Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 3


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Biarlah kita bicara dengan hati terbuka dan biarpun yang akan kita bicarakan ini tidak patut didengarkan oleh seorang anak-anak, akan tetapi kurasa lebih baik Teng San biar tinggal disini agar kau tidak merasa kikuk dan pula lebih pantas kalau dia mengawanimu disini."

   Hati Cui Hwa lega mendengar kata-kata ini, ia merasa setuju dan terhibur mendengar kata-kata yang mencerminkan sikap sopan dan jujur ini, maka ia mengangguk menyetujui.

   "Aku bernama Ong Tiang Houw, seorang... duda yang hidup berdua dengan puteraku ini, Ong Teng San..."

   Kembali Cui Hwa mengangguk tanda bahwa ia sudah mengerti akan hal ini, karena memang ia sudah mendengar dari Teng San bahwa Ibunya meninggal dunia setahun lebih yang lalu. Nama Ong Tiang Houw tidak pernah dikenalnya, maka tidak mendatangkan sesuatu yang aneh. Padahal bagi dunia kangouw, nama ini tentu akan dikenal baik sebagai nama seorang pendekar muda yang lihay sekali!

   "Dua pekan yang lalu, pada suatu malam, lewat tengah malam, aku mendapatkan kau menggeletak di dalam hutan dalam keadaan pingsan dan..."

   "Dua pekan yang lalu?"

   Cui Hwa mengulang dan ia memandang wajah Tiang Houw untuk sejenak. Tiang Houw mengangguk.

   "Ya, dua pekan yang lalu. Kau telah menderita sakit demam yang cukup hebat selama hampir dua pekan."

   "Aahhh... teruskanlah."

   "Selain kau, aku melihat pula... seorang laki-laki rebah di atas tanah dalam keadaan sudah... tewas."

   Cui Hwa tak dapat menahan air matanya yang mengucur keluar. Ia mengangguk-angguk dan berkata terputus-putus,

   "Aku tahu, aku tahu... aku melihat dia... suamiku... menggeletak dengan kepala penuh darah. Sudah kuduga... dia tentu sudah... meninggal dunia..."

   Tiang Houw membiarkan Nyonya muda itu terisak-isak sebentar dan Teng San memeluk Cui Hwa,

   "Tenanglah, Ibu, harap suka menguatkan hati..."

   "Teruskanlah..."

   Minta Cui Hwa dengan suara sayu.

   "Karena di dalam keributan itu aku tidak dapat melakukan sesuatu untuk menolongmu, maka terpaksa aku lalu membawamu pergi dari tempat berbahaya itu dan membawamu pulang ke rumahku ini. Kau berada dalam keadaan pingsan dan ketika kau kubawa kesini, kau terserang demam hebat. Nah, hanya itulah yang dapat kuceritakan."

   Cui Hwa kembali mengangkat muka, memandang kepada Tiang Houw dengan sinar mata penuh selidik.

   "Siapakah yang membunuh suamiku?"

   Ketika ia melakukan pertanyaan ini, kedua matanya demikian tajam menatap wajah Tiang Houw sehingga yang dipandang terpaksa mengalihkan pandang matanya kekanan, tidak berani menghadapi sinar mata Cui Hwa secara langsung. Tiang Houw adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang takkan merasa gentar menghadapi keroyokan musuh yang bagaimana kuatpun, akan tetapi kini menghadapi Cui Hwa dengan sinar matanya yang bening tertutup air mata itu dan mendengar pertanyaan yang diucapkan oleh Bibir yang gemetar, hatinya berdebar keras! Dan baru pertama kali ini selama hidupnya, Tiang Houw merasa takut dan tidak merasa malu untuk membohong!

   "Malam hari itu terjadi keributan besar, orang-orang miskin membalas dendam kepada orang-orang yang menindas mereka, aku hanya mendapatkan kau dan... suamimu dalam keadaan seperti yang kututurkan tadi, bagaimana aku bisa tahu?"

   Jawab Tiang Houw secara menyimpang.

   "Ibu, kalau Ayah tahu orang yang membunuh, tentu pembunuh itu takkan dapat melarikan diri. Ayah adalah seorang gagah yang berkepandaian tinggi..."

   "Teng San, jangan menyombong!"

   Tegur Tiang Houw.

   "Tidak, Ayah, terhadap orang lain tentu saja anak tidak akan mau menyombongkan diri atau menyombongkan Ayah, akan tetapi di depan Ibu..."

   Akan tetapi, ia segera menghentikan kata-katanya ketika melihat pandang mata Ayahnya melarangnya bicara terus. Cui Hwa termenung sejenak. Kemudian ia bertanya,

   "Dan tahukah kau dimana adanya puteriku, In Hong?"

   "Sayang sekali aku tidak tahu, dan ketika aku mendapatkan kau di dalam hutan itu, aku tidak melihat lain orang, tidak melihat seorang anak-anak disana."

   Kembali Cui Hwa termenung. Memang ia tahu bahwa Tiang Houw tak mungkin bertemu dengan In Hong. Anaknya itu telah melarikan diri dengan Can Mama, dan ia tidak tahu bagaimana nasib mereka. Mengingat betapa ia telah ditinggal mati suaminya dan kini kehilangan anaknya yang belum diketahui bagaimana nasibnya, kembali air matanya seperti membanjir keluar. Perlahan ia berdiri dan kata-kata yang keluar lambat-lambat dari Bibirnya yang telah memerah kembali, terdengar jelas,

   "Aku harus membalas dendam kepada orang yang menyebabkan kematian suamiku dan kehilangan anakku!"

   Kata-kata ini lambat-lambat dan perlahan, namun terdengar bagaikan suara guntur menggelegar bagi telinga Tiang Houw sehingga mukanya berubah pucat. Adapun bagi telinga Teng San, suara itu terdengar amat mengharukan, maka sambil memeluk pinggang Nyonya muda itu, ia berkata keras,

   "Jangan khawatir, Ibu, anakmu Teng San kelak akan mencari dan membalas dendam kepada keparat itu!!"

   "Diamlah kalian!"

   Tiang Houw membentak, membikin kaget kepada Cui Hwa dan Teng San. Ketika mereka menengok, mereka melihat Tiang Houw sudah duduk sambil menutup muka dengan kedua tangannya. Teng San melompat dan memegang pundak Ayahnya.

   "Kenapakah, Ayah?"

   Cui Hwa juga memandang heran dan sampai lama Tiang Houw tidak mengeluarkan sedikitpun suara. Terjadi pertentangan di dalam dada pendekar itu. Ia ingin berterus terang sebagai seorang gagah, bahwa dialah yang membunuh Kwee Seng, membunuh bukan karena dendam perseorang, ingin berterus-terang bahwa dia sebagai laki-laki gagah berani bertanggung-jawab atas semua perbuatannya. Akan tetapi dilain pihak, ia takut kalau-kalau Nyonya ini akan membencinya. Makin lama, makin dalamlah perasaan cinta kasihnya kepada Cui Hwa sehingga ia memberitahu kepada Teng San yang selalu bertanya bahwa wanita ini adalah pengganti Ibu Teng San. Dan lebih berat lagi baginya, tidak saja dia telah jatuh hati betul-betul kepada Cui Hwa, bahkan Teng San sendiri sudah menyinta Cui Hwa sebagai seorang anak terhadap Ibunya.

   (Lanjut ke Jilid 03)

   Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   Akhirnya, cinta kasih lebih kuat daripada kegagahan.

   "Untuk apa ribut-ribut tentang kematian? Mati atau hidup bukanlah urusan manusia, melainkan keputusan dari Thian Yang Mahakuasa. Siapa pula yang mengira bahwa Ibumu dapat meninggal dunia, Teng San?"

   Kembali Tiang Houw menutup mukanya, bukan saja karena merasa malu kepada diri sendiri karena kebohongannya, akan tetapi juga karena ia merasa berduka kalau mengingat isterinya yang membunuh diri gara-gara perbuatan laknat dari seorang hartawan jahanam. Cui Hwa memandang kepada Ayah dan anak ini. Hatinya mulai tertarik dan terharu.

   "Kalian ini orang-orang yang berbudi mulia,"

   Katanya dan ia kini menentang pandang mata Tiang Houw yang telah menurunkan tangannya dari depan muka.

   "aku berterima kasih sekali kepadamu, saudara Ong. Kau juga seorang anak yang amat berbakti dan baik, Teng San, aku benar-benar suka sekali kepadamu. Akan tetapi, sekarang aku harus pergi, tidak selayaknya aku lebih lama tinggal di rumah kalian ini."

   Tiang Houw terkejut dan mukanya berubah. Apalagi Teng San, anak ini segera menubruk Cui Hwa dan menangis.

   "Ibu, jangan pergi meninggalkan kami! Bukankah aku anakmu dan kau sudah menjadi Ibuku...? Ayah, jangan perbolehkan Ibu yang ini pergi lagi seperti Ibu yang dulu...!"

   Tiang Houw merasa terharu dan ia hanya memandang dengan muka sedih. Dengan suara yang parau ia menjawab,

   "Teng San, bagaimana Ayahmu bisa menahan? Ayah pun tidak berdaya, anakku, hanya dapat berduka dan kecewa."

   Cui Hwa bingung. Ia benar-benar merasa kasihan kepada dua orang ini.

   "Tidak bisa, aku pergi. Aku harus mencari In Hong, anakku. Aku tidak boleh tinggal disini, apa akan kata orang lain?"

   "Orang lain sudah mengetahui bahwa kau tinggal bersama kami selama dua pekan, bahkan Teng San sudah membanggakan bahwa kau adalah Ibunya, hal ini diceritakannya kepada siapapun juga yang mau mendengarnya."

   Merahlah wajah Cui Hwa dan ia memandang kepada Teng San dengan marah. Akan tetapi kemarahannya lenyap ketika ia memandang kepada anak itu. Bagaimana ia bisa merasa marah kepada anak yang memandangnya dengan sinar mata demikian menyinta? Bahkan sinar mata In Hong tidak sehalus anak ini kalau memandangnya.

   "Bagaimana ini? Mengapa kau diamkan saja anakmu bicara seperti itu?"

   Tiang Houw kini merah mukanya dan dengan lambat perlahan ia menjawab,

   "Memang aku tidak melarangnya, karena aku... akupun mempunyai pikiran yang sama. Aku... aku mau kau... yakni kalau kau sudi... kau menjadi pengganti Ibu anakku..."

   Sukar sekali kata-kata ini keluar dari mulut pendekar yang tidak pernah gentar menghadapi penjahat besar itu. Wajah Cui Hwa menjadi makin merah. Ia bingung sekali karena anak dan Ayah ini benar-benar aneh.

   "Bagaimana kau dan anakmu bisa berpikiran begitu? Aku kehilangan anakku..."

   "Dan aku kehilangan Ibuku!"

   Teng San menjawab cepat.

   "Dan Teng San dapat menjadi anakmu yang berbakti dan baik,"

   Tiang Houw membantu anaknya.

   "Akan tetapi... aku baru saja kematian suamiku...,"

   Kata pula Cui Hwa.

   "Dan aku kematian isteriku!"

   Kata pula Tiang Houw cepat-cepat untuk mengimbangi keadaan Cui Hwa.

   "Dan tentang pemikahan kita, tak perlu terburu-buru, terserah kepadamu memilih waktu setelah kau melepas perkabunganmu."

   "Dan Ayah adalah seorang Ayah dan suami yang baik sekali!"

   Teng San yang cerdik membantu Ayahnya.

   "Aku berani tanggung bahwa dia akan menjadi seorang suami yang tiada bandingnya di dunia ini!"

   Wajah Cui Hwa makin merah dan ia menjadi makin bingung, tidak tahu harus mengambil keputusan bagaimana.

   "Aku harus mencari In Hong, harus tahu bagaimana nasibnya. Bagaimana aku dapat memikirkan nasib sendiri kalau keadaannya belum kuketahui?"

   Kata-kata ini merupakan keluhan.

   "Hujin (Nyonya)..."

   Kata Tiang Houw, akan tetapi sebelum ia melanjutkan kata-katanya, Teng San menegurnya,

   "Ayah, alangkah lucunya panggilan itu. Mengapa Ayah menyebut Nyonya kepada Ibuku?"

   Tiang Houw menjadi gugup, demikianpun Cui Hwa. Akan tetapi Tiang Houw dapat mengatasi keadaan yang lucu dan ganjil ini, maka katanya sambil tersenyum,

   "Betul juga, sampai demikian lama, aku belum mendapat tahu namamu, bolehkah kami mengetahuinya?"

   "Aku adalah Nyonya Kwee..."

   "Ibu, mengapa masih memakai nama itu? Ibu tentu mempunyai nama sendiri, bukan?"

   Tanya Teng San sebelum Ayahnya dapat mencegahnya. Namun Cui Hwa tidak menjadi marah karena ia maklum bahwa anak itu belum tahu apa-apa dan tidak bermaksud menyinggung hatinya.

   "Teng San, dahulu aku bernama Yo Cui Hwa."

   "Nama yang bagus! Ibu, bagus sekali namamu. Yo Cui Hwa, ah, benar-benar indah. Bukan begitu, Ayah?"

   Tiang Houw hanya mengangguk-angguk.

   "Memang bagus, nah sekarang dengarlah usulku, Adik Cui Hwa. Tentang puterimu yang masih belum diketahui tempat tinggalnya dan nasibnya itu, biarlah kau serahkan kepadaku untuk mencarinya. Kalau memang dia masih ada, tentu aku akan dapat membawanya kesini dan biar dia tinggal bersama kita disini. Bukankah hal itu akan baik sekali?"

   "Bagus, aku akan mendapatkan seorang Adik! Aku senang sekali!"

   Teng San berteriak-teriak. Tentu saja Cui Hwa setuju. Memang baginya sendiri, amat berat untuk mencari In Hong. Dia seorang wanita lemah, bagaimana ia dapat mencari In Hong? Kalau Tiang Houw mau mencari, itulah hal yang paling baik.

   "Terima kasih, saudara Ong. Kau lagi-lagi memperlihatkan budimu yang amat baik. Ketika terjadi penyerbuan, anakku itu dibawa pergi oleh Can Mama, inang pengasuhnya. Kalau aku tidak salah kira, tentu oleh Can Mama, anakku itu dibawa lari ke See-Ciu, dimana tinggal seorang Pamanku yang bernama Yo Tang. Harap kau suka mencarinya disana."

   "Baik, Adik Cui Hwa. Hari ini juga aku akan berangkat. Harap kau baik-baik tinggal di rumah bersama anak kita."

   Merah pipi Cui Hwa mendengar ini, akan tetapi ia tidak marah dan hanya mengelus-elus kepala Teng San. Ia harus akui bahwa Tiang Houw benar-benar merupakan seorang laki-laki yang tidak saja tampan dan gagah, akan tetapi juga bersikap halus dan berbudi mulia dan sopan. Suaminya telah meninggal dunia, dan agaknya di dalam dunia ini tidak mungkin ia mendapatkan seorang calon suami seperti Ong Tiang Houw. Demikianlah, Tiang Houw pada hari itu juga meninggalkan rumahnya dan mulai dengan perjalanannya mencari puteri dari keluarga Kwee yang dibasminya bersama anak buahnya!

   Sesuai dengan keterangan Cui Hwa, ia mencari ke See-Ciu dan benar saja, di kota ini ia mendengar tentang adanya seorang hartawan bernama Yo Tang. Ia mulai menyelidiki karena untuk langsung mendatangi hartawan ini, ia merasa tidak enak. Dari keterangan yang ia kumpulkan, ia mendengar bahwa memang betul rumah hartawan Yo itu kedatangan seorang nenek tua bernama Can Mama dan orang-orang mengabarkan pula bahwa Can Mama adalah pelayan dari seorang keponakan Yo-Wangwe di dusun Tiang-On yang sudah dibasmi oleh para penyerbu, yakni pasukan Kai-Sin-Tin. Akan tetapi ketika ditanya tentang seorang nona kecil bernama In Hong, tak seorang pun mengetahuinya. Oleh karena itu, Tiang Houw lalu mengambil jalan pendek. Pada malam harinya, ia mendatangi rumah gedung hartawan Yo dan di luar tahunya siapapun juga, ia menangkap dan membawa pergi Can Mama!

   Setelah mendapat keterangan dari Can Mama bahwa nona In Hong dibawa pergi oleh seorang nenek seperti siluman, Tiang Houw menjadi bingung. Ia dapat menduga bahwa yang membawa pergi In Hong tentulah seorang kangouw yang berkepandaian tinggi, yang suka melihat nona kecil itu dan hendak mengambilnya menjadi murid. Maka tiada lain jalan baginya kecuali membawa Can Mama pulang ke dusunnya sendiri. Pertemuan antara Cui Hwa dan Can Mama amat mengharukan. Setelah bertangis-tangisan mereka saling menuturkan pengalamannya dan Cui Hwa menangis sedih ketika mendengar bahwa In Hong dibawa pergi oleh seorang nenek seperti siluman. Ia mengira bahwa nenek itu tentu sebangsa siluman yang akan mengganggu puterinya. Akan tetapi Tiang Houw menghiburnya.

   "Nenek itu tentu seorang kangouw yang berkepandaian tinggi. Aku berani memastikan bahwa anakmu itu akan selamat, Adik Cui Hwa. Jangan kau khawatir, aku akan bertanya-tanya kepada kawan-kawan di dunia kangouw kalau-kalau ada yang melihat anakmu. Kalau yang membawanya itu seorang kangouw, percayalah kepadaku, kalau aku yang minta tentu ia akan memberikan In Hong kepadaku."

   Akhirnya, berkat hiburan Tiang Houw, Teng San, dan dibantu pula oleh Can Mama, akhirnya hati Cui Hwa terhibur juga. Terutama sekali, dengan adanya Can Mama disitu, ia merasa lebih suka tinggal disitu. Akhirnya iapun tidak me-nolak menjadi isteri Tiang Houw yang diketahui benar-benar memang amat baik budinya. Can Mama juga membantu Tiang Houw dengan bujukan-bujukannya, karena orang tua ini juga tidak melihat jalan lain yang lebih baik bagi Nyonya majikannya. Memang betul mereka dapat pergi ke See-Ciu, akan tetapi apa akan kata orang kalau mengetahui bahwa Nyonya janda muda itu sudah lama tinggal di rumah seorang duda yang hidup berdua dengan puteranya?

   Kalau Pamannya, yakni Yo-Wangwe mendengar pula, tentu akan marah sekali dan mungkin akan mengusirnya, karena akan menganggap bahwa Cui Hwa hanya akan mencemarkan nama baik keluarga Yo! Memang pada waktu itu, peraturan di Tiongkok bagi pihak wanita amat keras dan bengis. Semenjak menikah dengan Cui Hwa, Tiang Houw tidak lagi mau memimpin orang-orang untuk menyerbu dusun dan kota. Tidak lagi ia menaruh hati dendam kepada hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan. Ini adalah jasa dari Cui Hwa. Didalam percakapan mereka, ketika Tiang Houw menyatakan pembelaannya terhadap para jembel yang menyerbu kota dan dusun, yang membalas dendam kepada orang-orang hartawan dan pembesar yang dianggap orang-orang yang mencekik kehidupan mereka, Cui Hwa menjawab penuh semangat,

   "Alangkah picik dan rendahnya pendirian macam itu! Memang tak dapat disangkal kebenarannya bahwa ada orang-orang hartawan dan bangsawan yang jahat dan keji, yang tidak segan-segan memeras keringat dan darah rakyat kecil. Akan tetapi harus diingat pula bahwa ada juga orang miskin yang pada dasarnya berwatak rendah dan jahat! Tak dapat disangkal pula bahwa ada di antara bangsawan dan hartawan yang berhati mulia, seperti juga halnya petani miskin ada pula yang berhati baik. Bagaimana manusia bisa disama ratakan? Bukan semua orang hartawan mendapatkan harta bendanya dengan jalan memeras keringat orang miskin! Apa sih jahatnya seseorang yang rezekinya kebetulan banyak dan baik? Suamiku, memang aku tahu akan rasa sakit hatimu karena keluargamu musnah akibat perbuatan busuk seorang hartawan keji, akan tetapi sungguh merupakan penasaran besar kalau kau lalu menganggap semua hartawan jahat belaka. Coba bayangkan, andaikata kau bekerja keras kemudian berhasil mengumpulkan harta benda dengan halal, kemudian datang para jembel itu yang membalas dendam kepada para hartawan sehingga kau dan anak isterimu menjadi korban pula, bagaimana perasaan hatimu?"

   Tiang Houw diam saja, mendengarkan penuh perhatian.

   "Seorang hartawan berlaku jahat lalu semua hartawan dibasmi, benar-benar merupakan penasaran besar! Andaikata ada seorang jembel melakukan kejahatan, apakah semua orang jembel di dunia inipun harus dibasmi habis? Menilai watak orang tak dapat dipandang dari sudut kaya miskinnya, melainkan dari perbuatannya. Memang, kekayaan bisa membikin orang menjadi jahat, akan tetapi sebaliknya harus diingat bahwa kemiskinan pun bisa membikin orang menjadi mata gelap dan jahat. Semua tergantung dari si orang itu sendiri."

   Diam-diam Tiang Houw memuji kebijaksanaan isterinya dan diam-diam ia harus akui bahwa tadinya dia terlampau menurutkan nafsu dan dendam.

   Memang, pembalasan dendam yang ditujukan kepada semua orang hartawan dan bangsawan, benar-benar tidak adil sama sekali. Ia merasa malu kepada diri sendiri dan tanpa diketahui oleh isterinya, ia lalu mendatangi kawan-kawannya dan membubarkan Kai-Sin-Tin, bahkan mengancam agar mereka jangan sekali-kali melakukan penyerbuan yang membabi buta itu! Setahun setelah mereka menikah, Cui Hwa melahirkan seorang anak perempuan. Bukan main girangnya keluarga itu dan terutama sekali Cui Hwa dan Can Mama. Kedua orang wanita ini terhibur kedukaan hati mereka karena kini ada seorang anak perempuan yang menggantikan In Hong yang telah lenyap tiada kabar ceritanya. Sia-sia saja Tiang Houw mencari kemana-mana, karena ia tidak tahu bahwa In Hong dibawa oleh Hek Moli ke puncak Ciung-lai-san dan semenjak itu tak pernah turun-gunung.

   Cui Hwa hidup dengan aman dan tenteram dan kelihatannya berbahagia. Suaminya benar-benar seorang yang amat cinta kepadanya. Teng San lebih-lebih lagi merupakan seorang putera yang amat berbakti, bahkan sikap anak ini demikian baik kepadanya sehingga Cui Hwa merasa bahwa anak itu seperti anaknya sendiri. Adapun anak perempuan yang menjadi Adik Teng San itu bernama Ong Lian Hong, makin besar makin nampak kecantikannya, serupa benar dengan Ibunya sehingga tentu saja serupa pula dengan In Hong! Teng San amat sayang kepada Adik tirinya ini, demikianpun Lian Hong amat kasih kepadanya. Memang tidak ada sesuatu nampaknya yang akan dapat mengurangi kebahagiaan Cui Hwa. Akan tetapi, tetap saja ada sesuatu yang menusuk hati dan merupakan ganjalan di dalam kebahagiaan Cui Hwa.

   Seringkali ia minta kepada suaminya, yang diketahuinya seorang pendekar perkasa, untuk mencari tahu dan menyelidiki siapakah sebenarnya pembunuh dari Kwee Seng! Tiada apapun jua di dalam dunia ini yang kekal. Segala sesuatu berubah pada saatnya, dan tidak ada kekuasaan di dunia yang dapat mencegah terjadinya perubahan ini. Anak-anak berubah menjadi dewasa, orang dewasa menjadi tua, yang tua meninggal dunia, dilain pihak manusia-manusia baru terlahir dan muncul di dunia menggantikan mereka yang pergi ke tempat asal. Tepatlah kata-kata orang bijaksana dijaman dahulu bahwa Langit dan Bumi serta segala isinya berasal dari ADA, sedangkan ADA berasal dari TIADA! Bukankah segala sesuatu yang kita lihat di depan mata kita ini tadinya memang TIDAK ADA? Dan bukankah semua ini kelak juga kembali menjadi TIDAK ADA?

   Demikian pula dengan kebahagiaan hidup manusia. Dimana ada kebahagiaan kekal di dunia ini? Kalau orang mengira bahwa ia mengenal kebahagiaan, itu berarti bahwa iapun akan mengenal kesengsaraan! Kalau orang bisa bersenang, pasti ia bisa berduka. Inilah hukum IM-YANG dari pada alam yang meliputi kehidupan seluruh alam, hukum yang tak dapat disangkal pula kebenarannya. Kalau ada siang pasti ada malam, kalau ada kanan pasti ada kiri, ada senang pasti ada susah dan ada bahagia pasti ada sengsara. Sebaliknya, tanpa siang takkan ada malam, tanpa kanan takkan ada kiri dan sebagainya. Kalau kita tidak mengenal senang, bagaimana dapat mengenal susah? Manusia selalu menjadi hamba daripada perasaannya sendiri dan karena inilah maka ia terombang ambing dalam permainan perasaan yang seluruhnya dikuasai oleh tenaga IM-YANG.

   Karena kelemahan manusia inilah maka Guru besar Khong Hu Cu mengajar manusia tentang Tiong-yong, tentang menguasai hati dan perasaan sendiri agar selalu "Tiong"

   Atau lurus tegak, tidak condong ke kanan atau ke kiri, tidak con-dong kepada IM maupun kepada YANG. Tidak terseret oleh suka maupun duka, sehingga orang akan menerima segala apa dengan tenang. Penghidupan keluarga Ong Tiang Houw memang tadinya nampak seakan-akan mereka itu selalu berbahagia dan tidak pernah mengenal duka. Ong Tiang Houw dan isterinya yang baru, yakni Yo Cui Hwa, saling menyinta dan hidup rukun sekali. Putera dan puteri mereka, Ong Teng San dan Ong Lian Hong, juga amat penurut serta berbakti kepada orang tua. Teng San merupakan seorang pemuda yang benar-benar patut disayang. Biarpun Cui Hwa adalah Ibu tirinya, akan tetapi ia Ibu tirinya seperti Ibu sendiri.

   Juga ia sayang kepada Adik tirinya, Lian Hong. Boleh dibilang dialah yang mengasuh Adiknya ini selalu, sungguhpun sudah ada pelayan atau inang pengasuh. Disamping kebaikan-kebaikan ini, Teng San juga merupakan seorang pemuda yang amat gagah, tubuhnya tinggi besar dan tegap, mukanya kemerahan dan alisnya tebal. Ilmu silatnya lihay karena semenjak kecil ia digembleng oleh Ayahnya. Juga Lian Hong setelah berusia enam tahun, mulai menerima latihan dari Kakaknya. Adapun Lian Hong, serupa benar mukanya dengan Ibunya, cantik manis dan lucu. Anak ini amat disayang oleh Ayah bunda serta Kakaknya, maka ia menjadi manja sekali. Apa saja yang dimintanya, pasti dipenuhi oleh Ayah bundanya. Memang, dipandang begitu saja orang akan mengira bahwa kehidupan keluarga ini sudah amat berbahagia, tiada kekurangan dan tiada sesuatu yang dapat menyusahkan hati mereka.

   Akan tetapi, pada hakekatnya tidaklah demikian. Cui Hwa memang sudah dapat merasa puas menjadi isteri Tiang Houw, namun Nyonya ini selalu merasa penasaran dan sakit hati atas kematian suaminya yang pertama, yakni Kwee Seng. Tiap kali ia teringat akan suaminya yang terbunuh secara menyedihkan dan teringat kepada putrinya, In Hong yang belum juga diketahui bagaimana nasibnya, ia lalu mendesak kepada suaminya untuk menyelidiki. Tiang Houw sudah bertahun-tahun berperang di dalam dadanya sendiri. Dia adalah seorang gagah yang menjunjung tinggi kegagahan, menjunjung tinggi kejujuran dan karenanya ia merasa amat sengsara bahwa selama ini ia membohongi isterinya yang dicintainya. Sebagaimana diketahui, yang membunuh Kwee Seng suami pertama dari Cui Hwa adalah Ong Tiang Houw sendiri,

   Akan tetapi sudah sepuluh tahun mereka menjadi suami-isteri, Tiang Houw masih belum berani mengakui perbuatannya. Pada suatu senja, keluarga itu duduk bercakap-cakap di ruang depan setelah makan sore yang selalu dilakukan berbareng. Tidak seperti biasanya, Cui Hwa nampak termenung dan berduka, agaknya ada sesuatu yang mengganjal di dalam dadanya. Suaminya maklum bahwa lagi-lagi isterinya ini memikirkan tentang sakit hati yang belum juga terbalas, dan sudah dalam beberapa hari ini, seringkali mereka berbantahan kalau membicarakan hal itu di dalam kamar mereka. Tiang Houw juga mulai mendongkol, karena ia mulai dihinggapi racun cemburu dan iri hati. Dianggapnya bahwa isterinya itu, setelah menjadi isterinya selama sepuluh tahun, tetap masih menyinta suami pertama.

   "Apa kau merasa tidak bahagia menjadi isteriku?"

   Demikian Tiang Houw bertanya pada beberapa hari yang lalu di dalam kamarnya.

   "Mengapa kau selalu masih ingat kepada suamimu yang dulu? Ingat, Cui Hwa, kau sudah menjadi isteriku selama sepuluh tahun dan kita sudah mempunyai Lian Hong maka seharusnya kau merasa puas dan melupakan hal yang sudah-sudah."

   "Sudah kucoba, namun sia-sia. Hampir setiap malam aku bermimpi melihat Kwee Seng yang membujukku agar supaya aku berusaha mencari pembunuhnya. Suamiku, kau adalah seorang gagah perkasa yang berkepandaian tinggi, di dunia kangouw namamu amat terkenal. Masa kau tidak bisa mencari pembunuh keji itu?"

   Demikianlah percakapan itu, percakapan yang membuat Tiang Houw menjadi tak senang, cemburu dan iri hati, dan yang membuat Cui Hwa selalu murung.

   Mulailah timbul suasana yang tegang di antara mereka. Cui Hwa menganggap bahwa suaminya itu sengaja tidak mencari sungguh-sungguh untuk membalaskan sakit hati mendiang Kwee Seng, adapun Tiang Houw menganggap bahwa isterinya tidak menyintanya dan masih menyinta kepada suami pertama yang sudah meninggal dunia. Ong Teng San pada waktu itu sudah dewasa, sudah berusia enambelas tahun, maka ia dapat merasakan suasana yang tidak menyenangkan ini. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani bertanya, hanya menghibur suasana itu dengan mengajak Lian Hong bermain-main. Kedua orang tua itu hanya memandang saja dan mereka tiada nafsu untuk bercakap-cakap. Keadaan benar-benar tidak menyenangkan. Teng San merasa sekali akan adanya hal yang tidak menyenangkan ini, maka ia lalu mengajak Lian Hong masuk.

   "Adik Hong, kau tidurlah, besok bangun pagi-pagi dan kita berlatih silat. Kau masih kaku dalam mainkan jurus keenam, kakimu masih belum benar gerakannya,"

   Kata Teng San. Lian Hong cemberut.

   "Kau selalu mencela saja, San-Ko. Ayah, kau lihatlah, masa gerakan begini masih terus disebut kurang sempurna oleh San-Ko?"

   Gadis cilik ini lalu bersilat di depan Ayahnya, melakukan jurus keenam yang dimaksudkan oleh Teng San. Gerakannya lincah dan cepat dan Ayahnya memandang dengan wajah gembira. Setelah Lian Hong berhenti bersilat, Ayahnya berkata,

   "Lian Hong, kau harus selalu menurut dan taat akan petunjuk Kakakmu, kulihat memang gerakan kakimu kurang sempurna. Sekarang tidurlah, besok boleh dilatih lagi dan aku sendiri akan memberi petunjuk padamu."

   Lian Hong cemberut. Sebagai seorang anak manja, tentu saja ia tidak senang mendengar Ayahnya juga mencela kepandaiannya. Maka ia menengok kepada Ibunya.

   "Ibu! bukankah gerakanku tadi sudah baik sekali?"

   Semenjak kecil, kalau Lian Hong bertanya sesuatu kepada Ibunya, selalu Ibunya memujinya, apalagi dalam ilmu silat memang Cui Hwa tidak tahu apa-apa. Untuk menyenangkan hati puterinya, dan untuk menambah semangatnya, ia selalu memuji begitu saja. Akan tetapi kali ini, jawabannya tidak saja mengejutkan Lian Hong, juga amat mengejutkan hati Teng San.

   "Apa sih baiknya segala gerakan silat itu? Ilmu yang kasar tiada gunanya, hanya bisa dipakai untuk main sombong-sombongan! Lian Hong, lebih baik kau belajar menulis dan menyulam, tidak mempelajari ilmu silat yang tidak ada gu-nanya sama sekali itu!"

   Kata-kata ini terdengar keras dan ketus dan biarpun Cui Hwa bicara kepada Lian Hong, namun ia mengerling ke arah suaminya, penuh celaan. Mendengar jawaban ini, Lian Hong yang amat manja lalu menangis. Teng San maklum bahwa ada sesuatu yang tidak baik telah terjadi antara Ayah dan Ibu tirinya, dan tidak baik kalau Lian Hong yang masih kecil tahu akan hal ini. Maka Teng San lalu menggandeng tangan Adiknya dan diajak pergi ke kamarnya.

   
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ibu sedang tak senang pikirannya, jangan kita mengganggunya,"

   Kata Teng San sambil mengusap air mata dari pipi Adik tirinya.

   "Kau tidurlah dan besok Ibu tentu akan bicara manis lagi kepadamu."

   Setelah menghibur hati Lian Hong dan melihat Adiknya itu akhirnya tertidur, Teng San lalu berjalan keluar. Ia telah cukup dewasa dan berhak mengetahui apakah yang diributkan oleh kedua orangtua itu. Ia ingin menghampiri mereka, ingin menghibur Ibu tirinya dan ingin bertanya kepada mereka tentang kesusahan mereka agar ia dapat ikut memikirkan dan bantu memecahkan persoalannya. Akan tetapi ketika ia tiba di belakang pintu yang menembus ke ruang depan, ia mendengar Ayah dan Ibu tirinya bicara dengan perlahan akan tetapi nadanya menyatakan bahwa mereka sedang marah dan bercekcok. Hal ini belum pernah terdengar oleh Teng San sebelumnya, maka ia menahan kakinya dan mendengar dengan wajah berobah.

   "Cui Hwa, kau selalu menyinggung-nyinggung soal itu. Apakah kau masih menyinta suamimu yang sudah tewas itu dan apakah kau masih belum dapat menghilangkan rasa penasaranmu atas kematiannya?"

   Terdengar Tiang Houw berkata tak senang.

   "Tentu saja aku masih menyintanya! Sebelum aku bertemu dengan kau, Kwee Seng adalah suamiku, bagaimana aku tidak menyinta suamiku sendiri? Dia seorang yang berbudi baik, suka menolong orang-orang miskin, kemudian ia menjadi korban pembunuhan secara keji, bagaimana aku tidak penasaran? Sekarang, kau suamiku yang memiliki kepandaian silat tinggi, yang katanya sudah menjagoi di dunia kangouw, melihat kau berpeluk tangan saja, sama sekali tidak mau berusaha untuk mencari pembunuh mendiang Kwee Seng, bukankah hal ini menambah rasa penasaranku?"

   Suara Cui Hwa makin keras dan terdengar ia tergesa-gesa menahan amarah yang meluap-luap. Mendengar kata-kata kedua orangtua itu, maklumlah Teng San akan pokok persoalan yang mereka ributkan. lbu tirinya menghendaki agar supaya pembunuh suaminya yang dahulu dicari agar sakit hati suaminya itu dapat dibalas, sedangkan Ayahnya agaknya tidak menyetujui akan hal itu. Maka untuk menghilangkan suasana yang buruk itu, Teng San lalu membuka pintu dan maju memeluk pundak Ibu tirinya yang kini sudah menangis terisak-isak.

   "Ibu, senangkanlah hatimu, Ibu. Jangan Ibu khawatir, anakmu Teng San yang akan berusaha mencari pembunuh mendiang suamimu yang pertama. Percayalah, anakmu Teng San yang akan menyeret jahanam itu di depan kaki Ibu..."

   "Teng San..., kau gila...!!"

   Tiang Houw membentak dengan muka pucat. Teng San berpaling kepada Ayahnya.

   "Mengapa gila, Ayah? Ibu sedang menderita dan penasaran bukankah sudah menjadi kewajibanku untuk berbakti, untuk mencari orang yang menyakiti hatinya?"

   Tiang Houw merasa kedua kakinya gemetar, maka ia menjatuhkan diri duduk di atas kursi sambil menghela napas panjang berkali-kali.

   "Semua salahku... semua salahku sendiri..."

   Ia berbisik lemah.

   "Cui Hwa, ketahuilah, orang yang membunuh Kwee Seng suamimu itu..., dia adalah seorang yang sudah disakitkan hatinya oleh kaum bangsawan dan hartawan, seperti halku pula. Dalam dendamnya, dia ikut dalam pasukan yang membasmi dua golongan itu..."

   "Jadi kau sudah tahu siapa dia?"

   Tanya Cui Hwa dengan mata terbuka lebar.

   "Dia membunuh Kwee Seng bukan berdasarkan kebencian perseorangan, Cui Hwa, akan tetapi dia akan membunuh siapa saja asal ia hartawan atau bangsawan. Ketika ia membunuh Kwee Seng, ia tidak tahu siapa itu yang dibunuhnya, kecuali bahwa yang dibunuhnya itu seorang hartawan."

   "Kalau kau sudah tahu siapa dia, mengapa tidak lekas-lekas menyeretnya ke sini?"

   Cui Hwa menuntut, penuh dengan rasa penasaran. Tiang Houw menarik napas panjang.

   "Cui Hwa, orang itu sekarang sudah amat menyesal atas semua perbuatannya yang sudah lalu. Apakah kau tidak bisa mengampuni orang yang melakukan sesuatu tidak berdasarkan kebencian terhadap suamimu itu, dan yang sekarang sudah merasa menyesal?"

   "Seret dia dulu kesini, biar aku bicara sendiri dengan dia, baru aku akan mengambil keputusan,"

   Jawab Cui Hwa.

   "Dia... dia malu untuk bertemu denganmu, malu untuk mengakui semua perbuatannya kepadamu..."

   "Kalau begitu dia pengecut, pengecut yang harus dibikin mampus!"

   Dada Cui Hwa berombak. Tiba-tiba Tiang Houw berdiri dari kursinya. Orang boleh memaki pendekar ini dengan sebutan apapun juga, akan tetapi jangan sekali-kali ia disebut pengecut. Semenjak kecilnya, Tiang Houw paling benci kepada pengecut, maka makian pengecut baginya lebih merendahkan daripada makian apapun juga.

   "Cui Hwa, aku bukan pengecut!"

   Cui Hwa menjadi pucat sekali mukanya, sedangkan Teng San sekarang juga sudah berdiri memandang Ayahnya dengan mata terbelalak kaget. Melihat ini, Tiang Houw mengangguk-angguk, menghela napas dan berkata dengan tenang,

   "Ya, akulah orang itu, Cui Hwa. Akulah pemimpin dari pasukan Kai-Sin-Tin, akulah yang menggerakkan penumpasan para bangsawan dan hartawan, dan aku pulalah yang telah membunuh suamimu, Kwee Seng. Kau boleh berbuat apa saja kepadaku, hanya jangan memaki aku pengecut..."

   Sampai beberapa detik Cui Hwa berdiri seperti patung, hanya dadanya yang naik turun bergelombang, mulutnya beberapa kali terbuka akan tetapi tidak mengeluarkan suara apa-apa. Kemudian terdengar ia menjerit nyaring dan tubuhnya limbung. Ia roboh pingsan dan tentu akan terjatuh kalau tidak cepat-cepat dipeluk oleh Teng San. Melihat halnya Ibu tirinya, Teng San tak dapat menahan keluarnya dua titik air mata yang membasahi pipinya. Sambil memondong tubuh Ibunya, Teng San berdiri dan memandang kepada Ayahnya melalui linangan air mata.

   "Ayah, kau membunuh suaminya lalu... lalu mengambilnya sebagai isterimu...?"

   Suaranya sayu dan mengandung nada benci. Tiang Houw menjadi pucat.

   "Tidak... tidak begitu, Teng San... dengarlah dulu keteranganku..."

   Akan tetapi dengan isak tertahan, pemuda itu telah membawa lari Ibu tirinya yang dipondong, menuju ke kamar Ibu tirinya. Dengan hati-hati ia membaringkan tubuh Cui Hwa dan mempergunakan air dingin untuk membasahi jidat Ibu tirinya. Cui Hwa tersadar dan mengeluh, menyebut-nyebut nama In Hong dan Kwee Seng. Ia merasa berdosa besar, merasa malu kepada diri sendiri. Suaminya mati terbunuh, anaknya entah bagaimana nasibnya dan dia... dia telah diperisteri oleh pembunuh suaminya itu, hidup dengan penuh kesenangan seakan ia tidak perduli akan nasib Kwee Seng dan In Hong! Inilah yang amat menyakitkan hatinya.

   "Ibu, tenanglah, Ibu... akulah yang akan menanggung semua dosa Ayah...,"

   Kata Teng San terharu. Cui Hwa memandang kepada pemuda itu.

   "Pergilah kau...! Pergi dan jangan dekat dengan aku!"

   Wajah Teng San memang serupa benar dengan Tiang Houw, dan persamaan ini membuat Cui Hwa tiba-tiba marah terhadap Teng San.

   Teng San terisak dan mundur, lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri. Tak lama kemudian ia mendengar Ayahnya memanggil-manggil namanya dan mengetuk-ngetuk pintu, akan tetapi Teng San diam saja, tidak menjawab. Di luar pintu, dengan wajah pucat Tiang Houw memanggil-manggil nama Teng San. Ingin ia memukul pecah daun pintu itu, ingin ia menjelaskan semua itu kepada puteranya, akan tetapi ia menekan perasaannya dan kemudian berjalan pergi ke kamarnya sendiri sambil menarik napas panjang berulang-ulang. Dan pada keesokan harinya, suami-isteri ini kembali mengalami hal yang lebih hebat, yakni dengan lenyapnya Teng San bersama Lian Hong! Pemuda yang hancur hatinya itu ternyata telah lari minggat sambil membawa Adik tirinya, entah kemana. Cui Hwa menangis menggerung-gerung ketika melihat Lian Hong lenyap. Ia menudingkan jarinya kepada Tiang Houw, sambil menangis ia memaki,

   "Kau lah yang mengakibatkan semua ini, kau... kau pembunuh... kau pengecut...!"

   Tiang Houw lari maksud mengejar Teng San dan Lian Hong, namun sia-sia belaka karena kepandaian Teng San sudah tinggi, ilmunya berlari cepat sudah menyamai Ayahnya dan selain telah tertinggal jauh, juga Tiang Houw tidak tahu kemana arah tujuan puteranya itu. Semenjak itu, kehidupan Cui Hwa dan Tiang Houw penuh kegetiran, seakan-akan mereka hidup di dalam neraka. Cui Hwa setiap hari termenung, kadang-kadang menangis sedih, sama sekali tidak mau bicara kepada Tiang Houw. Sebaliknya, Tiang Houw yang tidak dikenal lagi oleh isterinya, merasa begitu perih hatinya, apalagi kalau ia mengingat betapa pandangan Teng San terhadapnya amat rendah.

   Ia mendapat pukulan batin yang berat sekali kalau ia mengingat bahwa Teng San menganggapnya berbatin amat rendah, seorang yang membunuh suami dan merampas isteri! Demikianlah menjadi kenyataan bahwa penghidupan manusia selalu berobah, kebahagiaan tidak kekal adanya dan siapa yang tidak kuat menerima rezeki atau ujian yang jatuh kepada diri dan keluarganya, ia akan rusak binasa. Tiang Houw juga demikian, pendekar yang gagah perkasa ini lalu meninggalkan rumahnya, merantau ke sana ke mari seperti seorang berobah ingatan. Merantau kemana saja untuk mencari tiga orang, yakni In Hong, Teng San, dan Lian Hong! Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, di dalam perantauannya itu Tiang Houw bertemu dengan Wi Tek Tosu tokoh Go-Bi-Pai dan dia berhasil mencegah Tosu yang sakit hati terhadap Hek Moli ini merusak jenazah Hek Moli.

   Bahkan pendekar ini lalu mengurus dan mengubur jenazah Hek Moli baik-baik. Hal ini terjadi tiga tahun semenjak Teng San dan Lian Hong pergi meninggalkan rumah. Kwee In Hong yang diusir oleh Gurunya untuk turun-gunung dan mencari orang tuanya, tentu saja tidak tahu akan malapetaka yang menimpa diri Gurunya. Gadis ini turun gunung dengan cepat, menuju ke kota See-Ciu sebagaimana pesan Gurunya. Kalau orang melihat gadis itu berjalan, dia pasti takkan mengira bahwa gadis ini adalah murid tunggal dari Hek Moli dan telah memiliki ilmu kepandaian yang setingkat dengan Gurunya sendiri! Bahkan mungkin sekali In Hong lebih tangguh daripada Hek Moli, karena selain ia lebih muda dan kuat, juga ia mempunyai gerakan yang lebih ringan. Tentu saja ia masih kalah jauh dalam pengalaman.

   Siapa yang akan mengira bahwa gadis yang cantik manis, yang berkulit putih halus, dan yang mempunyai lenggang demikian halus gemulai, yang gerak geriknya lemah lembut, adalah seorang ahli silat tniggi? In Hong adalah anak dari Ayah bunda yang terpelajar dan yang mempunyai watak halus, maka sifat ini menurun kepadanya. Akan tetapi, selama belasan tahun dibawah asuhan Hek Moli, kekerasan hati Iblis Wanita Hitam ini juga menurun kepadanya. Di balik gerak geriknya yang lemah lembut, tersembunyi hati yang keras seperti baja dan keberanian yang hebat. Bahkan, sifat-sifat Hek Moli yang ganas menurun pula kepadanya. Seperti juga Gurunya, In Hong melakukan perjalanan dengan membawa sebatang tongkat hitam, akan tetapi tongkatnya ini kecil saja, sebesar Ibu jari kaki, panjangnya sama dengan pedangnya yang diikat di belakang punggung.

   Di dalam sebuah kantong yang tergantung di ikat pinggangnya, tersembunyi senjata rahasia yang mengerikan orang-orang kangouw, yakni pasir hitam yang kalau dipergunakan disebut toat-beng-hek-kong (sinar hitam pencabut nyawa)! Pedang Liong-gan-kiam pemberi Gurunya hanya kelihatan ronce-ronce merahnya saja yang melambai-lambai tertiup angin di atas pundaknya. Setelah turun dari puncak Ciung-lai-san dan menyaksikan pemandangan yang indah, lenyaplah kesedihan In Hong karena harus berpisah dari Gurunya. Ia berhenti dan dari atas lereng bukit ia memandang ke bawah. Dunia seakan-akan sehelai lukisan indah yang dibuka dihadapan kakinya. Nampak dusun-dusun dengan genteng rumah yang kemerahan, nampak sungai-sungai yang airnya kelihatan membiru dan berlika liku.

   Sawah-sawah menghijau amat indahnya. Semua ini seakan-akan melambai-lambai kepada In Hong, menyuruh gadis itu segera turun menemui semua itu. In Hong menjadi gembira dan ia lalu berlari turun dari lereng dengan kecepatan seperti burung terbang. Kedua kakinya ringan sekali dan orang akan menyangkanya semacam peri penjaga gunung kalau melihat dia melayang-layang seperti itu. Tentu saja gadis ini bukannya melayang, melainkan berlari cepat, akan tetapi gerakannya demikian ringan dan cepat sehingga ia kellhatan seperti tidak menginjak bumi. Ia mengeluarkan ilmu lari cepat yang disebut Teng-in-hui (Terbang menginjak awan)! Akan tetapi bagi mata seorang ahli silat tinggi, tentu akan dapat melihat gerakan seorang wanita cantik jelita yang berlari cepat dengan gerakan indah gemulai,

   Sehingga ia tentu akan mengira bahwa yang berlari turun gunung itu adalah seorang bidadari atau utusan dari Koan Im Pouwsat! Akan tetapi, gunung Ciung-lai-san amat sunyi dan tidak ada orang yang melihat gadis ini berlari. Setelah turun gunung dan lalu masuk dusun-dusun kecil, barulah In Hong berjalan biasa agar jangan menarik perhatian orang lain. Namun tetap saja hampir semua orang, apalagi laki-laki, menoleh dan memandang kepadanya. Bukan hanya karena pakaiannya yang indah dan berbeda dengan wanita-wanita dusun, akan tetapi juga jarang sekali orang melihat seorang gadis muda yang demikian cantik jelita, apalagi yang melakukan perjalanan seorang diri. Hanya karena orang melihat ronce-ronce gagang pedang Liong-gan-kiam maka orang tidak berani bersikap sembarangan terhadapnya.

   Mereka dapat menduga bahwa seorang gadis muda yang berani melakukan perjalanan seorang diri, apa-lagi yang membawa-bawa pedang, tentulah seorang ahli silat yang sudah tinggi kepandaiannya. Dengan kepandaiannya yang tinggi, sikapnya yang halus dan uang bekal yang banyak dari Gurunya, In Hong dapat melakukan perjalanan tanpa banyak rintangan. Bahkan ia telah membeli seekor kuda dari seorang pedagang kuda, dan melanjutkan perjalanannya ke See-Ciu dengan berkuda. Memang harus diakui bahwa In Hong tidak biasa naik kuda, namun dengan kepandaian silatnya yang sudah tinggi, sebentar saja dapat menyesuaikan diri dan dapat duduk di atas punggung kuda dengan enak dan tegak. Beberapa bulan kemudian, setelah melakukan perjalanan yang amat jauh, sampailah ia di kota See-Ciu. Hatinya berdebar penuh ketegangan dan pertanyaan.

   Apakah ia akan dapat bertemu kembali dengan Ayah bundanya di kota ini? Ia hanya masih ingat wajah Ibunya, seorang wanita yang cantik sekali, akan tetapi wajah Ayahnya ia sudah lupa lagi. Yang masih teringat betul olehnya malah wajah inang pengasuhnya yakni Can Mama dan In Hong suka tertawa seorang diri kalau ia ingat kepada inang pengasuh ini. Masih terbayang olehnya betapa Can Ma suka mendongeng sambil memangkunya, dan boleh dibilang ia lebih dekat dengan Can Ma daripada de-ngan Ayahnya. Mudah saja baginya untuk mendapatkan rumah Yo-Wangwe. Semua orang di kota See-Ciu mengenal nama Yo Tang atau Yo-Wangwe yang tinggal di sebuah gedung besar dan indah, berdagang hasil bumi dan bahan obat-obatan. Karena perdagangannya ini maka di bagian depan dari rumah gedungnya terdapat gudang-gudang dengan pekarangan amat lebar.

   Banyak orang sibuk bekerja di depan gudang-gudang itu, mengeluar masukkan barang dan keadaan disitu berdebu dan kotor. Semua pekerja tiba-tiba menghentikan pekerjaan mereka ketika mereka melihat seorang gadis cantik berpakaian biru memasuki pekarangan itu dan mereka memandang dengan kagum, juga agak terheran-heran. Memang merupakan penglihatan yang jarang sekali adanya seorang gadis cantik jelita muncul di tempat itu seorang diri. Ketika baru bertemu dengan orang-orang yang memandangnya seperti itu, mula-mula memang In Hong merasa jengah dan malu-malu, juga agak marah. Akan tetapi sekarang ia sudah merasa biasa, bahkan Bibirnya tersenyum mengejek kalau ia melihat mata laki-laki seakan-akan hendak menelannya. Kini ia menghampiri mereka yang bekerja itu, lalu bertanya,

   "Sahabat-sahabat, apakah disini tempat tinggal Yo Tang?"

   Seorang di antara para pekerja itu, yakni mandornya, cepat melangkah maju dan menjawab,

   "Betul dugaanmu, nona. Kau siapakah dan darimana?"

   Semua orang memperhatikan In Hong dan ingin sekali mendengar siapa adanya gadis ini, namun In Hong mengecewakan mereka dengan jawaban sembarangan,

   "Kalau betul di sini rumah Yo-Wangwe, tolong beritahukan bahwa aku datang membawa keperluan amat penting."

   "Akan tetapi, kau siapakah, nona? Dan dari mana? Bagaimana kalau dia tanya tentang hal ini kepadaku?"

   "Minta saja dia keluar, aku mau bicara sendiri dengan dia,"

   Jawab In Hong singkat. Ia memang merasa segan untuk memperkenalkan diri kepada orang-orang yang memandangnya seperti itu.

   "Akan tetapi, nona, aku harus ketahui siapa kau..."

   Kata mandor itu dan kini ia memandang dengan curiga ke arah gagang pedang yang tersembul dari balik punggung gadis itu.

   "Dia adalah Paman dari Ibuku, cukupkah ini?"

   Kata In Hong yang merasa gemas juga melihat desakan orang itu. Mendengar ini, mandor itu tidak berani mendesak lagi. Kalau nona ini masih terhitung sanak dari Yo-Wangwe, ia tidak boleh keterlaluan. Berobahlah sikapnya dan ia membungkuk sambil berkata,

   "Ah, mengapa tidak dari tadi kau memberitahu bahwa kau masih cucu dari Yo-loya? Mari, silakan ikut dengan aku, nona. Yo-loya tinggalnya di rumah gedung sebelah belakang. Di depan ini hanya gudang-gudang tempat orang bekerja."

   Dengan diikuti oleh pandang mata semua orang yang bekerja disitu, In Hong berjalan bersama mandor itu, melewati samping gudang menuju ke sebuah rumah besar yang berdiri di belakang gudang-gudang itu. Para pekerja itu sibuk kembali, akan tetapi kini mulut mereka tiada hentinya bicara memuji kecantikan gadis yang baru tiba itu.

   "Cantik jelita benar-benar gadis tadi,"

   Kata seorang.

   "Dan pedang itu, ia kelihatan gagah. Apakah benar-benar ia pandai main pedang?"

   Kata orang kedua.

   "Ah, gadis sehalus dan secantik itu mana bisa main pedang? Senjata hanya untuk hiasan belaka, atau paling-paling untuk menakut-nakuti penjahat agar tidak berani mengganggunya,"

   Kata orang ketiga yang terkenal pandai silat di antara para pekerja itu. In Hong memiliki pendengaran yang amat tajam terlatih. Kalau mandor yang mengantarkannya tidak dapat menangkap kata-kata itu, adalah gadis ini mendengar dengan jelas sekali. Namun ia tidak ambil perduli, hanya tersenyum kecil sambil memperhatikan rumah gedung yang ia hadapi. Rumah ini benar-benar besar dan mewah, pintu-pintunya dicat kuning dan temboknya tebal, dikapur putih bersih.

   "Kau duduklah dulu, nona, biar aku yang melaporkan ke dalam,"

   Kata mandor itu. In Hong mengangguk dan mengambil tempat duduk di atas sebuah bangku yang banyak terdapat di ruang depan itu. Mandor itu lalu menghampiri pintu dan hendak masuk, akan tetapi tiba-tiba dari dalam keluarlah seorang pemuda yang ganteng dan berpakaian sebagai jago silat. Gayanya memang gagah dan sikapnya menunjukkan bahwa ia memiliki tenaga besar.

   "Ah, kebetulan sekali kau keluar, kongcu. Aku hendak menghadap lo-ya..."

   "Kwa-lopek, ada apakah dan...?"

   Pemuda itu menoleh ke arah In Hong dan matanya terbuka lebar, mulutnya ternganga.

   "Siapa... eh..."

   Ia gagap dan mukanya menjadi merah, malu karena kebingungan dan kegugupannya sendiri. In Hong sudah berdiri dan menjura. Adapun mandor itu laiu memperkenalkan,

   "Kongcu, nona ini adalah seorang tamu yang ingin berjumpa dengan Yo-loya. Katanya dia adalah masih sanak keluarga. Eh, nona, ini adalah Yo-kongcu, cucu dari Yo-loya."

   In Hong memberi hormat, lalu berkata,

   "Harap maafkan kalau aku mengganggu. Kedatanganku ini hanya untuk menanyakan sesuatu kepada Yo-Wangwe, tentang Ayah bundaku."

   Pemuda itu melangkah maju.

   "Kau siapakah, nona? Kalau masih keluarga Kongkong (kakek), mengapa aku tidak kenal padamu?"

   In Hong tersenyum dan jantung pemuda itu melompat-lompat di dalam rongga dadanya.

   "Memang kita belum pernah saling bertemu. Ketahuilah bahwa Ibuku adalah keponakan Kongkongmu itu, dan Ibuku bernama Yo Cui Hwa. Mendengar disebutnya nama ini, wajah pemuda itu berseri dan ia berkata kepada mandor tadi,

   "Kwa-lopek, dia adalah saudara sendiri dengan aku, kau kembalilah ke tempat kerjamu."

   Mandor itu membungkuk lalu pergi keluar.

   "Kau... benar-benarkah kau puteri dari Bibi Cui Hwa dan kau kah anak yang dulu hilang bersama Can Mama itu?"

   Tanya pemuda ini, masih ragu-ragu dan memandang kepada wajah yang jelita itu. In Hong menjadi terharu. Kalau pemuda ini mengenal Can Mama dan tahu akan semua nasib yang diwaktu kecil ia alami, ia tidak ragu-ragu lagi bahwa ia datang di tempat yang betul.

   "Benar,"

   Katanya girang.

   "Namaku adalah In Hong, Kwee In Hong. Dimana Ayah bundaku? Apakah mereka berada disini?"

   "Marilah ikut aku masuk ke dalam, moy-moy. Kau adalah Adik misanku sendiri. Namaku Yo Kang, aku sudah banyak mendengar dari Ayah tentang Ibu dan Ayahmu dan kau juga. Aku lebih tua dua tahun darimu dan aku mendengar kau dibawa pergi oleh seorang Iblis Wanita bernama Hek Moli..."

   Ia melihat ke arah gagang pedang yang tersembul dari balik punggung gadis itu.

   "Ah, siauw-moy, alangkah akan terkejut dan girangnya hati Kongkong dan Ayah-Ibuku melihat kau datang dalam keadaan selamat,"

   Yo Kang, pemuda itu, bicara dengan cepat sekali sehingga In Hong menjadi bingung mendengarkannya.

   "Dimana Ayah bundaku?"

   Tanyanya dan hatinya berdebar gelisah.

   "Marilah kita masuk dulu, banyak yang harus kau dengar."

   Masuklah mereka ke dalam gedung yang ternyata indah dan penuh dengan perabot rumah yang mahal dan bagus. Mula-mula yang menyambut In Hong adalah Yo Hang Tek, Ayah Yo Kang, seorang laki-laki berusia empatpuluh lebih yang sudah putih semua rambutnya dan nampak tua, tubuhnya tinggi besar seperti Yo Kang, namun sikapnya lemah lembut. Yo Hang Tek keluar menyambut bersama isterinya, Ibu Yo Kang, yang kurus sekali tubuhnya, akan tetapi wajahnya masih kelihatan cantik. Yo Hang Tek memandang kepada In Hong dengan mata terbelalak, kemudian ia memegang pundak gadis itu dan dua matanya basah.

   "In Hong, kau... kau seperti Ibumu benar! Aduh, nak, sudah belasan tahun kami putus asa dan mengira bahwa kau sudah tewas."

   Melihat sikap Pamannya ini dan mendengar kata-katanya, tak terasa pula sepasang mata In Hong yang bening itu berlinang. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pamannya.

   "Yo-pekhu, anak In Hong mohon penjelasan mengenai nasib Ayah dan Ibu."

   "Nanti dulu, In Hong, marilah kau menghadap kepadaKakekmu, dan disana nanti kita bercakap-cakap,"

   Kata Yo Hang Tek dan mereka lalu masuk ke dalam ruang belakang dimanaKakek Yo Tang sudah menanti di atas korsinya yang besar dan empuk.Kakek ini sudah tua, duduk dengan enaknya sambil mengisap pipa tembakau yang panjang. Seluruh ruangan itu berbau asap tembakau. In Hong lalu melangkah maju dan berlutut menghaturkan hormat, sedangkanKakek itu mengangguk-angguk sambil meniup asap dari mulutnya.

   "Hm, kau benar-benar serupa dengan Cui Hwa. Duduklah dan ceritakan semua pengalamanmu. Siapa namamu? Aku sudah lupa lagi."

   "Namaku Kwee In Hong...,"

   Kata In Hong lirih.

   "Siapa?"Kakek itu majukan kepalanya dan miringkan muka untuk mendengarkan lebih jelas.

   "In Hong, bicaralah agak keras, Kongkong sudah kurang pendengarannya,"

   Kata Yo Kang kepada In Hong. Terpaksa In Hong bicara dengan keras, akan tetapi gadis ini hanya mengerahkan khikangnya dan sungguhpun suaranya bagi orang lain biasa saja, namun karena ditujukan kepadaKakek itu, Yo Tang dapat mendengar dengan baik. Melihat In Hong bicara masih biasa saja, Yo Hang Tek dan semua orang takut kalau-kalauKakek itu tidak mendengar, akan tetapi aneh,Kakek itu ternyata mengangguk-angguk senang.

   "Hm, bagus sekali, aku sekarang ingat, namamu In Hong. Nah, kau ceritakanlah semua pengalamanmu, In Hong."

   Hati In Hong kecewa sekali. Ia tidak melihat Ayah-Ibunya disitu, bahkan tidak melihat Can Mama, padahal ia ingat betul bahwa dulu ketika ia dibawa pergi oleh Hek Moli, Can Mama hendak pergi ke See-Ciu dan mereka dahulu sudah berada di luar kota. Apakah Can Mama sudah mati? Akan tetapi, ia merasa tidak pantas kalau ia tidak menurut kehendakKakek itu, maka dengan ringkas ia bercerita bahwa ia memang dibawa oleh Hek Moli yang suka kepadanya dan mengambilnya sebagai murid selama empatbelas tahun. Ia tidak menuturkan panjang lebar tentang ilmu-ilmu silat yang ia pelajari, hanya menyatakan bahwa nenek itu amat baik kepadanya.

   "Aah, disukai oleh seorang iblis wanita seganas Hek Moli, benar-benar bukan hal yang baik. Biarpun aku belum pernah bertemu dengan dia, namun namanya yang busuk sudah sampai di mana-mana dan siapakah yang tidak takut mendengar namanya?"

   

Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini