Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 20


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 20



Benar benar mengerikan sekali empat orang "nona manis"

   Itu. Selain gerakan mereka mengandung lweekang tinggi dan amat cepat serta teratur sambung-menyambung, juga mereka sekarang mulai tertawa-tawa lagi, cekikikan dan inilah yang benar-benar membingungkan hati Kun Hong. Akan itetapi ia masih ragu-ragu untuk melukai mereka (karena ia masih ingat bahwa kedatangannya ini adalah untuk minta obat, artinya minta pertolongan. Bagaimana ia bisa melukai anggauta keluarga orang yang dimintai tolong?

   "Kalian berempat janganlah terlalu mendesak!"

   Bentaknya sambil memutar pedang melindungi tubuhnya.

   "Biarkan aku menghadap Thai-houw.........!"

   Tiba-tiba empat orang itu berhenti bergerak, membuat hati Kun Hong girang sekali, ia tersenyum ramah dan mengangguk-angguk "Kalian memang orang-orang baik!"

   Akan teltapi. empat orang nona itu masih berdiri mengurung.

   "Kami mau memberi laporan baik........."

   "Kepada Thai-houw. asal saja........"

   "Kau mau berjanji........."

   "Mengawini kami berempat.........!"

   Demikian ucapan yang mereka keluarkan secara sambung-menyambung dan empat orang nona manis itu membalas senyuman Kun Hong tadi sambil mengerling-ngerling dengan lagak bintang-bintang film!

   Seketika itu juga senyum di bibir Kun Hong lenyap, dan bibirnya sampai pucat saking kagetnya ia mendengar ocehan mereka.

   "Kau seranglah aku kau bunuhlah.........!"

   Bentaknya marah sekali dan kembali pedangnya diputar cepat.

   Empat orang itupun tanpa banyak cakap lagi menerjangnya sambil cekikikan. Mereka menggunakan tangan kaki, menerjang mencakar menendang akan tetapi yang paling berbahaya adalah tali tali sutera yang diikat di pinggang mereka. Ikat pinggang tali sutera ini merupakan senjata yang ampuh merupakan dua helai senjata lemas yang berbahaya karena selain dapat melukai tubuh lawan juga dapat merampas senjata! Ternyata mereka telah mendapat ilmu ini dari Thai-houw dan ini mudah diduga karena Kun Hong teringat betapa dengan tali seperti itu pula Kui-bo Thai-houw sekali serang telah mengalahkan Beng Kun Cinjin!

   Namun kini Kun Hong benar-benar sudah mengamuk hebat Ia mengeluarkan seluruh kepandaian yang ia pelajari dari Thai Khek Sian dan benar saja, empat orang wanita itu tidak mampu melawannya.

   Makin lama empat orang wanita itu makin kacau gerakannya, napas mereka terengah-engah dan sinar pedang Cheng-hoa-kiam yang bergulung-gulung telah mengurung mereka dari kanan kiri.

   "'Pemuda lucu........."

   "Gagah sekali........."

   "Terlalu lihai........."

   "Kami tidak kuat melawan........."

   Tiba-tiba empat orang wanita aneh itu mengebutkan ujung tali pinggang sutera mereka dan berhamburanlah empat macam warna seperti asap tipis. Kun Hong mencium bau harum yang amat aneh. Ia kaget dan maklum bahwa lawan mengeluarkan senjata rahasia berbahaya. Tidak percuma ia pernah menjadi murid Bu-ceng Tok-ong Si Raja Racun. Ia cepat mengerahkan lweekang, menahan napas dan menggunakan tangan kiri untuk memukul ke sekelilingnya, mendatangkan angin pukulan yang mengusir semua asap itu.

   Ketika ia melihat lagi empat orang wanita itu sudah tidak ada dan sebagai gantinya di situ berdiri wanita tua yang cantik dan berpakaian mewah. Kui-bo Thai-houw sendiri sudah berdiri di depannya dengan sikap yang amat agung, namun sepasang alis yang panjang kecil bekas cukuran itu dikerutkan tanda bahwa hatinya tidak senang.

   Kun Hong seorang yang amat cerdik. Ia datang untuk minta tolong dan ia maklum pula bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tokoh ini sehingga takkan ada gunanya kalau menggunakan kekerasan. Maka begitu melihat munculnya "Ratu"

   Ini ia serta-merta menyimpan pedang Cheng-hoa-kiam dan menjatuhkan diri berlutut!

   "Mohon pengampunan dari Thai-houw bahwa teecu Gan Kun Hong berani berlaku lancang menghadap tanpa dipanggil."

   Katanya dengan sikap hormat.

   Wanita itu yang memang betul Kui-bo Thai-houw sendiri adanya, mengeluarkan seruan heran. Tercengang ia melihat perobahan sikap pemuda tampan ini dan ia menarik napas panjang. Memang sudah menjadi kelemahannya selalu menjadi lunak kalau berhadapan dengan pemuda, apa lagi setampan ini! Akan tetapi, ia masih belum percaya betul kepada Kun Hong dan setiap saat ia masih sanggup menjatuhkan tangan maut.

   "Apakah Thai Khek Sian yang menyuruhmu datang ke sini?"

   Kun Hong terkejut. Kiranya nenek ini sudah pula mengetahui bahwa ia murid Thai Khek Sian. Tentu dari gerakan ilmu silatnya. Nenek ini terlalu lihai sehingga sekilat pandang saja sudah dapat mengenal ilmu silatnya. Celaka kalau dia memusuhi suhu, pikirnya. Karena takut menggunakan nama suhunya yang ia tahu banyak dibenci orang di luaran, ia menggeleng kepala.

   "Tidak, teecu datang atas kehendak sendiri."

   Nenek yang dulunya tentu seorang wanita cantik jelita ini menarik napas panjang lalu terdengar suara ketawanya, halus merdu namun di dalamnya terkandung keluhan batin yang amat aneh kedengarannya.

   "Haaahhh, manusia tak ingat budi itu mana masih ingat kepadaku........."

   Biarpun masih muda, dalam kehidupannya dulu di Pulau Pek-go-to. Kun Hong sudah mengenal banyak wanita. Ia dijadikan kekasih para selir gurunya dan banyak sudah ia mengenal wanita dan dapat menangkap isyarat-isyarat atau tanda-tanda perasaan yang terpancar keluar dari batin wanita melalui gerak-gerik mereka. Melihat dan mendengar sikap dan kata-kata Kui-bo Thai-houw, hatinya berdebar. Tak salah lagi, wanita ini pernah "ada apa-apa"

   Dengan gurunya, sedikitnya pernah ada hubungan akrab. Cepat-cepat ia berkata.

   "Akan tetapi suhu pernah pesan kepada teecu bahwa kalau teecu ada rejeki bertemu dengan Thai-houw, teecu diperintah menyampaikan salam hormatnya dan semoga Thai-houw panjang usia dan hidup bahagia."

   Meledak suara ketawa Kui-bo Thai-houw. Anehnya, bibirnya hanya bergerak tapi muluknya tidak terbuka, bagaimana bisa mengeluarkan suara ketawa yang merdu dan halus itu? Sekarang suara ketawanya tidak mengejek seperti tadi melainkan geli dan sepasang mata yang masih bening itu bersinar-sinar.

   "Anak nakal, kau kira aku tidak kenal bagaimana watak suhumu? Menarik dan binal, tapi tidak pandai mengambil hati seperti kau! Kau tanpa diutus suhumu datang mencariku, tentu ada keperluan penting soal mati hidup. Kau berani melawan Tai It Cinjin, cukup memperlihatkan ketabahanmu. Kau memusuhi ayah dan hendak membunuh ayah sendiri, luar biasa puthauwnya (tidak berbaktinya) dan tentu terselip hal-hal yang aneh. Kau cukup menarik hati dan mengherankan, mari masuk dan ceritakan apa keperluanmu!"

   Setelah berkata demikian Kui-bo Thai-houw memberi isyarat dengan tangannya. Dari kanan kiri genteng muncullah banyak gadis-gadis cantik yang membawa lampu. Kemudian ia melambaikan tangan menyuruh Kun Hong. mengikutinya. Pemuda itu tidak berani membantah, dengan kepala tunduk ia pun mengikuti ratu itu turun dari atas genteng melalui sebuah anak tangga, terus memasuki bangunan besar di tengah kelompok bangunan rumah itu.

   Ia menjadi tercengang ketika memasuki ruang an besar di rumah itu. Luar biasa terangnya dan luar biasa mewahnya. Para gadis berpakaian seperti pelayan-pelayan keraton kaisar, cantik-cantik dan gesit-gesit melayani Thai-houw dengan amat hormat. Tempat tinggal suhunya di Pek-go-to juga mewah, juga selir-selir suhunya cantik-cantik, akan tetapi dibandingkan dengan keadaan di sini, masih kalah jauh,

   Kui-bo Thai-houw membawanya ke dalam sebuah kamar besar yang indah dan mengambil tempat duduk di atas kasur yang ditilami sutera-sutera merah berkembang emas yang memenuhi sebagian kamar itu. Bantal-bantal sutera berkembang tersusun di situ. Ketika Thai-houw menjatuhkan diri duduk di atas kasur yang empuk, empat orang gadis berbaju kuning segera melayaninya, menyusun dua bantal di belakang punggungnya sehingga Thai-houw dapat duduk enak. Thai-houw lalu memangku sebuah bantal bundar dan berkata halus kepada Kun Hong yang masih berdiri membungkuk dengan hormat.

   "Orang muda, kau duduklah."

   Kun Hong bingung. Di mana ia harus duduk? Dengan canggung iapun lalu duduk di atas lantai dengan kedua kaki ditekuk ke belakang. Kui-bo Thai-houw mengeluarkan suara ketawa perlahan dan empat orang gadis cantik berbaju kuning itupun tersenyum-senyum.

   "Lantai bukan tempat duduk. Pelayan Hijau, layani tamu!"

   Kata nenek itu.

   Bagaikan peri-peri kahyangan, muncul empat orang gadis lain yang berpakaian serba hijau, cantik-cantik manis seperti empat yang berbaju kuning itu. Mereka itu segera menghampiri Kun Hong. menariknya bangun dan menuntunnya duduk di atas kasur pula menghadapi Thai-houw. Dari tarikan tangan mereka yang halus-halus Kun Hong mendapat kenyataan bahwa mereka itu tidaklah sehalus orang kira, melainkan di balik kehalusan itu bersembunyi tenaga lweekang tingkat tinggi!

   Lalu datang berganti-ganti pelayan-pelayan cantik menghidangkan makanan dan minuman serta, buah-buahan yang segar. Anehnya, mereka ini semua merupakan barisan dari empat orang. Setiap datang empat orang dan hanya warna pakaian mereka yang macam-macam, ada yang serba kuning, serba hijau, serba merah, serba putih. serba biru dan lain-lain. Benar-benar mendatangkan suasana yang riang gembira dan amat indah, seakan-akan mereka itu bunga-bunga memenuhi taman dan gerakan-gerakan mereka begitu halus dan indah seperti penari-penari ulung! Kun Hong maklum bahwa mereka dapat bergerak demikian ringan hanya karena mereka memiliki ginkang yang tinggi maka ia menjadi makin kagum. Para wanita yang tinggal bersama Thai Khek Sian di Pek-go-to juga rata- rata memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi agaknya masih kalah oleh pelayan-pelayan ini.

   "Orang muda. sekarang kau ceritakan semua tentang dirimu dan tentang gurumu, mengapa kau bermusuhan dengan ayahmu Beng Kun Cinjin dan mengapa pula kau datang mencariku,"

   Kata, Kui-bo Thai-houw sambil menatap wajah di depannya yang tampan itu.

   "Teecu bernama Kun Hong, semenjak kecil kehilangan ibu yang telah dibunuh oleh Beng Kun Cinjin........."

   "Aahhh. jadi kau anak Kiu Hui Niang?"

   Thai-houw itu memotong.

   Kun Hong merasa heran mengapa wanita ini tahu akan hal itu.

   "Betul kata-kata Thai-houw. teecu anaknya. Kemudian teecu diangkat anak atau dipelihara oleh Seng-goat-pian Kam Ceng Swi dari Kun-lun-pai. Akhirnya teecu bertemu dengan suhu Thai Khek Sian dan diambil murid sampai teecu dewasa. Karena inilah maka teecu dimusuhi oleh Kun-lun-pai dan pada suatu hari beberapa bulan yang lalu, dengan curang orang-orang Kun-lun-pai menangkap teecu dan melukai teecu dengan pukulan Im-yang-lian-hoan. Baiknya teecu sudah diobati oleh Liong Tosu dan oleh......... Beng Kun Cinjin sendiri yang tadinya teecu tidak tahu bahwa dia ayahku sendiri. Teecu sudah sembuh dari luka pukulan itu., akan tetapi menurut Liong Tosu kalau teecu tidak diobati dengan Im-yang-giok-cu, umur teecu takkan panjang lagi. Oleh karena itu teecu mohon pertolongan Thai-houw untuk memberi obat Im-yang-giok-cu kepada teecu........."

   Kui-bo Thai-houw mengangguk-angguk mendengar penuturan singkat ini. Dia adalah bekas selir dari Kerajaan Sung Selatan, tentu saja ia tahu akan segala apa yang terjadi di kota raja. Biarpun ia sudah mengasingkan diri, namun ia masih selalu ingin tahu apa yang terjadi di utara dan selatan malah ia ingin tahu juga apa yang terjadi di kota raja utara di mana Kaisar Bangsa Mongol memegang kekuasaan. Oleh karena itu ia juga mendengar tentang Beng Kun Cinjin. seorang hwesio yang roboh oleh kecantikan Kiu Hui Niang dan kejadian kejadian selanjutnya ia ikuti dengan hati tertarik.

   Dahulunya Kui-bo Thai-houw adalah selir Kaisar Sung Selatan yang terkasih. Akan tetapi setelah dijadikan kekasih nomor satu oleh kaisar, dia mempunyai hati murka, ingin merobohkan kedudukan thai-houw (permaisuri). Pelbagai jalan ia lakukan untuk merobohkan kedudukan permaisuri agar dia sendiri dapat diangkat menjadi permaisuri nomor satu! Akan tetapi gagal malah kalau ia tidak berkepandaian tinggi tentu ia sudah tertangkap dan dihukum mati. Kegagalan ini membuat dia menjadi putus asa dan kecewa sekali, menyinggung batinnya mengganggu ingatannya. Semenjak itu, ia menghilang dan tahu-tahu di Pulau Ban mo-to muncul seorang wanita cantik berilmu tinggi yang memakai julukan Thai-houw (Permaisuri)! Dengan kepandaiannya yang tinggi, Kui-bo Thai-houw ini mengumpulkan harta kekayaan dan benar-benar hidup seperti seorang permaisuri di pulau itu. Akan tetapi ia diam-diam selalu suka bermenung duka karena hidupnya "amat sunyi", tidak ada suami tidak ada anak!

   Sekarang bertemu dengan Kun Hong tergerak hati nenek tua ini. Pemuda yang amat tampan ini menarik hatinya. Kalau saja ia bisa mempunyai kawan hidup seperti pemuda ini, tampan dan gagah, sebagai kekasih atau sebagai anak baginya sama saja! Kun Hong sama sekali tidak tahu apa yang terkandung dalam kepala wanita itu dan apa yang tersembunyi di balik sinar matanya yang masih bening dan tajam.

   Kui-bo Thai-houw tersenyum manis mendengar penuturan Kun Hong.

   "Anak baik, jangan kau khawatir. Semua maksudmu akan tercapai......... semua kataku, asalkan kau menuruti kehendakku. Jangan khawatir mengobati lukamu apa susahnya? Membunuh Beng Kun Cinjin apa sukarnya? Jangankan hanya mengalahkan Tai It Cinjin dan kesemuanya urusan-urusan tak berarti itu, biarpun kau ingin merebut tahta kelak akan tercapai kalau aku berada di sampingmu........"

   Wanita itu lalu tertawa merdu sekali tanpa membuka mulutnya. Kun Hong menjadi bingung dan meremang bulu tengkuknya. Kata-kata wanita ini seperti bukan ucapan orang waras!

   Kui-bo Thai-houw menoleh kepada pelayan baju merah.

   "Ambil guci terisi Liong-hiat-ciu (Arak Darah Naga) dan cawan emas!"

   Empat orang gadis berpakaian merah bergerak cepat. Kaki mereka, seperti pelayan-pelayan lain, tidak kelihatan, tersembunyi di dalam baju yang panjang sampai terseret di atas lantai yang mengkilap bersih. Karena mereka tidak kelihatan menggerakkan kaki mereka itu meluncur maju seperti terbang saja!

   Tak lama kemudian mereka sudah muncul lagi, seorang membawa sebuah guci berwarna hijau indah sekali dan seorang pula membawa sebuah menampan perak di mana terletak dua buah cawan merah berukirkan burung-burung sedang bercumbuan. Indah bukan main, merupakan barang berharga yang kiranya hanya dapat ditemui dalam istana kaisar atau rumah gedung bangsawan dan hartawan besar.

   Dengan gerakan lemah gemulai empat orang nona baju merah itu menurunkan guci menaruh cawan-cawan itu di depan Kun Honjg dan Thai-houw. Kun. Hong duduk tak bergerak, kagum sekali dan hatinya berdebar. Ia mencium bau harum yang lain lagi dari nona nona baju kuning dan baju hijau. Agaknya tidak hanya warna pakaian dan tugas pekerjaan yang berbeda bahkan minyak wangi yang dipakaipun berbeda-beda!

   Akan tetapi bau sedap yang keluar dan pakaian empat orang nona baju merah itu segera lenyap dan kalah oleh bau harum yang keluar dari arak ketika minuman berwarna merah darah itu dituangkan oleh jari-jari tangan halus itu ke dalam cawan emas. Kun Hong memandang ke arah cawan emas di depannya. Timbul rasa muak kalau dia melihat warna arak itu karena merah seperti darah betul.

   Agaknya Kui-bo Thai-houw dapat membaca pikirannya, maka sambil tersenyum wanita itu berkata.

   "Jangan kau sembarang sangka. Arak ini disebut Liong-hiat-ciu karena memang betul-betul digunakan darah naga sebagai campuran. Akan tetapi biarpun darah naga, rasa arak ini tidak kalah oleh arak Nan-cang yang sudah disimpan ratusan tahun!"

   Nenek itu lalu mengeluarkan sehelai kantong sutera kuning yang disulam sepasang naga berebut mustika, ia membuka kantong itu dan silau mata Kun Hong ketika melihat batu-batu kemala yang amat indah ada yang putih ada merah, biru. kuning dan kesemuanya merupakan kumpulan batu yang amat indah dan mahal. Kui-bo Thai-houw mengeluarkan sebutir batu kemala yang warnanya kehijauan. Dengan hati-hati ia memasukkan batu giok itu ke dalam cawan arak Kun Hong. lalu katanya perlahan.

   "Kau lihat, arak ini bukan sembarang arak giok (batu kemala) inipun bukan giok sembarangan Bisa mencair di dalam arak Liong-hiat-ciu ini. Nah sekarang sudah mencair, hayo kita minum!"

   La mengangkat cawannya sendiri dan memberi isyarat supaya Kun Hong minum araknya yang sudah dicampuri batu kemala hijau yang mencair tadi.

   Kun Hong tidak berani membantah. Ia maklum bahwa wanita ini jauh lebih tinggi ilmunya dari padanya dan apapun yang akan kita lakukan, ia sudah berada di tangan Kui-bo Thai-houw, tidak ada artinya membangkang. Lagi pula. bukankah dia datang untuk minta tolong? Orang sudah berlaku baik menerimanya dengan segala kehormatan. Tak mungkin dengan minuman arak dicampur kemala itu Kui-bo Thai-houw akan bermaksud jahat. Kalau memang hendak mencelakakan dia apa sukarnya bagi wanita ini? Apa perlunya mesti menggunakan minuman beracun seperti kelakuan penjahat-penjahat kecil yang rendah? Dengan pikiran ini. tanpa ragu-ragu lagi Kun Hong mengangkat cawan emasnya dan minum arak merah itu sekali tenggak. Terdengar suara ketawa tertahan dari seorang nona baju merah ketika ia minum arak itu ditenggak habis sekaligus.

   Kui-bo Thai-houw juga mendengar suara ketawa ini karena tiba-tiba setelah menghabiskan araknya ia menoleh dan sepasang matanya memandang seorang di antara empat nona baju merah itu dengan pandang mata berapi!

   Gadis baju merah itu tiba-tiba menggigil mukanya yang manis menjadi pucat dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan Kui-bo Thai-houw sambil berkata lemah.

   "Mohon ampun. Thai-houw........."

   Kui-bo Thai-houw mengeluarkan senyum mengejek, alisnya tetap berkerut dan ia berkata, halus akan tetapi mendesis seperti ular marah.

   "Kau berani mentertawakan kami ya? Hayo keluarkan hatimu, hendak kulihat bagaimana besarnya maka kau seberani itu!"

   Kun Hong setelah minum arak bercampur batu giok itu merasa tubuhnya ringan dan enak sekali. Ada sesuatu yang mendorongnya untuk tertawa-tawa dan bergembira seperti orang mabok. Ia mengerahkan tenaga melawan desakan ini dan tetap tinggal diam dan tenang. Akan tetapi melihat kejadian di depannya itu ia menjadi heran dan bingung. Ia tidak tahu apa artinya perintah terakhir itu dan hatinya berdebar, siap untuk menolong nona baju merah itu kalau hendak dicelakakan.

   Ia melihat nona itu mengeluarkan isak tertahan mendengar perintah ini dan tiga orang nona baju merah yang lain berlutut dengan tubuh gemetar. Juga nona-nona rombongan baju berwarna lain yang berada di situ pada pucat mukanya namun tidak berani berkutik. Kemudian terjadi hal yang agaknya takkan dapat dilupakan oleh Kun Hong selama hidupnya.

   Ia melihat nona baju merah itu tiba-tiba bangun berdiri dan mulai menanggalkan baju atasnya, dilepaskannya semua begitu saja di depan Thai-houw, berarti di depan matanya juga. Tak lama kemudian nona itu sudah berdiri dengan tubuh bagian atas telanjang sama sekali dan di tangan kanannya memegang sebilah pisau pendek yang berkilauan saking tajamnya. Kemudian, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, gadis itu menusukkan pisau ke dadanya yang berkulit putih itu. membelek dan tangan kirinya bergerak cepat dimasukkan ke dalam dada melalui luka lalu merenggut sebuah jantung yang masih berlumur darah! Kemudian tubuh itu roboh tak bernapas lagi di depan Kui-bo Thai-houw dan Kun Hong!

   Kui-bo Thai-houw memberi aba-aba keras dan seorang nona baju merah yang lain telah menyambar jantung yang berada di tangan kiri kawannya yang sudah mati itu, lalu memberikannya kepada Thai-houw. Tanpa banyak cakap nenek ini lalu merobek jantung menjadi dua dan memasukkannya ke dalam cawan araknya dan cawan arak Kun Hong. Nona baju kuning yang diberi perintah lalu memenuhi lagi cawan-cawan itu.

   Kun Hong melompat berdiri, mukanya pucat sekali dan berpeluh. Ia berdiri memandang mayat nona baju merah yang setengah telanjang itu dengan mata terbelalak.

   "Ini......... ini......... terlalu sekali........ keji.........!"

   Katanya gagap.

   Tiba-tiba ia merasa tangannya ditarik ke bawah yang memaksanya duduk kembali dan terdengar suara lirih halus.

   "Kun Hong kau duduklah kembali yang enak!"

   Pemuda itu terduduk dan aneh sekali, kepalanya mulai berputar-putar rasanya dan semua yang nampak di situ berputaran. Akan tetapi ia tidak merasai sesuatu yang tidak enak malah tubuhnya terasa nyaman sekali. Ia masih dapat mendengar Thai-houw memberi perintah dan nona-nona dalam berbagai macam pakaian berwarna itu hilir-mudik dengan cepat membawa pergi mayat nona baju merah dan membersihkan lantai. Minyak wangi disiram di lantai mengusir bau darah yang amis.

   "Kun Hong. Liong-hiat-ciu dan jantung anak dara merupakan obat yang amat mujarab guna memperoleh usia panjang. Minumlah"

   Dalam ucapan terakhir ini terkandung pengaruh begitu luar biasa kuatnya sehingga seperti dalam mimpi Kun Hong minum arak dari cawannya. Terasa sesuatu yang manis dan hangat-hangat. Kemudian ia teringat dan membelalakkan mata berusaha sekuat tenaga untuk menguasai pikirannya.

   "Thai-houw. mana Im-yang-glok-cu? Yang kuminum tadi bukan Im-yang giok-cu karena menurut pendengaranku, Im-yang-giok-cu harus dimakan dengan ramuan obat........"

   Biarpun ia berada di bawah pengaruh obat luar biasa, kecerdikan Kun Hong tidak menjadi lenyap, maka ia masih bisa menggunakan akal untuk memancing.

   Kui-bo Thai-houw tertawa merdu.

   "Kau kira begitu mudah aku melepaskan Im-yang-giok-cu. biarpun itu untuk menyambung nyawamu? Harus kulihat dulu apakah nyawamu itu berguna bagiku atau tidak. Yang kau minum adalah Liong-hiat-ciu yang dapat melemahkan kemauanmu dan semenjak saat ini kau harus tunduk kepada segala kehendakku. Kalau kelak kau ternyata seorang anak baik, mudah saja mengobatimu dengan Im-yang-giok-cu. Pantas tidaknya kau tetap untuk hidup tergantung dari kau sendiri selama berada di sampingku Wanita itu tertawa lagi dan Kun Hong yang hendak melompat karena marah dan merasa tertipu itu tiba-tiba merasa tubuhnya kehilangan semua tenaga. Pandang matanya kabur dan tanpa ia sadari ia telah terguling dan kepalanya rebah di atas pangkuan Kui-bo Thai-houw.

   Kun Hong bermimpi atau hidup seperti dalam mimpi. Ia seperti lupa akan segala, tidak mempunyai kemauan lagi. Tahunya bahwa ia harus tunduk, taat. dan setia kepada Thai-houw yang kadang-kadang bersikap sebagai kekasihnya, kadang-kadang pula sebagai ibunya! Ia hidup dalam dunia yang aneh penuh keganjilan, penuh keseraman, penuh keindahan dan kesenangan. Ia disebut Thai-cu (pangeran) dan diperlakukan sebagai pangeran pula, semua gadis-gadis ayu berpakaian aneka warna itu menjadi hambanya, menjadi pelayannya! Juga empat orang wanita kembar yang aneh dan lihai itu menjadi pelayannya! Ia hanya tahu bahwa Thai-houw amat baik kepadanya, memberi pelajaran ilmu silat yang aneh sehingga kepandaiannya maju pesat, dan memberi obat Im-yang-giok-cu kepadanya beberapa bulan kemudian setelah ia betul-betul dianggap sebagai anak dan....... sebagai kekasih!

   Kita tinggalkan dulu Kun Hong yang hidup seperti di lain dunia dalam keadaan setengah sadar di bawah pengaruh obat perampas ingatan, hidup dalam keadaan mimpi di bawah kekuasaan Kui-bo Thai-houw, tokoh yang benar-benar hebat mengerikan dan luar biasa kejamnya itu.

   Sudah lama kita meninggalkan Wi Liong. Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah berhasil merenggut nyawa Siok Lan dari bahaya maut ketika gadis itu hendak membunuh diri dan terjun ke dalam jurang, Wi Liong sendiri tak dapat menolong diri dan kaitan kakinya pada akar pohon terlepas membual tubuhnya melayang turun ke dasar jurang! Sudah diceritakan pula betapa Kwa Cun Ek yang merasa berterima kasih kepada pemuda itu menuruni jurang dan mencari-cari. akan tetapi tidak menemukan tubuh pemuda itu, hanya melihat bekas darah dan robekan pakaian. Kwa Cun Ek pulang dengan hati duka mengira bahwa pemuda penolong puterinya itu tentu sudah tewas dan mayatnya digondol binatang buas. entah harimau entah ular besar.

   Betul demikiankah keadaan Wi Liong, seperti yang dikirakan oleh Kwa Cun Ek? Betulkah Thio Wi Liong, pemuda perkasa dan berhati mulia itu sudah tewas dalam keadaan mengerikan? Memang kadang-kadang nasib mempermainkan manusia dan sering kali terjadi hal-hal yang dalam anggapan manusia dan menurut perhitungan manusia seperti tidak adil nampaknya. Banyak manusia berhati baik bernasib buruk dan sebaliknya orang-orang berhati buruk bernasib baik. Memang pekerjaan Thian penuh rahasia yang taik dapat ditembusi oleh akal budi manusia sebagian besarnya sehingga nampak janggal. Akan tetapi kali ini Thian betul-betul masih melindungi orang baik, dalam hal ini Thio Wi Liong.

   Kalau dipandang sepintas lalu, memang tak masuk akal sekali kalau seorang manusia jatuh ke dalam jurang itu tidak kehilangan nyawanya. Jurang itu amat dalam lagi di bawahnya terdapat tetumbuhan liar dan batu-batu karang yang keras. Sekali tubuh manusia jatuh menimpa batu-batu itu pasti akan hancur lebur.

   Akan tetapi apa yang terjadi dengan Wi Liong? Ketika tubuhnya melayang ke bawah, ia merasa sesak tak dapat bernapas dan ia menjadi pingsan karenanya. Tubuhnya tertumbuk-tumbuk akar dan batu, terlempar ke kanan kiri dan pakaiannya robek-robek. Justeru pakaian yang robek-robek inilah yang menolong nyawanya. Pakaian yang robek itu melambai-lambai ketika ia jatuh dan kebetulan sekali, kita hanya bisa memakai kata kebetulan karena kekuasaan Thian demikian anehnya sehingga kata-kata yang sesuai bagi manusia hanyalah "kebetulan", ujung pakaian itu mengait kayu pohon yang menonjol keluar di tebing jurang dekat dasar. Tubuh Wi Liong tersentak, terputar-putar akan tetapi justru ini membuat "ikatan"

   Pakaiannya dengan kayu pohon itu menguat dan mencegah kejatuhannya ke bawah. Demikianlah, Wi Liong "tergantung"

   Di kayu pohon itu dalam keadaan pingsan!

   Aneh,, bukan? Tidak, tidak aneh setelah kita mengetahui sebab-sebabnya. Di situ ada kayu pohon menonjol, baju Wi Liong terbentur-bentur sampai robek-robek dan "kebetulan"

   Menyangkut kayu itu. Tidak aneh, hanya kebetulan! Dan kebetulan inipun tidak aneh karena selama hidupnya dia adalah seorang pemuda yang berhati baik dan berpikiran bersin.

   Ketika ia siuman kembali, pertama-tama yang terasa oleh Wi Liong adalah tubuhnya yang sakit -sakit, ia mengerang perlahan dan menggerakkan tubuhnya. Akan tetapi sukar digerakkan dan ia merasa seakan-akan kedua tangannya terbelenggu. Ketika ia membuka mata dan kesadarannya sudah pulih betul, barulah ia tahu bahwa tubuhnya tergantung di udara pada ujung kayu pohon, bajunya dari bawah sampai leher tergulung ke belakang di kayu itu sehingga kedua tangannya seperti ditekuk ke belakang. Ia tergantung tak jauh dari dasar jurang hanya lima enam kaki lagi".

   Wi Liong bergidik. Sekarang terbuka matanya dan tahulah ia bahwa nyawanya tertolong pada detik-detik terakhir. Kemudian ia teringat kepada Siok Lan. Wi Liong tersenyum! Memang ada betulnya juga kalau orang bilang bahwa orang muda yang bercinta itu sudah miring otaknya! Buktinya si Wi Liong ini. diri sendiri berada dalam keadaan seperti itu, lebih mati dari pada hidup kok masih bisa tersenyum begitu teringat kepada Siok Lan! Ia tersenyum karena girang ketika teringat bahwa ia telah dapat menolong gadis itu dari bahaya maut. Akan tetapi tiba-tiba mukanya yang berseri itu berubah, malah dua titik air mata turun ke atas pipinya, bibirnya berbisik.

   "Bu-beng Siocia...... Sok Lan...... ah, manusia tolol kau!"

   Dengan gemas sekali Wi Liong menggerakkan kedua tangan memberontak, tangan kanan dipakai menampar kepalanya sendiri. Oleh gerakan ini bajunya yang menyangkut kayu menjadi robek dan ia jatuh ke bawah, baiknya tidak tinggi dan ia terguling ke atas rumput becek dan basah.

   Gila tidak? Memang orang muda yang di-mabok cinta suka melakukan perbuatan-perbuatan yang gila, lucu, dan......... mengharukan. Betapa tidak? Lihat saja Wi Liong itu. Pemuda tampan ganteng, berkepandaian tinggi sebagai murid tunggal Thian Te Cu. Gagah perkasa dan berwatak budiman, sekarang seperti anak kecil atau seperti orang yang miring otaknya, bergulingan di atas rumput becek sambil menangis dan menyebut-nyebut nama Bu-beng Siocia dan Siok Lan!

   "Aku harus mencari dia, aku harus minta ampun kepadanya....... ah. Siok Lan....... aku......... aku menolakmu karena tidak tahu bahwa kaulah Bu-beng Siocia......"

   Wi Liong bangun berdiri tapi terguling pula karena pahanya terasa sakit sekali. Ia meraba pahanya dan ternyata pahanya terluka berdarah.

   Ia tersenyum! Siok Lan yang melukainya dengan pedang. Dia tentu mau mengampuniku. dia sudah melukaiku. Tapi aku tak boleh sembrono, harus mencari perantara. Suhu.........? Ah, suhu mana mau mencampuri urusan perjodohan? Paman Kwee? Ah, justeru paman Kwee yang sudah memutuskan pertunangan itu.

   Demikianlah, sambil merawat lukanya Wi Liong melakukan perjalanan keluar dari tempat itu, memasuki hutan dan mengembara di dalam hutan seperti orang yang kehilangan ingatannya. Pakaiannya compang-camping, mukanya kurus kotor dan ia hanya makan buah-buah kalau perutnya sudah tak tertahankan lagi laparnya.

   Ia mengembara terus sampai beberapa pekan tanpa tujuan tertentu karena ia selalu masih merasa bimbang. Hatinya ingin sekali ia mendatangi rumah Kwa Cun Ek di Poan-kun untuk menemui Siok Lan dan minta ampuni, akan tetapi ia bergidik kalau teringat betapa gadis itu akan menjadi marah-marah melihatnya. Bagaimana kalau Siok Lan mengambil keputusan pendek membunuh diri lagi kalau melihat ia datang?

   Akhirnya ia menguatkan hatinya dan pergilah Wi Liong ke Poan-kun. Kakinya gemetar gelisah ketika ia berjalan memasuki pekarangan depan rumah kekasihnya itu. Mulut dan tenggorokannya terasa kering sehingga beberapa kali ia menelan ludah untuk menenangkan hatinya. Rumah itu sunyi saja. Ia naik anak tangga dan tiba di ruangan depan. Semua pintu dan jendela tertutup, ia makin heran dan maju ke pintu diketuknya pintu itu. Sunyi saja. Diketuknya lagi agak keras.

   Terdengar tindakan kaki di sebelah dalam.

   Wi Liong mundur tiga tindak dan jantungnya berdebar-debar keras. Siapakah yang akan keluar? Kwa Cun Ek, Tung-hai Sian-li, ataukah Siok Lan sendiri? Ia melirik; pakaiannya dan tiba-tiba merah mukanya, Bagaimana perasaan Siok Lan kalau melihat keadaannya seperti pengemis itu? Cepat- cepat secara otomatis ia membetulkan letak topinya yang selama ini miring di kepalanya tanpa diperdulikan.

   Gesit-gesit suara pinlu dibuka dari dalam dan....... seorang pelayan laki-laki sudah tua muncul, memandang kepada Wi Liong penuh selidik.

   "Mencari siapa?"

   Tanyanya kurang hormat karena keadaan Wi Liong dengan pakaiannya yang tidak karuan itu memang tidak bisa memancing penghormatan orang.

   Kembali lagi darah Wi Liong yang tadinya sudah meninggalkan mukanya dalam ketegangannya menanti siapa yang akan muncul di depannya. Kembali lagi ketenangannya yang tadi sudah terbang pergi entah ke mana.

   "Lopek, aku mencari Kwa-lo-enghiong......"

   Katanya.

   "Tidak ada orang........ tidak ada orang sama sekali di rumah. Semua pergi, mula-mula siocia, lalu hujin lalu Kwa-loya sendiri........ hanya ada aku yang menjaga rumah"

   Jawab pelayan itu.

   Kembali Wi Liong pucat mukanya, kini pucat karena gelisah. Ke mana mereka itu pergi dan kenapa pula pergi?

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Lopek. ke mana mereka pergi dan kenapa?"

   Mulutnya meniru suara hatinya, dengan suara perlahan agak gemetar.

   "Siapa tahu? Kwa-loya tidak menanggalkan apa-apa kecuali harus menjaga rumah baik-baik. Kau siapakah mau tahu segala urusan?"

   Wi Liong menarik napas panjang, tidak tahu harus menjawab apa dan pelayan itu nampak marah karena diganggu, tanpa berkata apa-apa lagi lalu membanting daun pintu di depan hidungnya. Wi Liong berdiri seperti patung untuk beberapa lama. Kemudian ia melangkah keluar, menengok lagi lalu menyelinap ke pinggir rumah dan mengayun tubuhnya melompat naik ke atas genteng. Bagaimanapun juga. ia harus membuktikan sendiri bahwa rumah itu kosong bahwa Siok Lan tidak berada di situ.

   Benar saja, ketika ia mengintai dari atas. rumah itu kosong, yang ada hanyalah pelayan tadi yang sibuk menjahit pakaiannya sendiri yang robek. Dengan hati kosong Wi Liong melompat turun dan langkah kakinya lemas ketika ia berjalan keluar dari pekarangan rumah itu.

   "Heh-heh-heh, orang muda, kau kecewa? Aku juga kecewa mendapatkan rumah itu kosong, hanya dijaga pelayan galak!"

   Wi Liong sadar dari keadaannya seperti melamun itu dan memandang. Ia melihat seorang kakek gemuk pendek berpakaian seperti pengemis akan tetapi kain baju tambal-tambalan ini semuanya baru dan bersih. Lengan kiri kakek ini buntung sebatas siku dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu butut. Sepatunya mengkilap hitam, baru! Kakek itu sedang duduk di atas rumput dan karena tubuhnya memang pendek sekali ketika ia duduk tadi ia tidak begitu kelihatan.

   Mula-mula Wi Liong tidak mengenalnya dan mengira ia berhadapan dengan seorang pengemis. Akan tetapi ketika pikirannya sudah terang benar, ia terkejut karena mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Lam-san Sian-ong tokoh selatan yang amat terkenal di dunia kang-ouw ini. Tentu saja pertemuan ini menggirangkan hatinya karena Lam-san Sian-ong juga hadir ketika dulu mereka semua diserang oleh Kun Hong dan kawan-kawannya di Kelenteng Siauw-lim-si, di mana selain Lam-san Sian-ong juga hadir Tung-hai Sian-li See-thian Hoat-ong, Pak.thian Koai-jin. Eng Lan dan Siok Lan. Kakek ini sahabat baik keluarga Siok Lan, tentu ia tahu di mana adanya mereka. Cepat ia memberi hormat, menjura dan berkata.

   ''Kiranya lodanpwe Lam-san Sian-ong yang berada di sini. Maafkan aku berlaku kurang hormat, karena tidak mengenal locianpwe"

   Kakek buntung itu tertawa aneh.

   "Orang muda seperti kau mana bisa mengenal aku? Kalau kau orang lainpun tentu takkan mengenal aku. Hanya orang tolol saja yang tidak mengenal orang yang buntung tangannya!"

   Memang kakek ini kalau bicara seenak perutnya sendiri. Wi Liong kembali memberi hormat dan berkata merendah.

   "Harap locianpwe sudi memberi maaf."

   "Aku tidak punya maaf mana bisa diberi-berikan orang?"

   Ia memandang lebih teliti kemudian berkata dengan suara keras seperti berteriak.

   "Aha, kiranya kaukah ini? Ah. aku mendengar kau murid Thian Te Cu, hebat...... hebat......! Tapi kenapa kau sekarang begini kurus? Pakaianmu compang-camping. Apa sekarang kau menjadi pengemis?"

   Wi Liong sudah tahu akan keanehan kakek ini maka ia tidak menjadi marah mendengar kata. kata yang tidak karuan itu.

   "Aku datang hendak mencari..... Kwa-lo-enghiong."

   Tentu saja sebetulnya ia mencari Sok Lan, akan tetapi mana bisa ia mengaku di depan setiap orang?

   "Haa......... mana bisa. Orang she Kwa itu selamanya seperti orang gila. Sekarangpun ia sudah pergi, katanya menyusul anak dan isterinya yang juga pergi. Tahu aku jauh-jauh datang hendak memberi selamat atas berkumpulnya suami isteri itu kembali, kenapa malah pergi?"

   Ia lalu menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala dan memukul mukulkan tongkatnya di atas tanah.

   "Apa mereka marah kepadaku? Apa orang she Kwa cemburu kepadaku? Ha-ha. agaknya tak mungkin. Biarpun Lee Hui Goat menolak pinanganku dan kembali kepada suaminya, aku tidak iri hati. malah girang......... ha-ha. orang dua itu memang gila berkumpul kembali mencari kepusingan!"

   Ia lalu tertawa tawa dan Wi Liong mendengarkan dengan heran.

   Biarpun ia tidak tahu nama Tung-hai Sian Li akan tetapi dapat menduga bahwa yang disebut Lee Hui Goat itu tentulah Tung-hai Saan-li. Tiba tiba ia merasa kasihan kepada kakek buntung ini. Orang seperti dia ini meminang Tung-hai Sian-li? Benar-benar lucu. lucu dan tak tahu diri. juga...... kasihan sekali. Apakah orang buruk rupa dan orang bercacad tidak berhak mencinta? Cinta kasih tidak memilih orang,, yang dirangsang hatinya, bukan-tubuhnya. Lam-san Sian-ong mencinta Tung-hai Sian-li! Agaknya Wi Liong akan tertawa dan tidak percaya kalau tidak mendengar omongan kakek buntung ini sendiri.

   "Kalau begitu locianpwe juga tidak tahu ke mana perginya Kwa lo-enghiong dan anak isterinya?"

   "Kwa Cun Ek tak pernah bepergian, sekali pergi tentu sukar dicari tempatnya. Puterinya itu gadis berandalan, ke mana perginyapun siapa yang tahu? Kalau Tung-hai Sian-li, mudah saja mencarinya. Eh. orang muda. kau bernama apa? Kabarnya kau keponakan Kwee Sun Tek, betulkah?"

   "Namaku Thio Wi Liong dan memang Kwee Sun Tek adalah pamanku......."

   "Eh, kau datang ke sini mencari mereka ada apakah? Kau kelihatan seperti orang sakit, sakit badan sakit pikiran. Hee........ sampai lupa aku, bukankah Kwa Cun Ek akan berbesan dengan Kwee Sun Tek. Jadi....... kau ini....... kau calon mantunya Tung.hai Sian-li?"

   Mendengar ini, tergerak hati Wi Liong. Tentu kakek ini yang akan dapat menolongnya sebagai perantara untuk penyambungan kembali perjodohannya yang telah ia patahkan sendiri. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menitikkan air mata.

   "Locianpwe, tolonglah saya......."

   Kakek itu melengak keheranan. Diketuknya kepala Wi Liong dengan tongkat bututnya sambil berkata.

   "Orang muda. apa ingatanmu sudah berubah? Apa kau tidak gila? Kalau tidak, coba ceritakan yang jelas."

   Wi Liong lalu menuturkan semua pengalamannya, tentang pertunangannya dengan Kwa Siok Lan yang dibatalkan mula-mula oleh pamannya kemudian diperkuat olehnya sendiri, tentang Bu-beng Siocia yang ternyata adalah Kwa Siok Lan tunangannya sendiri dan tentang peristiwa akhir-akhir ini. Ia ceritakan semua, tidak ada yang disembunyikan karena ia mengharapkan pertolongan kakek ini.

   Setelah mendengar penuturan ini, Lam-san Sian-ong terkekeh-kekeh seperti mendengar sebuah cerita yang amat lucu.

   "Salahmu sendiri, mengapa kau tolong dia dan tidak mati saja bersama di dasar jurang? Bukankah lebih enak mati bersama dari pada hidup terpisah merana? Ha-ha-ha. memang hidup itu sengsara, tak perlu dihadapi dengan air mata.

   "Saya yang muda dan bodoh masih mengharapkan hidup bahagia di samping Siok Lan, kalau locianpwe sudi menolong tentu akan berhasil menyambung kembali tali perjodohan."

   Kata Wi Liong memohon.

   "Bodoh! Ayahnya keras kepala mana anaknya tidak keras kepala pula? Ibunya mudah tersinggung tentu anaknya mudah marah. Tolong sih bisa. akan tetapi berhasil atau tidak entah. Paling perlu menemui Tung-hai Sian-li. bicara dengan dia aku lebih senang. Tentu dia sedang menghibur diri di sepanjang mulut Sungai Yang-ce yang masuk ke laut seperti biasa kalau dia berduka selalu menghibur diri dengan burung-burung di sana....... akan tetapi enak saja kau minta tolong. Kau sendiri bisa tolong apa padaku!"

   "Locianpwe boleh menyuruh apa saja. akan saya penuhi untuk membalas budi locianpwe yang besar ini,"

   Kata Wi Liong girang.

   Kakek itu memandang tajam, mengerutkan kening berpikir-pikir. Kemudian ia mengangguk-angguk dan berkata.

   "Kau harus menjadi auak angkatku, karenanya aku bisa menjadi walimu. Dan sebagai anak angkat, kau harus berganti pakaian yang baik dan patut. Pula, sebagai anak angkat, kau harus membantu aku membalaskan perbuatan Bu-ceng Tok-ong terhadapku ini!"

   Ia mengacungkan lengan kirinya yang buntung.

   Wi Liong berpikir sejenak. Tidak ada keberatannya menjadi anaik angkat orang aneh ini dan berpakaian pantas, tentang membalaskan Bu ceng Tok-ong, tokoh itu memang orang jahat, patut kalau diberi hukuman. Ia lalu mengangguk angguk dan berjanji mentaati semua kehendak ayah angkatnya". Semenjak itu ia menyebut gi-hu (ayah angkat) kepada kakek itu yang menjadi girang sekali.

   Dataran rendah di lembah Sungai Yang-ce amatlah indah pemandangannya. Apa lagi kalau datang musim semi, segala macam tetumbuhan menjadi, seribu macam bunga berkembang. Sungai Yang-ce yang amat panjang itu mengakhiri aliran airnya di Laut Kuning, melalui sebelah selatan Propinsi Kiang- (Lanjut ke Jilid 22)

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 22

   su, atau boleh juga dibilang bahwa alirannya memasuki perbatasan antara Laut Kuning dan Laut Timur.

   Di sepanjang lembah sungai yang mendekati laut ini amat indah pemandangannya. Airnya tenang sungai di bagian ini sudah melebar dan alirannya tidak deras lagi. Banyak juga ikan di perairan ini, akan tetapi tidak ada yang mencari ikan di sini karena pera nelayan tentunya lebih suka mencari ikan di laut yang lebih banyak menghasilkan ikan-ikan besar. Maka tempat ini pun sunyi saja.

   Pada suaitu hari, pagi-pagi ketika matahari mulai naik dari ufuk timur sebuah perahu kecil meluncur dari arah timur ke barat. Perahu ini didayung oleh seorang wanita dan melihat perahu yang amat cepatnya melawan arus sungai sedangkan pendayungmya hanya seorang wanita, dapat diduga bahwa wanita ini bukanlah orang sembarangan. Ia sudah berusia empat puluhan lebih-namun masih kelihatan cantik, pakaiannya sederhana namun rapi, sikapnya keren dan di punggungnya terselip sebatang pedang. Rambutnya digelung ke atas dan pada wajah yang masih berkulit putih halus dan cantik itu terbayang kedukaan yang mendalam sehingga muka itu kelihatan agak kurus.

   Ketika tiba di tempat yang indah di mana burung-burung belibis putih beterbangan riang gembira, wajah itu menjadi berseri sedikit dan pipinya menjadi agak merah, bibirnya tersenyum. Dengan gerakan ringan ia mendayung perahunya ke pinggjr, lalu melompat ke darat sambil memegang ujung sebuah tambang perahunya. Gerakannya lincah seperti burung-burung yang beterbangan itu. Cepat ia mengikatkan ujung tambang pada sebatang pohon untuk mencegah perahunya hanyut, kemudian ia berjalan mendekati burung-burung yang beterbangan.

   Dengan wajah gembira wanita itu meruncingkan mulutnya dan mengeluarkan bunyi mencicit yang tinggi nyaring. Aneh sekali burung-burung belibis yang beterbangan di udara itu tiba-tiba menukik ke bawah menghampirinya, malah burung-burung yang tadinya menyambari ikan-ikan kecil di permukaan air, juga terbang menghampiri ketika mendengar "panggilan"

   Istimewa itu. Tak lama kemudian, ketika wanita itu mengembangkan kedua lengan, beberapa ekor burung hinggap di atas lengannya seperti burung-burung peliharaan yang jinak, sedangkan yang lain beterbangan di atas kepalanya,

   "Anak-anak yang baik......."

   Terdengar wanita itu berkata perlahan dan mesra.

   "anak-anak yang baik, sudah kenyangkah kalian?"

   Kedua tangannya mengelus-elus kepala dua ekor burung yang hinggap di kedua lengannya. Amat mengharukan perhubungan mesra antara seorang manusia dengan burung-burung liar di tempat yang sunyi itu. Memang demikianlah kiranya yang dikehendaki oleh alam, hubungan baik bukan saja antara makhluk sebangsa, melainkan antara sesama hidup. Alangkah harmonis dan menyedapkan pandangan mata keadaan itu, tempat sunyi, air mengalir perlahan dan tenang, menampung bayangan batu karang, pohon, dan bukit-bukit kecil. Angin bersilir lembut membelai daun-daun pohon. Dan wanita yang tidak muda lagi akan tetapi masih cantik itu bermain-main dengan burung-burung belibis putih yang sebetulnya adalah burung-burung liar. Enak dipandang!

   Tiba-tiba burung-burung yang beterbangan di atas kepala wanita itu terbang pergi sambil mengeluarkan suara mencicit keras seperti kaget dan ketakutan. Hanya dua ekor burung yang hmggap di lengannya itu yang masih belum terbang. Wanita itu kaget lalu menoleh. Kiranya yang mengagetkan burung-burung itu adalah seorang kakek pendek berlengan buntung sebelah dan seorang pemuda tampan.

   "Di dunia penuh orang-orang yang akan suka menjadi sahabatmu, akan tetapi kau memilih burung-burung menjadi kawan! Banyak sudah kujumpai wanita aneh, akan tetapi tidak ada yang seperti kau, Tung-hai Sian-li!"

   Kata kakek itu menyeringai dan mengetuk-ngetukkan tongkat bambunya di atas tanah, membuat dua ekor burung yang tadinya masih hinggap di atas kedua lengan wanita itu kini terbang pergi saking kagetnya. Sementara itu, melihat ibu Siok Lan. dengan muka merah Wi Liong cepat mengangkat kedua tangan ke dada memberi hormat.

   Tung-hai Sian-li membalikkan tubuh menghadap mereka. Keningnya berkerut ketika ia melihat Wi Liong dan pandang matanya melembue ketika ia melihat kakek itu yang bukan lain adalah Lam-san Sian-ong, seorang sahabatnya yang amat baik seorang laki-laki yang mendatangkan rasa kasihan di dalam hatinya, tidak saja karena lengan buntung, akan tetapi juga karena pernah jatuh cinta kepadanya tanpa ia dapat membalas.

   "Memang dunia penuh orang, akan tetapi orang orang macam apa, Sian-ong? Kebanyakan orang-orang dengan hati palsu, orang-orang yang tidak setia dan orang-orang yang suka menyusahkan orang lain saja. Bagiku lebih baik memilih hewan-hewan yang tidak sekotor manusia!"

   Sambil berkata demikian, sepasang mata yang bening tajam itu menyambar ke arah Wi Liong yang menjadi makin merah mukanya. Ia merasa disindir oleh orang yang sedianya akan menjadi ibu mertuanya ini.

   Lam-san Sian-ong tertawa terkekeh.

   "Heh-heh-heh aku tahu maksudmu. Sian-li, kau tentu menujukan omonganmu kepada mantumu ini keponakan Kwee Sun Tek. ha-ha-ha."

   "Aku tidak punya mantu macam dia, aku tidak berbesan dengan manusia bernama Kwee Sun Tek!"

   "Ho-ho, perlahan dulu, dewi! Kau takkan berbesan dengan dia lagi melainkan dengan aku dan kau akan bermenantukan anak angkatku, bukankah ini pengikat hubungan yang baik sekali?"

   Tung-hai Sian-li tertegun dan heran.

   "Apa....... apa maksudmu?"

   "Mari kita duduk, tak enak bicara sambil berdiri seperti ini."

   Kata kakek buntung itu sambil mengajak Tung-hai Sian-li dan Wi Liong duduk di atas batu-batu di pinggir sungai. Anehnya terhadap kakek buntung ini. Tung-hai Sian-li yang biasanya berhati keras itu, kelihatan menurut tanpa banyak cakap.

   "Ceritakanlah kehendakmu, ringkas saja. Aku tak banyak waktu,'' kata wanita itu, sikapnya masih keren dan tegas.

   "Baik. baik......"

   Kakek buntung itu mengangguk-angquk. kemudian ia menceritakan persoalan yang dialami oleh Wi Liong secara singkat, tentang pertemuan yang aneb antara Wi Liong dan Bu-beng Siocia sehingga antara mereka terikat semacam cinta kasih, sehingga pemuda itu rela memutuskan pertunangannya dengan Kwa Siok Lan tanpa mengetahui bahwa Bu-beng Siocia yang dicintanya itu bukan lain adalah Siok Lan sendiri. Semua ia tuturkan dengan ringkas namun cukup jelas dan Tung-hai Sian-li agaknya amat tertarik sehingga ia sama sekali tidak mengganggu penuturan itu dan kadang-kadang melirik ke arah Wi Liong yang selalu menundukkan muka dengan terharu.

   "Nah, sekarang kau tahu persoalannya."

   Lam-san Sian-ong menutup penuturannya.

   "Memang Wi Liong bodoh, akan tetapi puterimu juga keterlaluan mempermainkan tunangannya sendiri sehingga terjadi salah pengertian yang mengakibatkan korban perpecahan. Sekarang bocah ini menjadi anak angkatku dan aku berhak membicarakan urusan perjodohannya dengan kau. Aku menghendaki supaya tali perjodohan antara anakmu dan anak angkatku ini disambung lagi Tung-hai Sian-li."

   Mendengar kata-kata ini, tahulah Wi Liong bahwa kalau biasanya kakek buntung ini bicara tidak karuan itulah bukan wataknya, hanya menurutkan kebiasaannya yang aneh. Buktinya sekarang ia bisa bicara begitu jelas dan baik.

   Akan tetapi mendengar penuturan itu. Tunghai Sian-li kelihatan berduka sekali lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Mencari dia saja belum bisa bertemu bagaimana mau bicara tentang perjodohannya?"

   Ia menarik napas panjang. Kemudian sambil melirik ke arah Wi Liong ia berkata.

   "Kalau pemuda ini bisa mendapatkan kembali anakku yang hilang, baru aku mau bicara tentang perjodohan."

   Mendengar ini, Wi Liong berdiri lalu berkata dengan tegas.

   "Aku akan mencari Lan-moi sampai dapat!"

   Setelah berkata demikian, ia memberi hormat kepada Lam-san Sian-ong dan berkelebat pergi dari tempat itu.

   Dengan cepat sekali Wi Liong berlari kembali ke Poan-kun. Sepanjang jalan ia berpikir-pikir. Sekarang ternyata olehnya bahwa gadis itu sudah pergi berpisah dengan ibu dan ayahnya. Entah ke mana perginya kekasihnya yang berwatak aneh dan keras itu. Ia harus menerima sampai dapat, harus dapat membujuknya pulang dan mengampuninya.

   Dengan sabar dan teliti Wi Liong menyelidiki sekeliling Poan-kun, bertanya-tanya tentang diri Siok Lan. Gadis ini terkenal di daerah itu. maka akhirnya usahanya berhasil Ada seorang anak kecil yang melihat gadis itu berlari cepat keluar dari Poan-kun menuju ke barat. Berdasarkan petunjuk inilah Wi Liong mulai dengan perjalanannya mencari jejak Siok Lan. Berbulan-bulan ia melakukan perjalanan, menurutkan petunjuk setiap kabar mengenai diri Siok Lan yang makin tidak jelas lagi jejaknya. Namun Wi Liong tak pernah berputus asa mencari dengan penuh harapan.

   Beberapa bulan kemudian, ia tiba di tepi Sungai Wu-kiang. yaitu sungai yang memuntahkan airnya di sungai besar Yangce-kiang. Jejak Siok Lan, atau kabar yang ia dengar dari orang-orang tentang gadis itu, lenyap sebulan yang lalu di Telaga Tung-ting sehingga ia merana terus ke barat sampai di tepi Sungai Wu-kiang itu, dalam sebuah hutan yang liar dan sudah sepekan lebih ia tidak bertemu dusun tak bertemu manusia.

   Agak gembira juga, hatinya ketika ia melihat beberapa orang nelayan sedang menangkap ikan dengan jala dari perahu-perahu mereka. Pada saat Wi Liong hendak mendekati mereka, tiba-tiba ia mendengar suara banyak orang di sebelah kanan dan kagetlah ia ketika ia mengenal orang, orang yang sedang berduyun-duyun memasuki perahu besar di tepi sungai iitu. Mereka adalah orang-orang kang-ouw dan di antara mereka ia melihat beberapa orang panglima yang dulu bersama Bu-ceng Tok-ong dan Kun Hong pernah mengeroyok dia dan orang-orang gagah di Kuil Siauw-lim-si. Dari gerak-gerik mereka ketika melompat ke perahu, dari senjata-senjata yang mereka bawa, tahulaih ia bahwa mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi. Semua ada tujuh orang yang beramai naik perahu itu menyeberang sungai.

   Setelah mereka itu menyeberang, baru Wi Liong muncul. Ia melilhat dua orang nelayan yang tadinya mencari ikan kini bercakap-cakap sambil menuding ke arah seberang sungai, agaknya mempercakapkan orang-orang yang menyeberangi sungai tadi. Melihat munculnya seorang pemuda, mereka segera menghentikan percakapan.

   "Ji-wi toako. kulihat tadi banyak orang menyeberang. Ada keramaian apakah di sana?"

   Tanya Wi Liong yang berlagak seorang pelancong, dan yang haus aikan tontonan.

   Akan tetapi dua orang nelayan itu malah memperlihatkan muka heran mendengar pertanyaan ini. Memang di tempat ini'tak pernah didatangi pelancong, tentu saja mereka merasa heran melihat seorang pelancong berjalan kaki muncul di hutan tepi sungai itu. Masih mending kalau pelancong ini datangnya berperahu.

   "Setahu kami tidak ada keramaian apa-apa kecuali pesta perkawinan di rumah Chi-loya. Mungkin sekalil tuam-tuan tadi adalah tamu- tamu yang hendak mengunjungi pernikahan Chi-loya!"

   Jawab seorang di antara mereka.

   Wi Liong memang tadinya tertarik melihat orang-orang kang-ouw itu. Di tempat seperti ini. di selatan pula. muncul orang-orang yang membantu bala tentara Mongol, benar-benar amat mencurigakan dan aneh. Hal ini harus ia selidiki, pikirnya. Akan tetapi ia berpura-pura tidak begitu mengacuhkan orang-orang tadi dan sebaliknya kelihatan tertarik mendengar pesta perkawinan.

   "Ada pesta, tentu ramai! Siapakah Chi-loya itu dan di mana ia tinggal?"

   Dua orang nelayan itu saling pandang, terheran-heran mendengar ada orang belum mengenal Chi-loya. Padahal semua orang yang tinggal di sepanjang lembah sungai, tahu belaka siapa itu Chi-loya.

   "Aku datang dari jauh, sengaja melancong mencari pemandangan bagus, tentu saja tidak mengenal Chi-loya,"

   Kata pula Wi Liong melihat keheranan mereka Dua orang nelayan itu mengangguk-angguk dan kini malah dengan penuh kegairahan mereka menceritakan siapa adanya Chi-loya itu.

   "Tanah yang tuan injak ini milik Chi-loya. juga tanah di seberang sana dan di sepanjang lembah sungai ini sampai berpuluh li jauhnya."

   Nelayan itu memberi penjelasan dan kemudian ia menuturkan bahwa Chi-loya adalah seorang hartawan besar yang boleh dibilang merajai daerah itu, pengaruh kekayaannya sampai meliputi beberapa buah desa di sektar situ. Juga selain kaya raya. Chi-loya amat dermawan dan tak seorangpun penduduk di sepanjang Sungai Wu-kiang yang tidak mengenalnya dan mentaatinya. Ia disegani dan ditakuti bukan saja karena hartanya dan dermawannya. akan tetapi juga karena kepandaian ilmu silatnya yang tinggi. Di daerah itu Chi-loya malah mendapat sebutan Wu-kiang Siauw-ong (Raja Muda Sungai Wu-kiang)!

   Wi Liong mengangguk-angguk dan tahulah sekarang ia mengapa ia melihat orang-orang kang-ouw di situ. Tentu untuk mengunjungi orang she Chi yang ternyata juga seorang berkepandaian tinggi itu. Akan tetapi mengapa panglima-panglima dari utara!

   "Apakah Chi-loya hendak mengawinkan anaknya?"

   Tanyanya karena orang yang dipanggil loya (tuan tua) tentulah sudah tua dan kalau merayakan perkawinan tentu perkawinan anaknya atau cucunya.

   

Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pedang Naga Kemala Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono

Cari Blog Ini