Ceritasilat Novel Online

Cheng Hoa Kiam 9


Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



"Kun Hong jangan khawatir. Biar aku yang membikin mampus anjing buta ini!"

   Terdengar suara nyaring sinar putih berkelebat menyilaukan mata ketika sebatang pedang menyambar leher Kwee Sun Tek.

   Kaget sekali Kwee Sun Tek ketika tahu-tahu ada hawa dingin menyambar cepat. Ia mengibaskan lengan bajunya dan melompat mundur. Kun Hong cepat memandang dan melihat gurunya. Tok-sim Sian-li, sudah berdiri dengan pedang di tangan! Yang membikin Kun Hong kaget dan heran adalah melihat pedang itu. Bukan lain pedang Cheng-hoa-kiam yang lenyap tadi. Kiranya Tok-sim Sian-li yang mengambil!

   Kun Hong menjadi merah mukanya. Ia malu dan penasaran. Masa melawan seorang buta saja ia kalah? Dari malu dan penasaran ia menjadi marah. Dengan seruan keras ia menerjang maju lagi, menyerang Kwee Sun Tek yang masih berdiri miring. Namun kakek buta itu dengan mudah menangkis bahkan mengerahkan tenaga dalam targkisannya ini, membuat Kun Hong terhuyung ke samping, hampir roboh. Pada saat itu, Tok-sim Sian-li sudah menerjang maju dengan pedang Cheng-hoa-kiam, menyerang Sun Tek dengan tusukan pada leher dibarengi cengkeraman tangan kiri dengan pukulan Toat-sim-ciang yang berbahaya. Sun Tek cepat menggeser kaki mengelak dan mcngebutkan lengan bajunya menangkis pukulan ini. Di lain saat, orang buta itu sudah dikeroyok dan dihujani serangan oleh Tok-sim Sian-li dan Kun Hong.

   Biarpun tingkat kepandaiannya masih menang setingkat kalau dibandingkan dengan Kun Hong atau Tok-sim Sian-li, namun dikeroyok dua Sun Tek merasa berat juga. Terutama sekali penyerangan dengan pedang oleh wanita iblis itu Benar-benar berbahaya. Orang buta ini hanya mengaudalkan pendengarannya yang tajam dan pedang itu begitu tipis dan ringan sampai suaranya ketika menyambar tidak begitu dapat ditangkap oleh pendengaran.

   Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Kwee Sun Tek yang buta itu, tiba-tiba berkesiur angin dan terdengar Kun Hong bersama gurunya berseru kaget, lalu memutar tubuh dan keduanya lari tunggang-langgang turun dari puncak Wuyi-san seperti orang dikejar setan! Kwee Sun Tek tidak mengejar bahkan segera memutar tubuhnya dan menjatuhkan diri berlutut ke arah rumah batu.

   "Terima kasih atas pertolongan Siansu. Akan tetapi mengapa Siansu membiarkan saja mereka pergi membawa pedang Cheng-hoa-kiam?"

   Terdengar suara halus dari dalam rumah batu, suara Thian Te Cu.

   "Pedang itu haus darah, belum sampai waktunya menjadi milik Wi Liong.

   "

   Kwee Sun Tek menarik nanas panjang, maklum bahwa orang sakti itu tidak mau banyak bicara seperti biasanya dan.akan percuma saja kalau ia bertanya tentang pemuda yang mengaku suami Kwa Siok Lan itu. Hatinya gelisah bukan main dan setiap hari ia mengharapkan kembalinya Wi Liong, keponakannya.

   Sementara itu. Kun Hong dan Tok-sim Sian-li lari secepatnya turun dari puncak. Setelah tiba di dalam sebuah hutan di lereng, baru mereka berhenti dan terengah-engah mengambil napas.

   "Berbahaya sekali........."

   Kata Kun Hong sambil menghapus peluh dingin dari dahinya dengan lengan baju.

   "Apa kubilang dulu!"

   Kata Tok-sim Sian-li wajahnya yang masih cantik itu agak pucat.

   "Thian Te Cu benar sakti dan lihai sekali. Hanya Thai Khek Siansu yang sanggup melawannya. Baiknya Thian Te Cu tidak bermaksud membunuh kita, kalau dia bermaksud demikian, apa kaukira kita bisa melarikan diri? Karena itu. kita harus cepat-cepat pergi ke pantai timur mencari Thai Khek Siansu di Pulau Pek-go-to.

   Kun Hong mengangguk-angguk. Memang pengalamannya yang tadi hebat sekali. Ketika dia dan Tok-sim Sian-li sedang mendesak Kwee Sun Tek yang buta namun cukup tangguh itu, tiba-tiba dia dan Tok-sim Sian-li merasa didorong- dorong orang dari depan. Pendorongnya tidak kelihatan, namun semacam tenaga aneh yang tidak tampak mendorong-dorong; mereka, mengacaukan semua serangan mereka bahkan telinga mereka mendengar suara perlahan namun jelas sekali "Pergilah...... Pergilah.......!"

   Maklum bahwa mereka menghadapi orang yang memiliki kesaktian luar biasa baik Kun Hong maupun Tok-sim Sian-li menjadi keder bergidik dan tanpa banyak cakap lagi melarikan diri tunggang-langgang.

   "Kau harus menjadi mund Thai Khek Siansu, baru kau dapat mengimbangi kepandaian pemuda yang menjadi murid Thian Te Cu."

   Kata pula Tok-sim Sian-li yang maklum akan isi hati pemuda murid dan kekasihnya itu.

   "Inikah pedang yang kau idam-idamkan? Boleh kauterima memang kuambil untukmu."

   "Niocu, bagaimana kau bisa sampai di sini dan mengambil pedang ini?"

   Tanya Kun Hong dengan suara halus sambil menerima pedang. Betapapun jemunya kepada Tok-sim Sian-li. wanita cabul yang dahulu menjadi gurunya ini benar-benar cinta kepadanya.

   Tok-sim Sian-li tertawa, memperlihatkan giginya yang masih berderet bagus menarik.

   "Anak baik, kaukira mudah begitu saja meninggalkan aku? Aku tahu bahwa kau yang keras hati tentu melanjutkan perjalanan ke Wuyi-san ini, maka aku segera mengejar secepat mungkin. Ketika kau dikejar oleh si mata buta, aku mempergunakan kesempatan itu untuk mengambil Cheng-hoa-kiam lalu datang membantumu."

   Kun Hong mengangguk-angguk lalu mereka berdua melanjutkan perjalanan turun Gunung Wuyi-san untuk menuju ke pantai laut timur mencari Thai Khek Sian. Lama Kun Hong diam saja setelah menyelipkan pedang di punggung. Ia masih mengenang pertemuan dan pertempuran melawan Kwee Sun Tek tadi. Baru Kwee Sun Tek saja setelah tinggal dekat dengan Thian Te Cu sudah menjadi demikian kosen. apa lagi Wi Liong, pikirnya gelisah. Kemudian ia teringat akan percakapannya dengan Sun Tek tentang Kwa Cun Ek. Ia menengok kepada Tok-sim Sian-li yang berjalan di sampingnya. Kebetulan wanita ini sejak tadi menatap wajahnya yang tampan, dari samping, tatapan mata penuh kasih mesra dan sayang.

   "Niocu. apakah kau mengenal nama Kwa Cun Ek?"

   Secara tiba-tiba ditanya tentang nama orang yang tentu saja dikenal amat baik itu, Tok-sim Sian-li menjadi terkejut bukan main sampai alisnya terangkat tinggi dan digerak-gerakkan. Bagaimana ia tidak mengenal Kwa Cun Ek? Siang-jiu Lo-thian Kwa Cun Ek dahulu adalah kekasihnya, maiah menjadi calon suaminya! Akhirnya entah mengapa Kwa Cun Ek meninggalkannya dan menikah dengan Tung-hai Sian-li sampai mempunyai seorang anak perempuan bernama Kwa Siok Lan. Untuk menenteramkan hatinya yang berdebar, ia pnra-pura bertanya.

   "Kwa Cun Ek yang manakah?".

   "Kwa Cun Ek yang tinggal di Poan-kun dan yang dijuluki Siang-jiu Lo-thian.

   "

   Mendengar ini, Tok-sim Sian-ii tidak kaget lagi karena ia memang sudah dapat memulihkan hatinya. Dengan sikap tenang ia menjawab,

   "Dia seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal. Tentu saja aku mengenalnya. Akan tetapi. mengapa kau tanya tentang dia?"

   Kun Hong tertawa.

   "Kwee Sun Tek yang buta itu mengira aku betul-betul calon mantu Kwa Cun Ek, tunangan dari nona Kwa Siok Lan yang katanya telah ditunangkan dengan keponakannya!"

   Sambil tertawa-tawa geli Kun Hong menceritakan bagaimana ia mempermainkan Kwee Sun Tek dan tanpa disengaja membawa-bawa nama Kwa Cun Ek yang sama sekali tidak dikenalnya.

   "Bagaimana ada hal demikian kebetulan?"

   Tok-sim Sian-li berseru heran.

   "Dan lebih kebetulan lagi. aku dengan Kwa Cun Ek adalah......adalah kenalan baik sekali. Dia memang mempunyai anak perempuan, anak dari Tung-hai Sian-li. isterinya yang kini sudah dicerainya. Sudahlah, kelak kau akan dapat bertemu dengan mereka. Sekarang, paling perlu mari kita mencari Thai Khek Siansu agar kau diberi pelajaran lebih mendalam karena kepandaianmu masih jauh ketinggalan kalau dibandingkan dengan murid Thian Te Cu."

   Kun Hong maklum akan kebenaran ucapan ini. Memang semenjak bertanding dengan Kwee Sun Tek yang buta, kemudian merasai bekas tangan Thian Te Cu yang sakti, ia bergidik dan dapat menduga bahwa menghadapi Wi Liong ia tentu akan kalah lagi. Thai Khek Sian adalah sucouw-nya, karena tokoh ini masih paman guru dari Bu-ceng Tok-ong, tentu kepandaiannya hebat. Kalau dia bisa mewarisi kepandaian sucouw ini, alangkah baiknya.

   Maka berangkatlah Kun Hong bersama Tok-sim Sian-li menuju ke pantai laut timur, ke Puiau Pek-go-to yang berada di antara Kepulauan Couw-san-to. Kedatangan mereka disambut dengan gembira oleh Thai Khek Sian dan selir- selirnya. Thai Khek Sian sendiri masih belum hilang rasa cintanya kepada Tok-sim Sian-li. maka kedatangan wanita ini tentu saja menggembirakan hatinya. Adapun selir-selirnya yang jumlahnya belasan orang, muda-muda dan cantik- cantik itu, juga diam-diam merasa amat gembira menerima tamu seorang pemuda ganteng seperti Kam Kun Hong! Dalam waktu singkat saja Kun Hong sudah menjadi "sahabat baik"

   Dari Cheng In dan Ang Hwa, dua orang selir berbaju hijau dan ungu yang merupakan selir-selir kepala, juga murid-murid terkasih dari Thai Khek Sian.

   Kembali Tok-sim Sian-li membuktikan cinta kasihnya yang mendalam terhadap Kun Hong. Mempergunakan pengaruhnya di depan Thai Khek Sian. ia membujuk dan memperingatkan Thai Khek Sian akan janjinya dulu untuk menurunkan kepandaian kepada Kam Kun Hong.

   "Anak itu bakatnya luar biasa. Golongan kita masih belum mempunyai ahli waris. Kalau kau tidak menurunkan kepandaiamnu kepada seorang murid yang betul-betul pandai, siapa kelak yang akan menjaga nama kita? Siapa yang akan mengimbangi murid Thian Te Cu yang juga sudah menurunkan kepandaiannya kepada seorang pemuda bernama Thio Wi Liong?"

   Demikian antara lain Tok-sim Sian-li membujuk gembong Mo-kauw itu. Mendengar bahwa musuh sejak mudanya, Thian Te Cu, sudah menurunkan kepandaian kepada murid tergerak hati Thai Khek Sian Tentu saja segala macam ianji dengan aiudah dapat ia bataikan. akan terata kenyataan oahwa Thian Te Cu sudah menurunkan kepandaian kepada seorang murid, tak boleh ia biarkan begitu saja. Melawan Thian Te Cu sama-sama tuanya ia masih tidak gentar, akan tetapi kalau ada murid muda yang menggantikannya, inilah berat. Ia harus mendapatkan murid yang baik pula untuk menyaingi musuh besar itu

   Demikianlah, setelah puas mendapat kenyataan bahwa Kun Hong betul- betul memiliki "tulang baik"

   Thai Khek Sian mulai menurunkan kepandaiannya kepada pemuda itu yang belajar dengan amat tekunnya. Kun Hong selama ini sudah mendapat bimbingan Bu-ceng Tok-ong dan Tok-sim Sian-li. maka kini ia hanya menerima tambahan-tambahan saja, yaitu ilmu pukulan-pukulan yang aneh dan sakti dari sucouwnya. Thai Khek Sian yang aneh luar biasa dan bukan seperti manusia biasa itu. Di lain fihak. Thai Khek Sian girang sekali melihat kemajuan murid baru ini.

   "Setahun saja kau belajar seperti ini. kutanggung kau tidak akan kalah oieh murid si tua bangka Thian Te Cu!"

   Mendengar ini Kun Hong girang sekali dan belajar makin giat. Sementara itu. Tok-sim Sian-li selalu mcndampinginya dan tentu saja dalam segala hal ia membantu muridnya yang terkasih. Hanya satu hal yang menyakitkan hatinya, yaitu adanya hubungan yang tidak wajar antara muridnya itu dengan para selir muda Thai Khek Sian Akan tetapi, anehnya. Thai Khek Sian sendiri tidak apa-apa. menganggap hal itu "biasa"

   Saja, malah menganjurkan Cheng In dan Ang Hwa melayani murid baru ini baik-baik karena kelak murid baru inilah yang akan menggantikan kedudukannya sebagai gembong Mo-kauw!

   Ketika pada suatu heri kebetulan Thai Khek Sian melihat pedang di tangan Kun Hong tokoh besar ini berseru heran.

   "Aahhh. bukankah itu Cheng-hoa-kiam?"

   Sebelum Kun Hong sempat menjawab tahu-tahu pedang itu seperti "terbang"

   Dari tangannya dan pindah ke tangan guru besar itu. Thai Khek Sian mengamat-amati pedang itu dan mengangguk-angguk.

   "Tak salah lagi. ini Cheng-hoa-kiam! Mengapa pedang ini bisa terjatuh ke tanganmu? Apa Gan Tui sudah mati?"

   Kun Hong tidak tahu siapa itu Gan Tui yang disebut sucouwnya.

   "Teecu mendapatkan pedang ini dari tangan seorang bernama Kwee Sun Tek."

   Katanya, kemudian Kun Hong menceritkan apa yang ia ketahui dari pedang itu. Mula-mula dari tangan Sun Tek dirampas oleh Bu-ceng Tok-ong. kemudian dari Bu-ceng Tok-ong berpindah ke tangan Thian Te Cu sampai akhirnya ia dan Tok-sim Sian-li berhasil mengambil pedang itu dari Wuyi-san, merampasnya dari tangan Kwee Sun Tek.

   Thai Khek Sian memutar-mutar matanya. menimang-nimang pedang itu dan bibirnya tersenyum aneh.

   "Kalau Thian Te Cu merampas pedang ini tidak aneh dan itu berarti dia masih ingat urusan lama. Akan tetapi ia membiarkan kau merampasnya itu berarti hatinya sudah dingin lagi. Cheng hoa kiam........ Cheng-hoa-kiam kau benar-benar tak pernah tu! Dulu mengacaukan hati orang-orang muda. Ha-ha-ha! Dan orang-orang muda yang dulu kau permainkan sekarang sudah menjadi kakek-kakek seperti Thian Te Cu!"

   Kembali Thai Khek Sian tertawa bergelak.

   Kun Hong terheran-heran. Baru sekarang ia melihat Thai Khek Sian tertawa dan bicara agak panjang. Biasanya orang aneh ini hanya bicara seperlunya saja dan tak pernah tertawa. Ketika ia bertemu dengan Tok-sim Sian-li, ia menceritakan pengalamannya tadi.

   "Niocu. apakah kau tahu akan riwayat Cheng-hoa-kiam yang agaknya dikenal baik oleh Sucouw?"

   Tanyanya.

   Tok-sim Sian-li menggeleng kepalanya, akan terapi iapun tertarik sekali."

   "Biar aku akan mencoba supaya sucouw-mu suka menceritakannya kepadaku,"

   Jawabnya.

   Kekuasaan wanita terhadap pria memang luar biasa. Betapapun keras hati seorang pria, pada suatu waktu akan datang seorang wanita yang akan sanggup menghancur-luluhkan hatinya yang keras itu. Thai Khek Sian terkenal seorang yang keras hati, seorang aneh yang tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun juga. Belasan erang selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik juga tidak dapat mempengaruhinya. Akan tetapi agaknya Tok-sim Sian-li merupakan kelemahannya. Agaknya wanita inilah satu-satunya wanita yang dapat mempengaruhinya dan menembus kekerasannya. Setelah dirayu oleh Tok-sim Sian li luluh juga hati Thai Khek Sian dan setengah malam lamanya ia bercerita tentang pedang Cheng-hoa-kiam yang menyangkut riwayatnya di waktu muda. Agar kita semua mengenal Cheng-hoa-kiam dan tokoh-tokoh besar itu di waktu muda, mari kita ikuti ceritanya yang singkat-seperti di bawah ini.

   Pedang Cheng-hoa-kiam sebetulnya adalah pedang rampasan dari Suku Bangsa Yucen (Nu-cen) yang bertempat tinggal di sebelah utara Shansi, yaitu ketika terjadi pertempuran hebat antara bala tentara Sung dan bala tentara Nucen. Panglima Besar Sung yang terkenal gagah perkasa Gak Hui, merampas pedang ini dan selanjutnya pedang ini jatuh dari tangan ke tangan panglima-panglima besar sampai yang terakhir sekali, puluhan tahun yang lalu, terjatuh ke dalam tangan seorang panglima she Bu yang kemudian menjauhkan diri dari pergaulan ramai dan menjadi pertapa di Wuyi-san bernama Bu Tek Cinjin. Dia pergi bertapa diikuti oleh dua orang kawannya, juga panglima-panglima yang berilmu tinggi, she Yap dan she Kui Aklirnya tiga orang ini menjadi kakek-kakek pertapa dan amat disegani orang, terkenal dengan sebutan Wuyi Sam-lojin (Tiga Orarg Kakek Gunung Wuyi).

   Rupanya takdir sudah menentukan bahwa di antara tiga orarg kakek berusia lima puluh tahun ini akhirnya terjadi perpecahan. Dan sebab perpecahannya benar- benar membikin kaget seluruh dunia kaag-ouw, sebab yang amat memalukan dan tak masuk di akal yaitu sebabnya adalah karena...... seorang gadis! Gadis itu seorang yatim piatu yang hidup sengsara, menjadi pelayan seorang kaya raya digoda oleh majikannya, melarikan diri dan hendak membunuh diri di dalam hutan. Akan tetapi ketika tubuhnya sudah tergantung dengan leher diikat dengan ikat pinggang sendiri, datang Wuyi Sam-lojin menolong dan menyelamatkan nyawanya. Kemudian gadis ini dibawa ke Wuyi-san dan di sinilah mulai terjadinya percekcokan. Mereka saling berebut untuk mengangkat gadis itu sebagai..... murid, tak mau saling mengalah sampai terjadi adu kepandaian yang hebat.

   Dan gadis itu lari ke dalam pondok, ketakutan dan makin berduka karena dia hanya menimbulkan keributan di antara tiga orang kakek sakti yang tadinya hidup tenteram. Dapat dibayangkan betapa menyesal dan sebal hatinya karena ia mengira bahwa tiga orang kakek itu memperebutkannya untuk maksud yang tidak baik. mengira bahwa tiga orang kakek ini tergila-gila kepadanya!

   Oleh karena itu. ketika akhirnya tiga orang tua ini agak mereda nafsu marahnya dan mencari gadis itu, mereka mendapatkan gadis itu telah tewas dengan leher hampir putus di dalam pondok. Gadis itu dengan nekat telah membunuh diri, menggorok leher sendiri menggunakan pedang pusaka yang tergantung di tembok!

   Bu Tek Cinjin marah sekali.

   "Kita menolong gadis ini hanya untuk membunuhnya! Alangkah rendahnya! Pedang ini menjadi saksi akan kebodohan kita!"

   Ia lalu mengusir dua orang sahabatnya itu yang pergi berpencaran dengan marah pula. Pedang pusaka itu lalu disimpan oleh Bu Tek Cinjin dan pada gagangnya diukir dua huruf "Cheng Hoa"

   Yaitu nama gadis yang tewas itu! Demikianlah, mulai saat itu pedang pusaka rampasan Gak Hui dari Suku Bangsa Nucen yang tadinya tidak diketahui apa namanya sekarang menjadi Cheng-hoa-kiam.

   Tiga orang kakek dari Wuyi-san yang sakti itu setelah berpencaran; tidak pernah dapat melupakan peristiwa itu. Mereka saling marah dan berpisah karena berebut murid, maka setelah mereka hidup sendiri-sendiri mereka masing-masing mengambil seorang murid. Bu Tek Cinjin menjadi guru Thian Te Cu, kakek she Yap menjadi guru Thai Khek Sian, sedangkan kakek she Kui menjadi guru Gan Yan Ki yang kemudian menjadi tokoh besar dunia kang-ouw pula. Sayang sekali Gan Yan Ki ini meninggal dalam usia tigapuluh tahun lebih, mengikuti isterinya yang telah meninggal lebih dulu karena sakit. Lebih sayang lagi. ilmunya yang tinggi, yang ia pelajari dari kakek she Kui, hanya sebagian saja yang dapat ia turunkan kepada putera tunggalnya yang baru berusia tiga-belas tahun. Puteranya ini adalah Gan Tui yang kemudian lebih terkenal dengan nama Beng Kun Cinjin!

   Rupa-rupanya permusuhan atau dendam karena urusan kecil antara "tiga orang kakek"

   Ini turun-temurun. Setelah mereka tidak ada lagi di dunia, murid-murid mereka juga tidak akur malah bersaing. Terutama sekali Thai Khek Sian murid kakek Yap yang sudah mewariskan seluruh kepandaiannya, selalu mencari kesempatan untuk mengadu kepandaian dengan dua orang murid lain. Akan tetapi ia kalah jauh oleh Gan Yan Ki maupun oleh Thian Te Cu. Dengan hati sakit akhirnya Thai Khek Sian merantau ke barat, mempelajari ilmu silat tinggi dari partai hitam dan kembali dengan membawa ilmu yang amat tinggi dan menyeramkan. Akan tatapi, tetap saja ia harus mengakui keunggulan Thian Te Cu yang masih terhitung suhengnya itu.

   Pedang Cheng-hoa-kiam tetap dijadikan rebutan. Tadinya oleh Bu Tek Cinjin pedang itu diberikan kepada Thian Te Cu. Beberapa kali Thai Khek Sian mencoba untuk merampasnya, akan tetapi selalu ia kalah oleh Thian Te Cu, sungguhpun kekalahan itu hanya terjadi setelah melalui pergulatan yang sengit dan seni. Boleh dibilang tingkat kepandaian mereka seimbang, hanya Thian Te Cu lebih matang tenaga dalamnya dan lebih murni hawa sakti di dalam tubuhnya.

   Makin tua mereka makin dingin terhadap urusan pedang itu. Akhirnya ketika Gan Yan Ki meninggal dunia, sebagai seorang suheng. apa lagi sebagai seorang yang mulai tertarik oleh iimu kebatinan. Thian Te Cu menjadi kasihan dan datang menengok. Ia amat kasihan melihat Gan Tui, malah ia lalu memberikan pedang Cheng-hoa-kiam kepada Gan Tui dan menurunkan beberapa macam ilmu pukulan kepada anak yang baru belasan tahun usianya itu.

   Demikianlah riwayat singkat dari Cheng-hoa-kiam. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan dari cerita ini, pedang Cheng-hoa-kiam itu oleh Gan Tui atau Beng Kun Cinjin diberikan kepada murid perempuannya, Kwee Goat. Kemudian ketika Beng Kun Cinjin tersesat dan tergila-gila oleh Kui Hui Niang sehingga rela diperalat oleh penjajah menjadi kepala pengawal, pedang itu dibawa oleh Kwee Sun Tek yang menyelamatkan Thio Wi Liong. Kemudian pedang itu dirampas oleh Bu-ceng Tok-ong dari tangan Kwee Sun Tek, kemudian dari tangan Raja Racun ini diambil kembali oleh Thian Te Cu.

   Karena mengingat akan riwayat pedang itu yang membawa nama orang yang menjadi biang keladi permusuhan antara tiga orang saudara sendiri. Thian Te Cu membiarkan saja pedang itu dibawa pergi oleh Tok-sim Sian-li, sungguhpun kalau dia mau, tentu saja dengan mudah ia dapat mencegahnya.

   Demikian pula, tentu saja Thai Khek Sian terheran-heran melihat pedang Cheng-hoa-kiam berada di tangan muridnya yang baru, Kun Hong. dan diam-diam ia pun heran sekali mengapa Thian Te Cu mendiamkan saja pedang beriwayat itu diambil oleh Kun Hong, padahal dahulu beberapa kali ia mencoba untuk merampas selalu gagal. Alangkah banyaknya perubahan pada sikap Thian Te Cu, pikirnya.

   Cerita tentang pedang ini yang dituturkan oleh Thai Khek Sian kepada Tok-sim Sian-li, oleh wanita ini disampaikan pula kepada Kun Hong. Pemuda itu mendengarkan dengan penuh perhatian.

   "Ah, kalau begitu, Thian Te Cu sebetulnya masih suheng (kakak seperguruan) dari sucouw. Yang tidak kumengerti mengapa pedang yang katanya oleh Thian Te Cu diberikan kepada Gan Tui atau Beng kun Cinjin kemudian berada pada Kwee Sun Tek? Benar-benar aku tidak mengerti!"

   "Aku sendiripun tidak mengerti, dan Thai Khek Siansu sendiri tidak dapat menceritakan hal itu. Sudah amat lama dia tidak mengadakan hubungan, baik dengan Thian Te Cu maupun dengan GanTui yang kemudian bernama Beng Kun Cinjin."

   "Beng Kun Cinjin itu, apakah juga selihai sucouw atau Thian Te Cu? Dan dia sekarang di mana?"

   "Aku sudah mendengar tentang dia. Lihai juga biarpun tidak selihai Thai Khek Siansu tentunya. Pernah dia membasmi Lima Siluman Huang-ho dan banyak sudah orang-orarg kang-ouw yang kalah olehnya. Dahulu dia amat ganas dan suka berkelahi, suka sekali mencoba kepandaian orang lain. Sayang aku sendiri belum pernah bertemu dengan dia sehingga belum dapat mengatakan sampai di mana lihainya. Akan tetapi pernah aku mendengar dia diangkat menjadi koksu oleh Kaisar Mongol dan akhir-akhir ini katanya ia meninggalkan kedudukannya dan entah berada di mana tak seerangpun pernah membicakannya lagi.

   "

   Entah mengapa, hati Kun Hong tergerak dan ia ingin sekali mengetahui siapakah Beng Kun Cinjin dan orang macam apa adanya dia. Nama Gan Tui dan Beng Kun Cinjin amat menarik hatinya, apa lagi orang itu pernah diwarisi beberapa macam ilmu pukulan oleh Thian Te Cu. Ingin ia bertemu dengan orang itu. Tentu saja baik dia sendiri maupun Tok-sim Sian-li tak pernah menyangka bahwa

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Cheng Hoa Kiam (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   sesungguhnya Beng Kun Cinjin Gan Tui itu bukan lain adalah ayah pemuda itu!

   Maklum bahwa di bawah bimbingan Thian Te Cu tentu ilmu kepandaian Wi Liong amat tinggi, Kun Hong lalu belajar dengan amat tekun sehingga menyenangkan hati Thai Khek Sian. Apalagi di situ terdapat Tok-sim Sian-li yang merayu hati gembong Mo-kauw itu supaya menurunkan ilmunya yang tinggi-tinggi kepada Kun Hong.

   Sementara itu. telah terjadi perobahan besar dalam pimpinan bala tentara Mongol yang pada waktu itu sedang berkembang hebat dan melakukan penyerbuan ke barat sampai menggegerkan setengah dunia. Seperti telah dituturkan di bagian depan ketika Beng Kun Cinjin Gan Tui masih aktip membantu pergerakan bala tentara Mongol, bala tentara yang perkasa ini sedang melakukan penyerbuan ke barat. Kemudian Beng Kun Cinjin mendapatkan ketidaksetiaan Kiu Hui Nian dan membuat ia mata gelap, membunuh Hui Niang yang dicintainya itu lalu minggat tidak kembali ke kota raja.

   Jengis Khan kecewa mendengar bahwa Beng Kun Cinjin melarikan diri karena kakek itu sebetulnya merupakan tenaga bantuan yang amat kuat. Akan tetapi kehilangan seorang pembantu saja tidak melemahkan bala tentara Mongol yang hebat. Sebagian besar dari negara barat ditundukkan dan dikalahkan, negara- negara besar mereka gilas hancur seperti Sin-kang, Iran, Afganistan. Kota-kota besar jatuh satu demi satu dalam penyerbuan bala tentara Mongol. Akhirnya setelah puas dengan petualangannya. Jengis Khan memimpin bala tentaranya kembali ke timur melalui Pegunungan Ural di sebelah utara Laut Kaspia menuju Sin-kiang.

   Setelah tiba kembali di Mongol, Jengis Khan menumpahkan dendam hatinya kepada Suku Bangsa Hsi-hsia yang tidak memperlihatkan kesetiaannya dan tidak mau menbantu secara memuaskan ketika bala tentara Mongol itu menyerbu ke barat. Suku Bangsa Hsi-hsia yang pernah ditundukkan itu kini diserbu lagi, banyak orang dibunuh tanpa pilih bulu. Malah ibu kota Hsi-hsia dijatuhkan, dibakar dan semua penduduknya, tidak ada kecualinya tua muda besar kecil laki perempuan dibunuh! Akan tetapi di tengah-tengah kekejian ini, Jengis Khan meninggal dunia dalam usia tujuh puluh dua tahun.

   Akan tetapi kematian pemimpin besar Bangsa Mongol ini tidak melemahkan semangat mereka. Di bawah pimpinan putera ke tiga dari Jengis Khan yang bernama Oguthai, bala tentara Mongol malah mengadakan penyerbuan ke selatan yaitu Kerajaan Cin. Perang hebat terjadi selama tiga tahun lebih. Akan tetapi juga bala tentara Kerajaan Cin dihancurkan dan seluruh kerajaan terjatuh ke dalam tangan bala tentara Mongol. Semenjak jatuhnya Kerajaan Cin (tahun 1234) seluruh Tiongkok utara menjadi wilayah Kerajaan Mongol. Tiongkok selatan masih tetap menjadi wilayah Kerajaan Sung.

   Setelah Kerajaan Cin roboh rakyat Tiongkok baru dapat bernapas lagi karena perang dihentikan. Biarpun tidak dapat dikatakan bersahabat, namun antara pemerintah Mongol dan pemerintah Sun tidak terjadi perang, hanya saling menjaga tapal batas masing-masing. Rakyat mulai dapat bekerja lagi tentu saja di utara harus tunduk kepada pemerintah baru. pemerintah penjajah baru, yaitu Kerajaan Mongol. Mengapa bala tentara Mongol tidak menyerang terus ke selatan? Oleh karena seperti juga ayahnya, Oguthai Khan amat tertarik oleh dunia barat dan melakukan penyerbuar besar-besaran ke dua menuju ke barat. Iran ditundukan, Rusia selatan dikalahkan. Kota-kota besar Kiey dan Moskou direbut dan dibakar (tahun 1240), terus menyerang Polandia, bahkan sampai menghancurkan dan membakar kota Pest di Hongaria.

   Karena kesibukan-kesibukan di barat inilah maka balatentara Mongol untuk sementara tidak menghiraukan Kerajaan Sung di selatan dan rakyat boleh menarik napas lega, karena untuk sementara waktu tidak ada perang. Biarpun begitu terasa sekali pertentangan dan persaingan, juga terasa di dunia kang-ouw adanya fihak yang bertentangan, sebagian mengakui Kerajaan Mongol sebagai kerajaan baru yang baik, sebagian pula tetap setia kepada Kerajaan Sung dan menentang pengaruh Mongol.

   Di puncak Wuyi-san. Wi Liong sedang duduk berlutut di atas lantai menghadap suhunya Thian Te Cu. Mereka berada di dalam kamar guru besar itu. kamar sempit yang agak gelap akan tetapi bersih karena memang kamar batu ini tidak ada apa-apanya seperti sebuah gua yang menyeramkan. Apa lagi melihat Thian Te Cu duduk bersila di atas pembaringan batu, kelihatan seperti tengkorak hidup, benar-benar menyeramkan. Muka kakek ini makin kurus saja bersinar kehijauan. Bibirnya masih selalu tersenyum mengejek dan matanya memandang lembut. Pakaiannya berwarna putih melibat-libat tubuh yang kurus dan kuku-kuku jarinya yang panjang-panjang itu sampai melingkar-lingkar. Benar-benar seorang yang kelihatan menyeramkan dan aneh.

   "Wi Liong, pengalamanmu setahun yang lalu itu kuharap sudah dapat membuka hatimu untuk menyadari sepenuhnya bahwa di dunia ini tidak.ada manusia yang terpandai. Di atas puncak Gunumg Thai san masih ada awan dan di atas awan masih ada bulan, bahkan di atas bulan masih ada bintang-bintang dan matahari, tanda bahwa kekuasaan alam tiada terbatas. Demikian pun dengan kepandaian manusia, sudah tinggi ada yang lebih tinggi, sudah pandai ada yang iebih pandai. Kepandaian manusia juga merupakan sebagian kecil dari pada kekuasaan alam, oleh karena itu kita sekali-kali tidak boleh merasa diri sendiri paling pandai"

   Wi Liong menundukkan mukanya. Ia teringat akan peristiwa setahun lebih yang lalu, pengalaman pahit sekali ketika untuk pertama kalinya ia mendapat penghinaan dan kekalahan. Seperti telah dituturkan, setahun yang lalu ketika suhunya mengasingkan diri di dalam kamar. Wi Liong turun dari puncak Wuyi-san untuk memenuhi permintaan pamannya, yaitu untuk mencari keterangan perihal seorang bernama Beng Kun Cinjin Gan Tui, dan kebetulan sekali di dalam sebuah rumah makan Tung-thian di kota Ningpo ia bertemu dengan Seng-goat-pian Kam Ceng Swi yang hampir celaka menghadapi Cheng In dan Ang Hwa dua orang nona utusan Pek-go-to.

   Kemudian Wi Liong mengalahkan dua orang nona itu dan Kam Ceng Swi membawanya pergi dari Ningpo karena tokoh Kun-Iun ini takut kalau- kalau Thai Khek Sian datang melakukan pembalasan atas kekalahan dua orang utusannya. Akan tetapi Wi Liong yang baru saja turun gunung, sebagai seorang pendekar muda yang belum berpengalaman dan belum pernah mendengar nama Thai Khek Sian, mana merasa takut? Ia bahkan cepat kembali ke Ningpo dikejar oleh Kam Ceng Swi yang merasa khawatir sekali karena kakek ini merasa amat sayang dan suka kepada Wi Liong.

   Dugaan dan kekhawatiran Seng-goat-pian Kam Ceng Swi ternyata betul sekali. Ketika mereka memasuki kota Ningpo, dari jauh sudah kelihatan, asap bergulung naik dan orang-orang panik berlari-larian sambil bercerita bahwa rumah makan Tung-thian dibakar siluman!

   Dengan hati tabah Wi Liong mempercepar larinya menuju ke rumah makan itu. Makin dekat dengan rumah makan, makin sunyilah karena orang-orang yang tinggal berdekatan agaknya ketakutan dan lari bersembunyi. Sekarang sudah kelihatan api bernyala membakar rumah makan di mana tadi Wi Liong makan minum dan loteng tempat berpibu tadi sudah mulai runtuh.

   "Kurang ajar."

   Wi Liong memaki marah.

   "siapakah yang berhati keji membakar rumah makan umum?"

   Pemuda ini tidak memperhatikan Kam Ceng Swi yang tertinggal di belakang karena orang tua ini kelihatan jerih sekali, dapat menduga bahwa yang dimaksudkan orang-orang dengan "siluman"

   Tentulah Thai Khek Sian atau anak buahnya

   Betul saja setelah dekat dengan tempat kebakaran itu. Wi Liong melihat serombongan wanita-wanita cantik dan muda sebanyak tigabelas orang berbaris rapi dan menarik, dengan pedang terhunus di tangan. Yang berjalan paling depan adalah Cheng In dan Ang Hwa dan di tengah-tengah mereka berjalan seorang laki-laki yang amat aneh dan menggelikan, lucu sekali keadaan orang itn. Usianya sudah enampuluh tahun lebih namun kelihatan masih muda, bertubuh kekar, berkulit hitam sekali dan kepalanya gundul pelontos. Celananya hitam.diikat dengan ikat pinggang mutiara indah, akan tatapi ia tidak berbaju!

   Sepatunya juga indah, demikian pula celananya terbuat dari pada sutera mahal. Pendeknya, sebatas pinggang ke bawah ia merupakan seorang yang betul-betul pesolek dan gagah, akan tetapi dari pinggang ke atas amat sederhana, telanjang dan tak terpelihara. Kuku-kuku jari tangannya runcing, kalau di-beri warna merah tentu seperti tangan perempuan! Matanya lebar bundar, mukanya halus tidak ada rambutnya, sama halusnya dengan kepalanya yang gundul licin itu.

   Inilah dia Thai Khek Sian. seorang di antara gembong-gembong Mo-kauw kelas teratas! Sudah puluhan tahun dia jarang sekali keluar dari tempat bertapanya, yaitu Pulau Pek-go-to. Semua keperluannya disediakan dan dilayani oleh belasan orang selir-selirnya yang cantik-cantik lagi muda. Memang, sebagian besar orang kang-ouw tahu belaka bahwa Thai Khek Sian adalah seorang bandot tua yang anehnya amat disuka oleh wanita-wanita muda! Ada yang bilang dia mempunyai ilmu. pandai mempergunakan guna-guna pengasihan untuk membikin wanita- wanita muda tergila-gila. Tentu saja berita ini kosong belaka.

   Boleh jadi dahulunya di waktu muda Thai Khek Sian memang gagah dan tampan, hitam-hitam manis, akan tetapi dia sekarang sudah tua, biarpun tubuhnya masih kekar tetap saja kelihatan tuanya. Kalau dilihat macamnya wanita-wanita muda yang menjadi selirnya dan wanita-wanita lain yang menjadi kekasihnya, mudah saja diketahui mengapa Thai Khek Sian disuka. Tentu karena wanita-wanita itu memang genit dan cabul, juga mereka mendekati Thai Khek Sian dengan banyak maksud, pertama-tama tentu saja karena dengan kedudukan mereka menjadi selir, mereka akan dihormati dan disegani orang-orang, melebihi kedudukan seorang isteri pembesar tinggi. Juga Thai Khek Sian memiliki harta benda yang besar, membuat para selirnya dapat hidup secara mewah dan berlebihan.

   Selain ini, juga mereka ini ingin sekali mewarisi ilmu kepandaian Thai Khek Sian yang memang amat tinggi dan luar biasa. Di samping semua alasan ini, masih ada hal lucu dan aneh lagi yang membuat wanita-wanita muda itu suka diselir kakek-kakek ini, yaitu bahwa Thai Khek Sian yang aneh itu sama sekali tidak perduli kalau selir-selirnya berlaku serong, tidak perduli selir-selirnya suka kepada laki-laki lain asal saja terhadap dia bersikap manis dan menurut! Memang sukar dicari keduanya laki-laki seperti Thai Khek Sian ini.

   "Heh-heh. puas hatiku dapat membasmi rumah makan bangsat itu'' Wi Liong mendengar orang gundul aneh itu bicara seorang diri.

   "Sayangnya tidak ada Seng-goat-pian di sini, kalau ada akan kupatahkan batang lehernya dan kepalanya kujadikan penghias pintu gapura. Biar kapok dia menghina selir-selirku!"

   Mendengar ucapan ini. tahulah Wi Liong bahwa orang aneh ini yang disebut Thai Khek Sian dan amat ditakuti Kam Ceng Swi. Kemarahannya memuncak.

   "Manusia siluman bertangan keji, kau harus dibasmi!"

   Bentak Wi Liong sambil melompat maju, menerjang dan menyerang Thai Khek Sian yang diapit di kanan kirinya oleh Cheng In dan Ang Hwa. Ia dapat menduga bahwa orang gundul hitam itu tentu berilmu tinggi maka Wi Liong tidak berani memandang ringan. Begitu melakukan serangan, ia mengerahkan semua tenaga memukul dada orang gundul hitam itu.

   "Buk! Buk!"

   
Cheng Hoa Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wi Liong terkejut setengah mati karena tubuhnya terpental ke belakang dan kedua tangannya sakit sekali, bengkak-bengkak dan ototnya terkilir! Adapun orang gundul hitam itu mundur tiga langkah, membuka matanya lebar-lebar dan membentak.

   "Hee...... kau murid siapa?"

   Ia melangkah maju dengan tangan terkepal.

   Cheng In dan Ang Hwa cepat melompat maju menghalangi Thai Khek Sian. Cheng In berkata.

   "Harap ampunkan dia, dia masih muda, kasihan kalau dibunuh......"

   "Siapa dia ini?"

   Bentak Thai Khek Sian.

   Kalau saja Cheng In mengatakan terus terang bahwa inilah pemuda yang mengalahkan mereka di loteng rumah makan, tentu Thai Khek Sian tak-kan mau memberi ampun dan akan membunuhnya. Akan tetapi entah bagaimana, melihat munculnya Wi Liong, dua orang wanita muda itu menjadi tidak tega untuk melihat pemuda ganteng itu tewas.

   "Dia tentu orang muda yang merasa diri berkepandaian dan tidak suka melihat rumah makan dibakar. Sudahlah, harap lepaskan dia. tidak ada harganya untuk kita membunuh orang macam ini."

   Kata pula Cheng In.

   Sementara, itu, Ang Hwa menghampiri Wi Liong dan berbisik.

   "Bodoh mana kau bisa melawan Thai Khek Siansu? Hayo lekas pergi dan lain kali harap jangan lupa kepada kami....".

   Wi Liong masih belum lenyap rasa kagetnya, akan tetapi maklum bahwa ia berhadapan dengan orang yang jauh lebih tinggi ilmunya, ia tidak mau melawan lagi, apa pula kedua tangannya sudah bengkak-bengkak. Tanpa banyak cakap ia lalu pergi dari tempat itu. Tentu saja ia tidak suka membawa-bawa nama gurunya dan tidak mengaku bahwa dia murid Thian Te Cu. karena hal ini berarti akan merendahkan nama besar gurunya.

   Thai Khek Sian tertawa bergelak.

   "Hemm. pantas kalian melindunginya, dia memang tampan!"

   Kemudian sambil mengerutkan kening, dia berkata lagi.

   "Ah, mengapa tadi dilepas sebelum ditanya? Pukulannya tadi...... aneh kalau dia bukan murid Thian Te Cu atau Gan-susiok......"

   Yang dimaksudkan Gan-susiok oleh kakek ini tentu saja Gan Yan Ki ayah Gan Tui.

   "Hayo kejar dia! Seret ke sini, hendak kutanya!"

   Bentaknya.

   Biarpun amat sayang kepada Wi Liong, baik Cheng In, Ang Hwa maupun selir yang lain, tak seorangpun berani membantah perintah Thai Khek Sian. Membangkang berani mati, demikian hukum di tangan tokoh Mo-kauw ini. Maka, mendengar ini, cepat Cheng in dan Ang Kwa mengepalai sebelas orang selir lain untuk berlari cepat mengejar Wi Liong yang sudah tidak kelihatan bayangannya lagi. Andaikata tersusul, tentu Cheng In dan kawan-kawannya akan menyeretnya kembali, takkan terpengaruh oleh ketampanan wajah pemuda itu. Akan retapi biarpun mereka mencari sampai jauh dan cermat, mereka tidak berhasil mendapatkan Wi Liong.

   Ke mana perginya pemuda ini? Bukan lain Seng-goat-pian Kam Ceng Swi yang menolongnya Kebetulan sekali Kam Ceng Swi yang tidak berani mendekat Thai Khek Sian, melihat dari jauh akan semua kejadian itu. Ketika ia melihat Wi Liong dapat melepaskan diri dengan selamat dari tangan kakek siluman itu. ia cepat menemui Wi Liong dan mengajaknya bersembunyi ke dalam sebuah kelenteng yang pengurusnya telah ia kenal baik. Di sini aman karena wanita-wanita Pek-go-to itu tidak mau memasuki kelenteng. Juga Kam Ceng Swi merawat kedua tangan Wi Liong, memberinya obat Kun-lun-pai yang memang amat manjur terhadap luka-luka kena pukulan atau urat-urat yang terkilir. Wi Liong amat berterima kasih kepada tokoh Kun-lun ini.

   "Lo-enghiong berkata benar. Thai Khek Sian itu ternyata memiliki ilmu seperti iblis."

   Kata Wi Liong.

   Kam Ceng Swi menarik napas panjang.

   "Ilmu kepandaian itu tidak ada batasnya. Melihat kepandaian dua orang wanita kaki tangan Thai Khek Sian. aku sudah takluk, kemudian melihat kepandaianmu yang membuat aku kagum sekali. Kini bentemu dengan Thai Khek Sian, entah di dunia ini siapa orangnya yang akan dapat melawan dia. Guruku sendiri, Kun-lun Lojin yang menjadi ketua dari Kun-lun-pai, pernah menyatakan bahwa ilmu kepandaian Thai Khek Sian sukar dicari lawannya. Mungkin hanya susiok-couw yang bertapa di belakang puncak dapat menandinginya, inipun belum tentu. Kembali ia menarik napas panjang, teringat akan anak pungutnya ketika ia mengobati tangan Wi Liong.

   "Anak muda, sebetulnya kau hendak pergi ke manakah?"

   Wi Liong juga amat tertarik kepada orang tua yang baik budi ini. Teringat ia kepada Kwee Sun Tek pamannya, dan dibandingkan dengan pamannya, orang tua ini sama baiknya, berbudi dan ramah-tamah serta jenaka pula. Oleh karena itu ia merasa tidak perlu membohong, jawabnya terus terang,

   "Aku hendak mencari seorang di kota raja memenuhi permintaan pamanku."

   "Ke kota raja di utara?"

   Kam Ceng Swi mengerutkan keningnya.

   "Di sana tidak begitu baik keadaannya, orang muda. Orang-orang selatan amat dicurigai dan salah-salah kau akan ditangkap. Bukan hanya serdadu-serdadu Mongol itu yang membenci orang selatan seperti kita, malah orang-orang kang-ouw di utara yang sudah menjadi kaki tangan Mongol, juga selalu memusuhi kita. Kau tahu, orang-orang seperti Thai Khek Sian itupun kabarnya membantu pemerintah Mongol......."

   Wi Liong menjawab tenang.

   "Tidak apa, lo-enghiong......"

   "Wi Liong, terhadap kau aku merasa seperti berhadapan dengan keluarga sendiri, jangan kau menyebut lo-enghiong (orang tua gagah) segala. Sebut saja paman, lebih sedap didengar."

   Wi Liong tersenyum. Benar-benar kakek ini menarik hati dan menyenangkan.

   "Baiklah. Kam-siok-siok (paman Kam). Sebetulnya aku memenuhi perintah paman Kwee Sun Tek untuk mencari keterangan perihal orang bernama Beng Kun Cinjin Gan Tui yang kabarnya menjadi panglima di istana Kaisar Mongol."

   "Aahhh......., dia.......?"

   Kam Ceng Swi mengerutkan kenangnya.

   "Untuk apakah kau mencari dia?'

   "Paman Kwee belum memberi tahu kepentingannya, hanya minta supaya aku menyelidiki di mana dia sekarang berada."

   "Kalau begitu tak usah kau ke utara. Wi Liong."

   "Eh, kenapakah? Apa dia sudah mati?"

   "Tidak. Dia itu dahulunya seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi sayang sekali, ia dapat dibujuk oleh Kaisar Mongol menjadi kaki tangannya, malah menikah segala di istana! Sungguh memalukan dan mengecewakan sekali, apa lagi kalau diingat bahwa hal itu terjadi setelah dia menjadi seorang hwesio!"

   "Apa dia sekarang masih di istana. Kam-siok-siok?"

   Tanya Wi Liong, dalam hati terheran-heran mengapa pamannya menyuruh dia mencari orang macam itu.

   "Kurasa tidak. Pernah aku mendengar bahwa dia telah meninggalkan Jengis Khan beberapa tahun yang lalu dan semenjak itu tak seorangpun mendengar di mana adanya Beng Kun Cinjin."

   Memang Kam Ceng Swi dahulu tidak mendapat kesempatan mendengar tentang perbuatan Beng Kun Cinjin terhadap murid-muridnya, juga tidak tahu bahwa Kwee Sun Tek itu murid Beng Kun Cinjin. Kalau ia mendengar akan hal itu tentu ia sudah menceritakannya kepada Wi Liong.

   "Kalau begitu memang percuma saja aku pergi ke utara.

   "

   Kata Wi Liong.

   "Memang tidak ada gunanya. Semenjak melarikan diri dari istana. Beng Kun Cinjin tentu saja dianggap musuh dan dicari oleh.orang-orang Mongol. Maka dapat dipastikan bahwa dia tentu melarikan diri ke selatan. Kalau hendak mencari dia, sebaiknya di selatan menanyakan kepada orang-orang kang-ouw di daerah selatan tentu ada yang tahu."

   Wi Liong menurut akan petunjuk ini. Mereka lalu berpisah setelah Wi Liong menghaturkan terima kasihnya dan berjanji kelak akan mengunjungi Kun-lun-san. Akan tetapi dia tetap menyembunyikan nama gurunya karena tahu bahwa gurunya tidak menghendaki namanya disebut-sebut di luaran. Dia sendiri lalu kembali ke Wuyi-san, menceritakan pengalamannya kepada Kwee Suu Tek kemudian setelah suhunya keluar, ia bercerita pula sambil menangis tentang kekalahannya yang amat memalukan terhadap Thai Khek Sian.

   "Tentu saja kau kalah. Mana bisa menang melawan susiokmu?"

   Komentar Thian Te Cu singkat, membuat Wi Liong terkejut bukan main.

   Setelah menuturkan tentang kekalahannya terhadap Thai Khek Sian kepada gurunya sambil menangis. Wi Liong lalu menerima latihan-latihan lagi selama satu tahun. Ilmu-ilmu tinggi yang tadinya disimpan saja oleh Thian Te Cu. sekarang diwariskan kepada pemuda itu, di samping nasihat-nasihat dan gemblengan ilmu batin yang sekaligus merobah watak Wi Liong menjadi lebih pendiam dan masak.

   Demikianlah, seperti telah dituturkan dalam bagian yang lalu. Thio Wi Liong; duduk berlutut di hadapan suhunya yang bersila di tempat samadhinya. Hati Wi Liong amat terharu namun ia dapat menekannya karena pemuda ini sekarang telah memiliki kekuatan batin untuk menekan dan mengalahkan segala perasaan yang datang dalam kalbunya. Baru sekarang selama belasan tahun hidup di dekat Thian Te Cu. ia mendengar orang aneh ini bicara agak banyak. Biasanya Thian Te Cu hanya bicara sedikit sekali singkat dan yang perlu saja. Bahkan ada kalanya kakek luar biasa ini hanya mempergunakan gerak tangan dan kepala untuk menyatakan kehendaknya, seperti orang gagu. Baru hari itu. setelah gurunya menyatakan bahwa kepandaiannya sudah cukup untuk menandingi Thai Khek Sian gurunya bicara panjang lebar memberi nasihat-nasihat. Perasaannya membisiki bahwa ini merupakan tanda bahwa gurunya hendak memisahkan diri, mungkin untuk selamanya.

   "Mulai sekarang kau boleh turuni gunung dan mulai hidup baru. Ingat, pekerjaan apapun juga yang kaulakukan kerjakanlah dengan hati bersih, dengan semangat besar dan dengan kesadaran sepenuhnya bahwa yang kau kerjakan tidak berlawanan dengan kebajikan dan keadilan. Jangan kau mudah dimabok kesenangan dan kemuliaan dunia yang palsu dan yang mudah menyelewengkan batin manusia. Ingat bahwa segala kejahatan manusia yang terjadi di dunia ini selalu ditimbulkan oleh ketidak-sadaran karena mabok dan silau oleh kesenangan, kemuliaan dunia, karena lemah dan tak berdaya terhadap nafsu sendiri."

   Kakek aneh itu berhenti, agaknya lelah sekali karena terlalu banyak bicara. Memang sudah lama dia menghemat suaranya dan bicara agak banyak ini amat melelahkannya.

   "Suhu teccu mendengar dari paman Kwee, juga dari luaran ketika teecu turun gunung bahwa sekarang ini negara sedang dalam keadaan terancam dan tidak aman. Orang-orang kang-ouw saling bermusuhan, ada yang memihak pemerintah baru di utara dan ada yang memihak Kerajaan Sung. Kalau teecu turun gunung dan sampai terlibat ke dalam persaingan atau permusuhan ini teecu harus membantu yang mana?"

   Terdengar kakek itu menarik napas panjang.

   "Manusia tiada hentinya berebut kekuasaan. Hanya mereka yang bekerja dengan penuh kesadaran bahwa apa yang mereka lakukan itu demi kebenaran adalah orang-orang bahagia. Perang....... perang....... semenjak nenek moyang kita ribuan tahun yang lalu, negara kita selalu dilanda perang. Siapa menang siapa kalah? Belum tentu yang benar menang. Biarpun kemenangan sementara, sepuluh tahun seratus tahun, seribu tahun, namun ada kalanya yang jahat menang dan rakyat menderita. Semua ditentukan olen Thian!". Kembali kakek itu berhenti dan Wi Liong tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh gurunya. Akan tetapi ia tidak merasa heran oleh karena sudah biasa mendengar kata-kata yang aneh dan penuh rahasia dari kakek itu.

   "Suhu, andaikata bala tentara Mongol menyerbu ke selatan, teecu harus membantu yang mana? Mongol atau Sung? Dan pertentangan antara orang-orang kang-ouw teecu harus memihak yang mana?"

   Ia mendesak oleh karena biarpun hatinya sendiri sudah menemukan bagaimana ia harus bertindak, tetap saja ia hendak mendengar petunjuk suhunya sebagai pegangan.

   Anehnya, kakek itu hanya menggeleng-geleng kepala dan keningnya berkerut.

   "Suhu. siapa yang harus teecu bantu?"

   Tanya pula pemuda itu.

   Sekali lagi Thian Te Cu menggeleng kepala dan lebih aneh lagi ia kelihatan berduka sekali. Kembali mereka diam sampai lama. Akhirnya Wi Liong memberanikan diri bertanya untuk ke tiga kalinya.

   "Suhu. nasihat suhu akan teecu jadikan obor bagi perjalanan teecu agar teecu tidak sampai sesat jalan. Keadaan dunia sedang bergolak, kalau teecu salah tindak, bukankah berarti akan melakukan dosa besar dan suhu akan terbawa nama suhu kalau tidak memberi petunjuk?"

   "Obor berada di tangan rakyat. Selama kau dekat dengan rakyat dan memihak mereka yang tertindas, mengulurkan tangan kepada mereka yang lemah sengsara, kau takkan tersesat. Inilah sebabnya mengapa dunia selalu dilanda perang, karena manusia selalu lupa diri, kalau sudah mendapatkan yang besar lupa kepada yang kecil. Orang-orang berebut kedudukan, berebut kesenangan dan kemuliaan tanpa mau menoleh kepada rakyat kecil yang tak pernah mengetahui sesuatu, tak pernah diberi kesempatan untuk tahu akan sesuatu. Coba ada yang berebut untuk mengangkat mereka dari penderitaan, coba segala usaha dikerahkan untuk bersatu dengan mereka, satu nasib satu penderitaan, iblispun takkan berani mengganggu tanah air karena akan berhadapan dengan rakyat yang merasa kebahagiaan dan keamanannya terganggu.

   Sekarang bagaimana? Setiap kerajaan merupakan penindas baru......ahhh, Wi Liong, jangan tanya kerajaan mana yang harus kau bantu. Asal kau tidak lupa bahwa kau mempelajari ilmu untuk bertugas sebagai pemberantas kejahatan dan pembela si lemah yang tertindas, cukuplah. Segala di dunia yang nampak besar-besar itu belum tentu betul-betul besar. Aku lebih suka melihat engkau menjadi seorang petani miskin yang berbatin bersih dan berjiwa gagah pembela keadilan dari pada melihat engkau menjadi seorang berpangkat, kaya raya dan mulia akan tetapi batinmu kotor oleh suau emas dan jiwamu bejat, lupa akan keadilan. Nah. pergilah, kelak kita bertemu sekali lagi kalau aku datang nntuk minta kembali Cheng-hoa-kiam."

   Tentu caja ucapan terakhir ini membingungkan Wi Liong. Tentang Cheng-hoa-kiam tadi ia benar tidak mengerti. Ketika ia pergi turun gunung, pedang itu dicuri orang, mengapa suhunya bilang kelak hendak mengambil kembali dan bertemu dengannya? la hendak bertanya akan tetapi kakek itu sudah meramkan kedua mata dan berada dalam keadaan samadhi lagi, maka ia tidak berani mengganggu.

   "Semua petunjuk akan teecu ingat betul"

   Katanya sambil berlutut memberi penghormatan terakhir, kemudian keluar dari kamar suhunya. Pamannya segera menemuinya.

   "Bagaimana? Sudah boleh turun gunung?"

   Tanya Kwee Sun Tek penuh gairah.

   "Sudah dan kuharap paman suka pergi bersamaku. Aku tidak tega meninggalkan kau orang tua seorang diri di sini."

   Kwee Sun Tek menghela napas panjang.

   "Apa sih perlunya aku turun gunung? Di puncak gunung, atau di dusun maupun di kota raja sekalipun bagiku sama saja......"

   Wi Liong kasihan memandang pamannya. Ia dapat menangkap maksud kata-kata pamannya ini. Memang apa sih bedanya bagi seorang buta?

   "Tak usah aku ikut pergi, Wi Liong. Kau pergilah dan cari manusia jahanam Beng Kun Cinjin itu, balaskan sakit hati ayah bundamu, kemudian kau carilah nama untuk menjunjung nama orang tuamu. Kau sudah meudengar semua riwayat orang tuamu, kalau kau berhasil membinasakan manusia jahanam Beng Kun Cinjin. baru hatiku puas dan aku tidak penasaran biarpun aku hidup tak bermata lagi!"

   Kata-kata ini diucapkan dengan keras penuh semangat, membayangkan sakit hati yang dipendam bertahun-tahun.

   Wi Liong menundukkan mukanya. Pemuda inipun merasa berduka sekali, baru setelah ia pulang dari perjalanannya mencari Beng Kun Cinjin, pamannya menceritakan pengalaman ayah bundanya yang tewas ketika mereka berusaha menyadarkan Beng Kun Cinjin dari kesesatannya.

   "Wi Liong, belasan tahun aku bertahan hidup menderita hanya untuk dapat menyaksikan bahwa pada suatu hari putera enciku akan dapat berhasil membalaskan sakit hati ayah bunda dan pamannya. Kuharap kau tidak akan gagal. Wi Liong."

   "Akan kuusahakan sedapat mungkin, paman."

   Jawab Wi Liong.

   "Dan jangan lupa, kau harus mampir di Poan-kun dan tengok calon mertuamu. Sampaikan hormatku dan jangan lupa bilang bahwa pernikahan baru dapat dilangsungkan kalau kalau sudah berhasil membalas dendam kepada Beng Kun Cinjin."

   Kwee Sun Tek memang sengaja tidak mau menceritakan tentang obrolan maling pedang yang mengaku-aku menjadi kekasih Kwa Siok Lan, dan sekarang ia menyuruh Wi Liong ke sana untuk melihat apakah obrolan itu betul-betul ataukah hanya omong kosong belaka. Selain itu memang ia tidak rela Wi Liong melangsungkan pernikahan sebelum pemuda itu sempat berdarma bhakti kepada ayah bundanya yaitu membalaskan sakit hati mereka.

   Setelah menerima banyak nasihat dari pamannya. Wi Liong lalu turun gunung membawa bekal pakaian dan senjata satu-satunya hanya suling pemberian gurunya. Suling ini bukan suling biasa, melainkan sebuah senjata yang istimewa sekali.

   Ketika Wi Liong turun gunung, matahari baru mulai timbul. Ia turun melalui lereng sebelah utara gunung dan matahari muncul dari sebelah kanannya muncul dari permukaan laut yang jauh berada di timur. Hawa pegunungan yang sejak ditimpa cahaya matahari yang hangat nyaman benar-benar mendatangkan suasana yang menggembirakan. Daun-daun pohon seperti disepuh air emas kuning kemilau tapi sejuk sinarnya tidak menyilaukan mata.

   Burung-burung berkicau di dahan pohon dan kelihatan beberapa ekor burung bermain-main dengan riangnya merupakan keluarga yang amat berbahagia menyambut darangnya matahari. Wi Liong sengaja berhenti berjalan untuk menikmati pemandangan itu, pemandangan keluarga burung kuning yang kebahagiaannya membuat ia tersenyum dan juga iri. Dua ekor anak burung mencicit diloloh oleh biangnya sedangkan bapak burung menyisiri bulu si biang dari belakang!

   Wi Liong tersenyum lalu melanjutkan perjalanannya. Ingin ia berdendang. Hawa dan keadaan semeriah itu memang menimbulkan selera orang untuk berdendang dan bernyanyi seperti burung, atau lari berlompat-lompatan seperti anak kijang. Tiba-tiba Wi Liong mendengar pekik burung dari udara. Ia mendongak dan melihat seekor burung berbulu kehitaman terbang lewat sendiri, merupakan titik hitam pada langit yang bersih cerah. Wi Liong mengerutkan keningnya, ada sesuatu menusuk pada ulu hatinya. Burung itu sendiri kelihatan begitu sunyi tak berkawan, hidup menyendiri di alam yang luas. Teringat Wi Liong akan keadaan dirinya, yatim-piatu dan seorang diri pula di dalam dunia. Sedih hatinya dan bangkit rindunya kepada pamannya Tidak tega rasanya meninggalkan pamannya satu-satunya orang yang semenjak ia kecil berada di sampingnya, pengganti orang tuanya.

   "Beng Kun Cinjin jahanam busuk, kau pembunuh ayah ibuku dan kau yang membikin buta sepasang mata pamanku. Tunggu saja pembalasanku!"

   Kata hatinya yang menjadi panas karena pembunuh orang tuanya itu yang menjadi biang keladi sehingga ia sekarang hidup seorang diri dan kesepian.

   Teringat kepada musuh besarnya bangun kembali semangat Wi Liong dan ia segara mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk berlari cepat sekali turun gunung.

   Seperti telah dituturkan di depan biarpun kekuasaan Bangsa Mongol berkembang pesat dan Tiongkok utara telah diduduki, namun Tiongkok bagian selatan masih berada dalam kekuasaan pemerintah lama, yaitu Kerajaan Sung selatan. Pemerintah Mongol tidak melanjutkan penyerbuannya ke selatan adalah karena ia sedang memusatkan bala tentaranya untuk menyerbu lagi ke barat. Untuk sementara waktu keadaan dalam negeri menjadi aman, kecuali hentrokan-bentrokan di antara para pengikut pendukung dua kerajaan itu yang saling bersaing dan bermusuhan sendiri.

   

Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Sepasang Pedang Iblis Karya Kho Ping Hoo Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini