Ceritasilat Novel Online

Bayangan Bidadari 9


Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Karena ternyata bahwa wajah gadlis cilik ini hampir serupa dengan wajah yang ia lihat setiap hari apabila ia bercermin! Juga gadis ini kelihatan berduka. Memang Teng San sudah bercerita kepada Lian Hong bahwa gadis yang mengacau Siauw-Lim-Si itu bukan lain adalah Kwee In Hong, puteri dari Ibu mereka yang hilang ketika dahulu suami Ibu mereka itu dibunuh oleh Ayah mereka! Kini nona yang menjadi saudara tiri mereka itu datang memusuhi Siauw-Lim-Si dan otomatis mereka harus menghadapi nona itu sebagai lawan, bagaimana mereka takkan bersedih? Untuk memperkenalkan diri bahwa mereka adalah anak dari Ong Tiang Houw, lebih tidak mungkin lagi. In Hong tentu membenci Tiang Houw dan seorang gadis yang memiliki watak demikian keras dan ganas, pasti akan berusaha membalas sakit hati terhadap Tiang Houw.

   Kalau In Hong mendengar bahwa Teng San dan Lian Hong adalah anak dari Tiang Houw, otomatis gadis murid Hek Moli itu pasti akan memusuhi mereka pula. Hal ini semua Pendeta di Siauw-Lim-Si sudah mengetahui karena mereka sudah mendengar penuturan Teng San. Akan tetapi, mereka tidak mau membuka rahasia karena mereka sudah diminta dengan sangat oleh Teng San agar jangan mencenitakan rahasia ini kepada In Hong. Mereka semua dapat membayangkan betapa akan hebatnya akibat apabila In Hong mengetahui bahwa Teng San dan Lian Hong adalah anak-anak dari musuh besarnya, yakni Ong Tiang Houw yang telah membunuh Kwee Seng, Ayahnya. Sementara itu, dengan suaranya yang halus dan lemah lembut, Bu Kek Tianglo sudah berkata kepada In Hong,

   "Nona, bagaimana kabarnya dengan Bhutan Koay-jin Gurumu? Mengapa dia tidak ikut datang beromong-omong dengan Pinceng?"

   Mendengar pertanyaan ini, In Hong mengerutkan keningnya dan wajahnya berubah sedih.

   "Guruku telah meninggal dunia kemarin pagi..."

   Mendengar ini, semua Hwesio merangkapkan kedua tangan di depan dada. Teng San menundukkan muka dan Lian Hong memandang kepada In Hong dengan muka berkasihan. Hening beberapa lama, keheningan yang menyesakkan dada In Hong dan membuat gadis itu hampir tak dapat menahan mengucurnya air mata. Ia menjadi gemas kepada diri sendiri dan untuk menyembunyikan perasaan dan kelemahan hatinya ini, ia berkata,

   "Suhu sudah meninggal dengan tenang dan aku tidak perlu mendapat rasa kasihan orang lain!"

   Kata-kata ini membuktikan betapa keras adanya hati gadis ini.

   "Omitohud... Bhutan Koay-jin, kau sudah mendahului Pinceng. Kau sudah senang dan bebas, semoga kita akan dapat bertemu pula di alam lain,"

   Terdengar Bu Kek Tianglo berdoa perlahan, kemudian ia memandang kepada In Hong dan bertanya,

   "Setelah Suhumu meninggal, apakah kedatanganmu ini hanya untuk menyampaikan warta itu, nona?"

   "Aku datang memenuhi pesanan Suhu bahwa aku harus memenuhi janji Suhu untuk mengadakan pibu dengan murid Siauw-Lim-pay untuk menentukan, mana yang lebih unggul antara ilmu kepandaian yang diturunkan oleh Suhu dengan ilmu kepandaian dari Siauw-Lim-pay!"

   Sambil berkata demikian ia mengerling ke arah Teng San yang masih menundukkan mukanya. Bu Kek Tianglo tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya.

   "Bhutan Koay-jin, kau benar-benar telah mendapatkan murid yang cocok dengan watakmu,"

   Katanya perlahan, kemudian kepada In Hong ia berbuat dengan suara sungguh-sungguh.

   "Nona kau baru menerima latihan selama setengah tahun dari mendiang Bhutan Koay-jin, apakah kau sudah merasa cukup kuat untuk menghadapi Teng San?"

   "Aku memang seorang lemah dan bodoh, akan tetapi kiranya aku takkan mengecewakan arwah dari Suhu,"

   Jawab In Hong.

   "Suhu, nona Kwee ini sudah mewarisi sinkang dari Bhutan Locanpwe,"

   Kata Ceng Seng Hwesio kepada Gurunya.

   "Tadi Teecu sudah menyaksikan betapa dia mengalahkan tiga orang Sute dengan tenaga lweekangnya."

   Bu Kek Tianglo mengangguk-angguk puas.

   "Hm, begitukah? Bagus sekali. Agaknya Bhutan Koay-jin sudah dapat memperdalam kepandaiannya selama puluhan tahun ini sehingga ia telah dapat menurunkan sinkang sekaligus tanpa menghiraukan kesehatannya sendiri. Bagus! Hanya sinkang dari Koay-jin saja yang kiranya patut menghadapi Teng San, kau lawan nona Kwee ini dengan I-Kin-Keng!"

   Dapat dibayangkan betapa berat hati Teng San menerima perintah ini, akan tetapi tentu saja ia tidak berani membantah kehendak Suhunya, maka sambil menganggukkan kepalanya, ia lalu melangkah maju dan bersiap sedia mengha-dapi In Hong. Melihat pemuda itu telah maju, In Hong juga segera melangkah maju tanpa mencabut pedangnya. Ia tidak suka menghadapi seorang lawan yang bertangan kosong dengan pedang, karena iapun tahu bahwa orang menghendaki mengadu tenaga lweekang.

   "Kwee-siocia, silahkan,"

   Kata Teng San yang sudah memasang kuda-kuda. Ia menyalurkan sinkang dari I-Kin-Keng ke dalam sepasang lengannya dan memasang kuda-kuda dari ilmu silat Lo-han-kun, yakni ilmu silat dari Siauw-Lim-pay yang terkenal tangguh dan lihay.

   Biarpun ia berwatak ganas dan keras hati, namun In Hong bukanlah orang yang mudah melupakan budi. Ia telah hutang budi kepada pemuda ini yang telah memperlihatkan kebaikan hati dan menolongnya ketika ia dikepung oleh para hweesio Siauw-Lim-Si. Juga sebagai seorang wanita, perasaannya yang halus membisikkan kepadanya bahwa pemuda ini tertarik kepadanya. Oleh karena itu, pada mulanya In Hong merasa enggan untuk bertanding melawan Teng San. Ia akan lebih suka menghadapi Ceng Seng Hwesio, atau kalau perlu, ia bahkan lebih suka kalau menghadapi Bu Kek Tianglo sendiri! Akan tetapi, mengingat akan nama baik Suhunya, segera timbul semangatnya dan ia mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk merebut kemenangan dalam pertandingan ini.

   "Baik, kau jagalah seranganku!"

   Jawab In Hong dan dengan cepat sekali ia mulai menyerang, mempergunakan ilmu silat yang ia pelajari dari Hek Moli. In Hong memiliki gerakan yang cepat dan ringan sekali, maka serangannya inipun datang dengan dahsyat dan cepatnya. Tangan kanannya memukul ke arah dada Teng San dan tangan kiri menjaga di atas pusar. Teng San ingin menguji tenaga gadis ini, maka ia tidak mengelak, melainkan menangkis sambil mengerahkan sebagian dari tenaga lweekangnya. Dua buah lengan tangan kanan bertemu.

   "Duk!"

   Keduanya tergeser mundur dan berubah kuda-kuda kaki mereka. Tadipun In Hong hanya mengeluarkan sebagian saja dari tenaganya, maka melihat akibat pertemuan dua lengan itu, dapat diduga bahwa tenaga mereka memang berimbang. Melihat ketangguhan lawan, dua orang muda ini lalu menghilangkan rasa sungkan lagi dan mulailah mereka bertanding sambil mempergunakan seluruh tenaga. Memang hebat sekali pertandingan itu. Gerakan In Hong lincah dan cepat, sebaliknya gerakan Teng San tenang dan lambat.

   Namun, tiap kali keduanya bertemu tangan, selalu terasa betapa masing-masing terdorong oleh tenaga yang dahsyat. Setelah bertempur selama dua puluh jurus lebih, Teng San dapat mengukur tenaga lawannya. Ia adalah ahli waris dari I-Kin-Keng, ilmu pusaka dari Siauw-Lim-Si, maka tentu saja tenaga lweekangnya hebat. Ilmu I-Kin-Keng sudah amat terkenal dan dikagumi oleh seluruh tokoh kangouw, sedangkan Teng San sudah mempelajari ilmu ini bertahun-tahun dan bakatnya memang baik sekali. Sebaliknya, biarpun ilmu sinkang yang diturunkan oleh Bhutan Koay-jin kepada In Hong juga luar biasa sekali dan hampir setingkat dengan I-Kin-Keng, akan tetapi In Hong menerima ilmu ini baru setengah tahun lamanya. Dalam hal tenaga dalam ini, In Hong masih kalah dan hal ini diketahui baik oleh Teng San. Akan tetapi, pemuda ini tidak tega melukai hati In Hong, tidak tega mengalahkannya.

   Ia merasa kasihan sekali melihat In Hong dan di dalam hatinya timbul perasaan aneh dari kasih sayang. Perasaan kasihan dan kasih sayang ini membuat Teng San ingin menolong dan membantu In Hong, mana bisa ia tega merobohkannya? Oleh karena itu, ia sengaja mengeluarkan tiga-perempat bagian saja dari lweekangnya dan ini cukup untuk mengimbangi kekuatan In Hong. Namun, dipihak In Hong lain lagi. Biarpun gadis ini tadinya merasa berhutang budi dan tidak enak untuk bertanding dengan pemuda yang pernah menolongnya ini, akan tetapi setelah melihat bahwa tenaga dari pemuda ini memang hebat, ia lalu mengerahkan seluruh tenaga dalam setiap serangannya. Bahkan ia melakukan serangan dengan gerakan cepat sekali, mengeluarkan gerak tipu-tipu yang paling lihay dari ilmu silatnya. Dengan gerakannya yang lebih cepat dan lincah karena ginkangnya memang tinggi. In Hong dapat mendesak lawannya yang sebagian banyak hanya membela diri saja.

   Pertandingan berjalan sampai tujuhpuluh jurus dan keadaan mereka masih seimbang, sungguhpun kelihatannya In Hong selalu mendesak dan menindih, namun gadis ini maklum bahwa ia tidak mendapat banyak kesempatan menghadapi pemuda yang kokoh kuat penjagaannya ini. Tiba-tiba In Hong melakukan serangan nekat. Gadis yang keras hati ini merasa penasaran dan mendongkol sekali karena sebegitu lama semua serangannya tidak berhasil, bahkan kedua lengannya sudah terasa lelah dan sakit-sakit. Kini ia mengeluarkan gerak tipu yang disebut Sam-houw-toat-beng (Tiga harimau mencabut nyawa), sebuah pukulan yang luar biasa ganasnya dari Hek Moli. Dengan gerakan yang susul menyusul dan bukan main cepatnya sehingga hampir boleh dibilang dalam satu saat, tangan kanan In Hong memukul ke arah pusar, disusul dengan cengkeraman tangan kiri ke arah leher dan diikuti dengan tendangan maut ke depan!

   Terdengar Bu Kek Tianglo mengeluarkan napas berat, tanda bahwaKakek ini merasa khawatir melihat muridnya terancam hebat. Juga Teng San terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa gadis itu memiliki ilmu pukulan yang demikian ganasnya. Akan tetapi, sukarlah untuk menghindarkan diri sekaligus dari tiga macam serangan ini dan ia harus menghadapinya dengan tenang. Ia mempergunakan tangan kanan untuk menyampok cengkeraman ke arah leher, tangan kirinya menahan datangnya tendangan maut yang amat berbahaya itu sedangkan tubuhnya agak direndahkan sehingga pukulan In Hong ke arah pusarnya menjadi berubah sasaran dan tiba di atas dadanya. Hal ini memang ia sengaja karena dalam menerima pukulan gadis itu didadanya, Teng San mengerahkan tenaga lweekangnya yang luar biasa.

   Terdengar kain robek dan seruan In Hong. Tubuh gadis ini terjengkang ke belakang dan terhuyung-huyung. Hampir saja ia roboh kalau saja tidak lekas-lekas mengatur keseimbangan tubuhnya. Kepalan kanannya terasa panas dan kesemutan, akan tetapi ia tidak terluka. Dilain pihak, Teng San yang terpukul dadanya itu berdiri tegak tidak bergeming, hanya pundaknya terkena cengkeraman tangan kiri In Hong. Ketika tangan kiri In Hong tadi disampok, gadis ini dengan cepatnya menyelewengkan tangan kirinya sehingga tangan ini dapat melanjutkan serangan ke arah pundak lawan. Tangan inilah yang melukai Teng San karena cengkeraman jari tangan yang terisi tenaga lweekang ini telah merobek kain penutup pundak dan terus melukai kulit dan daging pundak!

   "Kwee-Lihiap, aku mengaku kalah...,"

   Kata Teng San sambil tersenyum dan menjura. In Hong menjadi merah sekali mukanya. Dari tadi juga ia telah dapat mengerti bahwa dalam hal tenaga lweekang, ia masih kalah oleh pemuda ini. Gebrakan terakhir tadi membuktikan. Juga gebrakan terakhir ini membuka rahasia hati Teng San yang sengaja membiarkan dirinya terpukul tanpa bermaksud merobohkan atau melukai In Hong. Orang yang sudah dapat menahan pukulan pada dadanya tadi tanpa terluka, kalau mau, memang dapat mengirim kembali hawa pukulan dan mengakibatkan luka melakukan hal itu, hanya membuat In Hong mencelat dan terhuyung-huyung saja.

   "Ong-tayhiap, kau sudah mengalah. Kau patut menjadi terbaik dari Siauw-Lim-pay..."

   Jawab In Hong yang segera menjura kepada Bu Kek Tianglo, kemudian tanpa banyak cakap lagi gadis ini berkelebat dan berlari keluar dari Kuil Siauw-Lim-Si. Seperginya gadis ini. Bu Kek Tianglo terdengar menarik napas panjang.

   "Hm, gadis seganas itu berkeliaran seorangdiri di dunia kangouw, benar-benar berbahaya! Entah kebodohan apa lagi yang akan ia lakukan. Teng San, Pinceng tahu mengapa kau tadi mengalah. Memang, dalam kedudukanmu sebagai putera musuh besarnya, dan mengingat pula akan perbuatan Ayahmu terhadap Ayah dan Ibunya, amat sukarlah bagimu untuk tidak menaruh hati iba dan mengalah. Akan tetapi, gadis itu memiliki watak yang amat keras dan perbuatannya sewaktu-waktu bisa ganas seperti mendiang Hek Moli. Lweekangnya Pinceng lihat sudah amat tinggi sehingga di dunia kangouw, kiranya hanya kau dengan I-Kin-Keng yang dapat mengendalikannya. Oleh karena itu, sekarang kau Pinceng paksa keluar dari sini untuk mengamat-amati gadis itu, syukur kalau kau bisa menguasainya dengan jalan halus, kalau tidak kau harus menjaga agar jangan sampai ia menimbulkan gara-gara seperti yang pernah dilakukan oleh Bhutan Koay-jin dan Hek Moli."

   Demikianlah, pada keesokan harinya, Teng San dan Lian Hong meninggalkan Siauw-Lim-Si dan kedua orang Kakak dan Adik ini merasa gelisah kalau mereka memikirkan In Hong. Bagaimana kelak kalau In Hong bertemu dengan Ibunya dan mendapat tahu bahwa Ibunya telah menikah dengan pembunuh Ayahnya? Mengingat akan semua ini, Teng San menjadi amat berduka. Diam-diam ia kecewa terhadap Ayahnya, karena setelah membunuh suaminya, Ayahnya lalu mengambil isterinya. Benar-benar hal yang amat memalukan! Dan sekarang ditambah lagi oleh kenyataan betapa menarik adanya In Hong dan betapa hatinya selalu tak dapat melupakan wajah yang cantik jelita dan gagah itu. Apa yang dikhawatirkan oleh Bu Kek Tianglo memang beralasan.

   In Hong adalah seorang yang semenjak kecilnya dididik oleh seorang yang ganas seperti Hek Moli, maka otomatis gadis inipun menjadi dewasa dengan watak yang sama dengan Gurunya. Keras hati dan ganas. Ia takkan mau berhenti sebelum dapat memuaskan hatinya membalas dendamnya kepada musuh-musuh besar yang sudah menewaskan Gurunya. Di dalam hati In Hong, hidupnya hanya mempunyai tujuan tertentu, yakni membalas dendam atas kematian Gurunya, kemudian mencari Ibunya dan mencari musuh besar yang sudah menewaskan Ayahnya! Setelah meninggalkan Siauw-Lim-Si, gadis ini langsung menuju ke Kun-Lun-San! Ia melakukan perjalanan cepat sekali dan tidak pernah berhenti kalau tidak sudah lelah sekali. Ia tidur dimana saja sang malam menghalang perjalanannya. Tidur di udara terbuka, di dalam kelenteng tua bobrok, di atas pohon, atau dimana saja bagi gadis ini bukan apa-apa.

   Kadang-kadang sehari semalam ia tidak menemui kampung dan terpaksa kalau bekal makanan habis, ia berpuasa atau makan buah-buahan. Inipun tidak membuatnya merasa sengsara. Setiap orang kangouw harus berani menghadapi keadaan seperti ini dengan tabah. Ketika tiba di kaki bukit Kun-Lun-San, di luar sebuah hutan kecil ia melihat seorang laki-laki berjalan dengan kepala menunduk. Laki-laki ini berjalan di sebelah depan dan In Hong hanya melihat punggung dan pundaknya yang bidang. Melihat potongan tubuh orang itu, In Hong merasa sudah mengenalnya, apalagi melihat langkah kaki yang biarpun perlahan namun masih kelihatan ketegapan dan kegagahannya, seperti langkah seekor harimau. In Hong mempercepat larinya dan tak lama kemudian ia telah dapat menyusul orang itu. Laki-laki itu mendengar kedatangan orang lalu menengok.

   "Kau... Bu Jin Ai...?"

   Seru In Hong, akan tetapi dilain saat gadis ini menundukkan mukanya yang menjadi merah dan menekan perasaannya yang membuat dadanya bergelombang. Seperti juga dulu ketika bertemu untuk pertama kalinya, ia mendapatkan perasaan aneh.

   Apalagi sekarang pendekar yang bernama Bu Jin Ai (Tidak Ada yang Menyinta) ini memandangnya dengan sinar mata demikian mesra seakan-akan orang terkena pesona, pandangan mata yang mengandung berbagai macam perasaan, ada terkejut, heran, kagum, dan terbayang kasih sayang yang besar. Inilah yang membuat In Hong berdebar dan menundukkan mukanya. Gadis ini sendiripun merasa aneh di dalam hatinya. Kalau laki-laki lain yang memandangnya seperti itu, tentu ia akan marah atau setidaknya, akan ditinggalnya pergi tanpa perduli lagi. Akan tetapi, dipandang sedemikian rupa oleh laki-laki ini, ia merasa bangga! Adapun pendekar gagah itu benar-benar seperti orang dalam mimpi. Ia menatap wajah In Hong dan Bibirnya bergerak perlahan, mula-mula tidak dapat didengar jelas kata-katanya, kemudian In Hong dapat menangkap suara itu,

   "Kau... isteriku... kekasihku... kau cantik seperti bidadari..."

   "Gila..."

   Kata In Hong dengan muka menjadi makin merah. Kemudian ia melihat betapa muka orang itu agak pucat dan lengan kirinya agak kaku gerakannya. Ia terkejut sekali dan tak terasa pula ia melangkah maju menghampiri laki-laki itu.

   "Apakah... apakah lenganmu masih sakit? Hebatkah luka akibat pasir hitamku?"

   Bu Jin Ai tersenyum, mukanya yang gagah itu memang kelihatan tampan sekali, dagunya nampak kuat, giginya putih dan berjajar rapi, sepasang matanya bersinar dan berpengaruh. Muka seorang pendekar gagah, muka seorang jantan!

   "Pasirmu memang lihay, Put Hauw Li, dan aku terlalu bodoh sehingga tak dapat menyembuhkannya."

   Memang dahulu, dalam pertemuan pertama, In Hong mengaku bernama Put Hauw Li (Anak perempuan tidak berbakti). Tentu saja Bu Jin Ai tahu bahwa nama yang dipakai gadis ini adalah nama palsu, seperti halnya In Hong yang tahu benar bahwa nama pendekar ini adalah nama palsu pula. In Hong nampak menyesal sekali. Pasir hitamnya amat lihay dan berbahaya. Sudah setengah tahun lebih orang ini menderita luka akibat senjata rahasianya itu, ah, tentu orang ini telah menderita kesakitan hebat. Ia melangkah maju lagi dan mendekati Bu Jin Ai.

   "Biarkan aku memeriksa lukamu dan mencoba untuk mengobatinya,"

   Katanya. Tanpa menanti jawaban, ia lalu memegang pundak laki-laki itu dan sekali jari-jari tangannya yang kecil runcing bergerak, terdengar suara kain memberebet dan pakaian Bu Jin Ai di bagian pundak dan pangkal lengan telah robek terbuka!

   "Kau masih ingat di bagian mana aku terluka?"

   Bu Jin Ai berkata heran.

   "Kalau begitu selama ini kau seringkali ingat kepadaku?"

   "Hush, diam dan jangan banyak cakap. Lukamu berbahaya sekali,"

   Kata In Hong yang sudah mengeluarkan pedangnya. Dengan ujung pedang ia membuat beberapa guratan pada kulit lengan yang menghitam dan gembung itu, kemudian ia mengurut beberapa otot dan menotok jalan darah. Tak lama kemudian, dari guratan-guratan yang dibuat oleh pedangnya pada lengan Bu Jin Ai, keluarlah darah hitam. Tiba-tiba In Hong merasa betapa lengannya yang sedang bekerja itu disentuh oleh jari-jari tangan Bu Jin Ai, dibelai halus.

   "Isteriku... kekasihku...,"

   Kembali Bibir Bu Jin Ai bergerak-gerak dan keadaannya seperti orang gila, sepasang matanya memandang kepada In Hong penuh kemesraan dan kasih sayang sehingga dengan kaget sekali In Hong merenggut tangannya dan melompat mundur. Jantungnya berdebar keras dan aneh sekali. Perasaan marah yang sudah meluap-luap di dadanya, tiba-tiba padam kembali oleh perasaan lain ketika ia memandang kepada Bu Jin Ai. Entah mengapa, muka itu mendatangkan welas asih dan suka. Akan tetapi, rasa jengah dan malu membuat In Hong tidak mau mendekat lagi. Ia mengambil sebungkus obat penawar pasir hitam, memberikannya kepada Bu Jin Ai sambil berkata lirih,

   "Kau sudah gila! Aku tidak mau dekat lagi. Kau keluarkan semua darah hitam dari lenganmu, kemudian kau pakai obat ini di lukanya. Pasti sembuh dalam beberapa hari saja."

   Akan tetapi Bu Jin Ai tidak menerima obat itu sehingga bungkusan obat jatuh ke atas tanah. Sebaliknya, dengan mata saju Bu Jin Ai memandang In Hong dan berkata,

   "Isteriku manis, tidak kasihankah kau kepadaku...?"

   Mendengar ini dan melihat pandangan mata Bu Jin Ai, In Hong bergidik dan gadis ini melompat pergi. Suara yang aneh keluar dari kerongkongannya, suara seperti setengah tangis setengah tertawa. Memang In Hong merasa terharu dan kasihan sekali melihat Bu Jin Ai, akan tetapi sikap Bu Jin Ai kepadanya membuat ia merasa geli juga. Dia adalah se-orang gadis yang belum pernah menghadapi sikap laki-laki seperti ini, demikian penuh rangsang, penuh kemesraan dan penuh cinta kasih. Sambil berlari cepat mendaki bukit Kun-Lun, In Hong diam-diam memikirkan keadaan dirinya.

   Mengapa ia begitu tertarik kepada Bu Jin Ai? Laki-laki ini biarpun tak dapat disangkal lagi memilik wajah yang tampan, tubuh yang gagah, sikap yang mengagumkan, namun usianya tidak muda lagi. Kurang lebih empatpuluh tahun, sudah patut menjadi Ayahnya! Akan tetapi, cinta memang aneh sekali. In Hong agaknya tidak anggap hal ini penting. Ia membayangkan wajah dan sikap Yo Kang, putera Pamannya. Ia sudah tahu pasti bahwa Yo Kang cinta kepadanya. Pemuda itu, biarpun kepandaiannya tidak amat tinggi, namun boleh disebut seorang yang bersemangat gagah, wajahnya tampan pula, hartawan dan masih muda. Akan tetapi, anehnya, ia sama sekali tidak tertarik kepada Yo Kang. Masih ada lagi, yakni Ong Teng San, pemuda luar biasa yang baru-baru ini mengadu kepandaian dengannya di Siauw-Lim-Si. Kurang apakah pemuda ini?

   Tentang kepandaian, tidak dibawah tingkat kepandaiannya sendiri. Tentang watak ia tahu bahwa pemuda itu berwatak baik, terlihat dari sikapnya, dari usahanya untuk menolongnya dahulu dan bahkan akhir ini di dalam pibu, pemuda itu sengaja tidak mendesaknya dan berlaku mengalah. Ini saja sudah membuktikan bahwa Teng San suka kepadanya. Akan tetapi, benar-benar mengherankan, ia sama sekali tidak tertarik kepada Ong Teng San. Mengapa kalau terhadap dua orang pemuda pilihan ini, juga banyak sekali pemuda-pemuda lain yang pernah memandang kepadanya dengan rindu, ia sama sekali tidak tergerak hatinya, sebaliknya terhadap Bu Jin Ai, pendekar yang sudah tak muda lagi, yang wataknya biarpun gagah namun seperti orang gila, ia jatuh hati? Benar-benarkah ini yang dibilang cinta? In Hong merasa malu kepada diri sendiri dan berusaha untuk menyangkal perasaan ini.

   "Tak mungkin! Dia sudah tua, patut menjadi Ayahku!"

   Akan tetapi pikiran ini bahkan mendatangkan kesedihan karena ia teringat akan Ayahnya yang terbunuh mati oleh orang yang tidak diketahuinya siapa dan di dalam kesedihan ini kembali terbayang wajah Bu Jin Ai yang nampaknya demikian menyintanya! Ingin ia kembali, mendekati Bu Jin Ai dan menumpahkan semua kedukaan yang di deritanya. Kembali ia mencela keinginan ini dan bagaikan seorang berubah ingatan, In Hong berlari-lari cepat sambil kadang-kadang tersenyum, kadang-kadang menangis! Setelah tiba di depan kelenteng Kun-Lun-Pai yang besar, ia segera memasuki pekarangan yang luas. Dilihatnya banyak Tosu berada di depan kelenteng, maka ia segera berseru nyaring,

   "Kun-Lun Sam-lojin, keluarlah untuk membayar hutang kalian!"

   Para Tosu yang berada disitu ketika mengenal In Hong segera melarikan diri ke dalam untuk memberi laporan. Tak lama kemudian, muncullah Kun-Lun Sam-lojin, tiga orang tokoh Kun-Lun-Pai murid dari Pek Ciang San-Lojin. Dengan sikap tenang akan tetapi mata mereka bersinar marah, tiga orang Tosu ini cepat menghampiri In Hong yang masih berdiri di pekarangan dengan sikap menantang. Melihat tiga orang musuh besarnya ini, kemarahan hati In Hong meluap. Cepat ia mencabut pedang Liong-gan-kiam dan membentak,

   "Kun-Lun Sam-lojin, hari ini kalian harus menyusul arwah Guruku!"

   "Iblis wanita kau benar-benar harus dibasmi. Apa kau masih belum kapok dan mencari mampus? Benar-benar menjemukan!"

   Sun Sim San-Lojin marah sekali dan menyerang dengan hudtimnya.

   Dua orang Suhengnya juga cepat maju menyerang sehingga dilain saat tiga orang tokoh Kun-Lun ini telah mengeroyok In Hong. Terjadi pertempuran hebat sekali dan baru beberapa jurus saja, tiga orangKakek Kun-Lun-Pai itu mengeluarkan seruan tertahan. Tak disangkanya bahwa nona ini sekarang, selama kurang dari satu tahun, telah memperoleh kemajuan yang hebat sekali. Yang benar-benar amat mengherankan dan mengagumkan adalah tenaga lweekang dari gadis ini, benar-benar luar biasa kuatnya sehingga tiap kali beradu senjata, tiga orangKakek Kun-Lun-Pai ini merasa tergetar tangannya. In Hong kali ini tidak mau memberi banyak kesempatan kepada tiga orang musuh besarnya yang ia benci. Dengan cepat pedangnya bergerak menyambar-nyambar, tangan kirinya juga dikepal dan mengirim pukulan yang disertai hawa lweekang yang ia pelajari dari Bhutan Koay-jin.

   Baru belasan jurus, ia telah berhasil memukul dada Sun Sim San-Lojin dengan tangan kirinya. Tosu termuda dari Kun-Lun Sam-lojin ini terlalu sembrono dan berani menerima pukulan tangan kosong dengan dada terbuka. Memang sebetulnya ia tidak terlalu singkat pikiran. Dahulu, setengah tahun lebih yang lalu, In Hong masih memiliki lweekang yang tingkatnya dibawah tingkatnya sendiri, maka tak mungkin dalam waktu setengah tahun saja gadis itu akan memiliki lweekang yang luar biasa. Andaikata sudah sangat maju, kiranya pukulan tangan kiri takkan dapat menembus ilmu kebalnya yang disebut tiat-pouw-san (baju besi). Oleh karena mengandalkan ilmu weduk inilah maka Sun Sim San-Lojin berani menerima pukulan In Hong dengan tenang, sebaliknya hud-tim (kebutan) di tangannya menotok ke arah uluhati In Hong!

   "Blekk!"

   Tubuh Sun Sim San-Lojin terlempar ke belakang dan Tosu ini melepaskan hud-timnya, roboh dengan mata mendelik, maka pucat dan dari hidung serta mulutnya keluar darah! Ia telah menderita luka hebat sekali di dalam dadanya dan sukarlah ditolong lagi keselamatan nyawanya. Tentu saja Cu Sim San-Lojin dan Kim Sim San-Lojin menjadi marah sekali. Sambil berseru keras mereka menyerang, bahkan beberapa orang Tosu mulai mendekati In Hong hendak mengeroyok. Melihat ini, In Hong mengamuk makin hebat. Ia tidak ingin membunuh lain orang kecuali tigaKakek yang pernah mengeroyok dan menewaskan Gurunya itu. Pedangnya menyambar laksana kilat dan terdengar Cu Sim San-Lojin menjerit.

   Tadi pedang gadis itu menyambar menyerang leher.Kakek ini yang mengandalkan lweekangnya, cepat menyampok dengan ujung lengan baju dengan maksud membikin pedang terpental sehingga ia dapat membalas dengan serangan maut. Tidak tahunya, ujung lengan bajunya terbabat putus dan pedang itu terus menyerang lehernya. Biarpun ia sudah berusaha mengelak, sia-sia belaka, lehernya terbabat pedang danKakek ini menggeletak dengan leher hampir putus! Kini terdengar seruan-seruan disana-sini dan sebentar kemudian In Hong sudah dikeroyok oleh banyak Tosu yang menjadi marah melihat gadis ini telah menewaskan dua orang Tosu kepala. Akan tetapi menghadapi keroyokan ini, In Hong tidak menjadi keder, bahkan mengamuk makin hebat. Untuk kesekian kalinya, seorang Tosu roboh dan akhirnya setelah mendesak terus, In Hong berhasil merobohkan Kim Sim San-Lojin!

   "Cukup! Hanya mereka bertiga inilah yang hendak kutewaskan, kalian tidak ada urusan denganku, harap mundur!"

   Bentak In Hong sambil memutar pedang sedemikian rupa sehingga beberapa batang toya dan golok para pengeroyok terlempar. Melihat kehebatan ini, para Tosu ada yang merasa gentar dan terbukalah jalan bagi In Hong. Akan tetapi baru saja ia melompat dan hendak keluar dari pekarangan, tiba-tiba ia merasa sambaran angin dari kiri, dibarengi bentakan keras,

   "Siluman betina, kau berani membunuh murid-muridku!"

   In Hong cepat menangkis dengan pedangnya ke kiri.

   "Traang...!"

   Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika pedangnya bertemu dengan sebatang tongkat panjang yang dipegang oleh seorang Tosu tinggi besar yang bertangan putih.

   "Pek Ciang San-Lojin, kau juga turut-turut?"

   In Hong membentak ketika mengenalKakek ini sebagai Ketua dari Kun-Lun-Pai.

   "Bocah keji, kau membunuh-bunuhi murid-muridku, apakah aku harus tinggal diam saja?"

   "Kun-Lun Sam-lojin tiga orang muridmu itu telah mengeroyok dan membunuh Guruku, sekarang aku datang menewaskan mereka untuk membayar hutang, bukankah itu sudah adil dan perhitungan sudah habis? Kau mau apa?"

   Pek Ciang San-Lojin tertawa menyindir.

   "Iblis cilik seperti kau kalau tidak dibasmi, kelak hanya mengotorkan dunia. Kau lebih keji daripada Hek Moli,"

   Kata Pek Ciang San-Lojin dan begitu kata-kata ini ditutup, tongkatnya telah menyerang dengan cepat dan kuat sekali. In Hong dengan mudah mengelak, akan tetapi tiba-tiba sebatang pedang menye-rangnya sebagai susulan penyerangan tongkat tadi. In Hong terkejut. Tak disangkanya bahwa Ketua Kun-Lun-Pai ini benar-benar hebat ilmu silatnya. Entah kapan, tahu-tahu pedang pusaka yang terselip di punggungKakek itu kini telah berada di tangan kiri sehinggaKakek ini memegang dua macam senjata, tongkat panjang di tangan kanan dan pedang pusaka di tangan kiri! In Hong cepat menangkis serangan pedang lawan dan ia mendapat kenyataan bahwa tenaga lweekangnya yang ia dapat dari Bhutan Koay-jin,

   Ternyata hanya cukup untuk mengimbangi tenagaKakek Kun-Lun-Pai ini. Maka ia berlaku hati-hati sekali dan mainkan pedangnya dengan penuh perhatian. Pertempuran kali ini seru sekali. Baiknya yang turun tangan menyerang In Hong adalah Ketua Kun-Lun sendiri sehingga semua Tosu yang berada disitu tidak berani sembarangan turun tangan membantu. Hal ini akan dianggap meremehkan si Ketua saja. Tanpa diminta, tak seorangpun Tosu disitu berani bergerak membantu Pek Ciang San-Lojin. Akan tetapi, toh ada yang membantunya, yakni seorangKakek yang amat tua, bukan lain adalah Siang Te Lokai, susiok dari Ketua Kun-Lun-Pai yang bekerja sebagai tukang sapu kelenteng! Tadinya,Kakek ini tidak membantu, hanya datang menyeret sapunya dan melihat pertempuran itu, ia berseru kagum,

   "Nona cilik, dalam waktu beberapa bulan saja kau sudah dapat memiliki lweekang seperti ini, benar-benar bikin lohu kagum sekali! Biarpun I-Kin-Keng dari Siauw-Lim belum tentu lebih tinggi sumbernya daripada lweekangmu itu!"

   Adapun Pek Ciang San-Lojin yang sudah merasa penasaran dan juga kewalahan menghadapi kelihayan In Hong, ketika melihat kedatangan Siang Te Lokai, lalu berkata keras,

   "Siang Te Susiok! Harap kau segera turun tangan dan robohkan siluman wanita ini."

   Siang Te Lokai mengerutkan keningnya dan bermain dengan sapunya.

   "Aku... aku tidak tega..."

   Katanya kemudian.

   "Susiok, ingat bahwa dahulu gadis ini telah kau lepaskan dan lihat, apa yang menjadi akibat dari perbuatan susiok itu. Ia kini datang dan selain membunuh tiga orang murid kami secara keji, ia masih menewaskan beberapa orang Tosu lagi. Apakah kejahatan seperti ini masih harus diampunkan lagi?"

   Siang Te Lokai menggeleng-geleng kepalanya yang botak lalu dengan apa boleh buat ia menoleh ke arah In Hong,

   "Nona harap kau suka mengalah dan menyerah saja!"

   Akan tetapi mana In Hong sudi menyerah?

   "Aku datang membalas sakit hati Guruku, untuk keperluan ini, aku sudah menyediakan nyawaku sebagai taruhan. Sekarang musuh-musuh besar Guruku sudah tewas, dan aku tidak ingin mencari perkara lagi. Kalau kalian orang-orang Kun-Lun-Pai mau melepas aku pergi, aku selamanya takkan menginjakkan kaki disini lagi. Akan tetapi kalau kalian mau membunuh, cobalah, aku tidak takut."

   Pek Ciang San-Lojin membentak marah dan kembali ia menyerang sambil menyuruh susioknya turun tangan. Siang Te Lokai meloloskan sebatang biting sapunya dan sekali tangannya bergerak, biting itu meluncur cepat melebihi anak panah dan tahu-tahu telah menyerang kaki In Hong!

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Bayangan Bidadari/Sian Li Eng Cu (Cerita Lepas)

   Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   Gadis ini tengah sibuk melayani Pek Ciang San-Lojin sedangkan biting itu datangnya demikian cepat tidak terduga, maka begitu merasa ada angin menyambar ke arah kakinya,

   In Hong terkejut dan cepat menggerakkan kaki. Namun tongkat di tangan Pek Ciang San-Lojin menyodok dadanya sehingga terpaksa ia menangkis dengan pedangnya dan kakinya turun kembali. Tak dapat dihindarkan lagi, biting itu menusuk pahanya. In Hong sudah memiliki singkang yang tinggi, warisan dari Bhutan Koay-jin. Akan tetapi biarpun yang menyerang pahanya itu hanya sebatang biting kecil, namun pelemparnya adalah Siang Te Lokai, seorang tokoh besar yang tingkatnya sudah sejajar dengan Ketua Siauw-Lim-Si dan Bhutan Koay-jin sendiri. Maka, biarpun tidak tepat menusuk paha, biting itu masih melukai kulit ketika menyeleweng karena hawa sinkang dari tubuh In Hong. Kulit dan sedikit daging paha terluka. Baiknya biting itu kecil saja sehingga pakaian yang menutup paha tidak robek, hanya berlubang sedikit.

   Namun rasa perih pada pahanya membuat In Hong terpecah perhatiannya, sehingga ilmu silatnya tidak begitu kuat lagi menjaga dirinya. Padahal, pada saat itu, Siang Te Lokai sudah ikut menyerbu dan menyerangnya dengan sapunya yang lihay! Didesak oleh dua orang pandai ini, mau tidak mau In Hong sibuk juga. Yang membikin ia sibuk sekali adalah sapu di tangan Siang Te Lokai. Memang, cara penyeranganKakek tua ini berbeda sekali dengan cara penyerangan Pek Ciang San-Lojin. Kalau sepasang senjata di tangan Ketua Kun-Lun-Pai ini, yakni tongkat dan pedang, selalu mengarah bagian tubuh yang berbahaya dan kedua senjata ini digerakkan dalam penyerangan yang sifatnya membunuh. Menghadapi gadis yang gagah itu, Pek Ciang San-Lojin tidak mau berlaku sungkan lagi, apapula kalau ia ingat bahwa murid-muridnya telah tewas dalam tangan In Hong.

   Ia tidak ragu lagi untuk menjatuhkan tangan maut. Sebaliknya, penyerangan dari Siang Te Lokai sama sekali tidak mengandung maksud membunuh, hanya ingin membikin gadis itu tidak berdaya saja. Oleh karena ini sapunya hanya menyerang ke arah jalan darah yang melumpuhkan, atau menyapu kaki, menyerang pergelangan tangan dan lain-lain. Justeru inilah yang membikin In Hong bingung dan terdesak. Penyerangan Pek Ciang San-Lojin dapat ia layani dengan cara keras sama keras, sebaliknya penyeranganKakek tua itu benar-benar membikin ia gemas sekali. Kalau ia perhatikan, maka bahaya yang datang dari Pek Ciang San-Lojin menjadi lebih besar, sebaliknya kalau ia tidak ambil perduli, serangan-serangan dariKakek tukang sapu ini sekali mengenai sasaran, ia akan jatuh dan tidak berdaya lagi.

   Karena terdesak terus, akhirnya pundak kiri In Hong terkena sambaran ujung tongkat Pek-Ciang San-Lojin. Gadis ini menggigit Bibirnya dan menahan rasa sakit. Sambungan tulang pundak kirinya terlepas dan tangan kirinya menjadi lumpuh tak dapat digunakan lagi! Pada saat itu, sapu yang lihay dari Siang Te Lokai menyerampang kakinya. In Hong mengeluh dan tubuhnya terguling, cepat menggunakan gerak tipu Teringgiling-turun-gunung. Tubuhnya masih tetap bergulingan dan pedangnya ia siapkan. Ia ingin menggulingkan diri sampai jauh kemudian melarikan diri. Akan tetap, biarpun Siang Te Lokai hanya tertawa dan tidak mau mengejarnya, tidak demikian dengan Pek Ciang San-Lojin. Ketua Kun-Lun-Pai ini tahu akan maksud gadis itu, maka tentu saja ia tidak mau membiarkan In Hong melarikan diri.

   "Siluman betina, hendak lari kemana kau?"

   Serunya dan tubuhnya yang tinggi besar itu melayang, mengejar In Hong yang masih bergulingan. Dengan sekuat tenaga, Ketua Kun-Lun-Pai ini menggerakkan tongkat memukul ke arah kepala In Hong. Gadis ini cepat menggerakkan tubuh mengelak dan batu kecil yang berada di atas tanah terpukul hancur oleh kepala tongkat! In Hong sudah melompat berdiri akan tetapi ia roboh lagi ketika kaki Pek Ciang San-Lojin menyambar lututnya. Pek Ciang San-Lojin mengangkat lagi tongkatnya untuk mengirim pukulan terakhir ke arah kepala In Hong, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan yang cepat sekali dan seorang laki-laki bertubuh gagah berseru keras sambil mengangkat tangan mencegah,

   "Tak semestinya Ketua Kun-Lun membunuh aeorang gadis muda!"

   Pek Ciang San-Lojin memandang. Ia melihat seorang laki-laki tinggi besar beralis tebal yang memandang kepadanya dengan mata bernyala. Sampai beberapa lama ia tidak mengenal laki-laki ini, maka ia menjadi marah.

   "Kau tahu apa tentang urusan kami? Hayo pergi!"

   Dengan mengucapkan kata-kata ini, Pek Ciang San-Lojin mendorongkan tongkatnya ke arah orang itu. Akan tetapi, orang itu tidak mau pergi, bahkan dengan tangannya ia menolak tongkat yang didorongkan ke arah dadanya. Pek Ciang San-Lojin kaget sekali. Tenaga yang keluar dari tolakan tangan itu benar-benar hebat. Mengertilah ia bahwa yang datang ini bukan orang sembarangan.

   "Hm, kau membela siluman ini? Tentu kau konconya dan kau seorang jahat pula! Robohlah."

   Tongkat itu menyerang dengan hebatnya. Mengerti bahwa tongkat lawan ini tak boleh dibuat main-main, orang itu melompat ke belakang dengan cepat, tidak berani menangkis. Pek Ciang San-Lojin melihat orang itu mengelak sambil melompat mundur, mengeluarkan suara ketawa mengejek dan secepat kilat tongkatnya diayun lagi, akan tetapi bukan untuk menyerang orang itu, melainkan unuk menghantam kepala In Hong yang sudah duduk!

   "Celaka...! Jangan ganggu kekasihku...!"

   Orang itu menjerit dan menubruk ke depan, membiarkan tubuhnya yang mewakili In Hong menerima pukulan tongkat itu.

   
Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Bluk! Tubuh orang itu terlempar dan menubruk In Hong. Orang itu merintih perlahan akan tetapi ia masih dapat memeluk tubuh In Hong dan memondongnya! In Hong tadi terkena tendang lututnya, maka gadis ini tidak bisa berjalan. Sekarang, melihat laki-laki itu terpukul hebat oleh tongkat unbuk mewakili dirinya kemudian laki-laki yang sudah terluka hebat ini masih memondongnya, In Hong berkata lirih,

   "Bu Jin Ai... kau baik sekali..."

   Orang itu memang Bu Jin Ai. Kalau tadinya ia merintih dan Bibirnya gemetar menahan sakit, kini ia memandang kepada In Hong, matanya bersinar, wajahnya berseri dan Bibirnya gemetar.

   "Aku akan membelamu, melindungimu, aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menyelamatkanmu, kekasihku... isteriku manis..."

   Melihat adegan aneh ini, Pek Ciang San-Lojin ragu-ragu, mengerutkan kening dan juga merasa jemu sekali.

   "Kalian sepasang manusia iblis, bersiaplah untuk mampus!"

   Serunya marah. Tongkatnya melayang pula, siap untuk menghancurkan kepala Bu Jin Ai dan In Hong.

   "Plak!"

   Tongkat itu bertemu dengan gagang sapu yang dilontarkan oleh Siang Te Lokai.

   "Susiok, mengapa kau mencegah Teecu membunuh dua siluman ini...?"

   Tanya Ketua Kun-Lun-Pai dengan marah. Siang Te Lokai menghampiri mereka dan memandang kepada Bu Jin Ai.

   "Pek Ciang, ketahuilah, orang ini adalah murid dari mendiang Bu Sek Tianglo. Tak baik kalau kita mengganggunya."

   Pek Ciang San-Lojin kaget mendengar ini.

   "Ahh... apakah dia murid Tianglo yang dulu amat terkenal dan she-nya Ong...?"

   Sementara itu, dengan terhuyung-huyung dan mulut bicara mesra, menghibur In Hong dan berjanji hendak mengobati luka-lukanya, Bu Jin Ai meninggalkan tempat itu. Orang ini sebetulnya sudah terluka hebat. Pukulan tongkat dari Pek Ciang San-Lojin yang ditujukan ke arah kepala In Hong dan ia wakili tadi, tepat mengenai punggungnya dan telah mematahkan dua buah tulang iganya. Namun, Bu Jin Ai ini memang seorang yang luar biasa kuatnya. Ia tidak mem-perlihatkan rasa sakit dan tidak memperdulikan dirinya sendiri bahkan ia masih dapat memondong tubuh In Hong dan membawanya pergi dari kelenteng Kun-Lun-Pai. Baiknya Siang Te Lokai mengenalnya dan memperingatkan Pek Ciang San-Lojin, kalau tidak apabila pihak Kun-Lun-Pai mengejar dan menyerang terus, pasti Bu Jin Ai dan In Hong takkan dapat melawan dan menyelamatkan diri lagi.

   "Put Hauw Li, bidadariku jangan kau susah, aku akan merawatmu sampai sembuh..."

   Bu Jin Ai menghibur In Hong yang merasa terharu sekali.

   Orang gagah yang bernama Bu Jin Ai ini telah menyelamatkan nyawanya, bahkan telah mempertaruhkan nyawa sendiri untuk melindunginya dari bahaya maut. Di dalam pondongan orang gagah ini ia merasa demikian aman dan senang. Belum pernah In Hong mendapat perasaan aneh seperti ini, perasaan bahagia bahwa ada orang yang menyintainya, orang yang membelanya mati-matian. Biarpun Bu Jin Ai bersikap seperti orang yang tidak beres otaknya, namun In Hong dapat menduga bahwa orang ini bersikap aneh seperti itu karena telah menderita kesedihan besar. Beberapa kali Bu Jin Ai menyebutnya "Isterinya atau kekasihnya,"

   Mengapa demikian? Apakah barangkali Bu Jin Ai telah kehilangan isterinya?

   "Bu Jin Ai, punggungmu terluka, mungkin tulang igamu patah,"

   Kata In Hong terharu sekali ketika dalam pondongan, tidak terasa tangannya kena meraba punggung orang gagah itu.

   "Tidak apa, hanya dua tulang iga patah, masih cukup murah untuk menebus nyawamu dari tongkat Si tangan putih yang ganas itu,"

   Jawab Bu Jin Ai sambil tersenyum.

   "Bagiku, yang terpenting adalah keselamatanmu. Aku sendiri, ah, aku orang apa? Hanya nyawa lebihan, hanya manusia yang dibenci sana sini, tidak ada orang yang sayang kepadaku."

   Ketika mengeluarkan kata-kata ini, Bu Jin Ai mengerutkan kening dan sinar matanya nampak berduka sekali.

   "Bu Jin Ai, orang sedunia boleh membencimu, akan tetapi percayalah, aku Put Hauw Li tidak akan membencimu selama hidupku."

   "Betulkah? Dan kau... kau suka kepadaku?"

   "Tentu saja. Kau satu-satunya orang di dunia ini yang baik menurut pandanganku, mengapa aku takkan suka?"

   "Bagus! Put Hauw Li, marilah kita berdua pergi jauh, pergi meninggalkan semua keributan ini, pergi meninggalkan kebencian dan permusuhan, kita pergi keluar dunia ramai, hidup berbahagia sebagai sepasang suami-isteri untuk selamanya!"

   In Hong terkejut sekali sehingga ia tersentak kaget. Belum pernah ia berpikir tentang suami-isteri dan kata-kata ini benar-benar mengejutkan hatinya.

   "Hush jangan omong tidak karuan!"

   Tegurnya dan tak terasa tangannya menepuk punggung Bu Jin Ai.

   "Aduuh...! Bu Jin Ai terhuyung-huyung akan tetapi tetap ia memondong tubuh In Hong dan menahan rasa sakit sampai keringat membasahi jidatnya.

   "Ah, maafkan aku, Bu Jin Ai. Aku tidak sengaja... Mari kita mencari tempat yang teduh agar kita bisa saling mengobati. Aku membutuhkan perawatanmu, akan tetapi sebaliknya kaupun perlu dengan perawatanku''.

   "Ada sebuah tempat baik di kaki gunung ini, aku akan membawamu kesana. Kau... kau tidak marah lagi?"

   Muka In Hong menjadi merah sekali, entah mengapa ia sendiri tidak tahu, akan tetapi ia merasa jengah dan malu terhadap orang gagah ini, akan tetapi juga ada sesuatu yang amat mesra terasa di dalam hatinya. Sudah gilakah aku? Demikian In Hong bertanya kepada diri sendiri karena ia dapat menduga bahwa hatinya tertarik serta suka kepada orang ini. Ia merasa begitu aman dan betah dalam pondongan Bu Jin Ai, merasa disayang sekali, merasa berbahagia dapat bersama-sama dengan orang ini!

   "Tidak, Bu Jin Ai, aku tidak marah. Akan tetapi kau jangan bicara yang bukan-bukan lagi."

   Mendengar ucapan ini, Bu Jin Ai tersenyum-senyum dan wajahnya yang gagah itu berseri gembira. Ia seperti mendapat kekuatan baru dan setengah berlari ia turun dari gunung itu, menuju ke sebuah gua besar yang berada di kaki gunung.

   Ia pernah tinggal digua ini, bahkan ia telah membersihkannya dan disitu ia telah menaruh meja kursi dan pembaringan buatan sendiri, beberapa tahun yang lalu. Belum lama Bu Jin Ai dan In Hong meningalkan puncak Kun-Lun-San, seorang pemuda yang cepat larinya datang di kelenteng Kun-Lun-Pai. Pemuda ini berwajah tampan, bertubuh tinggi agak kurus dan di punggungnya terselip sebatang pedang. Dia ini bukan lain adalah Ong Teng San, murid termuda dan tersayang dari Siauw-Lim-pay. Ia menjalankan perintah Suhunya untuk turun gunung dan mengamat-amati sepak terjang In Hong murid mendiang Bhutan Koay-jin yang telah memiliki kepandaian tinggi. Tadinya pemuda ini turun gunung bersama Adiknya, Ong Lian Hong. Akan tetapi ia menyuruh Adiknya itu pulang ke rumah orangtuanya.

   "Lian Hong, kau tentu tahu sendiri bahwa In Hong adalah puteri dari Ibu yang dahulu hilang. Dia tentu berusaha hendak mencari Ibu, juga berusaha hendak membalas dendam atas kematian Ayahnya yang terbunuh oleh Ayah kita. Oleh karena itu, kita harus berpisah. Biar aku yang menjalankan perintah Suhu dan mengamat-amatinya agar ia jangan menimbulkan kekacauan seperti yang diperbuat oleh mendiang Hek Moli dan suaminya. Adapun kau harus pulang ke rumah, mencari tahu tentang Ayah dan Ibu yang sudah amat lama kita tinggalkan. Kemudian kau harus menjaga keselamatan Ibu di rumah. Kasihan Ibu kita..."

   "Baik, koko,"

   Kata Lian Hong. Diam-diam gadis ini merasa terharu sekali dan memuji hati pemuda yang budiman ini. Biarpun Ibu Lian Hong bukan Ibu Teng San, namun pemuda ini amat kasih kepada Ibu tirinya, bahkan dalam urusan dengan Ayahnya, Teng San membela Ibu tirinya. Demikianlah, Lian Hong menuju ke kampung tempat tinggal orangtuanya, sedangkan Teng San melanjutkan perjalanan ke Kun-Lun-San.

   Pemuda ini dapat menduga bahwa setelah kini memiliki kepandaian tinggi, In Hong pasti akan mengunjungi Kun-Lun-Pai untuk membalas dendam atas kema-tian Hek Moli. Bukankah dahulu gadis itu datang ke Siauw-Lim-pay mencuri kitab dengan maksud untuk dipelajari dan kelak dipergunakan melawan Kun-Lun-Pai? Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengarahkan perjalanannya ke Kun-Lun-San. Seperti juga In Hong, pemuda ini berlari cepat dan tidak pernah menunda perjalanannya. Akan tetapi oleh karena In Hong telah berangkat sehari dimuka, tetap saja Teng San datang terlambat. Ia tiba dikelenteng Kun-Lun-Pai setelah In Hong dipondong dan dibawa pergi oleh Bu Jin Ai. Kedatangannya disambut oleh seorang Tosu penjaga. Di ruang tengah terdapat beberapa buah peti mati, hio mengebul dan banyak Tosu bersembahyang dan berdoa. Hati Teng San berdebar tak enak.

   "Totiang, siapakah yang meninggal dunia dan mengapa sekaligus begitu banyak yang meninggal? Ada terjadi apakah?"

   Setelah Tosu itu mendengar bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-Lim-pay, ia tidak menaruh hati curiga dan berkata,

   "Ah, baru saja tempat kami diserbu oleh iblis-iblis jahat."

   Teng San makin gelisah.

   "Totiang, terus terang saja akupun mendapat tugas dari Suhu Bu Kek Tianglo untuk mengamat-amati sepak terjang seorang nona..."

   "Ah! Kau terlambat. Dia itulah yang datang menyebar maut. Bukankah yang kau maksudkan itu nona murid Hek Moli?"

   "Betul, Totiang. Apa yang ia lakukan? Dan dimana ia sekarang?"

   Teng San kini menjadi agak pucat. Ia menyesal sekali bahwa kedatangannya terlambat. Anehnya dalam mengajukan pertanyaan ini, yang terutama sekali teringat olehnya adalah keadaan In Hong! Ia mengkhawatirkan kalau-kalau gadis itu mengalami kecelakaan.

   "Siluman betina itu datang dan mengamuk, menewaskan Kun-Lun Sam-lojin dan beberapa orang saudara lain. Kemudian, setelah Ketua kami keluar dibantu oleh Siang Te Lo-Cianpwe, barulah ia dapat dikalahkan dan terluka. Tentu bocah siluman itu akan dibasmi oleh Ketua kami kalau saja pada saat itu tidak datang pertolongan seorang aneh."

   "Ditolong orang? Siapa yang menolong dan bagaimana kesudahannya, Totiang?"

   Tanya Teng San dan hatinya makin berdebar. Tadinya ia merasa khawatir dan gelisah bukan main, akan tetapi sekarang agak terhibur mendengar bahwa In Hong tertolong orang aneh.

   "Agaknya antara siluman betina itu dan penolongnya memang sudah ada hubungan. Memang aneh sekali. Laki-laki itu biarpun gagah dan tampan, patut menjadi Ayahnya, akan tetapi dasar wanita siluman. Kami sampai menjadi malu melihat sikap mereka yang saling mengutarakan cinta kasih. Benar-benar kurangajar!"

   Hati Teng San terpukul mendengar ucapan ini. Ingin ia menggaplok muka Tosu yang menghina dan memburukkan nama In Hong, akan tetapi Teng San masih dapat bersabar, apalagi ia masih menghendaki penjelasan.

   "Apa yang dilakukan oleh penolongnya itu dan kemana mereka sekarang, Totiang?"

   "Laki-laki penolongnya itu merampas nona tadi dari ancaman tongkat Ketua kami, lalu membawanya lari turun gunung. Setelah mereka pergi baru kami ketahui dari Siang Te Lo-Cianpwe bahwa laki-laki itu bukanlah orang sembarangan. Biarpun kelihatannya seperti orang yang berotak miring, akan tetapi tidak tahunya dia adalah murid dari Bu Sek Tianglo dan shenya Ong..."

   Tiba-tiba Tosu itu membelalakkan matanya dan hampir menjerit karena pundaknya dipegang dengan eratnya oleh jari tangan Teng San, hampir remuk rasanya.

   "Lekas katakan, ke jurusan mana mereka pergi!"

   Kini suara Teng San terdengar penuh ancaman, mukanya pucat sekali. Tosu itu hanya menudingkan telunjuknya ke arah bawah gunung. Teng San melepaskan cenkeramannya dan secepat kilat tubuhnya berkelebat ke jurusan itu. Bagaikan terbang cepatnya Teng San turun gunung untuk mengejar In Hong. Hatinya tidak karuan rasanya. Mungkinkah? Mungkinkah In Hong bersama Ayahnya? Tak salah lagi bahwa orang yang dimaksudkan oleh Tosu tadi adalah Ayahnya.

   Siapa lagi murid Bu Sek Tianglo she Ong kalau bukan Ong Tiang Houw Ayahnya? Akan tetapi, mana mungkin Ayahnya bersama-sama dengan In Hong dan lebih tak mungkin lagi antara mereka ada perhubungan seperti yang dikatakan oleh Tosu tadi! Sama sekali tak masuk akal. Ayahnya adalah musuh-besar In Hong, orang yang telah membunuh Ayah gadis itu, bahkan setelah membunuh Ayahnya, lalu merampas dan mengawini Ibunya! Kalau In Hong bertemu dengan Ayahnya, tentu gadis itu akan membunuhnya, akan mencincang hancur tubuh Ayahnya. Ia dapat mengerti betapa sakit hati gadis itu kepada Ayahnya yang telah membunuh Ayah dan merampas Ibu gadis itu. Bagaimana sekarang ia mendengar dari Tosu Kun-Lun-Pai bahwa Ayahnya menolong In Hong dan bahwa di antara mereka terdapat perhubungan yang memalukan?

   "Tak mungkin!"

   Teng San berseru keras untuk menyangkal semua tuduhan yang menyakitkan hatinya itu. Ia memang tidak puas akan perbuatan Ayahnya yang telah membunuh Kwee Seng kemudian mengambil isterinya, perbuatan ini dianggapnya rendah sekali.

   Akan tetapi kini memikat hati In Hong, puteri dari Kwee Seng? Benar-benar ia anggap keterlaluan dan betapapun juga hatinya tidak rela mengaku bahwa Ayahnya sampai hati melakukan perbuatan macam itu. Setelah mencari dengan penuh perhatian, akhirnya Teng San melihat jejak kaki ditanah yang agak lembek di kaki gunung Kun-Lun. Jejak kaki ini menunjukkan bahwa belum lama di tempat itu berjalan seorang yang membawa barang berat. Ia lalu mengikuti jejak kaki itu dan sampailah ia dimulut sebuah gua yang besar dan gelap, karena ditutup oleh cabang dan ranting pohon dari sebelah dalam. Agaknya ada orang memasuki gua itu dan menutup mulut gua dengan cabang pohon untuk mencegah gangguan binatang buas. Teng San ragu-ragu. Ia hendak membuka cabang-cabang pohon itu akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara orang bicara,

   "Bu Jin Ai, tulang igamu sudah tersambung baik, akan tetapi kau masih harus banyak mengaso."

   Inilah suara In Hong! Teng San masih kenal suara gadis ini. Hatinya berdebar dan ia makin ragu-ragu. Terang bahwa orang yang diajak bicara oleh In Hong itu bukan Ayahnya, karena dipanggil Bu Jin Ai, nama yang aneh dan asing baginya. Tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki tertawa perlahan. Jantung Teng San seakan-akan berhenti berdetik karena tegang dan ragu. Ia menahan napas untuk mendengar dan mengenal suara orang yang tertawa itu.

   "Kau bidadari berhati mulia, pundakmu sendiri terlepas sambungannya dan lututmu juga terluka, akan tetapi kau selalu memperhatikan keadaanku. Eh, bidadariku, apakah sengaja Thian menyuruhmu turun ke bumi untuk mengawani aku orang yang dibenci sesamanya?"

   Itulah suara Ong Tiang Houw, Ayahnya! Hal inipun tidak diragukan lagi oleh Teng San. Tak terasa pula pemuda ini jatuh bersimpuh di atas tanah. Kedua kakinya terasa lemas dan mukanya pucat seperti mayat. Akan tetapi ia masih mendengar suara mereka bercakap-cakap,

   "Bu Jin Ai, kau sudah menolong nyawaku, bukan aku yang baik, melainkan kau lah orang terbaik dan termulia di dunia ini. Yang lain-lain itu palsu belaka. Aku sebatangkara, kau seorang-diri, nasib kita sama, selalu bertemu musuh dan selalu sengsara. Aku senang sekali dapat bertemu denganmu, Bu Jin Ai."

   Suara ini mengandung kemesraan yang mengharukan, karena begitu jujur dan setulusnya. Kembali laki-laki itu tertawa.

   "Memang kita sudah berjodoh agaknya... heran sekali aku, kau serupa benar dengan dia..."

   "Bu Jin Ai, kau mulai mengaco lagi. Selalu kau sebut-sebut aku sama dengan orang lain. Aku tidak perdulikan orang lain!"

   "Ha, kau cemburu?"

   "Cih! Siapa perduli? Sudahlah, kau harus tidur, keadaanmu lemah sekali,"

   Terdengar suara In Hong membujuk. Teng San tak dapat menahan lagi gelora hatinya. Ia merasa jemu, malu, marah, menyesal, kecewa dan penasaran sekali. Pendeknya semua perasaan tidak enak berkumpul di dalam hatinya, membuat ia menjadi pucat.

   

Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pedang Kayu Harum Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini