Cheng Hoa Kiam 18
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Setelah berkata demikian tangan Tung-hai Sian-li bergerak dan......"sratt!"
Pedangnya telah dicabutnya!
Karuan saja Wi Liong menjadi makin bingung dan gugup. Akan tetapi pemuda ini memang aneh. Begitu menghadapi kekasaran atau kesombongan, semangatnya tiba-tiba bangkit kembali maka ia berkata dengan suara dingin,
"Tung-hai Sian-li, kau ikut-ikutan mencampuri urusan kami ada sangkut-paut apakah? Kuharap kau suka meninggalkan kami dulu karena aku ada urusan penting untuk dibicarakan dengan Kwa-lo-enghiong. Nanti kalau sudah selesai urusan kami boleh kalau kau hendak bicara denganku."
Tung-hai Sian-h bagaikan dibakar isi dadanya. Mukanya makin merah dan matanya yang bagus jeli itu berapi-api.
"Setan kurang ajar! Kau dan pamanmu telah menghina Siok Lan anakku! Kau hendak bicara dengan suamiku sama saja bicara dengan aku!"
Kalau saat itu lantai yang diinjaknya tiba-tiba amblas, kiranya Wi Liong tidak akan sekaget ketika mendengar brondongan kata-kata yang sama sekali tak diduga-duganya ini! Celaka tiga belas setengah! Dia yang bertugas menjadi duta perdamaian, yang diharapkan akan dapat meredakan kemarahan fihak keluarga Kwa yang tersinggung kehormatannya karena kejalaian pamannya, bukannya meredakan kemarahan malah sebaliknya memperbesar nyala api. Dia telah bersikap kurang ajar kepada nyonya rumah, ibu Siok Lan atau isteri Kwa Cun Ek yang dianggapnya orang lain yang usil mulut! Tanpa terasa, matanya terbelalak mulutnya ternganga dan otomatis tangannya bergerak ke belakang menggaruk- garuk kepala di belakang telinga yang sebetulnya tidak gatal.
"A...... a......pa........ ba...... gaimana.........?"
Dia bertanya ap-ap-ep-ep tidak karuan saking gagapnya.
Sementara itu, Kwa Cun Ek sudah dapat meredakan guncangan hatinya ketika ia mendengar bahwa pemuda ganteng lemah-lembut yang berdiri di depannya ini bukan lain adalah bekas calon mantunya. Ia menyentuh lengan isterinya untuk menyabarkan hati isterinya itu, melangkah maju setindak dan berkata, suaranya sekarang kaku dan sikapnya angkuh.
"Thio Wi Liong, kau datang mencari aku sebetulnya mau apakah?"
Wi Liong mengerutkan kening, mengerahkan seluluh tenaga otaknya untuk mengingat-ingat hafalannya. Akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba saja ia kehilangan semua itu. Kata-kata yang sudah dirangkai dan dihafalkan di luar kepala di warung teh tadi, kini lenyap sama sekali. Otaknya tiba-tiba menjadi tumpul. Ia memeras otak sampai keringat sebesar kacang-kacang hijau berkumpul di dahinya, namun tetap tak dapat ia mengingat rangkaian kata-kata itu. Akhirnya ia berkata sekenanya,
"Saya diutus oleh paman Kwee untuk meminta maaf atas kekhilafan paman karena paman telah mendengar omongan orang jahat. Paman Kwee menyesal sekali telah........ telah memutuskan perjodohan......... dan......... dan......... ya sudah cukup begitulah.........!"
Wi Liong menghapus keringatnya dari muka dengan ujung bajunya. Agaknya terlalu keras ia menghapus sehingga kulit mukanya menjadi merah sekali ketika ia menurunkan tangan yang menggosok muka.
"Hemmm...... pamanmu benar-benar telah melakukan hal yang amat ceroboh. Betapapun juga, aku masih dapat memaklumi mengingat bahwa dia telah buta sehingga tak dapat membedakan antara kebohongan dan sungguh-sungguh. Akan tetapi selain minta maaf. apakah tidak ada pesan lain tentang ikatan yang sudah ia putuskan?"
"Ti........ tidak.........!"
Wi Liong membohong dengan suara perlahan sehingga untuk menguatkan pernyataannya, ia menggeleng kepalanya keras- keras. Terpaksa ia membohong. Sebenarnya pamannya masih amat ingin berbesan dengan kakek gagah ini, masih ingin menyambung kembali ikatan jodoh yang telah diputuskan oleh pamannya. Akan tetapi bagaimana ia dapat menerima penyambungan kembali kalau seluruh jiwa dan hatinya sudah terikat oleh Bu-beng Siocia (Nona Tak Bernama)? Sekarang sudah terlanjur, kebetulan ada kesempatan baik ini, setelah ikatan terputus oleh pamannya, biarlah tinggal terputus sehingga leluasa baginya untuk mencari Nona Tak Bernama!
Jawabannya yang kelihatan dipaksakan ketika mengatakan "tidak"
Tadi. tidak lepas dan pandang mata Tung-hai Sian-li yang amat tajam. Bagi nyonya gagah ini. lebih suka ia bermantukan Kun Hong dari pada Wi Liong yang biarpun sudah ia saksikan kelihaiannya, namun sikapnya terlalu lemah-lembut, kurang gagah. Apa lagi terutama sekali karena Kun Hong sudah pernah menolongnya maka hati nyonya ini lebih condong kepada Kun Hong. Ia melangkah maju dan berkata kepada Wi Liong, suaranya keras menuntut kepastian.
"Orang muda katakan sejelasnya. Pamanmu itu mengharapkan disambungnya kembali tali perjodohan antara kau dan anakku atau tidak? Jawab yang betul, tak perlu ragu-ragu dan sungkan-sungkan!"
Kwa Cun Ek mengangguk-angguk menyetujui ucapan isterinya. biarpun ia anggap hal itu terlalu kasar.
Terjadi perang dalam kepala Wi Liong, perang antara kebaktian terhadap pamannya yang menjadi pengganti orang tuanya dan cinta kasih yang mendalam terhadap Nona Tak Bernama. Seperti biasa dan sering kali terjadi dalam hati para muda, cinta kasihlah yang menang. Pemuda yang selama hidupnya diajar jangan membohong dan yang memang belum pernah membohong itu, kali ini terpaksa membohong karena beratnya desakan cinta kasih yang membara di dalam hatinya. Ia menggeleng sebagai pengganti jawaban "tidak"!
Berubah wajah Kwa Cun Ek, Ia merasa tersinggung dan penasaran, juga amat marah. Kwee Sun Tek yang selama ini dianggapnya sahabat sejati, seorang gagah perkasa yang amat ia hormati, ternyata sekarang malah menjadi satu- satunya orang di dunia yang berani menghinanva secara luar batas. Mula-mula melontarkan fitnahan keji dan kotor terhadap puterinya, lalu membatalkan pertunangan dan sekarang biarpun minta maaf, namun pada hakekatnya masih tetap menghinanya buktinya tidak mau menyambung kembali ikatan yang telah dipatahkannya secara paksa dan kasar!
"Dan sekarang, orang muda."
Tung-hai Sian-li melanjutkan kata-katanya, senyum di bibirnya yang manis itu penuh ejekan.
"bagaimana dengan pendapatmu sendiri? Apakah kau tidak mempunyai niat untuk menyambung kembali ikatan jodohmu yang diputus karena kebodohan pamanmu?"
Dapat dibayangkan betapa sukarnya mulut Wi Liong menjawab pertanyaan yang bagaikan ujung pedang runcing ditodongkan di depan ulu hatinya ini. Akan tetapi wajah Nona Tak Bernama terbayang di depan matanya, maka sambil meramkan matanya ia menjawab pasti.
"Yang putus biar putus, aku menurut kehendak paman."
Terdengar isak makin keras lalu disambung Cepat Kwa Cun Ek dan Tung-hai Sian-li menengok, juga Wi Liong memandang ke dalam dengan hati tak enak. Sejak tadi ia sudah khawatir.kalau-kalau akan mendengar bekas tunangannya menangis atau melihat munculnya tunangan itu. Betapapun juga. diam-diam ia merasa kasihan kepada tunangannya yang belum pernah dilihatnya itu gadis yang sama sekali tidak berdosa akan tetapi secara tak berdaya telah "diikatkan"
Kepadanya!
"Siok Lan.........! Ke sinilah kau dan lihat macam apa manusia yang pernah menjadi tunanganmu!"
Teriak Tung-hai Sian-li yang sudah marah sekali kepada Wi Liong dan Kwee Sun Tek.
Terdengar isak makin keras lalu disambung suara campur sedu-sedan.
"Ti...... tidak, ibu........ aku tak sudi lagi melihat mukanya......!"
"Bu Beng Siocia.........!"
Suara Wi Liong bukan seperti suara orang ketika ia mengeluarkan sebutan ini. Dan pada saat itu berkelebat bayangan orang di dalam rumah orang yang melarikan diri ke belakang dengan cepat sekali. Wi Liong yang mendengar suara itu sudah mengenal gadis pujaannya, sekarang melihat bayangan tubuh langsing tinggi dengan rambut dibungkus sutera di bagian atas, tidak ragu- ragu lagi. Seketika ia menjadi limbung, semangatnya seperti meninggalkan tubuhnya dan mukanya berobah pucat seperti kertas putih.
"Bu Beng Siocia.......! Aahhhh........ apa yang telah kulakukan.........?"
Dua kali ia memukul kepalanya sendiri dengan kedua tangannya sampai pipinya menjadi bengkak-bengkak dan darah mengalir dari mulutnya. Kemudian seperti orang gila ia menubruk maju, lari pesat sekali memasuki rumah dan mengejar ke belakang sambil berteriak-teriak.
"Bu Beng Siocia........! Bu Beng Siocia......!!"
Tung-hai Sian-li dan suaminya saling pandang dengan muka pucat, kemudian mereka juga lari cepat mengejar. Akan tetapi mereka tertinggal jauh sekali oleh Wi Liong yang sudah mengejar laksana kilat menyambar cepatnya.
"Bu Beng Siocia.........!"
Wi Liong berteriak lagi setelah ia dapat mengejar dekat.
"Jangan kejar aku..........! Tak sudi aku melihat mukamu..........!!"
Siok Lan berkata dengan isak tangisnya menyesakkan dada. Gadis ini mengerahkan seluruh ginkangnya untuk lari secepat mungkin dari tempat dan orang yang amat dibencinya karena orang yang amat dicintanya ini telah menghinanya sehebat- hebatnya.
"Tunggu......... Siok Lan......... tungguuu......... siapa sangka kau Siok Lan??"
Terengah-engah Wi Liong berkata karena pukulan batin yang diderita pada saat itu melebihi tenaga yang ada padanya. Setelah dapat menyusul, ia menyambar tangan gadis itu dan sekali sentakan saja gadis itu telab didekapnya.
"Bu-beng Siocia...... Siok Lan....... kau tunanganku sendiri....... kau....... kau ampunkan aku, Siok Lan........."
Untuk beberapa detik Siok Lan menangis tersedu-sedan di atas dada orang yang paling dicintanya dan juga paling dibencinya itu. Kemudian ia merenggutkan tubuhnya dari pelukan Wi Liong.
"Keparat jahanam tak tahu malu! Jangan kau sentuh aku! Siapa sudi padamu.........? Minggir!"
Siok Lan menendang keras sekali dan tepat mengenai perut Wi Liong yang tidak mau mengelak atau menangkis. Tubuh pemuda itu terlempar dan membentur batu karang yang berada di belakangnya, roboh terguling -guling. Mukanya yang sudah bengkak itu lecet- lecet, akan tetapi dia bangun kembali. Melihat Siok Lan sudah lari lagi cepat iapun melompat dan mengejar.
"Siok Lan......... pujaanku......... Siok Lan.........!"
Ia mengejar terus.
Sambil menangis Siok Lan terus berlari. Gadis ini hancur hatinya. Dahulu ketika ia bertemu dengan pemuda yang menjatuhkan hatinya ini, pemuda yang sebenarnya adalah tunangannya sendiri akan tetapi begitu bodoh sehingga tidak mengenalnya, ia sengaja mempermainkan Wi Liong, ia sudah bersiap-siap untuk mempermainkan tunangannya dan pada saat Wi Liong datang ke Poan-kun untuk membatalkan pertunangannya seperti telah dijanjikan pemuda itu kepadanya, ia akan muncul, tidak saja mencegah pemuda itu membatalkan, juga.akan mentertawakannya dan ia sudah membayangkan betapa akan lucu kemudian mesra pertemuan itu Akan tetapi, celaka sekali, paman pemuda itu telah mendahuluinya, telah merusak rencananya dengan pembatalan ikatan jodoh!
Kalau paman pemuda itu yang membatalkan hal itu bukan main-main lagi dan merupakan penghinaan besar. Apa lagi kini Wi Liong muncul bukan untuk memenuhi janjinya dulu, bukan merupakan pemuda yang hendak membatalkan perjodohan karena cinta kepadanya Akan tetapi sebagai pemuda utusan pamannya yang biarpun sudah mengakui kesalahannya, namun tetap tidak ada niatan untuk menyambung kembali ikatan jodoh. Alangkah hebat penghinaan ini dan betapapun besar cinta kasihnya kepada Wi Liong, tak mungkin ia dapat melanjutkan perjodohan itu. Menyambung kembali berarti mencemarkan kehormatan dan nama orang tuanya, berarti menjatuhkan penghinaan yang sebesar-besarnya di atas kepala ayah bundanya yang terkenal sebagai jago-jago di dunia kang-ouw!
"Tidak.......... minggat kau. Aku benci kepadamu, benciiii......... tak dengarkah engkau...?"
Akan tetapi Wi Liong terus mengejar. Siok Lan adalah seorang gadis yang keras hati, lebih keras dari ibunya. Melihat bahwa tak mungkin ia dapat lari dari Wi Liong yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari padanya, ia menjadi nekat. Dengan gerakan tiba-tiba ia mencabut pedangnya dan membalikkan tubuh lalu sambil memekik.
"Mati kau........!"
Ia menyabetkan pedangnya membuta ke arah Wi Liong. Pemuda ini dalam keadaan setengah sadar karena hebatnya tekanan batin yang dideritanya, tidak mengelak sehingga dengan tepat pedang itu membacok paha kirinya.
"Cappp.........!"
Wi Liong roboh terguling, darah mengucur deras dari luka di pahanya. Baiknya pemuda ini sudah menggembleng diri secara hebat sekali sehingga biarpun ia tidak mengerahkan lweekang atau tenaga untuk menahan sabetan, namun hawa sinkang di tubuhnya membuat urat-uratnya kuat dan dagingnya otomatis dapat menahan serangan dari luar sehingga ia hanya menderita luka di luar saja yang berdarah banyak. Lain orang tentu sudah putus pahanya disambar pedang gadis itu.
"Bunuh aku....... kau bunuh saja aku......!"
Kata Wi Liong dengan pucat ketika ia roboh terguling.
Melihat darah, Siok Lan menjadi makin kalap. Ia mengangkat pedangnya, siap ditusukkan ke arah leher pemuda yang pada saat itu amat dibencinya. Akan tetapi, pada saat ujung pedang sudah mendekati tenggorokan Wi Liong, pandang mata Siok Lan bentrok dengan sinar mata pemuda itu yang menatapnya penuh kedukaan dan cinta kasih. Naik sedu-sedan di kerongkongan Siok Lan membuat tangannya menggigil dan ujung pedang itu menurun, melukai kulit dada Wi Liong dan merobek bajunya. Pada saat itu. dari jauh sudah muncul Kwa Cun Ek yang berteriak nyaring, Siok Lan.........!!"
Gadis itu kaget, membalikkan tubuh dan lari lagi secepatnya. Wi Liong melompat bangun, agak terpincang namun berkat ginkangnya yang luar biasa tingginya, sudah dapat berlari lagi cepat sekali walau terpincang-pincang. Darah menetes di atas tanah, di sepanjang jalan yang dilaluinya. Darah segar, sebagian besar dari paha kirinya dan sebagian dari dadanya. Kepalanya serasa dipukuli palu besar, berdenyut-denyut sakit. Ini adalah akibat pukulannya sendiri tadi, pukulan yang dilakukan dengan keras dan dalam keadaan menyesal, duka dan marah kepada diri sendiri. Pukulannya sendiri ini di luar kesadarannya telah melukainya sendiri, luka yang tidak seberapa akan tetapi karena mengguncang otak, menjadi hebat dan berbahaya!
Melihat pemuda itu sudah mengejar sampai ke dalam hutan di sebelah timur kota Poan-kun, Siok Lan menjadi bingung. Akhirnya, setelah Wi Liong sudah dapat terdengar napasnya yang terengah-engah di belakangnya, Siok Lan mengambil keputusan nekat lalu melompat ke dalam sebuah jurang!
"Bu-beng Siocia......!"
Pekik yang dikeluarkan oleh Wi Liong ini hebat sekali, seperti raung seekor singa terluka. Dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata, pemuda ini melompat, melempar diri terjun ke.dalam jurang itu, kedua kakinya mengait akar pohon dan tangannya menangkap tubuh Siok Lan. Semua ini terjadi dalam beberapa detik saja dan apa yang dilakukan oleh Wi Liong ini kiranya hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah tak memperdulikan kematian lagi. Dalam keadaan sadar, kiranya takkan dapat dilakukan olehnya, sungguhpun kepandaiannya amat tinggi. Perbuatan yang dilakukan oleh Wi Liong ini biarpun mengandalkan kepandaian tinggi, namun terutama sekali berkat kenekatan yang luar biasa terdorong oleh putus asa. Melihat kekasihnya melempar diri ke dalam jurang. Wi Liong cepat menyusul dan melompat pula. Karena kepandaiannya tinggi, lompatannya demikian cepatnya sehingga ia dapat menyusul Siok Lan dan ketajaman perasaannya membuat ia ingat untuk mengaitkan kaki kepada apa saja yang dapat menahan tubuhnya, kemudian ia berhasil untuk menyambar pinggang Siok Lan pada saat itu juga!
"Lepaskan aku. keparat!"
Siok Lan meronta-ronta. Gadis ini sudah mengambil keputusan nekat untuk mati saja. Ia menggunakan kedua tangan untuk memukul, dan kedua kakinya menendang-nendang. Sayang pedangnya sudah terlempar lenyap ketika ia melompat ke dalam jurang tadi, kalau tidak agaknya ia akan menggunakan pedangnya itu.
Betapapun tinggi kepandaian Wi Liong, dipukul dan ditendang oleh gadis yang berilmu tinggi juga itu, tak dapat ditahan lebih lama lagi. Lebih-lebih karena kaki kirinya terasa lumpuh, agaknya terlampau banyak darah keluar. Tubuhnya mulai gemetar menggigil dan sukar baginya untuk mempertahankan diri lagi. Akan tetapi ia tidak mau melepaskan tubuh kekasihnya.
"Jahanam, lepaskan aku!"
Teriak Siok Lan sambil memukul-mukul lagi sekenanya.
Pada saat itu. Kwa Cun Ek dan isterinya sudah tiba di pinggir jurang dengan muka pucat dan napas terengah-engah.
"Lan-ji...........!"
Kwa Cun Ek berseru kaget melihat keadaan puterinya, dipegang pinggangnya oleh kedua tangan Wi Liong yang menggantungkan kaki pada akar pohon di tebing jurang, kira-kira sepuluh kaki dalamnya dari atas. Kalau cekalan Wi Liong terlepas, atau kalau pemuda itu jatuh ke bawah......... tentu akan celaka puterinya!
"Siok Lan.........jangan pukul dia.........!"
Tung-hai Sian-li juga memekik kaget dengan muka pucat. Kemudian wanita ini hampir pingsan menyembunyikan mukanya di dada suaminya, terisak. Mereka tak berdaya menolong.
Mendengar seruan-seruan mereka, pikiran Wi Liong yang sudah gelap dan tidak karuan itu seperti mendapat sinar terang. Cepat ia mencengkeram pinggang gadis itu dengan tangan kiri. melepaskan tangan kanan dan begitu tangan kanannya bergerak, ia sudah menotok jalan darah Siok Lan sehingga gadis ini tak dapat bergerak lagi.
"Kwa-lo-enghiong. awas, terimalah puterimu.........!"
Seru Wi Liong yang mengerahkan seluruh tenaga kepada dua lengannya, kemudian melemparkan tubuh Siok Lan ke atas sepenuh tenaga. Tubuh itu melayang ke atas melampaui mulut jurang. Kwa Cun Ek cepat menyambar tubuh puterinya yang lalu dipeluk dan ditangisi Tung-hai Sian-li. Akan tetapi ketika Kwa Cun Ek menengok ke bawah, ia meramkan matanya melihat betapa berbareng dengan terlemparnya tubuh Siok Lan ke atas, kaitan kaki Wi Liong pada akar itu terlepas dan tubuh pemuda itu meluncur ke bawah sampai lenyap dari pandangan mata!
Kwa Cun Ek menahan napas dan membuka lagi matanya yang menjadi basah. Ia tidak mengerti apakah sebetulnya yang sudah terjadi maka demikian aneh sikap Wi Liong dan Siok Lan. Betapapun juga, Wi Liong telah merenggut nyawa Siok Lan dari maut dengan pengorbanan nyawa sendiri, agaknya. Karena, bagaimana orang masih dapat hidup setelah terjatuh ke dalam jurang sedemikian dalamnya?
Akan tetapi ia tak dapat berbuat sesuatu, malah hendak menjaga agar Siok Lan jangan sampai tahu lebih dulu akan kengerian yang terjadi pada diri pemuda aneh itu. Ketika ia memandang puterinya, gadis itu sudah dibebaskan pengaruh totokannya oleh ibunya, akan tetapi Siok Lan telah roboh pingsan. Dengan hati tidak karuan rasa, suami isteri itu lalu membawa pulang Siok Lan, kemudian setelah gadis itu direbahkan di dalam kamarnya dan dirawat oleh ibunya. Kwa Cun Ek lalu pergi ke hutan itu, untuk mencari mayat Wi Liong agar ia dapat mengurus penguburannya secara baik-baik. Tung-hai Sian-li, biarpun biasanya berhati baja. kali ini menyetujui kehendak suaminya, malah mendesak suaminya berangkat cepat-cepat agar jenazah pemuda itu tidak menjadi korban binatang buas. Pesanan ini ia ucapkan dengan air mata berlinang.
Akan tetapi, menjelang senja, Kwa Cun Ek pulang dengan muka lesu dan tangan kosong.
Isterinya menyambut di ruangan depan.
"Lan-ji sudah siuman, menangis saja lalu sekarang sudah tertidur. Bagaimana usahamu mencarinya.......?"
Berkata Tung-hai Sian-li perlahan.
Kwa Cun Ek menggeleng kepalanya dengan sedih."Agaknya kekhawatiranmu telah terbukti. Aku hanya melihat bekas-bekas darah...... dan robekan-robekan pakaian...... tapi tidak menemukan jenazahnya....... agaknya....... kutakut....... jenazahnya digondol binatang buas............"
Kwa Cun Ek tak dapat melanjutkan kata-katanya karena keharuan membuat kerongkongannya tersumbat.
Tung-hai Sian-li mendekap mulut sendiri agar jangan mengeluarkan suara tangisan. Akan tetapi dari celah-celah jari dan ujung lengan baju yang dipakai menutupi mulut dan mata. mengalir butiran-butiran air mata.
Keharuan suami isteri ini diakhiri dengan tidur karena lelah. Baru menjelang subuh mereka dapat tidur. Tekanan-tekanan batin membuat mereka lelah. Setelah mereka bangun, keharuan itu berganti dengan panik dan gelisah karena kamar Siok Lan telah kosong! Gadis itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas!
"Siok Lan.........!"
Tung-haa Sian-li menjerit dan di lain saat wanita ini sudah berlari cepat meninggalkan rumahnya.
"Hui Goat.........!!"
Suaminya memanggil sambil mengejair keluar.
"Aku takkan pulang sebelum bertemu dengan Siok Lan!"
Kata Tung-hai Sian-li sambil mempercepat larinya. Kwa Cun Ek menarik napas panjang berkali-kali sambil berdiri mematung di depan rumahnya. Kemudian, beberapa orang tetangganya melihat orang gagah ini pergi meninggalkan rumahnya, menggendong sebuah bungkusan kuning terisi bekal perjalanan. Setelah Siok Lan dan Tung-hai Sian-li pergi, untuk apa dia tinggal di rumah? Ia harus menemukan mereka, kalau tidak, biar dia tak usah pulang, sampai mati.........! Memang, peruntungan manusia tidak tentu, terputar seperti roda, sebentar di atas sebentar di bawah. Ini mengingatkan orang agar jangan menjadi congkak sombong di waktu jaya dan jangan putus asa dan kecil hati di waktu menderita.
"Pak tua, tolong kau urus baik-baik kudaku ini. aku hendak mendaki ke puncak. Ini uang untuk biayanya, kalau nanti aku turun dan mendapatkan kudaku terawat baik-baik akan kuberi hadiah lagi. Dan sekalian aku titip sekantong uang ini, awas jangan hilang"
Demikian pesan Kun Hong kepada seoramg petani miskin yang tinggal di kaki Bukit Wuyi-san.
Tentu saja petani tua yang miskin itu girang menerima hadiah uang perak hanya untuk meiawat kuda beberapa hari saja. Akan tetapi kegirangannya menjadi ketakutan dan kekhawatiran ketika ia melihat sekantong uang perak dan emas itu dititipkan kepadanya. Selama ia hidup, sampai lima puluh tahun lebih, jangankan melihat, mimpipun belum pernah ia melihat uang sebanyak itu!
Setelah Kun Hong pergi, petani itu dengan badan menggigil menyimpan uang sekantong nu ke dalam biliknya di dalami pondok yang butut. Memang aneh orang begitu miskin dalam pondok begitu butut menyimpan uang emas dan perak yang kiranya kalau dibelikan pondok seperti itu. bisa dapat beberapa ratus buah berikut tanahnya! Padahal untuk makan setiap harinya saja kadang-kadang kakek ini dipaksa berpuasa karena tidak ada yang dimakan!
Kun Hong sengaja meninggalkan kudanya kepada petani itu. Ia tidak mau memaksa kuda yang haik itu kehabisan tenaga mendaki bukit Dengan jalan kaki, mempergunakan ginkangnya ia akan dapat mencapai puncak lebih cepat lagi Kuda itu merupakan binatang tunggangan yang amat baik, laginya ia merasa mempunyai kawan dalam perjalanan Juga uang itu ia tinggalkan, karena untuk apa sih membekal uang mendaki puncak Wuyi-san? Paling-paling hanya akan menimbulkan kecurigaan kepada Kwee Sun Tek atau Wi Liong, terutama sekali Thian Te Cu.
Dengan ginkangnya yang istimewa, cepat sekali Kun Hong sudah mendaki puncak Wuyi-san. Sambil berlari naik, ia mengatur siasat. Saat ini, tidak perlu ia bersikap kasar dan tidak perlu menantang Wi Liong. Kedatangannya ini terutama sekali hendak mencari keterangan perihal Beng Kun Cinjin yang menurut keterangan ayah angkatnya pada saat kematiannya adalah ayahnya sendiri yang telah membunuh ibunya! Ia menjadi bingung kalau memikirkan hal ini. Ia harus dapat membuka rahasia ini dan harus mengetahui lebih dulu sedalam-dalamnya sebelum ia mengambil tindakan atas diri Beng Kun Cinjin. Kalau memang betul Beng Kun Cinjin membunuh ibunya, ia akan mencari hwesio itu dan akan membunuhnya biarpun ia itu ayahnya sendiri biarpun ia itu sudah mengobatinya!
Ketika ia tiba di puncak dan rumah tinggal Thian Te Cu sudah di depan mata, Kun Hong memperlambat larinya dan akhirnya ia memasuki halaman dengan amat hati-hati. Tiba-tiba ia berhenti dan memandang ke sebelah kiri bangunan batu kuno itu. Di atas sebuah batu yang bentuknya bundar, duduk Kwee Sun Tek yang buta. Orang tua ini duduk tak bergerak seolah-olah sudah berubah menjadi patung, pada wajahnya terbayang kekesalan hati. Kerut-merut di pinggir matanya mendatangkan keharuan dalam hati Kun Hong, perasaan yang dahulu tak pernah dialaminya. Entah mengapa, melihat orang tua buta yang duduk seorang diri di tempat sunyi, kelihatan sedih itu, menimbulkan, rasa kasihan di dalam hatinya. Akan tetapi hanya sebentar saja karena pada dasarnya watak Kun Hong amat periang.
Kun Hong menghampiri orang tua itu. menjura di depannya dan berkata.
"Kwee Sun Tek lo-enghiong, aku Kun Hong datang memberi hormat!"
Hanya kulit muka itu saja bergerak sedikit, tubuhnya tetap diam. Lalu terdengar Kwee Sun Tek menarik napas panjang.
"Murid Thai Khek Sian lihai, aku si buta takkan dapat melawanmu. Bocah kurang ajar, kau datang lagi apakah hendak menimbulkan lain keonaran?"
"Tidak, sekali saja sudah cukup. Aku bertobat takkan mempermainkanmu lagi karena akibatnya cukup memusingkan aku sendiri. Kwee-lo enghiong. aku sengaja datang ini untuk minta pertolonganmu."
Kalau saja Kwee Sun Tek tidak buta, tentu ia akan membuka matanya lebar-lebar saking herannya. Pemuda murid Thai Khek Sian ini memang aneh sekali. Aneh, lihai dan jahat seperti iblis, seperti juga gurunya, Thai Khek Sian yang menjadi benggolan atau datuk kaum sesat.
"Bocah setan, kau berjanji takkan mempermainkan orang, akan tetapi kata-katamu ini bukankah sudah merupakan main-main? Jangan keterlaluan, pengakuanku bahwa aku takkan menang melawanmu bukan berarti bahwa Kwee Sun Tek takut padamu!"
Kun Hong menghela napas. Sikap orang buta ini gagah, mengingatkan ia akan ayah angkatnya yang juga gagah perkasa.
"Tidak, Kwee-lo-enghiong. Sungguh mati aku tidak main-main dan aku datang betul-betul mengharapkan bantuanmu."
Suara pemuda ini terdengar sungguh-sungguh membuat hati Kwee Sun Tek menjadi bimbang.
"Orang muda yang aneh bantuan apa yang dapat diberikan seorang buta kepadamu?"
"Hanya sedikit keterangan tentang seorang bernama Beng Kun Cinjin........."
"Prakkk.......!!"' Kwee Sun Tek menghantamkan tangan kanan yang dimiringkan ke arah batu karang yang didudukinya sehingga pinggir batu karang itu hancur! Orang tua buta ini tak dapat menahan kemarahannya ketika mendengar nama musuh besarnya yang dibencinya itu.
Kini giliran Kun Hong yang memandang penuh keheranan. Ia teringat akan pesan ayah angkatnya supaya bertanya kepada Kwee Sun Tek. Ternyata betul, tentu ada apa-apa di antara orang tua buta ini dengan Beng Kun Cinjin.
"Kwee-lo-enghiong. kenapa kau menjadi marah-marah mendengar nama Beng Kun Cinjin?"
Tanyanya penuh ingin tahu.
"Orang muda, kau ada hubungan apa dengan Beng Kun Cinjin maka kau menanyakan dia?"
"Dia......... dia itu.........musuhku."
Jawab Kun Hong, tidak berani ia mengakui Beng Kun Cinjin sebagai ayahnya.
"Musuhmu............?"
Kali ini Kwee Sun Tek benar-benar kelihatan kaget dan heran sekali. Memang jawaban ini sama sekali tidak pernah disangkanya.
"Dia...... dia telah membunuh ayah......."
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kam Ceng Swi dibunuhnya pula? Keparat jahanam! Orang muda, kau melihat di manakah? Hayo katakan, di mana adanya jahanam Beng Kun Cinjin sekarang?"
Diberondongi pertanyaan-pertanyaan ini Kun Hong menjawab tenang "Di Pegunungan Bayangkari, akan tetapi sekarang ia telah melarikan diri, entah ke mana. Kwee-lo-enghiong, sebelum ayah meninggal, dia berpesan supaya aku datang kepadamu untuk bertanya tentang Beng Kun Cinjin. Ternyata kaupun agaknya sakit hati kepadanya.
"
"Sakit hati? Ah. orang muda dendamku bertumpuk-tumpuk dan aku tidak mau mati sebelum melihat dia terbunuh!"
Kwee Sun Tek nampak bernafsu sekali, kemudian ia dapat meredakan pikirannya dan berkata lagi.
"Ayahmu betul. Hanya aku yang dapat menceritakan kepadamu tentang iblis itu. Kau duduklah dan dengarkan ceritaku."
Kun Hong mengambil tempat duduk di atas sebuah batu hitam di depan Kwee Sun Tek. mendengarkan dengan penuh perhatian dan dada berdebar. Ia tahu bahwa sekarang ia hendak mendengar pembukaan rahasia orang yang mengaku sebagai ayahnya itu, orang yang telah membunuh ibunya!
"Kau sebagai murid Thai Khek Sian, apakah kau tidak tahu bahwa dia itu terhitung saudara seperguruanmu sendiri karena dia adalah putera susiokmu Gan Yan Ki?"
"Hal itu sudah pernah kudengar."
Kun Hong mengaku lalu menutup mulut karena ingin mendengar kelanjutan cerita orang tua itu.
"Beng Kun Cinjin bernama Gan Tui, dahulunya seorang tokoh kang-ouw yang besar namanya dan dapat disebut seorang gagah perkasa. Akan tetapi, biarpun ia sudah menjadi hwesio, ternyata ia lemah menghadapi godaan wanita. Ketika pada suatu malam ia menyerbu istana Kaisar Mongol, ia terpikat oleh seorang selir kasiar bernama Kiu Hui Niang Puteri Harum dan rela menjadi anjing Kaisar Mongol karena ia diberi hadiah puteri itu! Batinnya menjadi rusak dan ia menjadi seorang hina karena pengaruh wanita rendah itu."
Kun Hong menggigit bibirnya, hatinya sakit bukan main mendengar Kiu Hui Niang yang dinyatakan sebagai ibunya itu, kini dimaki-maki orang di depannya. Akan tetapi dia diam saja dan mendengarkan terus, siap untuk mendengar yang sehebat-hebatnya dari mulut orang buta ini.
"Dia mempunyai tiga orang murid. Thio Houw dan isterinya. Kwee Goat dan adik iparnya Kwee Sun Tek........."
Kun Hong menatap wajah onang buta itu dan hatinya berdebar. Jadi Kwee Sun Tek ini dahulunya murid Beng Kun Cinjin?
"Tiga orang murid itu tidak rela melihat guru mereka menjadi anjing Kaisar Mongol, lalu menyerbu ke kota raja untuk memberi peringatan kepada guru mereka. Akan tetapi, Beng Kun Cinjin Gan Tui yang sudah berubah menjadi anjing hina itu, tidak mendengarkan nasihat murid-muridnya, malah dengan keji menyuruh para pengawal mengeroyok sehingga Thio Houw dan isterinya tewas di tangan para pengawal!"
"Keji benar!!"
Kun Hong berseru merah.
"Aku sempat melarikan diri, membawa anak enciku yang masih kecil dan pedang Cheng-hoa-kiam milik enciku pemberian guru kami. Akan tetapi manusia iblis itu mengejarku dan biarpun ia tidak membunuhku, dia telah mengorek keluar kedua mataku, membikin aku buta........."
"Setan jahanam benar!"
Kembali Kun Hong memaki.
"Kalau begitu, Thio Wi Liong keponakanmu itu....... dia tentulah anak Thio Houw dan isterinya yang terbunuh oleh Beng Kun Cinjin."
"Betul begitu. Nah, itulah yang kuketahui tentang Beng Kun Cinjin........."
"Akan tetapi, selanjutnya bagaimana. Kwee-lo-enghiong? Apa yang terjadi dengan Beng Kun Cinjin kemudian?"
Kwee Sun Tek menarik napas panjang.
"Aku hanya mendengar kabar angin saja. Katanya ia telah kena bencana. Manusia jahat selalu dikutuk Thian. Aku mendengar isterinya, perempuan rendah Kiu Hui Niang itu, melahirkan seorang anak laki-laki. Akan tetapi Beng Kun Cinjin mendapatkan isterinya main gila dengan orang lain. Orang itu dibunuhnya dan dia bersama anak isterinya telah menghilang, tidak diketahui lagi bagaimana keadaannya dan sampai saat ini belum pernah aku berhasil mencari tempat sembunyinya."
Sekarang semua jelas bagi Kun Hong. Tak salah lagi. Tentu Beng Kun Cinjin yang marah itu telah membunuh isterinya di dalam hutan dan....... dan dia ditolong oleh Kam Ceng Swi. diaku anak. Tentu jenazah ibunya ditemukan oleh Kam Ceng Swi dan gelang itu......... gelang itu......... tentu saja Beng Kun Cinjin mengenal gelang anaknya!
"Aku tidak tahu entah apa yang terjadi dengan isteri dan anaknya........."
"Isterinya telah dia bunuh dengan kejam di dalam hutan........!"
Kata Kun Hong di luar kesadarannya, suaranya keras menggigil.
"Dan anaknya.........?"
Tanya Kwee Sun Tek.
"Anaknya.........?"
Kun Hong melompat dan lari pergi dari situ, turun gunung. Masih terdengar ia memekik.
"Akan kubunuh dia! Kubunuh dia.........!!"
Kwee Sun Tek tersentak kaget dan berdiri dari batu itu.
"Kau......... kau anaknya.........!"
Teringat ia bahwa sepanjang pengetahuannya. Kam Ceng Swi tidak pernah punya isteri atau punya anak. Tentu Kam Ceng Swi yang menolong bocah itu dan memeliharanya, mengakunya sebagai anak sendiri. Dan sekarang Kam Ceng Swi terbunuh pula oleh Beng Kun Cinjin. Sekarang Kun Hong, bocah itu mencarinya untuk membalas dendam atas kematian ibunya, atas kematian ayah pungutnya!
Kwee Sun Tek tertawa bergelak, menengadah ke langit.
"Ha-ha-ha, enci Goat dan cihu, kalian lihatlah. Bukankah Thian telah menghukum manusia macam dia? Ha-ha-ha, tidak saja anak kalian yang mencari-carinya untuk membalas dendam, malah anaknya sendiri juga mencarinya untuk membunuh! Ha-ha ha. mendengar ini saja, sudah terobat hatiku.........!"
Kwee Sun Tek tertawa-tawa, kemudian menjatuhkan diri duduk di atas batu lagi dan menjadi tenang.
Sambil berlari-lari turun Gunung Wuyi-san, Kun Hong berkali-kali mengeluarkan suara menyeramikan.
"Akan kubunuh dia....... akan kubunuh dia.........!"
Di samping kemarahannya dan kebenciannya terhadap ayahnya sendiri, Beng Kun Cinjin Gan Tui yang telah membunuh ibunya, yang telah melakukan perbuatan terkutuk, juga timbul semacam perasaan gundah dan nestapa di dalam dada pemuda ini. Ayahnya seorang yang rendah wataknya dan ibunya......... ibunya telah melakukan perbuatan serong, ibunya juga seorang wanita yang tidak tahu malu, seorang berbudi rendah. Kenyataan-kenyataan pahit ini seperti membuka matanya untuk dihadapkan pada duri-duri tajam yang menusuk-nusuk hatinya. Ia keturunan orang rendah budi, keturunan orang-orang jahat! Terbayang wajah Wi Liong, pemuda yang ternyata adalah keturunan orang-orang gagah, murid-murid yang berjiwa patriotik, yang terbunuh oleh gurunya yang sesat, terbunuh oleh......... ayahnya!
Bermunculan wajah-wajah orang gagah yang selama ini memusuhinya, dan yang terakhir dan paling mengesankan adalah bayangan wajah...... Eng Lan! Dia keturunan hina dan rendah ini, anak orang-orang jahat, mana boleh dibandingkan dengan Eng Lan, pendekar wanita yang hidup di lingkungan orang-orang gagah?
Kun Hong berlari terus ke bawah gunung, hatinya tidak karuan, wajahnya pucat. Teringat ia akan nasibnya yang buruk teringat akan usianya yang tinggal setahun lebih atau dua tahun kurang lagi. Ia telah menderita luka akibat pukulan Im-yang-lian-hoan dari Kun-lun-pai. biarpun pengaruh beracun dari Hawa Im-kang dan Thai-yang di tubuhnya sudah disembuhkan oleh Liong Tosu dan oleh Beng Kun Cinjin, namun jantungnya sudah terluka dan ia hanya akan hidup dua tahun lagi kalau tidak mendapat obat dari Ban-mo-to. Bagaimana kalau aku selama dua tahun tak dapat mengejar Beng Kun Cinjin? Demikian pikir Kun Hong cemas. Lebih baik aku berobat dulu, setelah sehat betul baru mencari jahanam itu sampai dapat.
Setelah mengambil ketetapan ini. Kun Hong lalu menuju ke rumah petani yang ia titipi kudanya, ia memberi banyak hadiah sehingga petani tua itu menjadi girang sekali, buru-buru mengeluarkan kuda yang selama pemuda itu pergi ia rawat baik-baik dan beri makan sampai kenyang.
Kun Hong cemplak kudanya dan melarikan kudanya ke timur. Karena batinnya menderita setelah mendengar penuturan Kwee Sun Tek tentang ayah bundanya, ia seperti orang linglung, lupa bahwa sudah hampir dua hari perutnya belum diisi dan ia sedang menderita lapar. Kudanya yang sudah beristirahat dan makan kenyang, dapat lari cepat sekali. Melalui jalan yang sunyi itu pikiran Kun Hong makin melayang-layang sehingga ia tidak tahu bahwa di tempat yang sunyi itu. jauh di depan dekat gunung kecil batu karang, terdapat tiga orang yang berdiri menantikannya.
"Berhenti!"
Bentakan yang nyaring dan tiba-tiba ini menarik kembali Kun Hong dari dunia lamunannya dan barulah ia melihat bahwa ada orang-orang menghadangnya. Cepat ia menarik kendali kudanya dan berhenti di depan orang yang membentaknya tadi. Orang itu adakah seorang pemuda yang luar biasa gagahnya, berpakaian sebagai seorang panglima perang, bentuk tubuhnya tegap mukanya tampan dan amat gagah. Begitu melihatnya, timbul rasa suka di hati Kun Hong. Seorang pemuda seperti itu sudah tentu memiliki kegagahan yang mengagumkan.
Akan tetapi tidak demikian dengan pemuda gagah itu. Dia berdiri dengan kaki dipentang dan sikapnya membayangkan kemarahan. Ketika Kun Hong melirik ke belakang pemuda gagah itu, ia terkejut karena mengenal dua orang gadis manis yang pernah ia jumpai, yaitu dua orang gadis yang telah membunuh perampok tunggal Thiat-thouw-sai Tan Kak dan merampas uang kemudian ia rampas kembali dan ia kalahkan. Hatinya menjadi tidak enak karena tentu dua orang gadis itu hendak membalas kekalahan mereka.
"Saudara ini siapakah dan ada keperluan apa menyuruh aku berhenti?"
Tanyanya dengan ramah sambil turun dari kudanya. Menghadapi seorang dengan sikap demikian angker dan gagah seperti pemuda itu, benar-benar membuat ia tidak enak kalau bicara sambil duduk di atas kuda. Dengan tenang Kun Hong menambatkan kendali kudanya pada batang pohon di pingigir jalan lalu ia menghadapi pemuda gagah itu dengan sikap tenang.
Pemuda gagah itu melirik ke arah kuda dan kantong kain terisi uang emas dan perak, dua kantong yang dirampas oleh Kun Hong dari tangan dua orang gadis itu. Kemudian pandang matanya dialihkan kepada Kun Hong, melirik ke arah pedang yang tergantung di pinggang pemuda itu.
"Aku Kong Bu dan kalau kau seorang dari jalan hitam yang biasa beroperasi di selatan, tentu kaupun tahu bahwa See-thian Hoat~ong Kong Lek In adalah ayahku."
Agaknya dengan perkenalan namanya dan nama ayahnya ini, Kong Cu pemuda gagah itu hendak membikin kedar hati penjahat di depannya.
Memang Kun Hong sudah mengenal See-thian Hoat-ong, maka ia cepat-cepat menjura dan tersenyum ramah, berkata.
"Ah. kiranya kau adalah putera See-thian Hoat-ong. Pantas saja begini gagah perkasa. Sungguh menyenangkan sekali dapat bertemu dan berkenalan dengan kau. Aku bernaima Kun Hong dan she-ku......... she Gan!"
Agak ragu-ragu ia menyebutkan she Gan ini, akan tetapi setelah jelas asal-usulnya, tentu saja ia tidak lagi berhak memakai she Kam. Biarpun ia benci kepada ayahnya sendiri, akan tetapi kalau ayahnya she Gan, habis ia harus pakai she apa?
"Bagus kalau kau sudah mengenal nama ayahku,"
Kata Kong Bu menarik napas lega.
"Perlu juga kiranya kau ketahui bahwa aku adalah panglima perang Kerajaan Sung Selatan yang bertugas menjaga keamanan di sekitar pantai timur. Gan Kun Hong, apakah kau sudah mengakui dosa-dosamu?"
Kun Hong tersenyum. Harus ia akui bahwa pemuda: di depannya itu gagah sekali, akan tetapi sikapnya masih hijau, masih mentah dan kekanak-kanakan, la tahu bahwa pemuda yang menjadi panglima perang ini tentu maksudkan perbuatannya terhadap dua orang gadis manis itu, akan tetapi ia pura-pura bodoh dan bertanya.
"Kong-ciangkun (komandan Kong), kita baru kali ini saling bertemu, bagaimana aku bisa berbuat dosa kepadamu?"
"Jangan kau pura-pura!"
Kong Bu membentak sambil meraba gagang goloknya yang besar seperti golok ayahnya.
"Kau lihat, apakah kau tidak mengenal dua orang nona ini?"
Kun Hong menoleh dan memandang kepada dua orang gadis itu sambil tersenyum. Ia lihat gadis yang muda, yang rambutnya digelung dan dibungkus sutera di kanan kiri, gadis yang bernama Hui Sian itu dulu ia pegang kedua lengannya, berdiri sambil bertolak pinggang. Encinya, Hui Nio berdiri di sebelahnya dan dua orang gadis ini memandang kepadanya dengan penasaran. Diam-diam Kun Hong menjadi merah mukanya, jengah karena tentu ia disangka perampok oleh pemuda gagah itu. Akan tetapi ia tetap tersenyum dan diam-diam ia menduga duga siapa adanya dua orang gadis lihai itu, yang memiliki ilmu cengkeraman seperti yang pernah ia pelajari dan yang sekarang tahu-tahu telah berkawan dengan seorang pemuda gagah putera See-thian Hoat-ong!
Mari kita berkenalan sebentar dengan tiga orang muda itu Pemuda itu adalah putera tunggal See-thian Hoat-ong yang bernama Kong Lek In dan bekas raja muda di Sin-kang. Ibunya sudah meninggal dunia, tewas ketika daerah itu diserbu oleh bala tentara Mongol. Seperti juga ayahnya, pemuda itu yang bernama Kong Bu, memiliki kegagahan. Malah pemuda ini lalu menghambakan diri pada Kerajaan Sung Selatan untuk memerangi bala tentara Mongol, dan ia mendapat kepercayaan menjaga keamanan di sekitar pantai timur. Tentu saja sebagai putera See-thian Hoat-ong, Kong Bu telah mewarisi ilmu silat dan ilmu golok ayahnya.
Ketika ia mulai memegang jabatannya dan melakukan tugasnya di pantai timur, ia bertemu dengan dua orang gadis enci adik itu yang bernama Liok Hui Nio dan Liok Hui Sian. Ternyata bahwa dua orang gadis ini bukanlah orang orang sembarangan, melainkan murid-murid dari Tai it Cinjin, seorang tokoh besar di dunia kang-ouw sebagai orang sakti Bu-rong-pai! Di samping Tai it Cinjin, masih ada lagi lm Yang Siangcu. dua orang sutenya yang juga merupakan jago-jago Bu-tong-pai yang sakti. Tentu saja pertemuan dengan orang-orang gagah ini menggirangkan hati Kong Bu. Tai It Cinjin juga suka sekali melihat pemuda ganteng putera See thian Hoat-ong ini, maka ia lalu mengusulkan perjodohan antara Kong Bu dan murid perempuannya yang pertama, Liok Hui Nio. Kong Bu sendiri tertarik dan suka kepada Hui Nio yang pendiam, cantik jelita dan tinggi ilmu silatnya. Akan, tetapi pertunangan itu belum diresmikan karena Kong Bu menanti kesempatan berjumpa dengan ayahnya untuk minta persetujuan orang tua itu.
Seperti telah dituturkan di bagian depan secara kebetulan sekali Liok Hui Nio dan adiknya Hui Sian, ketika sedang merampas harta curian perampok tunggal Tan Kak, dua orang kakak beradik ini bertemu dengan Kun Hong dan dikalahkan Mereka menjadi terheran-heran akan kelihaian pemuda itu, akan tetapi juga penasaran sekali. Di tengah perjalanan mereka bertemu dengan Kong Bu dan melaporkan tentang pengalaman mereka. Kong Bu marah sekali siapa orangnya yang tidak marah kalau tunangannya dikalahkan orang? Ia mencegah enci adik itu mencari guru mereka.
"Urusan dengan seorang maling cilik saja perlu apa harus mencapaikan guru kalian? Mari kita bereskan sendiri, hendak kulihat sampai di mana kekurangajaran maling itu!"
Bersama dua orang gadis itu ia lalu pergi hendak mencari Kun Hong, akan tetapi kebetulan sekali sebelum pergi jauh tahu-tahu Kun Hong yang dicari-cari sudah datang .
Demikianlah perkenalan singkat dengan Kong Bu dan dua orang gadis cantik itu yang marah-marah kepada Kun Hong. Sebetulnya kalau mau dibilang marah, yang marah dan penasaran adalah Hui Nio. Akan tetapi Hui Sian, gadis manis jenaka yang rambutnya diikat kain sutera di kanan kiri, diam-diam memandang ke arah Kun Hong dengan mata bersinar-sinar aneh. Biarpun tangannya bertolak pinggang dan sikapnya seperti seorang musuh, namun sinar matanya lembut menyapu wajah Kun Hong yang taunpan. Diam-diam gadis remaja ini amat kagum kepada Kun Hong yang selain tampan, juga amat tinggi ilmu silatnya.
Seperti telah dituturkan di atas, Kong Bu membentak kepada Kun Hong yang sikapnya masih tenang jenaka.
"Jangan kau pura-pura, kau lihat, apakah kau tidak mengenal dua orang nona itu?"
Kun Hong yang sudah turun dari kudanya menjura kepada Hui Nio dan Hui Sian. Hui Nio tidak perduli, akan tetapi Hui Sian dengan muka merah balas menjura!
"Siauwte memang sudah mendapat kehormatan, berjumpa dengan ji-wi lihiap (dua nona pendekar) ini, hanya sayang sekali tidak dalam keadaan yang menyenangkan......."
Katanya tersenyum.
"Maling kecil!"
Hui Nio melangkah maju, memaki sambil menudingkan telunjuknya yang runcing ke arah hidung Kun Hong.
"Kau sudah merampas barang- barang kami dan menghina kami. Hari ini aku tentu akan mengadu nyawa denganmu!"
Setelah berkata demikian, Hui Nio mencabut pedangnya. Dahulu ketika bertemu dengan Kun Hong. dia dan adiknya menghadapi Kun Hong dengan tangan kosong, sekarang ia mencabut pedangnya karena ia memang ingin sekali menebus kekalahannya yang lalu.
Melihat cara gadis itu mencabut pedang, Kun Hong kagum dan iapun ingin sekali mencoba ilmu pedang gadis-gadis yang mempunyai ilmu cengkeraman yang hampir sama dengan ilmunya sendiri itu. Akan tetapi Kun Hong sekarang jauh sekali bedanya dengan Kun Hong dahulu. Ketika ia masih merasa menjadi seorang dari golongan gurunya, ia tidak perdulian dan mungkin sekali timbul maksud kotor melihat dua orang enci adik yang cantik jelita dan tinggi ilmunya itu. Akan tetapi nafsu-nafsu buruk dalam dirinya sudah tersapu bersih oleh kerling mata dan senyum Pui Eng Lan kekasih hatinya, yang membuat hatinya menjadi tawar melihat dan menghadapi wanita-wanita lain.
Dahulu, ia lebih mbocengli (tidak tahu aturan) dari pada bekas gurunya Bu-ceng Tok-ong dan selalu mempergunakan aturan-aturannya sendiri seenaknya. Akan tetapi, semenjak bertemu dengan Eng Lan dan terutama sekali setelah ia mengetahui asal-usulnya, mendengar tentang ayah bundanya yang sama sekali tak patut ia banggakan, pemuda ini menjadi prihatin sekali. Ia harus menebus semua kesesatan ayah bundanya, ia harus memupuk kebaikan untuk menebus dosa keluarganya! Malah-malah ia merasa menyesal sekali atas segala kesesatan yang pernah ia lakukan.
"Sabar nona. Ada perkara bisa diurus dengan baik-baik. ada persoalan bisa dirundingkan dan diselesaikan tanpa mencabut pedang,"
Katanya. Sikapnya ketika mengucapkan kata-kata ini keren dan sungguh-sungguh sehingga membuat Hui Nio ragu-ragu dan Kong Bu juga memberi isyarat kepada tunangannya untuk bersabar. Kemudian Kong Bu bertanya kepada Kun Hong.
"Kalau semua tuduhan tadi betul, apa lagi yang harus dirundingkan?"
"Kong-ciangkun, memang aku pernah bertempur dengan dua orang nona ini. Akan tetapi aku sama sekali bukan bermaksud merampas atau menghina......... aku sebetulnya........."
"Masih mau menyangkal lagi?"
Tiba tiba Hui Sian yang melompat maju dengan marah-marah.
"Kuda siapa yang kau naiki tadi? Dua kantung itu bukankah berisi uang emas dan perak? Dan kau......... kau sudah memegang kedua tanganku......... kau sudah kurang ajar dan menghinaku.........!"
Kun Hong menarik napas panjang dan memang harus ia akui bahwa pada malam hari itu, ketika menghadapi Hui Sian yang cantik dan galak, ia hampir lupa kepada Eng Lan! Kini ia teringat dan merasa menyesal bukan main.
"Harap Kong-ciangkun suka mempertimbangkan. Malam hari itu aku melihat dua orang nona ini membunuh orang dan merampas uangnya. Biarpun yang dibunuh dan dirampas itu seorang penjahat, akan tetapi hatiku tidak rela melihat dua orang nona yang...... can...... eh, yang lihai ini menjadi perampok-perampok."
Merah wajah Kong Bu. Memang ia sudah tahu akan sepak terjang tunangannya, akan tetapi karena memang sudah menjadi pekerjaan Tai it Cinjin sejak dahulu, yaitu membasmi penjahat dan pembesar atau hartawan jahat, merampasi uang mereka untuk dipakai menolong rakyat yang sengsara, maka iapun tidak bisa apa-apa.
(Lanjut ke Jilid 20)
Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 20
"Dua orang nona ini adalah murid Tai It Cinjin, sudah menjadi tugas mereka membasmi penjahat dan merampas hartanya untuk dibagikan kepada mereka yang membutuhkan pertolongan. Kau mencela orang akan tetapi kau sendiri......... tahu-tahu kau malah mencuri uang itu dan kuda!"
Diam-diam Kun Hong terkejut. Pantas saja dua orang nona itu lihai sekali, tidak tahunya mereka murid Tai It Cinjin yang pernah ia temui di puncak Wuyi-san bersama dua orang lain bernama Im-yang Siang-cu yang lihai juga dan yang berhasil merampas pedangnya, Cheng-hoa-kiam!
"Ah, kiranya ji-wi lihiap ini murid Tai It Cinjin? Kalau begitu aku telah berlaku kurang hormat. Pernah aku bertemu dengan beliau, juga dengan dua, orang tua yang disebut Im-yang Siang-cu. Tidak tahu apakah masih ada hubungan pula dengan ji-wi lihiap?"
"Im-yang Siang-cu adalah susiok (paman guru) mereka!"
Kata Kong Bu yang mengira bahwa pemuda ini adalah kenalan orang tua itu."Apakah kau kenal baik dengan mereka?"
Kun Hong tersenyum. Pedangnya dirampas, bagaimana bisa disebut kenal baik? Ia menggeleng kepala lalu berkata.
"Tidak, hanya pernah bertemu saja. Tentang uang dan kuda, sebetulnya bukan kebiasaanku untuk memakai barang orang lain. Akan tetapi ketika itu pemiliknya sudah tewas, dari pada kuda dan uang menggeletak di sana, maka kubawa. Tentu aku tidak keberatan untuk memberikan kepada siapa saja asal........."
"Asal bagaimana? Hayo katakan!"
Bentak Hui Nio
"Benda-benda ini sudah tidak ada pemiliknya lagi. Kalau sekarang diperebutkan, mudah saja. Di antara orang gagah ada pepatah yang berbunyi bahwa kalau tidak bertempur tidak saling mengenal dan dalam memperebutkan sesuatu siapa yang lebih kuat dia yang berhak dan menang!"
"Kau menantang?"
Seru Kong Bu yang menjadi panas juga hatinya "Mari maju dan kau cobalah golokku!"
Dengan gerakan yang kuat dan gagah pemuda ini sudah mencabut golok besarnya yang berkilauan saking tajamnya.
Kun Hong menjura dan mencabut pedangnya perlahan.
"Aku mendapat kehormatan besar sekali menerima pelajaran Kong ciangkun."
Lalu ia siap-siap menghadapi pemuda ini yang kelihatan amat kuat.
"Bagus, Gan Kun Hong. Lihat golokku!"
Seruan ini keras sekali dan tiba-tiba mata Kun Hong menjadi silau melihat sinar golok yang seperti kilat menyambar datangnya.
Kun Hong terkejut dan cepat mengelak, maklum akan kekuatan dan kecepatan lawan ini. Benar saja, serangan pertama yang dapat ia elakkan itu disusul serangan ke dua ke tiga dengan amat cepatnya sehingga Kun Hong harus mengeluarkan kepandaiannya untuk menangkis dan mengelak. Diam-diam ia kagum sekali karena ternyata olehnya bahwa kepandaian pemuda ini tidak kalah oleh See-thian Hoat-ong, ayah pemuda itu! Memang demikianlah halnya, Kong Bu sudah semenjak pertunangannya dengan Hui Nio, mendapat banyak petunjuk dari Tai It Cinjin sehingga ia mendapatkan kemajuan pesat sekali.
Akan tetapi segera ternyata bahwa betapapun lihainya ilmu golok yang dimainkan pemuda gagah itu, Kong Bu bukanlah lawan Kun Hong yang mendapat gemblengan dari Thai Khek Sian. Kalau Kun Hong menghendaki, sebentar saja ia sudah pasti dapat merobohkan lawannya. Akan tetapi aneh sekali, watak Kun Hong sudah banyak berubah. Ia tidak haus akan kemenangan, kalau tadi ia ingin bertempur, itu hanya untuk mencoba kepandaian orang-orang yang menarik, hatinya itu. Ia malah merasa suka dan sayang kepada Kong Bu maka dalam pertempuran inipun ia banyak mengalah.
Bagi seorang ahli silat yang sudah tinggi kepandaiannya seperti Kong Bu, tentu saja tahu bahwa lawannya banyak mengalah, dan tahu pula bahwa lawannya ini benar-benar lihai luar biasa dan memiliki ilmu pedang yang aneh sekali. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau menerima begitu saja, apa lagi di depan tunangannya. Malang baginya, tingkat kepandaian tunangannya, Hui Nio atau adiknya, Hui Sian. sebetulnya masih lebih tinggi dari padanya, maka tentu saja Hui Nio dan Hui Sian juga tahu bahwa Kong Bu bukanlah lawan Kun Hong dan bahwa pemuda aneh itu memang sengaja mengalah.
"Bu-ko, mundurlah biarkan kami yang mencoba ilmu pedangnya!"
Teriak Hui Nio sambil melompat dan menyerang dengan pedang ke arah tenggorokan Kun Hong, mewakili tunangannya. Melihat ini, sebagai seorang gagah, Kong Bu cepat- cepat mundur dan berkata.
"Orang she Gan benar-benar hebat kepandaianmu!"
Hui Sian tidak tinggal diam. Melihat encinya sudah bertarung, iapun lalu menerjang dengan pedangnya. Pedang enci dan adik ini memang hebat sekali, berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung bagaikan dua ekor naga yang bermain-main di antara mega.
Kun Hong gembira sekali. Kini sepenuhnya ia menghadapi ilmu pedang Bu-tong-pai yang terkenal kuat dan indah. Akan tetapi kembali ia terheran heran karena lagi-lagi ia melihat gerakan gerakan seperti ilmu silatnya sendiri tercampur dalam ilmu pedang Bu-tong-pai itu. Kembali ia merasa menghadapi teka-teki. Kalau gerakan-gerakan Wi Liong yang hampir menyerupai ilmu silatnya sendiri, dia tidak usah heran karena guru Wi Liong adalah Thian Te Cu yang masih terhitung suheng dari gurunya sendiri. Thai Khek Sian. Juga ilmu silat ayahnya, Beng Kun Cinjin: tentu saja mempunyai persamaan dengan ilmu silatnya, karena Beng Kun Cinjin adalah putera Gan Yan Ki yang terhitung masih sute dari gurunya. Akan tetapi mengapa dua orang nona ini mempunyai gerak-gerik yang bersumber sama dengan ilmu silatnya? Apakah mereka ini mewarisi ilmu dari sumber Thian Te Cu, ataukah dari Beng Kun Cinjin?
Di lain lihak, dua orang nona itu, sekali lagi menghadapi kenyataan pahit yang amat mengherankan hati mereka. Dahulu, ketika mengeroyok Kun Hong dengan tangan kosong, mereka sudah merasa aneh mengapa ilmu mereka yang mereka warisi dari Thai It Cinjin. menjadi melempem dan tidak berguna terhadap pemuda ini. Mereka sekarang mengira bahwa dengan pedang yanig menjadi senjata yang paling diandalkan oleh golongan Bu-tong-pai, mereka tentu akan dapat membalas kekalahan tempo hari. Akan tetapi mereka kecele. Juga kali ini pemuda itu dapat menghadapi ilmu pedang mereka dengan ilmu pedang yang amat aneh, kelihatan rancu dan tidak seberapa, akan letapi anehnya selalu dapat menindih sinar pedang mereka dan dapat mengurung mereka dengan gulungan yang aneh, yang membuat enci adik itu merasa dirinya terkurung!
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Kisah Si Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono