Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 2


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Hek Moli dan In Hong melihat batu yang dicorat-coret tadi dan disitu ternyata telah terdapat beberapa huruf yang tergores dalam pada batu, tanda bahwa ketika mencoret dengan telunjuk, Tosu itu telah mengerahkan lweekang yang tak boleh dipandang ringan. Tulisan itu berbunyi, Go-Bi-Pai mengundang Hek Moli untuk melunaskan perhitungan lama di O-mei-san. Melihat tulisan ini, teringatlah Hek Moli. Dahulu ia pernah naik ke Go-bi-san untuk menantang tokoh-tokoh Go-Bi-Pai mengadakan pibu. Dalam pertandingan pibu ini, seorang tokoh Go-Bi-Pai yang bersikap sombong dan mengucapkan kata-kata memandang rendah, telah ia robohkan dan sebelah lengannya terputus. Mengingat akan hal ini, ia memandang kepada Tosu itu dan tertawa,

   "Aha, begitukah kehendak orang Go-Bi-Pai? Biarpun aku sudah tuabangka, siapa pernah takut terhadap tikus-tikus Go-Bi-Pai! Tunggu saja, setengah bulan lagi aku akan datang ke tempat itu!"

   Tosu itu menjura dan berkata singkat,

   "Terima kasih. Pinto percaya Hek Moli takkan menjilat ludahnya sendiri. Kami menanti dengan sabar."

   Ia lalu membalikkan tubuh dan berlari pergi. Akan tetapi baru saja ia berlari dengan cepat paling jauh sepuluh tombak, tiba-tiba di sebelah kanannya berkelebat bayangan orang. Tosu itu terkejut melihat ginkang orang itu yang demikian lihay dan mengira bahwa tentu Hek Moli telah menyusul dan mendahuluinya. Ia merasa khawatir karena melihat cara Hek Moli menyambut batu besar yang dilemparkannya tadi, ia merasa tidak akan kuat menandingi iblis wanita hitam ini, dan mengira bahwa Hek Moli menyusulnya dengan maksud buruk.

   "Hek Moli, apa yang...?"

   Tegurannya terhenti sampai disitu karena kini ia berdiri tertegun melihat seorang gadis cantik jelita berdiri dihadapannya dengan senyum mengejek. Gadis itu adalah gadis yang tadi dilihatnya berdiri dekat Hek Moli. Tosu itu menjadi makin terkejut. Bukan main hebatnya, semuda ini sudah memiliki kepandaian ginkang yang demikian tingginya!

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   "Nona, apa kehendakmu menghadang perjalananku?"

   Tanyanya, menyembunyikan rasa khawatirnya di balik senyum. In Hong mengeluarkan suara mengejek,

   "Tosu busuk, kau datang-datang menyombongkan kepandaian dan menghina Guruku, bagaimana aku dapat membiarkan kau pergi begitu saja? Hayo kau mengaku siapa namamu dan berlututlah minta ampun kepada Guruku, kalau tidak, jangan harap kau akan dapat pergi dari sini!"

   Merah muka Tosu itu, merah karena marah yang ditahan-tahan. Kata-kata gadis itu merupakan penghinaan yang amat besar. Di Go-Bi-Pai, ia termasuk tokoh yang cukup disegani, dan biarpun bukan merupakan tokoh pimpinan tertinggi, namun setidaknya ia adalah wakil Guru besar yang memberi pelajaran ilmu silat kepada murid-murid tingkat rendahan dan dalam hal kepandaian ilmu silat, ia bisa dikatakan menduduki tingkat keempat.

   "Nona, Pinto dengan kau belum pernah bertemu dan tidak mempunyai sangkut paut. Kalau Gurumu merasa penasaran, biarlah dia sendiri yang memutuskan. Pinto tidak suka berurusan dengan segala bocah kecil yang kurangajar."

   "Hayo kau mengaku nama dan berlutut minta ampun!"

   In Hong memotong omongan Tosu itu dengan bentakan mengancam. Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara ejekan, Tosu itu tidak menjawab, hanya menggerakkan tubuh berlari ke depan, memutari tubuh gadis itu yang menghadang di depannya.

   "Minggirlah!"

   Katanya dan tangan kirinya dengan lengan baju yang lebar itu menyambar ke arah muka In Hong. Ini adalah gerakan serangan yang hebat, karena tidak hanya ujung lengan baju itu yang menyabet dengan tenaga lwee-kang akan tetapi jari-jari tangan itupun dipentang dan dapat dipergunakan untuk menyampok, memukul, atau mencengkeram menurut perkembangan dari perlawanan orang yang diserangnya.

   Orang lain yang menghadapi serangan hebat ini, yang merasa sambaran angin yang dahsyat, tentu akan terkejut dan mengelak. Setiap orang ahli silat yang belum mengukur tenaga dan kepandaian lawan, selalu akan mengelak dari pukulan pertama, karena untuk menangkis pukulan lawan sebelum mengukur tenaga lawan yang menyerangnya, adalah hal yang berbahaya dan dianggap merugikan pihak sendiri. Akan tetapi In Hong adalah seorang gadis yang amat tabah dan pula ia sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri. Biarpun ia belum mengukur tenaga Tosu itu, namun tadi Tosu itu telah secara lancang memperlihatkan kepandaiannya ketika menggurat batu dengan jari tangan dan melontarkan batu itu kepada Hek Moli.

   Melihat betapa coretan pada batu itu masih kasar dan ada tanda-tanda guratan jari tangan, ia tahu bahwa Tosu itu masih belum mampu mempergunakan lweekang secara mendalam dan lemas. Kalau seorang ahli yang lweekangnya sudah tinggi dan dapat mengatur dengan hawa dalam tubuh sehingga ujung-ujung kuku dapat dipergunakan dan disembunyikan dan biarpun tenaga yang keluar dari jari tangan yang menggores batu adalah tenaga yang dahsyat, namun kulit jari sendiri demikian lemas sehingga tidak akan mendatangkan bekas guratan jari pada batu. Dilihat dari sini saja ia sudah dapat mengukur tenaga dari Tosu itu, maka kini melihat Tosu itu mempergunakan tangannya untuk menyerang sambil lari,

   In Hong mengangkat tangan kirinya dan dengan jari telunjuknya ia menyambut tangan itu. Melihat ini, Tosu itu menjadi girang. Kalau ia tidak dapat dan belum berani membalas sakit hatinya kepada Hek Moli, sedikitnya ia akan dapat membalas dengan jalan menyakiti murid iblis wanita hitam itu. Maka ia lalu mempergunakan lima jari tangan kirinya untuk menampar dan maksudnya hendak mematahkan tulang telunjuk gadis itu. Telapak tangan yang dikerahkan dengan tenaga lwekang dan menjadi keras seperti baja bertemu dengan telunjuk In Hong yang runcing dan mungil. Kalau dibicarakan memang agaknya tak masuk diakal, karena tiba-tiba Tosu itu menjerit dan meringis kesakitan, tangannya menjadi kaku dan jari-jarinya direnggangkan, sakitnya bukan main!

   Akan tetapi harus dimengerti bahwa In Hong telah mempergunakan im-kang (tenaga lemas) untuk menghadapi yang-kang (tenaga kasar) dari Tosu itu, dan di dalam hal ilmu silat, yang lemas memang mudah sekali menggulingkan yang kasar. Dengan telunjuknya yang sudah terlatih sempurna, gadis itu dapat menyentuh jalan darah di pangkal Ibu jari, .jalan darah yang menjadi saluran ke arah nadi dan semua jalan darah aseli, maka sebelum telapak tangan itu dapat mematahkan jari telunjuk In Hong, lebih dulu jalan darah dari tangan Tosu itu telah kena ditotok! In Hong tertawa cekikikan melihat Tosu itu meringis-ringis kesakitan. Akan tetapi timbul juga rasa kasihan di dalam hatinya karena kini lengan kanan yang buntung itu mencoba untuk menolong tangan kiri yang terluka. Tentu saja lengan kanan yang buntung itu hanya bisa bergerak-gerak sampai di siku kiri saja, mana bisa menolong.

   "Hm, kini kau tahu bahwa kami tidak mudah dipermainkan begitu saja oleh kalian orang-orang Go-Bi-Pai. Orang macam kau berani menghina Guruku? Hayo mengaku siapa namamu dan lekas kau berlutut minta ampun!"

   Tosu itu mukanya menjadi sebentar pucat sebentar merah. Sebagai seorang tokoh tinggi dari Go-Bi-Pai, ia telah mengalami hinaan yang amat memalukan. Mana ia sudi berlutut minta ampun? Lebih baik ia mati! Hek Moli yang melihat keadaan itu, diam-diam dalam hatinya terkejut. Tak disangkanya bahwa muridnya mempunyai hati yang lebih telengas dan ganas. Maka untuk menjaga agar muridnya ini kelak jangan sampai bermusuhan dengan partai-partai besar yang akan mencelakakan hidupnya, ia berseru,

   "In Hong, Tosu itu bernama Tek Seng Cu, dan kalau memang dia sudah insaf, tak perlu dia berlutut minta ampun, asal dia sudah mengakui kesalahannya cukuplah!"

   Mendengar kata-kata ini, Tek Seng Cu melihat jalan keluar yang lebih enak baginya, maka cepat ia menjura sambil berkata ke arah Hek Moli,

   "Hek Moli, Pinto benar-benar bermata akan tetapi tak pandai melihat. Biarlah kau maafkan sikapku yang kasar tadi. Nah, sampai berjumpa di puncak O-mei-san!"

   Ia membalikkan tubuh dan berlari cepat sambil menahan rasa sakit pada telapak tangannya, rasa sakit yang menusuk hatinya yang sudah sakit karena penghinaan itu. In Hong menghadapi Gurunya,

   "Subo, orang macam dia sudah sepatutnya dibunuh saja agar lain kali jangan datang menimbulkan keributan lagi."

   Hek Moli menarik napas panjang.

   "In Hong, kau belum tahu banyak tentang dunia kangouw. Ketahuilah, Tek Seng Cu itu hanyalah cucu murid dari Ketua Go-Bi-Pai, dan dahulu belasan tahun yang lalu, untuk menghadapi dan meng-alahkan Ketua Go-Bi-Pai, aku harus mengeluarkan seluruh kepandaianku. Ketua Go-Bi-Pai bukanlah orang jahat, bahkan dia seorang Lo-Cianpwe yang disegani, maka tidak baiklah membuat permusuhan dengan Go-Bi-Pai."

   In Hong mengerutkan keningnya dan sepasang alisnya yang hitam dan berbentuk indah itu bergerak-gerak.

   "Subo, mereka sudah menantang dan menghinamu, bagaimana tak dapat disebut jahat?"

   Hek Moli tersenyum.

   "Mungkin diantara tokoh-tokoh Go-Bi-Pai ada yang berwatak sombong dan kasar, bahkan aku tidak menyangkal bahwa banyak orang-orang mengaku Pendeta namun hatinya kotor melebihi penjahat biasa. Akan tetapi, untuk apakah bermusuhan dengan mereka kalau tidak ada alasan? Kalau kau melihat mereka melakukan perbuatan jahat, siapapun juga adanya mereka, pantas kau musuhi dan kau basmi, biarpun untuk itu kau harus mengorbankan nyawa. Akan tetapi, dalam hal ini tidak ada permusuhan hebat, yang ada hanyalah menebus kekalahan dalam pibu."

   "Akan tetapi Go-Bi-Pai menantangmu, subo."

   "Tidak apa, aku akan datang kesana pada waktunya dan dengan tulang-tulangku yang sudah tua, akan kucoba mengalahkan mereka seperti belasan tahun yang lalu."

   Nenek ini memukul-mukulkan tongkat hitam yang panjang ke atas tanah.

   "Biarpun aku sudah tua, akan tetapi tongkat ini tetap kuat dan masih muda. Aah, manusia mana bisa menangkan benda mati. Benda hidup akan melayu dan mati, akan tetapi tongkat ini sudah mati ketika lahir, bagaimana dia bisa layu dan akhirnya mati seperti aku?"

   Nenek ini menghela napas lalu duduk termenung. Melihat Gurunya nampak berduka, In Hong menjadi terharu dan berbareng merasa panas hatinya.

   "Subo, biarkan Teecu pergi menemui mereka di O-mei-san! Biarkan Teecu mewakili subo menghajar mereka dan memperlihatkan bahwa murid subo saja sudah cukup untuk mengalahkan semua tokoh Go-Bi-Pai dalam pibu!"

   Kata-katanya keras bersemangat, wajahnya yang cantik jelita itu kemerahan sehingga menjadi demikian segar bagaikan setangkai bunga mawar merah yang sedang mekarnya. Akan tetapi alangkah terkejutnya hati In Hong ketika tiba-tiba tongkat hitam panjang di tangan nenek itu menghantam batu yang segera menjadi hancur berkeping-keping. Nenek itu sendiri melompat bangun dan membentaknya,

   "Diam kau! Jangan mencampuri urusan ini, ini adalah urusan pribadiku, tidak ada sangkut-pautnya denganmu, mengerti?"

   In Hong tertegun, wajahnya yang tadi kemerahan tiba-tiba menjadi pucat. Selama menjadi murid Hek Moli, belum pernah Gurunya ini marah kepadanya, selalu memperlihatkan kasih sayang. Gadis ini hanya dapat memandang kepada Gurunya dengan mulut sedikit terbuka dan mata tak berkedip, kemudian perlahan-lahan, dua butir air mata menitik turun ke atas pipinya yang berkulit halus bersih. Hek Moli memandang kepada muridnya dan tiba-tiba saja rasa marahnya tadi lenyap seperti awan tipis tersapu angin. Ia melangkah maju dan memeluk muridnya, mendekap kepala yang berambut hitam panjang itu kepada dadanya yang tipis. Seperti air hujan, air mata mengalir dari sepasang mata In Hong. Gadis ini merasa sengsara dalam hatinya karena sekali saja dimarahi oleh Gurunya, ia teringat kepada Ayah bundanya.

   "In Hong, muridku yang baik, muridku yang terkasih, jangan kau kecewa. Aku percaya bahwa kau akan dapat mengalahkan tokoh-tokoh Go-Bi-Pai, bahkan Ketuanya sendiri boleh maju, kau takkan kalah! Akan tetapi, jangan kau kecewa. In Hong. Main-main dalam pibu ini dahulu adalah aku yang mencari sendiri, akulah yang menjadi biangkeladi, oleh karena itu aku pula yang harus menyelesaikan. Kau tidak boleh terseret-seret dalam permainan gila ini, permainan dari ahli-ahli silat yang tidak mempunyai pekerjaan, yang sombong dan ingin memperlihatkan kepandaian, ingin diakui sebagai jagoan paling pandai di dunia! Ya, dahulu aku amat sombong, In Hong, aku belum puas kalau belum mengalahkan tokoh terbesar di dunia kangouw. Kau tidak boleh terseret-seret, aku akan merasa menyesal dan berduka sampai mati kalau melihat kau dibenci oleh para tokoh-tokoh besar di dunia kangouw. Kau harus menjadi seorang pendekar yang berguna bagi rakyat, berguna bagi manusia. Kerahkan kepandaianmu untuk menolong manusia, bukan untuk mencari permusuhan de-ngan lain orang. Jangan salah mengerti, muridku, aku melarangmu pergi atau ikut ke O-mei-san, bukan sekali-kali karena aku tidak percaya akan kepandaianmu. Pada waktu ini, kepandaianmu tidak kalah olehku sendiri. Aku hanya sayang kalau-kalau kau muridku yang masih murni, masih Suci, akan terseret ke dalam permusuhan yang tidak ada artinya, permusuhan dicari-cari yang tidak ada dasarnya."

   "Jadi subo mau pergi sendiri, meninggalkan Teecu seorang diri disini?"

   "Selalu aku pergi seorang diri kalau hendak berpibu, In Hong. Kesombongan itu sampai sekarang masih ada di dalam dadaku. Aku tidak mau kalau orang mengira aku mengandalkan bantuanmu. Selain itu, kau harus memenuhi tugasmu yang pertama, yakni mencari Ayah bundamu di See-Ciu."

   Mendengar disebutnya Ayah bundanya, berseri wajah In Hong. Hal ini memang sudah dirindukan belasan tahun dan kini mendengar bahwa Gurunya sudah memberi ijin kepadanya untuk mencari Ayah bundanya, tentu saja ia menjadi girang sekali.

   "Baik, subo. Kapankah Teecu boleh berangkat mencari Ayah dan Ibu?"

   Tanyanya. Hek Moli menyembunyikan senyumnya penuh kegetiran dan iri hati. Ia maklum bahwa betapapun besar kasih sayang muridnya terhadap dia, tetap saja kasih sayang muridnya kepada Ayah bundanya jauh lebih besar.

   "Sekarang juga, In Hong. Berangkatlah bersama doaku. Tigapuluh potong uang emas yang kusimpan itu boleh kau bawa, juga pedang dan hiasan rambut yang kau pakai. Pakaianmu juga bawalah semua untuk bekal di jalan. Kau harus berlaku hati-hati dan jangan lupa, disamping melakukan perbuatan sesuai dengan kepandaianmu dan sesuai pula dengan tugas seorang pendekar seperti yang seringkali kunasihatkan kepadamu, jangan sekali-kali kau mencari permusuhan dengan orang-orang kangouw tanpa alasan yang kuat."

   "Baik subo, baik!"

   Dengan girang gadis ini lalu masuk ke dalam pondok untuk mengambil uang dan pakaian, kemudian ia keluar lagi, siap untuk berangkat. Akan tetapi, ketika melihat Gurunya yang tua dan kurus itu berdiri seperti orang melamun, seperti sebuah tonggak kayu yang tua dan buruk, lambang kesunyian dan kelayuan, hatinya terharu sekali dan ia memeluk subonya.

   "Akan tetapi, subo. Bagaimana Teecu tega meninggalkan subo seorang diri?"

   Isaknya. Hek Moli menjadi besar kembali hatinya. Dielus-elusnya rambut muridnya penuh kasih sayang.

   "In Hong, bagaimana kau bisa tinggalkan aku? Aku sendiri sekarang juga akan berangkat ke O-mei-san."

   "Akan tetapi... bagaimana kalau terjadi sesuatu denganmu, subo?"

   "Ha, kau tidak percaya kepadaku? Aku dapat menjaga diri, In Hong, dan biarpun tulang-tulangku telah tua, kiranya takkan mudah dicelakakan orang!"

   "Bila Teecu dapat bertemu dengan subo? Kemana Teecu harus mencari subo?"

   "Kalau kau sudah bertemu dengan orang tuamu, kau tidak boleh lagi meninggalkan mereka! Kalau kau merasa rindu kepadaku, kau datanglah di puncak ini. Setelah beres menguruskan persoalan pibu dengan orang-orang Go-Bi-Pai, aku tentu akan kembali kesini. Aku sudah terlalu tua dan sudah bosan untuk merantau, aku mau menanti sisa umurku di puncak ini. Kalau kau datang kesini, aku pasti ada disini, In Hong, kecuali kalau aku tidak ada disini, tentu... ah, kau tak usah mencariku lagi kalau aku tidak ada disini."

   "Subo...!"

   In Hong menjerit sambil menjauhkan diri agar dapat memandang muka Gurunya. Hek Moli tersenyum.

   "In Hong, jangan seperti anak kecil! Betapapun juga, pibu adalah pertandingan silat dan luka atau tewas dalam pibu bukanlah hal yang rendah."

   "Subo, biarkan Teecu turut dan membantumu! Mereka tidak boleh menjatuhkanmu, subo! Biar kelak saja Teecu mencari Ayah bunda."

   Hek Moli menggeleng kepalanya perlahan.

   "Tidak bisa, In Hong. Belum tentu aku kalah, dan tidak baik kalau kau ikut seperti sudah kukatakan tadi. Berangkatlah kau, dan sekali lagi, kalau kelak kau tidak mendapatkan aku disini, jangan kau mencariku lagi, dan ingat! Jangan kau mencari gara-gara dengan mereka yang menang dalam pibu melawanku. Luka atau mati dalam pibu sudah sewajarnya!"

   "Subo..."

   "Berangkatlah! Jangan bikin aku jengkel!"

   Hek Moli membentak. In Hong menghapus airmatanya, berlutut di depan Gurunya dan berkata lemah,

   "Selamat berpisah, subo. Tak lama lagi Teecu akan mencari subo disini..."

   "Pergilah, muridku."

   In Hong berdiri, sebelum berangkat ia maju dan menubruk, memeluk Suhunya untuk terakhir kali, kemudian ia berlari turun gunung dengan cepat sekali. Setelah bayangan In Hong tidak kelihatan lagi, Hek Moli menjatuhkan diri duduk di atas batu dan mempergunakan ujung baju untuk menghapus beberapa titik air mata. Gunung O-mei-san terletak di sebelah selatan pegunungan Ciung-lai-san. Tepat setengah bulan kemudian semenjak Tosu Tek Seng Cu dari Go-Bi-Pai mendatangi Hek Moli di puncak Ciung-lai-san, pada pagi hari kelihatan Hek Moli berjalan terbongkok-bongkok mendaki puncak O-mei-san, dibantu oleh tongkatnya yang panjang dan hitam.

   Untuk dapat tiba di lereng O-mei-san dalam waktu setengah bulan dari puncak Ciung-lai-san, membutuhkan kepandaian berlari cepat yang tinggi, dan tentu saja Hek Moli mengeluarkan kepandaiannya dalam perjalanan itu. Namun setelah tiba dikaki bukit O-mei-san, melihat bahwa waktu setengah bulan itu kurang dua hari lagi, ia berhenti dan tidur sehari semalam di bawah pohon besar. Ia hanya melakukan perjalanan sembilan hari saja, karena setelah In Hong pergi meninggalkannya, sepekan kemudian barulah ia turun gunung berangkat ke O-mei-san. Sehari kemudian, barulah Hek Moli mendaki bukit O-mei-san, berjalan kaki perlahan-lahan. Ia merasa betapa tubuhnya kini tidak sekuat dulu, bahwa semangatnya tidak sepanas belasan tahun yang lalu. Ia berjalan-jalan sambil mengingat-ingat semua pengalamannya. Diam-diam ia menghela napas panjang,

   "Tua bangka yang tidak beruntung,"

   Bisiknya.

   "usiamu sudah sembilanpuluh tahun, namun masih saja dalam saat terakhir menghadapi kematian usia tua, kau masih mendaki bukit untuk berpibu! Ah, benar-benar memalukan!"

   Tiba-tiba ia mendengar suara orang berlari dari bawah bukit, dan tak lama kemudian ia melihat Tek Seng Cu berlari naik melewatinya! Dari wajah Tosu ini, jelas nampak kekaguman dan juga keheranan. Tek Seng Cu berlari cepat terus menerus menuju kebukit O-mei-san ketika ia meninggalkan Hek Moli, dan sekarang ia melihat nenek itu sudah berjalan perlahan di lereng O-mei-san!

   "Hek Moli, kau sudah sampai disini?"

   Tak terasa pula ia menegur, tak kuasa menyembunyikan keheranannya. Hek Moli terbatuk-batuk hebat. Memang, semenjak In Hong turun gunung meninggalkannya, penyakit batuknya yang tadinya seperti sudah sembuh itu kumat kembali.

   "Tek Seng Cu, kau datang? Kebetulan sekali, lekas kau memberi laporan kepada pimpinan Go-Bi-Pai bahwa aku sudah datang untuk memenuhi undangan,"

   Kata Hek Moli setelah dapat mengatur napasnya yang menjadi sesak karena batuk-batuk tadi. Tanpa menjawab Tek Seng Cu berlari terus mendaki gunung itu.

   Hek Moli tidak perduli dan tetap berjalan perlahan-lahan, dibantu oleh tongkatnya. Akan tetapi sebelum tiba di puncak O-mei-san, baru saja tiba di lereng yang datar, ia melihat Tek Seng Cu berdiri menunggu bersama tujuh olehKakek yang semuanya berdiri memandang kepadanya dengan mata penuh kebencian. Hek Moli terkejut dan juga heran, hatinya terasa tidak enak. Ia tidak melihat Ketua Go-Bi-Pai yang sudah dikenalnya baik, yakni Pek Eng Taysu, dan menurut pandangan matanya yang biarpun sudah tua masih amat tajam. Ia melihat bahwa tiga diantara tujuh orang itu adalah tokoh-tokoh penting dari partai Kun-Lun-Pai. Apakah maksud kedatangan tiga orang Kun-Lun itu? Akan tetapi, biarpun di dalam hatinya Hek Moli timbul pertanyaan ini, pada wajahnya ia tidak memperlihatkan sesuatu, dan langsung ia berjalan terbongkok-bongkok menghampiri mereka.

   "Tek Seng Cu, mana adanya Pek Eng Taysu Ketuamu? Mengapa kalian berdiri disini? Hayo antar aku menjumpainya. Apakah dia menanti kedatanganku di puncak?"

   Akan tetapi, kata-kata ini dijawab oleh Tek Seng Cu dengan seruan kepada kawan-kawannya yang tujuh orang jumlahnya itu,

   "Cuwi beng-yu, mari kita basmi siluman perempuan yang jahat ini!"

   Serentak tujuh orang kawannya itu tanpa mengeluarkan kata-kata mencabut senjata. Ada yang bersenjata pedang, golok, dan bahkan ada yang bersenjata toya dan siang-koan-pit. Melihat cara mereka mencabut senjata, Hek Moli maklum bahwa mereka terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi. Kini ia dapat mengenal bahwa mereka adalah orang-orang Go-Bi-Pai dan Kun-Lun-Pai yang dahulu belasan tahun yang lalu pernah ia robohkan dalam pibu ketika ia mencoba kepandaian tokoh-tokoh dari dua partai besar itu.

   Di Go-Bi-Pai, ia telah mengalahkan Pek Eng Taysu Ketua Go-Bi-Pai dengan susah payah, akan tetapi di Kun-Lun-Pai, ia tidak sempat bertemu dengan Ketuanya, hanya dilayani oleh tokoh-tokoh ketiga dan kedua yang semuanya dengan perlawanan gagah dapat ia kalahkan. Teringat akan semua itu, dan mendengar seruan Tek Seng Cu, Hek Moli menjadi marah sekali. Ia dapat menduga bahwa undangan ini tentulah perbuatan Tek Seng Cu yang sengaja mengumpulkan kawan-kawan untuk mencelakakannya, atau untuk membalas dendam atas kekalahannya sehingga sebelah lengannya buntung. Inilah curang, pikirnya. Untuk menghadapi pibu biasa, sampai kemanapun atau berhadapan dengan siapapun ia tidak gentar dan menerima dengan gembira, akan tetapi menghadapi kecurangan ini, ia takkan dapat membiarkan begitu saja.

   "Tek Seng Cu, kau benar-benar penjahat berjubah pandeta!!"

   Teriaknya dan jauh sekali bedanya dengan ketika ia berjalan terbongkok-bongkok naik gunung tadi, kini tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu tongkatnya telah menusuk ke arah muka Tek Seng Cu! Sebagai seorang ahli, Tek Seng Cu yang kini tangan kirinya telah bersenjata pedang tipis, cepat mengelak dan mencoba membalas dengan babatan pedang. Namun, dua kali tongkat panjang hitam itu bergerak secara aneh setelah tadi mengancam muka Tek Seng Cu.

   Pertama-tama tongkat itu meluncur ke leher, akan tetapi, sewaktu Tek Seng Cu menggerakkan tubuh mengelak, tahu-tahu tongkat itu berobah lagi gerakannya dan tanpa dapat dielakkan atau ditangkis lagi, dada kiri Tosu itu kena ditotok. Tek Seng Cu menjerit, tubuhnya terhuyung dan ia roboh miring, tak dapat ditolong lagi karena sebelum tubuh itu roboh, nyawanya telah melayang! Empat orang Tosu Go-Bi-Pai dan tiga orangKakek Kun-Lun-Pai cepat maju mengeroyok Hek Moli. Tadi mereka tak sempat melindungi Tek Seng Cu karena penyerangan Hek Moli benar-benar tidak terduga dan amat cepatnya. Kini mereka serentak maju mengepung dan menyerang dengan hebat. Diam-diam Hek Moli terkejut. Para penyerangnya ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada Tek Seng Cu, apalagi tiga orangKakek dari Kun-Lun-Pai itu benar-benar amat tangguh ilmu pedangnya.

   "Hm, beginikah caranya kalian berpibu? Bagus, bagus, mari kita mengambil keputusan siapa yang akan tinggal hidup!"

   Kata Hek Moli sambil mengejek dan tongkatnya digerakkan secara luar biasa sekali.

   Empat orang Tosu Go-Bi-Pai itu semua setingkat lebih tinggi dari Tek Seng Cu. Mereka adalah tokoh-tokoh tingkat tiga dari Go-Bi-Pai, maka ilmu silat mereka tentu saja sudah cukup tinggi. Mereka ini adalah Paman-Paman Guru dari Tek Seng Cu, yakni murid dari Pek Eng Taysu tingkat muda. Nama mereka adalah Wi Tek Tosu, Wi Kong Tosu, Wi Jin Tosu, dan Wi Liang Tosu. Sebagai murid Pek Eng Taysu yang terkenal sebagai seorang ahli silat serba bisa, maka senjata mereka juga bermacam-macam. Wi Tek Tosu terkenal dengan Siang-Kiamnya, Wi Kong Tosu kuat sekali permainan toyanya, Wi Jin Tosu mempergunakan sebatang golok besar, sedangkan Wi Liang Tosu bersenjata ruyung kuningan. Masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri dan rata-rata merupakan lawan yang amat tangguh.

   Adapun tiga orangKakek dari Kun-Lun-Pai, bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka ini adalah tokoh-tokoh tingkat dua dari Kun-Lun-Pai, menjadi murid-murid tertua dari Pek Ciang San-Lojin (Kakek gunung bertangan putih), yakni Ketua Kun-Lun-Pai pada waktu itu. Ketika belasan tahun yang lalu Hek Moli naik ke Kun-Lun dan menantang tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai berpibu, kebetulan sekali Pek Ciang San-Lojin sedang tidak ada disana dan sebagai wakilnya, yang maju adalah muridnya yang kedua, yakni Kim Sim Sanjin (Orang gunung berhati emas). Biarpun tak dapat dikatakan mudah, akhirnya Kim Sim Sanjin harus mengakui kelihayan Hek Moli dan ia kena dikalahkan dan hanya menderita luka ringan. Kini, tiga orang Kun-Lun-Pai yang datang, adalah tiga orang tokoh yang menjadi wakil Pek Ciang San-Lojin, merupakan tiga orang yang paling ternama di bawah Guru besar itu,

   Yakni pertama adalah Cu Sim Sanjin (Orang gunung berhati penuh welas asih), orang kedua adalah Kim Sim Sanjin sendiri, dan orang ketiga mempunyai sebutan Sun Sim Sanjin (Orang gunung berhati bersih). Cu Sim Sanjin senjatanya adalah ujung lengan bajunya yang panjangnya satu kaki lebih, Kim Sim Sanjin bersenjata sepasang siang-koan-pit, sedangkan Sun Sim Sanjin senjatanya adalah sebuah kebutan Pendeta (hudtim) yang berbulu putih berkilau seperti perak. Melihat senjata-senjata ini saja sudah dapat dinilai bahwa ilmu kepandaian tiga orangKakek Kun-Lun-Pai ini benar-benar tinggi karena senjata-senjata mereka sudah menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli lweekeh (ahli ilmu lweekang) dan ahli totok atau tiam-hoat. Namun, Hek Moli bukan disebut Hek Moli Iblis wanita hitam kalau dia gentar menghadapi keroyokan tujuh orang jago tua yang lihay itu.

   Dengan tongkatnya yang panjang dan hitam, ia bersilat dengan aneh, ilmu silat yang tak pernah terlihat di wilayah Tiongkok Pedalaman. Tongkat itu berubah menjadi segundukan sinar hitam yang membungkus tubuhnya, dan tiap kali senjata lawan terbentur oleh sinar hitam ini, senjata lawan itu pasti terpental, seakan-akan dari sinar hitam itu keluar tenaga dahsyat yang amat luar biasa. Hek Moli benar-benar marah. Ia sudah amat tua dan tenaganya tidak seulet dahulu, maka ia merasa penasaran sekali dan menganggap tujuh orang pengeroyoknya adalah pengecut-pengecut belaka yang mempergunakan jumlah banyak untuk mengeroyok seorang perempuan tua seperti dia. Oleh karena merasa gemas dan marah, timbullah hati ganas dan kejam di dalam dada Hek Moli. Apalagi ketika ia merasa bahwa perlahan-lahan ia mulai terdesak hebat.

   Kepandaian tujuh orang lawannya benar-benar kuat sekali. Apalagi ketiga orangKakek Kun-Lun-Pai itu, benar-benar sukar dilawan. Menghadapi seorang diantara tiga orangKakek ini saja, agaknya ia harus mengerahkan seluruh kepandaian untuk mengalahkannya. Dahulu, ketika ia mengalahkan Kim Sim Sanjin, biarpun tidak begitu mudah namun kepandaiannya masih jauh mengatasi kepandaian Kim Sim Sanjin. Akan tetapi sekarang ia mendapat kenyataan bahwa sepasang siang-koan-pit ditangan Kim Sim Sanjin jauh lebih lihay daripada dahulu, tanda bahwa setelah dikalahkan, tokoh Kun-Lun ini telah memperdalam ilmu kepandaiannya. Makin lama Hek Moli makin terdesak. Tiba-tiba wanita ini diam-diam merogoh sakunya dan sekali ia mengeluarkan jerit nyaring yang menyakitkan anak telinga dan membuat hati tujuh orang lawannya tergoncang, tangan kirinya bergerak.

   Sinar-sinar hitam melayang cepat ke depan. Tiga orangKakek Kun-Lun-San dapat mengelak dan menyampok sinar ini dengan senjata mereka. Juga dua diantara tokoh Go-Bi-Pai dapat mengelak. Akan tetapi Wi Liang Tosu dan Wi Jin Tosu menjerit ngeri, tubuh mereka terhuyung-huyung, lalu roboh berkelonjotan dan tak lama kemudian mereka menghembuskan nafas terakhir! Ternyata bahwa dalam kemarahannya, Hek Moli telah mempergunakan senjata-senjata rahasia aneh yang ia sebut Toat-beng-hek-kong (Sinar hitam pencabut nyawa)! Senjata-senjata rahasia ini juga tidak dikenal di daerah Tiong-goan atau pedalaman Tiongkok, dan merupakan semacam pasir berwarna hitam yang kalau mengenai tubuh lawan, terus menyusup ke dalam jalan darah dan mengandung bisa yang cepat merampas nyawa lawan!

   "Siluman wanita, kau benar-benar berbahaya dan jahat, patut dilenyapkan dari muka bumi!"

   Teriak Cu Sim Sanjin orang tertua dari Kun-Lun-Pai. Begitu ia berteriak, ia dan dua orang Sutenya lalu mendesak hebat. Teranglah bagi Hek Moli bahwa tadi tiga orang Kun-Lun-Pai ini tidak bertempur sungguh-sungguh dan sekarang barulah ia tahu bahwa kalau mereka bertempur sungguh-sungguh, tak mungkin baginya untuk mempergunakan senjata rahasia. Baru beberapa gebrakan saja setelah mereka membulatkan penyerangan dengan gerakan-gerakan cepat, pundaknya telah kena sabetan ujung lengan baju Cu Sim Sanjin sehingga ia terhuyung tiga langkah dan merasa pundaknya sakit sekali.

   "Bedebah, mampuslah kalian!"

   Bentak Hek Moli dan kembali tongkatnya menyambar-nyambar. Diam-diam Cu Sim Sanjin tertegun. Pukulannya dengan ujung lengan baju tadi adalah pukulan To-san-ciang (Pukulan menghantam gunung), hebatnya bukan main dan betapapun kuat tubuh seorang lawan, pasti akan roboh kalau terkena pukulan ini. Akan tetapi, wanita tua ini hanya terhuyung tiga langkah, bahkan dapat mengamuk lagi dengan hebatnya. Benar-benar luar biasa sekali!

   "Siluman wanita, bukankah kau datang dari Sik-kim dan kau adalah keturunan dari Bhutan Koay-jin (Orang aneh dari Butan)?"

   Mendengar ini, berobahlah wajah Hek Moli, akan tetapi ia mengamuk makin hebat sambil berseru,

   "Tutup mulut dan mampuslah kalian!"

   Tongkatnya membuat gerakan memanjang yang luar biasa kerasnya, disusul dengan gerakan terputar, kini tidak menghadapi lima orang pengeroyoknya, melainkan menindih dan mendesak kepada Wi Kong Tosu.

   Mana Tosu Go-Bi-Pai ini mampu mempertahankan diri setelah tongkat itu khusus diserangkan kepadanya? Dengan tepat kepalanya terkena sambaran ujung tongkat sehingga pecah dan ia menggeletak tak bernyawa tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun suara! Akan tetapi, karena perhatiannya ditujukan kepada seorang saja, sedetik setelah tongkatnya menghancurkan kepala Wi Kong Tosu, empat orang lawannya hampir berbareng melakukan serangan hebat. Pedang kiri Wi Tek Tosu menusuk pangkal lengan Hek Moli, ujung lengan baju Cu Sim Sanjin menampar kepalanya, Siang-koan-pit sebelah kanan dari Kim Sim Sanjin menotok jalan darah pada iganya, sedangkan ujung hud-tim (kebutan) dari Sun Sim Sanjin menotok jalan darah pada lehernya.

   "Tongkat jahanam... ternyata manusia tidak seperti engkau... kau tidak bisa mati, tak bisa rusak akan tetapi aku... majikanmu... sudah lemah dan sekarang akan mati..."

   Empat orang pengeroyoknya mendengar kata-kata ini dengan mata memandang heran, akan tetapi Cu Sim Sanjin orang tertua dari Kun-Lun-Pai yang mengerti akan maksud kata-kata ini, merasa kasihan. Memang ia terkenal seorang yang mudah sekali merasa kasihan kepada orang-lain, oleh karena itu ia dijuluki Cu Sim Sanjin (Orang-gunung berhati penuh welas asih).

   "Hek Moli, kau salah duga. Biarpun tongkat benda mati namun ia bisa lapuk dan rusak."

   Sambil berkata demikian ia menyambar tongkat panjang yang tertindih oleh tubuh Hek Moli, menggenggamnya di kedua tangan. Ia mengerahkan lweekangnya yang paling tinggi diantara kawan-kawannya. Terdengar suara "krek! krek!"

   Dan tongkat itu hancur pada bagian yang dicengkeramnya, lalu patah menjadi tiga potong.

   "Lihat, Hek Moli, tongkatmu pun lapuk dan tua seperti kau."

   "Cu Sim Sanjin... terima kasih..."

   Hek Moli tersenyum puas, terengah-engah.

   "Hek Moli, sebelum kau pergi, terangkanlah kepada Pinto, apakah betul dugaanku bahwa kau ada hubungan dengan Bhutan Koay-jin dari Sikkim?"

   Tanya Cu Sim Sanjin. Hek Moli memandang kepadanya, lalu tersenyum pahit.

   "Kau baik... sudah berusaha menghiburku... kau tidak tahu... Koay-jin itu adalah... adalah suamiku..."

   Setelah berkata demikian, Hek Moli tertawa lemah dan suara tertawanya menghilang bersama nyawanya. Cu Sim Sanjin menarik napas panjang.

   "Pantas saja dia begini ganas, dia tidak membunuh buta tuli masih cukup baik kalau mengingat akan nasib suaminya..."

   "Siapakah Butan Koay-jin?"

   Tanya Wi Tek Tosu penasaran mendengar tokoh Kun-Lun-San ini masih menaruh hati kasihan kepada Hek Moli. Cu Sim Sanjin menggeleng kepalanya,

   "Diberitahu juga kau takkan mengerti, Wi Tek To-yu. Lebih baik kau merawat empat orang kawanmu yang terbinasa. Kami tidak dapat tinggal lebih lama lagi, selamat berpisah."

   Setelah berkata demikian, Cu Sim Sanjin mengajak kedua orang Sutenya pergi meninggalkan tempat itu. Sebelum jauh ia menengok dan berkata lagi,

   
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kami datang karena kau undang dan Hek Moli maupun empat orang kawanmu tewas dalam pertempuran yang diadakan oleh Go-Bi-Pai. Oleh karena itu, disamping empat orang kawanmu, agaknya sudah sepatutnya kalau kau merawat jenazah Hek Moli juga."

   Wi Tek Tosu mendongkol sekali mendengar kata-kata ini, akan tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu karena tiga orangKakek Kun-Lun-Pai itu sudah pergi dan tidak kelihatan bayang-bayangnya lagi. Betapapun juga, ia harus akui bahwa tanpa bantuan tiga orangKakek Kun-Lun-Pai itu, ia takkan dapat membunuh Hek Moli, bahkan nyawanya sendiri tentu akan terbang pula oleh nenek yang sakti ini. Ia berhasil membujuk Kim Sim Sanjin untuk datang membantunya melawan Hek Moli dan hanya karena Kim Sim Sanjin pernah dikalahkan oleh Hek Moli maka tiga orangKakek itu mau datang membantu. Pula, ia telah berdaya untuk memanaskan hati mereka dengan menyatakan betapa kejamnya Hek Moli sehingga muridnya, yakni Tek Seng Cu dibuntungi lengannya oleh nenek itu.

   Kini, biarpun ia sudah dapat membunuh Hek Moli, akan tetapi tiga orang Sutenya tewas, bahkan muridnya juga tewas oleh Hek Moli. Bagaimana ia sudi mengubur dan merawat jenazah nenek yang mendatangkan malapetaka bagi Go-Bi-Pai ini? Apalagi kalau diingat bahwa ia harus menghadapi pertanggungan jawabnya apabila pibu ini terdengar oleh Suhunya, yakni Pek Eng Taysu. Sudah berkali-kali Pek Eng Taysu menyatakan bahwa Go-Bi-Pai tidak ada urusan dendam dengan Hek Moli. Memang betul bahwa Hek Moli sudah pernah naik ke Go-bi-san, sudah menjatuhkan mereka, bahkan melukai Tek Seng Cu, akan tetapi semua itu terjadi dalam sebuah pibu yang adil. Tidak ada alasannya untuk bersakit hati.

   "Apalagi untuk membalasnya dengan jalan pibu. Pinto sendiri sudah bosan main-main seperti anak kecil, mengadu kepalan seperti badut. Sedangkan kiraku tak seorangpun diantara kalian yang dapat menandinginya, maka sudahlah, urusan kecil itu habiskan saja."

   Pek Eng Taysu pernah berkata ketika murid-muridnya mengajukan penasaran dan hendak membalas kepada Hek Moli. Sekarang, di luar tahunya Pek Eng Taysu, Wi Tek Tosu dan tiga orang Sutenya, bersama muridnya, minta bantuan tigaKakek Kun-Lun-Pai dan berhasil menewaskan Hek Moli. Akan tetapi tiga orang Sutenya dan seorang muridnya tewas, bagaimana ia dapat menjawab pertanyaan Suhunya?

   "Dia inilah yang menjadi gara-gara dan biangkeladi?"

   Wi Tek Tosu memaki sambil memandang kepada jenazah Hek Moli yang menggeletak miring. Makin dipandang, makin gemaslah dia, apalagi kalau ia memandang kepada empat mayat kawan-kawannya. Dalam kegemasannya, Wi Tek Tosu mencabut Siang-Kiamnya (sepasang pedangnya), lalu menghampiri jenazah Hek Moli.

   "Siluman wanita, kalau belum menghancurkan tubuhmu, aku belum puas!"

   Katanya. Pedang kanannya digerakkan dan,

   "Bless!"

   Pedang itu amblas ke dalam punggung Hek Moli. Ia mencabut pedang itu dan hendak diayun lagi untuk memenggal leher mayat Hek Moli. Akan tetapi, tiba-tiba menyambar sebuah benda kecil yang tepat mengenai pedang yang diayunnya itu.

   "Criing...!"

   Wi Tek Tosu terkejut dan melompat mundur. Tangannya terasa tergetar. Ia mengira bahwa tiga orangKakek Kun-Lun-San yang kembali dan mengganggunya, akan tetapi ketika ia menengok, ia melihat seorang laki-laki bertubuh gagah, bermata tajam dan beralis tebal sedang memandangnya sambil bertolak pinggang. Laki-laki ini berusia empatpuluh tahun lebih dan melihat pakaiannya yang sederhana itu, mudah diduga bahwa dia adalah seorang ahli silat yang sedang melakukan perjalanan jauh dengan jalan kaki.

   "Wi Tek Totiang, mengapa seorang Pendeta seperti kau mau mengganggu tubuh yang sudah tak bernyawa lagi?"

   Tanya laki-laki gagah itu dengan suaranya yang keras. Wi Tek Tosu tentu saja mengenal laki-laki gagah itu karena dia ini adalah seorang tokoh kangouw yang terkenal. Dengan muka berobah merah sekali saking jengah dan malu, Wi Tek Tosu tertawa masam lalu berkata,

   "Eh, kiranya Ong Tiang Houw Tayhiap yang datang. Baiknya tayhiap keburu mencegah Pinto yang menjadi hilap karena amarah sehingga Pinto tidak jadi merusak mayat manusia iblis ini."

   Wi Tek Tosu menyimpan kembali pedangnya.

   "Siapakah dia itu?"

   Tanya orang gagah yang bukan lain adalah Ong Tiang Houw yang sudah kita kenal dibagian depan dari cerita ini. Ia mendekati dan agak terkejut ketika mendapatkan mayat-mayat lain yang ia kenal sebagai Tosu-Tosu terkemuka dari Go-Bi-Pai.

   "Ayaa"

   A.....! Kulihat Tosu-Tosu Go-Bi-Pai ada yang tewas pula! Apakah yang telah terjadi, Totiang?"

   Wi Tek Tosu menarik napas panjang.

   "Sute-Suteku dan muridku sebanyak empat orang ini tewas oleh siluman wanita ini."

   Ong Tiang Houw kini mengalihkan perhatiannya kepada mayat Hek Moli. Ia melihat mayat seorang nenek tua yang berpakaian buruk, bertubuh kurus panjang dan mukanya tidak kelihatan karena tertutup oleh lengannya, didekatnya terdapat sebatang tongkat hitam panjang yang sudah patah-patah. Ia merasa hatinya terguncang keras.

   "Wi Tek Totiang, tahukah kau siapa adanya wanita tua ini?"

   Tanyanya sambil menekan guncangan hatinya.

   "Dia adalah Hek Moli, iblis wanita yang sejahat-jahatnya,"

   Jawab Wi Tek Tosu.

   "Tanpa sebab dia pernah naik ke Go-bi-san, menghina kami, bahkan membuntungi sebelah lengan muridku. Hari ini muridku bersama Sute-Suteku hendak memberi hajaran kepadanya, akan tetapi dia ternyata jahat dan ganas sekali sehingga murid dan Sute-Suteku tewas. Baiknya kami dapat menewaskan pula siluman ini."

   Mendengar bahwa nenek itu adalah Hek Moli, muka yang tampan dari Ong Tiang Houw menjadi gelap, dan hatinya tidak enak sekali. Ia memandang tajam kepada Wi Tek Tosu sambil berkata,

   "Wi Tek Totiang, aku tidak tahu urusan apa yang terjadi antara Hek Moli dan Go-Bi-Pai, akan tetapi yang jelas, dia ini lihay sekali sehingga dapat mengalahkan empat orang tokoh Go-Bi-Pai. Sekarang dia tewas, bagaimanapun juga, tidak patut sekali kalau kau menuruti nafsu iblis dan merusak mayat yang tidak bernyawa lagi."

   Kembali muka Tosu itu menjadi merah. Ia menjura dan kata-katanya terdengar kering,

   "Ong-tayhiap, kau tidak tahu bagaimana sakit hati orang melihat tiga orang Sute dan seorang muridnya menggeletak tak bernyawa, sehingga Pinto menjadi mata gelap. Baiknya kau datang sehingga Pinto tak jadi melakukan hal-hal yang kurang layak. Terima kasih atas kedatanganmu ini."

   Setelah berkata demikian, tanpa meno]eh kepada Tiang Houw lagi, Wi Tek Tosu lalu menghampiri empat mayat kawan-kawannya, mengambil empat mayat itu satu demi satu, lalu memanggul mereka dengan sedikitpun tak kelihatan berat, kemudian ia lari turun gunung O-mei-san dengan cepat. Ong Tiang Houw hanya memandang dan menarik napas panjang.

   "Tak pantas menjadi Pendeta,"

   Celanya dengan suara perlahan. Kemudian ia menghampiri mayat Hek Moli, menurunkan lengan yang menutup muka nenek itu. Ia melihat wajah yang sudah tua, wajah yang keriputan dan menghitam, yang kelihatan sekelebatan amat buruk. Akan tetapi ketika ia memperhatikan, ternyata olehnya bahwa sebetulnya wajah itu mempunyai garis-garis yang amat baik, bahwa mata, hidung dan mulut itu dahulunya amat baik, wajah seorang yang dahulu amat cantik. Teringatlah ia akan pesan dari mendiang Suhunya, yakni Bu Sek Tianglo ketikaKakek itu hendak menghembuskan nafas terakhir,

   "Tiang Houw, kelak kalau kau sudah terjun ke dunia kangouw, dan kau bertemu dengan seorang wanita yang memakai nama julukan Hek Moli, betapapun jahat ia nampaknya, jangan kau mengganggunya. Bahkan kau harus membela dia sedapat mungkin, Tiang Houw. Dialah satu-satunya orang di dunia ini yang kupuja, yang kuhormati dan yang takkan pernah terbayar budinya yang telah kuterima. Bela dan lindungi dia, Tiang Houw, sungguhpun ilmu silatnya sudah amat tinggi, mungkin dia dibenci orang-orang kangouw..."

   Memang sudah seringkali Tiang Houw dalam perantauannya di dunia kangouw, mendengar akan nama Hek Moli yang amat ditakuti orang, akan tetapi belum pernah ia bertemu muka dengan orangnya.

   Ia mencari-cari keterangan dan akhirnya ia mendapat gambaran bahwa orang yang namanya Hek Moli adalah seorang nenek seperti siluman, bertongkat panjang hitam, berpakaian butut dan berwajah buruk sekali, mempunyai watak aneh dan ganas. Dan kini, di puncak O-mei-san, tanpa tersangka-sangka, ia telah bertemu dengan Hek Moli dalam keadaan sudah tak bernyawa lagi. Namun, hatinya bersyukur bahwa dalam saat terakhir itu ia telah dapat memenuhi pesanan Suhunya, yakni membela Hek Moli, sungguhpun pembelaannya itu amat sedikit artinya, yakni hanya mencegah orang merusak mayat nenek itu. Dengan sebutir senjata rahasia thi-lan-ci, ia tadi mencegah Wi Tek Tosu menurunkan pedang merusak jenazah Hek Moli. Diam-diam ia merasa lega.

   Ia dapat membayangkan betapa sukar kedudukannya kalau ia datang lebih pagi, yakni selagi Hek Moli bertempur menghadapi pengeroyokan orang-orang Go-Bi-Pai. Apa yang harus ia lakukan? Biarpun Suhunya sudah meninggalkan pesan agar ia membela Hek Moli, akan tetapi suara yang ia dengar tentang Hek Moli yang dianggap sebagai seorang iblis wanita ganas dan kejam, lagi pula suka mencari perkara, membuat ia ragu-ragu. Apalagi kalau melihat Hek Moli bertempur melawan tokoh-tokoh Go-Bi-Pai! Ia mengenal baik Ketua Go-Bi-Pai, yakni Pek Eng Thaisu yang diketahuinya benar-benar adalah seorangKakek Pertapa yang berhati mulia dan Suci. Ia tahu bahwa Go-Bi-Pai adalah sebuah partai persilatan yang amat besar, berpengaruh dan ternama, yang menghasilkan banyak pendekar-pendekar budiman. Bagaimana ia dapat membantu Hek Moli dan bermusuhan dengan Go-Bi-Pai?

   "Betapapun juga, aku telah membelanya,"

   Kembali Tiang Houw menghela napas lega.

   "setidaknya membela mayatnya."

   Ia lalu menggali lubang di tempat yang baik di puncak gunung, kemudian memondong mayat nenek itu dan menguburnya baik-baik. Agar kuburan itu tidak akan lenyap begitu saja tanpa bekas, ia lalu mengambil tongkat hitam yang sudah patah-patah itu, kemudian ia menancapkan tiga potongan tongkat itu di depan gundukan tanah kuburan. Bagaimana Ong Tiang Houw dapat tiba di O-mei-san dan kebetulan sekali dapat mencegah Wi Tek Tosu merusak mayat Hek Moli? Untuk mengikuti perjalanan Ong Tiang Houw, baiklah kita mundur sebentar dan mengikuti pengalaman Nyonya Kwee Seng. Seperti telah dituturkan dibagian depan dari cerita ini, empatbelas tahun yang lalu Ong Tiang Houw memimpin pasukan rakyat yang mempergunakan nama Kai-Sin-Tin, menyerbu dan membasmi orang-orang hartawan dan bangsawan di beberapa dusun, termasuk dusun Tiang-On.

   Sudah diceritakan pula betapa keluarga hartawan Kwee Seng pun menjadi korban. Kwee Seng sendiri tewas terkena sambaran senjata rahasia thi-lian-ci dari Ong Tiang Houw, adapun Kwee-Hujin atau Nyonya Kwee yang masih muda dan cantik jelita itu menarik hati Ong Tiang Houw sehingga duda yang masih muda dan gagah ini tidak tega untuk membunuhnya, bahkan lalu melarikannya di atas kuda. Kwee-Hujin, atau nama kecilnya Yo Cui Hwa, siuman dari pingsannya, membuka mata perlahan dan mengeluarkan suara rintihan. Ia membuka mata lebar-lebar ketika merasa betapa angin menyambar-nyambar dan membuat kulit mukanya terasa dingin. Ia melihat pohon-pohon berlari-larian cepat sekali dan setelah ia sadar betul-betul, barulah ia tahu bahwa ia berada dalam pondongan seorang laki-laki di atas kuda!

   Kenyataan ini demikian mengejutkan dan mengerikan hatinya sehingga sambil mengeluarkan keluhan lemah, Nyonya muda ini pingsan kembali dalam pelukan Ong Tiang Houw. Tiang Houw merasa betapa tubuh Nyonya yang dipondongnya tadi bergerak perlahan, lalu lemas kembali, akan tetapi kini terasa hawa panas keluar dari tubuh yang dipondongnya itu. Bukan main panasnya sehingga ia sendiri sampai berpeluh. Ia menahan kendali kudanya dan meraba jidat Nyonya Kwee. Alangkah terkejutnya ketika tangannya meraba kulit jidat yang panas seperti terbakar. Ternyata bahwa luka dikepala karena beradu dengan batu, ditambah dengan pukulan batin melihat dirinya dilarikan oleh seorang laki-laki, telah menda-tangkan demam hebat pada diri Yo Cui Hwa Nyonya muda itu.

   "Dia harus cepat-cepat mendapat perawatan yang baik,"

   Ong Tiang Houw berkata seorang diri. Cepat ia membalapkan kuda menuju ke kampungnya sendiri. Ketika Yo Cui Hwa sadar kembali, ia mendapatkan dirinya telah rebah di atas pembaringan sederhana dalam sebuah kamar yang bersih. Di atas meja dekat pembaringan itu terdapat sebuah tempat kembang terisi kembang yang masih segar. Keadaan disitu tenteram dan damai, menyenangkan sekali.

   "Ibu, harap suka minum dulu obat ini agar lekas sembuh."

   Cui Hwa tersentak kaget dan menengok. Di sebelah pembaringan, ternyata seorang anak laki-laki berusia kurang lebih enam tahun tengah berlutut dan memegang sebuah mangkok terisi obat masakan yang masih hangat dan berbau harum. Cui Hwa tercengang. Anak itu berwajah bundar, kulit mukanya putih bersih, matanya bersinar dan Bibirnya merah. Benar-benar muka seorang anak laki-laki yang tampan sekali. Cui Hwa segera bangun dan duduk, memandang dengan mata terbuka lebar-lebar.

   "Siapa kau? Dimana aku...?"

   "Ibu, anak adalah Teng San dan Ibu berada di rumah kita sendiri. Marilah minum obatnya, Ibu...,"

   Ucapan itu seperti tadi, terdengar amat halus dan penuh kasih sayang, sehingga Cui Hwa menjadi makin heran.

   "Bagaimana kau memanggil aku Ibu dan... dan bagaimana aku bisa berada disini? Apa artinya ini semua?"

   Cui Hwa hampir menjerit saking tegangnya perasaan diwaktu itu. Semua ini terjadi seperti dalam mimpi buruk. Tahu-tahu ia berada disebuah kamar asing dan anak laki-laki ini, yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya, tiba-tiba saja menyebutnya sebagai Ibunya! Gilakah dia? Anak laki-laki itu memandang dan Bibirnya bergerak seperti orang berduka.

   "Ibu, anak mohon Ibu minum dulu obat ini agar lekas sembuh. Tentang semua pertanyaan itu, nanti akan anak jawab setelah Ibu minum obat."

   Kata-kata yang amat halus dan penuh perhatian itu benar-benar membuat Cui Hwa terharu. Tak dapat lagi ia menolaknya, maka sambil memandang muka anak itu tanpa berkedip, ia menerima mangkok dan minum isinya tanpa ragu-ragu lagi. Rasanya agak pait dan masam. Adapun anak itu memandang dengan muka berseri ketika melihat Cui Hwa minum obatnya, kemudian anak itu memandang kagum melihat betapa muka Cui Hwa bergerak-gerak menahan rasa pahit. Dalam pandangannya, muka itu bukan main indahnya.

   "Pahit, Ibu?"

   Tanyanya dan suaranya mengandung kasih sayang yang menggetarkan kalbu Cui Hwa. Ia menaruh mangkok kosong itu di atas meja dekat pembaringan, kemudian ia bertanya,

   "Nah, sekarang ceritakanlah yang jelas. Siapa namamu tadi? Teng San?"

   "Ong Teng San nama anak, Ibu. Ayahku yang membawa Ibu dalam keadaan sakit hebat. Kata Ayah, Ibu ditolong oleh Ayah dari ancaman maut, dan menurut Ayah, kau adalah pengganti Ibuku yang sudah meninggal dunia. Kata Ayah, aku harus menganggap kau sebagai Ibuku sendiri, dan karena... karena akupun suka sekali mempunyai Ibu seperti kau, maka aku menurut pesan Ayah dan merawat Ibu disini. Anak merasa senang sekali melihat Ibu berangsur sembuh dan..."

   "Nanti dulu!"

   Cui Hwa kini memandang pucat.

   "Apa kau bilang? Siapa itu Ayahmu? Bagaimana ia berani sekali mengatakan bahwa aku..."

   "Ibu, maafkanlah Ayah... dia seorang yang paling mulia di dunia ini, jangan marah kepadanya. Dia... di... Ibuku... telah meninggal dunia setahun lebih yang lalu dan dia... aku... amat berduka."

   Melihat anak itu menangis tersedu-sedu, Cui Hwa menjadi terharu. Memang, kesedihan hati sendiri akan terobat melihat penderitaan atau kesedihan orang lain, dan untuk sementara, seorang berhati mulia seperti Cui Hwa yang sedang berduka, akan melupakan kedukaan sendiri menghadapi orang lain yang demikian berduka. Ia turun dari pembaringan, memegang pundak Teng San dan menyuruhnya berdiri.

   "Diamlah, nak,"

   Ia mengelus-elus kepala anak itu.

   "Dan kau pergilah, panggil Ayahmu kesini."

   "Akan tetapi jangan marah kepadanya, Ibu..."

   Melihat betapa sepasang mata yang tajam dan bening itu memandang kepadanya dengan penuh permohonan, mengucurlah airmata dari sepasang mata Cui Hwa dan dengan mulut tersenyum sedih, ia menggeleng perlahan kepalanya sambil berkata perlahan,

   "Kalau Ayahmu sebaik engkau, aku takkan marah, Teng San."

   Mendengar ini, Teng San kelihatan girang sekali dan ia lalu berlari keluar. Sampai di pintu, ia menengok kembali dan berkata,

   "Kau duduklah dulu, Ibu. Jangan berdiri saja, kau masih lemah. Biar anak memanggil Ayah!"

   Cui Hwa menghela napas dan duduk, termenung. Dalam rumah siapakah ia tiba? Dengan orang macam apa ia akan berhadapan? Ia mengingat kembali semua pengalamannya. Yang teringat olehnya hanyalah bahwa suaminya sudah menggeletak mandi darah di dalam hutan, kemudian ia dibawa lari di atas kuda oleh seorang laki-laki yang tak dilihat mukanya diwaktu itu. Apakah laki-laki itu yang menjadi Ayah Teng San?

   "Suamiku... agaknya kau... kau telah..."

   Sampai disini, air matanya turun bertitik-titik di atas sepasang pipinya yang agak pucat. Kemudian ia teringat akan puterinya, In Hong, maka makin deraslah air matanya.

   "In Hong... bagaimana nasibmu, anakku...??"

   Bisiknya. Pada saat itu, terdengar suara langkah orang di luar pintu kamar. Teng San muncul bersama seorang laki-laki yang sikapnya gagah, pakaiannya sederhana, dan wajahnya tampan.

   "Ibu, mengapa kau menangis...?"

   Teng San berlari menghampiri Cui Hwa dan memeluk Nyonya muda yang sedang duduk menangis itu.

   "Jangan bersedih, Ibu, ada Teng San disini yang akan menghiburmu."

   Cui Hwa makin terharu dan tak terasa pula ia mendekap kepala anak itu kepangkuannya, terisak-isak menangis. Kemudian ia teringat akan laki-laki yang datang bersama Teng San, maka ia lalu mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu lama, yang sepasang penuh kasih sayang, yang sepasang lagi penuh selidik dan curiga, akhirnya sepasang mata Cui Hwa yang memandang penuh selidik itu mengalihkan ke bawah, mukanya menjadi agak merah karena ia merasa amat tidak enak dan malu berhadapan dengan seorang laki-laki muda yang tak dikenalnya di dalam kamar yang asing itu. Baiknya disitu ada Teng San, maka ia mengelus-elus kepala anak itu untuk menghilangkan kebingungannya.

   "Kau sayang kepada Teng San, bagus sekali. Bukan main lega hatiku melihatnya,"

   Terdengar laki-laki itu berkata dan suaranya mempunyai gaya seperti suara Teng San, halus dan lemah lembut, namun berpengaruh. Dengan perlahan, Cui Hwa mendorong kepala Teng San dari pangkuannya dan anak ini lalu duduk di atas pembaringan dekat Cui Hwa.

   "Kau siapakah? Dan apa maksudnya ini semua? Mengapa kau membawaku kesini dan bagaimana dengan... suamiku? Dimana pula In Hong anakku?"

   Cui Hwa hanya sebentar saja menatap wajah laki-laki itu, karena pandang mata yang penuh kekaguman dan kasih sayang yang ditujukan kepadanya itu membuat ia tidak berani memandang dan bertemu pandang terlalu lama. Laki-laki itu yang bukan lain adalah Ong Tiang Houw, menarik sebuah bangku di dekat meja, lalu duduk. Ia menarik napas panjang berkali-kali, agaknya hendak menenteramkan hatinya yang berguncang, kemudian berkata lambat-lambat,

   

Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Sepasang Naga Lembah Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini