Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 24


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 24



"Selagi aku pingsan Ngo-tok-kauw diserbu orang-orang Ban-mo-to, para- pemimpinnya dibunuh dan tahu-tahu Eng Lan mereka bawa pergi. Aku hendak menyusul ke Ban-mo-to untuk menolongnya."

   Pak-thian Koai-jin nampak terkejut.

   "Ayaaa.........! Anak itu memang bernasib baik......!"

   Wi Liong mau tak mau melongo mendengar kata-kata ini.

   "Bernasib baik? Bagaimana maksud locianpwe? Bukankah dia berada dalam bahaya?"

   Pak-thian Koai-jin mengangguk-angguk.

   "Justeru itulah kukatakan bernasib baik, selalu dalam bahaya akan tetapi aku percaya selalu akan tertolong. Coba saja pikir, mana ada orang yang begitu banyak menghadapi pengalaman-pengalaman hebat seperti dia? Baru saja ditawan Ngo-tok-kauw, sekarang ditawan orang-orang Ban-mo-to! Dia ditawan berarti tidak dibunuh, dan ini berarti dia masih ada harapan ditolong."

   Memang Pak-thian Koai-jin kalau bicara seenaknya saja, akan tetapi diam-diam Wi Liong harus membenarkan pendapatnya itu biarpun kedengarannya aneh.

   "Betapapun juga, locianpwe, aku sudah lama mendengar tentang kekejaman orang-orang Ban-mo-to yang kabarnya tidak kalah oleh Thai Khek Sian dan orang- orang Mo-kauw yang lain, tentu saja jauh lebih kejam dari pada Ngo-tok-kauw. Lebih baik kita cepat-cepat menyusul dan berusaha menolong muridmu itu."

   Tiba.-tiba kakek itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, kelihatan ekormu! Jadi kau mencinta muridku? Bagas......... bagus......... setelah dia tertolong akan kuusahakan supaya dia mau menerimamu......... ha-ha-ha!"

   Wi Liong kaget dan mengerutkan keningnya, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh.

   "Locianpwe, bagaimana kau bisa bilang begitu? Aku......... aku tidak bisa mencinta dia, juga tidak mencinta wanita lain, aku hendak menolongnya karena itu sudah merupakan kewajibanku. Kuharap mulai sekarang locianpwe janganlah mengganggu muridmu itu tentang perjodohannya dengan aku, karena kalau aku tidak salah terka, muridmu itu mencinta Kun Hong dan ini baik sekali. Locianpwe sebagai gurunya seyogianya, membantunya supaya dia dapat berjodoh dengan pilihan hatinya sendiri, jangan malah merintangi."

   Pak-thian Koai-jin melengak mendengar kata-kata yang panjang lebar ini. Ia terang sekali kecewa, lalu mengomel sambil menghela napas panjang pendek,

   "Apa kau kira aku tidak tahu bahwa dia tergila-gila pada Kun Hong? Aku ke mana-mana mengikutinya dan mencarikan batu Im-yang-giok-cu, apakah itu semua bukan karena aku hendak membantunya menolong Kun Hong? Hanya saja, aku lebih suka. kalau dia memilih engkau. Sudahlah......... sudahlah......... orang- orang muda jaman sekarang memang keras kepala........."

   "Locianpwe, marilah segera menyusul orang-orang Ban-mo-to. jangan sampai kita terlambat dan terjadi apa-apa dengan muridmu itu."

   Teringat akan hal ini, Pak-thian Koai-jin menjadi bersemangat lagi dan berangkatlah dua orang itu, berlari cepat ke timur untuk menyusul orang-orang Ban-mo-to. Baru saja mereka keluar dari hutan itu dan tiba di jalan besar, terdengar seruan nyaring sekali dari kanan.

   "Haaaiii! Bukankah itu Pak-thian Koai-jin yang di depan!"

   Pak-thian Koai-jin dan Wi Liong berhenti dan membalikkan tubuh. Seorang laki-laki tinggi besar dan berpakaian panglima perang dengan langkah lebar berlari-lari ke arah mereka.

   "See-thian Hoat-ong, dari mana kau berlari-lari seorang diri? Apa hendak maju perang?"

   Pak-thian Koai-jin menyambut kawan ini dengan kelakarnya.

   "Hendak menengoki Kong Bu, puteraku yang pada waktu ini bertugas di pantai timur. Kau hendak ke mana dan ini........."

   See-thian Hoat-ong sudah sampai di depan mereka dan tiba-tiba kata-katanya terhenti ketika ia mengenal Wi Liong. Mukanya berubah dan sepasang alis yang tebal itu berkerut menandakan hatinya tak senang.

   "Hemmm, orang muda she Thio. Jadi kau masih hidup?"

   Wi Liong menjura memberi hormat sambil berkata dengan senyum.

   "Berkat doa restu lo-enghiong, siauwte masih dapat bernapas sampai sekarang."

   Jawaban ini merupakan tangkisan serangan atau pembalasan atas sikap yang tidak menyenangkan dan kata-kata teguran yang tidak semestinya tadi, akan tetapi See-thian Hoat-ong yang jujur, seperti tidak merasakan ini. Malah ia menjawab.

   "Siapa mendoakan kau hidup? Lebih baik kau mati di jurang itu dari pada hidup mengandung dosa-dosa besar. Keluarga Kwa hancur berantakan karena kau. Kwa-suheng dan isterinya yang baru saja berkumpul kembali setelah belasan tahun, karena kau menjadi terpisah lagi dan sekarang masing-masing entah berada di mana. Lebih hebat lagi, karena kau Siok Lan menghabiskan hidupnya, mati muda. Kasihan sekali! Bukankah semua dosa ini perbuatanmu?"

   Mendengar ucapan itu, tadinya muka Wi Liong menjadi merah, akan tetapi kalimat-kalimat terakhir yang menyatakan bahwa Siok Lan mati, membuat mukanya seketika menjadi pucat dan suaranya menggigil ketika ia membantah,

   '"Lo-enghiong harap jangan main-main. Belum lama ini aku sendiri dengan sepasang mata melihat nona Kwa Siok Lan melangsungkan pesta pernikahannya dan sekarang sudah menjadi nyonya yang berbahagia dan terhormat dari Wu-kiang Siauw-ong Chi Kian yang terkenal dengan sebutan Chi-loya seorang gagah perkasa, budiman dan pengaruhnya di wilayah Sungai Wu-kiang amat besar. Bagaimana lo-enghiong sekarang secara ngawur menyatakan bahwa dia, mati muda?"

   "O-ho-ho, jadi kau sudah tahu akan hal itu, he? Kau tahu kepala tidak tahu ekornya. Baiklah sekarang kau mendengar dari aku, hendak kulihat bagaimana sikapmu, orang muda perusak rumah tangga orang. Dengarlah baik-baik. Memang betul Siok Lan telah menikah dengan Chi Kian. kaukira aku tidak tahu? Akupun baru saja datang ke sana karena ingin mengurus hal itu, ingin menegur mengapa tahu-tahu dia bisa menikah dengan murid keponakanku. Dan kau tahu apa yang kulihat di sana? Hanya makam Siok Lan dan makam Chi Kiam! Kau tahu apa yang terjadi menurut para penduduk di sana? Semenjak kau pengacau ini datang lalu pergi, Siok Lan menyusul ke sungai dan menusuk dada sendiri dengan pedang sambil melompat ke sungai disusul oleh Chi Kian yang tidak pandai berenang dan hendak menolong isterinya. Nah. matilah mereka. Coba katakan, kalau bukan untuk kau, mengapa Siok Lan melakukan perbuatan gila merampas nyawa sendiri itu?"

   Wajah Wi Liong makin pucat, kakinya menggigil dan tanpa daya lagi ia jatuh berlutut di depan See-thian Hoat-ong.

   "Lo-enghiong........ demi Tuhan, tidak bohongkah kata-katamu ini ;........?"

   Suaranya pilu dan gemetar, matanya yang memandang See-thian Hoat-ong benar-benar memelas (menimbulkan kasihan).

   Agak reda kemarahan See-thian Hoat-ong melihat keadaan Wi Liong ini. Ia terkejut juga dan diam-diam ia harus mengaku bahwa pemuda ini memang betul- betul mencinta Siok Lan. Akan tetapi ia mendongkol sekali mendengar pertanyaan Wi Liong yang seakan-akan tidak percaya kepadanya.

   "Selama hidup aku tak pernah membohong, tidak seperti kau!"

   Jawabnya ketus.

   "Siok Lan.........!"

   Wi Liong memekik kemudian roboh pingsan!

   See-thian Hoat-ong dan Pak-thian Koai jin saling pandang, kemudian menoleh ke arah tubuh pemuda yang pingsan itu. Pak-thian Koai-jin menggeleng- geleng kepala.

   "Sayang......... sayang......... orang muda gagah menjadi lemah karena cinta kasih......."

   See-thian Hoat-ong sebaliknya menjadi kasihan sekali kepada pemuda ini. Ia tidak tahu bagaimanakah sebenarnya hubungan antara pemuda ini dan Siok Lan yang kelihatannya begitu penuh rahasia. Ia hanya berdiri dengan kaki terpentang dan mengelus-elus dagunya, melihat Pak-thian Koai-jin yang mengurut jalan darah di belakang kepala Wi Liong. Tak lama kemudian pemuda itu sadar kembali. Pemuda ini siuman, bangun duduk, menggeleng-geleng kepala lalu tersenyum! Ia hanya berkata perlahan, akan tetapi dapat terdengar oleh dua orang kakek itu,

   "Bagus, Siok Lan, kau telah mengakali aku......... aku terima kalah dan biarlah sisa hidupku penuh penderitaan batin sebagai hukuman kebodohanku........."

   "Wi Liong, kau ini pemuda apa? Mengapa begini lemah? Yang sudah mati biarlah mati, apa sih enaknya orang hidup? Baru enak kalau hidup bisa menolong orang hidup yang lain. Sekarang Eng Lan dalam bahaya, apa artinya hidupmu kalau kau tidak bisa menolong orang lain yang sengsara?"

   Kata Pak-thian Koai-jin sambil menepuk pundak pemuda itu.

   Ucapan orang aneh yang kadang-kadang seenak perutnya sendiri itu kali ini benar-benar menancap di ulu hati Wi Liong. Pemuda ini serentak bangun, menoleh kepadanya dan berkata.

   "Kau betul, locianpwe. Mari kita kejar iblis-iblis Ban-mo-to!"

   Pak-thian Koai-jin girang sekali.

   "Eh, panglima, kau bilang anakmu bertugas di pantai timur? Kalau begitu kita sejalan, hayo kita jalan bersama."

   See-thian Hoat-ong terpaksa ikut berlari mendampingi dua orang itu dan ia bertanya.

   "Ada terjadi apa sih dengan nona Eng Lan?"

   Sambil berlari Pak-thian Koai-jin lalu menceritakan secara singkat apa yang telah ia alami menghadapi Ngo-tok-kauw dan bagaimana Eng Lan terculik oleh orang-orang Ban-mo-to yang menyerbu perkumpulan Agama Lima Racun itu. Mendengar penuturan itu, See-thian Hoat-ong berkata marah.

   "Sudah lama sekali Kui-bo Thai-houw di Ban-mo-to melakukan perbuatan sewenang-wenang dan mengandalkan kepandaian sendiri menghina orang lain. Benar-benar keterlaluan kalau dalam membasmi Ngo-tok-kauw dia masih menculik muridmu. Pak-thian Koai-jin, biarpun aku belum tentu bisa menangkan Kui-bo Thai-houw, akan tetapi percayalah, golok besarku masih cukup tajam untuk kupakai membantumu menyusul ke Ban-mo-to!"

   Tentu saja Pak-thian Koai-jin girang sekali dan ia memang membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti See-thian Hoat-ong ini. Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan lebih cepat lagi. Dasar ketiganya orang-orang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, maka perjalanan itu dilakukan amat cepatnya. Mereka mempergunakan ilmu lari yang kecepatannya tidak kalah dengan orang menunggang kuda sehingga sebentar saja mereka sudah melalui beberapa li dan dalam waktu sehari mereka telah melewati jarak yang jauh sekali.

   Pada suatu siang hari ketika tiga orang ini sudah mendekati pantai timur. ketika tiba di daerah yang berbukit batu karang, mereka mendengar suara orang mengeluh dan mencaci-maki.

   "Itu suara Bu-ji (anak Bu)..........!"

   Kata See-thian Hoat-ong.

   Tergesa-gesa mereka lalu menuju ke tempat itu. ketika mereka melewati sebuah batu besar, benar saja mereka melihat pemuda gagah itu, Kong Bu, sedang berdiri sambil mengaduh-aduh memegangi pundak kanannya yang berdarah. Pemuda ini nampak kesakitan sekali, ia menyumpah-nyumpah dan sikapnya yang kasar jujur ini benar-benar serupa dengan watak ayahnya. See-thiari Hoat-ong. Juga wajah dan bentuk tubuhnya yang kekar serupa benar dengan ayahnya.

   "Aduh......... aduh...... keparat Beng Kun Cinjin......."

   Pemuda itu mengeluh dan memaki-maki.

   "Bu-ji, kau kenapa?"

   Ayahnya berseru keras sambil lari menghampiri puteranya.

   Agaknya saking menahan sakit dan kemarahan. Kong Bu tadi tidak melihat datangnya tiga orang itu. Mendengar suara ayahnya, ia mengangkat muka dan jalan terpincang-pincang menghampiri ayahnya, menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

   "Ayah, harap ayah balaskan penghinaan ini dan tolong dua nona Liok......!"

   "Nanti dulu soal itu. Kau maju sini, coba kuperiksa lukamu,"

   Kata ayahnya. Kong Bu berdiri dan melangkah maju. See-thian Hoat-ong memeriksa luka di pundak dan paha. Pak-thian Koai-jin dan Wi Liong juga turut memeriksa.

   Pundak pemuda itu tidak besar lukanya akan tetapi warna biru kehitaman di sekitar luka itu yang makin membesar amat mengkhawatirkan. Juga pahanya yang hanya luka sebesar tusukan jarum terasa sakit dan berwarna hitam pula.

   "Hemm, agaknya terluka oleh senjata beracun........."

   Kata See-thian Hoat-ong.

   "Seperti pukulan Hek-tok-sin-ciang!"

   Tiba tiba Wi Liong berseru heran. Ia tahu bahwa Hek-tok-sin-ciang (Tangan Sakti Racun Hitam) adalah sebuah di antara ilmu-ilmu lihai dari Thai Khek Sian. Kiranya hanya Thai Khek Sian atau......... Kun Hong sebagai murid tokoh itu yang mampu melakukannya. Akan tetapi, seingatnya, Kun Hong tidak memelihara kuku panjang dan untuk menggunakan ilmu ini, diperlukan kuku panjang untuk menjadi senjata. Kuku-kuku jari tangan yang direndam racun akan merupakan senjata yang amat ampuh dalam menggunakan Hek-tok-sin-ciang.

   "Mungkinkah Thai Khek Sian keluyuran sampai di sini?"

   Mendengar ini. Kong Bu memandang kepada Wi Liong dengan heran.

   "Bagaimana kau bisa tahu? Ayah, siapakah saudara ini?"

   "Dia Thio Wi Liong, murid Thian Te Cu. Bu-ji, apa yang terjadi? Betulkah kau terluka oleh Thai Khek Sian?"

   "Memang betul, ayah. Beng Kun-Cinjin datang bersama Thai Khek Sian, maksudnya Thai Khek Sian hanya mengundang Tai It Cinjin untuk menghadiri pertemuan di Pek-go-to yang akan diadakan, oleh Thai Khek Sian pada musim semi tahun depan. Akan tetapi iblis itu melihat dua orang nona Liok murid Tai It Cinjin dan dia menculik mereka. Aku melihat dan mencoba mencegahnya, akan tetapi dua pukulannya membuat aku roboh."

   See-thian Hoat-ong mengerutkan alisnya yang gompyok.

   "Bukankah Beng Kun Cinjin itu masih keponakan Tai It Cinjin? Mengapa datang bersama Thai Khek Sian"

   "Itulah yang amat menggemaskan,"

   Kata Kong Bu mengertak gigi menahan sakit.

   "Tadinya ia bersembunyi di Kim-le-san sini bersama Tai it Cinjin. Akan tetapi semenjak dua nona Liok menghalanginya membunuh Kun Hong, agaknya dia mendendam dan marah. Dia pergi tanpa pamit dan tahu-tahu telah bersekutu dengan Thai Khek Sian. Mungkin dia juga yang membujuk iblis itu untuk menculik ji-wi Liokmoi......"

   Ia berhenti sebentar dan nampak gelisah sekali, gelisah memikirkan dua orang gadis itu tanpa memperdulikan rasa sakit pada bubuhnya sendiri. Hal ini mudah dimengerti oleh karena Liok Hui Nio adalah tunangannya dan Liok Hui San adik tunangannya itu!.

   "Ayah, harap ayah suka menolong dua nona itu. Ayah, kejarlah Thai Khek Sian dan minta kembali Hui Nio dan Hui Sian!"

   See-thian Hoat-ong bingung. Permintaan puteranya ini hanya mudah diucapkan akan tetapi sungguh amat sukar dilaksanakan. Bagaimana dia bisa menghadapi Thai Khek Sian? Membantu Pak-thian Koai-jin yang hendak menolong muridnya dari Ban-mo to saja sudah sukar apa lagi sekarang menolong dua orang nona dari tangan Thai Khek Sian, seorang diri lagi!

   Selagi ia termangu-mangu, Wi Liong cepat berkata.

   "Lo-enghiong, biarlah aku yang pergi menyusul Thai Khek Sian dan mencoba menolong dua orang nona Liok."

   Kemudian pemuda ini berpaling kepada Pak-thian Koai-jin dan berkata.

   "Locianpwe, sekarang timbul dua urusan yang hampir sama sifatnya, keduanya membutuhkan bantuan kita untuk menolongnya. Nona Pui Eng Lan perlu sekali ditolong, demikian juga kedua orang nona Liok, dan kesemuanya memerlukan pertolongan cepat. Oleh karena itu. sebaiknya kita membagi tugas. Biarlah aku yang mengejar Thai Khek Sian dan mencoba menolong ji-wi Liok siocia, sedangkan locianpwe bersama lo-enghiong pergi ke Ban-mo-to menolong nona Pui. Aku tidak begitu mengkhawatirkan keselamatan nona Pui karena aku menduga bahwa Kun Hong berada di Ban-mo-to kalau menilik dari penuturan Kong-ciangkun tadi. Malah agaknya Kun Hong yang sudah membawa pergi nona Eng Lan. Benar tidaknya harap locianpwe selidiki di Ban-mo-to."

   Karena ucapan ini memang beralasan, Pak-thian Koai-jin dan See-thian Hoat-ong tak dapat membantah lagi. Akan tetapi Kong Bu ragu-ragu. Masa urusan begitu pentingnya, menolong dua orang gadis itu dari tangan iblis Thai Khek Sian, harus diserahkan kepada pemuda yang nampak lemah ini?

   "Ayah, Thai Khek Sian itu amat lihai dan berbahaya........ bagaimana saudara Thio ini bisa pergi sendiri saja?"

   "Hemm, kau tidak tahu. Sepuluh orang ayahmu ini masih belum mampu menandingi dia seorang."

   Kata See-thian Hoat-ong yang sudah tahu akan kelihaian murid Thian Te Cu itu.

   Kong Bu tercengang, juga girang sekali. Ia memberi hormat dengan amat canggung karena pundaknya sakit, lalu berkata.

   "Maaf aku bermata tidak dapat melihat orang pandai. Kalau saudara Thio yang akan menolong ji-wi Liok-siocia itulah baik sekali. Tentang urusan ke Ban-mo-to kalau perlu bantuan, kiranya Tai It Cinjin dan Im-yang Siang-cu berdua tentu suka menolong, apa lagi kalau mendengar bahwa saudara Thio mau menolong ji-wi Liok-siocia. Biar aku yang akan minta bantuan mereka."

   Wi Liong mengangguk-angguk.

   "Tepat sekali dan Kong-ciangkun sendiri juga harus berobat. Obat yang paling baik bagi pengusiran racun berada di tangan Kui-bo Thai-houw, yaitu Ngo heng-giok-cu yang dirampasnya dari Ngo-tok-kauw belum lama ini."

   Wi Liong memang sudah melihat betapa tongkat pendek lambang Ngo-tok-kauw telah patah dan batu kemala Ngo-heng-giok-cu lenyap. Siapa lagi yang mengambilnya kalau bukan pentolan Ban-mo-to itu?

   Demikianlah, setelah semua setuju, Wi Liong lalu berpisah dari tiga orang itu. Ia berlari cepat sekali dan sekali berkelebat ia lenyap, membuat Kong Bu kagum dan baru percaya bahwa pemuda itu betul-betul lihai. Tadinya ia sudah amat kagum melihat Kun Hong yang dianggapnya lihai sekali dan jarang tandingannya, akan tetapi siapa kira sekarang ada pemuda ke dua yang juga luar biasa lihainya.

   Sementara itu, Wi Liong melakukan perjalanan cepat sekali. Ia sudah tidak sabar dan ingin cepat-cepat pergi ke Pek-go-to, pulau yang menjadi sarang Thai Khek Sian dan kaki tangannya. Yang membuat Wi Liong buru-buru mengajukan diri untuk mengejar Thai Khek Sian. bukan hanya karena ingin menolong dua orang gadis she Liok yang belum dikenalnya. Kalau bicara tentang menolong, tentu saja ia lebih mengutamakan Eng Lan untuk dtolongnya, karena gadis ini sudah dikenalnya.

   Akan tetapi, tadi ia mendengar disebutnya nama Beng Kun Cinjin! Nama yang sudah lama dicari-cari, yang sudah lama ia ingin jumpai, nama musuh besarnya, pembunuh ayah bundanya! Tentu saja mendengar nama ini ia mengesampingkan urusan-urusan yang lain dan mengutamakan mengejar Beng Kun Cinjin. Jadi sesungguhnya ia bukan hanya hendak menolong dua orang saudara Liok dan mengejar Thai Khek Sian. melainkan lebih penting lagi ia mengejar Beng Kun Cinjin. musuh besarnya yang tahu-tahu sekarang muncul di samping Thai Khek Sian, hal yang sama sekali tak pernah disangka-sangkanya itu.

   Bagaimanakah Beng Kun Cinjin tahu-tahu bisa bersekutu dengan Thai Khek Sian, pentolan golongan Mo-kauw itu? Biarpun Kong Bu sudah menceritakannya dengan singkat, akan tetapi hal ini perlu dijelaskan lagi. Tadinya Beng Kun Cinjin yang melarikan dini karena takut akan pembalasan anaknya sendiri, bersembunyi di tempat Tai It Cinjin pamannya. Akan tetapi setelah ia gagal membunuh Kun Hong yang malah dibela oleh dua orang saudara Liok yang menjadi murid Tai It Cinjin, ia merasa tidak aman di tempat itu. Pergilah ia ke Pek-go-to dan menyerahkan diri kepada Thai Khek Sian serta mohon perlindungan. Tentu saja Thai Khek Sian suka mendapat kaki tangan baru yang cukup tangguh seperti Beng Kun Cinjin, apa lagi mengingat bahwa orang ini adalah putera Gan Yan Ki yang terhitung masih saudara seperguruan sendiri. Dengan menyerahnya Beng Kun Cinjin Gan Tui kepadanya, berarti bahwa permusuhan turun-temurun antara tiga orang kakek sakti Wuyi-san, yang seorang telah ia menangkan. Dengan Beng Kun Cinjin kiranya ia akan dapat menang menghadapi Thian Te Cu kelak.

   Thai Khek Sian malah menurunkan pelajaran kepada Beng Kun Cinjin setelah ia mendengar obrolan Beng Kun Cinjin bahwa murid tokoh itu, Kun Hong, sekarang telah menyeleweng dan mendekati musuh-musuh Mo-kauw, dan bahwa Kun Hong adalah puteranya sendiri yang hendak membunuhnya. Dalam diri Beng Kun Cinjin yang pandai mengumpak dan menjilat, Thai Khek Sian mendapatkan seorang murid yang cocok sekali.

   Beng Kun Cinjin pernah menjadi pembantu Raja Mongol. maka sekarang ia membisikkan siasat kepada Thai Khek Sian untuk mengadakan undangan kepada para tokoh besar di dunia kang-ouw, untuk menentukan siapa di antara para tokoh yang paling jago, sekalian merayakan ulang lahun ke delapan puluh dari Thai Khek Sian.

   "Kita melakukan persiapan, memberi tahu Kaisar Mongol untuk menyergap mereka. Dengan demikian sekali tepuk kita mendapatkan dua lalat. Pertama, membasmi golongan-golongan berbahaya yang memusuhi kita, ke dua. Kaisar Mongol akan berterima kasih sekali kepada kita,"

   Kata Beng Kun Cinjin menutup siasatnya.

   Thai Khek Sian menjadi girang sekali. Makin jahat rencana orang, makin kagumlah dia, karena di dalam benak orang ini tidak ada istilah jahat, yang ada hanyalah pintar atau bodoh, menang atau kalah. Setiap jalan, betapapun kejinya, betapapun jahat dan curangnya, akan ditempuh demi kemenangannya.

   Di samping menyebar undangan untuk menghadiri pesta ulang tahun ke delapanpuluh di Pek-go-to, juga Beng Kun Cinjin menyatakan bahwa Tai It Cinjin yang menjadi pamannya, kakak ipar dari Gan Yan Ki selalu mengagulkan kepandaian.

   "Dia perlu diundang,"

   Kata Beng Kun Cinjin, dan dia mempunyai dua orang murid yang cantik-cantik. Sayang sebetulnya dua orang gadis itu berada di sana, sebetulnya lebih patut berada di Pek-go-to menjadi murid Sian-su."

   Gosokan-gosokan ini tentu saja mudah termakan oleh Thai Khek Sian. Maka bersama Beng Kun Cinjin ia lalu mendatangi Tai It Cinjin di Kim-le-san, memberi undangan sekalian "minta"

   Dua orang murid itu. Hui Nio dan Hui Sian, menjadi muridnya! Tai It Cinjin tidak berani apa-apa, akan tetapi Kong Bu yang melihat kekasihnya hendak dibawa lalu menyerang, akibatnya dia sendiri yang dua kali kena dipukul oleh Thai Khek Sian sampai terluka.

   Hui Nio dan Hui Sian sedih dan gelisah bukan main ketika mereka dibawa dengan paksa oleh manusia iblis Thai Khiek Sian ke Pulau Pek-go-to.

   "Heh-heh-heh. kalian akan hidup senang di pulauku, dan kalian baru mengenal ilmu silat tinggi kalau menjadi muridku."

   Kata kakek mengerikan itu kepada mereka. Baiknya Thai Khek Sian sudah terlalu tua untuk memperlihatkan sikap kurang ajar dan tidak mengganggu mereka. Memang kakek ini wataknya luar biasa sekali. Semenjak ia masih muda sekalipun, biar ia amat jahat, keji dan tidak ada kekejaman yang tak dilakukannya, namun ia tidak sudi menguasai wanita dengan kekerasan.

   Wanita harus tunduk kepadanya, malah sebagian besar memperebutkan kasih sayangnya! Memang aneh, akan tetapi kakek sakti ini memiliki kesaktian yang dapat menarik hati wanita. Hebatnya, biarpun di pulaunya banyak terdapat wanita-wanita muda yang cantik dan yang menjadi selir juga muridnya, namun ia tidak perduli apakah mereka itu setia kepadanya atau tidak. Malah sudah beberapa tahun ini. mungkin berhubung dengan usianya yang sudah delapanpuluh kurang, ia tidak begitu perdulikan mereka lagi dan sudah merasa "ayem"

   Melihat selir- selirnya itu berada di sekelilingnya, berpakaian rapi, tersenyum-senyum dan menggembirakan hatinya dengan kemudaan mereka, dengan kegembiraan mereka dan semangat mereka belajar ilmu silat.

   Thai Khek Sian menculik Hui Nio dan Hui Sian sama sekali bukan karena ia kegilaan dua orang gadis ini. Di pulaunya terdapat banyak wanita muda yang jauh lebih cantik dari pada mereka enci adik ini. Dia menculiknya hanya untuk memperlihatkan kepada murid barunya, Beng Kun Cinjin. akan kekuasaan dan kepandaiannya, bahwa dia berani menculik murid Tai It Cinjin. Terutama sekali untuk menghina Tai It Cinjin yang sikapnya sombong itu.

   Maka, biarpun sedih dan gelisah. Hui Nio dan Hui Sian merasa lega juga ketika di Pulau Pek-go-to mereka berdua dilepas begitu saja di pulau itu. Pedang mereka malah tidak dirampas dan mereka boleh berbuat sesuka hati mereka. Makan, pakai sudah tersedia cukup dan Thai Khek Sian tak pernah mengganggu mereka karena kakek ini merasa yakin bahwa akhirnya dua orang gadis inipun, seperti yang lain-lain. dengan suka rela akan tunduk kepadanya.

   Dua orang enci adik itu merasa bingung, Biarpun mereka dibiarkan bebas di pulau yang amat indah itu, akan tetapi apakah enaknya orang ditawan? Mereka sama sekali tidak berdaya. Tidak ada perahu yang tidak terjaga kuat yang dapat mereka curi. Untuk pergi dari pulau itu menyeberang ke daratan adalah hal tidak mungkin. Memberontak? Percuma, jangankan sampai Thai Khek Sian atau Beng Kun Cinjin turun tangan, baru murid-murid Thai Khek Sian, wanita-wanita cantik yang berada di situ dan hidup seperti puteri-puteri kahyangan itu saja sudah merupakan lawan tangguh sekali.

   Pernah mereka didatangi dua orang gadis cantik sekali di antara banyak sekali wanita muda cantik-cantik itu. Seorang berpakaian merah dan yang ke dua berpakaian hijau. Pakaian mereka indah dan ketat dan harus diakui oleh enci adik ini bahwa dua orang wanita muda ini benar-benar cantik dan gagah, membuat mereka terheran-heran bagaimana dua orang wanita seperti ini bisa menjadi selir Thai Khek Sian. Si baju hijau berkata tersenyum manis,

   "Kedua adik, bukankah kalian ini Liok Hui Nio dan Liok Hui Sian murid Tai It Cinjin yang berkenan dibawa ke sini oleh Siansu? Ah, kalian beruntung sekali kalau terpilih menjadi murid Siansu. Hendaknya kalian baik-baik menjaga diri dan kalau kalian bisa mengambil hatinya menerima warisan ilmu, benar-benar kalian akan menjadi dua orang wanita perkasa........"

   "Tutup mulut!"

   Hui Sian membentak marah.

   "Siapa sudi menjadi muridnya? Kami diculik dan dipaksa ke sini. Kalau tidak, apa kau kira kami sudi menginjakkan kaki ke pulau kotor ini?"

   "Aduh galaknya! Enci, buat apa kita bicara dengan dua serigala ini? Mari kita pergi saja,"

   Kata yang berbaju merah.

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Akan tetapi yang berbaju hijau menggelengkan kepala sehingga anting-antingnya yang terbuat dari batu kemala indah itu bergoyang-goyang lucu sekali.

   "Sudah jamak yang baru datang bersikap begini. Kelak juga akan berubah kalau sudah bosan bersikap marah-marah. Dua adik Liok, ketahuilah, aku Cheng In dan ini adikku Ang Hwa. Kalau kalian perlu akan sesuatu, boleh cari kami dan kami akan senang sekali kalau dapat menolong kalian."

   (Lanjut ke Jilid 26)

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 26

   Tiba-tiba Hui Nio memberi isyarat kepada adiknya dan keduanya mencabut pedang lalu melompat ke dekat Cheng In dan Ang Hwa sambil menodongkan pedang masing-masing.

   "Kalian mau tolong? Baik, hayo lekas antar kami ke tempat perahu agar kami dapat lolos dari tempat ini. Kalau kalian membantah, pedang ini akan menembus dada kalian!"

   Kata Hui Nio perlahan. Ia melihat kesempatan baik sekali. Agaknya Cheng In dan Ang Hwa ini merupakan orang-orang penting pula di situ, maka siapa tahu mereka ini dapat menolong di bawah ancaman pedang.

   Akan tetapi, Cheng In dan Ang Hwa tiba-tiba tertawa cekikikan lalu menutupi mulut masing-masing.

   "Kenapa tertawa?"

   Hui Nio membentak gemas.

   "Kalian ini lucu, lucu sekali!"

   Cheng In berkata lalu tertawa lagi dengan adiknya, Ang Hwa.

   "Apanya yang lucu? Apakah ujung pedang ini lucu?"

   Hui Sian membentak sambil menodongkan ujung pedangnya ke arah leher Ang Hwa.

   "Apa kalian hendak memamerkan sedikit permainan pedang? Baiklah, mari kita main-main sebentar,"

   Kata Ang Hwa dan dengan gerakan bagaikan kilat cepatnya dia dan Cheng In sudah melompat ke belakang. Gerakan ini demikian gesitnya, sama sekali berlawanan dengan gerak-gerik mereka yang lemah lembut tadi dan di lain saat mereka sudah memegang sebatang pedang yang berkilauan tajamnya.

   "Mau main-main dengan pedang? Boleh, majulah!"

   Kata Cheng In, senyumnya manis mengejek.

   Hui Nio dan Hui Sian sudah kepalang untuk mundur, mereka lalu maju menerjang dengan pedang mereka. Cheng In dan Ang Hwa menangkis dan kedua pasang enci adik ini bertempur seru. Akan tetapi ternyata bahwa tingkat dua orang murid dan kekasih Thai Khek Sian itu masih jauh lebih unggul. Sebentar saja gulungan sinar pedang mereka sudah mengurung rapat dan membuat murid-murid Tai It Cinjin kewalahan, terdesak mundur akan tetapi tidak ada jalan untuk keluar dari kurungan sinar pedang lawan. Beberapa jurus kemudian, terdengar suara nyaring dan pedang di tangan Cheng In dan Ang Hwa telah berhasil membuat pedang lawan terpental dan menancap di atas tanah.

   Hui Nio dan Hui Sian berdiri pucat. Akan tetapi Cheng In dan Ang Hwa tidak menyerang lagi, malah menyimpan pedang masing-masing dan sambil tertawa-tawa meninggalkan enci adik itu yang menjadi malu sekali. Hui Sian segera menjatuhkan diri menangis di atas rumput. Hui Nio menghampiri adiknya dan menghibur.

   "Mereka terlampau kuat. Tidak ada jalan untuk keluar dari pulau ini dengan kekerasan. Kita harus bersabar sambil menanti kesempatan dan mencari akal,"

   Kata Hui Nio menghibur adiknya.

   Dua orang gadis ini tidak tahu bahwa pada saat itu, seorang pemuda menghampiri mereka dari balik batu gunung-gunungan. Baru mereka kaget ketika pemuda itu menyapa.

   "Apakah ji-wi (kalian) ini ji-wi Liok-siocia dari Kim-le-san?"

   Hui Nio dan adiknya menengok dan melihat seorang pemuda berpakaian seperti orang kota atau golongan terpelajar, sikapnya lemah lembut dan wajahnya tampan sekali. Mereka tidak mengenalnya dan mengira bahwa orang ini tentu anggauta penghuni pulau ini atau kaki tangan Thai Khek Sian

   "Betul."

   Jawab Hui Nio ketus.

   "apakah kau ini begundal Thai Khek Sian dan mau apa dekat-dekat di sini? Pergilah!"

   Pemuda itu tersenyum dan mengangkat tangan menjura.

   "Ji-wi siocia jangan salah sangka. Aku datang atas suruhan Kong Bu ciangkun untuk menolongmu."

   Hui Nio sudah kelihatan girang sekali akan tetapi Hui Sian membentak.

   "Bohong! Siapa percaya obrolanmu? Apa kau bisa terbang ke pulau ini?"

   "Aku tidak bisa terbang."

   Kata pemuda itu yang bukan lain Wi Liong adanya.

   "akan tetapi dengan pertolongan perahu kecil aku bisa menyeberang ke sini dan memasuki pulau tanpa ketahuan. Nona Liok, ada hal penting yang hendak kutanyakan kepada kalian. Apakah Beng Kun Cinjin berada di pulau ini?"

   Wi Liong mengajukan pertanyaan ini dengan bernafsu sehingga suaranya agak menggigil. Hal ini disalah-artikan oleh Hui Sian yang berkata ketus,

   "Kalau terhadap Beng Kun Cinjin saja kau ketakutan setengah mati, bagaimana kau akan mampu menolong kami?"

   "Hui Sian, jangan sembarangan bicara."

   Hui Nio menegur adiknya yang kewat (genit) itu, kemudian ia menghadapi Wi Liong.

   "Sudara ini siapakah dan untuk apa menanyakan Beng Kun Cinjin?"

   Wi Liong menarik napas panjang. Ia mendongkol tidak dipercaya penuh oleh dua orang gadis ini.

   "Namaku Thio Wi Liong. Aku mendapat tugas menolong kalian berdua, akan tetapi sebelum aku lakukan hal itu, lebih dulu aku hendak mencari dan membunuh Beng Kun Cinjin."

   Mendengar ini, dua orang enci adik itu melongo. Alangkah mudahnya pemuda ini bicara. Tidak saja Beng Kun Cinjin. sendiri merupakan seorang jago tua yang berilmu tinggi, juga di situ banyak orang pandai seperti Cheng In dan Ang Hwa tadi, jangan lagi bicara tentang Thai Khek Sian. Kalau saja tidak ingat bahwa pemuda ini hendak menolong mereka, mau rasanya mereka mentertawakan pemuda ini seperti tadi Cheng In dan Ang Hwa mentertawakan mereka.

   "Tentu saja Beng Kun Cinjin berada di rumah besar sana bersama Thai Khek Sian."

   Kata Hui Sian sambil menudingkan telunjuknya yang kecil ke arah timur di mana tepat di tengah tengah pulau itu terdapat perumahan Thai Khek Sian dan murid-murid atau selir-selirnya. Dengan menyebut nama Thai Khek Sian, gadis ini hendak membikin kaget Wi Liong supaya jangan demikian besar omongannya. Akan tetapi siapa sangka, pemuda itu dengan mata bersinar-sinar girang mendengar Beng Kun Cinjin benar-benar berada di situ, lalu berkelebat pergi sambil berkata,

   "Kalau begitu aku akan mencarinya lebih dulu!"

   Tubuhnya sekali berkelebat lenyap dari pandang mata dua orang gadis itu, membuat Hui Nio dan Hui Sian melongo terheran-heran dan kagum. Timbul harapan dalam hati mereka melihat kelihaian pemuda itu maka dengan cepat mereka memungut pedang masing- masing dan berlari mengejar, dengan maksud hendak membantu pemuda yang hendak menolong mereka dan membunuh Beng Kun Cinjin itu. Dua orang gadis ini memang orang-orang berjiwa gagah dan tabah sekali. Biarpun maklum akan menghadapi orang-orang sakti, mereka tidak gentar.

   Dengan gerakan cepat sekali Wi Liong berlari menuju ke bangunan rumah-rumah di tengah pulau yang indah itu. Beberapa orang wanita muda cantik jelita yang duduk di taman bunga kaget melihat ia berlari-lari dan para wanita itu lalu membicarakan pemuda tampan yang lewat itu dengan penuh gairah.

   Semenjak Kun Hong pergi meninggalkan pulau ini. mereka kesunyian dan sekarang melihat Wi Liong, tentu saja mereka menjadi gembira. Serentak mereka berdiri dan dengan gerakan ringan mereka mengejar, menyangka bahwa pemuda itu adalah tamu dari Siansu.

   Wi Liong tidak memperdulikan para wanita itu yang pakaiannya indah-indah, orangnya muda-muda dan cantik-cantik. Ia terus berlari maju penuh nafsu, dan tak lama kemudian ia tiba di sebuah taman penuh batu-batu besar berbentuk gunung-gunungan yang membuat tempat itu kelihatan indah sekali. Tempat ini letaknya tak jauh dari perumahan yang sudah kelihatan dari situ tembok-temboknya dan tiba-tiba ia melihat seorang laki-laki tinggi besar berkepala gundul di atas sebuah batu, duduk bersila sambil minum arak dari guci, kelihatan senang puas sambil menikmati pemandangan yang memang indah, bunga-bunga dan gadis-gadis cantik bermain-main di antara bunga yang bertebaran di seluruh pulau itu!

   Wi Liong belum pernah bertemu dengan Beng Kun Cinjin. Ia pernah melihat Thai Khek Sian maka ia tahu bahwa kakek ini bukan Thai Khek Sian, dan melihat bentuk tubuh yang kekar dengan kulit kehitaman, kepala gundul dan tasbeh panjang tergantung di leher hwesio itu, hatinya berdebar. Ia sudah mendengar dari pamannya bagaimana macamnya musuh besar itu.

   "Apakah kau yang bernama Beng Kun Cinjin?"

   Tanyanya singkat, tangannya yang memegang suling gemetar saking tegangnya perasaannya.

   Beng Kun Cinjin yang baru merasa aman setelah berada di Pek-go-to dekat dengan Thai Khek Sian, sedang duduk melamun penuh kesenangan. Ia tidak suka lagi mendekati gadis-gadis itu, akan tetapi melihat mereka bermain di dalam taman sungguh merupakan pemandangan yang menyedapkan hati dan pikiran. Di tempat ini ia merasa aman betul, maka ia kembali kepada kebiasaan lama ketika masih berada di istana kaisar, yaitu minum arak wangi sepuasnya! Siapa yang ia takuti di tempat Thai Khek Sian? Kun Hong boleh datang, ia tidak takut!

   Maka iapun kaget mendengar suara orang menyebut namanya. Ketika ia menengok ogah-ogahan sambil menenggak arak, hampir saja ia lepaskan gucinya karena mengira pemuda itu Kun Hong. Memang Wi Liong sebaya dengan Kun Hong,dan keduanya memang orang-orang muda yang tampan sekali. Akan tetapi ia segera melihat bahwa pemuda ini bukan Kun Hong, maka ia memandang rendah lalu balas bertanya.

   "Orang muda, kau siapa dan bagaimana bisa mengenal nama pinceng?"

   "Beng Kun Cinjin, kalau begitu kau bersiaplah untuk mampus di tanganku!"

   Wi Liong maju selangkah, suling di tangannya tergetar.

   Beng Kun Cinjin menunda minumnya, matanya memandang terbelalak kepada pemuda tampan itu, terheran-heran.

   "Eh. eh, orang muda apa kau sudah gila? Ataukah kau kemasukan roh dari malaikat pencabut nyawa? Siapakah kau yang tiada hujan tiada angin hendak membunuhku?"

   Ia masih tidak perdulikan pemuda ini, memandang rendah dan sekali lagi menenggak arak dari guci itu.

   "Mau tahu siapa aku? Baiklah agar kau jangan mampus penasaran. Bukalah telingamu baik-baik, jahanam keparat. Masih ingatkah kau kepada Thio Houw dan Kwee Goat?"

   Beng Kun Cinjin terkejut dan menurunkan guci arak dari mulutnya.

   "Dia......... mereka......... itu murid-muridku. Kau siapalkah?"

   "Thio Houw adalah ayahku dan Kwee Goat ibuku. Namaku Thio Wi Liong, Nah, Beng Kun Cinjin, tentu kau tahu mengapa anak dari orang-orang yang kaubunuh sekarang datang hendak menuntut balas. Bersiaplah!"

   Pucat wajah Beng Kun Cinjin mendengar ini. bukan pucat karena takut melihat pemuda ini, melainkan karena kaget diingatkan akan perbuatannya dahulu yang benar-benar amat ia sesalkan itu. Apa lagi sekarang ketika ia memandang penuh perhatian, wajah Wi Liong membayangkan wajah, Kwee Goat, murid perempuan yang dahulu amat ia sayang sebagai puteri sendiri. Biarpun ia kaget sekali, namun ia masih memandang rendah dan tidak mau kalah gertak.

   "Ah, jadi kau anak dua orang muridku yang durhaka itu? Wi Liong, kau masih muda dan melihat wajahmu mirip wajah ibumu, baik kuampunkan kekurang-ajaranmu ini. Pergilah saja dan ketahuilah bahwa orang tuamu mati karena salah mereka sendiri, karena kedurhakaan mereka terhadap guru."

   "Bangsat gundul keparat! Selain membunuh ayah bundaku, kau secara keji membutakan mata paman Kwee Sun Tek. Setelah melakukan kekejian-kekejian itu, apakah sekarang masih berani menyangkal? Rasakanlah pembalasanku!"

   Cepat Wi Liong menerjang maju. akan tetapi sambil menggereng marah Beng Kun Cinjin menubruk dari atas dan memukul kepala Wi Liong dengan guci araknya. Wi Liong menangkis dengan sulingnya.

   "Prakkk............!"

   Guci arak itu pecah berkeping-keping dan isinya menyiram muka Beng Kun Cinjin, membuat dia gelagapan. Baiknya dia terus menggulingkan diri ke belakang dengan amat cepat, kalau tidak tentu kepalanya yang gundul itu berkenalan dengan suling di tangan Wi Liong.

   "Hebat.........!"

   Beberapa suara halus mengeluarkan suara pujian. Itulah suara Cheng In, Ang Hwa, dan perempuan-perempuan lain yang tertarik dan sudah berada di situ. Mereka hanya menonton karena Beng Kun Cinjin adalah murid baru yang selalu menyendiri, sedangkan pemuda itu tak seorangpun kenal. Akan tetapi, para murid Thai Khek Sian yang rata- rata memiliki ilmu silat tinggi, melihat segebrakan saja sudah kagum karena mereka sudah tahu akan kelihaian Beng Kun Cinjin dan kini. sekali tangkis dengan suling saja Beng Kun Cinjin menjadi sibuk. Ini saja sudah cukup membuktikan kehebatan pemuda itu maka mereka pada mengeluarkan suara pujian.

   Sementara itu, Beng Kun Cinjin yang tadinya kaget setengah mati sekarang menjadi marah dan penasaran. Ia telah mengambil tasbeh dari lehernya dan dengan suara seperti seekor harimau mengamuk, ia menerjang maju menyerang pemuda yang hanya bersenjata sebatang suling itu.

   "Cici Cheng In. benar dia itu........ benar orang she Thio itu.........!"

   Tiba-tiba Ang Hwa berkata. Memang dahulu pernah Cheng In dan Ang Hwa bertempur melawan Wi Liong ketika mereka berdua menjadi utusan Thai Khek Sian mengadakan pertemuan dengan ketua-ketua Hai-liong-pang dan mereka telah dikalahkan oleh pemuda tampan itu.

   Adapun Wi Liong yang mengelak dari serangan tasbeh. mendengar suara ini serasa ia kenal. Ketika ia melirik, ia melihat Cheng In dan Ang Hwa. Tahulah ia bahwa ia telah terkepung oleh murid-murid Thai Khek Sian yang lihai. Akan tetapi ia tidak takut dan kini mencurahkan perhatiannya untuk melayani Beng Kun Cinjin. Melihat hebatnya gerakan tasbeh, ia segera memutar sulingnya dan dalam beberapa gebrakan saja ia sudah mendesak hebat dan membuat Beng Kun Cinjin mandi keringat!

   "Adik Ang Hwa, orang she Thio ini benar-benar mengagumkan sekali Kepandaiannya sudah makin lihai saja.......!"

   Terdengar Cheng In memuji.

   "Hwesio itu mana bisa menang!"

   Kata Ang Hwa.

   Memang Beng Kun Cinjin terdesak hebat oleh suling di tangan Wi Liong yang mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk membunuh musuh besar ini. Akan tetapi Beng Kun Cinjin bukannya lawan sembarangan. Ilmu silatnya tinggi dan tenaganya besar, baik tenaga lweekang apa lagi tenaga gwakangnya. Dia adalah seorang ahli gwa-kang yang sudah dapat menguasai lweekang tinggi, dan senjatanya berupa tasbeh itupun merupakan senjata yang amat ampuh dan sukar dilawan.

   Kalau saja bukan Wi Liong murid terkasih Thian Te Cu yang menghadapinya, sukarlah menangkan hwesio yang banyak pengalamannya ini.

   Yang bingung dan cemas adalah Beng Kun Cinjin sendiri. Sungguh di luar sangkaannya sama sekali bahwa di samping Kun Hong yang ditakuti kini muncul seorang pemuda lain yang menjadi musuh besarnya, putera dari Thio Houw dan Kwee Goat, yang kepandaiannya malah tidak kalah oleh Kun Hong. Beng Kun Cinjin boleh jadi gagah perkasa dan sakti, akan tetapi dalam satu hal ia amat lemah, yaitu ia takut mati.

   Ngeri ia menghadapi kematian, maka ia selalu ketakutan terhadap Kun Hong. sekarang ia makin takut lagi dengan munculnya Wi Liong. Ia masih mencoba untuk mengerahkan tenaga dan balas menyerang dengan tasbehnya. Kalau perlu ia akan mengadu nyawa, pikirnya nekat karena suling pemuda itu seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh batang dan mengurungnya dari semua jurusan. Ia yang tadinya hanya mampu menangkis saja, sekarang tidak perduli suling lawan dan membarengi dengan hantaman tasbeh ke arah kepala pemuda itu. Serangan yang nekat sekali!

   Mana Wi Liong sudi mati bersama musuh besarnya? Ia menarik sulingnya dan menangkis hantaman itu. Hebatnya, begitu tasbeh tertangkis, senjata aneh ini terus melibat suling dengan kuatnya, tak dapat terlepas lagi! Beng Kun Cinjin merasa diri cerdik, dengan girang ia membetot untuk merampas suling. Kepandaiannya "melibat dan merampas"

   Ini dahulu selalu menjadi modalnya dalam pertempuran menghadapi lawan berat dan jarang sekali gagal. Dengan modal gerakan ini ia selalu dapat merampas senjata lawan dan mencapai kemenangan. Akan tetapi kali ini. ia tidak mampu merampas suling yang ringan itu! Malah-malah ketika ia hendak menarik kembali tasbehnya dan melepaskan libatan, ia tidak sanggup, seakan-akan suling itu berakar dan menjadi satu dengan tasbeh. Kini ia tidak tahu lagi apakah tasbehnya yang melibat ataukah suling lawan yang menahan!

   Beng Kun Cinjin menggunakan tangan kirinya untuk memukul ke depan sambal melangkah maju. Angin menyambar kuat karena inilah pukulan Pat-in-ciang (Pukulan Mendorong Awan) yang lihainya bukan main dan dahulu sudah merobohkan entah berapa banyak lawan. Akan tetapi kali ini ia menghadapi Wi Liong. Pemuda itu dengan tenang juga menggerakkan tangan kirinya dan dengan telapak tangan dibuka ia menerima pukulan itu.

   "Plakk.........!"

   Beng Kun Cinjin mengeluh dan mencelat ke belakang, tasbehnya putus untaiannya dan berjatuhan di atas tanah, menggelinding ke sana ke mari. Hwesio itu sendiri setelah dapat menguasai keseimbangan badan dan tidak terhuyung lagi, berdiri dengan muka pucat. Ia telah mendapa luka di dalam dada karena pukulannya sendiri membalik ketika bertemu dengan tangan Wi Liong.

   "Bagus sekali.........!"

   Terdengar Cheng In memuji.

   "Pemuda hebat.........!"

   Ang Hwa juga memuji dengan muka merah dan mata bersinar-sinar.

   Wi Liong tidak perdulikan semua itu, ia melangkah maju perlahan untuk menghampiri musuh besarnya dan melanjutkan pertempuran. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencela.

   "Biar tampan dan lihai, musuh tetap musuh tak boleh dipuji. Hayo kalian pergi!"

   Para wanita muda itu tidak ada yang berani membantah, cepat pada pergi berlari-lari dari tempat situ.

   Wi Liong menengok dan kagetlah ia melihat Thai Khek Sian muncul dengan tiba-tiba. Ia kaget karena melihat kakek ini sekarang lebih mengerikan lagi dari pada dahulu ketika ia bertemu untuk pertama kalinya. Kakek ini masih tetap berkulit hitam, bertelanjang dada hanya mengenakan celana hitam panjang, kepalanya gundul, kuku jari tangannya panjang-panjang seperti cakar setan. Yang lebih mengerikan lagi, sekarang kakek ini memakai sebuah kalung yang mengikat sebuah tengkorak manusia. Tengkorak itu bergerak-gerak tergantung di depan dadanya, mengerikan sekali. Ia tidak tahu bahwa inilah "pakaian"

   Thai Khek Sian di waktu ia sedang bersamadhi atau melatih ilmunya. Tadi ia tengah bersamadhi maka ia "berpakaian"

   Seperti ini dan ia keluar karena terganggu oleh suara-suara itu, terutama sekali karena pendengarannya yang luar biasa itu sudah dapat menangkap angin-angin pukulan dua orang yang sedang bertempur di taman.

   "Gan Tui, kau mundurlah!"

   Tentu saja Beng Kun Cinjin menjadi girang sekali dan cepat pergi dari situ untuk mengobati luka di dalam dadanya.

   "Bocah kurang ajar, kau siapa dan bagaimana kau berani memasuki pulauku membuat kacau?"

   Thai Khek Sian menegur.

   Wi Liong berlaku waspada dan bersikap tenang.

   "Aku bernama Thio Wi Liong. aku bukan pengacau hanya akan membunuh Beng Kun Cinjin untuk membalaskan sakit hati ayah bundaku. Thai Khek Siansu, harap kau minggir dan jangan mencampuri urusanku dengan........."

   Tiba-tiba Thai Khek Sian menubruk maju dan menyerang dengan kuku-kuku jari tangan kirinya, mencengkeram ke arah leher Wi Liong sambil tertawa-tawa.

   "Kau curang!"

   Wi Liong berseru marah sambil menangkis dengan sulingnya. Ketika suling itu bertemu dengan kuku meruncing itu. terdengar suara nyaring seperti senjata-senjata tajam bertemu dan Wi Liong merasa telapak tangannya tergetar. Ia maklum akan kelihaian lawan, maka ia berlaku hati-hati sekali. Tadipun kalau ia tidak hati-hati, ia sudah kena dibokong dengan penyerangan tiba-tiba selagi ia bicara. Selain lihai, juga Thai Khek Sian amat curang, licin, penuh tipu muslihat, pendeknya segala macam kejahatan dan kecurangan memenuhi kepala yang gundul plontos itu.

   Thai Khek Sian penasaran sekali. Ia sebagai seorang tokoh besar, seorang pentolan Mo-kauw nomor wahid, masa tidak bisa merobohkan seorang pemuda dengan sekali serang? Benar memalukan, pikirnya. Baiknya selir-selirnya sudah pada pergi dari situ, kalau tidak ia dapat kehilangan muka karena serangannya tadi gagal. Dengan kemarahan meluap ia menyerang lagi, Wi Liong menangkis dan di lain detik terjadilah serang-menyerang yang hebatnya bukan main. Wi Long memusatkan seluruh perhatian, tenaga, dan kepandaiannya ke dalam semua gerakannya. Selama hidupnya baru kali ini ia menghadapi lawan setangguh ini dan setiap gerakan harus diperhitungkan benar-benar. Ia cukup maklum bahwa sekali saja meleset dan terkena pukulan kakek ini berarti maut baginya.

   Thai Khek Sian makin penasaran. Ternyata bocah ini dapat melayaninya dengan baik! Setiap serangan darinya selalu dapat dielakkan atau ditangkis, malah dapat membalas dengan penyerangan kilat. Suling itu hebat sekali. Ia memperhatikan gerak tipu-gerak tipu pemuda itu dan tiba-tiba ia berteriak,

   "Kau murid Thian Te Cu.........!!"

   Sambil berteriak begini ia melompat mundur.

   Wi Liong menyilangkan suling di depan dadanya, sikapnya tetap tenang dan keren.

   "Betul, dan aku musuh besar Beng Kun Cinjin. Dia pembunuh ayah bundaku. Harap kau orang tua jangan mencampuri urusanku."

   Thai Khek Sian tertawa bergelak. Tengkorak di depan dadanya bergerak- gerak mengangguk-angguk.

   "Bocah kurang ajar, kau berhadapan dengan susiokmu (paman gurumu) sendiri berani bersikap begini tak tahu adat?"

   Wi Liong tersenyum sindir.

   "Kau tidak pernah mengakui suhu sebagai suheng (kakak seperguruan), bagaimana aku bisa mengakui kau sebagai susiok?"

   "Bocah sombong, kau perlu dihajar!"

   Dengan gemas sekali Thai Khek Sian menerjang maju dengan sepuluh jari kukunya. Kukunya panjang-panjang dan setiap jari merupakan semacam pisau berbisa yang amat menakutkan. Bukan hanya berbisa, malah mengandung kekuatan tak kalah oleh pedang sehingga tiap kali bertemu dengan suling Wi Liong, terdengar suara nyaring seperti baja bertemu.

   Wi Liong tidak berani berlaku lambat. Cepat ia menandingi kakek itu dengan ilmu pedangnya yang sempurna, yang dimainkan dengan suling. Kalau pukulan-pukulan Thai Khek Sian mendatangkan angin bersiutan sehingga daun-daun tetanaman di taman itu pada gugur, adalah suling Wi Liong mengeluarkan suara melengking seperti ditiup, dan suling itu dalam tangannya seperti berubah menjadi banyak sekali. Gulungan sinar suling bergelombang mengimbangi gerakan kuku-kuku jari lawannya. Mereka telah bertanding lagi dengan hebatnya, seru dan mati-matian. Makin lama Thai Khek Sian makin marah karena penasaran sekali. Sampai puluhan jurus belum juga ia dapat mengalahkan lawannya yang muda. Jangan kata mengalahkan, mendesakpun tidak mampu. Matanya mengeluarkan cahaya berapi, kepalanya seperti mengeluarkan uap dan gerakannya makin menggila.

   Wi Liong diam-diam terkejut bukan main. Setiap pertemuan antara sulingnya dengan tangan manusia iblis itu, ia merasa lengannya tergetar.

   Akan tetapi ia mengumpulkan semangatnya dan melawan mati-matian sepenuh tenaga. Pertempuran itu bukan main hebatnya. Pepohonan tercabut dan roboh, batu-batu pada pecah yang berada di dekat tempat itu. semua itu hanya terkena hawa pukulan yang membabi-buta.

   Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Dua orang gadis, Hui Nio dan Hui Siam yang sudah menyusul sampai di situ. menonton dari belakang batu besar dengan muka pucat. Selama hidupnya belum pernah mereka menyakskan pertandingan sehebat itu. Angin-angin pukulan menyambar sampai ke tempat mereka dan hanya dengan berlindung di balik batu besar itu mereka dapat menonton. Kalau tidak, hawa pukulan itu tentu menyerang mereka dan biarpun jaraknya jauh, kiranya mereka takkan dapat menahan dan akan roboh. Malah suara melengkingnya suling yang keluar dari senjata Wi Liong tak kuat mereka dengarkan lebih lama lagi. Suara itu mengandung khikang tinggi, membuat mereka lemas dan tulang-tulang terasa sakit. Terpaksa mereka menggunakan saputangan untuk menutupi kedua telinga!

   Puluhan jurus telah lewat. Bahkan ratusan jurus. Sejam, dua jam, tiga, empat jam sudah dua orang itu bertanding, akan tetapi masih belum ada yang kalah atau menang. Mereka sudah tidak kelihatan lagi, sudah berubah menjadi dua gundukan sinar yang aneh, sinar bergulung-gulung dan menyambar ke sana ke mari seperti dua ekor naga sakti bermain-main di angkasa raya.

   Akhirnya Thai Khek Sian tak dapat menahan sabar lagi. Memang Wi Liong sudah lama sejak tadi terdesak hebat, akan tetapi ia masih terus mempertahankan diri dan karena Thai Khek Sian ingin merobohkan pemuda itu dengan ilmu silatnya maka sebegitu lama ia belum mampu merobohkan pemuda itu. Setelah-kesabarannya habis, tiba-tiba kakek ini mengeluarkan pekik yang luar biasa dahsyatnya, bukan pekik manusia lagi melainkan suara yang patutnya keluar dari neraka jahanarm. Tengkorak yang tergantung di dadanya tiba-tiba mengeluarkan asap putih dari mulut yang menyambar ke arah Wi Liong.

   Pemuda ini memang sudah sibuk terkurung oleh jari-jari tangan berkuku tajam itu sehingga ia tidak keburu lagi menghindarkan diri. Sekali ia menyedot asap itu, tubuhnya terhuyung dan ia roboh pingsan di atas tanah! Thai Khek Sian tertawa tergelak, akan tetapi, ia masih ingat bahwa pemuda ini adalah murid Thian Te Cu maka ia tidak mau membunuhnya. Betapapun juga. ia masih merasa ngeri untuk menanam permusuhan dan menimbulkan marahnya Mayat Hidup Thian Te Cu itu. Baru muridnya saja sudah begini hebat, pikirnya, entah bagaimana lihainya kakek itu yang sudah lama sekali tak pernah ia jumpai.

   Selagi Thai Khek San tertawa-tawa girang, muncul Hui Nio dan Hui Sian dari tempat sembunyinya. Dua orang gadis ini yang menganggap Wi Liong sebagai penolong mereka, tentu saja tidak bisa tinggal diam melihat penolong mereka roboh pingsan. Mereka takut kalau-kalau Thai Khek Sian membunuh pemuda itu. Hui Sian dengan tabah lalu melompat ke depan Thai Khek Sian dengan pedang di tangan.

   "Kau baru bisa bunuh dia melalui mayatku!"

   Katanya gagah sambil bersiap untuk bertempur.

   Sedangkan Hui Nio yang melihat wajah pemuda itu pucat dan napasnya tidak ada lagi, cepat mengangkat tubuh atas Wi Liong dan dipangkunya. Wi liong sudah lemas dan pucat, napasnya tidak ada lagi seperti orang mati.

   "Kau.........kau membunuhnya.........!"

   Kata Hui Nio marah sekali. Dengan perlahan ia lalu menurunkan tubuh Wi Liong di atas rumput dan melompat di samping Hui Sian dengan pedang di tangan.

   "Eh-he-he. kalian ini mau apa?"

   Thai Khek Sian mentertawakan mereka.

   "Pemuda itu apamu sih?"

   "Bukan apa-apa!"

   Jawab Hui Sian tegas.

   "Akan tetapi dia mau menolong kami keluar dan sini. Oleh karena kau telah membunuhnya, kamipun hendak mengadu nyawa denganmu!"

   Setelah, berkata demikian, Hui Sian lalu menerjang maju, diikuti oleh Hui Nio.

   Thai Khek Sian tertawa bergelak. Tentu saja dua orang gadis itu bukan lawannya. Ia membuat gerakan aneh ke kanan kiri, terdengar bunyi "krak-krak!"

   Dan dua batang pedang di tangan Hui Nio dan Hui Sian itu telah kena ia rampas dan ia patah-patahkan! Lalu ia melempar pedang-pedang itu sambil tertawa terkekeh-kekeh.

   Akan tetapi Hui Nio dan Hui Sian tidak mau sampai di situ saja. Biarpun pedang mereka sudah dirampas, mereka serentak maju dan menyerang dengan kepalan dan tendangan mereka! Thai Khek Sian mulai marah. Ia membiarkan dua orang gadis itu memukul dadanya, pukulan-pukulan itu terpental dan dua orang gadis itu merasa tangan mereka sakit sekali. Pada saat itu Thai Khek Sian memberi tanda panggilan dengan teriakannya dan datanglah Cheng In dan Ang Hwa berlarian.

   "Robohkan mereka, tapi jangan bunuh"

   Kata Thai Khek Sian.

   Cheng In dan Ang Hwa bertindak cepat. Mereka menyerang Hui Nio dan Hui Sian yang tentu saja berusaha melawan. Akan tetapi dari jauh Thai Khek Sian mendorong mereka sehingga keduanya jatuh terguling. Pada saat itu Cheng In dan Ang Hwa sudah menotok jalan darah mereka, membuat dua orang gadis tawanan itu tak berdaya lagi.. Melihat Wi Liong juga rebah tak bergerak, Cheng In dan Ang Hwa menjadi khawatir sekali.

   

Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Bu Kek Siansu Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini