lo-Cianpwe Bu Kek Tianglo."

   Karena belum pernah mengenal Yo Kang, dan teringat akan munculnya pemuda Si Han Lin yang mendatangkan keributan, Ceng Seng Hwesio memandang wajah pemuda itu dengan penuh selidik. Dia harus waspada.

   "Omitohud, kiranya Sicu (orang muda gagah) adalah murid Lo-Cianpwe Tiong Li Seng-jin! Kalau ada pesan dan surat dari beliau, sampaikan saja kepada Pinceng, Yo-Sicu, karena Pinceng yang mewakili Suhu."

   Yo Kang mengerutkan alisnya yang tebal.

   "Ah, harap maafkan saya. Suhu memesan kepada saya agar surat ini saya sampaikan sendiri kepada Lo-Cianpwe Bu Kek Tianglo, tidak boleh kepada orang lain. Karena hal itu menyangkut satu hal yang penting sekali."

   Juga Ceng Seng Hwesio mengerutkan alisnya. Pemuda ini bersikap seperti Si Han Lin, bersikeras hendak bertemu dengan Ketua Siauw-Lim-Pai seolah tidak percaya kepadanya!

   "Hemm, kalau begitu tidak mungkin, Yo-Sicu. Suhu sedang bersamadhi dan tidak boleh diganggu siapa pun. Mungkin lusa pagi baru dapat dihubungi."

   Yo Kang menghela napas panjang.

   "Saya telah melakukan perjalanan jauh dan lama sekali, menanti dua hari lagi pun tidak mengapa. Saya akan menunggu, Lo-Suhu."

   Tiba-tiba kedua orang itu menjadi tegang dan dengan sikap waspada mereka memandang ke kanan kiri. Pendengaran mereka yang terlatih menangkap. suara yang tidak wajar. Benar saja, dari kanan kiri muncul dua orangKakek dan di belakang mereka terdapat dua belas orang perajurit Mongol! Seorang di antara keduaKakek itu bertubuh kurus bermuka tengkorak, wajahnya cemberut seperti orang marah selalu, matanya yang cekung itu bersinar kejam.

   Pakaiannya kembang-kembang dari Sutera mahal, wataknya congkak dan tangannya memegang sebatang tongkat ular. AdapunKakek ke dua berusia sebaya, kurang lebih enam puluh dua tahun. Tubuhnya sedang, wajahnya tampan gagah, pakaiannya mewah dari Sutera hitam dan di punggungnya tergantung sebatang golok besar berselaput emas yang indah.Kakek kurus itu bukan lain adalah Tung Giam-Lo-Ong (Raja Maut Timur) yang biasa disebut Raja Timur, seorang di antara Empat Datuk Besar. AdapunKakek kedua yang gagah tampan adalah See Te-Tok (Racun Bumi Barat) yang biasa disebut Racun Barat, juga seorang di antara Empat Datuk Besar. Dua orangKakek dan dua belas orang perajurit itu segera mengepung Yo Kang dan Ceng Seng Hwesio. Kedua orang Ini saling pandang dengan alis berkerut. Keduanya saling mencurigai, saling menduga telah bersekongkol dengan pasukan Mongol!

   "Heh-heh-heh! Tokoh Siauw-Lim-Pai dan tokoh Bu-Tong-Pai mengadakan pertemuan rahasia di sini, tentu merundingkan rencana pemberontakan terhadap pemerintah! Hayo, kalian menyerah saja kami tangkap dan kami seret ke pengadilan!"

   Bentak Racun Barat dengan suara menggelegar. Wajah Ceng Seng Hwesio yang berkulit hitam itu menjadi semakin hitam karena dia marah sekali mengenal dua orang Datuk Besar itu.

   "Omitohud, kiranya Raja Timur dan Racun Barat yang datang. Kalian ngawur Pinceng adalah wakil pimpinan Siauw-Lim-Pai dan sama sekali tidak mempunyai niat memberontak!"

   "Huh, Hwesio jangan banyak cakap. Menyerah atau harus kami robohkan dulu!"

   Kini Raja Maut yang bicara. Si Muka Tengkorak ini nnenjadi semakin mengerikan kalau bicara, mulutnya yang hanya gigi dan tulang terbungkus kulit itu bergerak-gerak kaku!

   "Pinceng tidak bersalah, untuk apa menyerah? Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan, silakan!"

   "Hwesio sombong, kau bosan hidup!"

   Tung Giam-Lo atau Raja Timur itu sudah menerjang ke depan, menggerakkan tongkat ularnya menyerang dengan amat dahsyat ke arah Ceng Seng Hwesio. Hwesio ini memang sudah siap. Dia menggerakkan toyanya menangkis lalu membalas sehingga kedua orang ini segera terlibat perkelahian yang seru. Raja Barat menghampiri Yo Kang dan tertawa. engkau ini bocah Bu-Tong-Pai membawa golok bergagang emas! Eh, apa kau berani menyaingi aku? Hayo keluarkan golokmu itu, apa mampu diadu dengan golokku, ha-ha-ha!"

   Yo Kang, seperti juga Ceng Seng Hwesio, merasa lega karena keduanya kini mendapat kenyataan bahwa yang datang itu adalah pasukan Mongol yang agaknya memusuhi mereka berdua, atau lebih jelasnya lagi, memusuhi Siauw-Lim-Pai dan Bu-Tong-Pai.

   Mereka berdua memang maklum bahwa Pemerintah Mongol selalu mencurigai perguruan-perguruan silat atau perkumpulan dan pendekar yang tidak mau diajak membantu Pemerintah Mongol. Memang Siauw-Lim-Pai dan Bu-Tong-Pai belum pernah dimusuhi secara terang-terangan atau diserang, akan tetapi sudah sering menerima bukan untuk membantu pemerintah dan selalu ditolak dengan halus. Sore ini agaknya mereka hendak menangkap dengan tuduhan merencanakan pemberontakan, walaupun yang dituduh bukan kumpulannya, melainkan diri mereka berdua! Racun Barat sudah mencabut golok besarnya yang menyeramkan. Yo Kang yang tadi mendengar bahwa calon lawannya ini adalah See Te-Tok, Racun Barat, Datuk besar yang terkenal lihai, cepat mencabut pula goloknya yang bergagang emas. Akan tetapi goloknya itu tampak kecil dibandingkan golok besar Racun Barat.

   "Heh-heh, orang muda. Menyerah sajalah untuk kutangkap daripada lehermu putus oleh golokku!"

   Racun Barat berkata.

   "Aku tidak bersalah dan tidak mau menyerah!"

   See Te-Tok mengeluarkan gerengan dan dia pun menubruk maju menyerang dengan golok besarnya. Dari samping Yo Kang menangkis.

   "Singg... trangggg...!!"

   Bunga api berpijar dan keduanya mundur beberapa langkah.

   Setelah saling serang, kedua pihak terkejut. Ternyata lawan adalah orang yang amat tangguh! Yang lebih terkejut adalah dua Datuk Besar itu. Biasanya mereka itu memandang rendah lawan. Akan tetapi sekarang mereka mendapatkan perlawanan yang amat kuat, bahkan balasan serangan lawan juga berbahaya sekali. Di lain pihak, Yo Kang dan Ceng Seng Hwesio juga harus mengakui bahwa dua orang lawan itu tidak percuma menjadi dua di antara Empat Datuk Besar karena memang mereka benar-benar amat lihai! Karena maklum bahwa mengalahkan tokoh Bu-Tong-Pai dan Siauw-Lim-Pai itu bukan hal mudah, padahal Siauw-Lim-Si tidak terlalu jauh dari situ sehingga kalau para murid Siauw-Lim-Pai mengetahui dan mengeroyok, mereka akan celaka, maka Racun Barat segera memberi aba-aba kepada selusin orang perajurit Mongol pilihan itu untuk maju mengeroyok!

   Kini keadaan Yo Kang dan Ceng Seng Hwesio menjadi gawat. Ternyata dua belas. orang perajurit itu merupakan perajurit pilihan yang memiliki ilmu kepandaian yang lumayan tingginya. Tentu saja keduanya terdesak hebat. Yo Kang menyelingi sambaran goloknya dengan pukulan Lengan kiri, menggunakan ilmu Tong-Sim-Ciang yang dapat mengguncang jantung lawan. Juga Ceng Seng Hwesio terkadang menyelingi permainan toyanya dengan pukulan Tat-Mo Sin-Kun dengan pengerahan tenaga I-Kin-Keng. Namun, pukulan ampuh kedua orang itu disambut oleh Dua Datuk Besar dengan pukulan jarak jauh yang juga amat kuat sehingga setiap kali pukulan mereka saling bertemu, kedua pihak terdorong ke belakang.

   Selagi keduanya terdesak hebat dan berada di ambang kekalahan yang mungkin mengakibatkan mereka tewas atau setidaknya terluka dan tertawan, tiba-tiba tampak sesosok bayangan berkelebat dalam cuaca yang sudah mulai agak gelap karena petang telah tiba. Dan begitu bayangan yang ternyata seorang pemuda tampan bermuka putih itu menerjang, dua belas orang perajurit yang ikut mengeroyok Yo Kang dan Ceng Seng Hwesio menjadi kocar-kacir! Sepak terjang pemuda ini hebat bukan main. Dia sama sekali tidak menggunakan pedangnya yang tergantung di punggung, melainkan hanya menampar dan menendang. Pedang dan golok selusin perajurit itu terpental dan tubuh mereka terpelanting ke kanan kiri terkena sambaran tamparan atau tendangan pemuda itu.

   "Thian-Te-Pangcu... (Ketua Thian-Te-Pang)...!"

   Seorang perajurit berseru.

   "Pek-Bin-Houw (Harimau Muka Putih)...!"

   Teriak yang lain. Si Racun Barat dan Si Raja Timur terkejut melihat selusin orang perajurit itu berpelantingan dan mereka berseru ketakutan. Mereka maklum bahwa yang baru datang merupakan lawan yang amat lihai pula. Menghadapi Yo Kang dan Ceng Seng Hwesio saja sudah sukar bagi mereka untuk mengalahkan, apalagi kini muncul pemuda yang lihai itu. Keduanya lalu melompat jauh dan memberi aba-aba kepada selusin orang perajurit untuk melarikan diri! Yo Kang merasa penasaran dan hendak mengejar. Akan tetapi Ceng Seng Hwesio cepat mencegahnya.

   "Yo-Sicu, harap jangan kejar. Masih untung tidak ada seorang pun di antara mereka yang tewas. Kalau ada yang tewas, tentu mereka menganggap Siauw-Lim-Pai memberontak dan mengirim pasukan besar ke sini. Kami tidak ingin bermusuhan dengan mereka."

   Kemudian Ceng Seng Hwesio memandang pemuda yang telah menolong tadi.

   "Sicu, terima kasih atas pertolonganmu."

   Ceng Seng Hwesio mengangkat tangan menyembah depan dada sebagai penghormatan. Yo Kang juga memberi hormat dan memandang kagum penuh selidik.

   "Aih, Lo-Suhu harap jangan bersikap sungkan. Apa yang saya lakukan tadi hanya merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan. Para perajurit Mongol itu memang sewenang-wenang, tempat kami sendiri pernah diganggu sehingga terpaksa kami melawan dan mengusir mereka."

   "Pinceng tadi mendengar mereka menyebut Thian-Te-Pangcu. Seingat Pinceng, Thian-Te-Pangcu adalah Li Bu Kok yang sudah Pinceng kenal. Siapakah Sicu ini? Pinceng Ceng Seng Hwesio wakil pimpinan Siauw-Lim-Pai dan Sicu ini adaliah Yo Kang, utusan dari Ketua Bu-Tong-Pai."

   Pemuda muka putih itu cepat memberi hormat.

   "Aih, kiranya Ji-wi (Anda Berdua) adalah tokoh-tokoh besar Siauw-Lim-Pai dan Bu-Tong-Pai! Sungguh saya merasa girang sekali tadi mendapat kesempatan untuk membantu Ji-wi. Memang benar ucapan Ceng Seng Lo-Suhu tadi. Ketua Thian-Te-Pang adalah Li Bu Kok, akan tetapi beberapa bulan yang lalu Thian-Te-Pang diserbu gerombolan penjahat yang dipimpin Tiga Belas Srigala Gila. Dalam penyerbuan ini Li Pangcu (Ketua Li) terluka dan tewas. Kebetulan sekali ketika itu saya lewat dan saya segera membantu para anggauta Thian-Te-Pang yang sudah jatuh banyak korban itu dan saya berhasil membunuh Tiga Belas Srigala Gila. Begitulah, Lo-Suhu, lalu para anggauta Thian-Te-Pang minta dengan sangat kepada saya untuk memimpin mereka jadi Ketua."

   "Saudara sungguh baik budi dan gagah perkasa. Kalau boleh saya bertanya, siapakah nama Saudara yang mulia?"

   Tanya Yo Kang dengan sikap menghormat. Pemuda itu tersenyum dan menjura.

   "Saya yang bodoh bernama Gan Bouw dan... anak-anak Thian-Te-Pang yang menyebut saya dengan julukan Pek-Bin-Houw."

   "Omitohud! Gan Pangcu (Ketua Gan) terlalu merendahkan diri. Biarpun masih muda akan tetapi Pinceng tadi melihat sepak terjang Gan Pangcu demikian dahsyat. Bolehkan Pinceng mengetahui apakah Pangcu juga murid Thian-Te-Pang?"

   
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Sama sekali bukan, Lo-Suhu. Saya seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara di dunia ini. Sejak kecil saya merantau sampai jauh ke negara barat, sampai ke Pegunungan Himalaya dan ke Tibet. Nah, di sanalah saya mempelajari ilmu-ilmu dari para Pertapa di Himalaya dan para Pendeta Lama di Tibet."

   "Omitohud...! Pantas Gan Pangcu yang masih muda sudah begitu lihai!"

   "Ah, Lo-Suhu, Saudara Yo Kang dari Bu-Tong-Pai ini lebih muda lagi akan tetapi saya lihat tadi ilmu goloknya amat lihai!"

   Ceng Seng Hwesio mengangguk-angguk dan tertawa.

   "Ha-ha, tentu saja, Gan Pangcu. Karena goloknya yang hebat, maka dia dijuluki Bu-Tong Sin-To (Golok Sakti Bu-Tong)!"

   "Lo-Suhu harap jangan terlalu melebihkan. Saya hanya mempelajari sedikit ilmu, bahkan tadi pun sudah terdesak lawan. Gan-Twako (Kakak Gan), sungguh kebetulan sekali engkau lewat di sini sehingga dapat menyelamatkan kami."

   Mendengar jago muda Bu-Tong-Pai itu menyebutnya Twako, Gan Bouw tersenyum senang.

   "Sesungguhnya bukan kebetulan saja, Yo-Siauwte (Adik Yo). Setelah diangkat menjadi Ketua Thian-Te-Pang, aku sengaja mengunjungi partai-partai persilatan besar untuk memperkenalkan diri. Aku sudah mengunjungi Go-Bi-Pai dan Kun-Lun-Pai, hari ini aku berkunjung ke Siauw-Lim-Pai dan selanjutnya akan pergi ke Bu-Tong-Pai. Aku sungguh beruntung dapat bertemu Ji-wi di sini sehingga aku sempat memperkenalkan diri."

   "Gan Pangcu, Pinceng sudah tahu sejak dulu bahwa Thian-Te-Pai biarpun bukan perguruan besar, namun sehaluan dengan kami yang mendidik para calon pendekar penegak kebenaran dan keadilan. Sekarang, marilah singgah di Siauw-Lim-Si dan besok lusa dapat Pangcu menghadap dan bertemu dengan Ketua kami."

   "Terima kasih, Lo-Suhu. Saya telah dapat bertemu dengan Lo-Suhu dan memperkenalkan diri. Saya kira ini sudah cukup karena Lo-Suhu tentu dapat memberitahu kepada Ketua Siauw-Lim-Pai dan para pimpinan di sana. Juga saya tidak perlu lagi berkunjung ke Bu-Tong-Pai setelah berkenalan dengan Adik Yo Kang. Harap Yo-Siauwte suka melaporkan dan memberitahukan kepada para pimpinan Bu-Tong-Pai bahwa kini yang menjadi Ketua Thian-Te-Pai adalah saya dan sampaikan hormatku kepada beliau semua."

   Gan Bouw lalu menjura kepada dua orang itu sebagai penghormatan.

   "Ceng Seng Lo-Suhu dan Yo-Siauwte, sekarang saya harus melanjutkan perjalanan saya. Selamat tinggal!"

   Setelah berkata demikian Gan Bouw pergi dengan cepat sekali meninggalkan kedua orang.

   "Omitohud! Thian-Te-Pang menemukan seorang Ketua yang lihai dan bijaksana."

   Kata Ceng Seng Hwesio sambil memandang ke arah lenyapnya Gan Bouw.

   "Gan Pangcu memang baik, lihai dan rendah hati, Lo-Suhu."

   Kata Yo Kang. Ceng Seng Hwesio memandang kepadanya dan menghela napas panjang.

   "Yo-Sicu, maafkan Pinceng kalau tadi Pinceng mencurigaimu. Seperti engkau lihat sendiri tadi, Dua Datuk Besar, Raja Timur dan Racun Barat membawa pasukan Mongol menyerang kita. Semenjak tanah air kita dijajah orang Mongol, kita harus bersikap hati-hati. Sekarang kita berdua sudah saling mengenal dan kita berdua sebagai wakil Siauw-Lim-Pai dan wakil Bu-Tong-Pai, jelas sehaluan. Oleh karena itu, kalau ada masalah dengan Siauw-Lim-Pai, sampaikan saja kepadaku, Yo-Sicu. Sesungguhnya, Suhu Bu Kek Tianglo tidak dapat diganggu, baru lusa nanti beliau dapat ditemui."

   "Saya percaya kepada Lo-Suhu. Akan tetapi Suhu Tiong Li Seng-jin menghendaki agar surat beliau itu diserahkan sendiri kepada Lo-Cianpwe Bu Kek Tianglo. Kalau Suhu ingin tahu apa yang terjadi, baiklah, saya akan menceritakannya. Telah terjadi malapetaka menimpa Bu-Tong-Pai. Sebetulnya saya sendiri tidak berari memandang rendah kepada Lo-Cianpwe Bu Kek Tianglo karena bagaimanapun juga Bu-Tong-Pai sealiran dengan Siauw-Lim-Pai. Suhu Tiong Li Seng-jin dahulu di waktu muda juga merupakan Sute (adik seperguruan) Lo-Cianpwe Bu Kek Tianglo. Akan tetapi karena Suhu memesan dengan sungguh-sungguh, saya tidak berani melanggar dan harus menyerahkan sendiri surat Suhu kepada Lo-Cianpwe Bu Kek Tianglo."

   "Baiklah, ceritakan saja malapetaka apa yang menimpa Bu-Tong-Pai?"

   Yo Kang adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan berbatin kuat. Namun, kini teringat akan malapetaka yang harus dia ceritakan, suaranya menggetar mengandung kedukaan dan penasaran.

   "Lo-Suhu, beberapa waktu yang lalu, pada suatu malam, seorang pembunuh yang berilmu tinggi sekali telah memasuki ruangan perpustakaan kami dan dia membunuh enam orang murid Bu-Tong-Pai yang berjaga di sana..."

   "Omitohud...! Siapa pembunuh kejam itu dan apa maunya?"

   "Kami belum tahu, Lo-Suhu. Pembunuh itu dikejar tiga orang Susiok (Paman Guru), yaitu Bu-Tong Sam-Lo sampai ke atas wuwungan. Di sana pembunuh itu melawan, dikeroyok tiga dan... ketiga orang Susiok... tewas pula."

   "Omitohud...! Bu-Tong Sam-Lo juga dibunuhnya? Jahat benar pembunuh itu? Siapa dia, Yo-Sicu?"

   "Inilah anehnya, Lo-Suhu. Malam itu gelap dan menurut para murid yang menyaksikan amukan orang itu tidak dapat melihat dengan jelas wajahnya. Hanya yang jelas adalah bahwa orang itu berkepala gundul dan berjubah Hwesio!"

   Yo Kang menutup kalimatnya dengan suara yang keras.

   "Omitohud... seorang Hwesio? Tapi... tapi... dia bukan murid Siauw-Lim-Pai tentunya!"

   "Sayang sekali, Lo-Suhu. Bukti-bukti menunjukkan bahwa Hwesio pembunuh itu menggunakan tendangan Siauw-Cu-Twi dan pukulan maut Tiam-Hiat-Hoat dari Siauw-Lim-Pai!"

   "Omitohud...! Bagaimana mungkin murid Siauw-Lim-Pai membunuh Bu-Tong Sam-Lo? Dikeroyok tiga lagi?"

   "Memang mengherankan, Lo-Suhu, akan tetapi Susiok Tiong Hak Tosu sendiri yang bertanding melawan Hwesio itu yakin bahwa pembunuh itu adalah seorang tokoh Siauw-Lim-Pai karena selain menguasai ilmu tendangan Siauw-Cu-Twi dan ilmu menotok Tiam-Hiat-Hoat yang khas Siauw-Lim-Pai, dia juga memiliki gerakan ilmu Tat-Mo Sin-Kun dan menguasai I-Kin-Keng."

   "Tidak mungkin! Mustahil! Yang menguasai I-Kin-Keng, walau rendah tingkatnya, dan dilatih Tat-Mo Sin-Kun hanyalah murid-murid tua dan murid-murid pilihan yang kesemuanya, kalau bukan menjadi Hwesio yang tekun beribadat. tentu menjadi pendekar yang membela kebenaran dan keadilan. Yang pernah mempelajari ilmu itu di Kuil kami saja hanya dapat dihitung dengan jari! Pertama tentu saja Suhu Bu Kek Tianglo sendiri, kemudian murid-murid Suhu yang terpilih dan dipercaya, yaitu Pinceng sendiri, lalu ke lima Sute Kim, Bhok, Sui, Ho, dan Thou Hwesio, dan Sute Coan Sim Hwesio. O ya, masih ada seorang lagi, yaitu Sumoi Ong Lian Hong yang menjadi pilihan Suhu sebagai murid istimewa yang masih muda. Kami semua selama hampir dua tahun ini tidak pernah ada yang keluar dari perumahan Siauw-Lim-Si ini. Jadi, Pinceng yakin dan berani tanggung bahwa pelaku pembunuhan biadab itu bukan orang Siauw-Lim-Pai."

   "Hemm, aku juga tidak berani sembarangan menduga, Lo-Suhu. Akan tetapi bukankah banyak orang Siauw-Lim-Pai yang kini tidak lagi tinggal di Kuil Siauw-Lim-Si? Tidakkah mungkin seorang di antara mereka yang melakukan perbuatan itu?"

   Ceng Seng Hwesio mengerutkan alisnya.

   "Biarpun rasanya mustahil, akan tetapi andaikata benar dugaanmu, tentu dia harus memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan... ahhh...!"

   Tiba-tiba Ceng Seng Hwesio teringat kepada seorang Paman Gurunya yang sudah puluhan tahun meninggalkan Siauw-Lim-Pai. Thian Beng Siansu! Sute dari Bu Kek Tianglo yang telah menyeleweng dan menjadi Tosu. Tentu saja dia ahli dalam semua ilmu simpanan Siauw-Lim-Pai, bahkan menurut Suhunya, tingkat kepandaian Thian Beng Siansu itu tidak kalah dibanding tingkat Bu Kek Tianglo sendiri! Mungkinkah... dia itu... atau... tiba-tiba dia teringat kepada orang muda itu, Si Han Lin, yang mengaku sebagai murid Thian Beng Siansu!

   "Ada apakah, Lo-Suhu?"

   Tanya Yo Kang ketika melihat Hwesio itu menahan kata-katanya dan tampak terkejut dan bingung. Ceng Seng Hwesio tidak ingin membuka rahasia keluarga perguruan Siauw-Lim-Pai, maka dia berkata,

   "Omitohud...! Pinceng sungguh masih terkejut dan bingung mendengar berita yang engkau bawa itu, Yo-Sicu. Berita itu sungguh mengejutkan dan membingungkan. Sekarang Pinceng mengerti mengapa engkau bersikeras untuk menghadap Suhu Bu Kek Tianglo sendiri. Memang surat dari Lo-Cianpwe Tiong Li Seng-jin itu amat penting dan harus diserahkan kepada Suhu sendiri. Mari, Sicu, mari kita ke Siauw-Lim-Si dan siapa tahu, nanti Suhu akan suka menerimamu sebelum besok lusa pagi."

   Kedua orang itu lalu bergegas menuju ke Siauw-Lim-Si. Karena malam telah tiba, Yo Kang dipersilakan makan bersama Ceng Seng Hwesio dan dia diberi sebuah kamar untuk tidur malam itu. Yo Kang yang memang kelelahan karena perjalanan jauh itu segera tertidur dan malam itu semua murid Siauw-Lim-Pai melakukan penjagaan secara bergilir. Akan tetapi sampai pada keesokan harinya, tidak terjadi sesuatu. Yo Kang tidur dengan nyenyaknya sehingga semua rasa lelahnya menghilang. Pagi sekali Yo Kang sudah terbangun, dari tidurnya. Setelah mandi dan bertukar pakaian, dia pergi ke ruangan tengah untuk mencari Ceng Seng Hwesio. Tiba-tiba dia melihat Ceng Seng Hwesio berlari masuk melalui pintu, tampak tergesa-gesa dan melihat sikap dan wajahnya, mudah diduga bahwa tentu ada terjadi sesuatu yang penting.

   "Ah, kebetulan engkau sudah bangun dan sudah mandi, Yo-Sicu. Mari kita pergi menghadap Suhu Bu Kek Tianglo sekarang juga!"

   "Akan tetapi, Lo-Suhu kemarin mengatakan bahwa beliau sedang samadhi dan tidak mau diganggu?"

   "Telah terjadi banyak hal penting. Selain untuk menyerahkan surat dari Lo-Cianpwe Tiong Li Seng-jin, juga Pinceng harus menyampaikan suatu laporan yang tidak kalah pentingnya!"

   Hwesio itu memberi isarat dan Yo Kang mengikutinya dari belakang ketika Ceng Seng Hwesio setengah berlari menuju ke bagian belakang perumahan Siauw-Lim-Si itu.

   Mereka berhenti di depan sebuah pintu tertutup. Itulah pintu ruangan samadhi yang selama beberapa hari ini selalu tertutup dan tidak ada yang berani mengganggu sebelum Bu Kek Tianglo memanggil. Ketua Siauw-Lim-Pai yang usianya sudah delapan puluh empat tahun itu memang merupakan seorang Pertapa yang hebat. Kalau dia sedang bertapa dan bersamadhi memesan agar jangan diganggu, dia bisa bersamadhi selama berhari-hari tanpa makan minum! Terdesak oleh kepentingan yang dianggapnya amat gawat, Ceng Seng Hwesio menjatuhkan dirinya berlutut di depan daun pintu itu dan berkata dengan suara yang terdengar lirih saja namun Yo Kang yang berlutut disampingnya maklum bahwa Hwesio itu bersuara dengan dorongan sinkang (tenaga sakti) sehingga suara lirih itu mampu menembus daun pintu!

   "Suhu yang mulia! Teecu (murid) Ceng Seng mohon beribu ampun dan siap menerima hukuman karena berani mengganggu... Suhu sebelum Suhu memanggil. Teecu ingin menyampaikan dua peristiwa yang amat gawat dan penting!"

   Terasa hening setelah Ceng Seng Hwesio mengeluarkan kata-kata itu karena tidak terdengar jawaban. Akan tetapi ada langkah kaki yang ringan sekali di belakang mereka dan tahu-tahu Lian Hong sudah berada di dekat mereka dan gadis ini pun ikut pula berlutut di dekat Ceng Seng Hwesio. Yo Kang yang tidak mengenal gadis itu, hanya mengerling sedikit dan merasa heran bagaimana seorang gadis remaja itu berani berlutut pula di dekat Ceng Seng Hwesio tanpa permisi. Dan anehnya, Ceng Seng Hwesio sama sekali tidak tampak marah atau terganggu, seolah kehadiran gadis remaja itu sudah semestinya. Kemudian terdengar suara dari dalam ruangan itu. Suara yang lembut dan lirih, namun jelas terdengar satu demi satu semua kata itu memasuki telinga Yo Kang.

   "Ceng Seng dan Lian Hong, kalian masuklah dan ajak tamu itu masuk ke sini!"

   Yo Kang dan Ceng Seng Hwesio memasuki ruangan itu bersama Lian Hong.

   Melihat betapa Suhu mereka duduk bersila di atas sebuah bangku bundar, Ceng Seng Hwesio dan Lian Hong segera maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Guru mereka. Yo Kang juga ikut berlutut di sebelah Ceng Seng Hwesio. Dan melihat betapa Ketua Siauw-Lim-Pai itu sudah tua, lebih tua dari Suhunya yang berusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Bu Kek Tianglo ini tentu sudah berusia lebih dari delapan puluh tahun. Wajahnya masih tampak cerah kemerahan dan anggun dengan kumis jenggot dan rambut yang sudah putih semua. Sebuah tongkat panjang bersandar pada bangku itu. Tampak lemah lembut namun penuh wibawa yang membuat orang merasa tunduk dan hormat. Sejenak Bu Kek Tianglo memandang kepada Yo Kang dengan penuh perhatian, lalu dia berkata kepada Ceng Seng Hwesio.

   "Ceng Seng, sekarang ceritakanlah apa yang engkau maksudkan dengan peristiwa penting itu."

   "Suhu, Yo Kang Sicu ini adalah murid dari Lo-Cianpwe Tiong Li Seng-jin, Ketua Bu-Tong-Pai yang datang mohon menghadap Suhu untuk menyampaikan surat dari Suhunya."

   "Omitohud, ada berita apakah dari Susiokmu (Paman Gurumu) Tiong Li Seng-jin?"

   Ceng Seng Hwesio tentu saja mengetahui bahwa Ketua Bu-Tong-Pai itu sebetulnya masih Sute (adik seperguruan) Bu Kek Tianglo, akan tetapi karena Tiong Li Seng-jin kini sudah menjadi Tosu, di dalam hatinya dia enggan mengakuinya sebagai Paman Gurunya.

   "Teecu kira lebih baik kalau Yo-Sicu menceritakan sendiri kepada Suhu."

   Katanya.

   "Yo Kang, bagaimana dengan keadaan Gurumu di Bu-Tong-Pai?"

   Tanya Bu Kek Tianglo lembut kepada Yo Kang.

   "Keadaan Suhu sehat-sehat saja, Lo-Cianpwe..."

   "Omitohud, engkau menyebut Pinceng Lo-Cianpwe? Apakah engkau tidak tahu bahwa Pinceng Supekmu (Uwa Gurumu)"

   "Teecu tidak berani, Lo-Cianpwe. Teecu adalah murid Bu-Tong-Pai dan ini Teecu diperintah Suhu menyampaikan surat kepada Lo-Cianpwe."

   Yo Kang menyodorkan sesampul surat dan diterima oleh Bu Kek Tianglo sambil tersenyum. Dengan tenang dia membuka surat itu dan membacanya. Dua pasang mata mereka yang berlutut itu mengamati wajah Bu Kek Tianglo, menduga bahwa Hwesio renta itu akan menjadi terkejut sekali. Mereka adalah Yo Kang dan Ceng Seng Hwesio. Sedangkan Lian Hong memandang dengan penuh perhatian, menduga-duga apa isi surat dari Ketua Bu-Tong-Pai kepada Gurunya itu. Akan tetapi wajah Bu Kek Tianglo sama sekali tidak memperlihatkan kekagetan. Dia masih tenang-tenang saja, bahkan lalu berkata kepada Yo Kang.

   "Yo Kang, ceritakanlah sejelasnya apa yang telah terjadi di Bu-Tong-Pai."

   Yo Kang lalu menceritakan kembali tentang pembunuhan sembilan orang murid Bu-Tong-Pai, yaitu Bu-Tong Sam-Lo dan enam orang murid muda, yang dilakukan seorang Hwesio yang tidak dikenal karena mukanya tidak dapat dilihat jelas, terlindung kegelapan malam. Pihak Bu-Tong-Pai menduga bahwa pembunuh itu seorang tokoh Siauw-Lim-Pai, bukan hanya karena berkepala gundul dan berjubah Hwesio, melainkan terutama sekali karena orang itu mempergunakan ilmu-ilmu dari Siauw-Lim-Pai, bahkan menggunakan ilmu sim-panan Siauw-Lim-Pai seperti Tat-Mo Sin-Kun dan tenaga sakti I-Kin-Keng. Setelah Yo Kang selesai bercerita, tiba-tiba Lian Hong berseru lantang.

   "Suhu, jangan percaya tuduhan itu...!!"

   Ceng Seng Hwesio menegur gadis remaja itu. Akan tetapi Bu Kek Tianglo tersenyum lebar.

   "Biarlah, Ceng Seng, biarlah Lian Hong bicara. Lanjutkan, Lian Hong, bagaimana kalau menurut pendapatmu tentang apa yang diceritakan Yo Kang tadi?"

   "Teecu percaya bahwa pihak Bu-Tong-Pai tidak berbohong dan memang terjadi pembunuhan yang kejam itu. Akan tetapi kalau mereka mengira pembunuhnya murid Siauw-Lim-Pai, maka perkiraan itu sama sekali salah, bahkan. mereka itu dapat Teecu anggap berbohong dan menghina Siauw-Lim-Pai!"

   "Hemm, apa alasanmu, Lian Hong?"

   "Teecu yakin tidak ada murid Siauw-Lim-Pai yang melakukan perbuatan seperti itu. Pertama, karena murid tidak dididik untuk menjadi tukang pukul dan tukang bunuh yang kejam. Ke dua, semua orang mengetahui bahwa antara Siauw-Lim-Pai dan Bu-Tong-Pai terjalin hubungan baik bahkan masih sesumber. Selama ini tidak ada perselisihan paham antara kedua perguruan itu, maka mustahil kalau ada orang Siauw-Lim-Pai membunuhi orang Bu-Tong-Pai!"

   "Omitohud, pendapatmu itu memang benar, akan tetapi kita mesti ingat akan penderitaan Bu-Tong-Pai yang menjadi korban. Pinceng dapat menerima apa yang dikatakan Tiong Li Seng-jin dalam suratnya ini. Nah, bacalah yang jelas agar Yo Kang dan Ceng Seng dapat mendengarnya, Lian Hong."

   (Lanjut ke Jilid 16)

   Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16

   Kakek itu menyerahkan surat kepada Lian Hong dan gadis remaja itu membacanya dengan lantang.

   "Oleh karena dalam pembunuhan terhadap sembilan orang murid Bu-Tong-Pai terdapat bukti-bukti bahwa pelakunya seorang Siauw-Lim-Pai, maka demi keadilan kami menuntut agar Siauw-Lim-Pai melakukan penyelidikan dan menangkap pelaku pembunuhan itu, baik dia murid ataukah pelempar fitnah. Pihak kami memberi waktu pada hari Ulang Tahun Siauw-Lim-Pai beberapa bulan lagi. Pada hari itu kami akan datang untuk minta pertanggungan-jawab Siauw-Lim-Pai."

   Demikian isi surat dari Ketua Bu-Tong-Pai untuk Ketua Siauw-Lim-Pai.

   "Omitohud! Tuntutan Bu-Tong-Pai sudah adil. Kami harus dapat menangkap pelaku pembunuhan itu, baik dia murid Siauw-Lim-Pai maupun bukan, karena peristiwa itu menodai nama dan kehormatan Siauw-Lim-Pai."

   Kata Bu Kek Tianglo.

   "Akan tetapi, Suhu. Kalau tugas menangkap pelaku pembunuhan itu hanya dibebankan kepada kita, itu namanya sama sekali tidak adil! Bu-Tong-Pai yang terkena musibah itu, seharusnya mereka pun mencari pembunuhnya, masa mau enak-enak saja menonton kita harus sibuk mencari pembunuh itu? Mereka yang langsung berkepentingan, bukan kita!"

   Kata Lian Hong lantang sambil memandang kepada Yo Kang dengan cemberut! Yo Kang merasa mendongkol juga melihat sikap Lian Hong dan mendengar ucapan gadis remaja itu yang mencela Bu-Tong-Pai. Dia segera memberi hormat kepada Bu Kek Tianglo.

   "Lo-Cianpwe, hendaknya diketahui bahwa Suhu Tiong Li Seng-jin sudah memberi tugas kepada Teecu untuk melakukan penyelidikan dan kalau mungkin menangkap pembunuh itu!"

   "Engkau?"

   Tiba-tiba Lian Hong berseru sambil memandang Yo Kang.

   "Sembilan orang murid Bu-Tong-Pai tewas di tangan pembunuh itu, di antaranya malah Bu-Tong Sam-Lo yang kabarnya merupakan tokoh-tokoh Bu-Tong-Pai yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi. Bagaimana engkau seorang diri akan mampu menangkap pembunuh itu?"

   "Siauw-moi...!"

   Ceng Seng Hwesio kembali membentak Sumoinya karena dianggap tidak sopan terhadap tamu mereka.

   "Heh-heh, biarkan saja orang-orang muda itu bicara, Ceng Seng!"

   Kata Bu Kek Tianglo. Tentu saja Yo Kang yang wataknya juga keras itu menjadi panas hatinya. Akan tetapi di depan Bu Kek Tianglo dia tidak berani bersikap kasar. Dia hanya memandang kepada gadis remaja itu dengan mata melotot, lalu berkata,

   "Nona cilik, menghadapi pembunuh itu senjataku bukan ilmu kepandaian, melainkan kebenaran dan dengan kebenaran di pihakku, aku yakin akan menang."

   "Huh, sombong!"

   Kata Lian Hong, mendongkol juga disebut Nona Cilik.

   "Suhu, perkenankan Teecu yang akan mewakili Siauw-Lim-Pai melakukan penyelidikan dan menangkap pembunuh yang menyamar sebagai murid Siauw-Lim-Pai itu!"

   "Lian Hong, kita bicarakan lagi nanti tentang niatmu itu. Sekarang, Yo Kang, kalau engkau kembali ke Bu-Tong-Pai, katakan kepada Gurumu bahwa kami menerima semua permintaannya itu. Kami akan berusaha mencari pembunuh itu, dan seandainya gagal, besok pada Hari Ulang Tahun Siauw-Lim-Pai, kami akan menerima semua tuntutannya. Nah, Ceng Seng, ada urusan apalagi yang hendak kau laporkan?"

   "Suhu, ketika Teecu bertemu dengan Yo-Sicu ini di dalam hutan di luar perumahan kita, tiba-tiba kami berdua diserbu oleh Tung Giam-Lo dan See Te-Tok yang membawa dua belas orang pasukan Mongol. Mereka hendak membunuh kami dan mengatakan bahwa Siauw-Lim-Pai dan Bu-Tong-Pai hendak memberontak setelah kami berdua tidak mau dijadikan tawanan untuk diperiksa dan diadili."

   

Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini