Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 8


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



"Kau hendak lari kemana?"

   Pemuda itu membentak sambil mengejar terus. Dari depan mendatangi tiga orang Hwesio gundul yang bertugas menjaga disitu. Mereka ini memegang toya dan melihat kedatangan In Hong, mereka langsung menyerang dengan gerakan kilat. In Hong mengelak sambil memutar pedang, terdengar suara,

   "Cring, traang!"

   Dan ujung sebatang toya kena dibikin buntung! Namun, taat akan nasihat pemuda tadi, In Hong tidak melayani terus dan cepat melompat tinggi dan melanjutkan larinya lurus ke depan. Ia tidak menengok lagi dan hanya mendengar suara pemuda tadi berkata keras,

   "Sam-wi takusah mengejar, biarkan siauwte yang menangkapnya!"

   In Hong berlari terus dan sekali lagi ia menengok, ia melihat pemuda itu masih terus mengejarnya dengan pedang di tangan! Ia tidak mengerti akan sikap pemuda ini. Mengapa ia hendak menolongnya, pikir In Hong. Akan tetapi pada saat seperti ini, tidak ada waktu lagi baginya untuk menyelidiki hal itu. Ia sudah amat lelah, kedua kakinya sudah mulai gemetar dan kedua tangannya lemas. Juga kedua telapak tangannya lecet-lecet mengeluarkan darah.

   Malam sudah lewat dan pagi mulai menampakkan diri. Setengah malam lamanya In Hong berputaran di dalam kurungan Siauw-Lim-Si ini! Setengah malam lamanya ia bertemu dengan lawan berganti-ganti, melakukan pertempuran puluhan kali banyaknya. Kembali lima orang Hwesio mencegat di depan. In Hong mengeluh. Celaka aku sekarang, pikirnya. Lima orang Hwesio itu adalah Hwesio-Hwesio tua dan mereka semua memegang sebatang toya dengan cara seperti yang dilakukan oleh lima orang-orangan tadi! Baru menghadapi keroyokan lima orang-orangan saja, ia sudah hampir celaka, apalagi sekarang kalau harus menghadapi keroyokan lima orang Hwesio tulen sedangkan keadaannya sudah amat lelah, sudah dapat dibayangkan akibatnya! Lima orang Hwesio itu menghadang dan melihat nona yang dikejar-kejar itu datang, seorang di antaranya berkata dengan bengis,

   "Jangan harap bisa lari sebelum menghadapi Ngo-Heng-Tin dari Siauw-Lim-Si!"

   In Hong terkejut. Apa yang ia takuti memang benar-benar. Lima orang Hwesio tua ini tentu sama dengan lima orang-orangan tadi.

   Ia masih ingat huruf-huruf yang merupakan Ngo-heng pada dada orang-orangan tadi. Kalau Ngo-Heng-Tin (barisan Ngo-heng) boneka saja sudah demikian lihaynya, apalagi sekarang Ngo-Heng-Tin tulen. Namun In Hong tak dapat memikirkan jalan lain. Diam-diam ia mendongkol sekali dan merasa ditipu oleh pemuda itu. Sudah terang bahwa pemuda itu sengaja menggiringnya supaya menghadapi Ngo-Heng-Tin yang tangguh ini. Jadi pemuda itu tak lain hanya memancingnya, agar ia mudah ditawan dengan bantuan Ngo-Heng-Tin. Kurangajar! In Hong marah sekali dan ia sudah siap hendak mempergunakan toat-beng-hek-kong, pasir-hitamnya. Akan tetapi, tiba-tiba ia mendengar suara halus dari belakang, suara yang dibisikkan dengan penyaluran tenaga khikang sehingga yang dapat mendengar hanya dia sendiri, tidak sampai terdengar oleh lima orang Hwesio yang berada jauh di depan itu,

   "Nona, jangan menggunakan hek-kong!"

   Selagi In Hong termangu-mangu dan ragu-ragu, terdengar pemuda itu berkata dengan lantang,

   "Ngo-wi Suheng, harap membuka jalan, biarkan siauwte menangkapnya sendiri. Ini merupakan ujian bagi siauwte dan demikian pula perintah twa-suheng!"

   Lima orang Hwesio itu ketika mendengar suara Teng San, tidak ragu-ragu lagi. Mereka semua maklum bahwa ilmu kepandaian Teng San, Sute mereka yang termuda ini, sudah amat tinggi, bahkan akhir-akhir ini, Teng San mendapat kepercayaan untuk menerima ilmusakti I-Kin-Keng! Maka mereka tersenyum dan melompat minggir sehingga ketika In Hong yang berlari cepat menerobos masuk, mereka tidak mengganggu. Bayangan In Hong berkelebat cepat di depan mata mereka, disusul oleh bayangan Teng San yang tak kalah cepatnya.

   "Siauw-Sute, hati-hatilah, dia lihay dan ganas sekali!"

   Kata seorang Hwesio kepada Teng San.

   "Baik, Suheng..."

   Kejar mengejar ini berjalan terus dan tanpa ada perintang lagi, In Hong akhirnya tiba di bawah pagar tembok. Gadis ini telah berdebar hatinya, ia merasa malu kepada diri sendiri yang tadi menyangsikan kebaikan hati pemuda ini. Ah, siapakah dia dan mengapa ia benar-benar berusaha menolongku? Terang dia seorang murid Siauw-Lim yang lihay, mengapa ia tidak menawanku, bahkan menolongku melarikan diri? Namun In Hong terus saja melompat ke atas tembok. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis cilik nongkrong di atas pagar tembok itu dan memujinya,

   "Cici, kau lihay sekali ilmu ginkangmu, juga kau cantik sekali seperti bidadari!"

   In Hong tercengang. Bagaimana seorang gadis cilik semuda ini dapat naik ke atas pagar tembok? Biarpun In Hong amat tertarik melihat seorang gadis cilik yang duduk di atas pagar tembok, namun ia tidak berani berlaku lambat. Yang amat menarik hatinya adalah wajah gadis yang cantik itu seakan-akan ia pernah mengenal-nya, bahkan seakan-akan gadis itu seringkali dilihatnya. Akan tetapi dimana? Ia hanya tersenyum manis kepada gadis yang usianya paling banyak empatbelas tahun itu, lalu melompat turun keluar pagar tembok sambil berkata,

   "Adik yang manis, hati-hati jangan sampai kau jatuh dari atas!"

   In Hong masih mendengar pemuda yang bernama Ong Teng San dan yang secara aneh sekali telah menolongnya melarikan diri itu berkata kepada gadis cilik di atas tembok,

   "Lian Hong, turun kau!"

   "Koko, orang lain semalam suntuk bermain-main dengan cici yang gagah itu, apakah aku tidak boleh menonton?"

   Jawab gadis cilik itu, akan tetapi selanjutnya In Hong tidak mendengar apa-apa karena ia sudah lari jauh. Sementara itu Teng San dan Lian Hong yang sudah berdiri di atas pagar tembok, tidak melanjutkan pengejaran. Teng San menarik napas lega karena melihat In Hong berhasil melarikan diri. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan,

   "Siauw-Sute, bagaimana kau berani melepaskan pengacau itu? Apakah kau tidak takut mendapat marah dari Suhu?"

   Lima bayangan orang berkelebat dan lima orang Hwesio yang tadi membentuk Ngo-Heng-Tin telah berdiri di atas tembok menghadapi Teng San! Gerakan mereka demikian cepat dan ringan ketika melompat ke atas sehingga dari gerakan ini saja sudah dapat diukur akan tingginya tingkat kepandaian mereka. Teng San tidak berani membohong. Sambil menundukkan kepalanya ia menjawab,

   "Suheng sekalian, nona itu sudah cukup terhukum, semalam suntuk telah diserang, didesak, bahkan telah pula berkenalan dengan Ngo-Heng-Thia sehingga ia kehabisan tenaga dan mungkin menderita luka-luka. Biarpun ia telah melakukan dosa dengan mengacau dan akan melakukan pencurian, akan tetapi belum ada sesuatu yang tercuri. Siauwte menganggap bahwa ia sudah cukup terhukum. Untuk ini siauwte mengaku salah dan bersedia diberi hukuman."

   "Sute, bukan kau dan juga bukan Pinceng sekalian yang berhak memutuskan hukuman, melainkan Suhu sendiri. Lebih baik kau membantu kami mengejarnya."

   Pada saat itu, berkelebat bayangan lain yang luar biasa cepatnya, disusul suara Ceng Seng Hwesio,

   "Suhu memberi perintah agar supaya bocah pengacau itu ditangkap dan dihadapkan kepada Suhu untuk diperiksa!"

   Tanpa berhenti di atas tembok, tubuh Ceng Seng Hwesio sudah melesat lewat. Lima orang Hwesio itupun tanpa berkata apa-apa lagi cepat mengejar twa-suheng (kakak seperguruan tertua) mereka. Teng San menjadi serba salah, akan tetapi karena pengejaran sekarang ini adalah atas perintah Suhunya, iapun tidak berani tinggal diam.

   "Adik Lian Hong, kau kembalilah ke kamarmu."

   "Tidak, aku ikut mengejar!"

   Seru gadis cilik itu yang mendahului Kakaknya melompat keluar tembok dan menyusul para Hwesio yang sudah berlari cepat. Dalam hal ilmu, ginkang, Lian Hong tidak ketinggalan jauh. Memang gadis cilik ini memiliki gerakan lincah sekali, maka setelah dengan tekun mempelajari ilmu silat di Siauw-Lim-Si selama kurang lebih tujuh tahun, ia dapat mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup hebat.

   Lian Hong berwatak periang dan biasanya penurut, akan tetapi sekali gadis cilik ini mempunyai kehendak, sukar dihalangi. Teng San mengetahui baik akan watak Adiknya itu, maka ia tidak mencegah ketika Lian Hong ikut melakukan pengejaran. Demikianlah, pada saat matahari mulai muncul, di luar kelenteng Siauw-Lim-Si, terjadi kejar mengejar yang tentu akan mengherankan orang luar. In Hong sudah lelah sekali, maka larinya tidak begitu cepat lagi. Selain ini, ia juga tadinya mengira bahwa ia sudah terlepas daripada ancaman orang-orang Siauw-Lim-pay yang ternyata luar biasa lihaynya itu. Dengan jengkel dan kecewa ia berlari terus, tidak begitu cepat, memasuki sebuah hutan yang liar. Akan tetapi, tengah ia berlari itu, terdengar bentakan nyaring dari belakang,

   "Bocah setan, kau hendak lari kemana?"

   In Hong menengok kagetlah ia. Lima orang Hwesio yang dikenalnya sebagai barisan Ngo-Heng-Tin, dikepalai oleh Hwesio tangguh yang pernah ia rasai kelihayannya dan keunggulannya bermain toya, yakni Ceng Seng Hwesio. Dan di belakang rombongan ini, ia melihat pula pemuda Ong Teng San dan Adik perempuannya!

   "Kalian mendengar? Baik, aku Kwee In Hong tidak takut mati!"

   Katanya gemas sekali dan begitu rombongan itu datang dekat, In Hong lalu menyerang mereka dengan Toat-beng-hek-kong, pasir hitam beracun yang amat lihay itu. Akan tetapi, semua pasir hitam ini dapat dikibas runtuh oleh ujung lengan baju Ceng Seng Hwesio yang segera memberi komando,

   "Tangkap bocah ganas ini!"

   Ngo-Heng-Tin bergerak dan dilain saat, In Hong sudah dikurung di tengah-engah! Ngo-Heng-Tin sudah hebat, apalagi ditambah oleh Ceng Seng Hwesio, maka kini enam buah toya dipalangkan, mengurung dan menutup semua jalan keluar. Teng San dan Lian Hong yang sudah tiba di tempat itu hanya berdiri menonton. Lian Hong biarpun belum tahu bahwa In Hong adalah Kakak tirinya, namun bocah ini merasa suka sekali kepada In Hong dan karenanya ia tidak mau membantu pengepungan itu.

   "Kalian hendak menangkapku? Boleh, kalau aku sudah menjadi mayat!"

   Bentak In Hong yang cepat mengerjakan Liong-gan-kiam, menyerang membabi-buta. Akan tetapi kali ini ia menghadapi lawan yang terlampau kuat. Baru menghadapi seorang Ceng Seng Hwesio saja, belum tentu ia menang. Kini masih ada Ngo-Heng-Tin yang demikian kuatnya, maka sebentar saja ia sudah lelah sekali. Semua serangan pedangnya membentur toya yang amat kuat.

   Lweekang dari enam orang Hwesio itu rata-rata lebih tinggi dari pada tenaganya sendiri, maka sebentar saja tangan kanannya menjadi lelah bukan main. Gadis ini menggigit Bibir dan memindahkan pedang di tangan kiri, lalu mengamuk lebih hebat lagi. Berkali-kali Ceng Seng Hwesio memperingatkan lima orang Sutenya agar jangan melukai In Hong dan agar menawan gadis itu tanpa melukainya. Hal inilah yang menolong In Hong, karena kalau tidak demikian, kiranya sebentar saja ia akan roboh terpukul toya. Menangkap In Hong hidup-hidup tanpa melukainya masih jauh lebih sukar daripada menangkap seekor harimau betina yang mengamuk ganas. Malihat ini, Ceng Seng Hwesio menjadi penasaran dan malu. Benar-benar memalukan sekali kalau dilihat oleh orang-orang kangouw. Enam orang tokoh besar Siauw-Lim-Si masih tidak mampu membekuk seorang gadis muda setelah pertempuran demikian lama?

   "Nona, lebih baik kau menyerah untuk kami hadapkan kepada Ketua Siauw-Lim-pay agar kau dapat diadili. Kalau tidak, terpaksa Pinceng melukai kakimu agar kau dapat ditawan!"

   Katanya. In Hong tertawa mengejek.

   "Hwesio bau! Kau kira aku gentar mendengar ancaman dan gertak sambalmu? Mau pukul boleh pukul, mau bunuh boleh bunuh, siapa takut?"

   "Bagus, kau memang tiada bedanya dengan Hek Moli, siluman wanita itu. Rebahlah!"

   Setelah berkata demikian Ceng Seng Hwesio merobah gerakan toyanya, demikian pula barisan Ngo-Heng-Tin. Sebentar saja keadaan berobah.

   Kalau tadi In Hong yang selalu menyerang dan membentur benteng toya, kini semua toya menyerangnya dan ia sibuk menangkis dan mengelak. Akhirnya, toya Ceng Seng Hwesio mengenai paha kirinya! In Hong menggigit Bibir menahan keluhan, sehingga dari mulutnya tidak terdengar suara. Padahal rasa sakit di pahanya sampai menembus ke tulang sungsum. Biarpun ia dapat mempertahankan diri dan tulang pahanya tidak patah, namun urat dan daging pahanya telah terluka sehingga rasanya sakit bukan main. Tadi Ceng Seng Hwesio masih menaruh hati kasihan sehingga pukulan itu dilakukan dengan tenaga sepertiga saja. Kalau Hwesio ini berlaku kejam, pasti tulang paha gadis ini telah patah-patah. Pada saat itu, In Hong masih bertahan, bahkan mengamuk dengan nekad. Tiba-tiba telinga gadis ini mendengar suara halus, seakan-akan ada orang berbisik didekat telinganya,

   "Murid Hek Moli, kau larilah ke kiri dan masuk ke dalam gua yang terletak di dekat pohon pek!"

   In Hong heran sekali, akan tetapi ia menurut nasihat ini. Dengan putaran pedangnya ke kiri secara hebat dan ganas, ia dapat membuat para pengepung yang berada di sebelah kiri melompat minggir. Cepat ia menerobos bagian ini sambil memutar pedang dan tangan kirinya menyebar toat-beng-hek-kong, kemudian sambil menyeret kaki kirinya, ia terpincang-pincang melarikan diri ke sebelah kiri. Ceng Seng Hwesio diam-diam merasa kagum sekali melihat daya tahan yang luar biasa dari gadis itu. Orang lain, biar laki-laki gagah sekalipun, kalau sudah terluka seperti itu, pasti akan menyerah. Apalagi menyerah bukan untuk dibunuh musuh, hanya untuk diadili oleh Ketua Siauw-Lim-pay yang terkenal adil dan penuh welas asih hatinya. Mengapa gadis ini begitu keras-kepala?

   "Nona, laripun takkan ada gunanya. Lebih baik kau menyerah!"

   Katanya sambil mengejar bersama lima orang Sutenya. Teng San juga ikut mengejar. Maka pemuda ini pucat sekali dan di dalam hatinya ia mengeluh. Ia merasa kasihan sekali kepada gadis yang dikaguminya. Ingin ia membantu dan menolong, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menghianati Suheng-suhengnya. Juga Lian Hong diam saja dan gadis cilik inipun merasa kasihan kepada In Hong.

   "Koko, mengapa cici itu begitu nekat? Kalau ia menurut saja dengan baik-baik dibawa menghadap Suhu, tentu ia tidak mengalami luka dan dikejar-kejar."

   "Diamlah, Lian Hong. Mari kita lihat saja bagaimana akhirnya. Kalau nona itu hendak dibunuh oleh para Suheng kita harus mencegah dan mintakan ampun."

   Lian Hong menoleh dan memandang wajah Kakaknya yang pucat. Ia tidak tahu mengapa Kakaknya begitu menaruh perhatian kepada gadis yang dimusuhi oleh Siauw-Lim-pay itu, akan tetapi ia sendiripun takkan rela kalau Suheng-suhengnya membunuh gadis itu. In Hong berlari sambil terpincang-pincang. Tak jauh dari situ memang terdapat pohon pek yang besar.

   Ketika tiba dibawah pohon, ia sudah hampir tidak kuat menahan rasa sakit di pahanya. Kepalanya sudah pening dan tenaganya sudah hampir habis. Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa betul saja, tak jauh dari pohon itu, terdapat sebuah gua yang besar dan di depan gua penuh oleh rumput alang-alang. Gua itu nampak menyeramkan dan hanya patut menjadi tempat bersembunyi binatang-binatang buas. Akan tetapi In Hong tidak ambil perduli dan tidak berpikir panjang pula, cepat ia melompat masuk ke dalam gua. Kakinya terlibat rumput alang-alang dan ia jatuh menggelinding ke dalam gua dan baru berhenti ketika tubuhnya tertahan oleh sesuatu. Hampir saja gadis yang tabah ini mengeluarkan teriakan kaget ketika ia membuka matanya dan melihat bahwa ia telah tertahan oleh tubuh seorangKakek yang menyeramkan sekali.

   Kakek ini nampak tua, kurus seperti tengkorak, hanya tulang terbungkus kulit saja. Yang kelihatan hidup hanya sepasang matanya yang lebar dan bergerak-gerak mengeluarkan cahaya ber-pengaruh. Yang lebih menyeramkan lagi,Kakek ini sudah buntung semua kaki tangannya. Kedua lengan buntung sebatas pergelangan tangan, sedangkan kedua kakinya buntung sebatas lutut! Pakaiannya compang-camping danKakek ini duduk melonjorkan kedua paha yang tidak berkaki lagi, kedua tangannya bersedekap kelihatan mengerikan karena tidak ada tangannya. Sebelum In Hong sempat membuka mulut,Kakek itu bertanya dengan suara halus, suara yang dikenal oleh In Hong karena tadi yang berbisik didekat telinganya juga suara ini,

   "Benarkah kau murid Hek Moli? Siapa namamu?"

   In Hong ingat akan pesan Gurunya bahwa di dunia ini memang ada orang berilmu tinggi yang lweekangnya sudah demikian hebat sehingga dapat mengirim suara dari jauh, ditujukan kepada orang yang dimaksud saja sehingga suara itu hanya terdengar oleh orang itu dan tidak terdengar oleh lain orang.Kakek ini tentu seorang berilmu tinggi, pikirnya.

   "Teecu bernama Kwee In Hong, memang betul Teecu murid tunggal dari Hek Moli."

   "Mengapa kau dikejar-kejar oleh para Hwesio Siauw-Lim-pay?"

   "Guru Teecu tewas dalam tangan orang-orang Kun-Lun-Pai, ketika Teecu hendak membalas dendam disana, Teecu kalah oleh tokoh-tokoh Kun-Lun-Pai. Karena itu Teecu datang ke Siauw-Lim-Si untuk mencuri kitab I-Kin-Keng karena Teecu hanya kalah dalam tenaga lweekang. Teecu hendak mempelajari isi kitab itu dan kelak hendak membalas dendam lagi. Tak tahunya Teecu bukan saja tidak berhasil, bahkan dikalahkan oleh para Hwesio Siauw-Lim dan hendak ditawan."Kakek itu tertawa, suara ketawanya aneh menyeramkan, jauh bedanya dengan suara halus ketika ia bicara.

   "Jangan takut, duduklah di depanku dan kalau mereka datang, kau lawanlah sambil duduk."

   In Hong menurut dan bangun karena tadi ia masih setengah rebah, tubuhnya lemas bukan main. Ia duduk dengan kaki gemetar dan mencoba bersila.

   "Lo-Cianpwe, dengan berdiri dan mengeluarkan seluruh kepandaian saja Teecu masih tak sanggup menang, bagaimana Lo-Cianpwe menyuruh Teecu melawan mereka sambil duduk?"

   Tanyanya dengan penasaran dan juga jengkel, mengiraKakek ini main-main.

   "Kau keras kepala seperti Gurumu! Jangan kau banyak membantah kalau ingin selamat! Hayo bersiap, kalau mereka menyerang, kau menangkis dan balas menyerang dengan pedangmu!"

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba In Hong merasa punggung dan lehernya tersentuh oleh ujung lengan buntung itu. Ia merasa geli karena lengan buntung itu lunak sekali, akan tetapi tiba-tiba ada hawa yang panas memasuki tubuhnya dari punggung dan leher dan seketika itu juga rasa sakit-sakit dan lelah ditubuhnya terusir pergi!

   "Bocah ganas, kau hendak sembunyi kemana? Lebih baik menyerah saja agar kami tak usah mempergunakan kekerasan!"

   Terdengar suara Ceng Seng Hwesio yang memasuki gua itu, diikuti oleh lima orang Sutenya. Di belakang sekali Teng San dan Lian Hong, akan tetapi dua orang muda ini tidak ikut masuk, hanya menanti di luar.

   Gua itu amat besar maka enam orang Hwesio Siauw-Lim-pay dapat masuk berbareng dan mereka segera berhadapan dengan In Hong. TubuhKakek itu tidak kelihatan, tertutup oleh tubuh In Hong. BiarpunKakek itu sebenarnya lebih jangkung, akan tetapi entah bagaimana, setelah enam orang Hwesio itu masuk gua, tubuhKakek itu mengecil dan teraling oleh tubuh In Hong sehingga tidak kelihatan oleh para Hwesio. Melihat In Hong duduk bersila dengan pedang di tangan kanan dan mata memandang tajam, Ceng Seng Hwesio tercengang. Ia menduga bahwa gadis itu tentu menderita kesakitan hebat pada pahanya, akan tetapi benar-benar tidak disangkanya bahwa setelah kini lumpuh, gadis itu masih menanti dengan pedang di tangan sambil duduk bersila, nampaknya tenang dan menantang!

   "Nona, sudah lama Pinceng hidup, sudah banyak Pinceng menjumpai orang-orang gagah, akan tetapi baru sekali ini Pinceng bertemu dengan seorang muda yang keraskepala seperti kau! Gurumu sendiri, Hek Moli, agaknya tidak demikian keras kepala. Mengapa kau mempersukar kami? Lebih baik kau menyerah dan dengan sukarela. Ikut dengan kami ke Kuil untuk menghadap Guru kami. Kau sudah bersalah, mengacau Siauw-Lim-Si, mengapa untuk menghadap Suhu dan menerima salah saja kau enggan?"

   "Hm, setan-setan gundul bau busuk! Kalian ini orangtua-orangtua tak tahu malu semalam suntuk sudah mengurung, mengeroyok dan mendesak aku. Sekarang aku sudah berada disini, tak dapat lari lagi, kalian mau apa? Jangan harap akan dapat memaksaku ikut dan minta-minta ampun, kalau kalian mau bunuh, boleh maju, aku tidak takut!"

   "Ah, benar-benar siluman betina! Nona kecil bernyali siluman! Liok-Sute, kau tangkap dia,"

   Seru Ceng Seng Hwesio marah.

   Orang kelima dari barisan Ngo-Heng-Tin yang disebut Liok-Sute (adik seperguruan keenam) melangkah maju, toyanya digerakkan. Ia tidak mau menyerang tubuh In Hong, hanya mengerahkan tenaga untuk memukul pedang di tangan nona itu agar terlepas dari pegangan, karena kalau pedang itu sudah terlepas, akan lebih mudah menawannya. In Hong maklum bahwa pukulan toya itu keras dan hebat sekali dan tadi sudah dirasai kelihayan tenaga para Hwesio ini. Tenaganya sendiri sudah hampir habis dan kalau tadi menangkis pukulan toya ini, pasti pedangnya akan terlepas dari pegangannya. Akan tetapi, kali ini ia tidak bisa seperti tadi mempergunakan kelincahannya mengelak, maka terpaksa ia mengangkat pedang menangkis toya itu. Terdengar suara keras dan hampir berbareng enam orang Hwesio itu mengeluarkan seruan kaget.

   Juga In Hong merasa heran sekali akan kesudahan dari benturan senjata ini. Ia merasa seakan-akan ada dorongan tenaga dari belakang dan tenaga ini merupakan hawa hangat yang menjalar sampai ke tangan kanannya yang memegang pedang. Ketika senjatanya menangkis toya, ia hanya merasa getaran hebat, akan tetapi tidak terpengaruh apa-apa, pedangnya tidak terlepas bahkan membuat keras sehingga toya itu menjadi patah! Potongan toya melayang ke atas dan menancap pada dinding gua sedangkan Hwesio itu sendiri tertolak ke belakang dan jatuh bergulingan seperti daun tertiup angin! Tentu saja hal ini mengagetkan semua orang. Dua orang Hwesio menjadi penasaran dan berbareng mereka maju dengan toya digerakkan. Toya pertama datang dari arah kiri, menghantam pedang di tangan In Hong dengan gerakan menyamping,

   Sedangkan toya dari Hwesio kedua me-luncur ke arah pundak kanan In Hong dengan maksud menotok jalan darah atau melukai pundak sehingga boleh dibilang kedua serangan ini bermaksud sama, yakni merampas senjata nona itu. Melihat serangan dari kanan kiri ini, In Hong terkejut sekali. Pedangnya cepat membentur toya dari kiri, akan tetapi pada saat itu, toya dari kanan telah menotok pundaknya. Kembali terjadi keanehan yang sukar dipercaya. Toya dari kiri itu terkena sampokan pedang, biarpun tidak putus akan tetapi terlepas dari pegangan dan membalik lalu memukul Hwesio itu sendiri, tepat kena kepalanya yang gundul sehingga menimbulkan suara keras dan kepala itu timbul benjol sebesar kepalan tangan! Adapun toya yang menotok pundak kanan In Hong, seakan-akan mengenai karet saja dan toya ini membal kembali.

   Hwesio yang menotoknya berseru keras karena tenaga totokannya kembali dan menyerang tangannya sendiri sehingga ia terpaksa melepaskan toyanya dan melompat ke belakang dengan muka pucat. In Hong sendiri tidak merasa apa-apa, seakan-akan pundaknya dilindungi oleh baja yang kuat. Dua orang Hwesio lagi menjadi marah. Sambil berseru keras toya mereka bergerak, kini tidak sungkan lagi dan bukan hanya hendak merampas pedang karena toya ini yang satu mengemplang kepala In Hong sedangkan yang kedua menusuk ke arah uluhati. Pendeknya, kedua toya ini mengirim serangan maut! Ceng Seng Hwesio mengeluarkan seruan kaget, mencegah kedua Sutenya melakukan serangan keji itu, akan tetapi terlambat karena toya itu sudah menyambar laksana dua ekor harimau menubruk.

   Melihat serangan ini, biarpun In Hong berkepandaian tinggi dan bernyali besar, tetap saja gadis ini merasa ngeri dan putus asa. Ia hanya melakukan gerakan pedang melindungi diri, memutar pedang itu untuk menjadi perisai. Ia maklum bahwa gerakannya ini lemah saja dan tak mungkin dapat menghalangi dua senjata lawan yang mengarah nyawanya. Namun, dalam memutar pedangnya, kembali ia merasa punggung dan lehernya panas dan otomatis tangannya yang memegang pedang itu menyambar cepat. Terdengar bunyi keras lagi dan dua batang toya itu terlempar, pedangnya dengan aneh seakan-akan tak dapat dikuasai lagi oleh In Hong, terus meluncur dan tubuhnya condong ke depan. Dalam sekejap mata, dua orang Hwesio itu memekik kesakitan dan kaki kanan mereka mengucurkan darah karena terluka oleh goresan pedang!

   "Omitohud...!"

   Ceng Seng Hwesio memuji nama Buddha ketika ia melihat keanehan ini. Ia menjadi curiga sekali karena ia melihat bahwa dalam tiga gebrakan berturut-turut dimana In Hong merobohkan atau mengalahkan lima orang Hwesio Ngo-Heng-Tin, gadis itu hanya bergerak sembarangan saja. Sudah jelas bahwa kekalahan lima orang Sutenya itu bukan karena ilmu silat, melainkan karena tenaga lweekang yang luar biasa menghantam mereka dari pedang gadis itu. Ceng Seng Hwesio melangkah maju. In Hong yang kini maklum bahwa ia dilindungi olehKakek tua renta di belakangnya, menjadi besar hati. Ia tersenyum mengejek dan berkata,

   "Hwesio gundul, apakah kau juga masih hendak menawan?"

   Ceng Seng Hwesio tidak marah, hanya terheran-heran dan penasaran. Ia telah menyaksikan kelihayan gadis ini pada malam hari tadi di Siauw-Lim-Si, dan biarpun ia harus akui bahwa ilmu pedang gadis ini luar biasa ganas dan lihaynya, namun dalam hal ilmu lweekang, gadis ini masih terhitung lemah. Bagaimana sekarang tiba-tiba saja dapat menjadi begitu kuat? Apakah tiba-tiba gadis itu mendapatkan ilmu yang aneh? Tak mungkin, andaikata mendapatkan ilmu juga, tak mungkin dapat dilatih dan dimiliki dalam waktu singkat. Apalagi, baru saja gadis itu telah terkena pukulan toyanya pada pahanya dan ia melihat sendiri gadis itu melarikan diri lalu masuk ke dalam gua. Bagaimana dan bila gadis itu mendapat ilmu yang aneh? Karena penasaran sekali, Ceng Seng Hwesio hendak mencoba dengan toyanya sendiri. Ia mengayun toya sambil berseru keras,

   "Lepaskan pedang!"

   Dalam sambaran toyanya ini, ia mempergunakan seluruh tenaga dalamnya. Dalam hal lweekang, Ceng Seng Hwesio sudah dapat dikatakan tinggi dan hanya di bawah Suhunya, Bu Kek Tianglo.

   Memang betul dia sendiri belum dapat mewarisi ilmu I-Kin-Keng, akan tetapi tenaga lweekangnya sudah mencapai tingkat yang tinggi di dunia kangouw, jarang sekali ia bertemu tandingan. Kini, karena penasaran ia mengerahkan seluruh tenaganya, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya sambaran toya itu! Kalau menurut perhitungan dan kalau sewajarnya, tidak saja In Hong takkan kuat menahannya, bahkan selain pedangnya akan terlepas, tentu gadis itu akan roboh pula karena serangan hawapukulan itu akan melukai anggauta di dalam tubuh. In Hong cepat mengangkat pedang menangkis. Dua senjata bertemu, api berpijar mengeluarkan cahaya menyilaukan di dalam gua yang agak gelap itu. Dua tenaga dahsyat yang tidak kelihatan bertemu dalam benturan pedang dan toya.

   In Hong mengeluarkan keluhan perlahan karena telapak tangan gadis ini tidak dapat tahan menghadapi benturan ini. Sebaliknya Ceng Seng Hwesio juga berseru kaget, toya dan pedang terlepas dari tangan masing-masing, toyanya melayang dan hampir saja menghantam seorang Sute dari Ceng Seng Hwesio yang cepat mengelak sehingga toya itu meluncur dan menancap di dinding gua. Sedangkan pedang In Hong melayang ke atas dan menancap pada langit-langit gua! Ceng Seng Hwesio berdiri seperti patung, matanya terbelalak, penuh keheranan. Ia tadi merasa betapa dari pedang gadis itu menyambar hawa pukulan yang luar biasa sekali dan ia harus mengaku bahwa dalam benturan tenaga tadi, ia masih kalah jauh sehingga tenaganya sendiri membalik dan terpaksa toyanya terlepas dari pegangan dan meluncur ke belakang.

   Memang, melihat kemana dua senjata itu meluncur, sudah dapat diketahui siapa yang lebih unggul dalam adu tenaga tadi. Toya di tangan Ceng Seng Hwesio membalik dan meluncur ke belakang, sedangkan pedang di tangan In Hong mencelat ke atas, maka berarti bahwa toya ini terpental ke belakang karena kalah tenaga! Sebaliknya, lima orang Hwesio Ngo-Heng-Tin setelah melihat betapa pedang itu telah terlepas dari pegangan In Hong, menjadi besar hati. Mereka berlima bergerak maju dan dengan berbareng mereka menyerang. Ada yang menotok jalan darah, ada yang mencengkeram pundak, ada pula yang mencengkeram lengan. Kalau menurut suara hatinya, In Hong sudah putus asa dan tidak punya harapan lagi. Akan tetapi, kepercayaannya terhadapKakek aneh yang melindunginya mendatangkan keberaniannya kembali.

   Ia mengangkat kedua tangan, menggerakkan kedua tangannya cepat-cepat untuk menangkis dan balas menyerang. Luar biasa sekali. Dari kedua tangan gadis ini keluar hawa pukulan dahsyat. Tanpa pedang, ternyata hawa hangat yang mengalir dalam tubuhnya menjadi makin dahsyat dan langsung sehingga tenaga pukulannya terasa anginnya menyambar-nyambar. Dalam segebrakan saja, terdengar suara teriakan kesakitan ketika tubuh lima orang Hwesio yang tangguh itu satu persatu melayang dan terbentur pada dinding gua!

   (Lanjut ke Jilid 08)

   Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08

   Teng San dan Lian Hong yang tadinya berada di mulut gua, melihat semua kejadian ini dengan mata terbelalak dan mulut bengong. Keduanya merasa heran dan bingung karena memang peristiwa yang mereka saksikan itu benar-benar luar biasa dan tak dapat mereka mengerti.

   "Lian Hong, lekas kau beritahukan kepada Suhu tentang kejadian ini!"

   Kata Teng San. Pemuda ini selain khawatir sekali akan keselamatan In Hong yang dikeroyok oleh Suheng-suhengnya, juga ia merasa terheran-heran dan tahu bahwa kiranya hanya Suhunya, Bu Kek Tianglo saja yang akan dapat membereskan dan memecahkan soal yang aneh ini. Dia sendiri lalu masuk ke dalam gua.

   Pada saat itu, Ceng Seng Hwesio sudah melangkah maju. Dengan kedua tangannya, ia menyerang dan hendak mencengkeram kedua pundak In Hong untuk ditekan dan dibikin tidak berdaya. In Hong menyambut kedua tangan ini dan dua pasang telapak tangan bertemu. Ceng Seng Hwesio menekan ke bawah dan In Hong menyangga dan mendorong ke atas. Dua tenaga dahsyat kembali bertarung melalui telapak dua pasang tangan itu. Ceng Seng Hwesio mengerahkan tenaga lweekangnya ketika merasa betapa telapak tangan dari gadis itu tiba-tiba menjadi dingin sekali. Ia terkejut dan tahu bahwa gadis ini mempergunakan tenaga "Im"

   Yang dapat mencelakainya, maka ia memperhebat tenaganya untuk melawan tenaga ini. In Hong tentu saja pernah mempelajari lweekang dari Hek Moli. Akan tetapi kalau dibandingkan dengan tingkat Ceng Seng Hwesio, ia kalah jauh.

   Sekarang, dalam pertandingan ini, ia sendiri tidak turut apa-apa, hanya merasa betapa tekanan pada punggung dan lehernya makin kuat dan hawa panas seakan-akan membakar tubuhnya. Ia hanya menyalurkan hawa panas ini melalui lengan dan jari-jari serta telapak tangannya untuk menahan gencetan lawan yang seakan-akan hendak meremuknya. Beberapakali ia merasa betapa dari dua telapak tangan Hwesio itu menyerang tenaga dahsyat yang menindihnya, akan tetapi dari punggungnya juga keluar tenaga raksasa yang terus mengalir ke arah telapak tangannya dan mendorong kembali tenaga lawan yang menindih itu. Tiba-tiba nampak urat-urat dijidat Ceng Seng Hwesio menonjol. Hwesio ini saking penasaran dan marahnya, mengerahkan tenaga terakhir. Ia merasa malu kalau sampai kalah oleh gadis muda ini, maka dengan mati-matian ia menghabiskan tenaga terakhir.

   Akibatnya hebat sekali, In Hong juga merasa hawa panas yang membuat napasnya sesak dan tiba-tiba hawa panas ini mengalir ke arah kedua lengannya, membuat ia terpaksa mengerahkan tenaga ini supaya keluar dari telapak tangan dan terdengarlah teriakan keras Ceng Seng Hwesio dan tubuh Hwesio ini terlempar ke atas! Ceng Seng Hwesio memang lihay sekali. Biarpun ia telah terpukul oleh tenaga dahsyat ditambah tenaganya sendiri yang terserang dan membalik, namun ia masih dapat menguasai diri. Sebelum kepalanya terbentur langit-langit gua, ia telah membalikkan tubuh sehingga hanya bagian belakang tubuhnya yang terbentur pada langit-langit dan kini tubuhnya melayang turun kembali. Dalam melayang turun ini, Ceng Seng Hwesio mengeluarkan seruan,

   "Omitohud...!"

   Agaknya ia terkejut sekali sehingga ia tidak menguasai tubuhnya lagi. Ia pasti akan terbanting keras kalau saja Teng Seng Hwesio cepat-cepat melangkah maju dan menyambut tubuh Suhengnya dengan kedua tangannya.

   "Nona, kau kejam sekali!"

   Teng San menegur dan hendak melangkah maju.

   "Memang aku kejam, dan para Hwesio Siauw-Lim-Si itu tentu amat baik budi dan tidak kejam, bukan? Hm, kalau menurut pandanganku, di dunia ini hanya kau lah satu-satunya orang yang memiliki welas-asih,"

   Kata In Hong ini biarpun setengah mengejek, namun merupakan pernyataan hatinya.

   Di antara para penghuni Siauw-Lim-Si, memang hanya pemuda ini yang tidak berlaku kejam dan tidak mendesaknya hanya sayangnya, pemuda ini berdiri dipihak mereka yang memusuhinya. Teng San menjadi merah mukanya. Sesungguhnya, sekali melihat In Hong, hatinya telah jatuh dan ia suka kepada gadis ini. Apalagi setelah ia tahu bahwa gadis ini adalah Kwee In Hong, puteri dari Ibu tirinya yang lenyap. Ia merasa suka dan juga amat kasihan. Akan tetapi, karena ia adalah murid Siauw-Lim-pay, sudah menjadi kewajibannya untuk membela Siauw-Lim-pay melihat partainya telah mengalami hinaan dan malu karena tokoh-tokohnya dikalahkan oleh gadis ini. Sebelum ia melakukan sesuatu, tiba-tiba Ceng Seng Hwesio berkata,

   "Siauw-Sute, jangan kau kurangajar terhadap seorang Lo-Cianpwe!"

   Teng San menoleh dengan mata mengandung penuh pertanyaan, dan ia makin terheran ketika melihat Suhengnya itu berlutut di depan In Hong!

   "Bhutan Lo-Cianpwe, siauw-ceng tidak tahu bahwa Lo-Cianpwe berada disini, mohon banyak maaf!"

   Katanya. In Hong mengerti bahwa Hwesio itu telah tahu akan adanyaKakek aneh, maka ia diam saja. Tiba-tiba,Kakek aneh yang tadinya tidak kelihatan karena tubuhnya seakan-akan mengkeret kecil, kini kelihatan lagi, duduk bersila di belakang In Hong! Juga Teng San baru saja melihatKakek ini, maka kagetnya bukan main.

   "Ceng Seng Hwesio, muka hitam! Akhirnya kau dapat juga melihatku dari atas,"Kakek itu berkata sambil tertawa. Memang, ketika tadi Ceng Seng Hwesio mencelat ke atas dan membalikkan tubuh, dari atas ia melihatKakek yang bersembunyi di belakang In Hong, maka tahulah ia mengapa gadis itu demikian tangguh dan lihay!

   "Lo-Cianpwe, harap Lo-Cianpwe maklum bahwa gadis ini telah mengacau Siauw-Lim-Si dan..."

   "Cukup, aku sudah tahu semua! Semenjak puluhan tahun yang lalu, Siauw-Lim-Si memang terkenal kikir dan memikirkan kepentingan sendiri! In Hong ini adalah murid isteriku, juga muridku sendiri, siapa berani mengganggunya? Aku sudah mengalah dan mematikan nafsu selama puluhan tahun, akan tetapi hari ini kalau ada yang berani mengganggunya, akulah lawannya!"

   Mendengar suara yang amat berpengaruh dan dipenuhi oleh nafsu yang meluap-luap, Ceng Seng Hwesio menjadi keder. Diam-diam In Hong juga merasa betapaKakek ini dahulunya pasti seorang yang bernafsu besar dan yang amat ganas dan tabah.

   "Omitohud, tidak tahunya Koay-jin masih hidup dan bersembunyi disini!"

   Tiba-tiba terdengar suara orang dari luar gua. Belum lenyap gema suara itu, orangnya telah berjalan masuk, yakni seorangKakek tua berkepala gundul, memakai topi Hwesio dan di tangannya memegang sebatang tongkat Hwesio yang besar dan panjang. Hwesio ini sudah tua sekali, usianya paling sedikit delapanpuluh tahun, alis dan jenggotnya sudah putih semua, nampak halus seperti benang Sutera putih.

   Matanya menyinarkan cahaya lembut dan mukanya kelihatan terang dan sabar. Inilah Bu Kek Tianglo, Ketua dari Siauw-Lim-pay, seorang Hwesio yang sudah puluhan tahun menyembunyikan diri di ruangan paling dalam dari Siauw-Lim-Si untuk menyucikan hati dan pikiran. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Teng San menyuruh Lian Hong pulang ke Siauw-Lim-pay untuk memberi laporan kepada Bu Kek Tianglo tentang peristiwa aneh yang terjadi di dalam gua, di hutan tak jauh dari Siauw-Lim-Si. Tadinya Bu Kek Tianglo mendengarkan penuturan murid muda ini dengan tenang dan sama sekali tidak menaruh perhatian, akan tetapi ketika ia mendengar betapa gadis yang mengacau Siauw-Lim-Si itu mengalahkan semua muridnya dengan tenaga lweekang yang mentakjubkan, ia menjadi tertarik dan mengerutkan kening.

   "Mengalahkan yang lain-lain masih tidak aneh, akan tetapi seorang gadis muda dapat mengalahkan lweekang Ceng Seng, benar-benar amat menarik hati. Lian Hong, minggirlah!"Kakek ini sekali berkelebat melewati pinggir Lian Hong dan telah lenyap dari dalam kamarnya! Lian Hong meleletkan lidah saking kagumnya, kemudian gadis cilik ini berlari-lari keluar mengejar Gurunya. Setelah Bu Kek Tanglo memasuki gua,Kakek aneh yang buntung kaki tangannya itu, yang bukan lain adalah Buthan Koay-jin, suami dari Hek Moli, tertawa bergelak, suaranya bergema di dalam gua, amat menyeramkan.

   "Bu Kek Tianglo, kau makin tua makin gagah saja. Apakah kau datang hendak turun tangan dan hendak membuntungkan kaki tangan gadis muridku ini? Ha, ha, ha!"

   "Omitohud, Koay-jin, kau sampai sekarang masih saja belum dapat menguasai nafsumu. Tentu saja ini dapat juga kau sengaja dan berpura-pura, karena kau memang orang aneh. Sayang aku tidak dapat menjenguk isi hatimu sehingga aku dapat mengetahui sampai dimana gerangan kemajuanmu."

   "Bu Kek Tianglo, gadis muda ini adalah murid isteriku, juga muridku karena mulai hari ini dia ku ambil murid. Dia telah melakukan kesalahan seperti yang pernah kulakukan dahulu, akan tetapi apakah kau tidak dapat mencegah anak buahmu yang mendesaknya terus? Biarlah aku yang minta maaf kepadamu, kalau perlu tangan dan kakiku yang sudah buntung ini bersedia menerima beberapa gebukan tongkatmu yang lihay."

   
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Bu Kek Tianglo mengerutkan alisnya yang putih.

   "Koay-jin, aku malu sekali kepadamu. Anak muridku memang terlampau keras memegang aturan. Akan tetapi, setelah ternyata bahwa bocah ini menjadi muridmu, perlu apa kita berselisih lagi? Urusan puluhan tahun yang lalu cukup mengenaskan hati kita, tak perlu diulang lagi. Ceng Seng, hayo lekas berlutut minta ampun kepada Koay-jin!"

   Ceng Seng Hwesio kembali berlutut mengangguk-anggukkan kepala, diturut oleh lain-lain Hwesio yang berada disitu.

   "Mohon Lo-Cianpwe sudi mengampuni kami."

   Akan tetapi Bhutan Koay-jin tidak memandang kepada mereka ini. Sepasang matanya yang bersinar-sinar itu ditujukan ke arah Teng San. Pemuda ini tidak mau berlutut, hanya memandang dengan mata penuh keheranan.

   "Siapa pemuda ini, Tianglo?"

   TanyaKakek buntung itu.

   "Dia ini Ong Teng San, muridku yang termuda."

   "Bagus, dia telah kemasukan I-Kin-Keng. Mari kita bertaruh, siapa kelak yang lebih berhasil, kau dengan pemuda itu atau aku dengan muridku ini. Ha, ha, ha!"

   "Omitohud, kau benar-benar masih kukoay (aneh) watakmu, agaknya tidak berubah,"

   Jawab Hwesio itu.

   "Aneh dan tidak aneh, apa bedanya? Berubah atau tidak, dimana letak perbedaannya? Ha, ha, Bu Kek Tianglo, tunggu setahun lagi kita melihat hasil kita. Mudah-mudahan saja kita masih dapat mengalaminya."

   Bu Kek Tianglo tersenyum, menjura dan mengajak semua muridnya berlalu dari tempat itu. Di tengah perjalanan, Bu Kek Tianglo memesan kepada semua muridnya agar jangan sekali-kali mengganggu gua itu, bahkan jangan sekali-kali mendekati tempat itu. Sepeninggal semua Hwesio itu, Bhutan Koay-jin berkata,

   "Kau mau menjadi muridku, bukan?"

   In Hong sudah menyaksikan semua kejadian tadi dan sebagai murid seorang pandai iapun mengerti bahwaKakek ini memiliki tenaga lweekang yang luar biasa tingginya sehingga hanya dengan menempelkan dua lengan buntung di punggung dan lehernya,Kakek ini sudah "Meminjam"

   Dua tangannya untuk mengusir dan mengalahkan tokoh-tokoh Siauw-Lim-pay tadi. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi In Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bhutan Koay-jin dan berkata,

   "Teecu merasa bahagia sekali kalau mendapat pimpinan Suhu."

   "Nah, sekarang kau ceritakan tentang Gurumu Hek Moli, dan bagaimana ia sampai tewas oleh orang-orang Kun-Lun-Pai."

   In Hong lalu menceritakan semua pengalamannya dan apa yang ia ketahui tentang kematian Hek Moli. Juga ia ceritakan bagaimana ia mendatangi murid Go-Bi-Pai dan kemudian menyerbu Kun-Lun-Pai, mengalami kegagalan dan seterusnya sampai ia menyerbu Siauw-Lim-pay. Mendengar semua penuturan murid-barunya ini,Kakek itu menarik napas panjang berulang-ulang.

   "Kalau datang derita nestapa, apa perlunya mencela TUHAN dan mencaci setan? Mencari biangkeladi harus membuka dada melihat perbuatan sendiri. Segala akibat yang menimpa diri adalah lanjutan sebab perbuatan diri pribadi, baik perbuatan dihidup kini maupun dihidup lalu."Kakek itu bicara seperti pada diri sendiri, kemudian ia memandang kepada In Hong dan melanjutkan kata-katanya,

   "In Hong, Gurumu Hek Moli terlampau menurutkan nafsu. Demikian pula aku. Kau lihat kaki tanganku ini? Inipun akibat daripada nafsu angkara murka. Dahulu aku tidak pernah memandang langit, merasa diri paling tinggi dan paling pandai. Aku datangi semua partai, kujatuhkan semua Ketua partai besar, kutertawai mereka dan kusombongkan kepandaianku. Akhirnya aku roboh dalam tangan tokoh-tokoh besar dari Kun-Lun, Go-bi, Bu-tong, dan Siauw-Lim yang maju bersama. Akibatnya, kaki tanganku buntung. Mereka itu masih berhati lemah tidak menewaskan aku. Ha, ha, ha!"

   In Hong memandang kepada Suhunya dengan kagum.

   "seorang diri dapat mengalahkan tokoh-tokoh besar itu satu persatu, kau benar-benar hebat, Suhu. Sayangnya mereka itu curang dan maju mengeroyokmu."

   Kembali Bhutan Koay-jin tertawa bergelak.

   "Kau memang serupa benar dengan Hek Moli, dan Hek Moli juga hampir sama wataknya dengan aku. Ah, mengapa kita bertiga ini mempunyai dasar watak yang sama? Agaknya memang sudah jodoh. Hanya satu-satunya nasihatku, jangan kau mengikuti jejak Hek Moli atau jejakku. Akibatnya takkan baik, Hek Moli tewas di tangan orang pandai dan akupun roboh di tangan orang pandai."

   "Harap Suhu suka meneruskan cerita tadi, selanjutnya bagaimana?"

   Tanya In Hong yang ingin mengetahui riwayat suami-isteri yang keduanya menjadi Gurunya itu.

   "Mendengar bahwa aku roboh oleh tokoh-tokoh besar itu, isteriku, Hek Moli, menyusulku dari Sikkim. Aku sengaja menyembunyikan diri karena malu bertemu muka dengan isteriku tidak saja malu karena aku telah kalah oleh tokoh-tokoh besar empat partai, juga aku tidak mau isteriku melihat kaki tanganku yang buntung. Kuharap dia akan kembali ke Sikkim dan menikah dengan laki-laki lain. Siapa tahu iapun dikuasai nafsu marah ketika ia mendengar bahwa aku mungkin sudah tewas oleh tokoh-tokoh besar Siauw-Lim, Kun-Lun, Go-bi, dan Bu-tong. Maka ia lalu menyerbu ke Kun-Lun dan Go-bi, mungkin juga Bu-tong-pay. Hanya Siauw-Lim-pay ia tidak berani ganggu karena maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi Hwesio-Hwesio Siauw-Lim yang lihay."

   Demikianlah, mulai hari itu, Bhutan Koay-jin menurunkan kepandaiannya kepada In Hong dengan penuh semangat. Sebaliknya In Hong yang bercita-cita menyerbu Kun-Lun-Pai, belajar dengan tekun pula, tidak ingat waktu dan tidak tahu lelah.

   Sesuai dengan keinginan hati In Hong, dan cocok pula dengan pandangan Bhutan Koay-jin, gadis itu menerima ilmu lweekang yang amat luar biasa, yang cara mempelajarinya bukan dari Tiongkok aseli, melainkan sudah tercampur dengan ilmu yoga dari barat. Bhutan Koay-jin menurunkan ilmu lweekang ini dengan jalan paling singkat dan cepat. Ia langsung menurunkan lweekang dengan cara "Memindahkan"

   Tenaganya sendiri ke dalam tubuh In Hong. Dengan menyalurkan tenaga ini melalui telapak tangan In Hong, juga dengan cara menotok bagian-bagian tubuh muridnya dengan lengannya yang buntung,Kakek ini akhirnya dapat memindahkan tenaga dan sinkang ditubuhnya ke dalam tubuh muridnya. Dengan cara ini, In Hong hanya tinggal melatih diri saja sehingga ia dapat menguasai tenaga sinkang yang dahsyat dan yang kini sudah terkumpul di dalam tubuhnya itu.

   Memelihara tenaga sinkang ini tidak mudah. Tanpa latihan-latihan tertentu dan peraturan pernapasan yang selalu harus dilaksanakan, tenaga sinkang itu akan musnah sedikit demi sedikit seperti gandum dari kantong yang bocor. Akan tetapi, pengoperan sinkang seperti itu amat membahayakan kesehatan Bhutan Koay-jin, karena hal itu membutuhkan pengerahan tenaga yang melewati ukuran, yang melewati batas daya tahan tubuhnya yang sudah tua sekali. Apalagi ia masih memberi petunjuk-petunjuk dalam gerakan ilmu silat kepada In Hong. Setiap kali ada lowongan waktu yang sebagian besar dipergunakan untuk pelajaran ilmu lweekang, ia menyuruh In Hong mengeluarkan ilmu silat yang paling lihay yang pernah dipelajarinya dari Hek Moli. Bhutan Koay-jin hanya menonton, akan tetapi kadang-kadang ia menyetop dan memberi petunjuk pada bagian-bagian tertentu yang dianggap kurang sempurna.

   "Ilmu silatmu sudah hebat,"

   Katanya.

   "Memang sejak dahulu, ilmu silat isteriku itu tidak kalah olehku, hanya ia lemah dalam lweekang."

   Memeras tenaga yang sudah tua ini akhirnya mengakibatkanKakek itu jatuh sakit. Selama setengah tahun ia terus menerus setiap hari melatih In Hong sehingga dalam waktu setengah tahun, gadis itu telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Semua tenaga sinkang dariKakek itu telah berpindah ke dalam dirinya, juga ilmu silatnya, terutama ilmu pedangnya, mendapat banyak kemajuan berkat petunjuk-petunjuk dari Bhutan Koay-jin.

   Segala daja-upaja In Hong untuk mengobati Gurunya gagal. Bhutan Koay-jin bukan menderita sakit biasa, melainkan penyakit tua yang sudah tidak ada obatnya lagi. Bhutan Koay-jin meninggal dunia dengan senyum di mulut, seakan-akan merasa yakin bahwa ia akan menang dalam taruhannya dengan Bu Kek Tianglo Ketua Siauw-Lim-pay. Memang, pada saat terakhir dari hidupnya, tiap kali dia membuka mulut mengeluarkan suara, tentu ia menyebut-nyebut soal pertaruhan itu. Seorang diri In Hong mengurus jenazah Gurunya, mengubur jenazah itu di dalam gua dan menangis di depan kuburan. Kemudian ia keluar dari tempat itu dan tempat pertama yang ditujunya adalah kelenteng Siauw-Lim-Si! Gadis ini hendak memenuhi kehendak Gurunya, keinginan yang disebut-sebut sebelum meninggal dunia, yakni agar ia dapat mengalahkan murid muda Siauw-Lim-pay, murid yang telah mempelajari I-Kin-Keng.

   Ia harus dapat mengalahkan pemuda itu, pemuda yang dahulu telah menolongnya, yang bernama Ong Teng San! Dengan tenang ia memasuki halaman kelenteng Siauw-Lim-Si. Kedatangannya sekarang jauh bedanya dengan dahulu. Setengah tahun yang lalu, ia datang di tempat ini pada malam hari dengan maksud mencuri kitab I-Kin-Keng. Akan tetapi sekarang, datang pada pagi hari dengan terang-terangan dengan maksud mengajak pibu orang yang mewarisi ilmu I-Kin-Keng! Semenjak terjadi peristiwa penyerbuan In Hong ke Siauw-Lim-Si, kelenteng ini sekarang terjaga keras. Tidak mengherankan apabila baru saja gadis itu memasuki pekarangan depan, tiba-tiba datang lima orang Hwesio yang bukan lain adalah Hwesio-Hwesio Ngo-Heng-Tin! Mereka memegang toya dan memandang kepada gadis ini dengan mata penuh kecurigaan dan juga keheranan. Akan tetapi gadis itu tersenyum mengejek ke-pada mereka.

   "Kau...?"

   Tegur seorang di antara lima Hwesio itu.

   "Apa kehendakmu, nona?"

   Mereka masih merasa gentar kalau teringat akan pengalaman mereka di dalam gua, dimana mereka secara aneh sekali dibikin jatuh bangun oleh gadis ini yang melawan mereka hanya dengan duduk bersila. Akan tetapi setelah mereka tahu bahwa di belakang gadis itu ada Bhutan Koay-jin, lenyap rasa heran dan penasaran hati mereka. Namun diam-diam mereka menaruh hati marah kepada gadis yang menjadi gara-gara sehingga mereka sebagai tokoh-tokoh besar Siauw-Lim-Si mengalami rasa malu dan penghinaan.

   "Ngowi Suhu harap memberitahu kepada Bu Kek Tianglo bahwa aku datang untuk bicara dengan dia, atau boleh juga dengan muridnya yang bernama Ong Teng San,"

   Kata In Hong dengan tenang. Tentu saja lima orang Hwesio itu tidak membiarkan In Hong terus masuk, karena mereka mengira bahwa gadis ini tentu datang hendak membikin ribut pula. Kini mereka tidak takut menghadapi gadis ini, karena dahulu di dalam gua, ke-kalahan mereka bukan oleh gadis ini melainkan oleh Bhutan Koay-jin yang meminjam sepasang lengan In Hong. Biarpun mereka tahu bahwa gadis ini telah diterima menjadi murid Bhutan Koay-jin, akan tetapi dalam waktu setengah tahun saja, kepandaian apakah yang sudah dapat dipelajarinya?

   "Nona, jangan kau main gila seperti dulu! Kalau kau memang ada keperluan, mengapa harus mencari Suhu atau Ong-Sute? Kami berlima ditugaskan menjaga disini, maka segala keperluanmu, katakan saja kepada kami, pasti kami takkan berani mengabaikan dan akan melayanimu."

   In Hong mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya.

   "Kalian ini masih saja tidak berubah, bersikap galak terhadap orang muda. Bukankah sudah kukatakan tadi bahwa aku ingin bertemu dengan Bu Kek Tianglo atau Ong Teng San? Hayo lekas panggil mereka keluar, kalau tidak jangan bilang aku kurangajar kalau aku masuk dan mencari mereka sendiri."

   Lima orang Hwesio itu nampak ragu-ragu. Memang bukan hal yang sederhana dan mudah saja untuk memanggil keluar Bu Kek Tianglo.Kakek ini selalu menyembunyikan diri di dalam kamarnya, bersamadhi dan tidak mau mencampuri urusan di luar kamarnya. Ia tidak mau diganggu, maka tidak ada orang yang berani menggangguKakek ini kalau tidak karena urusan amat penting. Sekarang, gadis ini datang hendak bertemu dengan Bu Kek Tianglo, mana lima orang Hwesio itu berani mengganggu Suhu mereka? Apalagi kalau diingat bahwa gadis ini adalah seorang yang pernah mengacaukan Siauw-Lim-Si, kalau Bu Kek Tianglo diganggu dari samadhinya hanya untuk menjumpai gadis ini, tentuKakek itu akan menjadi marah. Adapun In Hong ketika melihat lima orang Hwesio itu ragu-ragu dan tidak mau memenuhi permintaannya, lalu melangkah maju dan berkata,

   "Kalau tidak mau melaporkan kepada Bu Kek Tianglo, minggirlah, biar aku sendiri masuk menghadap!"

   Akan tetapi, lima orang Hwesio itu cepat memalangkan toya dan menghadang di tengah jalan.

   "Nona, jangan kau kurangajar!"

   Lima batang toya bergerak mendorong ke arah tubuh In Hong untuk memaksa gadis itu mundur lagi. Akan tetapi, sebaliknya daripada mundur, In Hong malah melangkah terus ke depan. Dua tangannya bergerak cepat dan dilain saat, dua orang Hwesio telah terlempar jauh berikut toya yang mereka pegang, sedangkan seorang Hwesio lain terpaksa bertekuk lutut karena sambungan lututnya tercium ujung sepatu In Hong. Gerakan nona ini demikian cepat dan tenaganya demikian hebat sehingga tiga orang Hwesio itu tak sempat mempertahankan diri. Mereka berdiri lagi cepat-cepat dan bersama dua orang Hwesio yang belum roboh, mereka siap untuk melakukan serangan. Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara keras,

   "Tahan senjata!"

   Ternyata bahwa yang muncul adalah Ceng Seng Hwesio yang bermuka hitam dan bersuara tenang berpengaruh. Ceng Seng Hwesio tadi melihat gerakan In Hong dan diam-diam ia terkejut. Tendangan In Hong masih tidak mengherankan karena ia memang tahu bahwa gadis ini memiliki gerakan yang amat cepat dan tidak terduga. Akan tetapi, menerima toya dengan kedua tangan kosong lalu melemparkan toya-toya itu berikut pemegangnya, sungguh merupakan bukti bahwa gadis ini sekarang telah memiliki tenaga lweekang yang tinggi sekali!

   "Sam-Sute, pergilah ke dalam dan laporkan kepada Suhu bahwa murid Bhutan Koay-jin datang mengunjungi Siauw-Lim-Si,"

   Kata Ceng Seng Hwesio. Sekali saja melihat sepak terjang In Hong, Hwesio ini maklum bahwa tentu gadis ini datang untuk memenuhi tantangan Bhutan Koay-jin setengah tahun yang lalu, maka ia pikir lebih baik minta Suhunya keluar. Kemudian ia menjura kepada In Hong sambil tersenyum,

   "Ah, kiranya Kwee-Lihiap yang datang. Tidak tahu apakah Kwee-Lihiap membawa pesanan sesuatu dari Bhutan Lo-Cianpwe?"

   "Memang aku membawa pesanan untuk memenuhi tantangan pibu dengan murid Siauw-Lim-pay!"

   Jawab In Hong singkat. Ia tahu bahwa Ceng Seng Hwesio adalah murid kepala dari Bu Kek Tianglo, maka ia mau memberitahukan maksud kedatangannya.

   Pada saat itu, dari ruangan dalam sudah nampak Bu Kek Tianglo menghampiri tempat itu, berjalan perlahan dibantu oleh tongkatnya. Hwesio ini sudah amat tua dan lemah sehingga In Hong teringat akan Gurunya sendiri yang telah meninggal dunia. Seorang pemuda berjalan disebelah kirinya dan In Hong segera mengenal pemuda ini sebagai Ong Teng San yang pernah menolongnya. Ia melihat betapa sepasang mata pemuda itu ditujukan kepadanya dan hati In Hong terheran-heran. Mengapa sinar mata itu kelihatan begitu sedih? Di belakang pemuda ini berjalan gadis cilik yang dahulu ia lihat di atas pagar tembok. Makin terheranlah hati In Hong karena baru sekarang ia melihat wajah gadis ini dengan jelas. Tidak aneh bahwa dulu ia melihat gadis ini seperti seorang yang sudah lama dikenalnya,

   

Si Bayangan Iblis Karya Kho Ping Hoo Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini