Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 7


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



"Gurumu adalah sahabat baikku, dan karena aku pernah ditolong olehnya, maka tadi melihat kau menghadapi Pek Ciang San-Lojin, aku sengaja datang untuk menyeretmu keluar dari lembah maut. Kalau tidak aku keburu datang, apa kau kira sekarang kau masih bernyawa? Hm, biarpun ilmu silat dan ilmu pedangmu lihay, mana kau dapat menghadapi tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai? Lweekangmu masih amat rendah dan kalau kau bertanding melawan Pek Ciang, kau tentu akan terluka dan binasa."

   Mendengar semua kata-kata ini, maklumlah In Hong bahwaKakek aneh ini bermaksud baik dan bahkan telah menolongnya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut.

   "Lo-Cianpwe, banyak terima kasih atas pertolonganmu. Akan tetapi Teecu Kwee In Hong tidak takut mati. Untuk membalas budi mendiang Guruku, Teecu harus berani berkorban nyawa. Teecu harus membalas dendamnya atas pengeroyokan Tosu-Tosu Kun-Lun-Pai."

   "Ha, ha, ha, inilah namanya anak kerbau tidak takut harimau. Dengan tenaga lweekangmu serendah itu, biar sepuluh tahun lagi tak mungkin kau dapat mengalahkan kami. Kecuali kalau kau bisa mendapatkan kitab Tat Mo I-Kin-Keng dari Siauw-Lim-Si dan mempelajarinya sampai tamat, baru kiranya kau akan dapat menghadapi kami! Nah, kau pergilah, aku bicara semua ini bukan terhadapmu, melainkan terhadap arwah Gurumu!"

   Setelah berkata demikian, sambil menyeret sapunya Tosu tua itu berjalan pergi.

   "Tahan dulu, Lo-Cianpwe, mohon tahu nama Lo-Cianpwe yang mulia."

   Tanpa menoleh Tosu itu herkata,

   "Siang-te Lo-koay hanya tukang sapu di kelenteng Kun-Lun, tidak ada harganya untuk diingat lagi."Kakek itu mempercepat larinya dan sebentar saja telah naik kembali ke bukit itu. In Hong menarik napas panjang. Ia kagum sekali kepadaKakek ini, yang biarpun ilmu silatnya tidak amat tinggi, namun ginkang dan lweekangnya sudah sampai di puncak yang tak dapat diukur tingginya sehingga ia merupakan seorang anak kecil yang tidak berdaya terhadapnya.

   Ia pikir bahwa betul sekali apa yang diucapkan olehKakek itu. Kepandaiannya, atau lebih tepat ilmu lweekangnya, masih terlampau rendah sehingga kalau ia nekad membalas dendam ke Kun-Lun-Pai, hal itu bukan berarti kegagahan, melainkan ketololan besar. Sakit hati Gurunya takkan terbalas, sebaliknya ia seperti mengantarkan nyawa secara sia-sia belaka. Tat Mo I-khi-keng dari Siauw-Lim-Si! Kata ini terukir di dalam hatinya. Apa artinya semua kepandaiannya kalau ia tidak dapat memiliki lweekang yang tinggi? Ia pernah mendengar dari Gurunya bahwa dalam pertandingan menghadapi tokoh lihay memang tenaga lweekang amat penting. Dan Gurunya pernah mengaku bahwa dalam hal lweekang, masih kalah oleh partai-partai besar, apalagi partai silat Siauw-Lim-Si yang amat mengutamakan ilmu lweekang ini.

   "Aku harus mendapatkan kitab Tat Mo I-Kin-Keng dari Siauw-Lim-Si, biarpun harus menjadi pencuri!"

   Pikiran ini menjadi keputusan di dalam hati gadis yang masih penasaran itu, dan sekali mengambil keputusan, ia tidak mau menunda-nunda lagi, maka begitu turun dari Kun-Lun-San, ia langsung menuju ke Siauw-Lim-Si. Berbeda dengan partai persilatan Kun-Lun-Pai, Siauw-Lim-pay adalah partai persilatan dari penganut-penganut agama Buddha.

   Kelenteng Siauw-Lim-Si adalah sebuah kelenteng yang besar sekali, di kelilingi oleh tembok yang tebal dan tinggi. Di antara semua partai persilatan yang besar, nama Siauw-Lim-pay sudah amat terkenal. Setiap orang Hwesio, atau anak murid Siauw-Lim-pay yang berada di luar kelenteng, sudah dapat dipastikan memiliki ilmu kepandaian tinggi, karena kalau belum tamat belajar mencapai tingkat tertentu, murid Siauw-Lim-Si tidak boleh meninggalkan perguruan! Setiap orang anak murid yang tamat harus menempuh ujian, yakni melalui sebuah lorong yang sudah disiapkan untuk menguji si murid. Lorong ini penuh dengan alat-alat rahasia dan si murid akan menghadapi serangan-serangan berbahaya, baik yang dilakukan dengan alat-alat rahasia itu maupun oleh Guru-Gurunya sendiri.

   Kalau ia berhasil menembusi lorong inti, ia dianggap cukup cakap untuk keluar dari Siauw-Lim-Si. Akan tetapi kalau dalam menghadapi ujian ini ia gagal, harus belajar lebih giat lagi. Atau kalau sampai ia tewas dalam ujian ini, itu sudah menjadi nasibnya! Oleh karena ada aturan dan disiplin yang keras ini, maka selamanya Siauw-Lim-pay dapat menjaga nama dan anak-anak murid keluaran Siauw-Lim-pay dapat menjunjung tinggi nama perguruan itu. Pada waktu itu, yang menjadi Ketua dari Siauw-Lim-pay adalah Bu Kek Tianglo, seorang Hwesio yang usianya sudah hampir delapanpuluh tahun. Selama berpuluh tahun Hwesio ini memegang pimpinan Siauw-Lim-pay dan boleh dibilang ia berhasil dalam memajukan partai persilatan ini. Akan tetapi hatinya tidak puas. Ada hal yang amat mengganjel hatinya dan kalau ia teringat akan hal ini, diam-diam ia menarik napas seorang diri dan berbisik,

   "Apakah akan jadinya dengan Siauw-Lim-pay? Tat Mo Couwsu pasti arwahnya akan mengutukku kalau aku tidak bisa mendapatkan seorang ahliwaris yang baik."

   Yang menjadikanKakek Hwesio ini berduka adalah karena selama ini, ia tidak bisa mendapatkan seorangpun murid yang berbakat dan yang akan dapat mewarisi kepandaian aseli dari Tat Mo Couwsu. Ilmu silat peninggalan Guru besar Tat Mo Couwsu, yang disebut Tat Mo Kun-hoat, terdiri dari bermacam-macam ilmu silat. Memang semua anak murid Siauw-Lim-pay mempelajari ilmu silat ini, akan tetapi tingkat mereka yang paling tinggi hanya sampai enam bagian saja. Yang sudah mewarisi ilmu silat ini sampai sembilan bagian hanyalah Bu Kek Tianglo seorang, karena untuk berhasil mewarisi seluruh pelajaran yang amat sukar dari ilmu silat itu, dibutuhkan bakat luar biasa serta kebersihan batin, hawa dalam tubuh, dan darah.

   Sampai sebegitu jauh, tak seorangpun anak murid yang sanggup menerima latihan I-Kin-Keng, yakni latihan ilmu lweekang yang tertinggi. Hanya Bu Kek Tianglo sendiri yang berhasil, akan tetapi ia sudah terlalu tua. Usianya takkan lama lagi mempertahankan hidupnya dan sebelum mati, Hwesio tua ini ingin sekali mendapatkan seorang murid yang dapat mewarisi I-Kin-Keng dan ilmu silat tertinggi dari Tat Mo kun-hoat. Bu Kek Tianglo sudah hampir putus asa sampai datangnya seorang Hwesio Siauw-Lim-Si yang membawa seorang pemuda dan seorang bocah perempuan ke kelenteng itu. Hal ini terjadi lima tahun yang lalu. Hwesio yang datang ini adalah murid kepala dari Bu Kek Tianglo yang bernama Ceng Seng Hwesio. Ceng Seng Hwesio berlutut menghadap Ketua Siauw-Lim-pay itu dan disebelahnya, pemuda dan anak perempuan itupun ikut berlutut dengan penuh penghormatan.

   "Muridku yang baik, tiga bulan lamanya kau meninjau keadaan di luar, bagaimanakah khabarnya dengan para anak murid kita yang berada di luar?"

   "Mereka baik-baik semua, Suhu, dan tak seorangpun yang melakukan pelanggaran, kesemuanya patuh akan pelajaran dan larangan Siauw-Lim-pay,"

   Jawab Ceng Seng Hwesio. Jawaban ini kelihatannya amat menyenangkan hati Bu Kek Tianglo, karenaKakek ini memang selalu merasa gelisah kalau ia teringat betapa banyaknya murid-murid Siauw-Lim-pay berada di luar kelenteng sehingga ia tidak kuasa untuk mengawasi tingkah laku mereka. Ia selalu khawatir kalau-kalau ada anak murid yang melakukan perbuatan jahat, melanggar larangan Siauw-Lim-pay dan di dunia luar merusak nama baik Siauw-Lim-pay. Oleh karena ini, seringkali ia mengutus murid-muridnya untuk meninjau keadaan di dunia kangouw dan memberi wewenang kepada murid-muridnya ini apabila mendengar anak murid Siauw-Lim-pay yang menyeleweng, untuk menangkap dan menyeretnya ke Siauw-Lim-pay!

   "Siapakah orang muda dan nona cilik ini?"

   KemudianKakek itu bertanya sambil memandang kepada pemuda dan anak perempuan yang berlutut di dekat Ceng Seng Hwesio.

   "Di dalam perantauan, Teecu bertemu dengan mereka ini, dikeroyok oleh perampok di dalam hutan. Teecu amat tertarik melihat ilmu silat pemuda ini berdasarkan ilmu silat Siauw-Lim-Si, akan tetapi gerakannya sudah menyeleweng jauh. Setelah Teecu mengajak mereka bercakap-cakap, ternyata bahwa mereka ini masih cucu murid dari supek Bu Sek Tianglo!"

   Bu Kek Tianglo nampak tercengang dan memandang kepada pemuda itu dengan penuh perhatian.

   "Anak muda, siapa namamu? Dan kau murid siapakah?"

   Tanya Bu Kek Tianglo. Pemuda itu mengangkat mukanya yang tampan dan membayangkan kedukaan, memandang kepada Tosu tua itu kemudian menunduk kembali dan menjawab, suaranya halus dan sopan,

   "Susiok-couw, Teecu bernama Ong Teng San, dan ini Adik Teecu bernama Ong Lian Hong. Teecu berdua menerima pelajaran ilmu silat dari Ayah Teecu sendiri yang bernama Ong Tiang Houw, murid dari sucouw Bu Sek Tianglo. Kebetulan sekali Teecu berdua yang sengsara bertemu dengan supek Ceng Seng Hwesio, maka apabila susiok-couw tidak berkeberatan, Teecu berdua mohon diterima menjadi murid di Siauw-Lim-Si, karena Teecu berdua sudah tidak mempunyai tempat tinggal lagi."

   Suara pemuda itu menjadi perlahan dan ia kelihatan berduka sekali.

   "Hm, mengapa kalian pergi dari rumah? Dimana Ayahmu? Biarpun Ayahmu tidak langsung menjadi murid Siauw-Lim-pay, akan tetapi sudah lama Pinceng (aku) mendengar akan sepak terjangnya yang patut dihargai sebagai seorang pendekar yang gagah. Agaknya mendiang Suhengku Bu Sek Tianglo tidak terlalu salah menerima murid sungguhpun dia sendiri telah meninggalkan Siauw-Lim-pay."

   Mendengar pertanyaan ini, tiba-tiba Teng San terisak menangis! Hati pemuda ini bersedih sekali kalau ia teringat akan Ayahnya yang dianggap telah melakukan perbuatan yang amat memalukan dan tidak berbudi. Melihat pemuda ini menangis, Bu Kek Tianglo wajahnya tiba-tiba berseri. Di dalam hatinya ia berkata,

   "Aha, anak inilah yang kiranya akan dapat mewarisi I-Kin-Keng, hatinya perasa sekali dan perasaan yang halus inilah yang amat dibutuhkan untuk bisa mempelajari I-Kin-Keng dengan sempurna."

   Akan tetapi di luarnya, ia berkata dengan suara tegas,

   "Teng San, tidak patut seorang pemuda mengalirkan airmata. Ada urusan, boleh kau beritahukan kepada Pinceng dengan terus terang, boleh jadi Pinceng akan dapat mencarikan jalan terang bagimu."

   Teng San menekan perasaan sedihnya, kemudian ia dengan terus-terang menceritakan bagaimana Ayahnya telah membunuh seorang hartawan muda bernama Kwee Seng, kemudian mengambil isteri hartawan itu sebagai isterinya. Hal ini dianggapnya amat menyakitkan dan memalukan hati, apalagi karena Teng San sudah menganggap Ibu tiri itu sebagai Ibunya sendiri, bahkan sudah berkali-kali berjanji kepada Ibu tirinya untuk membalaskan dendam atas terbunuhnya suami yang dahulu dari Ibu tirinya itu. Tidak disangka-sangkanya bahwa pembunuhnya adalah Ayahnya sendiri! Mendengar penuturan ini, Bu Kek Tianglo mengerutkan keningnya dan beberapa kali ia menggeleng-geleng kepalanya yang gundul.

   "Omitohud, bagaimana ada kejadian seperti itu? Pinceng sudah mendengar tentang Ayahmu yang memimpin pasukan Kai-Sin-Tin membasmi orang-orang hartawan dan bangsawan. Perjuangan memperbaiki nasib kaum jembel memang baik, bahkan semenjak dahulu dipelopori oleh orang-orang gagah sedunia yang tidak suka melihat sesama hidup bersengsara dan melihat keganjilan di dunia ini, dimana yang hidup kaya sampai berlebihan dan yang hidup miskin sampai tidak bisa makan. Akan tetapi, setiap perjuangan memperbaiki nasib haruslah dilakukan dengan hati-hati dan waspada, karena hampir selalu ada bahaya kemasukan anasir-anasir buruk dan sifat-sifat yang tidak baik. Ayahmu terlampau dikuasai oleh nafsunya, nafsu dan dendam karena kematian isterinya, yaitu Ibumu, dan orang yang sudah dikuasai oleh nafsu dan dendam, tiada ubahnya seperti binatang buas yang tidak memilih bulu, siapa saja diterkamnya. Orang gagah harus dapat berlaku adil, menghukum mereka yang bersalah dan menolong mereka yang tergencet. Secara membuta tuli saja membasmi orang-orang hartawan dan bangsawan, adalah perbuatan yang amat keliru, karena tak mungkin seluruh hartawan dan bangsawan itu jahat belaka. Karena kekeliruan Ayahmu itu, sekarang ia harus memetik buahnya yang amat pahit. Bagaimana dengan Ayahmu sekarang?"

   "Teecu tidak tahu, susiok-couw. Entah bagaimana dengan Ayah, dan kalau Teecu teringat akan Ibu..."

   Sampai disini terdengar suara tangisan Liang Hong.

   "San-Ko, aku mau pulang, mau menjaga Ibu...,"

   Anak ini menangis.

   Bu Kek Tianglo adalah seorang yang hatinya penuh welas asih, sesuai dengan penganut agama Buddha, maka ia amat terharu melihat keadaan dua orang anak itu. Apalagi kalau ia melihat Teng San, diam-diam ia memuji ketajaman mata muridnya, karena pemuda ini benar-benar memiliki bakat yang luar biasa. Oleh karena itu, ia menerima Teng San dan Lian Hong menjadi murid Siauw-Lim-Si, dan menyerahkan pendidikan mereka kepada Ceng Seng Hwesio. Akan tetapi, terhadap Teng San ia turun tangan sendiri memberi pelajaran ilmu silat tinggi sehingga pemuda itu mendapatkan kemajuan yang amat pesat. Selama lima tahun Teng San dan Lian Hong dilatih di dalam kelenteng Siauw-Lim-Si dan Teng San kini benar-benar telah mewarisi ilmu-ilmu silat tertinggi dari Siauw-Lim-pay.

   Akan tetapi, tetap saja ia masih mengalami kesukaran untuk mewarisi I-Kin-Keng dan setelah lima tahun, baru ia mulai mendapat penjelasan tentang ilmu lweekang tertinggi dari Siauw-Lim-pay ini. Juga Lian Hong merupakan murid yang amat memuaskan hati Ceng Seng Hwesio, karena dalam usia empatbelas tahun, gadis cilik ini telah mampu melewati lorong ujian dengan selamat dan tidak terluka sedikitpun! Pada waktu inilah ketika Siauw-Lim-Si mendapat serbuan yang menggemparkan kelenteng besar itu, serbuan yang dilakukan oleh Kwee In Hong, gadis murid Hek Moli yang amat berani dan keras hati itu! Waktu itu tepat tanggal limabelas, bulan bersinar terang dan hawa malam itu dingin bukan main, tanda bahwa musim panas sudah mulai bertukar musim.

   Tak seorangpun di kelenteng Siauw-Lim-Si yang menduga bahwa malam itu tempat mereka yang disegani dan ditakuti oleh semua orang kangouw akan menerima tamu tak diundang yang amat berani. Memang sudah berpuluh tahun tidak ada orang yang berani memusuhi Siauw-Lim-Si, apalagi datang sebagai seorang tamu malam tak diundang yang bermaksud jahat. Maka para Hwesio enak-enak saja dan tidak menyangka buruk. Apalagi karena In Hong memasuki tempat itu dengan mempergunakan ginkangnya yang sudah tinggi tingkatnya. Hanya bayangannya saja yang berkelebatan ketika ia mendaki bukit itu menuju ke kelenteng. Kemudian, dengan amat mudahnya ia melompat pagar tembok yang tinggi, yang mengelilingi semua bangunan kelenteng dan rumah tinggal para anak murid Siauw-Lim-pay.

   Kalau orang melihat In Hong melompat-lompat di dalam sinar bulan purnama, tentu ia akan mengira bahwa gadis ini seorang bidadari yang turun dari bulan. Memang gadis ini amat cantik, lincah, dan pakaiannya yang serba ringkas membayangkan potongan tubuhnya yang langsing. In Hong merasa agak heran ketika melihat keadaan di dalam pagar tembok itu sunyi saja, tidak kelihatan penjaganya. Begini sajakah keadaan Siauw-Lim-Si yang tersohor kuat itu? Ia merasa lega dan setelah meneliti bahwa keadaan di dalam benar-benar aman, ia lalu melayang turun dari pagar tembok dengan gerakan ringan seakan-akan seekor burung walet menyambar. Kedua kakinya tidak mengeluarkan suara ketika ia tiba di atas tanah dalam sebuah pekarangan yang lebar. Sambil menyelinap dan bersembunyi di dalam bayang-bayang pohon dan tembok yang gelap, gadis yang berani ini maju terus.

   Tiba-tiba ia melihat seorang Hwesio cilik membawa lampu berjalan perlahan. Sambil berjalan, Hwesio cilik ini mulutnya berkemak-kemik mengeluarkan suara seperti orang berdoa, agaknya ia sedang menghafal ayat-ayat Suci yang baru dipelajarinya siang hari tadi. In Hong cepat bersembunyi ke dalam tempat gelap dan ketika Hwesio kecil itu lewat, ia melompat dan pedangnya sudah menempel pada leher Hwesio ini. Alangkah heran dan kagumnya hati In Hong ketika melihat betapa Hwesio cilik ini sama sekali tidak terkejut. Jangankan berteriak minta tolong atau melepaskan lampunya, bahkan ia memandang sambil tersenyum! Ketenangan Hwesio cilik ini membuat In Hong menjadi kagum dan malu kepada diri sendiri, maka ia menjauhkan pedangnya dari leher anak yang sudah menjadi calon Pendeta itu.

   "Siauw-suhu, aku tidak berniat buruk kepadamu, hanya aku harap kau suka memberitahu kepadaku dimana adanya kamar penyimpanan kitab Siauw-Lim-Si!"

   Bisiknya. Memang aneh sekali Hwesio cilik ini sambil tersenyum lalu menuding ke arah kiri.

   "Kau hendak mencari kamar penyimpanan kitab? Lihat, bangunan di sudut kiri yang jendelanya kuning itulah tempat penyimpanan kitab."

   In Hong tertegun.

   "Kau tidak bohong, siauw-suhu?"

   Hweesio cilik itu tersenyum dan menggeleng kepalanya yang gundul kelimis.

   "Kalau orang masih suka berbohong apa gunanya berada disini? Tidak, disini kau tidak bertemu dengan orang yang suka membohong."

   In Hong menggerakkan tangan hendak menotok Hwesio cilik ini agar jangan dapat bergerak atau berteriak, akan tetapi melihat muka yang jujur dan polos serta senyuman yang terbuka itu, ia menahan tangannya.

   "Aku takkan mengganggumu, akan tetapi kau harus berjanji takkan memberitahukan kepada siapapun juga akan kedatanganku ini."

   Kembali Hwesio cilik itu tertawa.

   "Lihiap, tentang kedatanganmu, siapakah yang tidak tahu? Para Suhu disini sudah tahu semua, untuk apa diberitahukan lagi?"

   Setelah berkata demikian, Hwesio cilik ini berjalan terus dengan lambat, lampu di tangannya bergoyang-goyang. Untuk sejenak In Hong berdiri terpaku. Keterangan terakhir ini mengejutkan hatinya. Akan tetapi, betulkah itu? Kalau para tokoh Siauw-Lim-pay sudah mengetahui kedatangannya, mengapa mereka tidak muncul? Betapapun juga, aku sudah sampai disini dan harus kucoba mendapatkan kitab I-Kin-Keng, pikirnya. Tanpa ragu-ragu lagi In Hong lalu melompat cepat ke kiri, menuju ke bangunan berjendela kuning yang ditunjuk oleh Hwesio kecil tadi.

   Untuk sampai di tempat itu, ia harus melalui beberapa ruangan dan di sana sini terdapat arca-arca Buddha sebesar orang sehingga kadang-kadang gadis ini terkejut karena dari jauh arca-arca ini seperti seorang Hwesio sedang duduk bersamadhi. Akhirnya ia sampai di sebuah ruangan dan di dekat ruangan terbuka inilah adanya kamar yang berjendela kuning. Hatinya berdebar girang dan dengan hati-hati ia mendekati kamar itu. Di ujung ruangan itu, dekat dengan pintu kamar, ia melihat punggung sebuah patung lagi yang sebesar manusia, patung seperti arca-arca lain yang dilihatnya tadi. Maka ia tidak menaruh perhatian. Dengan langkah lebar In Hong menghampiri jendela kuning dari kayu dan sekali mencongkel dengan pedang-nya, jendela itu terbuka tanpa menerbitkan suara apa-apa.

   Kamar ini luas sekali dan diterangi oleh lampu besar. Ia melihat lemari-lemari yang penuh dengan buku-buku kuno dan di tengah kamar ini ia melihat seorang laki-laki sedang duduk membaca buku. Laki-laki itupun bersila dan biarpun kedua tangannya memegang sebuah kitab terbuka, namun ia tidak bergerak sama sekali. Agaknya seluruh perhatiannya dicurahkan untuk membaca isi kitab, maka ia tidak memperdulikan lain hal yang terjadi disekelilingnya. In Hong tercengang dan ia memandang dengan mata terbelalak. Kalau ia melihat laki-laki itu seorang Hwesio gundul, ia takkan terheran. Akan tetapi laki-laki ini bukan seorang Hwesio, melainkan seorang pemuda yang tampan dengan pakaian serba putih. Ia hendak menerjang masuk, akan tetapi menarik diri kembali dan bersembunyi ketika melihat pemuda itu menggerakkan leher dan menengok ke arah jendela.

   "Sampai berani merusak jendela, inilah keterlaluan sekali!"

   Kata pemuda itu dan ketika In Hong hendak memandang ke dalam, tiba-tiba jendela itu sudah tertutup! In Hong meraba penutup yang kini berwarna hitam itu dan ternyata bahwa yang menutup jendela secara aneh itu adalah besi yang tebal dan dingin! Ia mencoba mendorong, namun sia-sia karena besi penutup jendela itu kokoh kuat. In Hong penasaran dan sekali ia melompat, ia telah naik ke atas genteng kamar itu. Namun, ketika ia membuka genteng, ternyata bahwa dibawah genteng juga tertutup oleh lapisan besi yang tak mungkin ditembus!

   "Kurangajar!"

   Ia memaki perlahan dan melayang turun kembali, kini ia menghampiri pintu.

   "Kau kira aku tidak berani menerjang dari pintu?"

   Pikirnya. Akan tetapi, sebelum ia membuktikan ancamannya ini, arca yang tadi ia lihat punggungnya, tiba-tiba bergerak dan sudah berdiri di belakangnya.

   "Nona, tak seorangpun boleh memasuki pintu ini!"

   In Hong sampai mencelat setombak lebih saking kagetnya. Tidak disangkanya bahwa yang dikira arca itu ternyata seorang Hwesio gundul tua yang agaknya duduk bersamadhi di depan pintu itu! Pada saat itu, terdengar suara kelenengan perlahan yang sambut menyambut di seluruh tempat itu, maka tahulah In Hong bahwa ia sudah terkepung. Pintu kamar itu terbuka dan pemuda yang tadi dilihatnya membaca kitab, sudah ber-diri dengan pedang di tangan, sedangkan daun pintu itu tertutup sendiri dengan suara keras dan nyaring yang menyatakan bahwa daun pintu inipun terbuat daripada besi atau baja! Gagal dan aku harus cepat melarikan diri, pikir In Hong dengan kecewa.

   "Nona, jalan masuk ke Siauw-Lim-Si amat mudah, namun jalan keluarnya tidak semudah kau kira,"

   Hwesio tadi berkata dengan nada mengejek.

   "Minggir kau!"

   Bentak In Hong sambil mempergunakan tangan kirinya mendorong. Hwesio itu tidak mau mengelak, sebaliknya menyambut dengan tangan kanannya. Tubuh In Hong terpental ke belakang, demikian kerasnya tenaga dorongan Hwesio itu. In Hong terkejut sekali. Lihay betul lweekang dari hweesio ini, pikirnya, maka ia tidak berani memandang ringan. Baru seorang Hwesio saja begini lihay, kalau mereka semua muncul, ia tentu takkan mampu melawan mereka semua. Cepat ia hendak lari, akan tetapi Hwesio itu sudah menghadangnya sambil tertawa,

   "Coan Sim Hwesio menjaga kamar kitab takkan membiarkan kau pergi, nona,"

   Katanya dan tangannya menyambar hendak menangkap lengan In Hong yang memegang pedang.

   Nona ini menjadi marah dan cepat ia menggerakkan pedang hendak membacok lengan Hwesio itu. Lawannya ternyata memiliki gerakan yang gesit juga, karena sudah dapat menarik lengannya dan membalas dengan tendangan Loan-Hoan-Twi, yakni tendangan berantai yang dilakukan bertubi-tubi.

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   In Hong cepat melompat tinggi ke belakang, dan sambil memutar tubuhnya, pedangnya menusuk dada Hwesio itu. Gerakannya demikian ringan dan cepat sehingga Hwesio ini mengeluarkan seruan kaget dan cepat mengelak sambil melompat ke belakang. Namun In Hong tidak memberi kesempatan padanya dan terus menyerang. Pedangnya kini merupakan sinar dan bergulung-gulung menyerang Hwesio itu yang menjadi kewalahan, melompat dan mengelak ke sana ke mari.

   "Pencuri nekat jangan kau kurangajar!"

   Tiba-tiba pedang In Hong tertangkis oleh pedang lain dan ternyata bahwa yang menangkis oleh pedang lain dan ternyata bahwa yang menangkis pedangnya adalah pemuda yang tadi membaca kitab.

   "Murid termuda Siauw-Lim-Si Ong Teng San takkan membiarkan pencuri pergi!"

   In Hong menjadi marah. Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi ia lalu memutar pedangnya secepatnya, menyerang pemuda itu dengan jurus ilmu pedangnya yang paling lihay. Pemuda itu terkejut sekali dan buru-buru ia menangkis sambil melangkah mundur, karena serangan ini benar-benar merupakan desakan yang masih berbahaya kalau hanya ditangkis saja. In Hong penasaran. Serangannya tadi amat lihay dan kalau lawan tidak memiliki ilmu silat tinggi tak mungkin dapat menghindarkan diri. Namun pemuda itu masih dapat mengelak dan menangkis. Selagi ia hendak mendesak terus, dari samping Coan Sim Hwesio kembali mengulur tangan mendorongnya dan kembali angin dorongan itu membuat In Hong terhuyung. Celaka pikirnya. Tidak menguntungkan kalau ia melawan terus, maka sekali kakinya dienjotkan, ia telah melayang naik ke atas genteng.

   Coan Sim Hwesio dan pemuda yang bukan lain adalah Ong Teng San itu, tidak mau mengejarnya. Mereka maklum bahwa gadis itu takkan mungkin dapat keluar dari kepungan para Hwesio Siauw-Lim-Si. Betapapun juga mereka tidak mau tinggal diam dan keduanya lalu pergi mela-kukan penjagaan di lain tempat, Hwesio itu lari ke kanan untuk membantu penjagaan di tembok sebelah kanan, sedangkan Teng San melompat naik ke atas genteng melakukan penjagaan di atas. In Hong berlari terus, menuju keluar. Maksudnya hendak lekas-lekas pergi dari tempat itu, apalagi setelah ia melihat dari atas betapa banyak Hwesio-Hwesio menjaga di sana sini. Tempat yang ketika ia datang nampak sunyi itu sekarang sudah berobah sama sekali. Di setiap sudut terdapat lampu penerangan. Selagi ia mencari tempat yang dapat dilaluinya untuk melarikan diri, tiba-tiba terdengar bentakan,

   "Nona tak tahu aturan, tidak lekas-lekas menyerah?"

   In Hong memutar pedangnya untuk menangkis ketika merasa sambaran angin datang dari sebelah kanan. Terdengar suara keras dan ujung sebatang toya terbabat putus oleh pedang Liong-gan-kiam.

   Hwesio yang menyerangnya berseru kaget, akan tetapi dua orang kawannya lagi maju menubruk untuk menangkap In Hong. Nona ini melihat dirinya dikeroyok tiga orang Hwesio, tidak mau melayani dan secepat burung terbang, ia melompat turun lagi dari atas genteng. Kemudian ia berlari terus ke depan dan anehnya, tiga orang Hwesio itupun tidak mau mengejarnya. Begitu kedua kaki In Hong menginjak tanah, ia dikejutkan oleh bentakan mengguntur,

   "Penjahat wanita yang berani mati mengacau Siauw-Lim-Si, lebih baik kau menyerah untuk Pinceng ikat kaki tanganmu!"

   In Hong melihat seorang Hwesio tinggi besar yang memegang sebatang rantai baja panjang. Darahnya naik mendengar bentakan itu. Masa ia hendak diikat dengan rantai baja yang lebih pantas untuk mengikat gajah itu? Tanpa mengeluarkan suara, pedangnya membabat dan secepat kilat ia telah melakukan serangan ke arah perut Hwesio itu dengan tusukan maut.

   "Siancay... ganas betul kau!"

   Hwesio itu menggerakkan rantainya dan hampir saja pedang In Hong terlepas dari pegangannya ketika dua senjata itu bertemu dengan kerasnya. Diam-diam In Hong amat terkejut. Biarpun gerakan para Hwesio di Siauw-Lim-Si ini tidak terlalu cepat, namun ia harus akui bahwa mereka rata-rata memiliki tenaga yang besar. Telapak tangannya sampai terasa pedas ketika gagang pedangnya tergetar dalam pertemuan senjata itu. Ia cepat menarik pedang dan kembali melakukan tiga jurus serangan bertubi-tubi. Namun dengan pemutaran rantai sehingga merupakan kitiran baja yang tangguh, semua serangannya gagal.

   "Suheng, jangan lepaskan dia!"

   Terdengar suara Hwesio lain membentak dan In Hong menjadi gemas sekali melihat datangnya dua orang Hwesio lain yang memegang toya. Melayani si tinggi besar dengan rantai ini saja belum tentu ia akan dapat menang secara cepat, apalagi sekarang datang pula dua orang pengeroyok. Dan ia maklum bahwa senjata toya bagi Siauw-Lim-Si merupakan senjata yang ampuh dan ilmu toya Siauw-Lim-Si amat terkenal ketangguhannya.

   "Kalian memaksakan dan tidak mau membiarkan aku pergi? Baik, kalian rasakan ini!"

   Bentaknya marah sekali dan tiba-tiba, ketika tangan kiri In Hong bergerak, sinar hitam menyambar ke arah tiga orang Hwesio itu. Inilah Toat-beng-hek-kong yang luar biasa. Pasir hitam halus yang mengandung racun itu sukar sekali dihindarkan, apalagi dipergunakan di waktu malam. Biarpun tiga orang Hwesio itu cepat-cepat mengelak, namun masih saja mereka terkena samberan pasir dan segera terdengar suara mengaduh-aduh dari tiga orang ini.

   In Hong mempergunakan kesempatan ini untuk berlari terus. Akan tetapi karena ia tidak kenal jalan dan tempat itu ternyata amat luasnya, ia tidak tahu harus mengambil jalan mana dan berlari saja dengan membuta. Ia tiba di sebuah ruangan lain yang amat terang dan ditengah-tengah ruangan ini ia melihat seorang Hwesio tua, bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, tengah duduk bersamadhi. Sebatang toya besar menggeletak di dekatnya. Melihat sikap yang angker dan muka yang memancarkan cahaya kelembutan itu, In Hong hendak menghindari Hwesio ini dan hendak keluar lagi dari ruangan itu untuk mengambil jalan lain. Akan tetapi, tiba-tiba Hwesio bermuka hitam itu membuka matanya dan berkata dengan suara lemah lembut.

   "Nona, kau sudah memasuki Siauw-Lim-Si secara menggelap, jangan kau harap akan dapat keluar lagi. Lebih baik kau mengakulah kepada Pinceng, siapa namamu dan apa keperluanmu datang ke tempat kami ini. Ketahuilah bahwa Pinceng adalah Ceng Seng Hwesio dan Pinceng memimpin para anak murid Siauw-Lim-Si. Pinceng bukan seorang yang berhati kejam, dan kalau sekiranya menurut pertimbangan Pinceng, dosamu tidak terlalu besar, tentu kau akan Pinceng lepaskan."

   Mendengar ini, In Hong memasuki ruangan itu. Lebih baik mengakui terus terang, pikirnya. Kalau dia diampuni dan dibolehkan pergi tanpa gangguan, itu baik sekali. Sebaliknya kalau tidak diampuni, daripada menghadapi keroyokan semua Hwesio di Siauw-Lim-Si, lebih baik terlebih dulu ia menggempur Hwesio pemimpin ini! Kalau saja ia bisa membikin Hwesio ini tidak berdaya, ia dapat mempergunakan sebagai perisai untuk keluar melarikan diri. Setelah berpikir demikian, In Hong lalu menghadapi Ceng Seng Hwesio dan berkata, pedangnya melintang di depan dada,

   "Lo-Suhu, terus terang saja, kedatanganku disini bukannya mengandung maksud buruk. Aku bernama Kwee In Hong dan aku adalah murid dari Hek Moli."

   "Sudah Pinceng duga, melihat gerakan pedangmu yang ganas dan melihat Toat-beng-hek-kong tadi. Teruskan, nona, kau bilang tidak bermaksud buruk, apakah maksud kedatanganmu malam-malam di Siauw-Lim-Si?"

   Hwesio itu memotong. In Hong terkejut. Hwesio ini tadi duduk bersemadhi saja, bagaimana bisa ketahui semua perbuatannya? Akan tetapi ia tidak gentar, dan melanjutkan kata-katanya,

   "Guruku tewas oleh keroyokan orang-orang Kun-Lun-Pai dan aku telah naik ke Kun-Lun-San untuk membalas dendam. Akan tetapi aku dikalahkan oleh tenaga lweekang mereka, oleh karena itu, kedatanganku di Siauw-Lim-Si ini hanya untuk meminjam kitab I-Kin-Keng."

   "Meminjam kitab Suci Tat-mo I-Kin-Keng?"

   Ceng Seng Hwesio benar-benar terkejut dan heran.

   "Untuk apakah?"

   "Untuk kupelajari isinya dan kelak tentu akan kukembalikan dengan pernyataan terima kasihku. Bahkan, kalau dengan I-Kin-Keng aku berhasil membalas sakit hati Guruku, aku kelak sambil mengembalikan kitab, rela menerima segala hukuman dari Siauw-Lim-Si. Harap kau orang tua suka mempertimbangkan dan meluluskan permintaanku."

   Mendengar ini, Ceng Seng Hwesio bangkit berdiri dan tertawa bergelak.

   "Lucu, lucu...! Kau anggap begitu mudah meminjam I-Kin-Keng? Ha, ha, nona, tidak sembarang manusia di kolong langit ini dapat mempelajari Tat-Mo I-Kin-Keng, apalagi dalam waktu singkat. Ini masih belum penting, yang terutama sekali, siapapun juga di dunia ini tidak dibolehkan menjamah kitab Suci itu tanpa perkenan dari Suhu, Ketua Siauw-Lim-Si. Apalagi kau datang dengan maksud hendak mencuri kitab itu. Ah, ini sebuah kedosaan besar sekali, nona. Kalau Hek Moli yang datang kesini melakukan perbuatan ini, Pinceng masih dapat memakluminya, akan tetapi kau... benar-benar kebetulan dan aneh sekali..."

   In Hong tidak mengerti apa maksud kata-kata terakhir itu, akan tetapi ia sudah tidak sabar lagi dan berkata keras sambil menggerak-gerakkan pedangnya,

   "Lo-Suhu, bagaimana keputusanmu, boleh atau tidak?"

   "Nona, kau bilang tidak bermaksud buruk, akan tetapi kau telah melukai tiga orang murid Siauw-Lim-Si dengan toat-beng-hek-kong."

   "Aku tidak sengaja, aku terpaksa karena didesak dan untuk menyelamatkan diri. Aku menyesal sekali dan inilah obat penawar untuk mereka!"

   Kata In Hong sambil merogoh sakunya.

   "Tak perlu, nona. Orang lain boleh menakuti toat-beng-hek-kong, akan tetapi Siauw-Lim-Si tidak. Kami ada obat penawar sendiri untuk senjata rahasiamu yang ganas itu. Dan tentang peminjaman kitab Suci itu, tentu saja tidak mungkin!"

   "Pinjam kitab tidak boleh dan sekarang akupun tidak boleh keluar? Begitukah kebijaksanaan Siauw-Lim-Si?"

   In Hong sudah siap sedia untuk mengamuk.

   "Tentang hal kedua, kau sudah melakukan dosa besar, sudah melakukan pelanggaran dan oleh karena itu, kau harus ditangkap dan dihadapkan Ketua Siauw-Lim-Si. Hanya Suhu yang berhak memberi keputusan. Oleh karena itu, harap kau suka menyerah."

   "Orang tua, kau sama saja dengan yang lain! Aku harus menyerah? Terimalah ini!"

   Tangan kiri In Hong bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah Ceng Seng Hwesio! Hwesio ini mengebutkan ujung lengan bajunya dan semua pasir hitam yang menyerangnya runtuh.

   Sebelum In Hong sempat melompat keluar, Hwesio ini sudah menyambar dengan toyanya, menyerampang kaki gadis itu. In Hong cepat melompat ke atas dan membalas serangan lawan dengan tusukan pedangnya. Tak lama kemudian keduanya sudah bertanding dengan hebatnya. In Hong maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan berat, maka ia tidak berlaku sungkan lagi. Pedangnya bergerak cepat sekali sehingga berubah menjadi segulung sinar yang berkilauan, menyambar-nyambar dan berbahaya sekali. Ia mengerahkan seluruh kepandaiannya dan kini terlihatlah ilmu pedang yang ia warisi dari Hek Moli, ilmu pedang yang amat aneh gerakannya dan amat ganas sifatnya. Menghadapi ilmu pedang ini, diam-diam Ceng Seng Hwesio kagum sekali. Tidak heran banyak orang roboh karena ilmu pedang yang hebat ini dari Hek Moli, pikirnya.

   Ia sudah memiliki banyak sekali pengalaman dan sebagai murid kepala dari Bu Kek Tianglo, tentu saja Hwesio ini memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, belum pernah ia bertemu dengan lawan yang memiliki ilmu pedang sehebat ini, maka ia menjadi kewalahan juga menghadapinya. Baiknya, dalam hal tenaga lweekang, In Hong masih kalah jauh sekali sehingga tiap kali toya membentur pedang, gadis itu merasa telapak tangannya seperti dibeset kulitnya, perih dan sakit bukan main. Maka ia selalu menghindari bentrokan senjata dan inilah kelemahannya sehingga ia tidak dapat mendesak lawannya. Sebaliknya, sambaran toya di tangan Ceng Seng Hwesio mengeluarkan angin yang amat kuat. In Hong maklum bahwa kalau dilanjutkan, ia akhirnya akan kalah juga, maka lagi-lagi tangan kirinya bergerak dan dari jarak dekat sekali, pasir hitamnya menyambar ke arah muka Ceng Seng Hwesio.

   "Ganas sekali...!"

   Seru Hwesio ini yang terpaksa melompat ke belakang sambil mengibas dengan lengan bajunya agar terlepas daripada serangan maut ini. Ketika ia melihat lagi, nona itu sudah lari memasuki ruangan di sebelah kiri. Ceng Seng Hwesio tidak mengejar, bahkan tertawa,

   "Ha, ha, nona yang ganas. Kau memasuki Ngo-Heng-Thia (Ruangan Ngo-heng), biarlah kau mencoba kepandaianmu dengan tempat ujian Siauw-Lim-pay yang paling sulit!"

   Setelah berkata demikian, Hwesio ini berdongak ke atas dan berkata keras,

   "Sute, kau jagalah dimulut Ngo-Heng-Thia dan cegat dia kalau keluar!"

   Ong Teng San memang sejak tadi berdiri di atas genteng menonton pertempuran. Ia tadi mendengar semua kata-kata yang diucapkan oleh In Hong dan wajahnya berubah pucat. Nona itu bernama Kwee In Hong, pikirnya, tidak salah lagi, dia itulah anak perempuan dari Ibu tirinya yang dikabarkan lenyap! Pikiran Teng San menjadi tidak karuan sehingga ia kurang hati-hati dan kakinya yang menginjak genteng menerbitkan suara, maka Ceng Seng Hwesio mengetahui kehadirannya. Mendengar suara Suhengnya, ia menjawab,

   "Baik, Suheng..."

   
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Cepat ia melompat turun dan berlari untuk menjaga di pintu keluar ruangan Ngo-Heng-Thia itu. Dadanya masih berdebar-debar. Apakah yang harus ia lakukan terhadap gadis itu? Teringatlah ia kepada Ibu tirinya dan teringat pula ia akan penuturan Ibu tirinya bahwa Adik tirinya yang bernama In Hong ini lenyap ketika terjadi keributan, ketika terjadi pembunuhan atas diri suami Ibu tirinya itu oleh... Ayahnya! Jadi, gadis ini adalah kurban daripada Ayahnya juga!

   Iapun mendengar kata-kata In Hong tadi bahwa Guru In Hong yang bernama Hek Moli telah terbunuh dan kini gadis ini datang untuk mencuri kitab I-Kin-Keng, untuk memperdalam ilmu silat dan kelak membalas dendam atas kematian Gurunya itu. Hal ini dapat ia maklumi. Bukankah semenjak kecil gadis ini kehilangan Ayah bundanya dan menganggap Gurunya sebagai pengganti orang tua? Sekarang Gurunya terbunuh orang, tidak terlalu mengherankan apabila gadis itu mengerahkan seluruh usaha untuk membalas dendam. Demikianlah, dengan hati tidak karuan rasa, Teng San dengan pedang di tangan menjaga di pintu keluar Ngo-Heng-Thia, dan diam-diam ia berkhawatir sekali akan keselamatan In Hong! Ia tahu bahwa Ngo-Heng-Thia adalah ruangan untuk menguji para murid tingkat tinggi, dan merupakan tempat yang amat berbahaya.

   Dia sendiri baru beberapa bulan yang lalu diuji di dalam Ngo-Heng-Thia, dan biarpun ia dapat keluar dengan selamat, namun ia masih terluka pundaknya. Bagaimana dengan keadaan In Hong? Gadis yang pemberani ini memasuki ruangan Ngo-Heng-Thia tanpa curiga sedikitpun. Ia tidak tahu bahwa tempat itu adalah tempat untuk menguji kepandaian murid yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya, maka ia berjalan terus dengan cepat. Namun ia tetap waspada, karena ia menduga, di ruangan inipun ia tentu akan menemui lawan. Ia melihat ruangan itu hanya memiliki sebuah lorong yang lebarnya kurang lebih sepuluh kaki dan agak gelap. Tanpa curiga ia masuk ke dalam lorong ini. Alangkah kagetnya ketika ia masuk baru beberapa langkah, ia mendengar suara keras di belakangnya dan pintu lorong itu tertutup dari atas, tertutup oleh lapisan besi! Keadaan menjadi remang-remang dan tidak ada jalan kembali lagi.

   "Tempat apa ini?"

   Tanyanya seorang diri sambil berdiri diam. Ia harus membiasakan pandangan matanya di dalam tempat yang setengah gelap ini, kemudian dengan berani ia melangkah maju perlahan-lahan. Baru kurang-lebih lima langkah ia maju, tiba-tiba dari kiri terasa sambaran angin ke arah kepalanya. Cepat In Hong mengelak dengan menggerakkan kepala ke belakang sambil membabat dengan pedangnya. Terdengar suara keras dan pedangnya bertemu dengan sebuah lengan yang terbuat dari pada baja! Lengan inilah kiranya yang tadi memukulnya secara tiba-tiba, keluar dari dinding!

   "Ah, kiranya tempat rahasia!"

   Pikirnya setelah melihat lengan itu lenyap kembali.

   "Aku harus hati-hati sekali..."

   Kembali ia melangkah maju. Tiba-tiba dari atas meluncur besi yang beratnya ratusan kati. Kalau orang tertimpa besi ini, pasti kepalanya akan hancur. In Hong mengelak cepat ke kiri, akan tetapi kembali dari kiri keluar bayangan yang menubruknya! Pada saat itu, besi yang tadi menimpa, telah tertarik dan naik kembali, karena besi itu ternyata tergantung pada sehelai tali baja yang kuat. Karena serangan bayangan yang menubruknya itu amat tidak terduga dan cepat, In Hong terpaksa mempergunakan gerakan Trenggiling-menggelundung-dari-bukit untuk mengelak.

   Ia menjatuhkan diri di atas lantai dan menggelinding sambil tidak lupa membabat dengan pedangnya ke arah bayangan yang menyerangnya tadi. Ternyata bahwa bayangan itu adalah sebuah orang-orangan dari besi pula, yang digerakkan dengan alat dan keluar sendiri dari dinding kiri. Setelah tidak berhasil menubruk mangsanya, orang-orangan ini bergerak sendiri mundur dan masuk ke dalam dinding. In Hong melompat berdiri dan duduk beberapa lama ia termenung. Benar-benar berbahaya, pikirnya. Tempat agak gelap dan semua serangan terjadi tiba-tiba, tidak dapat diduga darimana akan muncul orang-orangan itu. Dengan pedangpun tidak berguna menghalau bahaya, karena orang-orangan dari baja ini tidak terluka oleh pedang.

   Ia lalu berpikir. Gerakan orang-orangan dan juga lengan yang menyerangnya tadi adalah gerakan ilmu silat, bukan penyerangan biasa. Untuk menghadapi serangan-serangan itu bahkan lebih baik kalau ia bertangan kosong, agar ia dapat mempergunakan kegesitannya untuk mengelak. Dengan pikiran ini, In Hong lalu menyimpan pedangnya, kemudian ia melangkah maju dengan hati tabah, matanya tajam memandang ke depan dan seluruh urat syarafnya menegang, waspada menghadapi segala kemungkinan. Tidak ada jalan lain baginya, harus maju terus karena jalan belakang sudah tertutup. Ia melangkah maju lagi dan melihat bahwa lorong itu membelok ke kiri. Baru saja ia tiba di tikungan itu, tiba-tiba ia tnelihat sebuah orang-orangan tinggi besar yang terus saja menyerangnya dari depan. Serangan dengan jurus-jurus ilmu silat yang datangnya bertubi-tubi!

   Mula-mula orang-orangan ini menjotos ke arah lehernya, lalu tiba-tiba merendahkan diri dan menendang. In Hong mempergunakan kegesitannya. Ia mengelak ke kanan dan miringkan tubuh sambil menyampok dengan telapak tangannya ketika kaki orang-orangan ini menyambar. Akan tetapi, orang-orangan ini tidak berhenti sampai disitu saja. Seperti bernyawa, orang-orangan ini terus melakukan serangan dan tiga jurus terus-menerus! In Hong menjadi marah. Ketika orang-orangan itu menggunakan lengan besi untuk mencengkeram kepalanya, ia mengelak ke kiri dengan cepat sekali dan menggunakan telapak tangannya untuk mendorong dada patung itu. Akan tetapi, ternyata bahwa orang-orangan itu tidak dapat didorong jatuh. bahkan sebaliknya kini kedua tangan orang-orangan itu memeluknya dengan gerakan tangan dari kanan kiri, cepat bukan main!

   In Hong hampir mengeluarkan teriakan terkejut, namun gadis ini memang memiliki kegesitan luar biasa, maka ia cepat merosot atau merendahkan diri, hampir berjongkok untuk menghindarkan diri dari pelukan, kemudian dari bawah ia mendorongkan kedua tangannya ke arah tubuh orang-orangan itu sekuat tenaga. Kali ini ia berhasil karena orang-orangan itu terjengkang dan roboh mengeluarkan suara hiruk-pikuk! Bagaikan seekor burung, In Hong melompati patung itn dan baru saja kakinya menginjak lantai, dari kanan kiri, yakni keluar dari dinding kanan kiri, meluncur pedang tajam yang menusuknya dari kanan kiri. In Hong tidak mau mundur, bahkan ia maju selangkah dan mendengar desir angin dari kanan kiri, ia cepat membalikkan tubuhnya untuk menghadapi dua orang-orangan yang memegang pedang!

   "Setan!"

   Makinya.

   "Kalian kira aku takut?"

   Sambil berkata demikian, ia cepat mengelak dari sambaran pedang yang dilakukan oleh orang-orangan sebelah kiri. Pedang ini menyambar ke arah lehernya dan gerakan orang-orangan ini memang gerakan serangan ilmu silat pedang yang lihay. Dilain saat, In Hong sudah harus menghadapi serangan bertubi-tubi dari dua orang-orangan itu. Baiknya gin-kang dari gadis ini sudah tinggi. Sekali mengenjot tubuhnya, ia telah melompat naik dan dengan sebelah kakinya, ia berdiri di atas kepala orang-orangan yang di kiri!

   Dengan hati geli gadis ini melihat betapa dua orang-orangan itu terus saja bergerak-gerak menyerang dengan pedang, kemudian setelah habis jurus-jurus itu dimainkan, dua orang-orangan itu tiba-tiba bergerak kembali ke dinding di kanan kiri! In Hong cepat melompat turun dan melanjutkan perjalanannya. Hatinya mulai gembira, karena di tempat yang aneh ini ia mendapat kesempatan untuk menguji kepandaiannya, sungguhpun ujian seperti ini bukannya tidak berbahaya! Serangan dari alat-alat rahasia itu merupakan serangan sungguh-sungguh dan ia terlengah berarti ia akan tewas di tempat setengah gelap ini! In Hong maklum bahwa ilmu silat yang digerakkan dengan perantaraan orang-orangan itu adalah ilmu silat Siauw-Lim-Si yang amat lihay dan setiap pukulan orang-orangan besi itu tentu saja amat kuat.

   Baiknya, dari Hek Moli ia pernah mendapat tahu biarpun serba sedikit tentang ilmu-ilmu silat tinggi dari partai-partai persilatan besar, dan pula, nona ini sudah memiliki ginkang yang hampir sempurna, maka mengandalkan ginkangnya, ia tidak merasa gelisah. Ia maju terus dan sebentar saja berturut-turut ia harus menghadapi keroyokan orang-orangan yang berjumlah tiga orang, kemudian empat buah orang-orangan. Dengan amat susah payah, akhirnya berhasil juga nona ini melewati rintangan-rintangan ini, ia merasa lelah sekali dan juga agak pening karena apa yang ia alami benar-benar amat berbahaya. Ketika ia melewati empat orang-orangan yang mengeroyoknya tanpa terluka, tiba-tiba ketika ia melangkah ke depan, kakinya terjeblos lubang! Kalau bukan In Hong, tentu akan terjeblos terus ke bawah. Baiknya nona ini memang amat gesit.

   Dengan sebelah kaki terjeblos lubang sehingga tubuhnya sudah masuk sebagian, tangannya dapat menepuk lantai di pinggir lubang dan sambil mengerahkan ginkangnya, ia dapat melompat tinggi melewati lubang itu! In Hong berdiri dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi lehernya. Ia menghapus keringat itu dengan saputangan, menenteramkan hatinya sambil beristirahat, kemudian ia maju lagi. Dari jauh ia sudah melihat pintu lorong itu terbuka lebar, maka hatinya menjadi girang sekali. Akan tetapi, sebelum tiba dipintu itu, ia melewati sebuah ruangan yang berbentuk bundar dan lebih luas daripada lorong yang dilaluinya tadi. Dan di ruangan itu, berdiri lima buah orang-orangan sebesar manusia, kesemuanya orang-orangan seperti Hwesio yang memegang toya! Ia melihat bahwa pada dada setiap orang-orangan terdapat tulisan huruf besar.

   Yang pertama dadanya ada tulisan KIM (emas), kedua BOK (kaju), ketiga SUI (air), keempat HO (api) dan kelima TOUW (logam tanah). Inilah Ngo-Heng-Tin (Barisan Ngo-heng) yang merupakan inti daripada lorong Ngo-Heng-Thia itu. Di ruang Ngo-Heng-Thia inilah barisan Ngo-Heng-Tin telah menanti untuk melakukan ujian terakhir, ujian yang paling berat. Lima orang-orangan itu digerakkan oleh alat-alat rahasia yang amat luar biasa sehingga gerakan mereka teratur seperti gerakan lima orang ahli silat Ngo-heng-kun dari Siauw-Lim-Si! Disini pula hanyak anak-anak murid Siauw-Lim-pay yang pandai gagal dalam ujian, bahkan belum lama ini Ong Teng San yang kepandaiannya sudah tinggi, masih mendapat luka di pundaknya ketika ia berusaha melewati rintangan terakhir ini. Namun In Hong tidak tahu akan lihaynya lima orang-orangan ini. Bahkan ia tertawa mengejek.

   "Dilihat dari jauh, benar-benar seperti Hwesio-Hwesio tulen! Benar-benar Siauw-Lim-Si pandai menakut-nakuti orang!"

   Ia berjalan masuk ke dalam ruangan itu dengan waspada. Baru saja kedua kakinya menginjak lantai, otomatis lima orang-orangan itu mulai bergerak. Mereka bergerak dan sebentar saja mereka itu mengurung In Hong. Ketika gadis ini memindahkan kakinya, otomatis lima orang-orangan itu mulai menyerang! Orang-orangan itu diperlengkapi dengan alat-alat dari per dan kawat-kawat halus dan di lantai itulah pusat pergerakan mereka.

   Setiap kali lantai terinjak, pasti mengakibatkan gerakan mereka yang berubah-ubah, tergantung dimana orang yang dikeroyok bertindak! Rintangan terakhir ini memang berat. Setiap gerakan orang-orangan itu adalah penyerangan senjata toya yang sesuai dengan ilmu silat Ngo-heng-kun yang luar biasa. Biarpun orang-orangan tidak mengenal ilmu lweekang, namun gerakan mereka amat kuat, sedikitnya setiap sambaran toya itu mengandung tenaga tigaratus kati! Lima batang toya menyambar-nyambar dan menyerang In Hong dari segala jurusan, dan gadis ini sebentar saja menjadi terdesak hebat dan kewalahan. Akhirnya ia menjadi nekat dan marah. Dicabutnya pedang Liong-gan-kiam dan diputarnya untuk melindungi dirinya. Berbeda dengan rintangan-rintangan yang tadi, orang-orangan yang menye-rangnya selalu akan mengundurkan diri sendiri setelah penyerangan habis.

   Akan tetapi, barisan Ngo-heng ini tidak demikian. Selama orang yang dikepung mereka masih berada di ruangan itu, lima orang-orangan ini masih akan menyerang terus, karena seperti telah dituturkan tadi, pergerakan mereka berpusat pada per-per di bawah lantai sehingga kalau ada orang menginjak lantai, per-per bekerja dan otomatis orang-orangan itupun bergerak menyerang dengan ilmu toya Ngo-heng-kun dari jurus-jurus yang paling lihay. In Hong tidak melihat jalan keluar. Beberapakali ia mencoba untuk menerobos kepungan itu dan melarikan diri, namun sia-sia. Datangnya toya-toya itu amat cepat dan amat berbahaya sehingga lagi-lagi usahanya menerobos gagal karena ia harus menyelamatkan diri dari sambaran toya. Pedangnya mengeluarkan bunyi "Trang-tring-trang!"

   Berkali-kali ketika bertemu dengan toya-toya yang mendesaknya.

   Tubuhnya lincah bergerak kesana kemari, karena tak mungkin baginya untuk menghindarkan diri dengan jalan menangkis saja. Kulit telapak tangannya sampai lecet-lecet dan napasnya mulai memburu. Keringat memenuhi jidatnya dan In Hong merasa lelah bukan-main. Ia telah maklum bahwa takkan dapat mempertahankan lebih lama. Akan tetapi sama sekali ia tidak takut, bahkan merasa penasaran dan marah sekali. Beberapa kali ia menyebar pasir hitamnya ke arah lima orang-orangan itu seakan-akan ia menghadapi lawan terdiri dari manusia-manusia biasa. Orang-orangan itu tentu saja tidak merasakan sesuatu dan melanjutkan penyerangan mereka. Beberapa kali In Hong membacok dan mengenai tubuh orang-orangan, namun hanya bunga api yang berpijar. Ia mencoba untuk menendang, mendorong, tetap sia-sia.

   Lima boneka besar ini benar-benar kuat sekali. Limapuluh jurus lebih In Hong mempertahankan diri. Ia demikian sibuk menghadapi keroyokan lima orang-orangan ini sehingga ia tidak merasa bahwa sejak tadi ada sepasang mata mengintai dari luar pintu ruangan itu dengan pandang mata kagum. Pengintai ini adalah Teng San. Pemuda ini memang benar-benar kagum bukan main melihat cara In Hong menghadapi barisan Ngo-heng. Hebat, pikirnya. Gadis itu belum pernah mengenal Ngo-Heng-Tin, dan belum pernah mempelajari Ngo-heng-kun sehingga tentu saja tidak dapat menduga datangnya serangan-serangan toya itu. Namun, bukan saja dapat mempertahankan diri selama limapuluh jurus dengan baiknya tanpa terluka sedikitpun, bahkan masih dapat menendang, memukul dan mendorong patung-patung hidup itu!

   "Sayang lweekangnya kurang kuat,"

   Pikir Teng San.

   "Kalau ia berhasil mencuri kitab I-Kin-Keng dan mempelajarinya, ia akan menjadi lihay sekali dan biarpun Suhu sendiri agaknya akan sukar menghadapinya."

   Semenjak tadi Teng San memang menunggu di luar pintu. termenung dan memikirkan keadaan gadis yang dikejar-kejar, gadis yang sebetulnya masih Adik tirinya sendiri. Ia makin berduka kalau mengingat kembali kepada Ibu tirinya yang amat disayangnya seperti Ibu sendiri. Timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap In Hong, terhadap Adik tirinya. Kalau sampai Adik tirinya ini mengalami malapetaka disini, bukankah Ibu tirinya akan berduka sekali?

   Kemudian ia mendengar suara pedang beradu dengan toya-toya itu, maka cepat ia mengintai ke dalam dan dapat menyaksikan kelincahan In Hong. Ia menjadi kagum dan makin sayang, tidak tega membiarkan In Hong mengalami kebinasaan disitu. Setelah melihat betapa keadaan gadis itu mulai payah dan kelelahan, Teng San cepat melompat ke dalam ruangan Ngo-Heng-Thia itu. Ia lari kedinding sebelah kiri, menekan beberapa kenop dan lima orang-orangan itu tiba-tiba terdiam, tidak dapat bergerak lagi! In Hong cepat memutar tubuh menghadapi Teng San. Pedangnya siap menyerang karena ia mengira bahwa pemuda yang tadi dilihatnya membaca kitab ini akan menangkapnya. Akan tetapi, ia melihat pemuda itu tidak memegang senjata, bahkan kini ia tahu bahwa pemuda inilah yang menghentikan pengeroyokan orang-orangan itu.

   "Nona, kalau kau ingin keluar dengan selamat, lekas kau lari keluar dari ruangan ini, membelok ke kanan, terus saja sampai kau tiba di pagar tembok dan melompati pagar itu. Aku akan mengejarmu dari belakang dan kau jangan melayani semua rintangan.

   In Hong tertegun. Ia tidak tahu mengapa pemuda yang tampan dan halus sekali gerak geriknya ini berusaha menolongnya, sedangkan tadi menyerangnya dengan sungguh-sungguh! Ia juga masih belum percaya betul-betul, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tidak ada jalan lain kecuali menurut nasihat ini. Ia hanya menganggukkan kepala dan segera melompat keluar. Betul saja, di depan pintu ruangan Ngo-Heng-Thia ini terdapat tiga jalan simpangan, satu lurus ke depan, kedua membelok ke kiri dan ketiga membelok ke kanan. Ia mengambil jalan ketiga ini, menikung ke kanan dan terus berlari cepat, pedangnya masih siap di tangan dan pasir hitam di tangan kiri. Ketika In Hong menengok, ia melihat pemuda tadi benar-benar mengejarnya dengan ilmu lari cepat yang tinggi pula. Dan kini pemuda itu telah memegang sebatang pedang!

   

Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini